Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

ATRESIA BILIER

Pembimbing :

dr. Syarifah Surbakti, Sp.Rad

dr. Shofiatul M, Sp.Rad

Disusun oleh :

Syarifah Soraya /406181005

Yovita Valencia/406181009

Clara Jessica/406172119

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI


RSUD CIAWI
PERIODE 22 OKTOBER – 18 NOVEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
BAB I
   PENDAHULUAN

Atresia biliaris merupakan suatu keadaan di mana sistem bilier ekstrahepatik mengalami
hambatan atau tidak ada sama sekali sehingga mengakibatkan obstruksi pada aliran empedu.
Kelainan ini merupakan salah satu penyebab utama kolestasis yang harus segera mendapat
terapi bedah bahkan tranplantasi hati pada kebanyakan bayi baru lahir. Jika tidak segera
dibedah, maka sirosis bilier sekunder dapat terjadi.

Pasien dengan atresia biliaris dapat dibagi menjadi 2 kelompok yakni, atresia biliaris
terisolasi yang terjadi pada 65-60% pasien, namun menurut Hassan dan William,
presentasenya dapat mencapai 85-90% pasien (bukti atresia diketahui pada minggu ke 2-8
pasca lahir), dan pasien yang mengalami situs inversus atau polysplenia/asplenia dengan atau
tanpa kelainan kongenital lainnya, yang terjadi pada 10-35% kasus (bukti atresia diketahui <
2 minggu pasca lahir).

Atresia bilier dtemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak
perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi jumlah penderita atresia bilier
yang ditangani rumah sakit Cipt Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003, mencapai
37-38 bayi atau 23 persen dari 162 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati.
Sedangkan di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Suromo Surabaya antara tahun 1999-2001
dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan
fungsi hati di dapatkan atresia bilier 9 (9,4%).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Atresia Bilier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak
berkembang secara normal.
Fungsi dari sistem empedu adalah membuang limbah metabolik dari hati dan mengangkut
garam empedu yang diperlukan untuk mencerna lemak di dalam usus halus. Pada atresia
bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Hal ini bisa
menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati.
Gambar Atresia Bilier

Kelainan patologi sistem bilier ekstrahepatik berbeda-beda pada setiap pasien. Namun
jika disederhanakan, maka kelainan patologis itu dapat diklasifikasikan berdasarkan
lokasi atresia yang sering ditemukan:

 Tipe 1: terjadi atresia pada ductus choledocus


 Tipe II:  terjadi atresia pada ductus hepaticus communis, dengan stuktur kistik
ditemukan pada porta hepatis
 Type III (ditemukan pada >90% pasien): terjadi atresia pada ductus hepaticus
dextra dan sinistra hingga setinggi  porta hepatis.
Varian-varian di atas tidak boleh disamakan dengan hipoplasia bilier intrahepatis yang
tidak dapat dikoreksi meskipun dengan pembedahan sekali pun.
II.  EPIDEMIOLOGI

Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Kondisi ini jarang terjadi,
prevalensinya 1 : 15.000 kelahiran. Insidensi lebih banyak terjadi pada anak-anak asia dan
anak kulit hitam. Di US, sekitar 300 bayi yang lahir setiap tahunnya dengan kondisi
atresia billiaris. Bentuk janin-embrio yang ditandai dengan kolestasis awal, muncul dalam
2 minggu pertama kehidupan, dan menyumbang 10-35% dari semua kasus. Dalam bentuk
ini, saluran-saluran empedu terputus saat lahir, dan 10-20% dari neonatus yang terkena
dampak telah dikaitkan cacat bawaan, termasuk Situs inversus , polysplenia , malrotasi,
atresia usus, dan anomali jantung. Dari segi usia, atresia bilier lebih sering ditemukan
pada bayi-bayi baru lahir dengan rentang usia kurang dari 8 minggu.

Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier didapat
pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), hispantik (11%), Asia (4,2) dan Indian
Amerika (1,5%).

Kasus atresia bilier dilaporkan sebanyak 5/100.000 kelahiran hidup di belanda, 5/100.000
kelahiran hidup di perancis, 6/100.000 kelahiran hidup di Inggris, 6,5/100.000 kelahiran
hidup di Texas, 7/100.000 kelahiran hidup di australia, 7,4/100.000 kelahiran hidup di
USA, dan 10,6/100.000 kelahiran hidup di Jepang.

Faktor risiko pada atresia bilier diantaranya:

  Atresia bilier adalah penyebab paling umum penyakit hati kronis pada neonatus.
  Atresia bilier terjadi sekali dalam setiap 10.000 sampai 20.000 kelahiran.
  Populasi Asia adalah yang paling sering terpengaruh. Afrika Amerika yang terkena
sekitar dua kali lipat dari Kaukasia.

Atresia bilier menyebabkan kerusakan hati dan mempengaruhi proses penting banyak
yang memungkinkan tubuh untuk berfungsi secara normal. Ini adalah penyakit yang
mengancam jiwa dan fatal tanpa pengobatan.
III. ETIOLOGI

Atresia biliaris jarang ditemukan pada bayi lahir mati ataupun bayi prematur yang
semakin mendukung kemungkinan etiologi pada akhir masa kehamilan. Sebaliknya, pada
bayi yang mengalami hepatitis neonatal, yang merupakan diagnosis banding utama atresia
bilier, lebih sering terjadi pada bayi prematur, kecil masa kehamilan (KMK) ataupun
keduanya.

