Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENAGAN ATRESIA BILIARIS

Disusun Oleh: Kelompok 4

1. GUSMALINDA
2. YOLAN
3. JON
4. NENTY
5. RIZTY
6. RISKY

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKES SYEDZA SAINTIKA PADANG
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang
berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN ATRESIA
BILLIARIS”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah
Keperawatan anak.
Kami menyadari dalam menyelesaikan tugas ini banyak kekurangan dari
teknik penulisan dan kelengkapan materi yang jauh dari sempurna. Kami juga
menerima kritik dan saran yang membangun sebagai bentuk pembelajaran agar
meminimalisir kesalahan dalam tugas berikutnya. Semoga dengan
terselesaikannya tugas ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Padang, juni 2022

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB 1. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan 2

1.3 Implikasi Keperawatan 3

BAB 2. TINJAUAN TEORI4

2.1 Pengertian 4

2.2 Epidemiologi 5

2.3 Etiologi 6

2.4 Tanda dan Gejala 7

2.5 Patofisiologi 7

2.6 Komplikasi dan Prognosis 8

2.7 Pengobatan 9

2.8 Pencegahan 11

BAB 3. PATHWAYS 12

BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN 13

4.1 Pengkajian 13

4.2 Diagnosa Keperawatan 18

4.3 Perencanaan Keperawatan 19

4.4 Implementasi Keperawatan 23

4.5 Evaluasi 25

ii
BAB 5. PENUTUP 27

5.1 Kesimpulan 27

5.2 Saran 27

DAFTAR PUSTAKA 28

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Atresia bilier adalah suatu keadaan dimana tidak adanya lumen pada traktus
bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Atresia bilier
terjadi karena proses inflamasi yang berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga terjadi hambatan
aliran empedu (kolestasis), akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan
garam empedu dan peningkatan bilirubin direk. Karakteristik dari atresia billiaris
adalah tidak terdapatnya sebagian sistem billier antara duodenum dan hati
sehingga terjadi hambatan aliran empedu dan menyebabkan gangguan fungsi hati
tetapi tidak menyebabkan kern icterus karena hati masih tetap membentuk
konjugasi bilirubin dan tidak dapat menembus blood brain barier. Penyebab
atresia billiaris belum dapat dipastikan. Atresia billiaris akan mengakibatkan
fibrosis dan sirosis hati pada usia yang sangat dini, bila tidak ditangani segera.
Jika operasi tidak dilakukan maka angka keberhasilan hidup selama 3 tahun hanya
berkisar 10% dan rata-rata meninggal pada usia 12 bulan. Tindakan operatif atau
bedah dapat dilakukan untuk penatalaksanaannya.
Di dunia secara keseluruhan dilaporkan angka kejadian atresia billiaris sekitar
1:1000-15000 kelahiran hidup, lebih sering pada wanita daripada laik-laki. Rasio
atresia billiaris antara anak perempuan dan laki-laki 1,41:1 dan angka kejadian
lebih sering pada bangsa Asia. Dari 904 kasus atresia billier yang terdaftar di lebih
100 institusi, atresia billier di dapatkan pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam
(20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian amerika (1,5%). Di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo Jakarta penyebab kolestasis obstruktif yang paling banyak
dilaporkan (90%) adalah atresia billiaris dan pada tahun 2002-2003 tercatat
mencapai 37-38 bayi atau 23% dari 163 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan
fungsi hati Sedangkan di RSU Dr. Soetomo Surabaya antara tahun 1999-2004
ditemukan dari 19.270 penderita rawat inap di Instalansi Rawat Inap Anak,

1
tercatat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati didapatkan 9
(9,4%) menderita atresia bilier .
Deteksi dini kemungkinan adanya atresia billiaris sangat penting sebab
keberhasilan pembedahan hepato-portoenterostomi (Kasai) akan menurun apabila
dilakukan setelah umur 2 bulan. Keberhasilan operasi sangat ditentukan terutama
usia saat dioperasi, yaitu bila dilakukan sebelum usia 2 bulan, keberhasilan
mengalirkan empedu 80%, sementara sesudah usia tersebut hasilnya kurang dari
20%. Bagi penderita atresia billiaris prosedur yang baik adalah mengganti saluran
empedu yang mengalirkan empedu ke usus.Selain itu, terdapat beberapa
intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia billiris.
Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran
bagi tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga
pasien. Segera sesudah pembedahan portoenterostomi, asuhan keperawatannya
sama dengan yang dilakukan pada setiap pembedahan abdomen yang berat.
Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian obat dan terapi gizi yang benar,
termasuk penggunaan formula khusus, suplemen vitamin serta mineral, terapi
nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus mungkin menjadi persoalan signifikan
namun dapat dikurangi dengan obat atau tindakan seperti mandi rendam atau
memotong kuku jari-jari tangan (Donna L. Wong, 2008)

1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui pengertian dari penyakit atresia billiaris
1.2.2 Mengetahui penyebab timbulnya penyakit atresia billiaris
1.2.3 Mengetahui manifestasi klinis dari penyakit atresia billiaris
1.2.4 Mengetahui pemeriksaan diagnostic dari penyakit atresia billiaris
1.2.5 Mengetahui penatalaksanaan dari penyakit atresia billiaris
1.2.6 Mendapatkan gambaran tentang konsep penyakit atresia billiaris
1.2.7 Mengertahui asuhan keperawatan dari penyakit atresia billiaris.

