Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Atresia bilier adalah penyakit serius yang mana ini terjadi pada satu

dari 10.000 anak-anak dan lebih sering terjadi pada anak perempuan daripada

anak laki-laki dan pada bayi baru lahir. Penyebab atresia bilier tidak diketahui,

dan perawatan hanya sebagian yang berhasil. Atresia bilier adalah alasan

paling umum untuk pencangkokan hati pada anak-anak di Amerika Serikat

dan sebagian besar dunia Barat (Santoso, Agus.2010. Health Academy).


Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang

menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga

menyebabkan hambatan aliran empedu. Jadi, atresia bilier adalah tidak adanya

atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus

bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Akibatnya di

dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan

bilirubin direk. Hanya tindakan bedah yang dapat mengatasi atresia bilier. Bila

tindakan bedah dilakukan pada usia 8 minggu, angka keberhasilannya adalah

86%, tetapi bila pembedahan dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka

keberhasilannya hanya 36%. Oleh karena itu diagnosis atresia bilier harus

ditegakkan sedini mungkin, sebelum usia 8 minggu (Dr. Parlin.1991.Atresia

Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FK UI).


Kerusakan hati yang timbul dari atresia bilier disebabkan oleh atresia

dari saluran-saluran empedu yang bertanggung jawab untuk mengalirkan

ii
empedu dari hati. Empedu dibuat oleh hati dan melewati saluran empedu dan

masuk ke usus di mana ia membantu mencerna makanan, lemak, dan

kolesterol. Hilangnya saluran empedu menyebabkan empedu untuk tetap di

hati. Ketika empedu mulai merusak hati, menyebabkan jaringan parut dan

hilangnya jaringan hati. Akhirnya hati tidak akan dapat bekerja dengan baik

dan sirosis akan terjadi. Setelah gagal hati, pencangkokan hati menjadi

perlu. Atresia bilier dapat menyebabkan kegagalan hati dan kebutuhan untuk

transplantasi hati dalam 1 sampai 2 tahun pertama kehidupan (Santoso,

Agus.2010. Health Academy).

Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia

bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi

Jumlah penderita atresia bilier yang ditangani Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003, mencapai 37-38 bayi atau

23 persen dari 162 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati.

Sedangkan DiInstalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara

tahun 1999-2004 dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita

dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati didapatkan atresia bilier 9

(9,4%).
Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi,

atresia bilier didapat pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%),

Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian Amerika (1,5%) Kasus Atresia Bilier

dilaporkan sebanyak 5/100.000 kelahiran hidup di Belanda,

5,1/100.000kelahiran hidup di Perancis, 6/100.000 kelahiran hidup di Inggris,

6,5/100.000 kelahiran hidup diTexas, 7/100.000 kelahiran hidup di Australia,

ii
7,4/100.000 kelahiran hidup di USA, dan 10,6/100.000 kelahiran hidup di

Jepang (Dr.Widodo.2009.Koran Indonesia Sehat.Jakarta: Yudhasmara).


Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa Penyakit Atresia Bilier

terjadi pada 1 banding 10 ribu hingga 15 ribu bayi lahir hidup. Dengan angka

kelahiran hidup di Indonesia 4,5 juta pertahun, dari jumlah tersebut diprediksi

bayi yang menderita penyakit tersebut mencapai 300-450 bayi setiap

tahunnya. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah

1,4 : 1 (Wartapedia.2010).
1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui konsep Asuhan Keperawatan Atresia Bilier
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui konsep dasar penyakit Atresia Bilier
b. Mengetahui konsep asuhan keperawatan Atresia Bilier
1.3 Manfaat
Diharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa

dalam melakukan praktek klinik keperawatan dan sebagai sumber informasi

bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien, khususnya

pasien dengan atresia bilier.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Penyakit

2.1.1 Definisi Atresia bilier


Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam

saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke

kantung empedu (gallbladder) yang merupakan kondisi congenital

(Lavanilate.2010.Askep Atresia Bilier).

ii
Proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan

progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan

aliran empedu. Jadi, atresia bilier adalah tidak adanya atau kecilnya lumen

pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan

inflamasi. Akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam

empedu dan peningkatan degenerasi edema hepatic dan bilirubin direk (Dr.

Parlin.1991.Atresia Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FK UI).

Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir.

Gejala penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah

hidup. Gejala-gejala seperti Ikterus, Jaundice Urin gelap Tinja berwarna

pucat, Penurunan berat badan dan ini berkembang ketika tingkat ikterus

meningkat.

Pasien dengan atresia bilier dapat dibagi menjadi 2 grup, yakni :

1. Perinatal form ( Isolated Biliary Atresia)

65 90 % Bentuk ini ditemukan pada neonatal dan bayi berusia 2-8

minggu. Inflmasi atau peradangan yang progresiv pada saluran empedu

extrahepatik timbul setelah lahir. Bentuk ini tidak muncul bersama

kelainan congenital lainnya.

2. Fetal Embrionic form

10 35 % Bentuk ini ditandai dengan cholestatis yang muncul amat

cepat, dalam 2 minggu kehidupan pertama. Pada bentuk ini, saluran

empedu tidak terbentuk pada saat lahir dan biasanya disertai dengan

ii
kelainan congenital lainnya seperti situs inversus, polysplenia,malrotasi,

dan lain-lain.

gambar 1.2 atresia bilier ekstrahepatik (wikipedia.2006)

Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen

atau lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin,

menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis

empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi

hipertensi porta (Kamus Kedokteran Dorland 2002: 206).


