Anda di halaman 1dari 5

PENUGASAN HARI KE-4

TUGAS TOKOH PANUTAN JAWA BARAT

Nama Pemateri : Drs. H. Eryadi D Danudiredja., M.Si


Nama Peserta : dr. Sinta Nur Apriliyani
NIP : 199504242022032020
Instansi : Puskesmas Cikidang
NDH : 31
Angkatan :V
Kelompok :1
RADEN DEWI SARTIKA

Dewi Sartika lahir pada tanggal 4 Desember 1884 di Cicalengka, Bandung. Ia lahir
sebagai anak kedua dari 5 bersaudara dalam keluarga Sunda ternama dari pasangan Raden
Rangga Somanagara dan Raden Ayu Rajapermas.
Sebagai anak yang lahir dari keluarga priayi, Dewi Sartika memiliki privilege untuk
mendapatkan pendidikan formal. Ia mengenyam pendidikan di Sekolah Kelas Satu untuk
penduduk non-Eropa, yakni Eerste Klasse School (EKS). Sekolah ini kelak menjadi
Hollandsch Inlandsche School (HIS). Di sana, Dewi belajar membaca dan menulis, serta
mempelajari bahasa Belanda. Namun, Dewi tidak sempat menyelesaikan pendidikan lantaran
ayahnya diasingkan ke Ternate pada tahun 1893 hingga ayahnya wafat di sana. kehidupan
Dewi Sartika harus bergantung pada pamannya, Raden Demang Suria Karta Hadiningrat.
Di belakang gedung kepatihan, saat bermain Dewi sering berperan layaknya guru di
sekolah dengan mengajari baca-tulis dan bahasa Belanda kepada anak-anak pelayan di
kepatihan. Dewi juga membuat masyarakat gempar karena membuat anak-anak seusianya
memiliki kemampuan baca-tulis dan beberapa kosakata dalam bahasa Belanda.
Pada tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata
yang memiliki semangat, visi, serta cita-cita yang sama dengan Dewi. Kelak, Raden
Kanduruan Agah Suriawinata akan banyak membantu Dewi dalam mewujudkan visinya.
Pemikiran Dewi Sartika
Cita-cita Dewi Sartika dapat dilihat dari karangannya yang berjudul De Inlandsche
Vrouw (Wanita Bumiputera). Di situ, ia mengemukakan bahwa pendidikan sangat penting.
Pendidikan susila dan pendidikan kejuruan sama pentingnya untuk dikuasai oleh perempuan.
Saat Dewi Sartika remaja perempuan Sunda dianggap lebih lemah, dikekang dengan
perkawinan paksa, dan sebagainya. Bahkan, mereka hanya menjadi lambang status seorang
laki-laki setelah menikah. Pada masa itu, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
kedudukan perempuan dalam masyarakat Sunda mengalami kemunduran. 
Sakola Istri
Pada 16 Januari 1904, keinginan dan perjuangan Dewi Sartika terwujud di usianya
yang masih sangat muda sekitar 19 atau 20 tahun. Ia mendirikan sebuah sekolah bernama
Sakola Istri dengan bantuan dari C. Den Hammer dan R.A.A.Martanegara. Sekolah tersebut
bertempat di ruang Paseban Kabupaten, di sudut sebelah Barat Pendopo Bupati Bandung
(sekarang taman pendopo Alun-Alun Bandung).
Sakola Kautamaan Istri
Pada tahun 1905, Sakola lstri pindah ke Jalan Ciguriang dan sampai sekarang masih
digunakan sebagai tempat belajar. Jumlah pengajar pun ditambah untuk mengimbangi jumlah
muridnya. Pada tahun 1909, bangunan sekolah diperluas dengan menghadap ke arah Jalan
Kebon Cau (kini menjadi Jalan Kautamaan Istri). Lalu, pada tahun 1910, Sakola Istri berganti
nama menjadi Sakola Dewi Sartika dan berganti kembali menjadi Sakola Kautamaan Istri
pada tahun 1914.
Dewi Sartika sangat berusaha untuk memberikan pendidikan yang berkualitas. Salah
satu cara meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan mendapatkan guru-guru yang
kompeten di bidangnya. Ia sampai memanggil zuster van Arkel, seorang tenaga ahli dari