2
1.3 Implikasi Keperawatan
1.3.1 Perawat dapat memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang atresia
billiaris sehingga dapat melakukan asuhan keperawatan secara
profesional
1.3.2 Perawat diharapkan dapat menjadi pedamping yang cermat untuk klien
dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit
atresia billiaris
1.3.3 Perawat dapat memberikan educator terhadap klien sehingga klien
dapat memahami tentang penyakit atresia billiaris.

3
BAB 2. TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian
Atresia Billier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak
adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau
intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel
yang akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau
sebagian. (Chandrasoma & Taylor,2005)
Atresia Billier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk
atau tidak berkembang secara normal. Atresia biliaris adalah kelainan konginetal
yang ditandai dengan obstruksi atau tidak adanya duktus atau saluran empedu.
Atresia bilier merupakan suatu defek congenital yang merupakan hasil dari tidak
adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau
intrahepatik. Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke
kandung empedu. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang
jika tidak diobati bisa berakibat fatal.
Tipe-tipe atresia biliaris, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe :
a. Tipe yang dapat dioperasi/Operable/correctable.
Jika kelainan/sumbatan terdapat di bagian distalnya. Sebagian besar saluran-
saluran ekstrahepatik empedu paten.
b. Tipe yang tidak dapat dioperasi/Inoperable/incorrectable
Jika kelainan/sumbatan terdapat di bagian atas porta hepatic, etapi akhir-akhir
ini dapat dipertimbangkan untuk suatu operasi porto enterostoma hati radikal.
Tidak bersifat paten seperti pada tipe operatif
Klasifikasi dengan menggunakan sistem klasifikasi Kasai, cara ini banyak
digunakan. Mengklasifikasikan kasus atresia biliaris berdasarkan lokasi dan
tingkat patologinya. Klasifikasi atresia biliaris dengan area yang terlibat.
a. Tipe I : saluran empedu umumnya paten pada daerah proksimal. Obliterasi dari
duktus kholedekus, duktus hepatikus normal.

4
b. Tipe II : atresia pada saluran empedu dapat terlihat, dengan sumbatan saluran
empedu ditemukan pada porta hepatis. Atresia duktus hepatikus dengan
struktur kistik tampak pada daerah porta hepatis.
c. Tipe Iia : fibrosis dan saluran empedu uumnya bersifat paten.
d. Tipe Iib : umumnya duktus biliaris dan duktus hepatic tidak ada.
e. Tipe III : lebih mengacu pada terputusnya duktus hepatic kanan dan kiri sampai
pada porta epatic. Bentuk atresia ini adalah umum terjadi, sekitar lebih dari
90% kasus. Variasi ini tidak boleh dibingungkan dengan hipoplasia duktus
biliaris intra hepatal, yang tidak dapat dikoreksi dengan pembedahan.

2.2 Epidemiologi
Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Kondisi ini jarang
terjadi, prevalensinya 1 : 15.000 kelahiran. Insidensi lebih banyak terjadi pada
anak-anak asia dan anak kulit hitam. Di US, sekitar 300 bayi yang lahir setiap
tahunnya dengan kondisi atresia billiaris. Bentuk janin-embrio yang ditandai
dengan kolestasis awal, muncul dalam 2 minggu pertama kehidupan, dan
menyumbang 10-35% dari semua kasus. Dalam bentuk ini, saluran-saluran
empedu terputus saat lahir, dan 10-20% dari neonatus yang terkena dampak telah
dikaitkan cacat bawaan, termasuk Situs inversus , polysplenia , malrotasi, atresia
usus, dan anomali jantung, antara lain.
Atresia billiaris dtemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier
pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi jumlah
penderita atresia billiaris yang ditangani rumah sakit Cipt Mangunkusumo
(RSCM) pada tahun 2002-2003, mencapai 37-38 bayi atau 23 persen dari 162
bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan di Instalasi Rawat
Inap Anak RSU Dr. Suromo Surabaya antara tahun 1999-2001 dari 19270
penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan
fungsi hati di dapatkan atresia bilier 9 (9,4%).
Dari 904 kasus atresia billiris yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia
billiaris didapat pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), hispantik (11%),

5
Asia (4,2) dan Indian Amerika (1,5%). Kasus atresia bilier dilaporkan sebanyak
5/100.000 kelahiran hidup di belanda, 5/100.000 kelahiran hidup di perancis,
6/100.000 klahiran hidup di Inggris, 6,5/100.000 kelhiran hidup di Texas,
7/100.000 kelahiran hidup di australia, 7,4/100.000 kelahiran hidup di USA, dan
10,6/100.000 kelahiran hidup di Jepang.
Di Asia lebih banyak trjadi pada bayi Cina dibandingkan dengan bayi
Jepang. Penyakit ini merupakan transplantasi liver terbanyak di Amerika dan
negara Barat lainnya. Mengingat beratnya penyakit Atresia biliaris maka
diagnosis dini sangat diperlukan untuk mendapatkan terapi yang tepat dan cepat.
Pemeriksaan ultrasonografi dan imejing lainnya sangat diperlukan untuk diagosis.

