Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Kolestasis neonatal merupakan permasalahan dibidang ilmu kesehatan anak


karena spektrum penyebabnya sangat luas dengan gejala klinis serupa.1 Diperkirakan
insiden kejadian kolestasis neonatal adalah 1 : 2500 kelahiran hidup. Sebuah
penelitian menyebutkan bahwa biliary atresia (BA) merupakan penyebab utama
terjadinya kolestasis neonatus dan dilaporkan terjadi pada 35-41% kasus, diikuti oleh
kolestasis intrahepatik familial progresif (PFIC) (10%), kelahiran prematur (10%),
gangguan metabolik dan endokrinologis (9-17%), sindrom Alagille (2-6%), penyakit
menular (1-9%), mitokondriopati (2%), dan kasus idiopatik (13–30%).2
Beberapa penelitian telah dilakukan perihal sekresi dan metabolisme asam
empedu selama kehidupan janin dan hari-hari pertama kehidupan. Organ empedu
dibentuk pada bulan ke-5 kehidupan intrauterine, sedangkan sintesis asam empedu
pada manusia dimulai pada minggu ke-12 kehamilan. Bayi baru lahir, terutama
prematur, cenderung mengalami kolestasis karena ketidakmatangan hati terkait
dengan metabolisme asam empedu dan reabsorpsi ileum yang tidak optimal. Pada
periode perinatal, struktur dan fungsi kanalikuli belum matang, dibuktikan oleh
ketidakteraturan bentuk dan dilatasi dan sifat hipomotilitas kanalikuli. Pada usia 4
sampai 6 bulan, akan terjadi peningkatan produksi asam empedu. Maturasi hepatik
terjadi bertahap, sehingga saat berusia 1 tahun, pola sekresi empedu akan serupa
dengan orang dewasa.2
Kemajuan dibidang teknik diagnosa dengan adanya ultrasonografi,
skintigrafi, pemeriksaan histopatologis, dan biologi molekuler tidak serta merta dapat
menegakkan diagnosa dengan cepat sebab pada kelainan ini tidak ada satupun
pemeriksaan yang superior. Kesadaran akan adanya kolestasis pada bayi dengan
ikterus berumur lebih dari 14 hari merupakan kunci utama dalam penegakan diagnosa
dini yang berperan penting terhadap prognosa. Prognosis juga tergantung pada deteksi
dini dan penyebabnya, semakin dini ditemukan dan dilakukan tatalaksana maka prognosisnya

1
jauh lebih baik. Selain pemantauan keberhasilan terapi, penting juga untuk memantau tumbuh
kembang anak.3
Mengingat pentingnya diagnosis dini pada kasus kolestasis neonatal,
dibutuhkan pendekatan bertahap berdasarkan pada riwayat klinis, pemeriksaan fisik,
tes laboratorium sehingga dapat mengidentifikasi etiologi yang mendasari untuk
segera dilakukan tatalaksana yang tepat. Oleh karena itu, dengan tulisan ini
diharapkan dapat menambah wawasan mengenai kolestasis neonatal lebih lanjut.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Kolestasis adalah semua kondisi yang menyebabkan terganggunya sekresi berbagai
substansi yang seharusnya dieksresikan ke dalam duodenum, sehingga menyebabkan
tertahannya bahan-bahan atau substansi tersebut di dalam hati dan menimbulkan
kerusakan hepatosit. Kolestasis neonatus ditandai dengan peningkatan kadar bilirubin
direk yang berkepanjangan dalam serum.1 Parameter kolestasis adalah kadar bilirubin
direk serum >1mg/dL apabila bilirubin total <5mg/dL atau bilirubin direk >20% dari
bilirubin total apabila kadar bilirubin total >5mg/dL.3 Bayi yang tetap ikterik setelah 2
minggu pertama kehidupan perlu diperiksa kadar bilirubin total dan bilirubin direk
darah. Pemeriksaan bilirubin direk dan total ini merupakan pemeriksaan yang
terpenting untuk menentukan ada tidaknya kolestasis. Secara teoritis bilirubin direk
bersifat larut dalam air sehingga dapat mewarnai urin menjadi kuning tua atau kuning
seperti teh. Pada bayi diketahui produksi urin relatif lebih banyak sehingga kadang-
kadang bilirubin direk yang meningkat di darah dapat tidak terlihat sebagai warna
urin yang kuning pada bayi.1

2.2 Epidemiologi

Diperkirakan insiden kejadian kolestasis neonatal adalah 1 : 2500 kelahiran hidup.


