Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Asslamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan Taufik dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makala ini.

Makala ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat guna menempuh mata
kuliah sejarah pendekatan kesmas pada pendidikan Strata I Universitas Muslim
Indonesia Jurusan Kesehatan Lingkungan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makala ini masih mempunyai


kekurangan-kekurangan sehingga masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan kepada para pembaca kiranya dapat memberikan
sumbangan pikiran berupa saran dan kritik yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makala ini.

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Makassar, 05 September 2014

Penulis

Screening Epidemiologi Page 1


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………..
1
DAFTAR ISI……………………………………………………………..............
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………....................
3
B. Tujuan……………........………………………………….........................
4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Skrining………..………………………………........................
5
B. Tujuan Dan Manfaat skrining (Screening) ………........….........................
6
C. Jenis-jenis skrining (Screening) ………........…………………..................
7
D. Sasaran skrining (Screening) ………........………………………..............
7
E. Program skrining (Screening) ………........…………………………..........
9
F. Pelaksanaan skrining (Screening) ………........…………….......................
10.............................................................................................................
G. Kriteria Evaluasi………........……………………………….......................
14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan………......………………………………….........................
21
B. Saran………........………........………………………….........................
21
DAFTAR PUSTAKA

Screening Epidemiologi Page 2


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk dapat memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan,


mencegah dan mengobati penyakit serta  memulihkan kesehatan masyarakat
perlu disediakan dan diselenggarakan Pelayanan Kesehatan Masyarakat
(Public Health Service) yang sebaik–baiknya. Oleh karena itu pelayanan
kesehatan masyarakat yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan ( Health
Needs ) dari masyarakat.

Namun dalam praktek sehari – hari ternyata tidaklah mudah untuk


menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat yang
maksimal. Masalah pokok yang dihadapi adalah sulitnya merumuskan
kebutuhan kesehatan yang ada dalam masyarakat karena pola kehidupan
masyarakat yang beraneka ragam sehingga mengakibatkan kebutuhan
kesehatan yang ditemukan juga beraneka ragam.

Untuk mengatasinya, telah diperoleh semacam kesepakatan bahwa


perumusan kebutuhan kesehatan dapat dilakukan jika diketahui masalah

Screening Epidemiologi Page 3


kesehatan yang ada di masyarakat. Misalnya; apabila dalam suatu masyarakat
banyak ditemukan masalah kesehatan berupa penyakit menular ( TBC ), maka
pelayanan kesehatan yang disediakan akan lebih diarahkan kepada upaya
untuk mengatasi masalah penyakit menular tersebut.

Penyaringan atau screening adalah upaya mendeteksi/mencari


penderita dengan penyakit tertentu dalam masyarakat dengan melaksanakan
pemisahan berdasarkan gejala yang ada atau pemeriksaan laboratorium untuk
memisahkan yang sehat dan yang kemungkinan sakit, selanjutnya diproses
melalui diagnosis dan pengobatan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kami menganggap penting


untuk melakukan penelusuran lebih lanjut mengenai skrining (Sreening)
dalam ilmu epidemiologi.

B. Tujuan
Adapun tujuan yang hendak kami capai dengan penulisan makala ini adalah:
1. Mengetahui definisi skrining
2. Mengetahui tujuan dan manfaat skrining
3. Mengetahui syarat skrining
4. Mengetahui proses pelaksanaan skrining
5. Mengetahui kriteria evaluasi

Screening Epidemiologi Page 4


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Skrining

Menurut Komisi Penyakit Kronis AS (1951) dalam kamus


Epidemiologi (A Dictionary of Epidemiology), skrining didefinisikan sebagai
"identifikasi dugaan penyakit atau kecacatan yang belum dikenali dengan
menerapkan pengujian , pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat
diterapkan dengan cepat . Tes skrining memilah orang-orang yang terlihat
sehat untuk dikelompokkan menjadi kelompok orang yang mungkin memiliki
penyakit dan kelompok orang yang mungkin tidak. Sebuah tes skrining ini
tidak dimaksudkan untuk menjadi diagnostik. Orang dengan temuan positif
atau mencurigakan harus dirujuk ke dokter untuk diagnosis dan pengobatan
yang diperlukan.
Berbeda dengan diagnosis, yang merupakan suatu tindakan untuk
menganalisis suatu permasalahan, mengidentifikasi penyebabnya secara tepat
untuk tujuan pengambilan keputusan dan hasil keputusan tersebut dilaporkan
dalam bentuk deskriptif (Yang dan Embretson, 2007). Skrining bukanlah

