Anda di halaman 1dari 23

BAB I

KONSEP TEORITIS

A. Definisi Atresia bilier


Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam pipa/saluran-
saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu
(gallbladder). Ini merupakan kondisi congenital, yang berarti terjadi saat kelahiran
(Lavanilate.2010. Askep Atresia Bilier).

Atresia Billiary merupakan kelainan yang berkisar dari hipoplasia


segmental/generalisata saluran empedu dan atresia sampai obliterasi lengkap duktur
billiaris ekstra/intra hepatic (David Sabiston, 2010).
Atresia Billiary merupakan kelainan kongenital yang berhubungan dengan kolangio
hepatic intra uteri dimana saluran empedu mengalami fibrosis. Proses ini sering berjalan
terus setelah bayi lahir sehingga prognosis umumnya buruk (Syamsu Hidayat, 2011).
Atresia Billiary merupakan obstruksi total aliran empedu karena destruksi/tidak
adanya saluran/sebagian saluran empedu ekstra hepatic (Robbins Contrans, 2009).
Atresia Billiary adalah tidak adanya/kecilnya lumen pada sebagian/keseluruhan
traktus bilier ekstra hepatic (Ringoringo P.). Jadi Atresia Billiary adalah suatu keadaan
dimana saluran empedu tidak berbentuk atau tidak berkembang secara normal.
Fungsi dari sistem empedu adalah membuang limbah metabolik dari hati dan
mengangkut garam empedu yang diperlukan untuk mencerna lemak di dalam usus halus.
Pada Atresia Billiary terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu.
Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati.
Proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada
duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Jadi, atresia
bilier adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus
bilier ekstrahepatik yang menyebabkan inflamasi. Akibatnya di dalam hati dan darah
terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan degenerasi edema hepatic dan
bilirubin direk (Dr. Parlin.2001. Atresia Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FK UI).
Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa Penyakit Atresia Bilier terjadi pada 1
banding 10 ribu hingga 15 ribu bayi lahir hidup. Dengan angka kelahiran hidup di
Indonesia 4,5 juta pertahun, dari jumlah tersebut diprediksi bayi yang menderita penyakit
tersebut mencapai 300-450 bayi setiap tahunnya. Rasio atresia bilier pada anak perempuan
dan anak laki-laki adalah 1,4 : 1 (Wartapedia.2010).
Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir. Gejala
penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah hidup. Gejala-gejala
seperti Ikterus, Jaundice Urin gelap Tinja berwarna pucat, Penurunan berat badan dan ini
berkembang ketika tingkat ikterus meningkat.
Pasien dengan atresia bilier dapat dibagi menjadi 2 grup, yakni :
1. Perinatal form (Isolated Biliary Atresia)
65 ± 90 % Bentuk ini ditemukan pada neonatal dan bayi berusia 2-8 minggu. Inflamasi
atau peradangan yang progresiv pada saluran empedu extrahepatik timbul setelah lahir.
Bentuk ini tidak muncul bersama kelainan congenital lainnya.
2. Fetal Embrionic form
10 ± 35 % Bentuk ini ditandai dengan cholestatis yang muncul amat cepat, dalam 2
minggu kehidupan pertama. Pada bentuk ini, saluran empedu tidak terbentuk pada saat
lahir dan biasanya disertai dengan kelainan congenital lainnya seperti situs inversus,
polysplenia, malrotasi, dan lain-lain.

Atresia bilier ekstrahepatik (wikipedia.2010)


Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari
duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan
kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan
splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta.
Atresia bilier atau atresia biliaris ekstrahepatik merupakan proses inflamasi progresif
yang menyebabkan fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga
pada akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut.

B. Klasifikasi Atresia bilier


Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :

gambar 1.3 tipe atresia bilier

I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.
II. II a. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus, dan
kandung empedu semuanya normal).
II b. Obliterasi duktus bilier komunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus.
Kandung empedu normal.
III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi, sampai ke hilus.
Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi (correctable),
sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-correctable).
Sayangnya dari semua kasus atresia bilier, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II.

