Anda di halaman 1dari 32

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam
jumlah normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari
hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum.4 Dari segi
klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu
seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh.
Secara patologi-anatomi kolestasis adalah terdapatnya timbunan trombus empedu
pada sel hati dan sistem bilier. 1,2,4

2. EPIDEMIOLOGI
Kolestasis pada bayi terjadi pada 1:25000 kelahiran hidup. Insiden
hepatitis neonatal 1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000,
defisiensi -1 antitripsin 1:20000. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan
anak laki-laki adalah 2:1, sedang pada hepatitis neonatal, rasionya terbalik 5,6,7.
Di Kings College Hospital England antara tahun 1970-1990, atresia bilier
377 (34,7%), hepatitis neonatal 331 (30,5%), -1 antitripsin defisiensi 189
(17,4%), hepatitis lain 94 (8,7%), sindroma Alagille 61 (5,6%), kista duktus
koledokus 34 (3,1%).3,5
Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun
1999-2004 dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan neonatal
kolestasis. Neonatal hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus
koledukus 5 (5,2%), kista hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1
(1,04%).8

3. KLASIFIKASI
Secara garis besar kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Kolestasis ekstrahepatik, obstruksi mekanis saluran empedu ekstrahepatik

Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat.


Merupakan kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan
akhirnya pembuntuan saluran empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran
empedu intrahepatik1,2,4. Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah
proses imunologis,9 infeksi virus terutama CMV10 dan Reo virus tipe 3, asam
empedu yang toksik, iskemia dan kelainan genetik 11. Biasanya penderita
terkesan sehat saat lahir dengan berat badan lahir, aktifitas dan minum normal.
Ikterus baru terlihat setelah berumur lebih dari 1 minggu. 10-20% penderita
disertai kelainan kongenital yang lain seperti asplenia, malrotasi dan gangguan
kardiovaskuler.4,9 Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat
penting sebab efikasi pembedahan hepatik-portoenterostomi (Kasai) akan
menurun apabila dilakukan setelah umur 2 bulan. 12 Pada pemeriksaan
ultrasound terlihat kandung empedu kecil dan atretik disebabkan adanya
proses obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran saluran empedu intrahepatik.
Gambaran ini tidak spesifik, kandung empedu yang normal mungkin dijumpai
pada penderita obstruksi saluran empedu ekstrahepatal sehingga tidak
menyingkirkan kemungkinan adanya atresi bilier.1,4
Gambaran histopatologis ditemukan adanya portal tract yang
edematus dengan proliferasi saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya
trombus empedu didalam duktuli. Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif
dilakukan dengan visualisasi langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier
sebelum dilakukan operasi Kasai.1,2,4,5

2. Kolestasis intrahepatik
a. Saluran Empedu
Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: (a) Paucity saluran empedu, dan
(b) Disgenesis saluran empedu. Oleh karena secara embriologis saluran
empedu intrahepatik (hepatoblas) berbeda asalnya dari saluran empedu
ekstrahepatik (foregut) maka kelainan saluran empedu dapat mengenai hanya

saluran intrahepatik atau hanya saluran ekstrahepatik saja.4 Beberapa kelainan


intrahepatik seperti ekstasia bilier dan hepatik fibrosis kongenital, tidak
mengenai saluran ekstrahepatik.13 Kelainan yang disebabkan oleh infeksi
virus CMV, sklerosing kolangitis, Carolis disease mengenai kedua bagian
saluran intra dan ekstra-hepatik.4,9,10 Karena primer tidak menyerang sel hati
maka secara umum tidak disertai dengan gangguan fungsi hepatoseluler.
Serum transaminase, albumin, faal koagulasi masih dalam batas normal.
Serum alkali fosfatase dan GGT akan meningkat. Apabila proses berlanjut
terus dan mengenai saluran empedu yang besar dapat timbul ikterus,
hepatomegali, hepatosplenomegali, dan tanda-tanda hipertensi portal.14,15
Paucity saluran empedu intrahepatik lebih sering ditemukan pada saat
neonatal dibanding disgenesis, dibagi menjadi sindromik dan nonsindromik.
Dinamakan paucity apabila didapatkan < 0,5 saluran empedu per portal tract.4
Contoh dari sindromik adalah sindrom Alagille, suatu kelainan autosomal
dominan disebabkan haploinsufisiensi pada gene JAGGED16 Sindroma ini
ditemukan pada tahun 1975 merupakan penyakit multi organ pada mata
(posterior embryotoxin), tulang belakang (butterfly vertebrae), kardiovaskuler
(stenosis katup pulmonal), dan muka yang spesifik (triangular facial yaitu
frontal yang dominan, mata yang dalam, dan dagu yang sempit). 17,18
Nonsindromik adalah paucity saluran empedu tanpa disertai gejala organ lain.
Kelainan saluran empedu intrahepatik lainnya adalah sklerosing kolangitis
neonatal, sindroma hiper IgM, sindroma imunodefisiensi yang menyebabkan
kerusakan pada saluran empedu.4,19