Screening Epidemiologi Page 5


diagnosis sehingga hasil yang diperoleh betul-betul hanya didasarkan pada
hasil pemeriksaan tes skrining tertentu, sedangkan kepastian diagnosis klinis
dilakukan kemudian secara terpisah, jika hasil dari skrining tersebut
menunjukkan hasil yang positif (Noor, 2008).
Skrining juga merupakan pemeriksaan untuk membantu mendiagnosa
penyakit (atau kondisi prekursor penyakit) dalam fase awal riwayat alamiah
atau di ujung kondisi yang belum parah dari spektrum dibanding yang dicapai
dalam praktek klinis rutin. Sedangkan menurut Bonita et.al (2006) skrining
adalah proses menggunakan tes dalam skala besar untuk mengidentifikasi
adanya penyakit pada orang sehat. Tes skrining biasanya tidak menegakkan
diagnosis, melainkan ada atau tidak adanya faktor risiko yang diidentifikasi,
sehingga individu membutuhkan tindak lanjut dan pengobatan. Sebagai
penerima skrining biasanya orang-orang yang tidak memiliki penyakit adalah
penting bahwa tes skrining itu sendiri sangat mungkin untuk menyebabkan
kerusakan.
Inisiatif untuk skrining biasanya berasal dari penyidik atau orang atau
badan kesehatan dan bukan dari keluhan pasien. Skrining biasanya berkaitan
dengan penyakit kronis dan bertujuan untuk mendeteksi penyakit yang belum
umum dalam pelayanan medis. Screening dapat mengidentifikasi faktor -
faktor risiko, kecenderungan genetik , dan pencetus , atau bukti awal
penyakit. Ada berbagai jenis tes kesehatan , masing-masing dengan tujuan
sendiri : massa, beberapa atau multifase, dan preskriptif.

B. Tujuan dan Manfaat Skrining (Screening)

Skrining mempunyai tujuan diantaranya (Rajab, 2009):


1. Menemukan orang yang terdeteksi menderita suatu penyakit sedini
mungkin sehingga dapat dengan segera memperoleh pengobatan.
2. Mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat.
3. Mendidik dan membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri
sedini mungkin.

Screening Epidemiologi Page 6


4. Mendidik dan memberikan gambaran kepada petugas kesehatan tentang
sifat penyakit dan untuk selalu waspada melakukan pengamatan
terhadap gejala dini.
5. Mendapatkan keterangan epodemiologis yang berguna bagi klinis dan
peneliti.
Beberapa manfaat tes skrining di masyarakat antara lain, biaya yang
dikeluarkan relatif murah serta dapat dilaksanakan dengan efektif, selain itu
melalui tes skrining dapat lebih cepat memperoleh keterangan tentang sifat
dan situasi penyakit dalam masyarakat untuk usaha penanggulangan penyakit
yang akan timbul. Skrining juga dapat mendeteksi kondisi medis pada tahap
awal sebelum gejala ditemukan sedangkan pengobatan lebih efektif ketika
penyakit tersebut sudah terdeteksi keberadaannya (Chandra, 2009).

C. Jenis-jenis Skrining (Screening)

Screening pada umumnya dilakukan secara massal pada suatu


kelompok populasi tertentu yang menjadi sasaran penyaringan. Namun
demikian, bila suatu penyakit diperkirakan mempunyai risiko tinggi pada
kelompok populasi tertentu maka tes ini dapat dilakukan secara selektif
(umumnya khusus pada wanita dewasa) maupun secara random yang
sasarannya ditujukan terutama kepada mereka dengan risiko tinggi. Tes ini
dapat dilakukan khusus untuk jenis penyakit tertentu, tetapi dapat pula
dilakukan secara serentak untuk lebih dari satu penyakit.

Secara umum ada 4 (empat) jenis skrining yang dikenal, yaitu:


1. Mass screening adalah screening secara masal pada masyarakat tertentu,
Misalnya survey data atau wawancara atau pengisian kuesioner mengenai
Kanker Payudara untuk seluruh penduduk.
2. Selective screening adalah screening secara selektif berdasarkan kriteria
tertentu, contoh pemeriksaan ca paru pada perokok; pemeriksaan ca
servik pada wanita yang sudah menikah

Screening Epidemiologi Page 7


3. Single disease screening adalah screening yang dilakukan untuk satu
jenis penyakit,
4. Multiphasic screening adalah screening yang dilakukan untuk lebih dari
satu jenis penyakit contoh pemeriksaan IMS; penyakit sesak nafas

D. Sasaran Skrining (Screening)

Untuk menghasikan program skrining yang bermanfaat bagi


masyarakat luas, harus ada kriteria tertentu dalam memilih penyakit apa yang
akan diskrining. Berikut beberapa katrakteristik penyakit yang harus
dipertimbangkan dalam memutuskan kebijkan skrining.
1. Jenis penyakit harus termasuk jenis penyakit yang parah, yang relatif
umum dan dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat oleh
masyarakat