Atresia Billiary dibagi menjadi 2 bagian yaitu:


a. Atresia Billiary Intra Hepatik
Merupakan atresia yang dapat dikoreksi. Bentuk ini lebih jarang dibandingkan
ekstra hepatik yang hanya 10 % dari penderita atresia. Ditemukan saluran empedu
proksimal yang terbuka lumennya. Tetapi tidak berhubungan dengan duodenum.
Atresia hanya melibatkan duktus koledukus distal. Sirosis bilier terjadi lambat.
b. Atresia Billiary Ekstra Hepatik
Merupakan Atresia yang tidak dapat dikoreksi. Bentuk ini sekitar 90 % dari
penderita atresia. Prognosis buruk menyebabkan kematian. Ditemukan bahwa seluruh
sistem saluran empedu ekstra hepatik mengalami obliterasi sirosis bilier terjadi cepat.
Gejala klinik dan patologik bergantung pada awal proses penyakitnya dan bergantung
pada saat penyakit terdiagnosis. Atresia Ekstra Hepatik terbagi menjadi 2 yaitu:
1. Embrional :
1/3 penderita atresia ekstra hepatik terjadi pada masa embrional. Awal prosesnya
merusak saluran empedu mulai sejak masa intrauterin hingga saat bayi lahir. Pada
penderita tidak ditemukan masa bebas ikterus setelah periode ikterus neonatorum
fisiologis (2 minggu pertama kelahiran).
2. Perinatal:
2/3 penderita atresia ekstra hepatik terjadi pada masa perinatal. Awal prosesnya
adalah gejala ikterus setelah periode ikterus psikologik menghilang. Kemudian
diteruskan ikterus yang progresif.
3. Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :
a. I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.
b. IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus,
dan kandung empedu semuanya normal).
IIb. Obliterasi duktus bilier komunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus.
Kandung empedu normal.
c. III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi, sampai ke
hilus.Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi
(correctable), sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-
correctable). Sayangnya dari semua kasus atresia bilier, hanya 10% yang
tergolong tipe I dan II.

C. Anatomi Fisiologi
Sistem empedu terdiri dari organ-organ dan saluran (saluran empedu, kandung
empedu, dan struktur terkait) yang terlibat dalam produksi dan transportasi empedu.
Ketika sel-sel hati mengeluarkan empedu, yang dikumpulkan oleh sistem saluran
yang mengalir dari hati melalui duktus hepatika kanan dan kiri. Saluran ini akhirnya
mengalir ke duktus hepatik umum. Duktus hepatika kemudian bergabung dengan duktus
sistikus dari kantong empedu untuk membentuk saluran empedu umum, yang berlangsung
dari hati ke duodenum (bagian pertama dari usus kecil).
Namun, tidak semua berjalan dari empedu langsung ke duodenum. Sekitar 50 persen
dari empedu yang dihasilkan oleh hati adalah pertama disimpan di kantong empedu, organ
berbentuk buah pir yang terletak tepat di bawah hati.
Kemudian, ketika makanan dimakan, kontrak kandung empedu dan melepaskan
empedu ke duodenum disimpan untuk membantu memecah lemak.

sistem atresia bilier (Ohio State.2011)

Fungsi utama sistem bilier yang meliputi:


