Anda di halaman 1dari 18

BAB 

1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Atresia billiaris adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan dari sistem
billier ekstrahepatic. Atresia billiaris merupakan proses inflamasi progresif yang
menyebabkan fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik
sehingga pada akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong,
2008). Atresia billiaris terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan progresif pada duktus billier ekstrahepatik sehingga
menyebabkan hambatan aliran empedu. Karakteristik dari atresia billiaris adalah
tidak terdapatnya sebagian sistem billier antara duodenum dan hati sehingga
terjadi hambatan aliran empedu dan menyebabkan gangguan fungsi hati tetapi
tidak menyebabkan kern icterus karena hati masih tetap membentuk konjugasi
bilirubin dan tidak dapat menembus blood brain barier. Penyebab atresia billiaris
belum dapat dipastikan. Atresia billiaris akan mengakibatkan fibrosis dan sirosis
hati pada usia yang sangat dini, bila tidak ditangani segera. Jika operasi tidak
dilakukan maka angka keberhasilan hidup selama 3 tahun hanya berkisar 10% dan
rata-rata meninggal pada usia 12 bulan. Tindakan operatif atau bedah dapat
dilakukan untuk penatalaksanaannya.
Di dunia secara keseluruhan dilaporkan angka kejadian atresia billiaris sekitar
1:1000-15000 kelahiran hidup, lebih sering pada wanita daripada laik-laki. Rasio
atresia billiaris antara anak perempuan dan laki-laki 1,41:1 dan angka kejadian
lebih sering pada bangsa Asia. Di Belanda, dilaporkan kasus atresia bilier
sebanyak 5 dari 100.000 kelahiran hidup, di Perancis 5,1 dari 100.000 kelahiran
hidup, di Inggris dilaporkan 6 dari 100.000 kelahiran hidup. Di Texas tercatat 6.5
dari 100.000 kelahiran hidup, 7 dari 100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4 dari
100.000 kelahiran hidup di USA dan dilaporkan terdapat 10,6 dari 100.000
kelahiran hidup di Jepang menderita atresia billier. Dari 904 kasus atresia billier
yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia billier di dapatkan pada ras
Kaukasia  (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian
amerika (1,5%). Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta penyebab
kolestasis obstruktif yang paling banyak dilaporkan (90%) adalah atresia billiaris
dan pada tahun 2002-2003 tercatat mencapai 37-38 bayi atau 23% dari 163 bayi
berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati Sedangkan di RSU Dr. Soetomo
Surabaya antara tahun 1999-2004 ditemukan dari 19.270 penderita rawat inap di
Instalansi Rawat Inap Anak, tercatat 96 penderita dengan penyakit kuning
gangguan fungsi hati didapatkan 9 (9,4%) menderita atresia bilier ( Widodo J,
2010).
Deteksi dini kemungkinan adanya atresia billiaris sangat penting sebab
keberhasilan pembedahan hepato-portoenterostomi (Kasai) akan menurun apabila
dilakukan setelah umur 2 bulan. Keberhasilan operasi sangat ditentukan terutama
usia saat dioperasi, yaitu bila dilakukan sebelum usia 2 bulan, keberhasilan
mengalirkan empedu 80%, sementara sesudah usia tersebut hasilnya kurang dari
20%. Bagi penderita atresia billiaris prosedur yang baik adalah mengganti saluran
empedu yang mengalirkan empedu ke usus. Selain itu, terdapat beberapa
intervensi  keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia billiris.
Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran
bagi tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga
pasien. Segera sesudah pembedahan portoenterostomi, asuhan keperawatannya
sama dengan yang dilakukan pada setiap pembedahan abdomen yang berat.
Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian obat dan terapi gizi yang benar,
termasuk penggunaan formula khusus, suplemen vitamin serta mineral, terapi
nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus mungkin menjadi persoalan signifikan
namun dapat dikurangi dengan obat atau tindakan seperti mandi rendam atau
memotong kuku jari-jari tangan (Donna L. Wong, 2008)

1.2  Tujuan
1.2.1        Mengetahui pengertian dari penyakit atresia billiaris
1.2.2        Mengetahui penyebab timbulnya penyakit atresia billiaris
1.2.3        Mengetahui manifestasi klinis dari penyakit atresia billiaris
1.2.4        Mengetahui pemeriksaan diagnostic dari penyakit atresia billiaris
1.2.5        Mengetahui penatalaksanaan dari penyakit atresia billiaris
1.2.6        Mendapatkan gambaran tentang konsep penyakit atresia billiaris
1.2.7        Mengertahui asuhan keperawatan dari penyakit atresia billiaris.