Adapun beberapa etiologi yang dapat menyebabkan atresia biliaris antara lain:

 Agen infeksius
Belum ditemukan satu agen pasti yang dapat menyebabkan atresia biliaris, meskipun
peranan organisme infeksius sudah dipelajari secara luas. Fischler dkk melaporkan
infeksi sitomegalovirus pada 25% bayi yang menderita atresia biliaris. Menariknya,
beberapa peneliti melaporkan adanya peningkatan infeksi sitomegalovirus yang lebih
tinggi lagi pada bayi-bayi yang menderita hepatitis neonatus idiopatik. Hal ini
semakin mendukung konsep yang menjelaskan bahwa kelainan atresia biliaris
memiliki spektrum patologis yang sama dengan hepatitis neonatus idiopatik.

Investigasi pada reovirus tipe 3 justru menghasilkan hasil yang berlawanan. Wilson
dkk menemukan virus ini merusak duktus biliaris dan hepatosit pada tikus. Sedangkan
pada penelitian lain, Steele dkk gagal menemukan bukti infeksi pada bayi yang
mengalami kolestasis. Penelitian lain sudah berusaha mencari peran rotavirus grup A,
B dan C serta virus hepatitis A, B, C yang biasa menyerang hati, namun hingga kini
belum ditemukan hubungan yang dapat menyebabkan atresia biliaris.

 Faktor genetic
Adanya bentuk atresia biliaris yang terjadi pada usia di bawah 2 minggu kehidupan
yang selalu berasosiasi dengan kelainan kongenital lainnya, memberikan
kemungkinan adanya hubungan antara faktor genetis dengan insidens atresia biliaris.
Beberapa penelitian telah menemukan adanya mutasi genetis spesifik pada tikus yang
mengalami heterotaksi viseral dan kelainan jantung, yang mana kelainan ini
menyerupai bentuk kelainan yang ditemukan pada atresia biliaris tipe yang usia
bayinya < 2 minggu. Abnormalitas genetik lainnya termasuk delesi gen c-jun tikus
(sebuah faktor transkripsi proto-oncogen) dan mutasi faktor gen transkripsi homeobox
yang berhubungan dengan kelainan hati dan limpa. Tapi masih belum dapat dijelaskan
hubungan langsung antara mutasi gen ini dengan atresia biliaris.

 Penyebab lain
Kelainan pada proses sintesis asam empedu dicurigai juga sebagai penyebab atresia
biliaris. Faktanya, asam empedu memang memiliki kontribusi yang besar terhadap
kerusakan hepatoseluler dan kerusakan ductus bilier pada semua pasien atresia
biliaris. Namun tetap saja, tidak ditemukan hubungan pasti antara kelainan
pembentukan asam empedu dengan peristiwa terbentukanya atresia biliaris. Beberapa
peneliti lain berusaha mempelajari efek agen potensial lain seperti teratogen dan
faktor imunologis. Tapi lagi-lagi, belum ditemukan hubungan yang jelas antara atresia
biliaris dengan faktor-faktor tersebut.

IV. ANATOMI SISTEM BILIER EKSTRAHEPATIK

Sistem bilier esktrahepatik terdiri atas:

a) Vesica Fellea = Gall bladder


Vesica fellea merupakan suatu kantong berbentuk memanjang, berjalan dari caudo-
anterior pada fossa vesica fellea ke cranio-posterior sampai porta hepatis. Mempunyai
dua facies, yaitu facies anterior yang berhubungan dengan dasar fossa vesica fellea,
dan facies posterior yang ditutupi oleh peritoneum.

Morfologi vesica fellae terdiri dari corpus, collum dan fundus. Fundus vesica fellea
terletak pada tepi costa 8 – 9 dexter, di sebelah lateral m.rectus abdominis, yaitu pada
arcus costarum dexter. Berbatasan di dorso-caudal dengan colon transversum dan pars
descendens duodeni. Mucosa vesica fellea berlipat-lipat membentuk villi, disebut
plicae tunicae mucosae. Kadang-kadang fundus vesica fellea seluruhnya dibungkus
oleh peritoneum sehingga seakan-akan mempunyai mesenterium, dan kelihatan
fundus tergantung pada hepar.
 Vascularisasi : a.cystica, suatu cabang dari a.hepatica propria dexter;
vena cystic bermuara ke dalam ramus dexter yang portae.
 Innervasi        :cabang-cabang dari plexus coeliacus.
 Lymphe drainage :menuju ke lymphonodi hepatici.
b) Ductus Cysticus
Merupakan lanjutan dari vesica fellea, terletak pada porta hepatis. Panjangnya kira-
kira 3 – 4 cm. Pada porta hepatis ductus cysticus mulai dari collum vesicae fellea,
kemudian berjalan ke postero-caudal di sebelah kiri collum vesicae felleae. Lalu
bersatu dengan ductus hepaticus communis membentuk ductus choledochus. Mucosa
ductus ini berlipat-lipat terdiri dari 3 – 12 lipatan, berbentuk spiral yang pada
penampang longitudional terlihat sebagai valvula, disebut valvula spiralis.

c) Ductus Hepaticus
Ductus hepaticus berasal dari lobus dexter dan lobus sinister bersatu membentuk
ductus hepaticus communis pada porta hepatis dekat pada processus papillaris lobus
caudatus. Panjang ductus hepaticus communis kurang lebih 3 cm. Terletak di sebelah
ventral a.hepatica propria dexter dan ramus dexter vena portae. Bersatu dengan ductus
cysticus menjadi ductus choledochus.