2.3 Etiologi
Penyebab atresia billiaris tidak diketahui dengan jelas, tetapi diduga akibat
proses inflamasi yang destruktif. Atresia billiaris terjadi karena adanya
perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi
penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui.
Meskipun penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga karena
kelainan kongenital, didapat dari proses-proses peradangan, atau kemungkinan
infeksi virus dalam intrauterine.
Penyebab atresia masih kontroversial, beberapa ahli percaya bahwa hal ini
terjadi akibat infeksi intrauterine. Atresia biasanya hanya mengenai duktus biliaris
ekstrahepatik, duktus intrahepatik lebih jarang terkena. Atresia biliaris komplit
yang mengenai seluruh system menyebabkan kematian yang tinggi. Hati
menunjukan gambaran obstruksi hebat duktus biliaris yang besar dengan sirosis
biliaris sekunder. Tanpa pengobatan, kematian terjadi pada masa bayi. Terapi
bedah dapat berhasil pada kasus atresia parsial. Pada kasus atresia yang mengenai
duktus intrahepatik, transplantasi hati merupakan satu-satunya harapan.
Hal yang penting perlu diketahui adalah bahwa atresia billiaris adalah bukan
merupakan penyakit keturunan. Kasus atresia billiaris tidak diturunkan dari
keluarga. Atreia billiaris paling sering disebabkan karena sebuah peristiwa yang
terjadi saat bayi dalam kandungan. Kemungkinan hal yang dapat memicu

6
terjadinya atresia billiaris diantaranya: infeksi virus atau bakteri, gangguan dalam
system kekebalan tubuh, komponen empedu yang abnormal, kesalahan dalam
perkembangan hati dan saluran empedu.

2.4 Tanda dan Gejala


Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
a. Air kemih bayi berwarna gelap
b. Kulit berwarna kuning
c. Tinja berwarna pucat
d. Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung
lambat
e. Hati membesar.
f. Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
1. Gangguan pertumbuhan
2. Gatal-gatal
3. Rewel
4. Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut
darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).

2.5 Patofisiologi
Penyebabnya sebenarnya atresia billiaris tidak diketahui sekalipun
mekanisme imun atau viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang
menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan bahwa
atresia billiaris tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir. Keadaan ini
menunjukan bahwa atresia billiaris terjadi pada akhir kehamilan atau pada periode
perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan.
Inflamasi terjadi secara progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis
pada saluran empedu intrahepatik atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran
normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan

7
menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi fibrosis
dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan
ikterus dan duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin.
Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan
tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi billier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah
sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu
dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga
mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh pada anak.

2.6 Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi yang dapat terjadi pada atresia billiaris yaitu:
a. Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran
normal empedu keluar hati dan kantong empedu dan usus. Akhirnya
terbentuk sumbatan dan menyebabkan empedu balik ke hati ini akan
menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati. Bahkan hati menjadi
fibrosis dan cirrhosis. Dan hipertensi portal sehingga akan mengakibatkan
gagal hati.
b. Progresif serosis hepatis terjadi jika aliran hanya dapat dibuka sebagian oleh
prosedur pembedahan, permasalahan dengan pendarahan dan
penggumpalan.
c. Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan
hepatomegali.
d. Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak
dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak dan gagal tumbuh.
e. Hipertensi portal
f. Pendarahan yang mengancam nyawa dari pembesaran vena yang lemah  di
esofagus dan perut, dapat menyebabkan Varises Esophagus.
g. Asites merupakan akumulasi cairan dalam kapasitas abdomen yang
disebabkan penurunan produksi albumin dalam protein plasma.

8
h. Komplikasi pasca bedah yakni kolangitis menaik.
i. Asending kholangitis, infeksi bakteri. Pada keadaan normal bakteri ada
dalam usus dan bergerak ke atas melalui Roux-en-Y menyebabkan
infeksi.
Harapan hidup pasien yang tidak diobati adalah 18 bulan. Progresi fibrosis
hepatic sering terjadi walaupun sudah mendapat terapi bedah paliatif, meskipun
30 – 50 % pasien mungkin tetap anikterik. Angka harapan hidup transplantasi
jangka pendek sekitar 75 %. Menurut Carlassone & Bensonsson (1977)
menyatakan bahwa operasi atresia billiaris tipe “noncorrectable” adalah buruk
sekali sebelum adanya operasi Kasai, tetapi sampai sekarang hanya sedikit
penderita yang dapat disembuhkan. Bila pasase empedu tidak dikoreksi, 50 %
anak akan meninggal pada tahun pertama kehidupan, 25 % pada tahun ke dua, dan
sisanya pada usia 8-9 tahun. Penderita meninggal akibat kegagalan fungsi hati dan
sirosis dengan hipertensi portal. Adapun beberapa faktor prognosisnya antara lain:
a. Umur pada waktu di operasi, lebih awal lebih baik (60-80 hari) setelah
lahir
b. Gambaran anatomi duktus biliaris ekstra hepatal
c. Ukuran duktus biliaris daerah ekstra hepatal
d. Ada tidaknya Cirrhosis hepatis
e. Adanya Kolangitis
f. Kemungkinan dapat dilakukannya transplantasi

