Anda di halaman 1dari 3

Nyaangan Alam Dunya

Dewi Sartika

Dewi Sartika (Bandung, 4 Desember 1884 - Tasikmalaya, 11 September 1947), tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda. Bakat pendidik Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar. Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan. Beranjak remaja Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya yang semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, pamannya sendiri, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan. Menikah Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan citacita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Mendirikan sekolah Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahitmenjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal. Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Dwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi
http://www.kasundaan.org Powered by Joomla! Generated: 7 December, 2011, 22:36

Nyaangan Alam Dunya

bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda. Meninggal Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung. Rujukan - Salmun, M. A.. 1958. Raden Dewi Sartika. Dina M. O. Kusman (d.). Bacaan Anyar III. Tarate, Bandung.Tentang Dewi Sartika dari Pikiran Rakyat:Dewi Sartika, Jasa Besar Terlupakan Source: http://www.pikiranrakyat.com/cetak/1203/04/0108.htm "Nya atuh Uwi, ari Uwi panting jeung keukeuh hayang mah, mugi-mugi bae dimakbul ku Alloh nu ngawasa sakuliah alam, urang nyoba-nyoba nyieun sakola sakumaha kahayang Uwi. Pikeun nyegah bisi aya kateungeunah di ahir, sakola teh hade lamun di pendopo wae heula. Lamun katanyaan henteu aya naon-naon, pek bae pindah ka tempat sejen". UCAPAN itu terlontar dari Bupati Bandung R.A. Martanegara yang terkejut mengetahui Raden Dewi Sartika hendak menghadapnya, sebagaimana terpapar dalam Buku Sang Perintis, Raden Dewi Sartika. Apalagi, mendengar gagasan Dewi Sartika (yang disebutnya dengan neneh/nama panggilan "Uwi") yang ingin mendirikan sekolah bagi wanita pribumi. Ada rasa haru diliputi kekaguman. Akan tetapi, sang bupati perlu waktu untuk merundingkan ide itu dengan sejumlah sahabat dan kerabat dekatnya. Saat itu awal 1900-an. Jangan bandingkan kondisi kala itu dengan kenyataan kini. Pada masa itu, posisi perempuan masih menjadi -- meminjam istilah Sunda -- patih goah yang harus selalu dulang tinande. Ia memang disebut sebagai "patih", tetapi hanya terbatas di goah atau ruangan yang letaknya di belakang rumah, tempat menyimpan makanan. Posisinya sangat lemah karena ia ibarat dulang (perkakas dapur untuk ngakeul/melumatkan nasi) yang harus selalu nande (menampung), tidak memiliki kebebasan memilih. Jauh dari kenyataan kini, tatkala posisi perempuan sudah relatif sejajar dengan kaum laki-laki, terutama dalam segi pendidikan dan akses pada ruang publik. Perempuan berangsur meninggalkan ruang domestiknya untuk tutur beraktualisasi pada berbagai posisi elite, di lingkungan sipil atau militer, politik atau nonpolitik. Bahkan, posisi pemimpin negeri pun saat ini dipegang oleh sosok perempuan. Toh, kungkungan adat di masa itu justru menjadi pelecut motivasi putri pasangan Raden Rangga Somanegara dan Raden Ayu Raja Permas itu untuk mantap mewujudkan tekad memajukan pendidikan kaum perempuan. Raden Dewi Sartika yang lahir pada 4 Desember 1887 meyakini bahwa pendidikan menjadi sarana yang meniscayakan kesejajaran posisi laki-laki perempuan dalam ruang sosial. Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara itulah, akhirnya pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Untuk sementara tempat belajar meminjam ruangan di Paseban Barat di halaman depan rumah Bupati Bandung. Murid yang diterima untuk kali pertama yakni 60 siswi, yang sebagian besar berasal dari masyarakat kebanyakan. Pada 1905 sekolah tersebut pindah ke Jalan Ciguriang-Kebon Cau karena ruangan tak mampu lagi menampung jumlah siswi yang bertambah. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Setelah menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata pada 1906 yang juga turut mendukung dan membantu dalam memajukan sekolah yang didirikannya, pada 1910 Dewi Sartika mengubah Sakola Istri menjadi Sakola Kaoetamaan Istri, dengan jangkauan lebih luas bahkan dari luar Jawa Barat. Sejatinya, sejak 1902, Raden Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum wanita ketika itu. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu. Dengan segala keterbatasan saat itu, apa yang telah dirintis Raden Dewi Sartika jelas merupakan bukti nyata perjuangan emansipasi wanita. Sekolah yang didirikan Dewi Sartika menjadi mutiara yang kemilaunya terus menjadi inspirasi terus berkobarnya spirit memajukan pendidikan kaum perempuan.** "BANGSA yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya". Demikian adagium yang kerap disampaikan. Akan tetapi, paralelkah adagium itu dengan itikad dan upaya kita untuk betul-betul melaksanakannya dalam keseharian? Dewi Sartika adalah potret nyata dari kealpaan kita untuk menempatkan seseorang dalam penghormatan yang
http://www.kasundaan.org Powered by Joomla! Generated: 7 December, 2011, 22:36