d) Ductus Choledochus
Mempunyai panjang kira-kira 7 cm, dibentuk oleh persatuan ductus cysticus dengan
ductus hepaticus communis pada porta hepatis. Di dalam perjalanannya dapat di bagi
menjadi tiga bagian, sebagai berikut :
1) bagian yang terletak pada tepi bebas ligamentum hepatoduodenale, sedikit di
sebelah dextro-anterior a.hepatica communis dan vena portae;
2) bagian yang berada di sebelah dorsal pars superior duodeni, berada di luar
lig.hepatoduodenale, berjalan sejajar dengan vena portae, dan tetap di sebelah
dexter vena portae
3) bagian caudal yang terletak di bagian dorsal caput pancreatis, di sebelah ventral
vena renalis sinister dan vena cava inferior.
4) Pada caput pancreatis ductus choledochus bersatu dengan ductus pancreaticus
Wirsungi membentuk ampulla, kemudian bermuara pada dinding posterior pars
descendens duodeni membentuk suatu tonjolan ke dalam lumen, disebut papilla
duodeni major. Pada pertemuan (muara) ductus choledochus ke dalam duodenum,
disebut choledochoduodenal junction (di tempat ini ada sphincter oddi).
Anatomi Sistem Bilier Ekstra-hepatik

Anatomi vaskularisasi Sistem Bilier


V. PATOFISIOLOGI

Atresia biliaris adalah kondisi congenital dimana tidak adanya atau tertutupnya duktus
yang menghubungkan empedu dan liver. Salah satu fungi liver adalah untuk
memproduksi empedu (yang dibuat dari kolesterol, garam empedu, dan   produg sisa/
pembuangan) yang mengalir dari liver menuju small intestine (usus halus) dirnana
fungsinya adalah membantu mencerna makanan.

Ductus biliaris abnormal.

Untuk alasan yang tidak diketehui, inflamasi yang progresif  pada hati segera dimula saat
setelah lahir, tahap awal biasanya menyerang duktus ekstrahepatik. Pembengkakan dan
jaringan parut dalam system drainase empedu didalam hepar dan diikuti oleh kerusakan
sel hati yang sangat cepat, mengakibatkan sirosis hepatis.

Kemungkinan dapat disebabkan oleh virus (misal: retrovirus) yang memicu timbulnya
respon autoimun dimana pertahanan tubuh mulai merusak sel-sel sekitarnya. Atresia
biliaris hanya menyerang bayi baru lahir dan bukan merupakan penyakit herediter,
menular dan dapat dicegah.

Secara embriologi, percabangan bilier berkembang dari divertikulum hepatik dari embrio
foregut. Duktus bilier intrahepatik berkembang dari hepatosit janin, sel-sel asal
bipotensial mengelilingi percabangan vena porta. Sel-sel duktus bilier primitif ini
membentuk sebuah cincin, piringan duktal, yang berubah bentuk menjadi struktur duktus
bilier matang. Proses perkembangan duktus biliaris intrahepatik dinamis selama
embriogenesis dan berlanjut sampai beberapa waktu setelah lahir. Duktus biliaris
ekstrahepatik muncul dari aspek kaudal divertikulum hepatik. Selama stadium
pemanjangan, duktus ekstrahepatik nantinya akan menjadi, seperti duodenum, sebuah
jalinan sel-sel padat. Pembentukan kembali lumen dimulai dengan duktus komunis dan
berkembang secara distal seringkali mengakibatkan 2 atau 3 lumen untuk sementara, yang
nantinya akan bersatu. Komponen intrahepatik selanjutnya bergabung dengan sistem
duktus ekstrahepatik dalam daerah hilus.

Patogenesis atresia bilier tetap tidak jelas meskipun terdapat beberapa teori etiologi dan
investigasi. Telah diusulkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh: (a) kegagalan
rekanalisasi, (b) faktor genetik, (c) iskemia, (d) virus, (missal rheovirus) atau (e) toksin.
Pengenalan oleh sel T yang beredar kemudian memulai respon imun dimediasi-sel,
mengakibatkan cedera fibrosklerotik yang terlihat pada atresia bilier. Tampaknya terdapat
dua kelompok terpisah pasien dengan atresia bilier, bentuk embrionik awal dihubungkan
dengan kemunculan berbagai anomali lainnya dan bentuk janin kelak/perinatal yang
biasanya terlihat terisolasi. Etiologi masing-masingnya mungkin berbeda.

Temuan patologis pada atresia bilier ditandai dengan sklerotik inflamasi yang kehilangan
semua atau sebagian percabangan bilier ekstrahepatik juga sistem bilier intrahepatik.
Tidak seperti atresia traktus gastrointestinal lainnya yang memiliki batasan tempat
obstruksi jelas dengan dilatasi proksimal, dalam varian atresia bilier yang paling umum,
duktus biliaris diwakili oleh jalinan fibrosa tanpa dilatasi apapun di proksimalnya.
Sedangkan varian lainnya memiliki sisa nyata – distal, dari kandung empedu, duktus
sistikus dan duktus komunis, atau proksimal, dengan hilus kista.

Kandung empedu biasanya kecil namun kemungkinan masih memiliki lumen yang berisi
cairan jernih (“empedu putih”). Secara mikroskopis, sisa bilier diwakili oleh jaringan
fibrosa padat, distal. Proksimal, duktus biliaris dikelilingi oleh fibrosis konsentris dan
infiltrat peradangan disekitar struktur seperti-duktus yang kecil sekali, duktus koledokus
dan kelenjar bilier. Oklusi sclerosing duktus bilier menjadi lebih luas seiring dengan
pertambahan usia. Kasai dan rekan-rekannya memperlihatkan bahwa duktus intrahepatik
berhubungan dengan hepatis porta melalui kanal yang kecil sekali, setidaknya diawal
masa bayi. Rekonstruksi bedah berdasarkan pada pedoman ini.

Dalam 2 bulan pertama setelah kelahiran, perubahan histologis hati memperlihatkan


pemeliharaan arsitektur hepatik dasar dengan proliferasi duktulus empedu, sumbatan
empedu dan fibrosis periportal ringan pada bayi dengan atresia bilier. Nantinya, fibrosis
membentang kedalam lobulus hepatikus, akhirnya menghasilkan gambaran sirosis.
Seperempat bayi yang memiliki infiltrat inflamasi portal dan transformasi sel-raksasa
yang tak dapat dibedakan dari temuan patologis hepatitis neonatorum.

