Anda di halaman 1dari 12

Daftar Pustaka

1. Balistreri WF, Gand R, Hoofnagle JH, et al. Biliary atresia: current concept and
research direction. Summery of a syposium. Hepatology 1996; 23:1682-92.

2. Karrer FM, Bensard DD. Neonatal cholestasis. Semin Peditr Surg 2000;9;166-9

3. Chardot C, Carton M, Spire-Bedelac N, et al. Epidemiology of biliary atresia in


France : a national study 1986-96. J Hepatol 1999;31:1006-13

4. Sokol RJ, Mack C, Narkewicz MR, Karrer FM. Pathogenesis and Outcome of
Biliary Atresia: Current Concept. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2003;37:4-21

5. Tyler KL, Sokol RJ, Oberhaus SM, et al. Detection of reovirus RNA in
hepatobiliary tissues from patients with extrahepatic biliary atresia and choledochal
cyst. Hepatology 1998,27:1475-82

6. Silveira TR, Salzano FM, Donaldson PT et al. Association between HLA and
extrahepatic biliary atresia. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1993:16:114-117.

7. Vasiliauskas E, Targan S, Cobb L, et al. Biliary atresia- an autoimmune disorder ?


Hepatology 1995;22(4 Pt2):87

8. Sokol RJ, Mack C. Ethiopathogenesis of biliary atresia. Semin Liver Dis


2001;21:517-24

9. Narkewicz MR. Biliary atresia:an update on our understanding of the disorder.


Curr Opin Pediatr 2001;13:435-40.

10. SetchellK, O’Connell N. Disorder of bile acids synthesis and metabolism : a


metabolic basis for liver diseases. In : Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF,eds. Liver
Diseases in Children. Philadephia:Lippincott,Williams & Wilkins 2001:701-34.
Med 1997;38:1279-82
BAB II

I.Definisi
Atresia biliaris merupakan suatu keadaan di mana sistem bilier ekstrahepatik
mengalami hambatan atau tidak ada sama sekali sehingga mengakibatkan obstruksi
pada aliran empedu. Kelainan ini merupakan salah satu penyebab utama kolestasis
yang harus segera mendapat terapi bedah bahkan tranplantasi hati pada
kebanyakan bayi baru lahir.Jika tidak segera dibedah, maka sirosis bilier sekunder
dapat terjadi. Pasien dengan atresia biliaris dapat dibagi menjadi 2 kelompok yakni,
atresia biliaris terisolasi yang terjadi pada 65-60% pasien, namun menurut Hassan
dan William, presentasenya dapat mencapai 85-90% pasien (bukti atresia diketahui
pada minggu ke 2-8 pasca lahir), dan pasien yang mengalami situs inversus atau
polysplenia/asplenia dengan atau tanpa kelainan kongenital lainnya, yang terjadi
pada 10-35% kasus (bukti atresia diketahui < 2 minggu pasca lahir).

Kelainan patologi sistem bilier ekstrahepatik berbeda-beda pada setiap pasien.


Namun jika disederhanakan, maka kelainan patologis itu dapat diklasifikasikan
berdasarkan lokasi atresia yang sering ditemukan:
• Tipe 1: terjadi atresia pada ductus choledocus
• Tipe II: terjadi atresia pada ductus hepaticus communis, dengan stuktur kistik
ditemukan pada porta hepatis
• Type III (ditemukan pada >90% pasien): terjadi atresia pada ductus hepaticus
dextra dan sinistra hingga setinggi porta hepatis.
Varian-varian di atas tidak boleh disamakan dengan hipoplasia bilier intrahepatis
yang tidak dapat dikoreksi meskipun dengan pembedahan sekali pun.