Atresia bilier atau atresia biliaris ekstrahepatik merupakan proses

inflamasi progresif yang menyebabkan fibrosis saluran empedu intrahepatik

maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya akan terjadi obstruksi saluran

tersebut (Donna L. Wong 2008: 1028).

2.1.2 Etiologi

Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian

ahli menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan

adanya kelainan kromosom trisomi17, 18 dan 21; serta terdapatnya anomali

organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar penulis

berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang

merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi

ii
Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk janin atresia bilier,

seringkali memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa, atau usus.


Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier bukan merupakan

penyakit keturunan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar

identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut. Atresia bilier

kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama

hidup janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan yang "memicu" dapat

mencakup satu atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut:

a. infeksi virus atau bakteri


b. masalah dengan sistem kekebalan tubuh
c. komponen yang abnormal empedu
d. kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu
e. hepatocelluler dysfunction
2.1.3 Klasifikasi Atresia bilier
Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :

gambar 1.3 tipe atresia bilier

I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal

paten.
II. IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis,

duktus sistikus, dan kandung empedu semuanyanormal).


IIb. Obliterasi duktus bilier komunis, duktus hepatikus komunis,

duktus sistikus. Kandung empedu normal.


III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi,

sampai ke hilus.

ii
Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi

(correctable), sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi

(non-correctable). Sayangnya dari semua kasus atresia bilier, hanya 10% yang

tergolong tipe I dan II

2.1.4 Manifestasi Klinis


Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir.

Gejala penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah

hidup. Gejala-gejala termasuk:


1. Ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang

sangat tinggi (pigmen empedu) dalam aliran darah.


Jaundice disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada bayi

baru lahir. Ini biasanya hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari dari

kehidupan. Seorang bayi dengan atresia bilier biasanya tampak normal

saat lahir, tapi ikterus berkembang pada dua atau tiga minggu setelah lahir
Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk

pemecahan dari hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring

oleh ginjal dan dibuang dalam urin.


2. Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin

yang masuk ke dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat

menjadi bengkak akibat pembesaran hati.


3. Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat
degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus, dan

hepatomegali, Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak

yang larut dalam air sehingga menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi

lemak larut dalam air serta gagal tumbuh

Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:

ii
a. Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan

malnutrisi.
b. Gatal-gatal
c. Rewel

d. splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi

portal / Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang

mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).

2.1.5. Patofisiologi

Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan

yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik

sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu, dan tidak adanya atau

kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik

juga menyebabkan obstruksi aliran empedu


Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan

hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran

bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai

tinja yang alkoholik. Penyebab tersering obstruksi bilier ekstrahepatik

adalah : sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus koledokus,

karsinoma kaput pancreas, karsinoma ampula vateri, striktura pasca

peradangan atau operasi.


Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi

aliran normal empedu dari hati ke kantong empedu dan usus. Akhirnya

terbentuk sumbatan dan menyebabkan cairan empedu balik ke hati ini akan

menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati. Dan apabila asam empedu

ii
tertumpuk dapat merusak hati. Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis.

Kemudian terjadi pembesaran hati yang menekan vena portal sehingga

mengalami hipertensi portal yang akan mengakibatkan gagal hati.


Jika cairan empedu tersebar ke dalam darah dan kulit, akan

menyebabkan rasa gatal. Bilirubin yang tertahan dalam hati juga akan

dikeluarkan ke dalam aliran darah, yang dapat mewarnai kulit dan bagian

putih mata sehingga berwarna kuning. Degerasi secara gradual pada hati

menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegaly. Karena tidak ada aliran

empedu dari hati ke dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat

diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak yaitu vitamin A, D,E,K dan gagal

tumbuh.
Vitamin A, D, E, K larut dalam lemak sehingga memerlukan lemak

agar dapat diserap oleh tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin tersebut akan

disimpan dalam hati dan lemak didalam tubuh, kemudian digunakan saat

diperlukan. Tetapi mengkonsumsi berlebihan vitamin yang larut dalam lemak

dapat membuat anda keracunan sehingga menyebabkan efek samping seperti

mual, muntah, dan masalah hati dan jantung.


1. Vitamin A
Vitamin A terdapat dalam makanan berwarna kuning-oranye, berdaun

hijau gelap dan dalam bentuk retinol pada makanan yang berasal dari hewan.

Wortel, mangga, labu, pepaya, bayam, brokoli, selada air, kuning telur, susu

dan hati adalah makanan yang kaya vitamin A.