METABOLISME BILIRUBIN

 Bilirubin diproduksi di sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir katabolisme


hem dan terbentuk melalui reaksi oksidasi-reduksi. Sekitar 75% bilirubin berasal dari
hemoglobin, tapi degradasi mioglobin, sitokrom, katalase dan juga berkontribusi.
Pada langkah oksidasi pertama, biliverdin terbentuk dari heme melalui aksi heme
oxygenase, tingkat membatasi langkah dalam proses, melepaskan besi dan karbon
monoksida. Sedangkan karbon monoksida diekskresikan melalui paru-paru dan dapat
diukur dalam napas pasien untuk mengukur produksi bilirubin.
 Selanjutnya, larut dalam air biliverdin direduksi menjadi bilirubin, yang, karena
ikatan hidrogen intramolekul, hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomer yang
paling umum nya (bilirubin IXα Z, Z). Karena sifat hidrofobik nya, bilirubin tak
terkonjugasi diangkut dalam plasma terikat erat pada albumin. Mengikat protein lain
dan eritrosit juga terjadi, tetapi peran fisiologis mungkin terbatas. Mengikat bilirubin
peningkatan albumin postnatal dengan usia dan berkurang pada bayi yang sakit.
 Kehadiran pesaing mengikat endogen dan eksogen, seperti obat-obatan tertentu, juga
mengurangi afinitas pengikatan albumin untuk bilirubin. Sebuah fraksi bilirubin tak
terkonjugasi menit dalam serum tidak terikat pada albumin. Bilirubin bebas mampu
melintasi lipid yang mengandung membran, termasuk penghalang darah-otak, yang
menyebabkan neurotoksisitas. Dalam kehidupan janin, bilirubin bebas dapat melewati
plasenta, tampaknya dengan difusi pasif, dan ekskresi bilirubin dari janin terjadi
terutama melalui organisme ibu.
 Saat mencapai hati, bilirubin diangkut ke dalam sel hati, di mana ia mengikat
ligandin. Serapan bilirubin ke dalam hepatosit meningkat dengan konsentrasi ligandin
meningkat. Konsentrasi Ligandin rendah saat lahir tetapi meningkat pesat selama
beberapa minggu pertama kehidupan. Konsentrasi Ligandin dapat ditingkatkan
dengan pemberian agen farmakologis seperti fenobarbital.
 Bilirubin terikat dengan enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan
bentuk bilirubin direk. Bilirubin direk dalam retikulum endoplasma hepatosit
dikatalisis oleh uridin diphosphoglucuronyltransferase (UDPGT). Jenis bilirubin ini
dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal. Sebagian
besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi melalui duktus hepatikus ke dalam
saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja
sebagai sterkobilin.
 Aktivitas UDPGT rendah saat lahir tetapi meningkat dengan nilai-nilai orang dewasa
dengan usia 4-8 minggu. Selain itu, obat-obatan tertentu (fenobarbital, deksametason,
clofibrate) dapat diberikan untuk meningkatkan aktivitas UDPGT.
 Setelah diekskresikan melalui duktus hepatikus ke dalam empedu dan ditransfer ke
usus, bilirubin ini akhirnya dikurangi menjadi tidak berwarna tetrapyrroles oleh
mikroba dalam usus besar. Namun, beberapa deconjugation terjadi di usus kecil
proksimal melalui aksi B-glucuronidases terletak di perbatasan kuas. Ini bilirubin tak
terkonjugasi dapat diserap kembali ke dalam sirkulasi, meningkatkan kolam plasma
bilirubin total. Siklus penyerapan, konjugasi, ekskresi, deconjugation, dan reabsorpsi
disebut ‘enterohepatik sirkulasi.

VI. DIAGNOSIS

A. Gambaran Klinis
• Anamnesis
Gejala yang biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
 urin bayi berwarna gelap (karena tingkat bilirubin dalam darah dengan konsentrasi
tinggi masuk ke dalam urin),
 feses berwarna pucat / acholic (karena kurangnya bilirubin yang diserap),
 kulit berwarna kuning, 
 berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat,
 hati membesar.

Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
 Gangguan pertumbuhan
 gatal-gatal
 rewel
 tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah
dari lambung, usus dan limpa ke hati).

Bayi mengalami ikterus segera setelah lahir, feses pucat dan gambaran serupa
dengan hepatitis neonatus. Jika kondisi ini tidak diobati, maka hepar akan membesar,
jantung menjadi tidak terlibat dan ada tanda malabsorbsi lemak.

Tanda pertama dari atresia bilier adalah penyakit kuning, yang menyebabkan warna
kuning pada kulit dan bagian sclera mata. Jaundice disebabkan oleh hati tidak
mengeluarkan bilirubin, pigmen kuning dari darah. Biasanya, bilirubin diambil oleh
hati dan dilepaskan ke dalam empedu. Namun, penyumbatan saluran empedu
menyebabkan bilirubin dan elemen lain dari empedu terakumulasi dalam darah.

Pada kebanyakan kasus, atresia biliaris ditemukan pada bayi yang aterm, meskipun 
insidens yang lebih tinggi lagi ditemukan pada yang BBLR (berat bayi lahir rendah).
Bayi akan menunjukan kondisi normal pada saat lahir tetapi dalam
perkembangannya menunjukan jaundice (kulit dan sclera mata berubah menjadi
kuning), warna urin yang pekat, dan warna feses yang cerah dalam minggu pertama
kehidupan.