II. INSIDENS
Insidens terjadinya atresia biliaris di Amerika Serikat adalah 1 per 10.000-15.000
kelahiran hidup.Sedangkan secara internasional, insidens atresia biliaris termasuk
tinggi di populasi asia. Dan atresia biliaris lebih sering ditemukan pada bayi-bayi
Cina dibanding pada bayi-bayi di Jepang. Insidens tinggi juga ditemukan pada
pasien dengan ras kulit hitam yang dapat mencapai 2 kali lipat insidens bayi ras kulit
putih.Dari segi gender, atresia biliaris lebih sering ditemukan pada anak perempuan.
Dari segi usia, atresia biliaris lebih sering ditemukan pada bayi-bayi baru lahir
dengan rentang usia kurang dari 8 minggu.
III. ETIOLOGI
Atresia biliaris jarang ditemukan pada bayi lahir mati ataupun bayi prematur yang
semakin mendukung kemungkinan etiologi pada akhir masa kehamilan. Sebaliknya,
pada bayi yang mengalami hepatitis neonatal, yang merupakan diagnosis banding
utama atresia biliaris,lebih sering terjadi pada bayi prematur, kecil masa kehamilan
(KMK) ataupun keduanya. Adapun beberapa etiologi yang dapat menyebabkan
atresia biliaris antara lain:
• Agen infeksius
Belum ditemukan satu agen pasti yang dapat menyebabkan atresia biliaris,
meskipun peranan organisme infeksius sudah dipelajari secara luas. Fischler dkk
melaporkan infeksi sitomegalovirus pada 25% bayi yang menderita atresia biliaris.
Menariknya, beberapa peneliti melaporkan adanya peningkatan infeksi
sitomegalovirus yang lebih tinggi lagi pada bayi-bayi yang menderita hepatitis
neonatus idiopatik. Hal ini semakin mendukung konsep yang menjelaskan bahwa
kelainan atresia biliaris memiliki spektrum patologis yang sama dengan hepatitis
neonatus idiopatik. Investigasi pada reovirus tipe 3 justru menghasilkan hasil yang
berlawanan. Wilson dkk menemukan virus ini merusak duktus biliaris dan hepatosit
pada tikus. Sedangkan pada penelitian lain, Steele dkk gagal menemukan bukti
infeksi pada bayi yang mengalami kolestasis. Penelitian lain sudah berusaha
mencari peran rotavirus grup A, B dan C serta virus hepatitis A, B, C yang biasa
menyerang hati, namun hingga kini belum ditemukan hubungan yang dapat
menyebabkan atresia biliaris.
• Faktor genetik
Adanya bentuk atresia biliaris yang terjadi pada usia di bawah 2 minggu kehidupan
yang selalu berasosiasi dengan kelainan kongenital lainnya, memberikan
kemungkinan adanya hubungan antara faktor genetis dengan insidens atresia
biliaris. Beberapa penelitian telah menemukan adanya mutasi genetis spesifik pada
tikus yang mengalami heterotaksi viseral dan kelainan jantung, yang mana kelainan
ini menyerupai bentuk kelainan yang ditemukan pada atresia biliaris tipe yang usia
bayinya < 2 minggu. Abnormalitas genetik lainnya termasuk delesi gen c-jun tikus
(sebuah faktor transkripsi proto-oncogen) dan mutasi faktor gen transkripsi
homeobox yang berhubungan dengan kelainan hati dan limpa. Tapi masih belum
dapat dijelaskan hubungan langsung antara mutasi gen ini dengan atresia biliaris.
• Penyebab lain
Kelainan pada proses sintesis asam empedu dicurigai juga sebagai penyebab
atresia biliaris. Faktanya, asam empedu memang memiliki kontribusi yang besar
terhadap kerusakan hepatoseluler dan kerusakan ductus bilier pada semua pasien
atresia biliaris. Namun tetap saja, tidak ditemukan hubungan pasti antara kelainan
pembentukan asam empedu dengan peristiwa terbentukanya atresia biliaris.
Beberapa peneliti lain berusaha mempelajari efek agen potensial lain seperti
teratogen dan faktor imunologis. Tapi lagi-lagi, belum ditemukan hubungan yang
jelas antara atresia biliaris dengan faktor-faktor tersebut.

IV. KLASIFIKASI

Menurut anatomis atresia billier ada 3 tipe:

- Tipe I Atresia sebagian atau totalis yang disebut duktus hepatikus komunis,
segmen proksimal paten

- Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus billiaris komunis, duktus
sistikus, dan kandung empedu semuanya)

- Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus,
kandung empedu normal

- Tipe III Obliterasi pada semua system duktus billier ekstrahepatik sampai ke hilus

Tipe I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di operasi (correctable) sedangkan
tipe III adalah bentuk atresia yang tidak dapat di operasi (non correctable), bila telah
terjadi sirosis maka dilakukan transpalantasi hati.

V. PATOFISIOLOGI

Penyebabnya sebenarnya atresia bilier tidak diketahui sekalipun mekanisme imun


atau viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang menimbulkan obstruksi
saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan bahwa atresia bilier tidak terlihat
pada janin, bayi yang baru lahir. Keadaan ini menunjukan bahwa atresia bilier terjadi
pada akhir kehamilan atau pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu
beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif dengan
menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik atau
ekstrahepatik.

Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal


empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan menyebabkan
peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi fibrosis dan sirosis.

Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan
ikterus dan duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin.
Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja
berwarna pucat seperti kapur. Obstruksi bilier menyebabkan akumulasi garam
empedu di dalam darah sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena
tidak adanya empedu dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di
absorbsi sehingga mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh
pada anak
Meskipun gambaran histopatologi atresia biliaris sudah dipelajari secara ekstensif
dalam spesimen bedah yang telah dieksisi dari sistem bilier ekstrahepatik bayi yang
telah mengalami portoenterostomy, namun patogenesis kelainan ini masih belum
sepenuhnya dipahami. Hasil penelitian terbaru telah mempostulasikan malformasi
kongenital pada sistem ductus bilier sebagai penyebabnya. Tapi bagaimana pun
juga kebanyakan bayi baru lahir dengan atresia biliaris, ditemukan lesi inflamasi
progresif yang menandakan telah terjadi suatu infeksi dan/atau gangguan agen
toksik yang mengakibatkan terputusnya ductus biliaris.
Pada tipe III, varian histopatologis yang sering ditemukan, sisa jaringan fibrosis
mengakibatkan sumbatan total pada sekurang-kurangnya satu bagian sistem bilier
ekstrahepatik. Ductus dalam hati, yang memanjang hingga ke porta hepatis, pada
awalnya paten hingga beberapa minggu pertama kehidupan tetapi dapat rusak
secara progresif oleh karena serangan agen yang sama dengan yang merusak
ductus ekstrahepatik maupun akibat efek racun empedu yang tertahan lama dalam
ductus ekstrahepatik.
Peradangan aktif dan progresif yang terjadi pada pengrusakan sistem bilier dalam
penyakit atresia biliaris merupakan suatu lesi dapatan yang tidak melibatkan satu
faktor etiologik saja. Namun agen infeksius dianggap lebih memungkinkan menjadi
penyebab utamanya, terutama pada kelainan atresia yang terisolasi. Beberapa
penelitian terbaru telah mengidentifikasi peningkatan titer antibodi terhadap reovirus
tipe 3 pada pasien – pasien yang mengalami atresia. Peningkatan itu terjadi pula
pada rotavirus dan sitomegalovirus.

VI. DIAGNOSIS
A. Gambaran Klinis

1.Warna tinja pucat, terhambatnya aliran empedu untuk mengakut garam empedu
yang diperlukan untuk mencerna lemak dalam usus halus dimana fungsi empedu
adalah mengekresikan bilirubin dan membantu proses pencernaan melalui
emulsifikasi lemak oleh garam empedu
2. Asites
3.Spenomegali
4.Distensi abdomen
5.Hepatomegali
6.Pruritus, akibatnya adanya obstruksi pada saluran empedu maka terjadi resistensi
garam empedu
7.Jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan (kenaikan kadar bilirubin berlangsung
cepat > 5 mg/dl dalam 24 jam, kadar bilirubin serum > 12 mg/dl pada bayi cukup
bulan serta > 15 mg/dl pada bayi premature pada minggu pertama kehidupan),
karena obtruksi pengaliran getah empedu dalam duodenum akan menimbulkan
gejala yang khas yaitu getah empedu tidak dibawa ke duodenum tapi di serap oleh
darah dan penyerapan empedu ini akan menyebabkan kulit dan membrane mukosa
berwarna kuning
8.Letargi
9.rine berwarna gelap, sebagian urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan di
ekresikan ginjal ke dalam urine pada obstruksi saluran empedu bilirubin tidak
memasuki intestinum sehingga urobilinogen tidak terdapat dalam urine
10.Bayi tidak mau minum dan lemah
11.Mual muntah

• Anamnesis
Tanpa memperhatikan etiologi, gambaran klinis pada semua bayi yang mengalami
kolestasis sangat mirip. Gejala utamanya antara lain ikterus, urin yang menyerupai
teh pekat dan feses warna dempul. Pada kebanyakan kasus, atresia biliaris
ditemukan pada bayi yang aterm, meskipun insidens yang lebih tinggi lagi
ditemukan pada yang BBLR (berat bayi lahir rendah). Pada kebanyakan kasus,
feses akolik tidak ditemukan pada minggu pertama kehidupan. Tapi beberapa
minggu setelahnya. Nafsu makan,pertumbuhan dan pertambahan berat badan
biasanya normal.

• Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik tidak dapat mengidentifikasi semua kasus atresia biliaris. Tidak
ada temuan patognomonik yang dapat digunakan untuk mendiagnosisnya.
Beberapa tanda klinis yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik atresia biliaris,
antar lain:
• Hepatomegali dapat ditemukan lebih dahulu pada palpasi abdomen. Splenomegali
juga dapat ditemukan, dan apabila sudah ada splenomegali, maka kita dapat
mencurigai telah terjadi sirosis dengan hipertensi portal.
• Ikterus yang memanjang pada neonatus, lebih dari 2 minggu
• Pada pasien dengan sindrom asplenia, dapat ditemukan garis tengah hepar pada
palpasi di area epigastrium.
• Ada kemungkinan terjadi kelainan kongenital lain seperti penyakit jantung bawaan,
terutama apabila ditemukan bising jantung pada pemeriksaan auskultasi.
B. Pemeriksaan Laboratorium
Serum bilirubin (total dan direk): hiperbilirubinemia terkonjugasi, didefinisikan
sebagai peningkatan bilirubin terkonjugasi lebih dari 2 mg/dL atau lebih dari 20%
total bilirubin.(1,2,6) Menariknya, bayi dengan atresia biliaris menunjukkan
peningkatan moderat pada bilirubin total, yang biasanya antara 6-12 mg/dl, dengan
fraksi terkonjugasi mencapai 50-60% dari total bilirubin serum.
Memeriksa kadar alkaline phosphatase (AP), 5′ nucleotidase, gamma-glutamyl
transpeptidase (GGTP), serum aminotransferases dan serum asam empedu.
Pada semua tes ini, terjadi peningkatan baik dalam hal sensitivitas maupun
spesifitas. Sayangnya, tidak ada satu pun pemeriksaan biokimia yang dapat
membedakan secara akurat antara atresia biliaris dengan penyebab kolestasis lain
pada neonatus.
Sebagai tambahan terhadap hiperbilirubinemia terkonjugasi (temuan universal
terhadap semua bentuk kolestasis neonatus), abnormalitas pemeriksaan enzim
termasuk peningkatan level AP. Pada bebrapa kasus, peningkatan AP akibat
sumber skeletal dapat dibedakan dengan yang berasal dari hepar dengan
menghitung fraksi spesifik hati, 5` nucleotidase.
GGTP merupakan protein membrane integral pada kanalikuli bilier dan mengalami
peningkatan pada kondisi kolestasis. Kadar GGTP berhubungan erat dengan kadar
AP dan mengalami peningkatan pada semua kondisi yang berkaitan dengan
obstruksi bilier. Tapi bagaimana pun juga terkadang kadar GGTP normal pada
beberapa bentuk kolestasis akibat kerusakan hepatoseluler.
Kadar aminotransferase tidak terlalu menolong dalam menegakkan diagnosis secara
khusus, meskipun peningkatan kadar alanine transferase (>800 IU/L)
mengindikasikan kerusakan hepatoseluler yang signifikan dan lebih konsisten pada
kondisi sindrom hepatitis neonatus.
Serum alpha1-antitrypsin dengan Pi typing: defisiensi alpha1-antitrypsin sering
diturunkan secara genetis pada kebanyakan penyakit hati herediter yang tampilan
klinisnya berupa kolestasis. Fenotip PiZZ abnormal, dapat ditentukan dari
elektroforesis yang berkaitan dengan kolestasis neonatal pada sekitar 10% pasien.
Sweat chloride (Cl): keterlibatan traktus biliaris merupakan salah satu komplikasi
yang sangat sering ditemukan pada kistik fibrosis dan untuk membedakannya dari
atresia biliaris, maka perlu dilakukan iontoforesis sweat chloride.