a) Untuk mengeringkan produk limbah dari hati ke duodenum.
b) Untuk membantu dalam pencernaan dengan pelepasan terkontrol empedu
Empedu merupakan cairan kehijauan-kuning (terdiri dari produk-produk limbah,
kolesterol, dan garam empedu) yang disekresikan oleh sel-sel hati untuk melakukan dua
fungsi utama, termasuk yang berikut:
1. Untuk membawa pergi limbah.
2. Untuk memecah lemak selama pencernaan.
Garam empedu adalah komponen aktual yang membantu memecah dan menyerap
lemak. Empedu yang dikeluarkan dari dalam tubuh memberikan warna gelap pada
kotoran (Tim Ohio State University.2011.Sistem Bilier.Columbus:Medical center).
D. Etiologi
Etiologi Atresia Billiary masih belum diketahui dengan pasti. Atresia Billiary terjadi
antara lain karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
progresif pada duktus bilier ekstra hepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran
empedu. Ada juga sebagian ahli yang menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan,
yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi 17, 18 dan 21 serta terdapatnya
anomali organ pada 10-30 % kasus Atresia Billiary.
Insiden Atresia Billiary adalah1/10.000 sampai 1/14.000 kelahiran hidup. Rasio
Atresia Billiary pada anak perempuan dan laki-laki adalah + 1,4 : 1.Dari 904 kasus Atresia
Billiary yang terdaftar di lebih dari 100 institusi, Atresia Billiary terdapat pada Ras
Kaukasia (62 %), berkulit hitam (20 %), Hispanik (11 %), Asia (4,2 %) dan Indian
Amerika (1,5 %). Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah
akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi
Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk janin atresia bilier, seringkali
memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa, atau usus. Sebuah fakta penting adalah
bahwa atresia bilier bukan merupakan penyakit keturunan. Kasus dari atresia bilier pernah
terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut.
Atresia bilier kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama
hidup janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan yang "memicu" dapat mencakup satu
atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut:
a) Infeksi virus atau bakteri.
b) Masalah dengan sistem kekebalan tubuh.
c) Komponen yang abnormal empedu.
d) Kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu.
e) Hepatocelluler dysfunction.

E. Patofisiologi
Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan
aliran empedu, dan tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan
traktus bilier ekstrahepatik juga menyebabkan obstruksi aliran empedu.
Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total
maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering
obstruksi bilier ekstrahepatik adalah : sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus
koledokus, karsinoma kaput pancreas, karsinoma ampula vateri, striktura pasca
peradangan atau operasi.
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal
empedu dari hati ke kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan
menyebabkan cairan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema,
degenerasi hati. Dan apabila asam empedu tertumpuk dapat merusak hati. Bahkan hati
menjadi fibrosis dan cirrhosis. Kemudian terjadi pembesaran hati yang menekan vena
portal sehingga mengalami hipertensi portal yang akan mengakibatkan gagal hati.
Penyebab sebenarnya atresia billier tidak diketahui sekalipun mekanisme imun atau
viral injury bertanggung jawab atas proses progresif yang menimbulkan obliterasi total
saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan bahwa atresia billier tidak terlihat pada
janin, bayi yang lahir mati (stillbirth) atau bayi baru lahir. Keadaan ini menunjukkan
bahwa atresia billier terjadi pada akhir kehamilan atau dalam periode perinatal dan
bermanifestasi dalam waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara
progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Akan terjadi berbagai derajat kolestasis yang menimbulkan pruritus
berat. Pembedahan untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus
dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang
progresif dapat dikurangi.
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal
empedu ke luar hati dan ke dalam kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk
sumbatan dan menyebabkan empedu balik ke hati. Ini akan menyebabkan peradangan,
edema, dan degenerasi hati. Bahkan hati menjadi fibrosis, sirosis, dan hipertensi portal
sehingga akan mengakibatkan gagal hati.
Jika cairan empedu tersebar ke dalam darah dan kulit, akan menyebabkan rasa gatal.
Bilirubin yang tertahan dalam hati juga akan dikeluarkan ke dalam aliran darah, yang
dapat mewarnai kulit dan bagian putih mata sehingga berwarna kuning.
Degenerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan
hepatomegaly. Karena tidak ada aliran empedu dari hati ke dalam usus, lemak dan vitamin
larut lemak tidak dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak yaitu vitamin A,D,E,K
dan gagal tumbuh.
Vitamin A,D,E,K larut dalam lemak sehingga memerlukan lemak agar dapat diserap
oleh tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin tersebut akan disimpan dalam hati dan lemak
didalam tubuh, kemudian digunakan saat diperlukan. Tetapi mengkonsumsi berlebihan
vitamin yang larut dalam lemak dapat membuat anda keracunan sehingga menyebabkan
efek samping seperti mual, muntah, dan masalah hati dan jantung.
1. Vitamin A
Vitamin A terdapat dalam makanan berwarna kuning-oranye, berdaun hijau gelap
dan dalam bentuk retinol pada makanan yang berasal dari hewan. Wortel, mangga,
labu, pepaya, bayam, brokoli, selada air, kuning telur, susu dan hati adalah makanan
yang kaya vitamin A.
Vitamin A berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan tulang dan jaringan
epitel, meningkatkan kekebalan, dan memerangi radikal bebas (antioksidan).
Kekurangan vitamin A adalah penyebab utama kebutaan pada anak-anak di banyak
negara berkembang.
2. Vitamin D
Ikan berlemak seperti sarden, mackerel, tuna, telur, makanan yang diperkaya
seperti margarin dan sereal adalah sumber vitamin D. Vitamin ini sangat penting untuk
pertumbuhan dan pemeliharaan tulang karena mengontrol penyerapan kalsium dan
fosfor yang penting untuk metabolisme tulang. Kekurangan vitamin D pada anak-anak
akan menyebabkan penyakit rakhitis, dan pada orang dewasa menyebabkan
osteomalasia, kondisi di mana tulang menjadi lemah dan lunak. Vitamin D dapat
diproduksi tubuh saat kulit menerima ultraviolet dari sinar matahari. Kekurangan
vitamin D dapat terjadi pada mereka yang memiliki diet rendah vitamin D atau jarang
terkena sinar matahari. Dosis besar vitamin dapat menyebabkan kelebihan kalsium,
terutama pada anak-anak, yang mengganggu pembentukan tulang. Namun, hal tersebut
sangat jarang terjadi. Tidak ada rekomendasi mengenai diet vitamin D untuk orang
dewasa yang hidup normal dan cukup terpapar sinar matahari.
3. Vitamin E
Vitamin E hadir dalam minyak wijen, kacang kedelai, beras, jagung dan biji
bunga matahari, kuning telur, kacang-kacangan dan sayuran. Vitamin ini adalah
antioksidan penting yang mencegah penuaan dini sel-sel, merangsang sistem kekebalan
tubuh, mengurangi risiko katarak, melindungi dari penyakit jantung, mencegah
penyakit kanker dan menjaga kesehatan kulit. Kekurangan vitamin E pada manusia
jarang terjadi, kecuali pada bayi prematur dan mereka yang memiliki masalah
pencernaan.
4. Vitamin K
Selada, kubis, kembang kol, bayam, kangkung, susu, dan sayuran berdaun hijau
tua adalah sumber terbaik vitamin ini. Vitamin K terlibat dalam pembekuan darah dan
kekurangannya dapat menyebabkan perdarahan berlebihan dan kesulitan dalam
penyembuhan. Kekurangan vitamin ini jarang terjadi, kecuali pada bayi baru lahir dan
mereka yang memiliki masalah penyerapan atau metabolisme vitamin, seperti penderita
penyakit hati kronis.

