Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke dalam duodenum dalam
jumlah yang normal. Secara klinis, kolestasis dapat didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang
diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu dan kolesterol di dalam darah dan
jaringan tubuh. Berdasarkan rekomendasi North American Society for Pediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (NASPGHAN), kolestasis apabila kadar bilirubin
direk lebih dari 1 mg/dl bila bilirubin total kurang dari 5 mg/dl, sedangkan bila kadar dari
bilirubin total lebih dari 5 mg/dl, kadar bilirubin direk lebih dari 20% dari bilirubin total.
a. Kolestasis intrahepatik
b. Kolestasis ekstrahepatik
Kolestasis ekstrahepatik merupakan 32% dari kasus kolestasis dan sebagian besar adalah
atresia bilier. Kolestasis ekstrahepatik terdapat penyumbatan atau obstruksi saluran empedu
ekstrahepatik. Penyebab utama kolestasis tipe ini adalah proses imunologis, infeksi virus
terutama Cytomegalo virus, Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemia dan kelainan
genetik. Akibat dari penyebab tersebut maka akan terbentuk kelainan berupa nekroinflamasi,
yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan dan pembuntuan saluran empedu ekstrahepatik.
Atresia bilier merupakan salah satu contoh kolestasis ekstrahepatik dan merupakan
penyebab yang paling sering ditemukan. Deteksi dini kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan
oleh atresia bilier merupakan langkah yang sangat penting, karena metode pengobatan untuk
atresia biler adalah dengan pembedahan hepatik-portoenterostomi yang biasa dikenal dengan
nama operasi Kasai, operasi ini kurang efektif apabila umur pasien sudah lebih dari 2 bulan.
Patogenesis
Kolestasis intrahepatik diakibat oleh gangguan sintesis dan atau sekresi asam empedu
akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatik serta mekanisme transportasinya di dalam
hati. Patogenesis kolestasis intrahepatik tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
a. Gangguan transporter (Na+ K+ATP-ase dan Na+ bile acid co-transporting protein NCTP)
c. Sekresi asam empedu primer yang berkurang atau terbentuknya asam empedu atipik di
kanalikulus yang berpotensi untuk mengakibatkan kolestasis dan kerusakan sel hati.
Manifestasi klinis
Bayi ikterus sampai usia dua minggu pada umumnya disebabkan oleh peningkatan
bilirubin indirek dan mencapai kadar puncak pada usia 5-7 hari. Bayi yang mengalami
peningkatan kadar biliribin direk akan mengalami ikterus setelah usia dua minggu. Manifestasi
klinis yang dapat dijumpai pada pasien kolestasis adalah ikterus atau kulit dan mukosa berwarna
ikterus yang berlangsung lebih dari dua minggu, urin berwarna lebih gelap, tinja warnanya lebih
pucat atau fluktuatif sampai berwarna dempul (akholik)
Pemeriksaan fisik pasien kolestasis dapat dijumpai hepatomegali, splenomegali, gagal
tumbuh, dan wajah dismorfik. Tanda lain yang dapat dijumpai pada pasien dengan kolestasis
adalah hipoglikemia yang biasanya ditemukan pada penyakit metabolik, hipopituitarisme atau
kelainan hati yang berat, perdarahan oleh karena defisiensi vitamin K, hiperkolesterolemia,
xanthelasma, sedangkan kasus asites masih jarang ditemukan.
Diagnosis
Kolestasis dicurigai apabila terdapat warna ikterus pada kulit atau mukosa yang tidak
menghilang setelah minggu ke-3 kehidupan, pada bayi kurang bulan dan lebih dari dua minggu
pada bayi cukup bulan
Anamnesis
Riwayat ikterus lebih dari 14 hari, keluarga pasien yang menderita kolestasis, lahir
prematur atau berat lahir rendah, riwayat kehamilan dengan infeksi TORCH, hepatitis B, infeksi
intrapartum, pemberian nutrisi parenteral, sepsis dan ISK. Bayi dengan atresia bilier biasanya
lahir dengan berat badan yang normal, sedangkan pada bayi dengan kolestasis intrahepatik lahir
dengan berat badan lahir rendah.