1.3  Implikasi Keperawatan
1.3.1        Perawat dapat memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang atresia
billiaris sehingga dapat melakukan asuhan keperawatan secara profesional
1.3.2        Perawat diharapkan dapat menjadi pedamping yang cermat untuk klien dalam
memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit atresia billiaris
1.3.3        Perawat dapat memberikan educator terhadap klien sehingga klien dapat
memahami tentang penyakit atresia billiaris.

BAB 2. TINJAUAN TEORI


2.1 Pengertian
Atresia Billier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak
adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau
intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel
yang akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau
sebagian. (Chandrasoma & Taylor,2005)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih
dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus
persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis
biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta. (Kamus
Kedokteran Dorland 2002: 206)
Atresia Billier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk
atau tidak berkembang secara normal. Atresia biliaris adalah kelainan konginetal
yang ditandai dengan obstruksi atau tidak adanya duktus atau saluran empedu.
Atresia bilier merupakan suatu defek congenital yang merupakan hasil dari tidak
adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau
intrahepatik. Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke
kandung empedu. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang
jika tidak diobati bisa berakibat fatal.
Tipe- tipe atresia biliary, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe:
a.         Tipe yang dapat dioperasi / Operable/ correctable.
Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya. Sebagian besar dari saluran-
saluran ekstrahepatik empedu paten.
b.        Tipe yang tidak dapat dioperasi / Inoperable/  incorrectable
Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi akhir-akhir ini
dapat dipertimbangakan untuk suatu operasi porto enterostoma hati radikal. Tidak
bersifat paten seperti pada tipe operatif.
Klasifikasi dengan menggunakan system klasifikasi Kasai, cara ini banyak
digunakan. Mengklasifikasikan kasus atresia biliaris berdasarkan lokasi dan
tingkat patologinya. Klasifikasi atresia bliaris sesuai dengan area yang terlibat.
a.         Tipe I: saluran empedu umumnya paten pada daerah proksimal.
b.        Tipe II: atresia pada saluran empedu dapat terlihat, dengan sumbatan saluran
empedu ditemukan pada porta hepatis.
c.         Tipe IIa: fibrosis dan saluran empedu umumnya bersifat paten
d.        Tepi IIb: umumnya duktus biliaris dan duktus hepatic tidak ada.
e.         Tipe III : lebih mengacu pada terputusnya duktus hepatic kanan dan kiri sampai
pada porta hepatic. Bentuk atresia ini adalah umum terjadi, sekitar lebih dari 90%
kasus

2.2 Epidemiologi
Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Kondisi ini jarang
terjadi, prevalensinya 1 : 15.000 kelahiran. Insidensi lebih banyak terjadi pada
anak-anak asia dan anak kulit hitam. Di US, sekitar 300 bayi yang lahir setiap
tahunnya dengan kondisi atresia billiaris. Bentuk janin-embrio yang ditandai
dengan kolestasis awal, muncul dalam 2 minggu pertama kehidupan, dan
menyumbang 10-35% dari semua kasus. Dalam bentuk ini, saluran-saluran
empedu terputus saat lahir, dan 10-20% dari neonatus yang terkena dampak telah
dikaitkan cacat bawaan, termasuk Situs inversus , polysplenia , malrotasi, atresia
usus, dan anomali jantung, antara lain.
Atresia billiaris dtemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier
pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi jumlah
penderita atresia billiaris yang ditangani rumah sakit Cipt Mangunkusumo
(RSCM) pada tahun 2002-2003, mencapai 37-38 bayi atau 23 persen dari 162
bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan di Instalasi Rawat
Inap Anak RSU Dr. Suromo Surabaya antara tahun 1999-2001 dari 19270
penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan
fungsi hati di dapatkan atresia bilier 9 (9,4%).
Dari 904 kasus atresia billiris yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia
billiaris didapat pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), hispantik (11%),
Asia (4,2) dan Indian Amerika (1,5%). Kasus atresia bilier dilaporkan sebanyak
5/100.000 kelahiran hidup di belanda, 5/100.000 kelahiran hidup di perancis,
6/100.000 klahiran hidup di Inggris, 6,5/100.000 kelhiran hidup di Texas,
7/100.000 kelahiran hidup di australia, 7,4/100.000 kelahiran hidup di USA, dan
10,6/100.000 kelahiran hidup di Jepang.