F. Manifestasi Klinis
Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir. Gejala
penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah hidup. Gejala-gejala
termasuk:
a) Ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang sangat tinggi
(pigmen empedu) tertahan di dalam hati dan akan dikeluarkan dalam aliran darah.
Jaundice disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada bayi baru lahir.
Ini biasanya hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari dari kehidupan. Seorang bayi
dengan atresia bilier biasanya tampak normal saat lahir, tapi ikterus berkembang pada
dua atau tiga minggu setelah lahir
b) Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari
hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam
urin.
c) Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang masuk
ke dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat menjadi bengkak akibat
pembesaran hati.
d) Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat.
e) degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus, dan hepatomegali,
Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak yang larut dalam air sehingga
menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut dalam air serta gagal tumbuh.

Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a) Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan malnutrisi.
b) Gatal-gatal : karena asam empedu yang menumpuk dan menyebar kedalam aliran darah
yang menyebabkan kulit merasa gatal
c) Rewel
d) Splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal/Tekanan
darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung,
usus dan limpa ke hati).

G. Pemeriksaan Penunjang
Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan
untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar,
pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :
a. Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi hati
(darah,urin, tinja).
b. Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati.
c. Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis atresia
bilier.

1) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen
bilirubin untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu
dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar
bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total. Peningkatan kadar
SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke
suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5kali dengan
peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum
total atau bilirubin direk, dan alkalifosfatase mempunyai spesifisitas 92,9%
dalam menentukan atresia bilier.
a) Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang
mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif. Hal ini menunjukkan
adanya bendungan saluran empedu total.
b) Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja /
stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
c) Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan : protombin time,
partial thromboplastin time.
b) Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang
cukup sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih
baik dari pemeriksaan visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar
bilirubin dalam empedu hanya10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam
empedu adalah 60%, maka tidak adanya asam empedu di dalam cairan duodenum
dapat menentukan adanya atresia bilier.
2) Pencitraan
a) Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat
ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa,
saat minum dan sesudah minum. Bila pada saat atau sesudah minum kandung
empedu berkontraksi, maka atresia bilier kemungkinan besar (90%) dapat
disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak ditemukannya kandung empedu,
dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung diagnosis atresia bilier.
Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan kemungkinan
atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I / distal.
b) Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m
mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan,
kepada pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis
selama 5 hari. Pada kolestasis intrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit
berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia bilier
proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya ke usus lambat atau tidak
terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang berat juga tidak
akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks hepatik
(penyebaran isotop dihati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat
menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3
merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier. Teknik sintigrafi dapat digabung
dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi
mengemukakan bahwa dalam mendeteksi atresia bilier, yang terbaik adalah
menggabungkan basil pemeriksaan USG dan sintigrafi.
c) Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary
Iminodeacetic Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam
tubuh, sehingga dapat menunjukan bilamana ada blokade pada aliran empedu.
d) Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography).
Merupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia
bilier dengan kolestasis intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan,
dapat dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam.
Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku emas
untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.
3) Biopsi hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan.
Ditangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai
95%, sehingga dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi
eksplorasi, dan bahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran
empedu pasca operasi Kasai ditentukan oleh diameter duktus bilier yang paten di
daerah hilus hati. Bila diameter duktus100-200 u atau 150-400 u maka aliran empedu
dapat terjadi. Desmet dan Ohya menganjurkan agar dilakukan frozen section pada saat
laparatomi eksplorasi, untuk menentukan apakah portoenterostomi dapat dikerjakan.
Gambaran histopatologik hati yang mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi
bedah secara dini. Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk
melakukan biopsi hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi duktuler (gambaran
histopatologik yang menyokong diagnosis atresia bilier tetapi tidak patognomonik)
memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia
< 6 minggu.

H. Penatalaksanaan
1. Terapi medikamentosa
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu
(asamlitokolat), dengan memberikan :
a. Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.
Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase (untuk mengubah
bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzimsitokrom P-450 (untuk
oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi aliran
empedu). Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal
pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu
sekunder
2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : Asam ursodeoksikolat, 310
mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolat mempunyai daya
ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.
2. Terapi nutrisi
Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin, yaitu :
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk
mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat metabolisme. Disamping itu,
metabolisme yang dipercepat akan secara efisien segera dikonversi menjadi energy
untuk secepatnya dipakai oleh organ dan otot, ketimbang digunakan sebagai lemak
dalam tubuh. Makanan yang mengandung MCT antara lain seperti lemak mentega,
minyak kelapa, dan lainnya.
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Seperti vitamin A, D, E,
dan K.
3. Terapi bedah
1) Kasai Prosedur

Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan


empedu ke usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10%
penderita. Untuk melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan
usus halus, dilakukan pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Biasanya
pembedahan ini hanya merupakan pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu
dilakukan pencangkokan hati.
2) Pencangkokan atau Transplantasi Hati
Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk atresia
bilier dan kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis dalam
beberapa tahun terakhir. Karena hati adalah organ satu-satunya yang bisa
bergenerasi secara alami tanpa perlu obat dan fungsinya akan kembali normal dalam
waktu 2 bulan. Anak-anak dengan atresia bilier sekarang dapat hidup hingga
dewasa, beberapa bahkan telah mempunyai anak. Kemajuan dalam operasi
transplantasi telah juga meningkatkan kemungkianan untuk dilakukannya
transplantasi pada anak-anak dengan atresia bilier. Di masa lalu, hanya hati dari
anak kecil yang dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati harus cocok.
Baru-baru ini, telah dikembangkan untuk menggunakan bagian dari hati orang
dewasa, yang disebut "reduced size" atau "split liver" transplantasi, untuk
transplantasi pada anak dengan atresia bilier.