Sebuah penelitian menyebutkan bahwa biliary atresia (BA) merupakan penyebab
utama terjadinya kolestasis neonatus dan dilaporkan terjadi pada 35-41% kasus,
diikuti oleh kolestasis intrahepatik familial progresif (PFIC) (10%), kelahiran
prematur (10%), gangguan metabolik dan endokrinologis (9-17%), sindrom Alagille
(AS) (2-6%), penyakit menular (1-9%), mitokondriopati (2%), dan kasus idiopatik
(13–30%).2 Peneltian yang dilakukan di Kings College Hospital England
menemukan atresia bilier 377 (34,7%), hepatitis neonatal 331 (30,5%), α-1 antitripsin
defisiensi 189 (17,4%), hepatitis lain 94 (8,7%), sindroma Alagille 61 (5,6%), kista
duktus koledokus 34 (3,1%).3,5 Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo

3
Surabaya dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan neonatal
kolestasis. Neonatal hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus
koledukus 5 (5,2%), kista hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1 (1,04%).4

2.3 Etiologi
Penyebab kolestasis neonatus dijabarkan pada tabel di bawah ini:3

Kolestasis ekstrahepatik
Atresia bilier ekstrahepatik
Kista duktus koledokus
Stenosis duktus biliaris
Kolestasis Intrahepatik
Infeksi
E.coli
Syphilis
Protozoa
Toxoplasmosis
Rubella
Herpesvirus
Kelainan metabolik
Sindrom Alagille
Progressive Familial Intrahepatic Cholestasis (PFIC)
Kelainan kromosom
Nutrisi parenteral
Hepatitis neonatal idiopatik

2.4 Patofisiologi

Cairan empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan
merupakan kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Cairan empedu
mengandung asam empedu, kolesterol, fosfolipid, toksin yang terdetoksifikasi,
elektrolit, protein, dan bilirubin terkonjugasi.5

Bilirubin adalah hasil pemecahan sel darah merah (SDM). Hemoglobin (Hb) yang
berada didalam SDM akan dipecah menjadi bilirubin indirek. Satu gram Hb akan
menghasilkan 34mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek (tak terkonjugasi) yang larut

4
dalam lemak berikatan dengan albumin dari pembuluh darah oleh transporter
(ligandin atau protein Z) pada membran basolateral diangkut ke hati. Bilirubin tak
terkonjugasi kemudian dikonjugasi intraseluler oleh enzim enzim glukuronid
transferase menjadi bilirubin direk (terkonjugasi) yang larut air dan dikeluarkan ke
dalam empedu oleh transporter mrp2. Setelah masuk ke sistem bilier bilirubin direk
diteruskan ke usus halus dan dengan adanya protease bakteri usus akan diubah
menjadi urobilinogen. Urobilinogen tersebut 90% akan dibuang melalui feses
menjadi sterkobilin sedangkan sisanya 10% akan kembali melalui vena porta masuk
ke hati dan menjadi suatu siklus enterohepatik yang akan diserap kembali oleh
pembuluh darah dan masuk ke ginjal dan diekskresi menjadi urobilin.5

Mekanisme kolestasis dapat secara luas diklasifikasikan menjadi hepatoseluler,


dimana terjadinya penurunan pembentukan empedu, dan obstruktif yang berhubungan
dengan aliran empedu setelah terbentuk. Proses yang terjadi dihati seperti inflamasi,
obstruksi, gangguan metabolik dan iskemia dapat menimbulkan penurunan aliran
empedu. Pada keadaan dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin
terkonjugasi juga terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi.