C. Pemeriksaan Radiologis
• Ultrasonography (US)
Sindrom kolestasis neonatus dapat dibedakan dengan anomali sistem bilier
ekstrahepatik dengan menggunakan US, terutama kista koledokal. Saat ini,
diagnosis kista koledokal harus dibuat dengan menggunakan US fetal in utero.
Pada atresia biliaris, US dapat menunjukkan ketiadaan kantung empedu dan tidak
berdilatasinya jalur bilier. Sayangnya, sensitifitas dan spesifisitas temuan ini, bahkan
untuk di pusat pemeriksaan yang berpengalaman, tidak mencapai 80%. Karena
alasan ini, US dianggap tidak menunjang untuk mengevaluasi atresia biliaris. Namun
ada sejumlah peneliti yang menyatakan bahwa sensitivitas dan spesifisitas US
terutama yang berfrekuensi tinggi dapat mencapai 90% lebih.
• Hepatobiliary scintiscanning (HSS)
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengevaluasi bayi yang dicurigai mengalami
atresia biliaris. Bukti gambaran unequivocal pada ekskresi usus yang sudah diberi
radiolabel dapat menunjukkan patensi sistem bilier ekstrahepatik. Bahkan pada
atresia biliaris tiper asplenia, scintiscanning dapat mendiagnosis atresia biliaris
meskipun tanpa harus ada upaya biopsi.
Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan
ini. Pertama, realibilitas scintiscan dapat berkurang jika kadar bilirubin terkonjugasi
sangat tinggi (>20 mg/L). Kedua, tes ini memiliki tingkat positif –palsu dan negatif-
palsu mencapai 10%.
• Magnetic Resonance Cholangiography (MRC)
Meskipun belum digunakan seluas US, MRC dapat menjadi alternatif pilihan untuk
mendiagnosis atresia biliaris. MRC dapat diaplikasikan untuk membedakan atresia
bliaris, kolelitiasis, kista koledokal, dan tranplantasi hati.
• Kolangiografi Intraoperatif
Pemeriksaan ini secara definitif dapat menunjukan kelainan anatomis traktus biliaris.
Kolangiografi intraoperatif dilakukan ketika biopsi hati menunjukkan adanya etiologi
obstruktif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode memasukkan kontras ke dalam
saluran empedu lalu kemudian difoto X-Ray ketika laparotomi eksploratif
dilaksanakan. Pemeriksaan ini dilakukan ketika pemeriksaan biopsi dan scintiscan
gagal menunjukkan hasil yang adekuat.

D. Pemeriksaan Histopatologis
• Biopsi hati perkutaneus
Biopsi perkutaneus hati diketahui secara luas sebagai teknik paling terpercaya
dalam mengevalusia kolestasis neonatus. Tingkat morbiditasnya rendah pada
pasien yang tidak mengalami koagulopati. Ketika diperiksa oleh patolog yang
berpengalaman, suatu spesimen biopsi yang adekuat, dapat membedakan
penyebab kolestasis akibat gangguan obstruksi dengan hepatoseluler, dengan
tingkat sensivisitas dan spesifisitas mencapai 90% untuk atresia biliaris.
Pada beberapa kondisi kolestasis, termasuk atresia biliaris, dapat menunjukan
perubahan pola histolpatologis. Sehingga perlu dilakukan biopsi serial dengan
interval 2 minggu untuk mencapai diagnosis yang definitif.
Temuan Histologis
Meskipun ada yang fakta yang menyebutkan bahwa atresia biliaris dapat terjadi
karena faktor ontogenik dan dapatan, namun tidak ada temuan histologis kualitatif
yang dapat menunjukkan karaktersitik perbedaan keduanya. Spesimen bedah
menunjukkan spektrum abnormalitas, termasuk inflamasi aktif yang disertai
degenerasi duktus biliaris, suatu rekasi inflamasi kronik yang disertai proliferasi
elemen duktus dan glandular serta fibrosis. Progresifitas kelainan ini dapat
dikonfirmasi melalui gambaran histologisnya.
Bukti adanya obstuksi pada traktus biliaris menentukan apakah bayi membutuhkan
laparatomi eksplorasi dan kolagiografi intraoperatif. Proliferasi portal duktus biliaris,
pengisian emepdu, fibrosis portal-portal dan reaksi inflamasi akut merupakan
karakteristik temuan penyebab obstruksi pada kolestasis neonatus.
Pewarnaan Periodic Acid-Schiff (PAS) pada jaringan biopsi dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi diagnosis defisiensi alpha1-antitrypsin dengan adanya temuan
intraseluar berupa granul-granul PAS-positif yang resisten terhadap percernaan oleh
diastase.

