Ki Hadjar Dewantara cenderung lebih tertarik dalam dunia jurnalistik atau tulis-
menulis, hal ini dibuktikan dengan bekerja sebagai wartawan dibeberapa surat
kabar pada masa itu, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan
Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Gaya penulisan Ki Hadjar
Dewantara pun cenderung tajam mencerminkan semangat anti kolonial. Seperti
yang ia tuliskan berikut ini dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker
:
..Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta
kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar
dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk
menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk
menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita
keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau
aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-
kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi
suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya.
Tulisan tersebut kemudian menyulut kemarahan pemerintah Kolonial Hindia
Belanda kala itu yang mengakibatkan Ki Hadjar Dewantara ditangkap dan
kemudian ia diasingkan ke pulau Bangka dimana pengasingannya atas
permintaannya sendiri. Pengasingan itu juga mendapat protes dari rekan-rekan
organisasinya yaitu Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangunkusumo yang kini
ketiganya dikenal sebagai 'Tiga Serangkai'. Ketiganya kemudian diasingkan di
Belanda oleh pemerintah Kolonial.
Di usianya yang menanjak umur 40 tahun, tokoh yang dikenal dengan nama asli
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat resmi mengubah namanya menjadi Ki Hadjar
Dewantara, hal ini ia maksudkan agar ia dapat dekat dengan rakyat pribumi ketika
itu.
Selain itu ia juga dianugerahi gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan juga
sebagai Pahlawan Nasional oleh presiden Soekarno ketika itu atas jasa-jasanya
dalam merintis pendidikan bangsa Indonesia. Selain itu, pemerintah juga
menetapkan tanggal kelahiran beliau yakni tanggal 2 Mei diperingati setiap tahun
sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ki Hadjar Dewantara Wafat pada tanggal 26
April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata. Wajah beliau
diabadikan pemerintah kedalam uang pecahan sebesar 20.000 rupiah.
Dewi Sartika lahir di Bandung, 4 Desember 1884, dan meninggal di Tasikmalaya,
11 September 1947 pada umur 62 tahun. Beliau adalah tokoh perintis pendidikan
untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah
Indonesia tahun 1966. Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang
kemerdekaan. Terakhir, sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate oleh
Pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal dunia di sana. Dewi Sartika
dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda , Nyi Raden Rajapermas dan Raden
Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh
menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula.
Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang
berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan
didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya
dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda. Sejak kecil,
Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih
kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering
memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda,
kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan
pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Seko lah Dasar di Cicalengka,
sejak kecil memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan.
Dikatakan demikian karena sejak anak-anak ia sudah senang memerankan
perilaku seorang guru. Sebagai contoh, sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya
sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan dengan teman-
teman anak perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai
guru. Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika
Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata
dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan.
Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata)
memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid-
murid bertambah banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam
sebelumnya juga tidak cukup lagi menampung murid-murid. Untuk mengatasinya,
Sekolah
Isteri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan
waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit
diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama
saja, tapi mata pelajaran juga bertambah.
Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah
tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu,
pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak
diberikannya. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang
mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi
berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah
satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama
dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak
membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan
beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda
yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah
berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota
kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya
diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-
kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri
tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola
Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.
Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota
kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota
kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan
pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama
menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika
dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata,
seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang
Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika
meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu
upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu
Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks
Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
Jangan tanya apa yang telah diberikan negara kepadamu, tapi apa yang telah kamu
berikan pada negaramu. Kata bijak tersebut sangat tepat menjadi panduan semua
bangsa yang hendak menobatkan seseorang sebagai penerima gelar kehormatan
‘pahlawan’ di negaranya.
Terlepas dari bentuk atau cara perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah
berbuat sesuatu yang heroik untuk bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian
halnya dengan Raden Dewi Sartika. Jika pahlawan lain melakukan perjuangan
untuk bangsanya melalui perang frontal seperti angkat senjata, Dewi Sartika
memilih perjuangan melalui pendidikan, yakni dengan mendirikan sekolah.
Berbagai tantangan, khususnya di bidang pendanaan operasional sekolah yang
didirikannya sering dihadapinya. Namun berkat kegigihan dan ketulusan hatinya
untuk membangun masyarakat negerinya, sekolah yang didirikannya sebagai
sarana pendidikan kaum wanita bisa berdiri terus, bahkan menjadi panutan di
daerah lainnya. biografiku.com
Ki Hajar Dewantara
Nama Asli :
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat
Lahir :
Yogyakarta, 2 Mei 1889
Wafat :
Yogyakarta, 26 April 1959
Makam :
Wijayabrata, Yogyakarta
Suasana masyarakat Bandung saat Raden Dewi Sartika dilahirkan dan dibesarkan
adalah suasana yang masih feudal-kolonial. Saat itu juga terjadi tindakan melawan
ketidakadilan pemerintahan feudal-kolonial, salah satunya adalah adanya peristiwa
peletakan bom di bawah panggung pacuan kuda di Tegallega, di mana saat itu para
pembesar kolonial akan hadir di pacuan itu, dan akan diledakkan saat pacuan
berlangsung.
