Anda di halaman 1dari 3

Tugas Individu Agenda 2

Peserta Latsar CPNS Tahun 2022


Tokoh Panutan Jawa Barat

Nama Peserta : Bunga Syifa Fauzia Yusuf (NDH 22)

Angkatan 2 kelompok 2

Tutor : Dr. Hj. Wiwin Winarni, M.M.Pd

A. Biografi Raden Dewi Sartika

Raden Dewi Sartika adalah putri dari pasangan Raden Somanegara dan Nyi Raden Ayu
Rajapermas. Beliau lahir pada 4 Desember 1884 di Bandung dan wafat di Tasikmalaya, 11 September
1947 pada umur 62 tahun. Beliau adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita, dan diakui
sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966. Ayahnya adalah seorang patih di
Bandung yang sangat Nasionalis. Ayah dan ibu Raden Dewi Sartika termasuk keluarga priyayi Sunda.
Meskipun bertentangan dengan adat saat itu, ayah dan ibu Raden Dewi Sartika tetap bersikukuh
menyekolahkan Raden Dewi Sartika di sekolah Belanda. Ketika ayah dan ibunya ditangkap dan
diasingkan ke ternate (Maluku), beliau dititipkan pada pamannya, Patih Aria, yang tinggal di
Cicalengka.
Oleh pamannya, beliau mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara
wawasan kebudayaan barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan
Belanda. Bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan sudah ditunjukkan Raden Dewi Sartika
dari kecil. Saat Raden Dewi Sartika berumur sekitar 10 tahun, sambil bermain di belakang gedung
kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan beberapa patah
kata dalam bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta,
arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar. Kemampuan belajar Raden Dewi Sartika
membuat gempar di Cicalengka karena pada saat itu belum ada anak (apalagi anak rakyat jelata) yang
memiliki kemampuan seperti itu, dan apalagi diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Raden Dewi Sartika amat gigih dalam memperjuangkan nasib dan harkat martabat kaum
perempuan. Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang telah
dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya,
Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama
dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang
mengekang kaum perempuan pada zaman itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan
khawatir. Namun karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika dapat
meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.

Pada tahun 1902, di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika
mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit,
membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu.

Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Raden Dewi Sartika
mendirikan Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga
orang, yakni Raden Dewi Sartika sendiri dengan dibantu oleh dua saudara sepupunya, Ny. Poerwa dan
Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo
Kabupaten Bandung. Setahun kemudian, pada tahun 1905, Sakola Istri tersebut terus mendapat
perhatian positif dari masyarakat. Murid-muridnya bertambah banyak, bahkan ruangan Pendopo
Kepatihan Kabupaten Bandung yang dipinjam sebelumnya juga tidak cukup lagi menampung murid-
murid. Untuk mengatasinya, Sakola Istri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas, ke Jalan
Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta
bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, bahasa sunda
bisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola


Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama
dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten
(setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Kemudian pada tahun 1913, berdiri pula
organisasi kautamaan istri di Tasikmalaya. Organisasi ini menaungi sekolah-sekolah yang didirikan oleh
dewi sartika. Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata. Beliau
memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, yang saat itu merupakan guru di sekolah
Latihan Guru, di Karang Pamulang.

Seiring perjalanan waktu, pada tahun 1914 nama Sakola Istri sedikit diperbarui menjadi Sakola
Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata
pelajaran juga bertambah. Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola
Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola
Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola
Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota
kewedanaan.