2.7 Pengobatan dan Penatalaksanaan


a. Medik
1) Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk :
- Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama
asam empedu dengan memberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari
dibagi 2 dosis peroral misal : luminal
- Melindungi hati dari zat dari zat toksik dengan memberikan asam
ursodeoksikolat 310 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis peroral misal :
urdafalk

9
2) Terapi nutrisi yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk bertumbuh
dan berkembang seoptimal mungkin yaitu:
- Pemberian makanan yang mengandung middle chain
triglycerides(MCT)untuk mengatasi malabsorpsi lemak. Contoh : susu
pregestinil dan pepti yunior.
- Penatalaksanaan defisiensi  vitamin yang larut dalam lemak.
- Dan pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang
efektif harus dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah
lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.
3) Terapi Bedah
Kasai prosedur
Bertujuan untuk mengngkat daerah yang mengalami atresia dan
menyambung hepar langsung ke usus halus sehingga cairan empedu dapat
langsung keluar ke usus halus disebut juga Roux-en-Y
hepartoportojejunustomy.
Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan maka segera dilakukan
intervensi bedah Portoenterostomi terhadap atresia bilier yang Correktable
yaitu tipe Idan II. Pada atresia bilier yang Non Correktable terlebih dahulu
dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan potensi duktus bilier
yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan Frozen section. Bila masih
ada duktus bilier yang paten maka dilakukan operasi kasai. Tetapi
meskipun tidak ada duktus bilier yang paten tetap dikerjakan operasi kasai
dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan jangka pendek) dan
bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati (tujuan jangka panjang).
Pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif
harus dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar
kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.
4)  Pemeriksaan diagnostik
-  Darah lengkap dan fungsi hati
Pada pemeriksaan laboratorium ini menunjukkan adanya
hiperbilirubinemia direk, serta peningkatan kadar serum

10
transaminase,fosfatase alkali, dan gamma glutamil transpeptidase
yang dapat membantu diagnosis atresia bilier pada tahap awal.
- Pemeriksaan urin
Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang
mengalami ikterus, tetapi urobilin dalam urine negative, hal ini
menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
- Pemeriksaan feses
Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin
dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
- Biopsi hati
Untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan
dengan pengambilan jaringan hati.
- USG abdomen
Kandung empedu yang kecil atau tidak sama sekali, adanya tanda
Triangular cord sangat sensitive menunjukkan adanya atresia bilier.
b. Keperawatan
Terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang
menderita atresia bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana
penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan harus
disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera pembedahan
portoenterestomi asuhan keperawatannya serupa dengan yang dilakukan pada
setiap pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi
pemberian obat dan terapi gizi yang benar termasuk penggunaan formula
khusus, suplemen vitamin serta mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral.
Pruritus menjadi persoalan signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau
tindakan seperti mandi rendam dan memotong kuku jari tangan.
Anak-anak dan keluarga memerlukan dukungan psikososial khusus.
Prognosis yang tidak pasti, gangguan rasa nyaman, dan penantian untuk
tranpalantasi dapat menimbulkan stress yang cukup besar. Perawatan yang
lama di rumah sakit, terapi farmakologis dan nutrisi dapat membawa beban
financial yang besar pada keluarga.

11
2.8 Pencegahan
Dapat mengetahui setiap faktor risiko yang dimiliki, sehingga bisa
mendapatkan prompt diagnosis dan pengobatan jika saluran empedu tersumbat.
Penyumbatan itu sendiri tidak dapat dicegah.
Dalam hal ini perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan pada orang
tua untuk mengantisipasi setiap faktor resiko terjadinya obstruksi biliaris
(penyumbatan saluran empedu), dengan keadaan fisik yang menunjukan  anak
tampak ikterik, feses pucat dan urine berwarna gelap (pekat). (Sarjadi,2000)

12
BAB 3. PATHWAYS

1. Infeksi virus atau Kelainan Lemak dan vitamin


bakteri masalah congenital yang larut lemak tidak dapat
dengan kekebalan
terbentuk diabsorbsi
tubuh.
2. Komponen obstruksi
empedu ektrahepatik.
Kekurangan
Saluran empedu tidak
vitamin larut
terbentuk
lemak A, D, E, K
Inflamasi yang progresif
Nutrisi kurang
dari kebutuhan
Obstruksi aliran hati ke
Kerusakan progresif pada
dalam usus Malabsorbsi
duktus billier

Atresia billiaris Ganggaun


Hipertermi
eliminasi fekal

Proses peradangan (diare)


