HEPATITIS B KRONIS
Oleh:
Pembimbing
dr. Gede Somayana, Sp.PD
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan responsi kasus yang berjudul “Hepatitis
B Kronis”. Penulisan tugas ini merupakan salah satu prasyarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.
Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari awal
hingga akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1) Ni Putu Ai Welly Pertiwi (alm) dan keluarga, selaku pasien yang sudi
menyumbangkan informasi untuk melengkapi laporan kasus ini.
2) Dr. Gede Somayana, Sp.PD, selaku pembimbing laporan ini, atas bimbingan,
saran dan masukan selama penyusunannya.
3) Dokter-dokter residen yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas bimbingan dan
saran-sarannya.
4) Rekan-rekan dokter muda yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas bantuannya
dalam penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka dan laporan kasus ini masih jauh
dari sempurna, untuk itu saran dan kritik membangun, sangat penulis harapkan
demi perbaikan tugas serupa di waktu berikutnya. Semoga tugas ini juga dapat
memberi manfaat bagi pihak yang berkepentingan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan hati yang
memberikan gejala klinis yang khas yaitu badan lemas, mudah lelah, nafsu makan
menurun, urin seperti teh pekat, serta mata dan seluruh tubuh menjadi kuning.1
Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk di
Indonesia, yang terdiri dari Hepatitis A, B, C, D, dan E. Hepatitis B tergolong salah
satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan serius di Indonesia maupun di
banyak negara lainnya. Hepatitis B ditularkan secara parenteral, dapat menjadi
kronis dan menimbulkan sirosis kemudian menjadi kanker hati.2
Infeksi Virus Hepatitis B (VHB) dapat memberikan gambaran klinis yang
bervariasi. Infeksi akut dapat terjadi tanpa disertai gejala sampai menimbulkan
gejala yang fatal yang disebut hepatitis fulminan. Virus Hepatitis B (VHB)
merupakan virus DNA yang termasuk dalam famili virus Hepadnaviridae. Virus
ini secara spesifik menyerang sel hati, namun sebagian kecil DNA hepatitis juga
dapat ditemukan di ginjal, pankreas, dan sel mononuklear. Penularan VHB sama
seperti penularan Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu melalui kontak
dengan darah atau cairan tubuh dari orang yang terinfeksi VHB. Namun VHB
berpotensi 50-100 kali lebih infeksius dibanding HIV. Cara penularan VHB bisa
melalui transfusi darah yang sering mendapat hemodialisis. Selain itu, VHB dapat
masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit/selaput lendir, kontak seksual dengan
penderita VHB, dan infeksi VHB dari seorang ibu pengidap VHB kepada bayinya
sebelum persalinan (infeksi perinatal) juga dapat terjadi.1
Virus Hepatitis B telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia, sekitar
240 juta orang di antaranya menjadi pengidap Hepatitis B kronik. Sebanyak 1,5 juta
penduduk dunia meninggal setiap tahunnya karena Hepatitis. Indonesia merupakan
negara dengan endemisitas tinggi Hepatitis B, terbesar kedua di negara South East
Asian Reigion (SEAR) setelah Myanmar. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas), studi dan uji saring darah donor PMI maka diperkirakan terdapat 28
juta penduduk Indonesia yang terinfeksi Hepatitis B dan C, 14 juta diantaranya
berpotensi untuk menjadi kronis, dan dari yang kronis tersebut 1,4 juta orang
berpotensi untuk menderita kanker hati. Besaran masalah tersebut tentunya akan
1
2
2.1 Definisi
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis
B, suatu anggota famili Hepadnaviridae yang dapat menyebabkan peradangan hati
akut atau kronis dan dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis
B akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis
bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada
gambaran patologi anatomi selama 6 bulan.3
Hepatitis yang disebabkan oleh virus hepatitis B pertama kali ditemukan oleh
Blumberh tahun 1965. Penelitian Blumberh menunjukkan adanya antibodi yang
dihasilkan terhadap senyawa poliprotein dari dua orang penderita hemopili yang
sering mendapatkan tranfusi darah, mereka memiliki antibodi yang dapat bereaksi
dengan antigen dari seorang aborigin Australia. Pada saat itu didapatkan bahwa
antigen tersebut ditemukan pada 20% penderita virus hepatitis. Antigen ini
sebelumnya dinamakan dengan Australia antigen yang sekarang dikenal dengan
nama HbsAG.4
2.2 Epidemiologi
Infeksi Virus Hepatitis B (VHB) adalah suatu masalah kesehatan utama di
dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Diperkirakan Virus Hepatitis
B telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia, sekitar 240 juta orang di
antaranya menjadi pengidap Hepatitis B kronik.2 Tujuh puluh lima persen dari
semua pembawa kronis hidup di Asia dan pesisir Pasifik Barat. Prevalensi pengidap
VHB tertinggi ada di Afrika dan Asia.5 Infeksi VHB merupakan penyebab utama
hepatitis akut, hepatitis kronis, sirosis, dan kanker hati di dunia. Center for Disease
Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa sejumlah 200.000 hingga
300.000 orang (terutama dewasa muda) terinfeksi oleh VHB setiap tahunnya.