Setiap bayi dengan jaundice, setelah berumur 1 bulan dapat dipastikan terkena atresia
biliaris dengan pemeriksaan darah (diantaranya: tipe bilirubin, bilirubin konjugasi
dan bilirubin tak terkonjugasi). Peningkatan bilirubin pada bayi dikarenakan
kekurangan drainase , abdomen menjadi sangat  tegang, dan perbesaran dikarenakan
peningkatan ukuran hati. Jika hal ini terjadi, bayi akan menjadi rentan dan
kehilangan berat badan (meskipun pertambahan cairan akan menutupinya ).

• Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik tidak dapat mengidentifikasi semua kasus atresia biliaris. Tidak
ada temuan patognomonik yang dapat digunakan untuk mendiagnosisnya. Beberapa
tanda klinis yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik atresia biliaris, antara lain:
 Hepatomegali dapat ditemukan lebih dahulu pada palpasi abdomen. Splenomegali
juga dapat ditemukan, dan apabila sudah ada splenomegali, maka kita dapat
mencurigai telah terjadi sirosis dengan hipertensi portal.
 Ikterus yang memanjang pada neonatus, lebih dari 2 minggu
 Pada pasien dengan sindrom asplenia, dapat ditemukan garis tengah hepar pada
palpasi di area epigastrium.
 Ada kemungkinan terjadi kelainan kongenital lain seperti penyakit jantung
bawaan, terutama apabila ditemukan bising jantung pada pemeriksaan auskultasi.

B. Pemeriksaan Laboratorium
Serum bilirubin (total dan direk): hiperbilirubinemia terkonjugasi, didefinisikan
sebagai peningkatan bilirubin terkonjugasi lebih dari 2 mg/dL atau lebih dari 20%
total bilirubin. Menariknya, bayi dengan atresia biliaris menunjukkan peningkatan
moderat pada bilirubin total, yang biasanya antara 6-12 mg/dl, dengan fraksi
terkonjugasi mencapai 50-60% dari total bilirubin serum. Memeriksa kadar alkaline
phosphatase (AP), 5' nucleotidase, gamma-glutamyl transpeptidase (GGTP), serum
aminotransferases dan serum asam empedu. Pada semua tes ini, terjadi peningkatan
baik dalam hal sensitivitas maupun spesifitas.
Sayangnya, tidak ada satu pun pemeriksaan biokimia yang dapat membedakan secara
akurat antara atresia biliaris dengan penyebab kolestasis lain pada neonatus. Sebagai
tambahan terhadap hiperbilirubinemia terkonjugasi (temuan universal terhadap
semua bentuk kolestasis neonatus), abnormalitas pemeriksaan enzim termasuk
peningkatan level AP. Pada bebrapa kasus, peningkatan AP akibat sumber skeletal
dapat dibedakan dengan yang berasal dari hepar dengan menghitung fraksi spesifik
hati, 5` nucleotidase.
GGTP merupakan protein membrane integral pada kanalikuli bilier dan mengalami
peningkatan pada kondisi kolestasis. Kadar GGTP berhubungan erat dengan kadar
AP dan mengalami peningkatan pada semua kondisi yang berkaitan dengan obstruksi
bilier. Tapi bagaimana pun juga terkadang  kadar GGTP normal pada beberapa
bentuk kolestasis akibat kerusakan hepatoseluler.

Kadar aminotransferase tidak terlalu menolong dalam menegakkan diagnosis secara


khusus, meskipun peningkatan kadar alanine transferase (>800 IU/L)
mengindikasikan kerusakan hepatoseluler yang signifikan dan lebih konsisten pada
kondisi sindrom hepatitis neonatus. Serum alpha1-antitrypsin dengan Pi typing:
defisiensi alpha1-antitrypsin sering diturunkan secara genetis pada kebanyakan
penyakit hati herediter yang tampilan klinisnya berupa kolestasis.

C. Pemeriksaan Penunjang
Ada sejumlah tes yang dianjurkan untuk diagnosis atresia bilier tetapi hanya ada satu
‘gold standard’ dan itu adalah cholangiogram intraoperatif. Sebelum hal ini
dilakukan bayi menjalani  tes darah dan x-ray selama beberapa hari dan sering
diambil biopsi hati, yang dapat membantu menegakkan diagnosis atresia bilier.

• Ultrasonography (USG)
Sindrom kolestasis neonatus dapat dibedakan dengan anomali sistem bilier
ekstrahepatik dengan menggunakan USG, terutama kista koledokal. Saat ini,
diagnosis kista koledokal harus dibuat dengan menggunakan USG fetal in utero.
Pada atresia biliaris, USG dapat menunjukkan triangular cord sign, gallbladder
ghost triad (kandung empedu atresik panjang kurang dari 19 mm, kontur tidak
teratur atau lobular, kurangnya lapisan mukosa echogenic halus / lengkap dengan
dinding tidak jelas) , dan caliber arteri hepatik yang lebih besar. Sayangnya,
sensitifitas dan spesifisitas temuan ini, bahkan untuk di pusat pemeriksaan yang
berpengalaman, tidak mencapai 80%. Karena alasan ini, USG dianggap tidak
menunjang untuk mengevaluasi atresia biliaris. Namun ada sejumlah peneliti yang
menyatakan bahwa sensitivitas dan spesifisitas USG terutama yang berfrekuensi
tinggi dapat mencapai 90% lebih.
Gambar Atresia biliaris dan kista sentral. Sonogram oblique yang menggambarkan
atresia biliaris dan kista sentral besar pada porta hepatis.

• Hepatobiliary scintiscanning (HSS)


Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengevaluasi bayi yang dicurigai
mengalami atresia biliaris. Bukti gambaran unequivocal pada ekskresi usus yang
sudah diberi radiolabel  dapat menunjukkan patensi sistem bilier ekstrahepatik.
Bahkan pada atresia biliaris tipe asplenia, scintiscanning dapat mendiagnosis
atresia biliaris meskipun tanpa harus ada upaya biopsi.