Gangguan metabolism,
hepatomegali Distensi abdomen
karbohidrat, lemak, sel hati

protein
Perut terasa
1. Glikogenesis Gangguan suplai
penuh
2. glukoneogenesis darah pada sel hepar
Mual
Menekan diafragma
1. Glikogen dalam muntah
hepar
2. Glukosa dalam
Kekurangan volume Pola nafas tidak
darah
cairan efektif
kelemahan Kerusakan sel parenkim, sel hati
dan duktus empedu ektrahepatik
Intoleransi aktivitas

13
BAB 4 ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
a. Identitas
Meliputi Nama,Umur, Jenis Kelamin dan data-data umum lainnya. Hal ini
dilakukan sebagai standar prosedur yang harus dilakukan untuk mengkaji keadaan
pasien. Umumnya Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Atresia
bilier dtemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak
perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1.

b. Keluhan Utama
Keluhan utama dalam penyakit Atresia Biliaris adalah Jaundice dalam 2
minggu sampai 2 bulan Jaundice adalah perubahan warna kuning pada kulit dan
mata bayi yang baru lahir. Jaundice terjadi karena darah bayi mengandung
kelebihan bilirubin, pigmen berwarna kuning pada sel darah merah. 

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Anak dengan Atresia Biliaris mengalami Jaundice yang terjadi dalam 2
minggu atau 2 bulan lebih, apabila anak buang air besar tinja atau feses berwarna
pucat. Anak juga mengalami distensi abdomen, hepatomegali, lemah, pruritus.
Anak tidak mau minum dan kadang disertai letargi (kelemahan).

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Adanya suatu infeksi pada saat Infeksi virus atau bakteri masalah dengan
kekebalan tubuh. Selain itu dapat juga terjadi obstruksi empedu ektrahepatik. yang
akhirnya menimbulkan masalah dan menjadi factor penyebab terjadinya Atresia
Biliaris ini.
Riwayat Imunisasi: imunisasi yang biasa diberikan yaitu BCG, DPT, Hepatitis,
dan Polio.

14
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Anak dengan atresia biliaris diduga dalam keluarganya, khususnya
pada ibu pernah menderita penyakit terkait dengan imunitas HIV/AIDS,
kanker, diabetes mellitus, dan infeksi virus rubella. Akibat dari penyakit
yang di derita ibu ini, maka tubuh anak dapat menjadi lebih rentan
terhadap penyakit atresia biliaris. Selain itu terdapat kemungkinan adanya
kelainan kongenital yang memicu terjadinya penyakit atresia biliaris ini.

f. Riwayat Perinatal
a. Antenatal:
Pada anak dengan atresia biliaris, diduga ibu dari anak pernah menderita
infeksi penyakit, seperti HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan infeksi
virus rubella
b. Intra natal:
Pada anak dengan atresia biliaris diduga saat proses kelahiran bayi terinfeksi
virus atau bakteri selama proses persalinan.
c. Post natal:
Pada anak dengan atresia diduga orang tua kurang memperhatikan personal
hygiene saat merawat atau bayinya. Selain itu kebersihan peralatan makan
dan peralatan bayi lainnya juga kurang diperhatikan oleh orang tua ibu.

g. Pemeriksaan Tingkat Perkembangan


Pemeriksaan tingkat perkembangan terdiri dari adaptasi sosial, motorik kasar,
motorik halus, dan bahasa. Tingkat perkembangan pada pasien atresia biliaris
dapat dikaji melalui tingkah laku pasien maupun informasi dari keluarga. Selain
itu, pada anak dengan atresia biliaris, kebutuhan akan asupan nutrisinya menjadi
kurang optimal karena terjadi kelainan pada organ hati dan empedunya sehingga
akan berpengaruh terhadap proses tumbuh kembangnya.

15
h. Keadaan Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit
Kedaan lingkungan yang mempengaruhi timbulnya atresia pada anak yaitu
pola kebersihan yang cenderung kurang. Orang tua jarang mencuci tangan saat
merawat atau menetekkan bayinya. Selain itu, kebersihan botol atau putting ketika
menyusui bayi juga kurang diperhatikan.

i. Pola Fungsi Kesehatan


1) Pola Aktivitas/Istirahat : Pola aktivitas dan istirahat anak dengan atresia
biliaris terjadi gangguan yaitu ditandai dengan anak gelisah dan rewel
yang gejalanya berupa letargi atau kelemahan
2) Pola Sirkulasi : Pola sirkulasi pada anak dengan atresia biliaris adalah
ditandai dengan takikardia, berkeringat yang berlebih, ikterik pada sklera
kulit dan membrane mukosa.
3) Pola Eliminasi : Pola eliminasi pada anak dengan atresia biliaris yaitu
terdapat distensi abdomen dan asites yang ditandai dengan urine yang
berwarna gelap dan pekat. Feses berwarna dempul, steatorea. Diare dan
konstipasi pada anak dengan atresia biliaris dapat terjadi.
4) Pola Nutrisi : Pola nutrisi pada anak dengan atresia biliaris ditandai
dengan anoreksia,nafsu makan berkurang, mual-muntah, tidak toleran
terhadap lemak dan makanan pembentuk gas dan biasanya disertai
regurgitasi berulang.
5) Pola kognitif dan persepsi sensori: pola ini mengenai pengetahuan orang
tua terhadap penyakit yang diderita klien
6) Pola konsep diri: bagaimana persepsi orang tua dan/atau anak
terhadap pengobatan dan perawatan yang akan dilakukan.
7) Pola hubungan-peran: biasanya peran orang tua sangat dibutuhkan dalam
merawat dan mengobati anak dengan atresia biliaris.
8) Pola seksual-seksualitas: apakah selama sakit terdapat gangguan atau
tidak yang berhubungan dengan reproduksi sosial. Pada anak yang
menderita atresia biliaris biasanya tidak ada gangguan dalam reproduksi.