b. Kelainan hepatosit
Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan
pembentukan dan aliran empedu. Hepatosit neonatus mempunyai cadangan
asam empedu yang sedikit, fungsi transport masih prematur, dan kemampuan
sintesa asam empedu yang rendah sehingga mudah terjadi kolestasis.1,2,4

Infeksi merupakan penyebab utama yakni virus, bakteri, dan parasit. Pada
sepsis misalnya kolestasis merupakan akibat dari respon hepatosit terhadap
sitokin yang dihasilkan pada sepsis.20
Hepatitis neonatal adalah suatu deskripsi dari variasi yang luas dari
neonatal hepatopati, suatu inflamasi nonspesifik yang disebabkan oleh
kelainan genetik, endokrin, metabolik, dan infeksi intra-uterin. Mempunyai
gambaran histologis yang serupa yaitu adanya pembentukan multinucleated
giant cell dengan gangguan lobuler dan serbukan sel radang, disertai timbunan
trombus empedu pada hepatosit dan kanalikuli. Diagnosa hepatitis neonatal
sebaiknya tidak dipakai sebagai diagnosa akhir, hanya dipakai apabila
penyebab

virus,

bakteri,

parasit,

gangguan

metabolik

tidak

dapat

ditemukan.1,2,4,5

4. ETIOLOGI

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan.


Disini akan dibagi 4 penyebab utama dari keadaan ini, yaitu :
1. Meningkatnya produksi bilirubin yang harus di metabolisme di dalam hati
(anemia hemolitik, pendeknya usia eritrosit yang berkaitan dengan
imaturitas atau transfusi darah, peningkatan sirkulasi enterohepatik, dan
infeksi)
2. Hipoalbuminemia, sehingga kadar bilirubin bebas dalam darah meningkat
(melnutrisi, adanya zat-zat yang berkompetitif dengan bilirubin dalam
berikatan dengan albumin seperti sulfisoxazole, moxalactam, dsb)
3. Keadaan yang menyebabkan rusak atau menurunnya aktifitas enzim
glukoronil transferase (hipoksia, infeksi, hipotermia, hipotiroidism, dan
bila adanya zat atau substansi yang menghambat kerja enzim)
4. Berkurangnya jumlah enzim yang dibutuhkan untuk mereduksi bilirubin
yang diambil kedalam hepar (efek genetic, prematuritas, dsb)
Resiko terjadinya efek toksik yang ditimbulkan oleh tingginya kadar
bilirubin indirect akan mengalami peningkatan jika terdapat factor-faktor yang
menurunkan retensi bilirubin dalam aliran darah (hipoproteinemia, asidosis,
peningkatan asam lemak bebas yang disebabkan oleh hipoglikemia, kelaparan dan
hipotermia) atau oleh karena peningkatan permeabilitas sawar darah otak atau
membrane sel saraf terhadap masuknya bilirubin (asfiksia, premature,
hiperosmolaritas, dan infeksi).
Disamping itu mekonium yang mengandung sekitar 1 mg/dl bilirubin
dapat menimbulkan ikterus mellui siklus enterohepatik pada keadaan seperti
obstruksi saluran cerna. Obat-obatan seperti oksitosin dan zat kimia seperti
detergen

phenolik

juga dapat

menimbulkan

keadaan

hiperbilirubinemia

unconjugated.

Pendekatan untuk mengetahui penyebab ikterus pada neonatus


Etiologi ikterus pada neonatus terkadang sangat sulit untuk ditegakkan dan
tidak jarang pula etiologinya terdiri dari baberapa jenis. Untuk itu dapat
digunakan pendekatan menurut saat atau waktu terjadinya ikterus.
A.ikterus yang timbul pada 24 jam pertama

Inkompatibilitas golongan darah ABO,Rh,atau golngan darah lainya.

Infeksi intrauterin (rubella, toxoplasmosis, sitomegalovirus, sifilis, dan


sepsis bakterialis)

Kadang kadang oleh defisiensi enzim G6PD.