Hanya 25% dari mereka yang mengalami ikterus, 10.000 kasus memerlukan
perawatan di rumah sakit, dan sekitar 1-2% meninggal karena penyakit fulminan.6
3
4
2.3 Etiologi
Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil
berasal dari genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter 40-42
nm. Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari. Bagian
luar dari virus ini adalah protein envelope lipoprotein, sedangkan bagian dalam
berupa nukleokapsid atau core.8 Genom VHB merupakan molekul DNA sirkular
untai-ganda parsial dengan 3200 nukleotida.5 Genom berbentuk sirkuler dan
memiliki empat Open Reading Frame (ORF) yang menyandi tujuh polipeptida.
Protein envelope yang dikenal sebagai selubung HBsAg seperti large HBs (LHBs),
medium HBs (MHBs), dan small HBs (SHBs) disebut gen S dan pre-S, yang
merupakan target utama respon imun host, dengan lokasi utama pada asam amino
100-160.8 HBsAg dapat mengandung satu dari sejumlah subtipe antigen spesifik,
disebut d atau y, w atau r. Subtipe HbsAg ini menyediakan penanda epidemiologik
tambahan.9
5
Gen C dan pre-C yang mengkode protein inti (HBcAg) dan HBe yang
diproses menjadi HBeAg, gen P yang mengkode enzim polimerase yang digunakan
untuk replikasi virus, dan terakhir gen X yang mengkode protein X (HBx), yang
memodulasi sinyal sel host secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi
ekspresi gen virus ataupun host, dan belakangan ini diketahui berkaitan dengan
terjadinya kanker hati.8
2.5 Patogenesis
2.5.1 Replikasi Virus
Siklus hidup VHB dimulai dengan attachment atau menempelnya partikel
Dane pada hepatosit. Penempelan tersebut dapat terjadi dengan perantara protein
pre S1, protein pre S2, dan lain-lain. Penempelan VHB akan diikuti proses
penetrasi VHB kedalam hepatosit, kemudian ditranspor kedalam sitoplasma dan
kemudian terjadi pelepasan DNA kedalam nukleus (tahap 1 sampai 3 pada gambar
2.2). DNA VHB yang masuk ke dalam nukleus mula-mula berupa dua rantai DNA
yang tidak sama panjang (partly doublestranded). Kemudian akan terjadi proses
DNA repair berupa pemanjangan rantai DNA yang pendek (DNA (+) strand)
sehingga menjadi dua rantai DNA yang sama panjang (Fully double stranded) atau
covalently closed circle DNA (cccDNA) (tahap 4). Selanjutnya terjadi pregenom
RNA (RNA (+)) dan beberapa mRNA. Translasi pre genom RNA akan
menghasilkan protein core (HBcAg), HBeAg, dan enzim polymerase, sedangkan
translasi mRNA lainnya akan menghasilkan protein yang dibutuhkan (tahap 5-6).4
Selanjutnya terjadi proses encapsidation yaitu uptake pre-genom RNA
kedalam protein core (HBcAg), dilanjutkan dengan proses perakitan (assembly)
didalam sitoplasma. Proses maturasi genom dimulai dengan proses reversed
transcription pre-genom RNA. Dilanjutkan dengan proses maturasi dengan cara
sintesa DNA (+) strand (tahap 7). Proses envelopment partikel core yang telah
mengalami maturasi genom terjadi didalam endoplasmik retikulum. Disamping itu
disini juga terjadi sintesa pertikel VHB lainnya yaitu partikel tubular dan partikel
bentuk bulat yang masing-masing tidak mengandung partikel core dan genom
VHB. Selanjutnya melalui aparatus golgi disekresikan partikel-partikel Dane,
partikel bentuk bulat dan tubular dan juga HBeAg, dengan cara budding atau lisis
langsung kedalam sirkulasi darah.4
Beberapa penelitian melaporkan bahwa VHB bukan merupakan suatu virus