Vitamin A berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan tulang dan

jaringan epitel, meningkatkan kekebalan, dan memerangi radikal bebas

(antioksidan). Kekurangan vitamin A adalah penyebab utama kebutaan pada

anak-anak di banyak negara berkembang.

ii
2. Vitamin D
Ikan berlemak seperti sarden, mackerel, tuna, telur, makanan yang

diperkaya seperti margarin dan sereal adalah sumber vitamin D. Vitamin ini

sangat penting untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tulang karena

mengontrol penyerapan kalsium dan fosfor yang penting untuk metabolisme

tulang. Kekurangan vitamin D pada anak-anak akan menyebabkan penyakit

rakhitis, dan pada orang dewasa menyebabkan osteomalasia, kondisi di mana

tulang menjadi lemah dan lunak. Vitamin D dapat diproduksi tubuh saat kulit

menerima ultraviolet dari sinar matahari. Kekurangan vitamin D dapat terjadi

pada mereka yang memiliki diet rendah vitamin D atau jarang terkena sinar

matahari. Dosis besar vitamin dapat menyebabkan kelebihan kalsium,

terutama pada anak-anak, yang mengganggu pembentukan tulang. Namun,

hal tersebut sangat jarang terjadi. Tidak ada rekomendasi mengenai diet

vitamin D untuk orang dewasa yang hidup normal dan cukup terpapar sinar

matahari.
3. Vitamin E
Vitamin E hadir dalam minyak wijen, kacang kedelai, beras, jagung

dan biji bunga matahari, kuning telur, kacang-kacangan dan sayuran. Vitamin

ini adalah antioksidan penting yang mencegah penuaan dini sel-sel,

merangsang sistem kekebalan tubuh, mengurangi risiko katarak, melindungi

dari penyakit jantung, mencegah penyakit kanker dan menjaga kesehatan

kulit. Kekurangan vitamin E pada manusia jarang terjadi, kecuali pada bayi

prematur dan mereka yang memiliki masalah pencernaan.


4. Vitamin K
Selada, kubis, kembang kol, bayam, kangkung, susu, dan sayuran

berdaun hijau tua adalah sumber terbaik vitamin ini. Vitamin K terlibat dalam

ii
pembekuan darah dan kekurangannya dapat menyebabkan perdarahan

berlebihan dan kesulitan dalam penyembuhan. Kekurangan vitamin ini jarang

terjadi, kecuali pada bayi baru lahir dan mereka yang memiliki masalah

penyerapan atau metabolisme vitamin, seperti penderita penyakit hati kronis.

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar

komponen bilirubin untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia

fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji

fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak

sesuaidengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10

kali dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu

kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5kali dengan

peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis

ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak

menyingkirkan kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan

gamma-GT, bilirubin serum total atau bilirubin direk, dan

alkalifosfatase mempunyai spesifisitas 92,9% dalam menentukan

atresia bilier.
1) Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada

pasien yang mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif.

Hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.


2) Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi warna

pada tinja / stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.

ii
3) Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan :

protombin time, partial thromboplastin time.


b. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya

diagnostik yang cukup sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa

pemeriksaan ini tidak lebih baik dari pemeriksaan visualisasi tinja.

Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar bilirubin dalam empedu

hanya10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah

60%, maka tidak adanya asam empedu di dalam cairan duodenum

dapat menentukan adanya atresia bilier.


2. Pencitraan
a. Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan

dapat ditingkatkan bilapemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu

pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah minum.Bila pada saat

atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi, maka atresia

bilier kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal

duktus bilier, tidak ditemukannya kandung empedu, dan

meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung diagnosisatresia

bilier. Namun demikian, adanya kandung empedu tidak

menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe

I / distal.
b. Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop

Technetium 99m mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%.

Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada pasien diberikan fenobarbital

5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5 hari. Pada

ii
kolestasisintrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung

lambat tetapi ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia

bilier proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya keusus

lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis

intrahepatik yang beratjuga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke

duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas danspesifisitas

pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks hepatik

(penyebaran isotop dihati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks

hepatik > 5 dapat menyingkirkan kemungkinanatresia bilier,

sedangkan indeks hepatik < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya

atresia bilier.Teknik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan

DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi mengemukakan

bahwa dalam mendetcksi atresia bilier, yang terbaik

adalahmenggabungkan basil pemeriksaan USG dan sintigrafi.


c. Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA

(Hepatobiliary Iminodeacetic Acid). Hida melakukan pemotretan pada

jalur dari empedu dalam tubuh, sehingga dapat menunjukan bilamana

ada blokade pada aliran empedu.


d. Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio

Pancreaticography). Merupakan upaya diagnostik dini yang berguna

untuk membedakan antara atresia bilier dengan kolestasisintrahepatik.

Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat dilakukan

pemeriksaan kolangiografi durante operasionam.

ii
Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku

emas untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.

3. Biopsi hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling

dapat diandalkan. Ditangan seorang ahli patologi yang berpengalaman,

akurasi diagnostiknya mencapai 95%,sehingga dapat membantu

pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi eksplorasi,

danbahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran

empedu pasca operasi Kasai di 6 tukan oleh diameter duktus bilier yang

paten di daerah hilus hati. Bila diameter duktus100 200 u atau 150

400 u maka aliran empedu dapat terjadi. Desmet dan Ohya

menganjurkan agar dilakukan frozen section pada saat laparatomi

eksplorasi, untuk menentukan apakah portoenterostomi dapat

dikerjakan. Gambaran histopatologik hati yang mengarah ke atresia

bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini. Yang menjadi

pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk melakukan biopsi

hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi duktuler (gambaran

histopatologik yang menyokong diagnosis atresia bilier tetapi tidak

patognomonik) memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan

untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu

2.1.7 Penatalaksanaan

1. Terapi medikamentosa
a. Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama

asam empedu (asamlitokolat), dengan memberikan :

ii
1) Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.
2) Fenobarbital akan merangsang enzimglukuronil transferase (untuk

mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk);

enzimsitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+

ATPase (menginduksi aliranempedu). Kolestiramin 1

gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu.