B. ikterus yang timbul pada 24-72 jam sesudah lahir.

Biasanya ikterus fisiologik

Ada kemungkinan inkompatibilitas golongan darah (delayed)

Defisiensi enzim G6PD.

Polisitemia

Hemolisis peradarahan tertutup(hematom kepala, perdarahan hepar,


kapsula, dll)

Dehidrasi, hipoksia, dan asidosis.

Sferositosis, eliptosis, dsb.

C. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai pada akhir minggu
pertama

Infeksi (sepsis)

Dehidrasi, asidosis.

Defisiensi G6Pd

Pengaruh obat obatan

Sindroma criggler najjar

Sindroma Gilbert

D. Ikterus yang timbul sesudah minggu pertama dan selanjutnya

Biasanya karena ikterus obstruktif

Hipotiroidism

Breast milk jaundice

Infeksi

Hepatitis neonatal

Galaktosemia

5. PATOFISIOLOGI
Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan
merupakan kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu
mengandung asam empedu, kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi,
elektrolit, protein, dan bilirubin terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu
merupakan bagian terbesar dari empedu sedang bilirubin terkonyugasi merupakan
bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari
asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana permukaan basolateralnya
berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apikal (kanalikuler)
berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai
filter dan pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme
dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam
empedu.1,2,4,5 Salah satu contoh adalah penanganan dan detoksifikasi dari
bilirubin tidak terkonyugasi (bilirubin indirek). Bilirubin tidak terkonyugasi yang
larut dalam lemak diambil dari darah oleh transporter pada membran basolateral,
dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang mengandung P450 menjadi
bilirubin terkonyugasi yang larut air dan dikeluarkan kedalam empedu oleh
transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab terhadap aliran
bebas asam empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit kedalam
empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan

dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga
terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang terjadi di
hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan
gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu
dan hiperbilirubinemi terkonyugasi.21

Perubahan fungsi hati pada kolestasis


Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan
struktural:
A. Proses transpor hati
Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas
dari hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam
empedu, dan lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan
sinusoid terganggu.22
B. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik
Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan
menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi,
sulfasi dan konyugasi akan terganggu.23
C. Sintesis protein
Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang
produksi serum protein albumin-globulin akan menurun.14,15
D. Metabolisme asam empedu dan kolesterol
Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam
empedu dan kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi
menghambat HMG-CoA reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan
penurunan

asam

empedu

primer

sehingga

menurunkan

rasio

trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas hidropopik dan detergenik


akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi produksi di hati menurun
karena degradasi dan eliminasi di usus menurun.24,25
E. Gangguan pada metabolisme logam

10

Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang menurun.


Bila kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit oleh
Cu karena Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik.26
F. Metabolisme cysteinyl leukotrienes
Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif
dimetabolisir dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses
sehingga kadarnya akan meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan
progresifitas

kolestasis.

Oleh

karena

diekskresi

diurin

maka

dapat

menyebabkan vaksokonstriksi pada ginjal.27


G. Mekanisme kerusakan hati sekunder
1. Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan kerusakan
hati melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini akan
melarutkan kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas
membran akan terganggu. Maka fungsi yang berhubungan dengan membran
seperti Na+, K+-ATPase, Mg++-ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi transport
membran dapat terganggu, sehingga lalu lintas air dan bahan-bahan lain melalui
membran juga terganggu.(28) Sistim transport kalsium dalam hepatosit juga
terganggu. Zat-zat lain yang mungkin berperan dalam kerusakan hati adalah
bilirubin, Cu, dan cysteinyl leukotrienes namun peran utama dalam kerusakan hati
pada kolestasis adalah asam empedu.4,26,27
Proses imunologis
Pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami display secara
abnormal pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada
saluran empedu sehingga menyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit
dan sel kolangiosit. Selanjutnya akan terjadi sirosis bilier.29

11

6. MANIFESTASI KLINIS
Tanpa memandang etiologinya, gejala klinis utama pada kolestasis bayi
adalah ikterus, tinja akholis, dan urine yang berwarna gelap. Selanjutnya akan
muncul manifestasis klinis lainnya, sebagai akibat terganggunya aliran empedu
dan bilirubin.
Dibawah ini bagan yang menunjukkan konsekuensi akibat terjadinya kolestasis.