2.3 Etiologi
Penyebab atresia billiaris tidak diketahui dengan jelas, tetapi diduga akibat
proses inflamasi yang destruktif. Atresia billiaris terjadi karena adanya
perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi
penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui.
Meskipun penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga karena
kelainan kongenital, didapat dari proses-proses peradangan, atau kemungkinan
infeksi virus dalam intrauterine.
Penyebab atresia masih kontroversial, beberapa ahli percaya bahwa hal ini
terjadi akibat infeksi intrauterine. Atresia biasanya hanya mengenai duktus biliaris
ekstrahepatik, duktus intrahepatik lebih jarang terkena. Atresia biliaris komplit
yang mengenai seluruh system menyebabkan kematian yang tinggi. Hati
menunjukan gambaran obstruksi hebat duktus biliaris yang besar dengan sirosis
biliaris sekunder. Tanpa pengobatan, kematian terjadi pada masa bayi. Terapi
bedah dapat berhasil pada kasus atresia parsial. Pada kasus atresia yang mengenai
duktus intrahepatik, transplantasi hati merupakan satu-satunya harapan.
Hal yang penting perlu diketahui adalah bahwa atresia billiaris adalah bukan
merupakan penyakit keturunan. Kasus atresia billiaris tidak diturunkan dari
keluarga. Atreia billiaris paling sering disebabkan karena sebuah peristiwa yang
terjadi saat bayi dalam kandungan. Kemungkinan hal yang dapat memicu
terjadinya atresia billiaris diantaranya: infeksi virus atau bakteri, gangguan dalam
system kekebalan tubuh, komponen empedu yang abnormal, kesalahan dalam
perkembangan hati dan saluran empedu.

2.4 Tanda dan Gejala


Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
a.    Air kemih bayi berwarna gelap
b.    Kulit berwarna kuning
c.    Tinja berwarna pucat
d.   Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
e.    Hati membesar.
f.     Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
1.    Gangguan pertumbuhan
2.    Gatal-gatal
3.    Rewel
4.    Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah
dari lambung, usus dan limpa ke hati).

2.5 Patofisiologi
Penyebabnya sebenarnya atresia billiaris tidak diketahui sekalipun
mekanisme imun atau viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang
menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan bahwa
atresia billiaris tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir. Keadaan ini
menunjukan bahwa atresia billiaris terjadi pada akhir kehamilan atau pada periode
perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan.
Inflamasi terjadi secara progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis
pada saluran empedu intrahepatik atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran
normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan
menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi fibrosis
dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan
ikterus dan duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin.
Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan
tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi billier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah
sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu
dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga
mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh pada anak.