2. Harus mengerti riwayat alamiah penyakit dengan baik dan percaya


bahwa dengan melakukan skrining maka akan menghasilkan outcome
yang jauh lebih baik. Misalnya pada Kanker Prostat, secara biologis
penderita kanker tidak bisa dibedakan, namun kemungkinan banyak pria
yang kanker bisa terdeteksi oleh pemeriksaan ini (PSA Test). Meskipun
dmeikian, skrining kanker prostat juga berbahaya sehingga umumnya
skrining ini tidak dianjurkan, meskipun dapat digunakan. Penelitian
sedang dilakukan di sejumlah negara dalam upaya untuk menjelaskan
dilema ini dan memungkinkan lebih banyak informasi
3. Pada umumnya memiliki prevalensi yang tinggi pada tahap pra-klinis.
Hal ini berkaitan dengan biaya relatif dari program skrining dalam
kaitannya dengan jumlah kasus yang terdeteksi dan nilai prediksi positif.
Pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk kegiatan skrining harus
dipertanggungjawabkan dengan menghilangkan atau mengurangi
konsekuensi kesehatan yang merugikan. Namun kriteria ini menjadi
kurang penting karena keparahan dari suatu penyakit. Contohnya
skrining Fenilketouria atau Phenylketouria (PKU) pada bayi baru lahir.
Fenilketouria adalah gangguan desakan autosomal genetik yang dikenali

Screening Epidemiologi Page 8


dengan kurangnya enzim fenilalanin hidroksilase (PAH). Enzim ini
sangat penting dalam mengubah asam amino fenilalanina menjadi asam
amino tirosina. Jika penderita mengkonsumsi sumber protein yang
mengandung asam amino ini, produk akhirnya akan terakumulasi di otak,
yang mengakibatkan retardasi mental. Meskipun hanya satu dari 15.000
bayi yang terlahir dengan kondisi ini, karena faktor kemudahan, murah
dan akurat maka skrining ini sangat bermanfaat untuk dilakukan kepada
setiap bayi yang baru lahir.

4. Skrining akan sangat bermanfaat jika dilakukan pada saat yang tepat.
Periode antara kemungkinan diagnosis awal dapat dilakukan dan periode
kemunculan gejala merupakan waktu yang sangat tepat (lead time).
Namun jika penyakit berkembang dengan cepat dari tahap pra-klinis ke
tahap klinis maka intervensi awal kurang begitu manfaat, dan akan jauh
lebih sulit untuk membuat penyakit tersebut jauh lebih jinak.

Selanjutnya, Syarat untuk program skrining adalah harus melakukan


tes yang akan memungkinkan kita untuk mendeteksi penyakit sebelum waktu
biasa dari diagnosis. setiap tes seperti yang gunakan harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1. Skrining harus akurat dan reliable. Tingkat akurasi menggambarkan
sejauh mana hasil tes sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dari
fenomena yang diukur. Sedangkan reliabilitas biasanya berhubungan
salah satu dengan standardisasi atau kalibrasi peralatan pengujian atau
keterampilan dan keahlian dari orang-orang menafsirkan tes.

2. Skrining harus aman dan dapat diterima oleh masyarakat luas. Karena
kita menyarankan orang yang tampaknya cocok untuk menjalani
pemeriksaan, tidak harus menawarkan mereka sebuah tes yang mungkin
mempengaruhi kesehatan mereka.
3. Proses skrining harus mudah dan murah. Jika kita akan melakukan
skrining dalam jumlah proporsi yang besar maka skrining harus murah
dan mudah untuk diselenggarakan.

Screening Epidemiologi Page 9


Selain persyaratan tersebut terdapat pula kriteria seuatu penyakit untuk agar
bisa dilakukan skrining, yaitu:

1. Penyakit yang dipilih merupakan masalah kesehatan prioritas


2. Tersedia obat potensial untuk terapi nya
3. Tersedia fasilitas dan biaya untuk diagnosis dan terapinya nya
4. Penyakit lama dan dapat dideteksi dengan test khusus
5. Screeningnya memenuhi syarat sensitivitas dan spesivisitas
6. Teknik dan cara screening harus dapat diterima oleh masyarakat
7. Sifat perjalanan penyakit dapat diketahui dengan pasti
8. Ada SOP tentang penyakit tersebut
9. Biaya screening harus seimbang (lebih rendah) dengan resiko biaya bila
tanpa screening
10. Penemuan kasus terus menerus

E. Program Skrining (Screening)

Meskipun penyakit yang muncul dapat diskrining dan ada tes yang
valid dan dapat diterima, ini tidak menjamin bahwa masyarakat akan
mendapatkan manfaat dari program skrining. beberapa kekhawatiran besar di
luar nilai-nilai prediktif bahwa:
 Program ini terbukti efektif dan dapat diimplementasikan, yaitu semua
sesuai dengan perencanaan, menyelamatkan hidup, morbiditas berkurang
dan biaya sesuai

 Sistem pelayanan kesehatan dapat mengatasi banyaknya diagnosis dan


pengobatan tambahan karena menemukan penyakit yang umum yang
postif palsu.