16
9) Pola mekanisme koping: keluarga perlu memeberikan dukungan dan
semangat sembuh bagi anak.
10) Pola nilai dan kepercayaan: orang tua selalu optimis dan berdoa
agar penyakit pada anaknya dapat sembuh dengan cepat.

j. Pemeriksaan Fisik
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
1) Air kemih bayi berwarna gelap
2) Tinja berwarna pucat
3) Kulit berwarna kuning
4) Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung
lambat
5) Hati membesar.
6) Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a) Gangguan pertumbuhan
b) Gatal-gatal
c) Rewel
d) Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang
mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).
7) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum : lemah.
TTV : Tekanan Darah : terjadi peningkatan terutama pada vena
porta
Suhu : Suhu tubuh dalam batas normal
Nadi : takikardi
RR : terjadi peningkatan RR akibat diafragma yang
tertekan (takipnea)
b) Kepala dan leher
Inspeksi : Wajah : simetris 
Rambut : lurus/keriting, distribusi merata/tidak
Mata : pupil miosis, konjungtiva anemis

17
Hidung : kemungkinan terdapat pernafasan cuping Hidung
Telinga : bersih
Bibir dan mulut : mukosa biibir kemungkinan terdapat ikterik
Lidah : normal
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid dan limfe
pada leher
c) Dada
Inspeksi : asimetris, terdapat tarikan otot bantu pernafasan
dan tekanan pada otot diafragma akibat pembesaran hati
(hepatomegali).
Palpasi : denyutan jantung teraba cepat, terdapat nyeri
tekan(-)
Perkusi : Jantung : dullness
Paru : sonor
Auskultasi : tidak terdengar suara ronchi
kemungkinan terdengar bunyi wheezing
d) Abdomen
Inspeksi : terdapat distensi abdomen
Palpasi : dapat terjadi nyeri tekan ketika dipalpasi
Perkusi : sonor
Auskultasi : kemungkinan terjadi pada bising usus
e) Kulit
Turgor kurang, pucat, kulit berwarna kuning (jaundice)
f) Ekstremitas
Tidak terdapat odem pada pada extremitas

k. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium 
a) Bilirubin direk dalam serum meninggi (nilai normal bilirubin total <
12 mg/dl) karena kerusakan parenkim hati akibat bendungan empedu
yang luas.

18
b) Tidak ada urobilinogen dalam urine.
c) Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase
alkalifosfatase (5-20 kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi lipid
(kolesterol fosfolipid trigiliserol)
2) Pemeriksaan diagnostik
a) USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab
kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa dilatasi kristik saluran
empedu)
b) Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan
duodenum di aspirasi. Jika tidak ditemukan cairan empedu dapat
berarti atresia empedu terjadi
c) Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan
hati memproduksi empedu dan mengekskresikan ke saluran empedu
sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak ditemukan empedu di
duodenum, maka dapat berarti terjadi katresia intra hepatik
d) Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan
noduler. Kandung empedu mengecil karena kolaps. 75% penderita
tidak ditemukan lumen yang jelas
4.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan
gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan
konjungtiva anemis
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi
abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
3. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif
pada duktusbilier ekstrahepatik
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan
vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah
pasien
5. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan

19
4.3 Perencanaan Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan
turun dan konjungtiva anemis
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji distensi abdomen
keperawatan 2 x 24 jam selama proses 2. Pantau masukan nutrisi dan
keperawatan, diharapkan pola nutrisi perhatikan frekuensi muntah
pasien menjadi adekuat klien
Kriteria Hasil: 3. Timbang BB setiap hati
a. BB pasien stabil 4. Berikan diet yang sedikit namun
b. Konjungtiva tidak anemis sering
5. Atur kebersihan oral sebelum
makan
6. Konsulkan dengan ahli diet
sesuai indikasi
7. Berikan diet rendah lemak,
tinggi serat, dan batasi makanan
penghasil gas
8. Kolaborasikan pemberian
makanan yang mengandung
MCT sesuai indikasi
9. Monitor kadar albumin, protein
sesuai program
10. Berikan vitamin-vitamin larut
lemak (A, D, E, K)

b. Diagnosa keperawatan: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan


peningkatan distensi abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada
pasien
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