Saat bom ditemukan dan telah diadakan pengusutan, bukti mengarah kepada ayah
Raden Dewi Sartika. Saat pengusutan berlangsung Patih Somanagara dipindahkan
ke Mangunredja, Priangan Timur. Setelah dinyatakan bersalah Raden Somanagara
dibuang ke Ternate hingga meninggal dunia di sana.
Raden Dewi Sartika pada awalnya disekolahkan oleh ayahnya di sekolah Belanda,
namun sekolah tersebut tidak bisa meluluskannya karena saat itu ayahnya
menjalani pembuangan. Dan tidak ada sekolah yang saat itu terbuka pintunya bagi
anak seorang buangan.
Raden Dewi Sartika kemudian dirawat oleh bapak-tuanya Patih Aria Tjitjalengka.
Di dalam keluarga inilah ia melanjutkan pendidikannya, baik dalam pekerjaan
kerajinan kewanitaan, maupun dalam hal perkembangan intelektualnya.
Raden Dewi Sartika adalah seorang gadis yang periang, rajin dan suka bergaul
dengan anak-anak rakyat, sabar dan tidak suka berselisih. Ia mempunyai
kebiasaan bermain-main guru dan sekolah ketika selesai melaksanakan tugasnya.
Di belakang dapur kepatihan ia mengajar menulis dan membaca teman-teman
sesama gadis, anak-anak pembantu rumah tangga Kepatihan. Dan anak-anak
rakyat sekeliling kepatihan itu yang termasuk temannya. Batu tulis yang digunakan
saat itu adalah pecahan genting. Papan tulis menggunakan papan-papan yang ada,
sedangkan kapur tulis yang digunakan adalah arang kayu. Bakat mengajarnya
sudah tampak saat ia masih gadis kecil dan kemudian berkembang saat ia dewasa.
Di sekolah tersebut, para gadis tidak hanya mendapat pelajaran yang bersifat umum saja tetapi
juga kerajinan tangan wanita yang saat itu bermanfaat bagi rakyat seperti menjahit menisi,
menambal, menyulam, dan merenda.
Pada tahun 1906, Raden Dewi Sartika, menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata,
yang masih kaum kerabatnya guru di sekolah Karangpamulangan di Bandung. Dengan bantuan
moril suaminya ini maka semakin berkembang pula cita-cita dari Raden Dewi.
Sekolah yang semula dinamakan “Sakola Istri” itu pada tahun 1910 diganti namanya dengan
“Sakola Kautamaan Istri” dan mata pelajarannya ditambah dengan memasak, mencuci,
menyetrika, dan membatik.
Perhatian dari pihak berwajib saat itu kian bertambah. Murid-murid tidak hanya terbatas pada
gadis-gadis yang berada di Bandung dan sekitarnya tetapi datang pula dari Sumatera. Beberapa
gadis datang dari Bukittinggi untuk belajar dan kemudian diaplikasikan kembali di kampung
halamannya dengan mendirikan sekolah keutamaan istri.
Sekolah gadis ini menyebar ke beberapa tempat di Jawa Barat, Garut, Purwakarta, dan
Tasikmalaya.
Karena baktinya kepada bangsa dalam usahanya mengangkat kaum wanita ketingkatan yang
lebih baik, maka pemerintah saat itu memberikan penghargaan dan tanda-tanda jasa kepada
Raden Dewi. Nama sekolahnya kemudian menjadi “Sakola Raden Dewi”
Pada tanggal 16 Januari 1939, Raden Dewi Sartika menghadiri perayaan ke-35 tahun berdirinya
s\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\ekolah yang ia idam-idamkan bagi kemajuan kaum wanita.
Perayaan ini mendapat sangat banyak perhatian baik dari kalangan masyarakat di Jawa Barat
maupun dari kalangan pemerintah.
Enam bulan kemudian, tanggal 25 Juli 1939, Raden Dewi Sartika ditimpa musibah. Ia ditinggal
oleh suaminya yang telah memberikan bimbingan dan dukungan yang menghasilkan tercapainya
cita-citanya. Raden Agah Suriawinata meninggal dunia saat itu.
Di saat Belanda menyerah kepada Jepang tahun 1942, Sekolah Raden Dewi dibubarkan oleh
Jepang dan diganti dengan Sekolah Gadis. Pada tahun 1946 saat peristiwa Bandung Lautan api,
gedung sekolah saat itu terhindar dari bahaya api.
Raden Dewi sekeluarga saat itu meninggalkan Bandung, mengungsi ke Tjiparaj, sebelah
tenggara Bandung, kemudian karena adanya pertempuran berpindah lagi ke Garut, dan dari sini
berpindah ke daerah pegunungan di sebelah selatan Tjiamis, yakni di Tjineam.
Sementara itu keadaan Raden Dewi telah menjadi lemah. Di Tjineam ini ia menderita sakit keras,
dan dirawat di rumah sakit darurat Republik Indonesia, di mana ia kemudian menyusul suaminya
pulang menghadap Ilahi.
Raden Dewi Sartika meninggal pada hari Kamis, tanggal 11 September 1947, pukul 09.00 pagi.
Dimakamkan di tempat itu, lalu dipindahkan ke Bandung, sisa-sisa jasadnya diperistirahatkan
untuk selama-lamanya berdekatan dengan peristirahatan sang suami -kawan seperjuangan. Hal
ini terjadi di tahun 195