Sebelum memulai program skrining sangat penting untuk menilai


infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaannya. Fasilitas-
fasilitas tersebut tentu dibutuhkan untuk proses skrining tapi, sama
pentingnya juga untuk konfirmasi lanjutan mengenai pengujian dan
diagnosis, pengobatan dan tindak lanjut bagi yang positif. Perkiraan (Nilai

Screening Epidemiologi Page 10


Prediktif) sangat dibutuhkan dalam sebagai kemungkinan pengambilan
skrining, jumlah total yang hasilnya positif (termasuk positif palsu), tersangka
(berdasarkan prevalens penyakit dan sensitivitas serta spesifisitas hasil
pemeriksaan) dan kemungkinan dampak yang dihasilkan berupa penignkatan
permintaan pelayanan medis.
Disamping itu masalah pengobatan merupakan bagian penting yang
harus diperhatikan dlam program skrining. Pengobatan yang diusulkan harus
efektif dan pengobatan dini harus meningkatkan outcome dari penyakit. Jika
tidak, maka dengan mendiagnosa penyakit sebelumnya kita cukup akan
memperpanjang waktu seseorang menyadari, dan mengkhawatirkan penyakit
tersebut.
Baik test skrining, maupun pengobatan dan follow up dari kegiatan
skrining tentunya tidak membutuhkan biaya yang sedikit. Biaya awal
program skrining, dalam artian biaya finansial maupun emotional cost dalam
melakukan skrining dan pengobatan pada mereka yang positif pemeriksaan,
harus dipertimbangkan dalam hubungannya dengan biaya mengobati orang-
orang yang menderita penyakit pada kemudian hari.

F. Pelaksanaan Skrining (Screening)

Bagan proses pelaksanaan skrining (Noor, 2008).


Pada sekelompok individu yang tampak sehat dilakukan pemeriksaan
(tes) dan hasil tes dapat positif dan negatif. Individu dengan hasil negatif pada

Screening Epidemiologi Page 11


suatu saat dapat dilakukan tes ulang, sedangkan pada individu dengan hasil
tes positif dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik dan bila
hasilnya positif dilakukan pengobatan secara intensif, sedangkan individu
dengan hasil tes negatif dapat dilakukan tes ulang dan seterusnya sampai
penderita semua penderita terjaring.
Tes skrining pada umumnya dilakukan secara masal pada suatu
kelompok populasi tertentu yang menjadi sasaran skrining. Namun demikian
bila suatu penyakit diperkirakan mempunyai sifat risiko tinggi pada
kelompok populasi tertentu, maka tes ini dapat pula dilakukan secara selektif
(misalnya khusus pada wanita dewasa) maupun secara random yang sarannya
ditujukan terutama kepada mereka dengan risiko tinggi. Tes ini dapat
dilakukan khusus untuk satu jenis penyakit tertentu, tetapi dapat pula
dilakukan secara serentak untuk lebih dari satu penyakit (Noor, 2008).
Uji skrining terdiri dari dua tahap, tahap pertama melakukan
pemeriksaan terhadap kelompok penduduk yang dianggap mempunyai resiko
tinggi menderita penyakit dan bila hasil tes negatif maka dianggap orang
tersebut tidak menderita penyakit. Bila hasil tes positif maka dilakukan
pemeriksaan tahap kedua yaitu pemeriksaan diagnostik yang bila hasilnya
positif maka dianggap sakit dan mendapatkan pengobatan, tetapi bila hasilnya
negatif maka dianggap tidak sakit dan tidak memerlukan pengobatan. Bagi
hasil pemeriksaan yang negatif dilakukan pemeriksaan ulang secara periodik.
Ini berarti bahwa proses skrining adalah pemeriksaan pada tahap pertama
(Budiarto dan Anggraeni, 2003).
Pemeriksaan yang biasa digunakan untuk uji tapis dapat berupa
pemeriksaan laboratorium atau radiologis, misalnya :
a. Pemeriksaan gula darah.
b. Pemeriksaan radiologis untuk uji skrining penyakit TBC.
c. Mammografi untuk mendeteksi ca mammae
d. Pap smear untuk mendeteksi ca cervix
e. Pemeriksaan Tekanan darah untuk mendeteksi hipertensi
f. Pemeriksaan reduksi untuk mendeteksi deabetes mellitus
g. Pemeriksaan urine untuk mendeteksi kehamilan

Screening Epidemiologi Page 12


h. Pemeriksaan EKG untuk mendeteksi Penyakit Jantung Koroner (Bustan,
2000).
Pemeriksaan diatas harus dapat dilakukan :
1. Dengan cepat tanpa memilah sasaran untuk pemeriksaan lebih lanjut
(pemeriksaan diagnostik).
2. Tidak mahal.
3. Mudah dilakukan oleh petugas kesehatan
4. Tidak membahayakan yang diperiksa maupun yang memeriksa (Budiarto
dan Anggraeni, 2003).