2.6 Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi yang dapat terjadi pada atresia billiaris yaitu:
a.    Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran
normal empedu keluar hati dan kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk
sumbatan dan menyebabkan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan
peradangan, edema, degenerasi hati. Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis.
Dan hipertensi portal sehingga akan mengakibatkan gagal hati.
b.    Progresif serosis hepatis terjadi jika aliran hanya dapat dibuka sebagian oleh
prosedur pembedahan, permasalahan dengan pendarahan dan penggumpalan.
c.    Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan
hepatomegali.
d.   Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat
diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak dan gagal tumbuh.
e.    Hipertensi portal
f.     Pendarahan yang mengancam nyawa dari pembesaran vena yang lemah  di
esofagus dan perut, dapat menyebabkan Varises Esophagus.
g.    Asites merupakan akumulasi cairan dalam kapasitas abdomen yang disebabkan
penurunan produksi albumin dalam protein plasma.
h.    Komplikasi pasca bedah yakni kolangitis menaik.
Harapan hidup pasien yang tidak diobati adalah 18 bulan. Progresi fibrosis hepatic
sering terjadi walaupun sudah mendapat terapi bedah paliatif, meskipun 30 – 50
% pasien mungkin tetap anikterik. Angka harapan hidup transplantasi jangka
pendek sekitar 75 %. Menurut Carlassone & Bensonsson (1977) menyatakan
bahwa operasi atresia billiaris tipe “noncorrectable” adalah buruk sekali sebelum
adanya operasi Kasai, tetapi sampai sekarang hanya sedikit penderita yang dapat
disembuhkan. Bila pasase empedu tidak dikoreksi, 50 % anak akan meninggal
pada tahun pertama kehidupan, 25 % pada tahun ke dua, dan sisanya pada usia 8-9
tahun. Penderita meninggal akibat kegagalan fungsi hati dan sirosis dengan
hipertensi portal.
2.7  Pengobatan
a.    Medik
1)   Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk :
-       Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam
empedu dengan memberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
peroral misal : luminal
-       Melindungi hati dari zat dari zat toksik dengan memberikan asam ursodeoksikolat
310 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis peroral misal : urdafalk
2)      Terapi nutrisi yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk bertumbuh dan
berkembang seoptimal mungkin yaitu:
-       Pemberian makanan yang mengandung middle chain triglycerides(MCT)untuk
mengatasi malabsorpsi lemak. Contoh : susu pregestinil dan pepti yunior.
-       Penatalaksanaan defisiensi  vitamin yang larut dalam lemak.
-       Dan pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif
harus dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan
hati yang progresif dapat dikurangi.
3)      Terapi Bedah
Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan maka segera dilakukan intervensi
bedah Portoenterostomi terhadap atresia bilier yang Correktable yaitu
tipe Idan II. Pada atresia bilier yang Non Correktable terlebih dahulu dilakukan
laparatomi eksplorasi untuk menentukan potensi duktus bilier yang ada di daerah
hilus hati dengan bantuan Frozen section. Bila masih ada duktus bilier yang paten
maka dilakukan operasi kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang paten
tetap dikerjakan operasi kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita
(tujuan jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi
hati (tujuan jangka panjang). Pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah
empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah
lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.
4)       Pemeriksaan diagnostik
-        Darah lengkap dan fungsi hati
Pada pemeriksaan laboratorium ini menunjukkan adanya hiperbilirubinemia
direk, serta peningkatan kadar serum transaminase,fosfatase alkali, dan gamma
glutamil transpeptidase yang dapat membantu diagnosis atresia bilier pada tahap
awal.
-       Pemeriksaan urin
Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami
ikterus, tetapi urobilin dalam urine negative, hal ini menunjukkan adanya
bendungan saluran empedu total.
-       Pemeriksaan feses
Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin dalam tinja
berkurang karena adanya sumbatan.
-       Biopsi hati
Untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan dengan
pengambilan jaringan hati.
-       USG abdomen
Kandung empedu yang kecil atau tidak sama sekali, adanya tanda Triangular cord
sangat sensitive menunjukkan adanya atresia bilier.
b.    Keperawatan
Terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang
menderita atresia bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana
penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan harus
disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera pembedahan
portoenterestomi asuhan keperawatannya serupa dengan yang dilakukan pada
setiap pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi
pemberian obat dan terapi gizi yang benar termasuk penggunaan formula khusus,
suplemen vitamin serta mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus
menjadi persoalan signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau tindakan
seperti mandi rendam dan memotong kuku jari tangan.
Anak-anak dan keluarga memerlukan dukungan psikososial khusus. Prognosis
yang tidak pasti, gangguan rasa nyaman, dan penantian untuk tranpalantasi dapat
menimbulkan stress yang cukup besar. Perawatan yang lama di rumah sakit, terapi
farmakologis dan nutrisi dapat membawa beban financial yang besar pada
keluarga.
2.8 Pencegahan
Dapat mengetahui setiap faktor risiko yang dimiliki, sehingga bisa
mendapatkan prompt diagnosis dan pengobatan jika saluran empedu tersumbat.
Penyumbatan itu sendiri tidak dapat dicegah. (Attasaranya S, Fogel EL,2008)
Dalam hal ini perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan pada orang
tua untuk mengantisipasi setiap faktor resiko terjadinya obstruksi biliaris
(penyumbatan saluran empedu), dengan keadaan fisik yang menunjukan  anak
tampak ikterik, feses pucat dan urine berwarna gelap (pekat). (Sarjadi,2000)

 
BAB 4 ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
a.    Identitas
Meliputi Nama,Umur, Jenis Kelamin dan data-data umum lainnya. Hal ini
dilakukan sebagai standar prosedur yang harus dilakukan untuk mengkaji keadaan
pasien. Umumnya Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Atresia
bilier dtemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak
perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1.

b.    Keluhan Utama
Keluhan utama dalam penyakit Atresia Biliaris adalah Jaundice dalam 2
minggu sampai 2 bulan Jaundice adalah perubahan warna kuning pada kulit dan
mata bayi yang baru lahir. Jaundice terjadi karena darah bayi mengandung
kelebihan bilirubin, pigmen berwarna kuning pada sel darah merah. 

c.    Riwayat Penyakit Sekarang


Anak dengan Atresia Biliaris mengalami Jaundice yang terjadi dalam
2  minggu atau 2 bulan lebih, apabila  anak buang air besar tinja atau feses
berwarna pucat. Anak juga mengalami distensi abdomen, hepatomegali, lemah,
pruritus. Anak tidak mau minum dan kadang disertai letargi (kelemahan).

d.   Riwayat Penyakit Dahulu


Adanya suatu infeksi pada saat Infeksi virus atau bakteri masalah dengan
kekebalan tubuh. Selain itu dapat juga terjadi obstruksi empedu ektrahepatik. yang
akhirnya menimbulkan masalah dan menjadi factor penyebab terjadinya Atresia
Biliaris ini.
Riwayat Imunisasi: imunisasi yang biasa diberikan yaitu BCG, DPT, Hepatitis,
dan Polio.