7. DIAGNOSIS
Tujuan utama evaluasi bayi dengan kolestasis adalah membedakan antara
kolestasis intrahepatik dengan ekstrahepatik sendini mungkin. Diagnosis dini
obstruksi bilier ekstrahepatik akan meningkatkan keberhasilan operasi. Kolestasis
intrahepatik seperti sepsis, galaktosemia atau endrokinopati dapat diatasi dengan
medikamentosa.

1,2,4,5

12

Anamnesis
a. Adanya ikterus pada bayi usia lebih dari 14 hari, tinja akolis yang persisten
harus dicurigai adanya penyakit hati dan saluran bilier.1,2,4
b. Pada hepatitis neonatal sering terjadi pada anak laki-laki, lahir prematur
atau berat badan lahir rendah. Sedang pada atresia bilier sering terjadi pada
anak perempuan dengan berat badan lahir normal, dan memberi gejala
ikterus dan tinja akolis lebih awal.5-7,9
c. Sepsis diduga sebagai penyebab kuning pada bayi bila ditemukan ibu yang
demam atau disertai tanda-tanda infeksi.20
d. Adanya riwayat keluarga menderita kolestasis, maka kemungkinan besar
merupakan suatu kelainan genetik/metabolik (fibro-kistik atau defisiensi
1-antitripsin).1,2,4,5

Pemeriksaan fisik
Pada umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar
bilirubin sekitar 7 mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Warna
kehijauan bila kadar bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi biliverdin.
Jaringan sklera mengandung banyak elastin yang mempunyai afinitas tinggi
terhadap bilirubin, sehingga pemeriksaan sklera lebih sensitif.4,5
Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm dibawah arkus kota
pada garis midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi yang tajam
dan permukaan noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis. Hati yang teraba
pada epigastrium mencerminkan sirosis atau lobus Riedel (pemanjangan lobus
kanan yang normal). Nyeri tekan pada palpasi hati diperkirakan adanya distensi
kapsul Glisson karena edema. Bila limpa membesar, satu dari beberapa penyebab
seperti hipertensi portal, penyakit storage, atau keganasan harus dicurigai.

13

Hepatomegali yang besar tanpa pembesaran organ lain dengan gangguan fungsi
hati yang minimal mungkin suatu fibrosis hepar kongenital. Perlu diperiksa
adanya penyakit ginjal polikistik. Asites menandakan adanya peningkatan tekanan
vena portal dan fungsi hati yang memburuk. Pada neonatus dengan infeksi
kongenital, didapatkan bersamaan dengan mikrosefali, korioretinitis, purpura,
berat badan rendah, dan gangguan organ lain.1,2,4,5

Pemeriksaan Penunjang
14

Darah rutin

Kadar bilirubun total, direk, indirek

Preparat apusan darah

Kadar G6PD

Golongan darah ibu dan bayi : ABO dan Rhesus

8. PENATALAKSANAAN
Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab.
Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan
pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan
khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat
memenuhi kebutuhan itu ialah menggunakan saat timbulnya ikterus seperti yang
dikemukakan oleh Harper dan Yoon (1974), yaitu :
a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebabnya menurut besar kemungkinan :
1. Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
2. Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues, dan kadangkadang bakteri).
3. Kadang-kadang oleh defisiensi G6PD
Pemeriksaan yang perlu dilakukan ialah :
o Kadar bilirubin serum berkala
o Darah tepi lengkap
o Golongan darah ibu dan bayi
o Uji Coombs

15

o Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G6PD, biakan darah atau


biopsi hepar bila perlu.
b. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
1. Biasanya ikterus fisiologis
2. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau RH atau
golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar
bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg% / 24 jam
3. Defisiensi enzim G6PD juga mungkin
4. Polisitemia
5. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan sub aponeurosis,
perdarahan hepar subkapsuler dan lain-lain).
6. Hipoksia
7. Sferositosis, eliptositosis dan lain-lain
8. Dehidrasi asidosis
9. Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
Bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak cepat, dapat
dilakukan pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala,
pemeriksaan penyaring enzim G6PD dan pemeriksaan lainnya bila perlu.
c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
1. Biasanya karena infeksi sepsis
2. Dehidrasi asidosis
3. Defisiensi enzim G6PD
4. Pengaruh obat
5. Sindrom Criggler-Najjar
6. Sindrom Gilbert
d. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
1. Biasanya karena obstruksi
2. Hipotiroidisme
3. Breast milk jaundice
4. Infeksi