Nyaangan Alam Dunya

proporsional; selayaknya dengan sumbangsih yang telah mereka persembahkan. Dalam sebuah seminar bertema "Kepeloporan Dewi Sartika: Kriteria Kepahlawanan Emansipasi Wanita di Indonesia" yang diselenggarakan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, awal tahun ini, Rektor Unpad Prof. H.A. Himendra Wargahadibrata sempat berucap bahwa sosok kepahlawanan Raden Dewi Sartika, pejuang emansipasi perempuan di Indonesia, perlu diredefinisi sehingga tokoh berdarah Sunda itu dapat ditempatkan secara proporsional sesuai jasa dan perjuangannya untuk bangsa dan negara ini. Himendra mengatakan bahwa Dewi Sartika adalah sosok pahlawan yang tidak mengenal pamrih. Dewi Sartika yang hidup pada rentang tahun 1884 hingga 1947 itu mampu mendobrak tradisi ortodok yang sangat tidak berpihak kepada kaum perempuan. Ia melakukannya dengan memberikan pencerdasan melalui pendidikan. "Kita merasa prihatin bila mengenang jasa-jasa Beliau, lalu melihat penghargaan yang kita berikan. Menurut pemikiran kita, (penghargaan itu) belumlah layak dan sepadan dengan apa yang telah Dewi Sartika berikan kepada negara dan bangsa ini," ujar Himendra. Sementara itu, sejarawan dari Fakultas Sastra Unpad, Dr. Hj. Nina H. Lubis, M.S., menyatakan bahwa Raden Dewi Sartika memang telah menjadi pahlawan nasional dari Jawa Barat. "Seharusnya memang sudah harus sejak dulu beliau diangkat menjadi pahlawan nasional. Akan tetapi, lebih dari itu yang terpenting adalah munculnya kesadaran hakiki bahwa memang perjuangan Dewi Sartika itu sangat besar. Saya katakan, bahkan sejajar dengan perjuangan R.A. Kartini yang namanya lebih dikenal di negeri ini," paparnya. Menurut Nina Lubis, jika perjuangan emansipasi perempuan yang digelorakan R.A. Kartini hanya sebatas ide atau gagasan, Dewi Sartika justru dengan pelaksanaannya langsung. "Dewi Sartika mah jeung prakna. Ia benar-benar mendirikan insitusi pendidikan pertama bagi kaum perempuan di negeri ini. Tidak saja dengan pikiran dan tenaga, tetapi juga dengan biaya sendiri," katanya. Hanya, subjektivisme penulisan sejarah (historiografi) bangsa ini, telah membuat posisi Raden Dewi Sartika termarginalkan. "Tidak proporsional dibandingkan dengan apa yang telah dilakukannya. Tetapi, ini berlangsung sejak masa kolonial. Ayah Dewi Sartika, Raden Rangga Somanegara adalah seorang penentang pemerintah kolonial Belanda. Atas tindakannya yang dianggap melawan terhadap Belanda, ia dibuang ke Ternate dan meninggal di sana," paparnya. Hal ini, kata Nina, kemudian juga berdampak pada sikap Belanda kepada Dewi Sartika di kemudian hari. "Namanya tidak cukup diterima dalam manuskrip histriografi Indonesia. Di masa Orde Baru, pengungkapan objektivitas sejarah tidak dilakukan secara serius. Yang terjadi sekadar pembalikan visi tanpa mengeksplorasi substansi sebenarnya. Yang dulu dianggap pemberontak, kini disebut pahlawan, sekadar itu," paparnya. Untuk itu, Nina yang turut dalam tim penyusunan Buku Sejarah Indonesia (terbit 8 jilid) menyatakan pihaknya telah melakukan revitalisasi posisi Dewi Sartika dalam historiografi Indonesia. "Dalam Sejarah Indonesia yang baru disusun itu, materi tentang Dewi Sartika akan berimbang dengan sosok R.A. Kartini yang sebelumnya lebih dominan," ujarnya. Di sisi lain, Prof. Dr. Viviane Sukanda-Tessier, peneliti Prancis yang pernah membuat monografi tentang Dewi Sartika, juga menilai ketokohan Dewi Sartika sebagai pejuang emansipasi perempuan, semestinya mendapat tempat yang lebih layak di negeri ini. Menurut Viviane, perjuangan Dewi Sartika tidak sekadar menyatakan membenci pergundikan, larangan perempuan untuk memperoleh pendidikan, dan anggapan perempuan hanya barang pemuas. "Tetapi, ia juga bersikap konsisten dengan tidak menjadi istri muda atau selir, serta mendirikan sekolah bagi kaum perempuan dan menjadi guru di sana," ungkapnya. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar Bandung. "Kita sebetulnya berharap makamnya juga bisa segera dipindahkan dari Karang Anyar ke tempat yang lebih layak, ya di taman makam pahlawan (TMP). Tetapi, ini masih memerlukan koordinasi pemerintah kota maupun keluarganya. Bagaimanapun, secara simbolik spirit Dewi Sartika harus terus dikenang lewat tempat peristirahatan terakhirnya yang lebih layak," ucap Nina Lubis. (Erwin Kustiman/"PR")***

http://www.kasundaan.org

Powered by Joomla!

Generated: 7 December, 2011, 22:36

Anda mungkin juga menyukai