Kolestiraminmemotong siklus enterohepatik asam empedu

sekunder
b. Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : Asam

ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam

ursodeoksikolatmempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam

litokolat yang hepatotoksik.


2. Terapi nutrisi
Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan

berkembang seoptimal mungkin, yaitu :


a. Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides

(MCT) untuk mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat

metabolisme. Disamping itu, metabolisme yang dipercepat akan

secara efisien segera dikonversi menjadi energy untuk secepatnya

dipakai oleh organ dan otot, ketimbang digunakan sebagai lemak

dalam tubuh. Makanan yang mengandung MCT antara lain seperti

lemak mentega, minyak kelapa, dan lainnya.


b. Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Seperti

vitamin A, D, E, K
3. Terapi bedah
a. Kasai Prosedur
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang

mengalirkan empedu keusus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan

ii
pada 5-10% penderita. Untuk melompati atresia bilier dan langsung

menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan pembedahan yang

disebut prosedur Kasai. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan

pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan

hati.
b. Pencangkokan atau Transplantasi Hati
Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk

atresia bilier dan kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara

dramatis dalam beberapa tahun terakhir. Karena hati adalah organ satu-

satunya yang bisa bergenerasi secara alami tanpa perlu obat dan fungsinya

akan kembali normal dalam waktu 2 bulan. Anak-anak dengan atresia

bilier sekarang dapat hidup hingga dewasa, beberapa bahkan telah

mempunyai anak. Kemajuan dalam operasi transplantasi telah juga

meningkatkan kemungkianan untuk dilakukannya transplantasi pada anak-

anak dengan atresia bilier. Di masa lalu, hanya hati dari anak kecil yang

dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati harus cocok. Baru-

baru ini, telah dikembangkan untuk menggunakan bagian dari hati orang

dewasa, yang disebut"reduced size" atau "split liver" transplantasi, untuk

transplantasi pada anak dengan atresia bilier.

Berdasarkan treatment yang diberikan :


a. Palliative treatment
Dilakukan home care untuk meningkatkan drainase empedu dengan

mempertahankan fungsi hati dan mencegah komplikasi kegagalan hati.


b. Supportive treatment
1. Managing the bleeding dengan pemberian vitamin K yang berperan

dalam pembekuan darah dan apabila kekurangan vitamin K dapat

ii
menyebabkan perdarahan berlebihan dan kesulitan dalam

penyembuhan. Ini bisa ditemukan pada selada, kubis, kol, bayam,

kangkung, susu, dan sayuran berdaun hijau tua adalah sumber terbaik

vitamin ini.
a. Nutrisi support, terapi ini diberikan karena klien dengan atresia

bilier mengalami obstruksi aliran dari hati ke dalam usus sehingga

menyebabkan lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat

diabsorbsi. Oleh karena itu diberikan makanan yang mengandung

medium chain triglycerides (MCT) seperti minyak kelapa.


b. Perlindungan kulit bayi secara teratur akibat dari akumulasi toksik

yang menyebar ke dalam darah dan kulit yang mengakibatkan gatal

(pruiritis) pada kulit.


c. Pemberian health edukasi dan emosional support, keluarga juga

turut membantu dalam memberikan stimulasi perkembangan dan

pertumbuhan klien.

2.1.8 Komplikasi

1. Kolangitis:
komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus,

dengan aliran empedu yang tidak baik, dapat menyebabkan ascending

cholangitis. Hal ini terjadi terutamadalam minggu-minggu pertama atau

bulan setelah prosedur Kasai sebanyak 30-60% kasus.Infeksi ini bisa berat

dan kadang-kadang fulminan. Ada tanda-tanda sepsis (demam,

hipotermia,status hemodinamik terganggu), ikterus yang berulang, feses

acholic dan mungkin timbul sakitperut. Diagnosis dapat dipastikan dengan

kultur darah dan / atau biopsi hati.


2. Hipertensi portal:

ii
Portal hipertensi terjadi setidaknya pada dua pertiga dari anak-anak

setelah portoenterostomy. Hal paling umum yang terjadi adalah varises

esofagus.
3. Hepatopulmonary syndrome dan hipertensi pulmonal:
Seperti pada pasien dengan penyebab lain secara spontan (sirosis

atau prehepatic hipertensi portal) atau diperoleh (bedah) portosystemic

shunts, shunts pada arterivenosus pulmo mungkin terjadi. Biasanya, hal

inimenyebabkan hipoksia, sianosis, dan dyspneu. Diagnosis dapat

ditegakan dengan scintigraphyparu. Selain itu, hipertensi pulmonal dapat

terjadi pada anak-anak dengan sirosis yang menjadi penyebab kelesuan

dan bahkan kematian mendadak. Diagnosis dalam kasus ini dapat

ditegakan oleh echocardiography. Transplantasi liver dapat membalikan

shunts, dan dapat membalikkan hipertensi pulmonal ke tahap semula.