16

5. Neonatal hepatitits
6. Galaktosemia
7. Lain-lain
Pemeriksaan yang perlu dilakukan
1. Pemeriksaan bilirubin (direk dan Indirek) berkala
2. Pemeriksaan darah tepi
3. Pemeriksaan penyaring G6PD
4. Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi
5. Pemeriksaan

lainnya

yang

berkaitan

dengan

kemungkinan

penyebab.
Dapat diambil kesimpulan bahwa ikterus baru dapat dikatakan fisiologis
sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar
patologis danntidak mempunyai potensi berkembang menjadi kernikterus.
Ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologis ialah :
1. Ikterus yeng terjadi pada 24 jam pertama
2. Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12,5 mg% pada neonatus
cukup bulan dan 10mg% pada neonatus kurang bulan
3. Ikterus dengan peningkatan bilirubin-lebih dari 5 mg% / hari
4. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama
5. Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik,
infeksi atau keadaan patologis lain yang telah diketahui
6. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
i. Pengawasan antenatal yang baik
ii. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada
masa kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin,
oksitosin dan lain-lain.
iii. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus
iv. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus

17

v. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir


vi. Pemberian makanan yang dini
vii. Pencegahan infeksi

Mengatasi hiperbilirubinemia
i. Mempercepat

proses

konjugasi,

misalnya

dengan

pemberian

fenobarbital.
Obat ini bekerja sebagai enzym inducer sehingga konjugasi dapata
dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan
membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan pada ibu kira-kira
2 hari sebelum melahirkan.
ii. Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau onjugasi.
Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas.
Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 ml/kgbb.
Albumin biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh
karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler
ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan
dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar
sebagai sumber energi.
iii .Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun
fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak
dapat menggantikan transfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi
dapat digunakan untuk pra dan pasca-transfusi tukar.
iv.Transfusi tukar.
Pada umumnya transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut
a. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek 20mg%
b. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3 1 mg% / jam.
c. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.

18

d. Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat < 14 mg% dan uji Coombs
direk positif.
Sesudah transfusi tukar harus diberi fototerapi. Bila terdapat keadaan
seperti asfiksia perinatal, distres pernafasan, asidosis metabolik,
hipotermia, kadar protein serum kurang atau sama dengan 5 g%, berat
badan lahir kurang dari 1500 g dan tanda-tanda gangguan susunan saraf
pusat, penderita harus diobati seperti pada kadar bilirubin yang lebih
tinggi berikutnya.
Pengobatan Umum
Bila mungkin pengobatan terhadap etiologi atau faktor penyebab dan
perawatan yang baik. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah pemberian
makanan yang dini dengan cairan dan kalori cukup dan iluminasi kamar
bersalin dan bangsal bayi yang baik.
Tindak Lanjut
Bahaya hiperbilirubinemia ialah kernikterus. Oleh karena itu terhadap bayi
yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sebagai
berikut :
i. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan.
ii. Penilaian berkala pendengaran.
iii. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa.

Pedoman pengelolaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar


bilirubin
(Modifikasi dari MAISELS 1972)

19

Bilirubin (mg < 24 jam

24-48 jam

49 -72 jam

> 72 jam

%)
<5

Pemberian makanan yang dini

5-9

Terapi sinar

Phenobarbital + kalori cikup

Bila hemolisis
10-14

TransfusiTukar Terapi Sinar


Bila hemolisis

14-19

TransfusiTukar Transfusi Tukar

> 20

Transfusi Tukar

Terapi sinar

PEMANTAUAN
Terapi

Bilirubin pada kulit dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar .
Warna kulit tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan
kadar bilirubin serum selama bayi mendapat terapi sinar dan selama 24
jam setelah dihentikan.

Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum
dengan baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang
membutuhkan perawatan di rumah sakit.

Ajari ibu untuk menilai ikterus dan beri nasehat pada ibu untuk kembali
bila terjadi ikterus lagi.

Tumbuh Kembang

Pasca perawatan hiperbilirubinemia bayi perlu pemantauan tumbuh


kembang dengan penilaian periodik, bila diperlukan konsultasi ke sub
bagian neurologi anak dan sub bagian tumbuh kembang.

Bila terjadi gangguan penglihatan, konsultasi ke bagian penyakit mata.

Bila terjadi gangguan pendengaran, konsultasi ke bagian THT.