Pencitraan hepatobilier biasanya menggunakan technetium-99m asam


iminodiacetic (IDA) yang bermanfaat untuk memisahkan obstruktif dari ikterus
parenkimal. Pada atresia bilier, khususnya yang dini, pengambilan nukleotida
cepat, namun ekskresi kedalam usus tidak ada, bahkan pada gambar yang
tertunda. Pada ikterus hepatoseluler, pengambilan isotop tertunda oleh penyakit
parenkim dan ekskresi kedalam usus mungkin tertunda atau tidak terlihat.
Karenanya, visualisasi isotop didalam usus mengecualikan atresia bilier, namun
kegagalan menunjukkan ekskresi usus adalah non-diagnostik. Fenobarbital,
karena ia meningkatkan konjugasi dan ekskresi  bilirubin, dapat digunakan untuk
meningkatkan pembedaan dengan pencitraan IDA.
Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam  melakukan pemeriksaan
ini. Pertama, realibilitas scintiscan dapat berkurang jika kadar bilirubin
terkonjugasi sangat tinggi (>20 mg/L). Kedua, tes ini memiliki tingkat positif –
palsu dan negatif-palsu mencapai 10%.

• Magnetic Resonance Cholangiography (MRC)


Meskipun belum digunakan seluas USG, MRC dapat menjadi alternatif pilihan
untuk mendiagnosis atresia biliaris. MRC dapat diaplikasikan untuk membedakan
atresia biliaris, kolelitiasis, kista koledokal, dan tranplantasi hati.

•    Kolangiografi Intraoperatif

Kolangiografi adalah manuver diagnostik


akhir, biasanya dilakukan sebagai
langkah pendahuluan, sebelum
melanjutkan ke portoenterostomi. Melalui
insisi kecil kuadran-atas-kanan, kandung
empedu yang berkerut ditampakkan.
Biasanya kandung empedu tidak memiliki
lumen sama sekali, atau hanya berupa
lumen mungil yang mengandung beberapa
tetes cairan bening. Bila lumen ada,
kolangiogram diperoleh dengan injeksi
bahan kontras(Gambar 69.2)

Demonstrasi kontras dalam


duodenum dan kontinuitas
dengan duktus bilier
intrahepatik meniadakan
atresia bilier (Gambar 69.3).
Dalam persoalan ini, biopsi iris
murah (dan jarum) pada hati harus dilakukan sebelum menutup insisi. Jika
kolangiografi tidak memungkinkan (lumen kandung empedu tidak ada atau
tersumbat), kemudian insisi diperbesar menjadi laparotomi subkosta bilateral
dalam persiapan untuk portoenterostomi Kasai.

D. Pemeriksaan Histopatologis
• Biopsi hati perkutaneus
Biopsi perkutaneus hati diketahui secara luas sebagai teknik paling terpercaya
dalam mengevalusia kolestasis neonatus. Tingkat morbiditasnya rendah pada
pasien yang tidak mengalami koagulopati. Ketika diperiksa oleh patolog yang
berpengalaman, suatu spesimen biopsi yang adekuat, dapat membedakan
penyebab kolestasis akibat gangguan obstruksi dengan hepatoseluler, dengan
tingkat sensivisitas dan spesifisitas mencapai 90% untuk atresia biliaris.

Gambaran Proliferasi duktus biliaris dengan pewarnaan HE pada pasien


atresia biliaris

Pada beberapa kondisi kolestasis, termasuk atresia biliaris, dapat menunjukan


perubahan pola histolpatologis. Sehingga perlu dilakukan biopsi serial dengan
interval 2 minggu untuk mencapai diagnosis yang definitif.

 Temuan Histologis
Meskipun ada fakta yang menyebutkan bahwa atresia biliaris dapat terjadi karena
faktor ontogenik dan didapat, namun tidak ada temuan histologis kualitatif yang
dapat menunjukkan karaktersitik perbedaan keduanya. Spesimen bedah
menunjukkan spektrum abnormalitas, termasuk inflamasi aktif yang disertai
degenerasi duktus biliaris, suatu rekasi inflamasi kronik yang disertai proliferasi
elemen duktus dan glandular serta fibrosis. Progresifitas kelainan ini dapat
dikonfirmasi melalui gambaran histologisnya.

Bukti adanya obstuksi pada traktus biliaris menentukan apakah bayi


membutuhkan laparatomi eksplorasi dan kolagiografi intraoperatif. Proliferasi
portal duktus biliaris, pengisian emepdu, fibrosis portal-portal dan reaksi inflamasi
akut merupakan karakteristik temuan penyebab obstruksi pada kolestasis
neonatus. Pewarnaan Periodic Acid-Schiff (PAS) pada jaringan biopsi dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis defisiensi alpha1-antitrypsin dengan
adanya temuan intraseluar berupa granul-granul PAS-positif yang resisten
terhadap percernaan oleh diastase.

Gambaran histologis atresia biliaris. Gambar ini menunjukkan stadium akhir


sirosis biliaris dengan mikronodul (tanda panah sebelah kanan). Fibrosis
perivaskuler yang ekstensif (tanda panah sebelah kiri) dan area kista (tanda panah
yang tengah) pada hilum hepatis.

VII. PENATALAKSANAAN
A. Pengobatan
Dalam hal ini pengobatan tidak memberikan efek yang terlalu besar. Satu-satunya terapi
yang memberikan harapan kesembuhan bagi atresia bilier adalah pembedahan.