2.5 Manifestasi Klinis

Tanpa memandang etiologinya, gejala dan tanda klinis utama kolestasis neonatal
adalah ikterus berkepanjangan, tinja akolik dan urin yang berwarna gelap dan
hepatomegali. Keadaan umum bayi biasanya baik. Ikterus bisa terlihat sejak lahir atau
tampak jelas pada minggu ke 3 s/d 5. Berkurangnya empedu dalam
usus menyebabkan berkurangnya penyerapan kalsium dan vitamin D akan
menyebabkan pengeroposan tulang, yang menyebabkan rasa nyeri di tulang dan patah
tulang. Terdapatnya empedu dalam sirkulasi darah bisa menyebabkan gatal-gatal
(disertai penggarukan dan kerusakan kulit). Jaundice yang menetap lama sebagai
akibat dari kolestasis, menyebabkan kulit berwarna gelap dan di dalam kulit terdapat
endapan kuning karena lemak.6

5
Gejala lainnya tergantung dari penyebab kolestasis. Beberapa bayi mengalami
memar oleh karena koagulopati sekunder akibat malabsorpsi dan defisiensi vitamin
K. Splenomegali dapat diamati pada bayi yang memiliki sirosis dan hipertensi portal.
Kelainan neurologis termasuk lesu, kurang makan, hipotonia atau kejang
menunjukkan terjadinya sepsis, perdarahan intrakranial, gangguan metabolik atau
disfungsi hati berat. Berat badan lahir rendah, trombositopenia, petekia dan purpura
sering dikaitkan dengan infeksi kongenital. Facial dysmorphism dapat menunjukkan
kelainan kromosom atau sindrom Alagille. Terdapat massa di kuadran kanan atas
dapat menunjukkan kista choledochal.7

2.6 Diagnosis

2.6.1 Anamnesis

Cara anamnesis yang digunakan adalah alloanamesis yaitu; semua keterangan


diperoleh dari keluarga terdekat, seperti orang tua. Yang perlu ditanyakan:1

a. Adanya ikterus pada bayi usia lebih dari 14hari, tinja akolis yang persisten,
warna urin gelap
b. Adanya riwayat keluarga menderita kolestasis, maka kemungkinan besar
merupakan suatu kelainan genetik/metabolik.
c. Riwayat prenatal, neonatal, prematuritas, riwayat morbiditas ibu selama
kehamilan misalnya infeksi toxoplasma, other, rubela, cytomegalovirus, Herpes
(TORCH), hepatitis B, riwayat pemberian nutrisi parenteral, transfusi darah, serta
penggunaan obat hepatotoksik, riwayat pemberian ASI, pertumbuhan janin
(kolestasis intrahepatik umumnya menyebabkan pertumbuhan janin yang agak
terlambat)

6
2.6.2 Pemeriksaan fisik

a. Pemeriksaan Tanda Vital

Sangat penting dilakukan untuk mengetahui keadaan umum pada pasien bayi,
sebelum, saat dan sesudah pemeriksaan atau perawatan lebih lanjut, yang perlu di cek
adalah keadaan umum, kesadaran, suhu tubuh, tekanan darah, denyut nadi,
pernapasan.1

b. Inspeksi
Terlihat kulit yang ikterus, edema, spider angiomata, eritema palmaris. Pada
umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar bilirubin sekitar 7
mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Pada bayi dan anak, warna
kuning terlihat bila kadar bilirubin 2mg/dl.8,9 Jaringan sklera mengandung banyak
elastin yang mempunyai afinitas tinggi terhadap bilirubin, sehingga pemeriksaan
sklera lebih sensitif. Apabila yang meninggi bilirubin indirek, maka warna ikterus
kuning terang. Sedangkan bila bilirubin direk yang meninggi, warnanya kuning
kehijauan.8
c. Palpasi