20

Terapi Sinar
Usia (jam)

BL < 1.500 g
Kadar

BL 1.5002.000 g

bilirubin Kadar

BL > 2.000 g

bilirubin Kadar

(mg/dl)

(mg/dl)

(mg/l)

< 24

RT : > 4,1

RT : > 4,1

>5

25-48

>5

>7

> 8,2

49-72

>7

> 9,1

> 11,8

>72

>8,2

> 10

> 14,1

BL < 1.500 g

BL 1.5002.000 g

bilirubin

Transfusi Tukar
Usia (jam)

Kadar

bilirubin Kadar

BL > 2.000 g

bilirubin Kadar bilirubin(mg/l)

(mg/dl)

(mg/dl)

< 24

> 10 15

> 15

> 15,9 18,2

25-48

> 10 15

> 15

> 15,9 18,2

49-72

> 10 15

> 15,9

> 17, 0 18,8

>72

> 15

> 17

> 18,2 20,0

21

BAB II
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: By. N

Umur

: 9 hari

Jenis Kelamin : Perempuan


Alamat
II.

: Aur kuning

ANAMNESIS
Seorang bayi perempuan berumur 9 hari dirawat di bangsal Perina RSUD
Achmad Mochtar bukitinggi pada tanggal 6 april 2014 dengan :
Keluhan utama
Kuning seluruh badan sejak umur 2 hari
Riwayat Penyakit Sekarang

Kuning seluruh badan sejak usia 2 hari


Bayi tidak langsung dibei ASI karena ASI tidak keluar, bayi diberi susu

formula bebelac oleh bidan


Demam tidak ada, kejang tidak ada
Batuk, pilek, sesak nafas tidak ada
Perut membesar ada tapi tidak disadari ibu si bayi
Muntah tidak ada
Golongan darah ibu dan ayah bayi tidak dikeatahui
BAK ada berwarna kuning pekat jumlah normal

22

BAB ada berwarna pucat jumlah normal

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit kuning pada ibu dan ayah tidak ada

Riwayat Sosial, ekonomi, dan kebiasaan

Bayi lahir BBLC 2550 gram, Panjang badan 49 cm, lahir spontan, cukup
bulan (37-38 minggu), ditolong bidan, langsung menangis. APGAR Score

7/8 ( partus di luar ).


Imunisasi belum lengkap sesuai usia nya
Higiene dan sanitasi lingkungan cukup baik

Riwayat Kehamilan

Ketuban jernih
Riwayat ibu demam saat hamil ada pada saat hamil 2 bulan
Riwayat ibu keputihan saat hamil ada
Riwayat ibu mengkonsumsi obat-obatan jangka waktu lama tidak ada
Riwayat ANC di bidan, 4X selama kehamilan
Jejas persalinan tidak ada

Riwayat Makanan dan Minuman

Bayi: ASI 0-sekarang


Susu formula 0-2 hari

Riwayat Imunisasi

Hepatitis B

: 0 bulan

Kesan: Imunisasi dasar tidak lengkap sesuai umur

23

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: tampak sakit sedang
Kesadaran

: Sadar

Nadi

: 140 x/ menit

Nafas

: 40 x/menit

Suhu

: 36,5 C

Berat Badan

: 2560 gram

Lingkar Kepala : 32 cm

Panjang kaki : 17 cm

Lingkar dada : 30 cm
Lingkar Perut

: 32cm

Simfisis Kaki

: 18,5

Kulit

: ikterik seluruh tubuh

Kepala

: Bentuk bulat, lingkar kepala: 32 cm

Rambut

: Pirang, tidak mudah dicabut

Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik

Telinga

: Tidak ada kelainan

Hidung

: Tidak ada kelainan

Mulut

: Mukosa bibir dan mukosa mulut basah, tonsil T1-T1 tidak


hiperemis, faring tidak hiperemis, tidak ada perdarahan gusi

Leher

: Kaku kuduk tidak ada

Kelenjar Getah Bening

: Tidak ada pembesaran Kelenjar getah bening pada


aksila, sub mandibula, inguinal

Dada

:
24

Paru paru

Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, retraksi dinding dada tidak ada
Palpasi