Contoh Pelaksanaan Skrining Pada Kasus Ca. Cerviks:


Kanker leher rahim adalah keganasan dari leher rahim (serviks) yang
disebabkan oleh virus HPV (Human Papiloma Virus). Diseluruh dunia,
penyakit ini merupakan jenis kanker ke dua terbanyak yang diderita
perempuan.1 Saat ini di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 1 juta
perempuan menderita kanker leher rahim, dan 3-7 juta orang perempuan
memiliki lesi prekanker derajat tinggi (high grade dysplasia).
Penelitian WHO tahun 2005 menyebutkan, terdapat lebih dari 500.000
kasus baru, dan 260.000 kasus kematian akibat kanker leher rahim, 90%
diantaranya terjadi di negara berkembang. Angka insidens tertinggi
ditemukan di negara-negara Amerika bagian tengah dan selatan, Afrika timur,
Asia selatan, Asia tenggara dan Melanesia.
Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) merupakan lesi pra-ganas
yang mungkin ada pada salah satu dari tiga tahap yaitu : CIN1 , CIN2 , atau
CIN . Jika tidak diobati , CIN2 atau CIN3 (secara kolektif disebut sebagai
CIN2+) dapat berkembang menjadi kanker serviks. Jumlah penderita tertinggi
dilaporkan pada wanita dari status HIV-positif, sebesar 10%.
Praktek standar untuk menskrining wanita yang menggunakan sitologi
( Pap Smear), dan ketika hasil sitologi positif diagnosis CIN didasarkan pada
pemeriksaan kolposkopi selanjutnya, biopsi lesi yang mencurigakan, dan
kemudian pengobatan hanya saat CIN2 + telah dikonfirmasi secara histologi.

Screening Epidemiologi Page 13


Metode skrining tradisional ini membutuhkan sumber daya manusia yang
sangat terlatih dan sejumlah besar peralatan laboratorium.
Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, karena
tingginya biaya membuat program skrining berbasis sitologi, cakupan
skrining sangat rendah dan metode skrining alternatif diperlukan. Selain itu,
tindak lanjut dari uji sitologi positif dengan pemeriksaan kolposkopi dan
biopsi membutuhkan sumber daya dan tenaga terampil yang sangat kurang di
banyak negara. Hambatan lain dalam program skrining didasarkan pada
sitologi termasuk kebutuhan untuk rujukan ke fasilitas kesehatan yang jauh
untuk layanan diagnostik dan pengobatan, dan waktu tunggu yang lama
sebelum hasil sitologi tersedia.
Pendekatan alternatif untuk mendiagnosa dan mengobati CIN adalah
dengan menggunakan 'screen-dan-treat' pendekatan di mana keputusan
pengobatan didasarkan pada tes skrining, dan bukan pada histologis yang
dipastikan diagnosis CIN2 +, dan pengobatan diberikan segera atau,
idealnya , segera setelah tes skrining positif.
Tujuan dari program “skrining dan pengobatan” kanker serviks adalah
untuk mengurangi kanker serviks dan kematian yang terkait dengan efek
sampingnya . Program ini harus mencakup tes skrining atau strategi ( urutan
tes ) dan dihubungkan dengan pengobatan yang sesuai untuk CIN , dan juga
menyediakan rujukan untuk pengobatan wanita dengan kanker serviks
invasif.
Tes skrining umum yang banyak digunakan termasuk tes untuk human
papillomavirus ( HPV ) , sitologi ( tes Pap ) , dan inspeksi visual dengan asam
asetat (VIA) . Tes ini dapat digunakan sebagai tes tunggal atau secara
berurutan . Bila menggunakan tes tunggal , hasil positif menunjukkan
kebutuhan untuk perawatan . Bila menggunakan urutan tes , perempuan yang
dites positif pada tes pertama menerima tes lain dan hanya mereka yang dites
positif pada tes kedua diperlakukan . Wanita dengan positif pertama tes
skrining diikuti dengan negatif tes skrining kedua ditindaklanjuti . Perawatan
yang tersedia termasuk cryotherapy , lingkaran besar eksisi zona transformasi
( LEEP / LLETZ ) , dan pisau dingin konisasi (CKC ) .