Usaha pengobatan yang umum dilakukan adalah:


 Fenobarbital 5 mg / kg / BB (dibagi 2 kali pemberian).
Fenobarbital akan: merangsang enzim Glukoronil transferase (untuk mengubah
bilirubin indirek menjadi direk), merangsang Enzim sitokrom P450 ( untuk
oksidasi toksin), dan untuk merangsang enzim Na+ K+ ATP ase ( untuk
menginduksi aliran empedu)
 Kolesteramin 1 gr / kg / BB (dibagi 6 kali pemberian)
Menyerap empedu toksik, menghilangkan gatal, meningkatkan aktivitas mikrosom,
dan menghambat ambilan empedu.
 Asam empedu tersier yang mempunyai sifat hidrolise serta tidak hepatotoksik
disbanding dengan asam empedu primer dan sekunder. Jadi asam Ursodeoksikolat
merupakan competitive binding terhadap asam empedu toksik sebagai suplemen
empedu, hepatoprotektor serta bile flow inducer.
 Vitamin ADEK

Pada periode post-operasi


 Metilprednisolon 1.6-2 mg/kg/hari IV.
dapat digunakan sebagai anti-inflamasi dan stimulan non-spesifik terhadap aliran
garam empedu.
 Asam ursodeoksikolik (UCDA) 15-30 mg/kg/hari. (diberikan pada pasien dengan
kondisi kolestasis)
 Kotrimoxazole 8 mg/kg/hari.

B. Pembedahan
Satu-satunya terapi yang memberikan harapan kesembuhan bagi atresia bilier
adalah pembedahan. Secara historis, berbagai operasi telah disusun, termasuk reseksi
hepatik parsial dengan drainase luka permukaan, penusukan hepar dengan tabung
hampa, dan pengalihan duktus limfatik torasikus kedalam rongga mulut. Prosedur satu-
satunya yang memberikan keberhasilan jangka-panjang adalah portoenterostomi
(Prosedur Kasai) dan transplantasi hati.

Portoenterostomi hepatic

Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke
usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk
melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus,
dilakukan pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Pembedahan akan berhasil jika
dilakukan sebelum bayi berusia 8 minggu. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan
pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati. 

Prosedur portoenterostomi diawali dengan mobilisasi kandung empedu dari hati dan
diseksi duktus sistikus ke sisa serabut duktus biliaris komunis (Gambar 69.4). Peritoneum superficial
diatas ligamentum hepatoduodenal dibuka untuk memperlihatkan arteri hepatika dan
struktur  biliaris. Alat pembesar dan pencahayaan sempurna tidak memiliki arti.

Duktus komunis fibrosa secara hati-hati dipotong dan dibelah di distal pada batas atas
duodenum. Sisa duktal digunakan untuk traksi dan diseksi berlanjut ke proksimal.
Arteri sistikus diligasi. (berhati-hatilah untuk menghindari kesalahan a. hepatika kanan
untuk kistik). Duktus biliaris fibrosame luas menjadi massa berbentuk kerucut dan memasuki
hepar di antara bifurkasi dan vena porta (Gambar 69.5).

Vena kecil bercabang harus dibagi dengan cermat. Kerucut fibrosa dipotong sama
persis dengan substansi hepar (Gambar 69.6). Tidak ada kauter yang digunakan pada
pemotongan hilus.
Pembalutan dengan kasa ketika Roux-en-Y tersumbatakan memberikan hemostasis yang
cukup. Meskipun berbagai rekonstruksi intestinal telah dijelaskan, Roux-en-Y
tradisional saat ini lebih disukai. Kebanyakan pilihan lainnya berasal dari usaha untuk
mengurangi frekuensi kolangitis. Umumnya, tak satupun dari eksteriorisasi atau teknik
katup yang secara bermakna mempengaruhi insiden kolangitis atau hasil akhir jangka-

panjang.
Saat ini, kita menciptakan Roux-en-Y 40-cm dengan transeksi yeyunum 10-cm distal
terhadap ligamentum Trietz. Cabang Roux melewati retro-kolik dan prosedur
dilengkapi dengan anastomosis yang berakhir-pada-satu-lapisan ke hepatik porta yang
ditranseksi menggunakan jahitan berturut-turut yang dapat diserap (Gambar 69.7).
Harus berhati-hati untuk tidak menempatkan jahitan melalui jaringan yang ditranseksi
dimana terdapat duktus bilier yang sangat kecil, khususnya di lateral dan posterior.
Sebuah saluran kecil ditempatkan di posterior dari hepatik porta pada ruang subhepatik
sebelum penutupan insisi.

Portokolesistotomi 

Pada kira-kira 20% pasien, kenyataan


kandung empedu, duktus sistikus, dan
duktus biliaris komunis distal
membolehkan penggunaan untuk
rekonstruksi. Pemotongan proksimal
berada pada tingkat identik. Kandung empedu
harus dimobilisasi dengan hati-hati untuk
melindungi pasokan darah dari arteri
sistikus. Kandung empedu dibuka secara
longitudinal dan secara langsung di-anastomosis-kan ke porta yang ditranseksi (Gambar
69.8).

Duktus sistikus hipoplastik dan duktus biliaris komunis mungkin tidak mampu menerima volume
penuh drainase bilier pada awalnya. Oleh karena itu, dekompresi sementara dengan
sebuah tabung  silastic yang ditempatkan melalui fundus kandung empedu membiarkan
penyembuhanan astomotik dan dilatasi bertahap duktus distal. Jika kandung empedu
berhasil digunakan untuk drainase, resiko kolangitis paska operasi hampir dihilangkan.

Pencangkokan atau Transplantasi Hati

Pencangkokan (Transplantasi) adalah pemindahan sel, jaringan maupun organ hidup


dari seseorang donor kepada orang lain atau resipien. Atau transplantasi dari satu bagian
tubuh ke bagian tubuh lainnya misalnya pencangkokan hati, dengan tujuan
mengembalikan fungsi hati yang telah hilang.  Transplantasi bisa memberikan
keuntungan yang sangat besar bagi orang-orang yang menderita penyakit yang tidak
dapat disembuhkan. Transfusi darah merupakan jenis transplantasi yang paling sering
dilakukan.