yang sitopatik. Kelainan sel hati yang terjadi akibat infeksi VHB disebabkan karena
reaksi imun tubuh terhadap sel hepatosit yang terinfeksi VHB dengan tujuan untuk
mengeliminir VHB tersebut. Pada kasus-kasus hepatitis B respon imun tersebut
berhasil mengeliminir sel-sel hepar yang terkena infeksi VHB, sehingga terjadi
gejala klinik yang diikuti dengan kesembuhan. Sedangkan pada sebagian penderita
7
respon imun tersebut tidak berhasil menghancurkan sel-sel hati yang terinfeksi
sehingga VHB tersebut tetap mengalami replikasi. Pada kasus hepatitis B kronik
respon imun tersebut ada tapi tidak sempurna sehingga hanya terjadi nekrosis pada
sel hati yang mengandung VHb dan masih tetap ada sel hati yang terinfeksi dapat
menjalar ke sel yang lain. Pada carrier yang sehat respon imun tersebut sama sekali
tidak efektif sehingga tidak ada nekrosis hati yang terinfeksi dan virus tetap
mengadakan replikasi tanpa adanya gejalan klinis.4
hari setelah terjadinya kerusakan hati. Respon imum yang muncul kemudian adalah
terhadap HBcAg yang muncul 10 hari kemudian. Respon imun yang paling kuat
yaitu respon imun terhadap antigen S yang terjadi 10 hari sebelum keruskan sel
hati. Dalam hal ini jelas adanya perbedaan antara antigen viral yang diekspresikan
pada hepatosit yang terinfeksi antigen selubung (pre-S dan S) maupun antigen
nukleokapsid (HBcAg).4
Infeksi hepatitis akut ini dapat berkembang menjadi infeksi kronik. Dimana
setelah fase akut IgM anti-HBc berangsur-angsur menurun, petanda replikasi
seperti DNA VHB dan HbeAg tetap positif, sedangkan Anti-Hbe serta Anti-HBs
tetap negatif. Kadar SGPT yang tinggi menunjukkan hepatitis tetap aktif, transisi
dari hepatitis yang aktif menjadi kronik asimptomtik dapat terjadi langsung dari
fase akut dan dapat pula terjadi beberapa tahun kemudian. Ptanda replikasi dapat
menghilang setelah terjadi flare up dari gejala dan kelainan, seperti yang terlihat
dalam gambar yang ditandai dengan munculnya imunitas tubuh.4
2.5.3 Infeksi Hepatitis B Kronik
Bila seorang HbsAg positif lebih dari enam bulan maka individu tersebut
menderita infeksi virus hepatitis kronik, karena pada dasarnya pada hepatitis B akut
paling lama positif selama enam bulan. Faktor risiko terpenting untuk terjadinya
infeksi VHB menahun adalah umur penderita pada waktu terkena infeksi. Bila
terjadi pada waktu neonatus maka 90% bayi tersebut akan mengalami infeksi
kronik. Bila infeksi terjadi pada umur 1-5 tahun infeksi kronik sekitar 25-50% dan
semakin dewasa peluangnya semakin kecil. Secara klinik gejala penderita
mengalami keluhan lemah, mual, nafsu makan berkurang atau rasa tidak enak pada
perut kanan atas. Tetapi keluhan ini seringkali tidak jelas, sebagian besar dari
mereka bahkan tidak pernah merasa menderita hepatitis akut sebelumnya.4
Dalam hal natural history infeksi kronik ada tiga fase infeksi yaitu: fase
imunotolerance, fase immune clearance, dan fase residual VHB integration. Pada
fase imunotolerance replikasi virus masih tinggi, dapat dilihat pada tingginya titer
HbsAg, HBeAg yang positif dan DNA VHB dengan parameter biokimia yang
normal. Perubahan histologipun minimal sekalipun dalam bentuk hepatitis kronik
persisten. Pada fase immune clearance replikasi virus menurun, titer HbsAg rendah,
HbeAg masih positif dan Anti-Hbe bisa sudah positif atau masih negatif.