Screening Epidemiologi Page 14


Pedoman ini memberikan rekomendasi untuk strategi untuk program
screen-dan-mengobati. Ini dibangun berdasarkan rekomendasi yang ada untuk
penggunaan krioterapi untuk mengobati CIN dan pada pedoman WHO baru
untuk pengobatan intraepithelial neoplasia serviks 2-3 dan adenokarsinoma
kelenjar in situ (8), yang dipublikasikan bersamaan dengan ini pedoman ini.
Ketika mengembangkan pedoman, Pedoman Development Group (GDG)
menilai bahwa negara saat ini memberikan program screen-dan-mengobati
mungkin tidak pasti tentang strategi mana yang akan digunakan.

G. Kriteria Evaluasi
Suatu alat (test) skrining yang baik adalah mempunyai tingkat
validitas dan reliabilitas yang tinggi, yaitu mendekati 100%. Selain kedua
nilai tersebut, dalam memilih tes untuk skrining dibutuhkan juga nilai
prediktif (Predictive Values).
1. Validitas
Validitas adalah kemampuan dari tes penyaringan untuk
memisahkan mereka yang benar-benar sakit terhadap yang sehat. Validitas
merupakan petunjuk tentang kemampuan suatu alat ukur (test) dapat
mengukur secara benar dan tepat apa yang akan diukur. Validitas
mempunyai 2 komponen, yaitu:
a. Sensitivitas: kemampuan untuk menentukkan orang sakit.
Menurut A Dictionary of Epidemiology, sensitivitas adalah
proporsi orang yang benar-benar sakit dalam populasi disaring yang
diidentifikasi sebagai orang sakit oleh tes skrining. Sensitivitas adalah
ukuran probabilitas benar terdiagnosis kasus, atau probabilitas bahwa
setiap kasus tertentu akan diidentifikasi dengan uji (frase: tingkat positif
benar). Hal yang sama yang disampaikan oleh webb, et.al (2005) bahwa
sensitivitas merupakan ukuran yang mengukur seberapa baik sebuah tes
skrining mengklasifikasikan orang yang sakit sebagai penderita
penyakit yang digambarkan sebagai persentase orang dengan penyakit
yang secara test positif.

Screening Epidemiologi Page 15


Sensitivitas mengukur seberapa sering tes menjadi positif ketika
sedang digunakan pada orang-orang yang kita tahu memiliki penyakit.
Misalnya jika kita melakukan tes pada sampel untuk dikultur dari 100
wanitadengan infeksi cervical chlamydial, selanjutnya hasil kultur
menunjukkan 80 diantaranya positif. Dengan demikian, dapat dikatakan
pada kasus ini sensitivitas dari kultur chlamydia jaringan adalah 80 %.
b. Spesifisitas: kemampuan untuk menentukan orang yang tidak
sakit.
menurut Kamus Epidemiologi (A Dictionary of Epidemiology),
spesifisitas adalah proporsi orang yang benar-benar tidak sakit dan
tidak sakit pula saat diidentifikasi dengan tes skrining. Ini adalah
ukuran dari kemungkinan benar mengidentifikasi orang tidak sakit
dengan tes skrining (frase: angka true negatif).
Besarnya nilai kedua parameter tersebut tentunya ditentukan
dengan alat diagnostik di luar tes penyaringan. Kedua nilai tersebut saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya, yakni bila sensitivitas
meningkat, maka spesifisitas akan menurun, begitu pula sebaliknya. Untuk
menentukan batas standar yang digunakan pada tes penyaringan, harus
ditentukan tujuan penyaringan, apakah mengutamakan semua penderita
terjaring termasuk yang tidak menderita, ataukah mengarah pada mereka
yang betul-betul sehat.
Nilai prediktif adalah besarnya kemungkinan dengan
menggunakan nilai sensitivitas dan spesivitas serta prevalensi dengan
proporsi penduduk yang menderita. Nilai prediktif dapat positif artinya
mereka dengan tes positif juga menderita penyakit, sedangkan nilai
prediktif negatif artinya mereka yang dinyatakan negatif juga ternyata
tidak menderita penyakit. Nilai prediktif positif sangat dipengaruhi oleh
besarnya prevalensi penyakit dalam masyarakat dengan ketentuan, makin
tinggi prevalensi penyakit dalam masyarakat, makin tinggi pula nilai
prediktif positif dan sebaiknya.
Disamping nilai sensitivitas dan nilai spesifisitas, dapat pula
diketahui beberapa nilai lainnya seperti:

Screening Epidemiologi Page 16


a. True positive, yang menunjuk pada banyaknya kasus yang benar-
benar menderita penyakit dengan hasil tes positif pula.
b. False positive, yang menunjukkan pada banyaknya kasus yang
sebenarnya tidak sakit tetapi test menunjukkan hasil yang positif.
c. True negative, menunjukkan pada banyaknya kasus yang tidak
sakit dengan hasil test yang negatif pula.
d. False negative, yang menunjuk pada banyaknnya kasus yang
sebenarnya menderita penyakit tetapi hasil test negatif.
Contoh “Dari suatu penyaringan yanng dilakukan untuk penyakit
A dengan mempergunakan jenis pemeriksaan B ditemukan hasil sebagai
berikut:”