Berdasarkan treatment yang diberikan :


a. Palliative treatment
Dilakukan home care untuk meningkatkan drainase empedu dengan mempertahankan
fungsi hati dan mencegah komplikasi kegagalan hati.
b. Supportive treatment
- Managing the bleeding dengan pemberian vitamin K yang berperan dalam
pembekuan darah dan apabila kekurangan vitamin K dapat menyebabkan
perdarahan berlebihan dan kesulitan dalam penyembuhan. Ini bisa ditemukan pada
selada, kubis, kol, bayam, kangkung, susu, dan sayuran berdaun hijau tua adalah
sumber terbaik vitamin ini.
- Nutrisi support, terapi ini diberikan karena klien dengan atresia bilier mengalami
obstruksi aliran dari hati ke dalam usus sehingga menyebabkan lemak dan vitamin
larut lemak tidak dapat diabsorbsi. Oleh karena itu diberikan makanan yang
mengandung medium chain triglycerides (MCT) seperti minyak kelapa.
- Perlindungan kulit bayi secara teratur akibat dari akumulasi toksik yang menyebar
ke dalam darah dan kulit yang mengakibatkan gatal (pruiritis) pada kulit.
- Pemberian health edukasi dan emosional support, keluarga juga turut membantu
dalam memberikan stimulasi perkembangan dan pertumbuhan klien.
I. Komplikasi
1. Kolangitis:
Komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus, dengan aliran
empedu yang tidak baik, dapat menyebabkan ascending cholangitis. Hal ini terjadi
terutama dalam minggu-minggu pertama atau bulan setelah prosedur Kasai sebanyak
30-60% kasus. Infeksi ini bisa berat dan kadang-kadang fulminan. Ada tanda-tanda
sepsis (demam, hipotermia, status hemodinamik terganggu), ikterus yang berulang,
feses acholic dan mungkin timbul sakit perut. Diagnosis dapat dipastikan dengan kultur
darah dan/atau biopsi hati.
2. Hipertensi portal:
Portal hipertensi terjadi setidaknya pada dua pertiga dari anak-anak setelah
portoenterostomy. Hal paling umum yang terjadi adalah varises esofagus.
3. Hepatopulmonary syndrome dan hipertensi pulmonal:
Seperti pada pasien dengan penyebab lain secara spontan (sirosis atau prehepatic
hipertensi portal) atau diperoleh (bedah) portosystemic shunts, shunts pada arteri
venosus pulmo mungkin terjadi. Biasanya, hal ini menyebabkan hipoksia, sianosis, dan
dyspneu. Diagnosis dapat ditegakan dengan scintigraphy paru. Selain itu, hipertensi
pulmonal dapat terjadi pada anak-anak dengan sirosis yang menjadi penyebab kelesuan
dan bahkan kematian mendadak. Diagnosis dalam kasus ini dapat ditegakan oleh
echocardiography. Transplantasi liver dapat membalikan shunts, dan dapat
membalikkan hipertensi pulmonal ke tahap semula.
4. Keganasan:
Hepatocarcinomas, hepatoblastomas, dan cholangio carcinomas dapat timbul pada
pasien dengan atresia bilier yang telah mengalami sirosis. Skrining untuk keganasan
harus dilakukan secara teratur dalam tindak lanjut pasien dengan operasi Kasai yang
berhasil.
Hasil setelah gagal operasi Kasai :
Sirosis bilier bersifat progresif jika operasi Kasai gagal untuk memulihkan aliran
empedu, dan pada keadaan ini harus dilakukan transplantasi hati. Hal ini biasanya
dilakukan di tahun kedua kehidupan, namun dapat dilakukan lebih awal (dari 6 bulan