Bulan September 1929, Raden Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya
yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas
jasanya dalam bidang ini, Raden Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-
Belanda. Oleh pemerintah Hindia Belanda dibangunkan sebuah gedung baru yang besar dan lengkap.
Raden Dewi Sartika terus berusaha keras mendidik anak-anak perempuan agar kelak dapat menjadi
ibu rumah tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang
berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya. Untuk menutupi biaya
operasional sekolah, beliau membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak
dirasakan menjadi beban, tetapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik
kaumnya.
Pada tahun 1947, akibat agresi militer Belanda, Raden Dewi Sartika ikut mengungsi bersama-
sama para pejuang yang terus malakukan perlawanan terhadap Belanda untuk mempertahankan
kemerdekaan. Saat mengungsi inilah, tepatnya tanggal 11 september 1947, Raden Dewi sartika yang
sudah lanjut usia wafat di Tasikmalaya, Jawa Barat. Dan dimakamkan dengan suatu upacara
pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Setelah keadaan
aman, tiga tahun kemudian makam beliau dipindahkan dan dimakamkan Kembali di komplek
Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Kabupaten Bandung.

B. Nilai-nilai Ber-AKHLAK yang diterapkan oleh Raden Dewi Sartika dalam kehidupannya
Setelah membaca dan menelaah kisah kehidupan bagaimana seorang Raden Dewi Sartika
dengan gigih memperjuangkan hak dan martabat kaum wanita dengan menjadi pendiri Sakola Istri
sekaligus menjadi tenaga pendidik di sekolah tersebut, bahkan beliau sampai rela berkorban
mengeluarkan dana untuk menutupi biaya operasional sekolah dengan hasil jerih payahnya sendiri.
Dapat disimpulan bahwa beliau memiliki core values Ber-AKHLAK.

Dinilai dari prinsip nilai berorientasi pelayanan, Raden Dewi Sartika berjasa bagi negara
Indonesia dalam melayani bangsa, yakni membangun Sakola istri (Sekolah Perempuan), dan menjadi
tenaga pendidik untuk kaum wanita Indonesia di Tanah Pasundan.

Selain itu, beliau juga memiliki prinsip nilai Kompeten, yakni mengembangkan potensi diri
dengan belajar sungguh-sungguh baik saat tinggal dengan pamannya, Patih Aria, maupun saat di
sekolah Belanda meskipun bertentangan dengan adat pada saat itu yang dimana seorang rakyat
Indonesia yang bahkan seorang anak perempuan dilarang untuk bersekolah. Dan juga membantu
orang lain belajar, yakni dengan menghabiskan masa kecil beliau dengan sering memperagakan
praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan mengajarkan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda,
kepada anak-anak pembantu di kepatihan saat bermain di belakang gedung kepatihan.

Kisah hidup beliau juga memiliki prinsip nilai loyalitas, yakni berdedikasi dan mengutamakan
kepentingan bangsa dengan menjadi tenaga pendidik dengan dibantu oleh kedua saudara sepupunya,
karena beliau ingin para generasi perempuan Indonesia kelak dapat menjadi ibu rumah tangga yang
baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil dengan mengajarkan merenda, memasak, jahit-
menjahit, membaca, menulis dan sebagainya, yang menjadi materi pelajaran saat itu.

Prinsip nilai lainnya adalah Adaptif, yakni terus antusias dalam menggerakkan perubahan,
untuk merubah persepsi dan adat istiadat yang mana pada saat itu menentang kaum perempuan
untuk mengenyam Pendidikan. Berkat semangat beliau ini, pada akhirnya menular ke wanita-wanita
lainnya yang memiliki misi visi yang sama, dengan mulai bermunculannya sakola-sakola istri lainnya di
beberapa wilayah Pasundan, dan lengkap di semua wilayah pada tahun 1920. semangat ini bahkan
menyeberang ke Bukittinggi yang didirikan oleh Encik Rama Saleh.

Dan prinsip nilai yang terakhir adalah kolaboratif. Dimana pada awal membangun cita-citanya,
Raden Dewi Sartika bekerja sama dengan pamannya, Bupati Martanagara. Tak terlepas juga dibantu
oleh keluarga dan suaminya. Yang pada akhirnya juga dibantu oleh pemerintah Hindia-Belanda
dengan dibangunkannya gedung sekolah baru yang lebih besar dan lengkap.

Anda mungkin juga menyukai