PENYAKIT JUMLAH
POSITIF NEGATIF
(F/T) (F/T)
HASIL POSITIF A B A+B
PEMERIKSAAN NEGATIF C D C+D
JUMLAH A+C B+D A+B+C+D

Dari tabel diatas dapat dihitung nilai-nilai yang dimaksud yakni :


A
a. Sensitivitas : x 100 %
A +C
B
b. Spesifisitas : x 100 %
B+ D
c. True positive : A
B
d. False positive : B → % False positive : x 100 %
B+ D
e. True negative : D
C
f. False negative : C → % False negative : x 100 %
A +C
True positive
g. Positive predictive value : x 100 %
True positive+ false positive

Screening Epidemiologi Page 17


True negative
h. Negative predictive value : x 100 %
True negative+ false negative

Contoh soal 1:
64.810 wanita usia 40-46 tahun mengikuti program skrining untuk
mendeteksi kanker payudara melalui mamografi dengan pemeriksaan fisik.
Setelah 5 tahun, dari 1115 hasil tes skrining yang positif dikonfirmasi 132
terdiagnosis pasti kanker payudara.Sementara pada 63.695 peserta yang
hasil tes skriningnya negatif, ternyata hanya 45 orang yang menderita
kanker payudara. Hitunglah
a. Jumlah positif palsu
b. Nilai sensitivitas tes
c. Jumlah negatif palsu
d. Nilai spesifisitas tes
e. Nilai prediktif (+)
f. Nilai prediktif (-)
Kanker payudara JUMLAH
POSITIF NEGATIF
TES POSITIF 132 983 1115
MAMOGRAFI NEGATIF 45 63.650 63.695
JUMLAH 177 64.633 64.810

a. Jumlah positif palsu = 983


A 132
b. Sensitivitas = x 100 % = x 100 %
A +C 132+ 45
132
= x 100 % = 74,576 %
177
c. Jumlah negatif palsu = 45
B
d. Spesifisitas = x 100 %
B+ D
983 983
= x 100 % = x 100 % = 1,52 %
983+63.650 64.633
True positive
e. Nilai prediktif (+) = x 100 %
True positive+ false positive

Screening Epidemiologi Page 18


132
= x 100 % = 11,838 %
132+ 983
True negative
f. Nilai prediktif (-) = x 100 %
True negative+ false negative
63.650
= x 100 % = 99,929 %
63.650+45
Contoh soal 2:
Hubungan penyakit kanker serviks dengan tes IVA positif

Kanker serviks JUMLAH


POSITIF NEGATIF
TES IVA POSITIF 6 24 30
NEGATIF 3 67 70
JUMLAH 9 91 100

Hitunglah nilai-nilainya.
A 6
a. Sensitivitas = x 100 % = x 100 % = 66,67 %
A +C 6+3
B 67
b. Spesifisitas = x 100 % = x 100 % = 73,62 %
B+ D 24+67
c. True positive = 6
24
d. False positive = 24 → %FP = x 100% = 26,37%
24+67
e. True negative = 67
3
f. False negative = 3 → %FN = x 100% = 33,33%
3+6
True positive
g. Positive predictive value = x 100%
True positive+ false positive
6
= x 100% = 20%
6+24
True negative
h. Negative predictive value = x 100%
True negative+ false negative
67
= x 100% = 95,7%
67+3
2. Reliabilitas

Screening Epidemiologi Page 19


Bila tes yang dilakukan berulang-ulang menunjukkan hasil yang
konsisten, dikatakan reliabel. Variliabilitas ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor berikut (Budiarto, 2003):
1. Variabilitas alat yang dapat ditimbulkan oleh:
a. Stabilitas reagen
b. Stabilitas alat ukur yang digunakan
Stabilitas reagen dan alat ukur sangat penting karena makin stabil
reagen dan alalt ukur, makin konsisten hasil pemeriksaan.Oleh karena
itu, sebelum digunakan hendaknya kedua hasil tersebut ditera atau diuji
ulang ketepatannya.
2. Variabilitas orang yang diperiksa. Kondisi fisik, psikis, stadium
penyakit atau penyakit dalam masa tunas. Misalnya: lelah, kurang tidur,
marah, sedih, gembira, penyakit yang berat, penyakit dalam masa tunas.
Umumnya, variasi ini sulit diukurterutama faktor psikis.
3. Variabilitas pemeriksa. Variasi pemeriksa dapat berupa:
a. Variasi interna, merupakan variasi yang terjadi pada hasil
pemeriksaan yang dilakukan berulang-ulang oleh orang yang sama.
b. Variasi eksterna ialah variasi yang terjadi bila satu sediaan dilakukan
pemeriksaan oleh beberapa orang.