Angka keberhasilan transplantasi hati lebih rendah daripada transplantasi ginjal, tetapi
70-80% resipien bertahan hidup minimal selama 1 tahun. Mereka yang bertahan hidup
kebanyakan adalah resipien yang hatinya telah mengalami kerusakan akibat sirosis
bilier primer, hepatitis atau pemakaian obat yang merupakan racun bagi hati.
Tansplantasi hati sebagai pengobatan untuk kanker hati jarang berhasil. Kanker
biasanya kembali tumbuh pada hati yang dicangkokkan atau pada organ lainnya dan
kurang dari 20% resipien yang bertahan hidup selama 1 tahun.  Yang mengejutkan
adalah bahwa reaksi penolakan pada transplantasi hati tidak sehebat reaksi penolakan
pada transplantasi organ lainnya (seperti ginjal dan jantung). Tetapi setelah pembedahan
harus diberikan obat immunosupresan. Jika resipien mengalami pembesaran hati, mual,
nyeri, demam, sakit kuning atau terdapat kelainan fungsi hati yang dapat diketahui dari
hasil pemeriskaan darah, maka bisa dilakukan biopsi jarum. Hasil biopsi akan
membantu menentukan apakah hati yang dicangkokkan telah ditolak dan apakah dosis
obat immunosupresan harus ditingkatkan.

VIII. KOMPLIKASI dan PROGNOSIS


Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada atresia biliaris adalah:
 Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran
normal empedu keluar hati dan kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk
sumbatan dan menyebabkan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan
peradangan, edema, degenerasi hati. Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis.
Dan hipertensi portal sehingga akan mengakibatkan gagal hati.
 Progresif serosis hepatis trjadi jika aliran hanya dapat dibuka sebagian oleh
prosedur pembedahan, permasalahan dengan pendarahan dan penngumpalan.
 Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan
hepatomegaly.
 Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat
diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak dan gagal tumbuh.
 Hipertensi portal
 Pendarahan yang mengancam nyawa dari pembesaran vena yang lemah  di
esofaguc dan perut, dapat menyebabkan Varises Esophagus.
 Asites merupakan akumulasi cairan dalam kapasitas abdomen yang disebabkan
penurunan produksi albumin dalam protein plasma.
 Komplikasi Pasca Bedah: yakni “kolangitis menaik”
Tanda-tanda kolangitis menaik adalah : badan panas, tampak iterik, perut
membuncit, leukositosis, anemia, peningkatan LED, GOT dan GPT, serta bilirubin
darah. Kolangitis menaik dibagi 2:
(a) Kolangitis menaik dini (early ascending cholangitis)
Hal ini bias berakibat fatal bila terjadi.
(b) Kolangitis menaik lambat (late cholangitis)
Hal ini tidak bersifat fatal, tetapi hamper selalu terjadi pada pasca operasi.
 

Prognosis
Harapan hidup pasien yang tidak diobati adalah 18 bulan. Progresi fibrosis hepatic
sering terjadi walaupun sudah mendapat terapi bedah paliatif, meskipun 30 – 50 %
pasien mungkin tetap anikterik. Sebelum ditemukan transplantasi hati sebagai terapi
pilihan pada anak dengan penyakit hati stadium akhir, angka kelangsungan hidup
jangka panjang pada anak penderita atresia biliaris yang telah mengalami
portoenterostomy adalah 47-60% dalam 5 tahun dan 25-35% dalam 10 tahun. Sepertiga
dari semua pasien ini , mengalami gangguan aliran empedu setelah mendapat terapi
bedah,sehingga anak-anak ini terpaksa menderita komplikasi sirosis hepatis pada
beberapa tahun pertama kehidupan mereka meskipun transplantasi hati sudah
dilakukan.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Atresia Bilier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak
berkembang secara normal.

Fungsi dari sistem empedu adalah membuang limbah metabolik dari hati dan mengangkut
garam empedu yang diperlukan untuk mencerna lemak di dalam usus halus.

Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam
maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini
tidak diketahui.
Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran.
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
• urin bayi berwarna gelap
• feses berwarna pucat
• kulit berwarna kuning
• berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Pada pemeriksaan perut, hati teraba membesar.
Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
• Pemeriksaan darah (terdapat peningkatan kadar bilirubin)
• USG perut
• Rontgen perut (tampak hati membesar)
• Kolangiogram
• Biopsi hati

Penatalaksanaan yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan


empedu ke usus. Untuk melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan
usus halus, dilakukan pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Pembedahan akan berhasil
jika dilakukan sebelum bayi berusia 8 minggu.

Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu
dilakukan pencangkokan hati.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sabiston, David C. Jr., M.D. Buku ajar bedah bagian 2. Jakarta: EGC; 2010. Hal 151-
154

2. Crawford JM. Hati dan saluran empedu. Dalam: Kumar, Cotran, Robins, Eds. Buku
Ajar Patologi Vol. 2. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2007. hal.708

3. Schwarz SM. Pediatric biliary atresia. [online]. April 2009. [cited October 2018].
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/927029-overview

4. Zukotynski K, Babin PS. Biliary atresia imaging. [online]. October 2009. [cited
October 2018]. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/927029-
media

5. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. Biliary Atresia.
USA : 2006. Available from : url
:http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/atresia/BiliaryAtresia.pdf

6. Cincinnati Children’s Hospital Medical Center. Biliary Atresia. 2010. Available


from : url : http://www.cincinnatichildrens.org/svc/alpha/l/liver/diseases/biliary.htm

Anda mungkin juga menyukai