: Fremitus sama kiri dan kanan

Perkusi

: Sonor

Auskultasi

: Vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada

Jantung

Inspeksi

: Iktus cordis tidak terlihat


Palpasi

: Iktus cordis teraba 1 jari medial dari LMCS RIC V

Perkusi

: Batas jantung atas RIC, kanan Linea Sternalis


Dextra, kiri 1 jari medial LMCS RIC V

Auskultasi

: Irama teratur, bising tidak ada

Abdomen
Inspeksi

: Distensi ada, kolateral ada

Palpasi

: Hepar teraba 1/2 1/2, permukaan rata, pinggir


tajam, konsistensi kenyal, lien teraba S2

Perkusi
Auskultasi

: Timpani
: Bising usus (+) Normal

Alat Kelamin

: Tidak ditemukan kelainan

Ekstremitas

: Akral hangat, perfusi baik,


Refleks fisiologis +/+ normal (bisep, trisep, patella),
refleks patologis : refleks babinski +/+
babinski grup -/-,
tanda rangsang meningeal tidak ada (Kernig, Brudzinski I,II)

Refleks rangsang :
25

Moro (+)

Grasping (+)

Rooting (+)

Sucking (+)

Pemeriksaan Laboratorium (6 Juni 2014)


Darah
Hemoglobin

Leukosit

Trombosit

Hematokrit
Eritrosit
Hitung Jenis
Retikulosit

: 15,4 gr/dl
: 17.870/mm3
: 11.000/ mm
: 44,1%
: 4.070.000/mm3
: -/2/3/45/48/2
: 12,4%

Kimia Klinik
Bilirubin Direk: 23,74 mg/dl
Bilirubin total : 33,67 mg/dl

Diagnosa kerja : ikterus neonatorum e.c susp. kolestasis ekstrahepatal


Diagnosis banding :
-

ikterus neonatorum e.c. inkompatibilitas ABO


ikterus neonatorum e.c. kolestasis intrahepatal

Tatalaksana :

Fototerapi

Rencana pemeriksaan :

Pemeriksaan SGOT, SGPT, Gamma GT, Hbsag, Anti HCV


Pemeriksaan golongan darah ibu dan bayi
USG Abdomen

FOLLOW UP

26

Demam

Kuning

Kejang

Batuk

Sesak

BAB

+ pucat

+ pucat

Pucat +

>

>

>

BAK

Keadaan

Tampak sakit

>

>

>

>

>

>

umum

berat

Kesadaran

Komposment

>

>

>

>

>

>

120x/mnt

120x/mnt

120x/mnt

140x/mnt

120x/mnt

137x/mnt

130x/mnt

38x/mnt

38x/mnt

56x/mnt

44x/mnt

52x/mnt

42x/mnt

41x/mnt

Suhu

37,1C

38C

36,5C

37,2C

36,8C

36,8C

36,6C

Mata :

Konjungtiva
>

>

>

>

>

>

>

>

>

>

>

>

is
Frekuensi
nadi
Frekuensi
Nafas

tidak anemis,
sclera ikterik,
air mata ada,
mata cekung
tidak ada.
Thorax
Cor : Irama
teratur,
bising (-)

27

Pulmo :
Bronkovesik
uler, Rh -/Wh -/-

Abdomen

BU (+)

>

>

>

BU (+)

Normal,

Normal,

Distensi (-),

Distensi

Turgor kulit

(+),

baik

Turgor

>

>

kulit

Hepar teraba

baik,

1/3 1/3

kolateral

pinggir

(+)

tajam,
konsistensi

Hepar

kenyal,

teraba

permukaan

1/2 1/2

rata

pinggir
tajam,

Lien teraba

konsisten

S1

si kenyal,
permukaa
n rata
Lien
teraba S2

Extremitas
Akral hangat, >

>

>

>

>

>

>

>

>

perfusi baik
Diagnosa

Ikterik

>

28

neonatorum
e.c susp
kolestasis
ekstrahepatal
Penatalaks

ASI OD

>

>

>

>

>

>

Fototerapi

>

>

>

>

>

>

Urdafalk 3x

>

>

>

>

anaan

17mg p.o
Rencana

- darah

pemeriksa

perifer

an

lengkap

-SGOT

USG
abdomen

-SGPT
-Gamma
GT

BAB III
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien perempuan berumur 9 hari di bagian perinatologi
RSAM Bukittingggi sejak tanggal 5 Juni 2014 dengan diagnosis kerja ikterik
neonatorum e.c suspect kolestasis ekstrahepatal . Penegakan diagnosis kolestasis
ektrahepatal

dilakukan

berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik

dan

pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan bayi cukup bulan dengan


BBLC mengalami kuning pada usia 2 hari dan muncul pada seluruh tubuh. Tidak
disertai demam, tidak ada riwayat kuning setelah minum ASI, terdapat
pembesaran perut, BAK berwarna kuning pekat, dan BAB berwarna pucat.
Menurut literatur ikterus yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kelahiran