e.    Riwayat Perinatal
1)   Antenatal:
Pada anak dengan atresia biliaris, diduga ibu dari anak pernah menderita infeksi
penyakit, seperti HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan infeksi virus rubella
2)   Intra natal:
Pada anak dengan atresia biliaris diduga saat proses kelahiran bayi terinfeksi virus
atau bakteri selama proses persalinan.
3)   Post natal:
Pada anak dengan atresia diduga orang tua kurang memperhatikan personal
hygiene saat merawat atau bayinya. Selain itu kebersihan peralatan makan dan
peralatan bayi lainnya juga kurang diperhatikan oleh orang tua ibu.
f.     Riwayat Kesehatan Keluarga
Anak dengan atresia biliaris diduga dalam keluarganya, khususnya pada ibu
pernah menderita penyakit terkait dengan imunitas HIV/AIDS, kanker, diabetes
mellitus, dan infeksi virus rubella. Akibat dari penyakit yang di derita ibu ini,
maka tubuh anak dapat menjadi lebih rentan terhadap penyakit atresia biliaris.
Selain itu terdapat kemungkinan adanya kelainan kongenital yang memicu
terjadinya penyakit atresia biliaris ini.

g.    Pemeriksaan Tingkat Perkembangan


Pemeriksaan tingkat perkembangan terdiri dari adaptasi sosial, motorik kasar,
motorik halus, dan bahasa. Tingkat perkembangan pada pasien atresia biliaris
dapat dikaji melalui tingkah laku pasien maupun informasi dari keluarga. Selain
itu, pada anak dengan atresia biliaris, kebutuhan akan asupan nutrisinya menjadi
kurang optimal karena terjadi kelainan pada organ hati dan empedunya sehingga
akan berpengaruh terhadap proses tumbuh kembangnya.

h.    Keadaan Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit


Kedaan lingkungan yang mempengaruhi timbulnya atresia pada anak yaitu
pola kebersihan yang cenderung kurang. Orang tua jarang mencuci tangan saat
merawat atau menetekkan bayinya. Selain itu, kebersihan botol atau putting ketika
menyusui bayi juga kurang diperhatikan.

i.      Pola Fungsi Kesehatan


1)   Pola Aktivitas/Istirahat : Pola aktivitas dan istirahat anak dengan atresia biliaris
terjadi gangguan yaitu ditandai dengan anak gelisah dan rewel yang gejalanya
berupa letargi atau kelemahan
2)   Pola Sirkulasi : Pola sirkulasi pada anak dengan atresia biliaris adalah ditandai
dengan takikardia, berkeringat yang berlebih, ikterik pada sklera kulit dan
membrane mukosa.
3)   Pola Eliminasi : Pola eliminasi pada anak dengan atresia biliaris yaitu terdapat
distensi abdomen dan asites yang ditandai dengan urine yang berwarna gelap dan
pekat. Feses berwarna dempul, steatorea. Diare dan konstipasi pada anak dengan
atresia biliaris dapat terjadi.
4)   Pola Nutrisi : Pola nutrisi pada anak dengan atresia biliaris ditandai dengan
anoreksia,nafsu makan berkurang, mual-muntah, tidak toleran terhadap lemak dan
makanan pembentuk gas dan biasanya disertai regurgitasi berulang.
5)   Pola kognitif dan persepsi sensori: pola ini mengenai pengetahuan orang
tua terhadap penyakit yang diderita klien
6)   Pola konsep diri: bagaimana persepsi orang tua dan/atau
anak terhadap pengobatan dan perawatan yang akan dilakukan.
7)   Pola hubungan-peran: biasanya peran orang tua sangat dibutuhkan dalam merawat
dan mengobati anak dengan atresia biliaris.
8)   Pola seksual-seksualitas: apakah selama sakit terdapat gangguan atau tidak yang
berhubungan dengan reproduksi sosial. Pada anak yang menderita atresia biliaris
biasanya tidak ada gangguan dalam reproduksi.
9)   Pola mekanisme koping: keluarga perlu memeberikan dukungan dan
semangat sembuh bagi anak.
10)                   Pola nilai dan kepercayaan: orang tua selalu optimis dan berdoa agar
penyakit pada anaknya dapat sembuh dengan cepat.
                                                                                               