VII. PENATALAKSANAAN
• Konsultasi
Evaluasi kolestasis neonatal dapat dilakukan di pelayanan kesehatan primer dengan
bergantung pada realiabilitas temuan laboratorium. Tes non-bedah dan eksplorasi
bedah lainnya hanya dapat dilakukan di pusat pelayanan kesehatan yang telah
berpengalaman menangani kelainan seperti ini. Dokter umum tidak boleh menunda
diagnosis atresia biliaris. Bila ditemukan bayi yang dicurigai menderita ikterus
obstruktif, maka harus segera dirujuk ke dokter subspesialis.
• Perawatan Medis
Tidak ada penatalaksanaan medis primer yang relevan dalam menangani atresia
biliaris ekstrahepatis. Tugas utama seorang dokter anak hanyalah mengonfirmasi
diagnosis penyakit ini. Sekali seorang pasien dicurigai menderita atresia biliaris,
maka intervensi bedah hanyalah satu-satunya mekanisme yang memungkinkan
untuk mendiagnosisnya secara definitif (kolagiogram intraoperatif) sekaligus menjadi
terapinya(Kasai portoenterostomy).
Setelah melalui sejumlah evaluasi, kolangiografi intraoperatif dilakukan untuk
menegakkan diagnosis atresia biliaris ekstrahepatik. Selama proses operasi, traktus
biliaris yang mengalami fibrosis diidentifikasi, dan patensi sistem bilier ditaksir. Pada
kasis patensi bilier yang berkaitan dengan hipoplasia duktal, intervensi bedah tidak
diindikasikan, dan empedu dapat diambil spesimennya untuk mengevaluasi kelainan
metabolisme asam empedu. Pada kebanyakan kasus atresia, diseksi ke dalam porta
hepatis dan pembentukan anostomosis Roux-en-Y dengan sebuah segmen
retrokolik sepanjang 35-40 cm merupakan prosedur pilihan. Penelitian menunjukkan
bahwa ekstensi diseksi portal yang melewati bifurkasio vena porta dan titik umbilikal
pada hilum kiri dapat meningkatkan kemungkinan drainase empedu yang adekuat.
• Diet
Selama masa evaluasi atresia biliaris, makanan bayi tidak perlu mengalami
perubahan. Pemberian ASI pasca-operasi dianjurkan ketika memungkinkan karena
ASI mengandung lipase dan asam empedu yang dapat menolong hidrolisis lipid dan
pembentukan misel. Secara teori, ASI juga dapat melindungi bayi melawan
kolangitis, suatu komplikasi umum yang terjadi setelah portoenterostomy, karena
dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram-negatif dan flora anaerobik. Tapi,
belum ada data yang cukup untuk mendukung klaim ini. Bayi yang mendapat susu
formula yang mengandung trigliserida rantai sedang dan drainase empedunya baik
tidak perlu mendapat diet khusus. Hanya perlu diperhatikan jangan sampai terjadi
defisiensi vitamin yang larut lemak seperti A, D, E dan K.
• Obat-obatan
Pada periode post-operasi, metilprednisolon dapat digunakan sebagai anti-inflamasi
dan stimulan non-spesifik terhadap aliran garam empedu. Dosis pemberiaanya
adalah 1.6-2 mg/kg/hari IV.
Pada pasien dengan kondisi kolestasis dan patensi duktus bilier, maka dapat
digunakan asam ursodeoksikolik (UCDA) yang dapat mempertinggi aliran empedu.
Untuk bayi yang telah mengalami portoenterostomi, UCDA dapat memperbaiki
hasilnya, dan obat ini memiliki toksisitas yang rendah. Dosis pemberiannya adalah
15-30 mg/kg/hari PO.
Untuk mencegah kolangitis post-operasi, profilaksis yang dapat diberikan adalah
kotrimoxazole. Namun sayangnya, data konklusif yang dapat mendukung
penggunaan agen ini maupun obat lain dalam manajemen atresia biliaris belum
tersedia. Dosis pemberian obat ini adalah 8 mg/kg/hari.
VIII. PROGNOSIS
Sebelum ditemukan transplantasi hati sebagai terapi pilihan pada anak dengan
penyakit hati stadium akhir, angka kelangsungan hidup jangka panjang pada anak
penderita atresia biliaris yang telah mengalami portoenterostomy adalah 47-60%
dalam 5 tahun dan 25-35% dalam 10 tahun. Sepertiga dari semua pasien ini ,
mengalami gangguan aliran empedu setelah mendapat terapi bedah,sehingga anak-
anak ini terpaksa menderita komplikasi sirosis hepatis pada beberapa tahun pertama
kehidupan mereka meskipun transplantasi hati sudah dilakukan. Komplikasi yang
dapat terjadi setelah portoenterostomi antara lain kolangitis (50%) dan hipertensi
portal (>60%).

Anda mungkin juga menyukai