29

dapat terjadi karena inkompatibilitas golongan darah ABO,Rh, infeksi intrauterin


(rubella, toxoplasmosis, sitomegalovirus, sifilis, dan sepsis bakterialis), dan
kadang kadang oleh defisiensi enzim G6PD. Namun ikterik terus berlangsung
setelah minggu pertama kelahiran sehingga pada kasus ini ikteri dapat terjadi
akibat ikterus obstruktif, hipotiroidism, breast milk jaundice, infeksi, hepatitis
neonatal, dan galaktosemia. Dari penelitian yang dilakukan di Instalasi Rawat
Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya kejadian ikterus nonatorum paling tinggai
terjadi karena neonatal hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus
koledukus 5 (5,2%). Adanya BAK berwarna kuning dan feses yang berwarna
pucat mengarahkan kepada adanya kolestasis ekstra hepatal akibat obstruksi atau
gangguan aliran cairan empedu ke saluran cerna.
Dari pemeriksaam fisik didapatkan adanya ikterik telihat pada seluruh
tubuh hingga telapak tangan dan kaki, sklera ikterik, rambut berwarna pirang,
abdomen tegang, hepar teraba 1/2-1/2, lien teraba pada S2, terdapat kolateral.
Pasien tetap kuning hingga hari rawatan ke-5. Hal ini menunjukkan ikterus non
fisiologis, salah satunya dalah penumbatan saluran empedu.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan terdapat peningkatan bilirubin
direk (23,74 mg/dl) dan bilirubin total

(33,67 mg/dl). Menurut literatur

kadar bilirubin darah total >12,9 mg/dl pada bayi cukup bulan, dan >15 mg/dl
pada bayi kurang bulan merupakan ikterus neonatorum non-fisiologis atau
hiperbilirubinemia patologik. Peningakatan bilirubin direct menunjukkan adanya
gannguan pada proses ekskresi bilirubin terkonjugasi ke saluran cerna.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium awal
mengarahkan diagnosis kerja yaitu ikterus neonatorum e.s suspect kolestasis
ekstrahepatal.

Namun

belum

menyingkirkan

diagnosis

banding

ikterus

neonatorum e.c. inkompatibilitas ABO ikterus neonatorum e.c. kolestasis


intrahepatal maka diperulukan pemeriksaan lanjutan yaitu pemeriksaan fungsi
hepar, pemeriksaan golongan darah ibu dan USG abdomen.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku kuliah :Ilmu Kesehatan Anak : jilid 3: Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Cetakan 2007 : 1102-1110
2. Standar Peiayanan Medis Departemen Kesehatan Anak, Infeksi dan
Penyakit Tropis,Demam Tifoid Ikatan Dokter Anak Indonesia, Edisi 12004, 296-299
3. Arief S. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. FK UNAIR RSU Sutomo.
Surabaya. 2010
4. Roberts EA. The jaundiced baby. In: Deirdre A Kelly. Disease of the liver
and biliary system 2nd Ed. Blackwell Publishing 2004, 35-73.

31

5. A-Kader HH, Balisteri WF. Neonatal cholestasis. In: Behrman, Kliegman,


Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics 17th Ed. Saunders, 2004;1314-19.
6. Mieli-Vergani G, Howard ER, Portmann B, et al. Late referral for biliary
atresia-missed opportunities for effective surgery. Lancet i. 1989:421-423.
7. Karpen SJ. Update on the etiologies and management of neonatal
cholestasis. Clin Perinatol. 2002;29:159-80.
8. Suchy FJ. Approach to the infant with cholestasis. In: Suchy FJ Liver
disease in children. St Louise: Mosby-Yearbook. 1994:399-55.
9. Yoon PW, Bresee JS, Olney RS, et al. Epidemiology of biliary atresia: A
population-based study. Pediatrics. 1997;99:376.
10. Dick MC, Mowat AP. Hepatitis syndrome in infancy-an epidemiologic
survey with 10 year follow up. Arch Dis Child. 1985;60:512-16.
11. Arief S. The profile of cholestasis in infancy. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2004;39:suppl 1 S188.
12. Haber BA. Biliary atresia. Gastroenterol Clin North Am. 2003;32:891-911.
13. Hart MH, Kaufmann SS, Vanderhoof JA et al. Neonatal hepatitis and
extrahepatic biliary atresia associated with cytomegalovirus infection in
twins. Am J Dis Children. 1991;145:302-305.

32

Anda mungkin juga menyukai