Hati dapat dipalpasi secara monomanual dan bimanual. Selain ukuran hati, dicatat
juga konsistensi, tepi, permukaan dan terdapat nyeri tekan. Pada anak, tepi hati
normal dapat diraba sampai 2 cm di bawah tepi arkus kosta. Pada bayi yang baru
lahir, terdapat pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5cm di bawah arcus
costae pada garis midclavicula kanan. Perabaan hati yang keras, tepi yang tajam dan
permukaan noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis. Pada splenomegali, bila
limpa membesar, satu dari beberapa penyebab seperti hipertensi portal, penyakit
storage atau keganasan harus dicurigai pada neonatus. Limpa mungkin masih teraba
sampai 1-2cm di bawah arcus costae oleh karena proses hematopoesis ekstrameduler
yang masih berlangsung sampai anak usia 3 bulan. Biasanya diukur menurut cara
Schuffner. Kandung empedu yang membesar akan teraba bulat, licin dan memberi
kesan bahwa letaknya dekat sekali di bawah kulit kanan atas. Asites menandakan

7
adanya peningkatan tekanan vena portal yang mengakibatkan terjadinya transudasi
cairan dari daerah splangnikus dan fungsi hati yang memburuk.10

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan sebagai berikut:1

1. Pemeriksaan serum bilirubin direk dan indirek


2. Feses seperti dempul atau pucat (acholic)
Pada pemeriksaan feses ini dapat dilakukan dengan tehnnik 3porsi, diambil
contoh feses selama 3kali berturut-turut dan dibandingkan untuk melihat warna
daripada feses atau dengan menggunakan kartu warna feses.
3. Urine berwarna gelap pemeriksaan urine analisis dan bilirubin dalam urine
4. Pemeriksaan darah tepi lengkap, pemeriksaan fungsi hati: alanine
aminotransferase, aspartat aminotransferase, gama Glutamine Transpeptidase,
Alkali Fosfatase, albumin, PTT dan tromboplastin.
5. Pemeriksaan serologis: TORCH (toksoplasma, rubella, CMV,herpes simpleks),
hepatitis virus, skrining penyakit metabolik.
6. Pemeriksaan USG 2fase (atresia biliaris, duktus koledokus, batu empedu, slude
bilier atau tumor) dapat melihat patensi duktus bilier, keadaan kandung empedu
ataupun MRCP, ERCP, skintigrafi, kolangiografi.2

2.7 Diagnosis Banding

2.7.1 Breast milk jaundice

ASI jaundice adalah jenis penyakit kuning neonatal tekait dengan menyusui.
Hal ini ditandai dengan hiperbilirubinemia tidak langsung dalam bayi baru lahir
disusui yang berkembang setelah 4-7hari pertama kehidupan, tetapi lebih lama dari
ikterus fisiologis dan tidak memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi lainnya. Jika
bayi tidak memperoleh cukup ASI, gerakan usus tidak terpacu dan frekuensi buang

8
air besar berkurang sehingga tidak banyak bilirubin yang dapat dikeluarkan. Karena
itu, susui bayi minimal 8-12 kali perhari khususnya dalam beberapa hari pertama.11

2.7.2 Infeksi cytomegalovirus

Infeksi CMV bersifat endemik diseluruh dunia dan dapat terjadi sepanjang
tahun. Manusia merupakan hospes alami yang diketahui dapat terinfeksi CMV.
Penularannya dapat melalui kontak erat dari orang ke orang. Virus dapat dikeluarkan
kedalam urine, air liur, ASI dan secret vagina. Penularannya dapat melalui oral,
transfusi darah, transplantasi organ tubuh, hubungan seksual dan melalui plasenta.
CMV primer pada wanita hamil dapat menyebabkan CMV kongenital pada bayi baru
lahir karena virus dapat ditularkan kepada sang bayi. Bayi-bayi yang menderita CMV
kongenital lahir dengan penyakit ikterus, pembesaran limpa, ruam, dan berat badan
lahir yang rendah. Mereka juga memiliki resiko tinggi untuk mengalami ketulian dan
masalah perkembangan di kemudian hari. Meskipun CMV tidak menyebabkan
komplikasi apapun pada orang yang normal, sehat, hal ini harus diperhatikan apabila
mengenai orang dengan sistem kekebalan tubuh yang melemah, wanita hamil, dan
bayi yang terinfeksi. Orang-orang yang termasuk dalam kelompok resiko tinggi ini
biasanya diobati dengan antivirus untuk mencegah komplikasi.12