4. Keganasan:
Hepatocarcinomas, hepatoblastomas, dan cholangiocarcinomas

dapat timbul padapasien dengan atresia bilier yang telah mengalami

sirosis. Skrining untuk keganasan harusdilakukan secara teratur dalam

tindak lanjut pasien dengan operasi Kasai yang berhasil.


Hasil setelah gagal operasi Kasai
Sirosis bilier bersifat progresif jika operasi Kasai gagal untuk

memulihkan aliran empedu,dan pada keadaan ini harus dilakukan

transplantasi hati. Hal ini biasanya dilakukan di tahun kedua kehidupan,

namun dapat dilakukan lebih awal (dari 6 bulan hidup) untuk mengurangi

kerusakan dari hati. Atresia bilier mewakili lebih dari setengah dari

indikasi untuk transplantasi hati di masa kanak-kanak. Hal ini juga

mungkin diperlukan dalam kasus-kasus dimana pada awalnya sukses

ii
setelah operasi Kasai tetapi timbul ikterus yang rekuren (kegagalan

sekunder operasi Kasai), atau untuk berbagai komplikasi dari sirosis

(hepatopulmonary sindrom).

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian

1. Identitas
Meliputi Nama,Umur, Jenis Kelamin dan data-data umum lainnya. Hal

ini dilakukan sebagai standar prosedur yang harus dilakukan untuk mengkaji

keadaan pasien. Umumnya Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada

perempuan. Atresia bilier dtemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio

atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1.
2. Keluhan Utama
Keluhan utama dalam penyakit Atresia Biliaris adalah Jaundice dalam 2

minggu sampai 2 bulan Jaundice adalah perubahan warna kuning pada kulit

dan mata bayi yang baru lahir. Jaundice terjadi karena darah bayi

mengandung kelebihan bilirubin, pigmen berwarna kuning pada sel darah

merah.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Anak dengan Atresia Biliaris mengalami Jaundice yang terjadi dalam

2 minggu atau 2 bulan lebih, apabila anak buang air besar tinja atau feses

berwarna pucat. Anak juga mengalami distensi abdomen, hepatomegali,

lemah, pruritus. Anak tidak mau minum dan kadang disertai letargi

(kelemahan)
4. Riwayat Penyakit Dahulu

ii
Adanya suatu infeksi pada saat Infeksi virus atau bakteri masalah dengan

kekebalan tubuh. Selain itu dapat juga terjadi obstruksi empedu ektrahepatik.

yang akhirnya menimbulkan masalah dan menjadi factor penyebab terjadinya

Atresia Biliaris ini.


Riwayat Imunisasi: imunisasi yang biasa diberikan yaitu BCG, DPT,

Hepatitis, dan Polio.


5. Riwayat Perinatal
a. Antenatal:
Pada anak dengan atresia biliaris, diduga ibu dari anak pernah

menderita infeksi penyakit, seperti HIV/AIDS, kanker, diabetes

mellitus, dan infeksi virus rubella


b. Intra natal:
Pada anak dengan atresia biliaris diduga saat proses kelahiran bayi

terinfeksi virus atau bakteri selama proses persalinan.


c. Post natal:
Pada anak dengan atresia diduga orang tua kurang memperhatikan

personal hygiene saat merawat atau bayinya. Selain itu kebersihan

peralatan makan dan peralatan bayi lainnya juga kurang diperhatikan

oleh orang tua ibu.


6. Riwayat Kesehatan Keluarga
Anak dengan atresia biliaris diduga dalam keluarganya, khususnya pada

ibu pernah menderita penyakit terkait dengan imunitas HIV/AIDS, kanker,

diabetes mellitus, dan infeksi virus rubella. Akibat dari penyakit yang di

derita ibu ini, maka tubuh anak dapat menjadi lebih rentan terhadap penyakit

atresia biliaris. Selain itu terdapat kemungkinan adanya kelainan kongenital

yang memicu terjadinya penyakit atresia biliaris ini.


7. Pemeriksaan Tingkat Perkembangan
Pemeriksaan tingkat perkembangan terdiri dari adaptasi sosial, motorik

kasar, motorik halus, dan bahasa. Tingkat perkembangan pada pasien atresia

ii
biliaris dapat dikaji melalui tingkah laku pasien maupun informasi dari

keluarga. Selain itu, pada anak dengan atresia biliaris, kebutuhan akan asupan

nutrisinya menjadi kurang optimal karena terjadi kelainan pada organ hati dan

empedunya sehingga akan berpengaruh terhadap proses tumbuh kembangnya.


8. Keadaan Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit
Kedaan lingkungan yang mempengaruhi timbulnya atresia pada anak

yaitu pola kebersihan yang cenderung kurang. Orang tua jarang mencuci

tangan saat merawat atau menetekkan bayinya. Selain itu, kebersihan botol

atau putting ketika menyusui bayi juga kurang diperhatikan.


9. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Aktivitas/Istirahat : Pola aktivitas dan istirahat anak dengan atresia

biliaris terjadi gangguan yaitu ditandai dengan anak gelisah dan rewel

yang gejalanya berupa letargi atau kelemahan


b. Pola Sirkulasi : Pola sirkulasi pada anak dengan atresia biliaris adalah

ditandai dengan takikardia, berkeringat yang berlebih, ikterik pada sklera

kulit dan membrane mukosa.


c. Pola Eliminasi : Pola eliminasi pada anak dengan atresia biliaris yaitu

terdapat distensi abdomen dan asites yang ditandai dengan urine yang

berwarna gelap dan pekat. Feses berwarna dempul, steatorea. Diare dan

konstipasi pada anak dengan atresia biliaris dapat terjadi.


d. Pola Nutrisi : Pola nutrisi pada anak dengan atresia biliaris ditandai

dengan anoreksia,nafsu makan berkurang, mual-muntah, tidak toleran

terhadap lemak dan makanan pembentuk gas dan biasanya disertai

regurgitasi berulang.
e. Pola kognitif dan persepsi sensori: pola ini mengenai pengetahuan orang

tua terhadap penyakit yang diderita klien


f. Pola konsep diri: bagaimana persepsi orang tua dan/atau

anak terhadap pengobatan dan perawatan yang akan dilakukan.

ii
g. Pola hubungan-peran: biasanya peran orang tua sangat dibutuhkan dalam

merawat dan mengobati anak dengan atresia biliaris.


h. Pola seksual-seksualitas: apakah selama sakit terdapat gangguan atau

tidak yang berhubungan dengan reproduksi sosial. Pada anak yang

menderita atresia biliaris biasanya tidak ada gangguan dalam reproduksi.


i. Pola mekanisme koping: keluarga perlu memeberikan dukungan dan

semangat sembuh bagi anak.


j. Pola nilai dan kepercayaan: orang tua selalu optimis dan berdoa agar

penyakit pada anaknya dapat sembuh dengan cepat.

10. Pemeriksaan Fisik


a. Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu

berupa:
1) Air kemih bayi berwarna gelap
2) Tinja berwarna pucat
3) Kulit berwarna kuning
4) Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan

berlangsung lambat
5) Hati membesar.
b. Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala

berikut:
1) Gangguan pertumbuhan
2) Gatal-gatal
3) Rewel
4) Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang

mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).


c. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum : lemah.
TTV : Tekanan Darah : terjadi peningkatan terutama

pada vena porta


Suhu : Suhu tubuh dalam batas normal
Nadi : takikardi
RR : terjadi peningkatan RR akibat diafragma

yang tertekan (takipnea)


2) Kepala dan leher

ii
Inspeksi : Wajah
: simetris
Rambut : lurus/keriting, distribusi merata/tidak
Mata : pupil miosis, konjungtiva anemis
Hidung : kemungkinan terdapat pernafasan cuping
Hidung
Telinga : bersih
Bibir dan mulut : mukosa biibir kemungkinan terdapat

ikterik
Lidah : normal
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid dan

limfe pada leher


3) Dada
Inspeksi : asimetris, terdapat tarikan otot bantu

pernafasan dan tekanan pada otot diafragma akibat

pembesaran hati (hepatomegali).


Palpasi : denyutan jantung teraba cepat, terdapat

nyeri tekan(-)
Perkusi : Jantung : dullness
Paru : sonor
Auskultasi : tidak terdengar suara ronchi kemungkinan

terdengar bunyi wheezing


4) Abdomen
Inspeksi : terdapat distensi abdomen
Palpasi : dapat terjadi nyeri tekan ketika dipalpasi
Perkusi : sonor
Auskultasi : kemungkinan terjadi pada bising usus
5) Kulit
Turgor kurang, pucat, kulit berwarna kuning (jaundice)
6) Ekstremitas
Tidak terdapat odem pada pada extremitas
11. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1) Bilirubin direk dalam serum meninggi (nilai normal bilirubin total <

12 mg/dl) karena kerusakan parenkim hati akibat bendungan empedu

yang luas.
2) Tidak ada urobilinogen dalam urine.

ii
3) Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase

alkalifosfatase (5-20 kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi lipid

(kolesterol fosfolipid trigiliserol)


b.Pemeriksaan diagnostik
1) USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab

kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa dilatasi kristik saluran

empedu)
2) Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan

duodenum di aspirasi. Jika tidak ditemukan cairan empedu dapat

berarti atresia empedu terjadi


3) Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan

hati memproduksi empedu dan mengekskresikan ke saluran empedu

sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak ditemukan empedu di

duodenum, maka dapat berarti terjadi katresia intra hepatik


4) Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan

noduler. Kandung empedu mengecil karena kolaps. 75% penderita

tidak ditemukan lumen yang jelas


2.2.2 Diagnosa Keperawatan
a. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan

gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan

konjungtiva anemis
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi

abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien


c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif

pada duktusbilier ekstrahepatik


d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan

vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah

pasien
e. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi

ii
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
2.2.3 Perencanaan Keperawatan
a. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan

gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva

anemis

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan Kaji distensi abdomen
Pantau masukan nutrisi dan perhatikan
keperawatan 2 x 24 jam selama proses
frekuensi muntah klien
keperawatan, diharapkan pola nutrisi Timbang BB setiap hati
Berikan diet yang sedikit namun sering
pasien menjadi adekuat Atur kebersihan oral sebelum makan
Kriteria Hasil: Konsulkan dengan ahli diet sesuai
a. BB pasien stabil
b. Konjungtiva tidak anemis indikasi
Berikan diet rendah lemak, tinggi serat,