Pemeriksaan fisik
Ikterus merupakan tanda yang paling sering dijumpai pada pasien dengan kolestasis, dan
merupakan pertanda awal untuk mendiagnosis kolestasis. Pada umumnya gejala ikterik akan
muncul pada pasien apabila kadar bilirubin sekitar 7 mg/dl.
A. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan kadar bilirubin merupakan pemeriksaan laboratorium rutin yang dilakukan untuk
pasien dengan kolestasis, dengan mengetahui hasil dari komponen bilirubin kita dapat
membedakan antara kolestasis dengan hiperbilirubinemia fisiologis. Dikatakan kolestasis apabila
didapatkan kadar billirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila billirubin total kurang dari 5 mg/dl atau
kadar billirubun direk lebih dari 20% apabila kadar billirubin total lebih dari 5 mg/dl.
b. Peningkatan kadar SGOT/SGPT >10 kali dengan peningkatan gamma GT <5 kali, lebih
mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler, sedangkan apabila dari hasil laboratorium didapatkan
peningkatan SGOT/SGPT <5 kali dengan peningkatan gamma GT >5 kali, hal ini lebih
mengarah kepada kolestasis ekstrahepatik.
c. Aminotransferase serum meningkat lebih dari 2-4 kali nilai normal, maka hal ini menunjukkan
adanya proses infeksi.
d. Pemeriksaan alkali phosphatase yang biasanya meningkat pada pasien yang mengalami
kolestasis.
f. Peningkatan kolesterol, penurunan kadar albumin, masa protrombin biasanya normal tetapi
mungkin memanjang, yang dapat dikoreksi dengan vitamin K.
g. Kadar gula darah pasien bisa didapatkan hipoglikemia, untuk mendeteksi kelainan yang
berhubungan dengan metabolik.
h. Pemeriksaan TORCH untuk menelusuri terhadap kemungkinan adanya infeksi Toksoplasma,
Cytomegalo virus, Rubella, dan Herpes.
B. Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan salah satu teknik pemeriksaan untuk
mendeteksi kolestasis pada pasien. Dengan pemeriksaan USG dapat diketahui ukuran, keadaan
hati, dan kandung empedu. Pemeriksaan ini relatif murah harganya dengan teknik yang sangat
sederhana, serta efektifitasnya mencapai 80%. Ultrasonografi dapat mendeteksi adanya tanda
triangular cord dibagian atas percabangan vena porta. Ultrasonografi memiliki sensitivitas 85%,
spesifisitas 100%, dan akurasi 95% untuk mendiagnosis atresia bilier ekstrahepatik.
Sebelum dilakukan pemeriksaan USG pasien harus dipuasakan minimal selama 4 jam.
Kemudian, setelah pemeriksaan USG yang pertama pasien diberikan minum dan diperiksa USG
kembali. Panjang kandung empedu yang normal akan tampak ≥1,5 cm, sedangkan pada 60%
pasien atresia bilier ektrahepatik tidak akan tampak.
Pada pasien dengan kolestasis intrahepatik, pada saat pasien dipuasakan akan terlihat
kandung empedu yang normal dan pada umumnya akan terisi cairan empedu sehingga mudah
terlihat dengan pemeriksaan USG. Setelah pasien diberikan minum, kandung empedu akan
mengalami kontraksi sehingga ukurannya akan lebih kecil dan tidak terlihat dengan pemeriksaan
USG. Kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier terjadi karena adanya proses
obstruksi di hati, sehingga pada saat pasien dipuasakan kandung empedu tidak dapat dilihat
dengan pemeriksaan USG. Keadaan lain yang mengarah kemungkinan atresia bilier, apabila saat
puasa kandung empedu terlihat ukurannya kecil dan setelah diberikan minum ukurannya tidak
terjadi perubahan.