20
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan 2 1. Kaji distensi abdomen
x 24 jam, diharapkan pasien 2. Kaji RR, kedalaman nafas, dan
menunjukkan tanda-tanda pola nafas kerja pernafasan
yang efektif 3. Awasi klien agar tidak sampai
Kriteria Hasil: mengalami leher tertekuk
a. RR mencapai 30-40 napas/mnt 4. Posisikan klien semi ekstensi
b. Kedalaman inspirasi dan atau eksensi pada saat
kedalaman bernafas beristirahat
c. Tidak ada penggunaan otot 5. Kolaborasikan operasi apabila
bantu nafas pada pasien dibutuhkan

c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif


pada duktusbilier ekstrahepatik, ditandai oleh peningkatan suhu tubuh, dan
pasien demam
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: setelah dilakukan pemeriksaan 1. Berikan kompres air biasa pada
keperawatan 1 x 24 jam diharapkan daerah aksila, kening, leher, dan
suhu tubuh pasien akan kembali lipatan paha
menjadi normal 2. Pantau suhu minimal setiap 2 jam
Kriteria Hasil: sekali disesuaikan dengan
a. Nadi dan pernapasan dalam kebutuhan
rentang normal 3. Berikan pasien pakaian tipis
b. Suhu normal 36,50 – 37,50 4. Menipulasi lingkungan menjadi
senyaman mungkin seperti
penggunaan kipas angin atau AC
5. Kolaborasikan pemberian obat
anti piretik sesuai kebutuhan

21
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan
vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah
pasien
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: pasien akan mempertahankan 1. Pantau asupan dan carian pasien
keseimbangan cairan dan elektrolit perjam (cairan infus, susu per
setelah dilakukan perawatan didalam NGT, atau jumlah ASI yang
rumah sakit selama 2 x 24 jam diberikan
Kriteria Hasil: 2. Periksa feses pasien tiap harinya
a. Kembalinya pengisian kapiler 3. Pantau lingkar perut pasien
darah kurang dari 3 detik 4. Observasi tanda-tanda dehidrasi
b. Turgor kulit membaik 5. Kolaborasikan pemeriksaan
c. Produksi urin 1-2ml/kgBB/jam elektrolit pasien, kadar protein
total, albumin, nitrogen urea
darah dan kreatinin serta darah
lengkap

e. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.


Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: pola BAB pasien normal 1. Evaluasi jenis intake makanan
setelah perawatan yang dilakukan 2 x 2. Monitor kulit sekitar perianal
24 jam terhadap adanya iritasi dan ulserasi
Kriteria Hasil: 3. Ajarkan pada keluarga penggunaan
a. Tidak ada diare obat anti diare
b. Elektrolit normal 4. Instruksikan pada pasien dan
c. Asam basa normal keluarga untuk mencatat warna,
volume, frekuensi dan konsistensi
feses
5. Kolaborasi jika tanda dan gejala
diare menetap
6. Monitor hasil Lab (elektrolit dan

22
leukosit)
7. Monitor turgor kulit, mukosa oral
sebagai indikator dehidrasi
8. Konsultasi dengan ahli gizi untuk
diet yang tepat

f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan


Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: pasien akan dapat beraktivitas 1. Observasi adanya pembatasan
secara normal setelah pemeriksaan yang klien dalam melakukan aktivitas
dilakukan 2 x 24 jam 2. Kaji adanya faktor yang
Kriteria Hasil: menyebabkan kelelahan
a. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik 3. Monitor nutrisi dan sumber
tanpa disertai peningkatan tekanan energi yang adekuat
darah, nadi dan RR 4. Monitor respon kardivaskuler
b. Mampu melakukan aktivitas terhadap aktivitas (takikardi,
sehari hari (ADLs) secara mandiri disritmia, sesak nafas, diaporesis,
c. Keseimbangan aktivitas dan pucat, perubahan hemodinamik)
istirahat 5. Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
6. Bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas yang
mampu dilakukan

4.4 Implimentasi Keperawatan

23
a. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan
gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan
konjungtiva anemis
1) mengkaji adanya distensi pada abdomen pasien
2) memantau masukan nutrisi dan frekuensi muntah
3) menimbang berat badan pasien
4) mengkolaborasikan pemberian diet pada pasien sedikit namun
sering
5) mempertahankan kebersihan oral pasien sebelum makan
6) mengkonsultasikan dengan ahli diet sesuai indikasi
7) memberikan diet rendah lemak, tinggi serat, dan batasi makanan
penghasil gas
8) memberikan makanan mengandung MCT sesuai indikasi
9) memonitor laboratorium untuk kadar albumin dan protein sesuai
program
10) memberikan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi
abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
1) mengkaji ada tidaknya distensi abdomen klien
2) mengkaji RR, kedalaman nafas, dan kerja pernafasan
3) mengawasi leher klien agar tidak tertekuk atau memosisikan leher
klien semi ekstensi saat istirahat
4) mempersiapkan operasi apabila diperlukan
c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif
pada duktusbilier ekstrahepatik
1) memberikan kompres air biasa pada aksila, kening, leher, dan
lipatan paha
2) memantau suhu minimal setiap 2 jam sekali sesuai kebutuhan
3) memberikan pasien pakaian tipis
4) memanipulasi lingkungan senyaman mungkin bagi pasien dengan
penggunaan AC / kipas angin