hidup) untuk mengurangi kerusakan dari hati. Atresia bilier mewakili lebih dari
setengah dari indikasi untuk transplantasi hati di masa kanak-kanak. Hal ini juga
mungkin diperlukan dalam kasus-kasus dimana pada awalnya sukses setelah operasi
Kasai tetapi timbul ikterus yang rekuren (kegagalan sekunder operasi Kasai), atau
untuk berbagai komplikasi dari sirosis (hepatopulmonary sindrom).
BAB II
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
Berisi tentang identitas klien dan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Pada umumnya bayi masuk rumah sakit dengan keluhan jaundice dalam 2 minggu
sampai 2 bulan, ada rasa gatal-gatal dari tubuh bayi, tinja warna pucat, distensi
abdomen, lemah, bayi tidak mau minum, letargi dan sesak.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah ibu pernah terinfeksi virus seperti rubella, apakah ibu pernah
mengkonsumsi obat-obatan yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi.
3) Riwayat keluarga
Adanya riwayat keluarga yang menderita kolestasis, maka kemungkinan besar
merupakan suatu kelainan genetik/metabolik.
4) Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Bagaimana status pertumbuhan pada anak dengan cara menanyakan pada orang
tuanya dan melihat catatan kesehatan tentang ukuran berat badan, tinggi badan,
lingkar lengan atas, lingkar dada dan lingkar kepala. Pada riwayat perkembangan
dapat diketahui melalui penggunaan perkembangan DDST II (Denver
Development Screening Test II)
5) Riwayat imunisasi
Perlu ditanyakan riwayat imunisasi dasar seperti BCG, DPT, Polio, Hepatitis,
Campak maupun imunisasi ulangan (booster).
3. Pemeriksaan fisik
Pengkajian secara umum dilakukan dengan metode head to toe yang meliputi:
1) Keadaan umum, kesadaran dan tanda-tanda vital : Respirasi: meningkat dan Nadi:
takikardi.
2) Kepala
Dapat dinilai bentuk dan ukuran kepala, keadaan rambut dan kulit kepala.
3) Mata
Dinilai keadaan palpebra, konjungtiva anemis atau tidak, sklera ikterik dan
refleks pupil.
4) Telinga
Dapat dinilai pada daun telinga, liang telinga, membran timpani dan ketajaman
pendengaran.
5) Hidung
Dapat dinilai ada tidaknya epistaksis.
6) Mulut
Dinilai bagaimana keadaan lidah, ada tidaknya radang pada gusi dan mukosa
mulut.
7) Leher
Ada tidaknya kaku kuduk, nadi karotis teraba atau tidak.
8) Dada
Respirasi: adanya peningkatan frekuensi pernapasan, nampak sesak dan ada
tidaknya suara napas tambahan.
Cardiovaskuler: iktus cordis nampak dan teraba atau tidak. Auskultasi bunyi
jantung.
9) Abdomen
Ada distensi abdomen, hepatomegali (+), dan asites.
10) Kulit
Pruritis, jaundice.
4. Pola nutrisi dan eliminasi
Nutrisi: anoreksia, tidak toleran terhadap lemak dan makanan pembentuk gas,
dehidrasi.
Eliminasi: perubahan warna urin dan feces. Urin: warna gelap seperti teh, pekat.
Feces: warna pucat seperti dempul.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan absorbsi nutrient yang buruk, mual
muntah.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual muntah.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam
jaringan ditandai dengan adanya pruritus.
4. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan distensi abdomen.