2.8 Penatalaksanaan

2.8.1 Medikamentosa

Bertujuan untuk memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama
asam empedu, dengan memberikan ½ Fenobarbital 5 mg/kg/BB/hari dibagi 2 dosis
per oral. Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase (untuk
mengubah bilirubin indirect menjadi bilirubin direct).13

2.8.2 Terapi Suportif

Terapi lain yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:13

9
 Stimulasi aliran empedu: asam ursodeoksikolat 10-20 mg/kg berat badan 2-3
dosis.
 Nutrisi diberikan untuk menunjang pertumbuhan optimal (kebutuhan kalori
umumnya dapat mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal).
 Vitamin yang larut dalam lemak
- A 5000-25.000 IU
- D (calcitriol) 0,05-0,2 ug/kg/hari
- E 25-200 IU/kgBB/hari
- K1 2,5-5 mg,2-7 x/ minggu
 Mineral dan trace element Ca, P, Mn, Zn, Se,Fe
 Terapi untuk mengatasi pruritus:
- Antihistamin: difenhidramin 5-10 mg/kg/hari, l.2-5 mg/kg/hari
- Rifampisin 10 mg/kg/hari
- Kolestiramin 0,25-0,5g/kg/hari

2.8.3 Terapi Bedah

Terapi bedah dilakukan bila feses tetap akolik dengan bilirubin direct > 4 mg/dl atau
terus meningkat, meskipun telah diberikan fenobarbital atau telah dilakukan uji
prednison selama 5 hari. Pasien yang dioperasi kasai tetap hidup sampai 4 tahun
pasca operasi ≤30hari (49%), 31-90hari (36%) dan >90hari (23%) dan harus
dilanjutkan dengan transplan hati.14

2.9 Komplikasi
2.9.1 Kolesistitis akut

Faktor yang mempengaruhi terjadinya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama
kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus
yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul
tanpa adanya batu empedu. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh sebagai
penyebab terjadinya komplikasi ini, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol,

10
prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh
reaksi inflamasi dan supurasi.3
2.9.2 Ensefalopati Bilirubin (kernikterus)
Komplikasi terberat ikterus pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin atau
kernikterus. Kernikterus terjadi pada keadaan hiperbilirubinemia indirek yang sangat
tinggi, cedera sawar darah-otak dan adanya molekul yang berkompetisi dengan
bilirubin untuk mengikat albumin. Pada bayi cukup bulan, enselopati bilirubin
biasanya bermanifestasi pada hari ke-2 dan gambaran klinis ensefalopati bilirubin
tidak dapat dibedakan dari dari sepsis, asfiksia, perdarahan intraventrikular, dan
hipoglikemia. Gejala ensefalopati bilirubin meliputi letargi, tidak mau makan, dan
refleks moro yang lemah. Pada akhir minggu pertama kehidupan, bayi menjadi
demam dan hipertonik disertai tangisan bernada tinggi (high-pitched cry). Refleks
tendon dan respirasi menjadi terdepresi.15,16

2.10 Prognosis

Pasien dengan kolestasis perlu dipantau pertumbuhannya dengan membuat kurva


pertumbuhan berat badan dan tinggi badan bayi/anak. Pertumbuhan pasien dengan
kolestasis intrahepatik menunjukkan perlambatan sejak awal. Pasien dengan
kolestasis ekstrahepatik umumnya akan tumbuh dengan baik pada awalnya tetapi
kemudian akan mengalami gangguan pertumbuhan sesuai dengan berlanjutnya
penyakit. Bila kolestasis diakibatkan oleh kelainan metabolisme, maka intervensi
sesuai dengan kelainan metabolismenya. Intervensi ini akan menyebabkan kolestasis
membaik tetapi sebagian bersifat progresif, kemudian membuat kondisi pasien
semakin memburuk, berakhir dengan sirosis, gagal hati dan akhirnya meninggal.
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah
melalui sawar otak.15