24
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan
vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah
pasien
1) memantau asupan dan cairan pasien perjam
2) memeriksa feses pasien setiap hari
3) memantau lingkar perut bayi
4) mengobservasi tanda-tanda dehidrasi pada pasien
5) mengkolaborasikan pemeriksaan elektrolit, kadar protein total
termasuk albumin, nitrogen urea, darah dan kreatinin serta darah
lengkap
e. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.
1) Mengvaluasi jenis intake makanan
2) Memonitor kulit sekitar perianal terhadap adanya iritasi dan
ulserasi
3) Mengajarkan pada keluarga penggunaan obat anti diare
4) Menginstruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat warna,
volume, frekuensi dan konsistensi feses
5) Berkolaborasi jika tanda dan gejala diare menetap
6) Memonitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit)
7) Memonitor turgor kulit, mukosa oral sebagai indikator dehidrasi
8) Berkonsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang tepat
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
1) Mengobservasi adanya pembatasan klien dalam melakukan
aktivitas
2) Mengkaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
3) Memonitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
4) Memonitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas (takikardi,
disritmia, sesak nafas, diaporesis, pucat, perubahan hemodinamik)
5) Memonitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
6) Membantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu
dilakukan

25
4.5 Evaluasi
a. Diagnosa 1: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun
dan konjungtiva anemis
S: Orang tua pasien mengatakan jika sang anak tidak mau menghabiskan
makanannya
O: BB menurun, Muntah, dan konjungtiva tampak anemis
A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan intervensi
b. Diagnosa 2: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
distensi abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
S: Orang tua mengeluhkan anaknya sering sesak
O: adanya sesak nafas, RR: 60 x/menit
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
c. Diagnosa 3: Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan
progresif pada duktusbilier ekstrahepatik
S: Pasien mengatakan tubuhnya panas
O: suhu meningkat, takikardi, dan RR meningkat
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
d. Diagnosa 4: Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya
nausea dan vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual
dan muntah pasien
S: Keluarga mengatakan sejak pagi pasien muntah-muntah setelah makan
O: muntah sebanyak ¼ gelas kecil, wajah terlihat pucat dan sianosis
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
e. Diagnosa 5: Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan
malabsorbsi

26
S: keluarga mengatakan pasien sudah mulai berkurang BABnya
O: pasien BAB 2 kali dalam sehari, dengan konsentrasi cair
A: masalah teratasi sebangian
P: lanjutkan intervensi
f. Diagnosa 6: Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
S: pasien mengatakan sudah dapat beraktivitas, dan tidak lelah
O: nadi 95 kali / menit, RR: 21 kali / menit
A: masalah teratasi
P: hentikan intervensi

BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan

27
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel
yang akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau
sebagian. (Chandrasoma & Taylor,2005). Penyebab atresia bilier tidak diketahui
dengan jelas, tetapi diduga akibat proses inflamasi yang destruktif. Atresia biliar
terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam
maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran
empedu ini tidak diketahui. Meskipun penyebabnya belum diketahui secara pasti,
tetapi diduga karena kelainan kongenital, didapat dari proses-proses peradangan,
atau kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine.Dalam hal ini pengobatan tidak
memberikan efek yang terlalu besar. Satu-satunya terapi yang memberikan
harapan kesembuhan bagi atresia biliar adalah pembedahan. Secara historis,
berbagai operasi telah disusun, termasuk reseksi hepatik parsial dengan drainase
luka permukaan, penusukan hepar dengan tabung hampa, dan pengalihan duktus
limfatik torasikus kedalam rongga mulut. Dalam hal pencegahannya perawat
diharapkan dapat memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua untuk
mengantisipasi setiap faktor resiko terjadinya obstruksi biliaris (penyumbatan
saluran empedu), dengan keadaan fisik yang menunjukan  anak tampak ikterik,
feses pucat dan urine berwarna gelap (pekat). (Sarjadi,2000)

5.2 Saran
Saran bagi perawat, sebaiknya seorang perawat dapat melaksanakan asuhan
keperawatan kepada klien atresia biliaris sesuai dengan indikasi penyakit, dan
sebaiknya dengan baik dan benar sesuai standar.

DAFTAR PUSTAKA

28
Craft-Rosernberg, Martha & Smith, Kelly. 2010. Nanda Diagnosa Keperawatan.

Yogyakarta: Digna Pustaka

Parlin.1991.Atresia Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FK UI.

Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M.2006. Patofisiologi, Konsep Klinis,

Proses-proses Penyakit, Volume 1, edisi 6.J akarta: EGC

Sarjadi, 2000. Patologi umum dan sistematik. Jakarta. EGC

Sloane, Ethel.2004. Anatomi dan Fisiologi untk Pemula. Jakarta:EGC

Smeltzer, Suzanne C., dan Bare, Brenda G.. 2002. Buku Ajar Keperawatan

Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC

Wilkinson, Judith M.2007. Buku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC

dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. Jakarta :

EGC.

http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2012/05/

pustaka_unpad_atresia_biliaris.pdf( diakses tanggal 15 Maret 2016)

29

Anda mungkin juga menyukai