Rumah Sakit Immanuel, untuk mengajar PPPK dan memelihara bayi.
Sakola Kautamaan Istri memiliki motto dari bahasa Sunda “cageur, bageur, bener,
singer, pinter” yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia, yaitu “sehat, baik hati, benar,
mawas diri, pintar”. Nilai-nilai tersebut masih dapat dijumpai di Jawa Barat sebagai warisan
dari Dewi Sartika.
Penghargaan & Akhir Hayat
Pada tahun 1942, saat masa penjajahan Jepang, sekolah Dewi Sartika dibubarkan oleh
Jepang dan diganti namanya menjadi Sekolah Gadis. Pada tahun 1946, saat peristiwa
Bandung Lautan Api, gedung sekolah itu pun ikut terbakar. Dewi Sartika beserta keluarganya
pun meninggalkan Bandung untuk mengungsi ke Ciparay, di sebelah tenggara Bandung. Ia
juga sempat berpindah ke Garut, lalu berpindah lagi ke Cineam, daerah pegunungan di
selatan Tasikmalaya.
Dewi Sartika meninggal dunia pada hari Kamis, 11 September 1947. Beliau
dimakamkan di Pemakaman Umum Desa Cineam. Kemudian, jasadnya dipindahkan ke
makam para Bupati Bandung di Kepatihan pada tahun 1951.
Dewi Sartika mendapatkan penghargaan, salah satunya ia mendapat medali emas kehormatan
Orde van Oranje-Nassau dari pemerintah Hindia Belanda pada 1939 atas tulisannya dalam
De Inlandsche Vrouw. Pemerintah Indonesia juga mengakui jasa-jasanya dengan memberikan
gelar pahlawan nasional pada 1 Desember 1966.
Analisis BerAkhlak :
1. Berorientasi pelayanan
Pada saat remaja Dewi sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan dengan
memerankan perilaku seorang guru. Dewi mendirikan sakola istri, untuk memberikan
pendidikan yang berkualitas, dengan mendapatkan guru-guru yang kompeten di bidangnya. Ia
sampai memanggil zuster van Arkel, seorang tenaga ahli dari Rumah Sakit Immanuel, untuk
mengajar PPPK dan memelihara bayi.
2. Akuntabel
Dewi Sartika membuka akses pendidikan untuk semua golongan, terutama bagi perempuan.
Sekolah tersebut bertempat di ruang Paseban Kabupaten, di sudut sebelah Barat Pendopo
Bupati Bandung (sekarang taman pendopo Alun-Alun Bandung).
3.Kompeten
Dewi Sartika memiliki privilege untuk mendapatkan pendidikan formal ia mengenyam
pendidikan di Sekolah Kelas Satu untuk penduduk non-Eropa, yakni Eerste Klasse School
(EKS). Sekolah ini kelak menjadi Hollandsch Inlandsche School (HIS).
4.Harmonis
Keberadaan sekolah yang didirikan dewi mendapat perhatian positif dari masyarakat. Hal ini
dibuktikan dengan semakin bertambahnya jumlah murid. Bahkan, ruangan yang dipinjamkan
di Pendopo Bandung pun sudah tidak mencukupi.
5.Loyal
Dewi terus memberikan perhatian terhadap murid dan sekolah nya hingga Pada tahun 1942,
saat masa penjajahan Jepang, sekolah Dewi Sartika dibubarkan oleh Jepang dan diganti
namanya menjadi Sekolah Gadis. Pada tahun 1946, saat peristiwa Bandung Lautan Api,
gedung sekolah itu pun ikut terbakar. Dewi Sartika beserta keluarganya pun meninggalkan
Bandung untuk mengungsi.
6. Adaptif
Setelah berdirinya sakola istri dan murid pun semakin bertambah Pada tahun 1909, bangunan
sekolah diperluas dengan menghadap ke arah Jalan Kebon Cau (kini menjadi Jalan
Kautamaan Istri).
7.Kolaboratif
Ia mendirikan sebuah sekolah bernama Sakola Istri dengan bantuan dari C. Den Hammer dan
R.A.A.Martanegara, dan mengajar dibantu oleh zuster van Arkel, seorang tenaga ahli dari
Rumah Sakit Immanuel.

Anda mungkin juga menyukai