Keberhasilan terapi bedah ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran
histologik porta hepatis, kejadian penyulit, dan pengalaman ahli bedahnya sendiri.
Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 71-86%,

11
sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya
hanya 34-43,6%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan
hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi > 60 hari,
adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik, dan bila terjadi penyulit hipertensi
portal.15

12
BAB III
SIMPULAN

Kolestasis adalah semua kondisi yang menyebabkan terganggunya sekresi berbagai


substansi yang seharusnya dieksresikan ke dalam duodenum, sehingga menyebabkan
tertahannya bahan-bahan atau substansi tersebut di dalam hati dan menimbulkan
kerusakan hepatosit. Penyebab kolestasis neonatal diantaranya atresia biliaris, kista
duktus koledokus, infeksi, gangguan metabolik dan endokrinologis, mitokondriopati,
dan kasus idiopatik. Gejala dan tanda klinis utama kolestasis neonatal adalah ikterus
berkepanjangan, tinja akolik dan urin yang berwarna gelap dan hepatomegali. Dalam
penentuan diagnosis, selain dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dilakukan juga
beberapa pemeriksaan penunjang yaitu biokimia darah; urin rutin; biakan urin; tinja 3
porsi; pemeriksaan serologis: TORCH (toksoplasma, rubella, CMV,herpes simpleks),
hepatitis virus; ultrasonografi, biopsi hati. Penatalaksanaannya terdiri atas terapi
medikamentosa, terapi suportif dan bedah. Komplikasi yang terjadi akibat kolestasis
neonatus adalah kolesistitis akut dan ensefalopati bilirubin (kernikterus). Prognosis
tergantung pada deteksi dini dan penyebabnya, semakin dini ditemukan dan dilakukan
tatalaksana maka prognosisnya jauh lebih baik.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Arief S. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Divisi Hepatologi Bagian Ilmu


Kesehatan Anak FK UNAIR / RSU Dr Soetomo - Surabaya. 2013.
2. Gotzel T, Blessing H, Grillhosl C, Gerner P, Hoerning A. Neonatal cholestasis –
differential diagnoses, current diagnostic procedures, and treatment. Frontiers in
Pediatric. 2015:43(3);1-10.
3. Tanto C. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. 2014;65.
4. Karpen SJ. Update on the Etiologies and Management of Neonatal Cholestasis.
Clin Perinatol. 2012;29:159-80.
5. Arief, Sjamsul. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. FK Unair, 2006.
6. Mitchel, Richard. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran. EGC.
2008.
7. Feldman AG, Sokol RJ. Neonatal Cholestasis. American Academy of Pediatrics.
2013: 14(2);1-21.
8. Karpen SJ. Update on the etiologies and management of neonatal cholestasis.
Clin Perinatol. 2012;29:159-80.
9. Suchy FJ. Approach to the infant with cholestasis. In: Suchy FJ Liver disease in
children. St Louise: Mosby- Yearbook. 2004:399-55.
10. Kader HH, Balisteri WF. Neonatal cholestasis. In: Behrman, Kliegman,
Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics 17th Ed. Saunders, 2004;1314-19.
11. Desphande PG. Breast Milk Jaundice. Clin Perinatol. 2014;1-20.
12. Sofro, Muchlis. Infeksi Citomegalovirus (CMV). Journal of Pediatrics.2014;15-
45.
13. Bisanto J. Kolestasis Intra Hepatik pada Bayi dan Anak. Gastroenterologi UI.
2010;364-365.
14. Hidayat AA. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. EGC. 2009;100.
15. Insley J. Vade mecum pediatric. EGC.2005 (13); 249-51.
16. Roberts EA. The Jaundiced Baby. Disease of the Liver and Biliary System 2nd
Ed. Blackwell Publishing 2004;35-73.

14

Anda mungkin juga menyukai