j.      Pemeriksaan Fisik
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
1)      Air kemih bayi berwarna gelap
2)      Tinja berwarna pucat
3)      Kulit berwarna kuning
4)      Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
5)      Hati membesar.
6)      Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a)    Gangguan pertumbuhan
b)   Gatal-gatal
c)    Rewel
d)   Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah
dari lambung, usus dan limpa ke hati).
7)      Pemeriksaan Fisik
a)      Keadaan umum    : lemah.
TTV          : Tekanan Darah : terjadi peningkatan terutama pada vena porta
Suhu         : Suhu tubuh dalam batas normal
Nadi         : takikardi
RR            : terjadi peningkatan RR akibat diafragma yang
                                                  tertekan (takipnea)
b)      Kepala dan leher
Inspeksi : Wajah  : simetris 
Rambut                : lurus/keriting, distribusi merata/tidak
Mata                     : pupil miosis, konjungtiva anemis
Hidung                 : kemungkinan terdapat pernafasan cuping Hidung
Telinga                 : bersih
Bibir dan mulut    : mukosa biibir kemungkinan terdapat ikterik
Lidah                   : normal
Palpasi                 : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid dan limfe pada leher
c)      Dada
Inspeksi               : asimetris, terdapat tarikan otot bantu pernafasan dan
tekanan  pada otot diafragma akibat pembesaran hati (hepatomegali).
Palpasi                  : denyutan jantung teraba cepat, terdapat nyeri tekan(-)
Perkusi                 : Jantung          : dullness
Paru                      : sonor
Auskultasi           : tidak terdengar suara ronchi
                                                kemungkinan terdengar bunyi wheezing
d)     Abdomen
Inspeksi                : terdapat distensi abdomen
Palpasi                  : dapat terjadi nyeri tekan ketika dipalpasi
Perkusi                 : sonor
Auskultasi            : kemungkinan terjadi pada bising usus
e)      Kulit
Turgor kurang, pucat, kulit berwarna kuning (jaundice)
f)       Ekstremitas
Tidak terdapat odem pada pada extremitas

k.    Pemeriksaan Penunjang
1)      Laboratorium 
a)    Bilirubin direk dalam serum meninggi (nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl)
karena kerusakan parenkim hati akibat bendungan empedu yang luas.
b)   Tidak ada urobilinogen dalam urine.
c)    Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-
20 kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)
2)      Pemeriksaan diagnostik
a)      USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra
hepatic (dapat berupa dilatasi kristik saluran empedu)
b)      Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di
aspirasi. Jika tidak ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
c)      Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati
memproduksi empedu dan mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah
ke duodenum. Jika tidak ditemukan empedu di duodenum, maka dapat berarti
terjadi katresia intra hepatik
d)     Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler.
Kandung empedu mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen
yang jelas
4.2    Diagnosa Keperawatan
a.    Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan
gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva
anemis
b.    Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen
ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
c.    Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada
duktusbilier ekstrahepatik
d.   Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting
pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
e.    Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi
f.     Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
4.3 Perencanaan Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan 1.      Kaji distensi abdomen
keperawatan 2 x 24 jam selama proses
2.      Pantau masukan nutrisi dan perhatikan
keperawatan, diharapkan pola nutrisi frekuensi muntah klien
pasien menjadi adekuat 3.      Timbang BB setiap hati
Kriteria Hasil: 4.      Berikan diet yang sedikit namun
a.       BB pasien stabil sering
b.      Konjungtiva tidak anemis 5.      Atur kebersihan oral sebelum makan
6.      Konsulkan dengan ahli diet sesuai
indikasi
7.      Berikan diet rendah lemak, tinggi
serat, dan batasi makanan penghasil
gas
8.      Kolaborasikan pemberian makanan
yang mengandung MCT sesuai
indikasi
9.      Monitor kadar albumin, protein sesuai
program
10.  Berikan vitamin-vitamin larut lemak
(A, D, E, K)

b.    Diagnosa keperawatan: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan


peningkatan distensi abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan
1.      Kaji distensi abdomen
2 x 24 jam, diharapkan pasien 2.      Kaji RR, kedalaman nafas, dan kerja
menunjukkan tanda-tanda pola nafas pernafasan
yang efektif 3.      Awasi klien agar tidak sampai
Kriteria Hasil: mengalami leher tertekuk
a.       RR mencapai 30-40 napas/mnt 4.      Posisikan klien semi ekstensi atau
b.      Kedalaman inspirasi dan kedalaman eksensi pada saat beristirahat
bernafas 5.      Kolaborasikan operasi apabila
c.       Tidak ada penggunaan otot bantu dibutuhkan
nafas pada pasien

c.     Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada


duktusbilier ekstrahepatik, ditandai oleh peningkatan suhu tubuh, dan pasien
demam
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: setelah dilakukan
1.      Berikan kompres air biasa pada daerah
pemeriksaan keperawatan 1 x 24 jam aksila, kening, leher, dan lipatan paha
diharapkan suhu tubuh pasien akan 2.      Pantau suhu minimal setiap 2 jam
kembali menjadi normal sekali disesuaikan dengan kebutuhan
Kriteria Hasil: 3.      Berikan pasien pakaian tipis
a.       Nadi dan pernapasan dalam rentang 4.      Menipulasi lingkungan menjadi
normal senyaman mungkin seperti
b.      Suhu normal 36,5  – 37,5
0 0
penggunaan kipas angin atau AC
5.      Kolaborasikan pemberian obat anti
piretik sesuai kebutuhan