dan batasi makanan penghasil gas


Kolaborasikan pemberian makanan yang

mengandung MCT sesuai indikasi


Monitor kadar albumin, protein sesuai

program
10. Berikan vitamin-vitamin larut lemak (A,

D, E, K)

b. Diagnosa keperawatan: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan

peningkatan distensi abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Tujuan: Setelah dilakukan perawatan 2 Kaji distensi abdomen
Kaji RR, kedalaman nafas, dan kerja
x 24 jam, diharapkan pasien
pernafasan
menunjukkan tanda-tanda pola nafas Awasi klien agar tidak sampai

yang efektif mengalami leher tertekuk


Kriteria Hasil: Posisikan klien semi ekstensi atau
a. RR mencapai 30-40 napas/mnt

ii
b. Kedalaman inspirasi dan kedalaman eksensi pada saat beristirahat
Kolaborasikan operasi apabila
bernafas
c. Tidak ada penggunaan otot bantu dibutuhkan

nafas pada pasien

c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada

duktusbilier ekstrahepatik, ditandai oleh peningkatan suhu tubuh, dan pasien

demam

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Tujuan: setelah dilakukan pemeriksaan Berikan kompres air biasa pada daerah

keperawatan 1 x 24 jam diharapkan aksila, kening, leher, dan lipatan paha


Pantau suhu minimal setiap 2 jam sekali
suhu tubuh pasien akan kembali
disesuaikan dengan kebutuhan
menjadi normal Berikan pasien pakaian tipis
Kriteria Hasil: Menipulasi lingkungan menjadi
a. Nadi dan pernapasan dalam rentang
senyaman mungkin seperti penggunaan
normal
b. Suhu normal 36,50 37,50 kipas angin atau AC
Kolaborasikan pemberian obat anti

piretik sesuai kebutuhan

d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting

pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Tujuan: pasien akan mempertahankan Pantau asupan dan carian pasien perjam

keseimbangan cairan dan elektrolit (cairan infus, susu per NGT, atau jumlah

setelah dilakukan perawatan didalam ASI yang diberikan


Periksa feses pasien tiap harinya
rumah sakit selama 2 x 24 jam Pantau lingkar perut pasien
Kriteria Hasil: Observasi tanda-tanda dehidrasi
a. Kembalinya pengisian kapiler darah Kolaborasikan pemeriksaan elektrolit

kurang dari 3 detik pasien, kadar protein total, albumin,

ii
b. Turgor kulit membaik nitrogen urea darah dan kreatinin serta
c. Produksi urin 1-2ml/kgBB/jam
darah lengkap

e. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Tujuan: pola BAB pasien normal setelah
1. Evaluasi jenis intake makanan
2. Monitor kulit sekitar perianal terhadap
perawatan yang dilakukan 2 x 24 jam
Kriteria Hasil: adanya iritasi dan ulserasi
a. Tidak ada diare 3. Ajarkan pada keluarga penggunaan
b. Elektrolit normal
c. Asam basa normal obat anti diare
4. Instruksikan pada pasien dan keluarga

untuk mencatat warna, volume,

frekuensi dan konsistensi feses


5. Kolaborasi jika tanda dan gejala diare

menetap
6. Monitor hasil Lab (elektrolit dan

leukosit)
7. Monitor turgor kulit, mukosa oral

sebagai indikator dehidrasi


8. Konsultasi dengan ahli gizi untuk diet

yang tepat

f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

ii
Tujuan: pasien akan dapat beraktivitas
1. Observasi adanya pembatasan klien

secara normal setelah pemeriksaan dalam melakukan aktivitas


2. Kaji adanya faktor yang menyebabkan
yang dilakukan 2 x 24 jam
Kriteria Hasil: kelelahan
a. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik 3. Monitor nutrisi dan sumber energi yang

tanpa disertai peningkatan tekanan adekuat


4. Monitor respon kardivaskuler terhadap
darah, nadi dan RR
b. Mampu melakukan aktivitas sehari aktivitas (takikardi, disritmia, sesak nafas,

hari (ADLs) secara mandiri diaporesis, pucat, perubahan


c. Keseimbangan aktivitas dan istirahat
hemodinamik)
5. Monitor pola tidur dan lamanya

tidur/istirahat pasien
6. Bantu klien untuk mengidentifikasi

aktivitas yang mampu dilakukan

2.2.4 Implimentasi Keperawatan


1. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan

gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva

anemis
a. mengkaji adanya distensi pada abdomen pasien
b. memantau masukan nutrisi dan frekuensi muntah
c. menimbang berat badan pasien
d. mengkolaborasikan pemberian diet pada pasien sedikit namun sering
e. mempertahankan kebersihan oral pasien sebelum makan
f. mengkonsultasikan dengan ahli diet sesuai indikasi
g. memberikan diet rendah lemak, tinggi serat, dan batasi makanan penghasil

gas
h. memberikan makanan mengandung MCT sesuai indikasi
i. memonitor laboratorium untuk kadar albumin dan protein sesuai program
j. memberikan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi

abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien


a. mengkaji ada tidaknya distensi abdomen klien
b. mengkaji RR, kedalaman nafas, dan kerja pernafasan

ii
c. mengawasi leher klien agar tidak tertekuk atau memosisikan leher klien

semi ekstensi saat istirahat


d. mempersiapkan operasi apabila diperlukan
3. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada

duktusbilier ekstrahepatik
a. memberikan kompres air biasa pada aksila, kening, leher, dan lipatan paha
b. memantau suhu minimal setiap 2 jam sekali sesuai kebutuhan
c. memberikan pasien pakaian tipis
d. memanipulasi lingkungan senyaman mungkin bagi pasien dengan

penggunaan AC / kipas angin


4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting

pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
a. memantau asupan dan cairan pasien perjam
b. memeriksa feses pasien setiap hari
c. memantau lingkar perut bayi
d. mengobservasi tanda-tanda dehidrasi pada pasien
e. mengkolaborasikan pemeriksaan elektrolit, kadar protein total termasuk

albumin, nitrogen urea, darah dan kreatinin serta darah lengkap


5. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.
a. Mengvaluasi jenis intake makanan
b. Memonitor kulit sekitar perianal terhadap adanya iritasi dan ulserasi
c. Mengajarkan pada keluarga penggunaan obat anti diare
d. Menginstruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat warna,

volume, frekuensi dan konsistensi feses


e. Berkolaborasi jika tanda dan gejala diare menetap
f. Memonitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit)
g. Memonitor turgor kulit, mukosa oral sebagai indikator dehidrasi
h. Berkonsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang tepat
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
a. Mengobservasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
b. Mengkaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
c. Memonitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
d. Memonitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas (takikardi, disritmia,

sesak nafas, diaporesis, pucat, perubahan hemodinamik)


e. Memonitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
f. Membantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
2.2.5. Evaluasi

ii
1. Diagnosa 1: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia

dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva

anemis
S: Orang tua pasien mengatakan jika sang anak tidak mau menghabiskan

makanannya
O: BB menurun, Muntah, dan konjungtiva tampak anemis
A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan intervensi
2. Diagnosa 2: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan

distensi abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien


S: Orang tua mengeluhkan anaknya sering sesak
O: adanya sesak nafas, RR: 60 x/menit
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
3. Diagnosa 3: Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan

progresif pada duktusbilier ekstrahepatik


S: Pasien mengatakan tubuhnya panas
O: suhu meningkat, takikardi, dan RR meningkat
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
4. Diagnosa 4: Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya

nausea dan vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan

muntah pasien
S: Keluarga mengatakan sejak pagi pasien muntah-muntah setelah makan
O: muntah sebanyak gelas kecil, wajah terlihat pucat dan sianosis
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
5. Diagnosa 5: Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan

malabsorbsi
S: keluarga mengatakan pasien sudah mulai berkurang BABnya
O: pasien BAB 2 kali dalam sehari, dengan konsentrasi cair
A: masalah teratasi sebangian
P: lanjutkan intervensi
6. Diagnosa 6: Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
S: pasien mengatakan sudah dapat beraktivitas, dan tidak lelah
O: nadi 95 kali / menit, RR: 21 kali / menit
A: masalah teratasi
P: lanjutkan intervensi

ii
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam

pipa/saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju

ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi congenital, yang

berarti terjadi saat kelahiran.


Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli

menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan

adanya kelainan kromosom trisomi17, 18 dan 21; serta terdapatnya anomali

organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar penulis

berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang

merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi.

Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir.

Gejala penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah

hidup. Gejala-gejala seperti Ikterus, Jaundice Urin gelap Tinja berwarna

pucat, Penurunan berat badan dan ini berkembang ketika tingkat ikterus

meningkat.

3.2 Saran

Bagi mahasiswa keperawatan agar dapat memahami konsep dasar asuhan

keperawatan agar dapat menjalankan praktek klinik dan bagi perawat

ii
Perlu deteksi dini kasus atresia bilier dan pemberian penatalaksanaan

yang tepat demi tercapainya pertumbuhan fisik dan perkembangan mental

yang optimal bagi penderita atresia bilier

DAFTAR PUSTAKA

Oldham, Keith T.et all (eds); Biliary Atresia at Principles and Practice of Pediatric

Surgery, 4th Edition.


Carpenito, Lynda Juall. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.

Parlin Ringoringo. 1991. Atresia Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak,FK UI,

RSCM. from: url: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15AtresiaBilier086.pdf /

15AtresiaBilier086.html

Widodo Judarwanto. 2010. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir

yang berkepanjangan. From : url

:http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2010/02/07/atresia-bilier waspadai-

bila-kuning-bayi-baru-lahir-yang-berkepanjangan/

ii
Mark Davenport. Biliary Atresia. London: 2010. Available from : url :

http://asso.orpha.net/OFAVB/__PP__4.html
ST.Louis Children's Hospital. Biliary Atresia. Washington University School of

Medicine.2010. Available from : url :

http://www.stlouischildrens.org/content/greystone_779.htm
North American Society For Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and

Nutrition.Biliary Atresia. From : url: http: //www.naspghan.org/ userassets/

Documents/pdf /diseaseInfo/BiliaryAtresia-E.pdf
Steven M. Biliary Atresia. Emedicine. 2009. Available From: url: http://

emedicine. medscape.com/ article/927029-overview


Sjamsul Arief. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu

Kesehatan Anak FK UNAIR.Surabaya. 2006. Available from : url

:http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-ena504-pkb.pdf

ii

Anda mungkin juga menyukai