Upaya untuk mengurangi berbagai variasi diatas dapat dilakukan


dengan mengadakan:
1. Standarisasi reagen dan alat ukur.
2. Latihan intensif pemeriksa.
3. Penentuan kriteria yang jelas.
4. Penerangan kepada orang yang diperiksa.
5. Pemeriksaan dilakukan dengan cepat.
3. Yield
Yield merupakan jumlah penyakit yang terdiagnosis dan diobati sebagai
hasil dari uji tapis. Hasil ini dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut
(Budiarto, 2003):
1. Sensitivitas alat uji tapis.

Screening Epidemiologi Page 20


2. Prevalensi penyakit yang tidak tampak.
3. Uji tapis yang dilakukan sebelumnya.
4. Kesadaran masyarakat.
Bila alat yang digunakan untuk uji tapis mempunyai sensitivitas yang
rendah, akan dihasilkan sedikit negatif semu yang berarti sedikit pula
penderita yang tidak terdiagnosis. Hal ini dikatakan bahwa uji tapis dengan
yield yang rendah. Sebaliknya, bila alat yang digunakan mempunyai
sensitivitas yang tinggi, akan menghasilkan yield yang tinggi. Jadi,
sensitivitas alat dan yield mempunyai korelasi yang positif.
Makin tinggi prevalensi penyakit tanpa gejala yang terdapat di
masyarakat akan meningkatkan yield, terutama penyakit-penyakit kronis
seperti TBC, karsinoma, hipertensi, dan diabetes melitus. Bagi penyakit-
penyakit yang jarang dilakukan uji tapis akan mendapatkan yield yang
tinggi karena banyaknya penyakit tanpa gejala yang terdapat di masyarakat.
Sebaliknya, bila suatu penyakit telah dilakukan uji tapis sebelumnya maka
yield akan rendah karena banyak penyakit tanpa gejala yang telah
terdiagnosis.
Kesadaran yang tinggi terhadap masalah kesehatan di masyarakat akan
meningkatkan partisipasi dalam uji tapis hingga kemungkinan banyak
penyakit tanpa gejala yang dapat terdeteksi dan dengan demikian yield akan
meningkat (Budiarto, 2003).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Skrining merupakan suatu pemeriksaan asimptomatik pada satu atau
sekelompok orang untuk mengklasifikasikan mereka dalam kategori yang
diperkirakan mengidap atau tidak mengidap penyakit.
2. Tujuan skrining adalah menemukan orang terkena penyakit sedini
mungkin, mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat,
membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri sedini mungkin, dan
mendapatkan keterangan epodemiologis yang berguna bagi klinis dan

Screening Epidemiologi Page 21


peneliti. Sedangkan manfaat skrining adalah biaya yang dikeluarkan
relatif murah, mendeteksi kondisi medis pada tahap awal sebelum gejala
menyajikan sedangkan pengobatan lebih efektif daripada untuk nanti
deteksi.
3. Syarat yang harus diperhatikan dalam proses skrining adalah penyakit
yang dituju harus merupakan masalah kesehatan yang berarti,
tersediannya obat yang potensial, fasilitas dan biaya untuk diagnosis,
ditujukan pada penyakit kronis seperti kanker, adanya suatu nilai standar
yang telah disepakati bersama tentang mereka yang dinyatakan menderita
penyakit tersebut.
4. Proses skrining dilakukan dengan mengacu pada kriteria sensitivitas dan
spesifisitas.
5. Kriteria evaluasi dalam skrining terdiri dari validitas, reliabilitas dan
yield.

B. Saran
Dalam proses skrining hendaknya betul-betul menggunakan alat dengan nilai
sensivitas dan spesifitas tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Budiarto dan Anggraeni, 2003.Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC.
Bustan. 2000. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Chandra, Budiman. 2009. Ilmu Kedokteran Pencegahan & Komunitas. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Eaker, E. D., Jaros L, Viekant R. A., Lantz P., Remington P. L., 2001. “A
Controlled Community Intervention to Increase Breast and Cervical Cancer

Screening Epidemiologi Page 22


Screening: Women’s Health Alliance Intervention Study.” Journal Public
Health Management Practice.
Morton, Richard, Richard Hebel, dan Robert J. McCarter. 2008. Panduan Studi
Epidemiologi dan Biostatistika. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Noor, Nur Nasry. 2008. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Rajab, Wahyudin. 2009. Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Yang dan Embretson. 2007. Construct Validity and Cognitive Diagnostic
Assessment: Theory and Applications. New York: Cambridge University
Press.

Screening Epidemiologi Page 23

Anda mungkin juga menyukai