C. Intervensi
No.
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional

1. NIC: NOC:
Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tanda-tanda vital, 1. Indikator volume
keperawatan selama....x.... jam nadi perifer, pengisian sirkulasi/ perfusi.
diharapkan bayi dapat kapiler, turgor kulit.
mempertahankan keseimbangan 2. Pantau intake dan output 2. Memberikan
cairan dan elektrolit dengan cairan (urin, feses, informasi tentang
kriteria hasil: muntah) kebutuhan
1. CRT < 3 detik penggantian cairan/
2. Turgor kulit baik, produksi efek terapi.
urine 1-2 ml/kgBB/jam 3. Awasi nilai laboratorium, 3. menunjukkan hidrasi
contoh Hb/Ht, Na, dan
albumin. mengidentifikasikan
retensi natrium/
kadar protei yang
dapat menimbulkan
pembentukan edema.
4. Kolaborasi: 4. Memberikan terapi
Berikan cairan IV cairan dan
(biasanya glukosa) penggantian
elektrolit.
2. NIC: NOC:
Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji distensi abdomen. 1. Distensi abdomen
keperawatan selama ....x.... jam merupakan tanda non
diharapkan nutrisi dapat verbal gangguan
terpenuhi dengan kriteria hasil: pencernaan.
1. Bayi akan menunjukkan 2. Pantau masukan nutrisi 2. Mengidentifikasi
peningkatan berat badan dan frekuensi muntah. kekurangan/
progresif mencapai tujuan kebutuhan nutrisi
dengan nilai laboratorium dengan mengetahui
normal. intake dan output
2. Nafsu makan normal. klien.
3. Timbang BB setiap hari. 3. Mengawasi
keefektifan rencana
diet.
4. Berikan mkanan/minuman 4. Untuk menurunkan
sedikit tapi sering. rangsang
mual/muntah.
Kolaborasi:
5. Monitor laboratorium; 5. Memberi informasi
albumin, protein sesuai tentang keefektifan
program. terapi.
6. Berikan vitamin-vitamin 6. Vitamin-vitamin
yang larut dalam lemak tersebut terganggu
(A,D,E dan K) penyerapannya.
3. NIC: NOC:
Setelah dilakukan tindakan 1. Gunakan air mandi biasa 1. Mencegah kulit
keperawatan selama ....x.... jam atau pemberian lotion/ kering berlebihan,
diharapkan integritas kulit baik cream. memberikan penghil
dengan kriteria hasil: ang rasa gatal,
1. Tidak ada pruritus/lecet. sekaligus menghin-
2. Jaringan/kulit utuh bebas dari infeksi.
askortasi. 2. Berikan massage pada 2. Bermanfaat dalam
waktu tidur. meningkatkan tidur
dan menurunkan
integritas kulit.
3. Pertahankan sprei kering 3. Kelembaban
dan bebas lipatan. meningkatkan pruri-
tus dan meningkat-
kan resiko kerusakan
kulit.
4. Gunting kuku jari, berikan 4. Mencegah pasien
sarung tangan bila dari cidera tambahan
diindikasikan. pada kulit,
khususnya bila tidur.
Kolaborasi:
5. Berikan obat sesuai 5. Antihistamin dapat
indikasi (antihistamin). mengurangi gatal.
6. Berikan obat resin 6. Berfungsi untuk
kholestiramin (questian). mengurangi pruritus
dan hiperbilirubine-
mia.
7. Pantau pemeriksaan 7. Bilirubin direk
laboratorium sesuai dikonjugasi oleh
indikasi (bilirubin direk enzim hepar
dan indirek) glukoronitin direk
yang dikonjugasi dan
tampak dalam bentuk
bebas dalam darah
atau terikat pada
albumin.
4. NIC: NOC:
Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji distensi abdomen. 1. Distensi abdomen
keperawatan selama ....x.... jam dapat menekan
diharapkan bayi menunjukkan diafragma dan bisa
pola napas yang efektif dengan menimbulkan sesak.
kriteria hasil: 2. Kaji RR, kedalaman, dan 2. Untuk mengetahui
1. Frekuensi pernapasan bayi kerja pernapasan. adanya gangguan
normal pernafasan pada
2. Tidak ada penggunaan otot pasien.
bantu napas. 3. Waspadakan klien agar 3. Menghindari
leher tidak tertekuk/ penekanan pada jalan
posisikan semi ekstensi nafas untuk memini-
atau ekstensi pada saat malkan penyempitan
beristirahat. jalan nafas.
Kolaborasi:
4. Beri O2 tambahan bila 4. Oksigen dapat
perlu. mengurangi sesak
yang dirasakan klien.
DAFTAR PUSTAKA

Markum, A. H. (2013). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Gaya Baru.

NANDA (2015). Diagnosis Keperawatan, definisi dan klasifikasi. Edisi Revisi Jilid 1. EGC.
Jakarta

Syamsu Hidayat (2011). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2010). Ilmu Kesehatan Anak Ed. 1. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI

Widodo Judarwanto. 2010. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir yang
berkepanjangan. From:url:http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2012/02/07/
atresia-bilier waspadai-bila-kuning-bayi-baru-lahir-yang-berkepanjangan/

Syamsul Arief. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu Kesehatan
Anak FK UNAIR. Surabaya. 2014. Available from: url:http://www.pediatrik.com/pkb/
20060220-ena504-pkb.pdf

Anda mungkin juga menyukai