d.   Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada pasien


ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: pasien akan mempertahankan1.      Pantau asupan dan carian pasien
keseimbangan cairan dan elektrolit perjam (cairan infus, susu per NGT,
setelah dilakukan perawatan didalam atau jumlah ASI yang diberikan
rumah sakit selama 2 x 24 jam 2.      Periksa feses pasien tiap harinya
Kriteria Hasil: 3.      Pantau lingkar perut pasien
a.       Kembalinya pengisian kapiler darah
4.      Observasi tanda-tanda dehidrasi
kurang dari 3 detik 5.      Kolaborasikan pemeriksaan elektrolit
b.      Turgor kulit membaik pasien, kadar protein total, albumin,
c.       Produksi urin 1-2ml/kgBB/jam nitrogen urea darah dan kreatinin serta
darah lengkap
                  
e.     Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: pola BAB pasien normal setelah1.    Evaluasi jenis intake makanan
perawatan yang dilakukan 2 x 24 jam 2.    Monitor kulit sekitar perianal
Kriteria Hasil: terhadap adanya iritasi dan ulserasi
a.       Tidak ada diare 3.    Ajarkan pada keluarga penggunaan
b.      Elektrolit normal obat anti diare
c.       Asam basa normal 4.    Instruksikan pada pasien dan
keluarga untuk mencatat warna,
volume, frekuensi dan konsistensi
feses
5.    Kolaborasi jika tanda dan gejala
diare menetap
6.    Monitor hasil Lab (elektrolit dan
leukosit)
7.    Monitor turgor kulit, mukosa oral
sebagai indikator dehidrasi
8.    Konsultasi dengan ahli gizi untuk
diet yang tepat

f.     Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan


Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: pasien akan dapat1.    Observasi adanya pembatasan klien
beraktivitas secara normal setelah dalam melakukan aktivitas
pemeriksaan yang dilakukan 2 x 242.    Kaji adanya faktor yang menyebabkan
jam kelelahan
Kriteria Hasil: 3.    Monitor nutrisi  dan sumber energi
a.    Berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang adekuat
tanpa disertai peningkatan tekanan 4.    Monitor respon kardivaskuler  terhadap
darah, nadi dan RR aktivitas (takikardi, disritmia, sesak
b.    Mampu melakukan aktivitas sehari nafas, diaporesis, pucat, perubahan
hari (ADLs) secara mandiri hemodinamik)
c.    Keseimbangan aktivitas dan istirahat 5.    Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
6.    Bantu klien untuk mengidentifikasi
aktivitas yang mampu dilakukan

4.4  Implimentasi Keperawatan
a.     Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan penyerapan
lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
1)   mengkaji adanya distensi pada abdomen pasien
2)   memantau masukan nutrisi dan frekuensi muntah
3)   menimbang berat badan pasien
4)   mengkolaborasikan pemberian diet pada pasien sedikit namun sering
5)   mempertahankan kebersihan oral pasien sebelum makan
6)   mengkonsultasikan dengan ahli diet sesuai indikasi
7)   memberikan diet rendah lemak, tinggi serat, dan batasi makanan penghasil gas
8)   memberikan makanan mengandung MCT sesuai indikasi
9)   memonitor laboratorium untuk kadar albumin dan protein sesuai program
10)    memberikan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak
b.    Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen ditandai oleh adanya
perasaan sesak pada pasien
1)   mengkaji ada tidaknya distensi abdomen klien
2)   mengkaji RR, kedalaman nafas, dan kerja pernafasan
3)   mengawasi leher klien agar tidak tertekuk atau memosisikan leher klien semi ekstensi saat istirahat
4)   mempersiapkan operasi apabila diperlukan
c.    Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier
ekstrahepatik
1)      memberikan kompres air biasa pada aksila, kening, leher, dan lipatan paha
2)      memantau suhu minimal setiap 2 jam sekali sesuai kebutuhan
3)      memberikan pasien pakaian tipis
4)      memanipulasi lingkungan senyaman mungkin bagi pasien dengan penggunaan AC / kipas angin
d.   Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada pasien
ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
1)      memantau asupan dan cairan pasien perjam
2)      memeriksa feses pasien setiap hari
3)      memantau lingkar perut bayi
4)      mengobservasi tanda-tanda dehidrasi pada pasien
5)      mengkolaborasikan pemeriksaan elektrolit, kadar protein total termasuk albumin, nitrogen urea,
darah dan kreatinin serta darah lengkap
e.    Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.
1)   Mengvaluasi jenis intake makanan
2)   Memonitor kulit sekitar perianal terhadap adanya iritasi dan ulserasi
3)   Mengajarkan pada keluarga penggunaan obat anti diare
4)   Menginstruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat warna, volume,
frekuensi dan konsistensi feses
5)   Berkolaborasi jika tanda dan gejala diare menetap
6)   Memonitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit)
7)   Memonitor turgor kulit, mukosa oral sebagai indikator dehidrasi
8)   Berkonsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang tepat
f.     Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
1)   Mengobservasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
2)   Mengkaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
3)   Memonitor nutrisi  dan sumber energi yang adekuat
4)   Memonitor respon kardivaskuler  terhadap aktivitas (takikardi, disritmia, sesak
nafas, diaporesis, pucat, perubahan hemodinamik)
5)   Memonitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
6)   Membantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan

4.5  Evaluasi
a.    Diagnosa 1: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan
penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
S: Orang tua pasien mengatakan jika sang anak tidak mau menghabiskan makanannya
            O: BB menurun, Muntah, dan konjungtiva tampak anemis
            A: Masalah teratasi
            P: Lanjutkan intervensi
b.    Diagnosa 2: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen ditandai
oleh adanya perasaan sesak pada pasien
S: Orang tua mengeluhkan anaknya sering sesak
O: adanya sesak nafas, RR: 60 x/menit
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
c.    Diagnosa 3: Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada
duktusbilier ekstrahepatik
S: Pasien mengatakan tubuhnya panas
O: suhu meningkat, takikardi, dan RR meningkat
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
d.   Diagnosa 4: Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada
pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
S: Keluarga mengatakan sejak pagi pasien muntah-muntah setelah makan
O: muntah sebanyak ¼ gelas kecil, wajah terlihat pucat dan sianosis
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
e.    Diagnosa 5: Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi
S: keluarga mengatakan pasien sudah mulai berkurang BABnya
O: pasien BAB 2 kali dalam sehari, dengan konsentrasi cair
A: masalah teratasi sebangian
P: lanjutkan intervensi
f.     Diagnosa 6: Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
S: pasien mengatakan sudah dapat beraktivitas, dan tidak lelah
O: nadi 95 kali / menit, RR: 21 kali / menit
A: masalah teratasi
P: lanjutkan intervensi

BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak
adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau
intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006). Penyebab atresia bilier tidak
diketahui dengan jelas, tetapi diduga akibat proses inflamasi yang destruktif.
Atresia biliar terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu
di dalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan
saluran empedu ini tidak diketahui. Meskipun penyebabnya belum diketahui
secara pasti, tetapi diduga karena kelainan kongenital, didapat dari proses-proses
peradangan, atau kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine.Dalam hal ini
pengobatan tidak memberikan efek yang terlalu besar. Satu-satunya terapi yang
memberikan harapan kesembuhan bagi atresia biliar adalah pembedahan. Secara
historis, berbagai operasi telah disusun, termasuk reseksi hepatik parsial dengan
drainase luka permukaan, penusukan hepar dengan tabung hampa, dan pengalihan
duktus limfatik torasikus kedalam rongga mulut. Dalam hal pencegahannya
perawatdiharapkan dapat memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua untuk
mengantisipasi setiap faktor resiko terjadinya obstruksi biliaris (penyumbatan
saluran empedu), dengan keadaan fisik yang menunjukan  anak tampak ikterik,
feses pucat dan urine berwarna gelap (pekat). (Sarjadi,2000)

5.2 Saran
Saran bagi perawat, sebaiknya seorang perawat dapat
melaksanakan asuhan keperawatan kepada klien atresia
biliaris sesuai dengan indikasi penyakit, dan sebaiknya dengan baik dan benar ses
uai standar.

DAFTAR PUSTAKA

Attasaranya S, 2008. Choledocholithiasis, ascending cholangitis, and gallstone


pancreatitis.http://health.nytimes.com/health/guides/disease/cholangitis/
overview.html.  (diakses pada tanggal 11 maret 2015 pukul 16.22)
Craft-Rosernberg, Martha & Smith, Kelly. 2010. Nanda Diagnosa Keperawatan.
Yogyakarta: Digna Pustaka
Parlin.1991.Atresia Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FK UI.
Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M.2006. Patofisiologi, Konsep Klinis, Proses-
proses Penyakit, Volume 1, edisi 6.J akarta: EGC
Sarjadi, 2000. Patologi umum dan sistematik. Jakarta. EGC
Sloane, Ethel.2004.  Anatomi dan Fisiologi untk Pemula. Jakarta:EGC
Smeltzer, Suzanne C., dan Bare, Brenda G.. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC
Wilkinson, Judith M.2007. Buku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. Jakarta : EGC.
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2012/05/
pustaka_unpad_atresia_biliaris.pdf( diakses tanggal 10 Maret 2015)
http://mka.fk.unand.ac.id/images/articles/No_2_2009/hal_190-195-isi.pdf (diakses
tanggal 10 Maret 2015)

Anda mungkin juga menyukai