9
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan
abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan
kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih
sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminan.12
2.6.2 Hepatitis B Kronik
Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut lebih
dari enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B
kronik dibagi menjadi tiga fase penting yaitu : 12
1. Fase Imunotoleransi
Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus tinggi dalam
darah, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Virus Hepatitis B berada
dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi.
2. Fase Imunoaktif (Clearance)
Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat terjadinya replikasi virus yang
berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan
konsentrasi ALT. Fase clearance menandakan pasien sudah mulai kehilangan
toleransi imun terhadap VHB.
3. Fase Inaktif Carrier
Pada umumnya sangat sulit membedakan antara pasien yang ada dalam
imunotoleransi dengan fase inaktif tanpa pemeriksaan HBV DNA. Dengan
pemeriksaan HBV DNA, fase imunotoleransi ditandai dengan masih tingginya
kadar HBV DNA, sedang fase inaktif ditandai dengan HBV DNA yang negatif atau
dalam kadar yang rendah. Pada fase inaktif, HBsAg bisa negatif tapi kebanyakan
masih positif. HBeAg yang dulunya positif menjadi negatif dan anti HBe menjadi
positif. Pada fase inaktif, HBeAg yang tadinya positif menjadi negatif dan
digantikan dengan anti HBe yang positif.
4. Fase Reaktif
Fase reaktivasi terjadi setelah fase inaktif. Reaktivasi adalah timbulnya tanda-tanda
aktivitas penyakit hati dengan manifestasi seperti hepatitis B akut pada penderita
infeksi hepatitis B kronik yang sebelumnya secara klinik sudah tenang dan telah
melewati fase inaktif yang antara lain ditunjukkan dengan negatifnya HBeAg dan
positifnya anti HBe. Fase reaktivasi ini juga disebut fase immune escape. Pada
11
penderita infeksi hepatitis B kronik yang masih ada dalam fase imunoclearance juga
sering terjadi gejala-gejala yang mirip hepatitis akut. Untuk membedakan keadaan
itu dengan reaktivasi yang timbul pada inaktif carrier, keadaan ini dinamakan
“flare”. Beberapa ahli menyebut kedua keadaaan tersebut dengan nama yang sama
yaitu eksaserbasi akut.
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu digali riwayat transmisi
seperti pernah transfusi, seks bebas, riwayat sakit kuning sebelumnya. Pemeriksaan
fisik didapatkan hepatomegali. Pemeriksaan penunjang terdiri dari pemeriksaan
laboratorium, USG abdomen dan Biopsi hepar. Pemeriksaan laboratorium pada
VHB terdiri dari pemeriksaan biokimia, serologis, dan molekuler. Pemeriksaan
USG abdomen tampak gambaran hepatitis kronis, selanjutnya pada biopsi hepar
dapat menunjukkan gambaran peradangan dan fibrosis hati.3
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengobatan Hepatitis B kronik adalah untuk
mengeliminasi atau menekan secara permanen VHB. Pengobatan dapat
mengurangi patogenitas dan infektivitas akhirnya menghentikan atau mengurangi
inflamasi hati, mencegah terjadinya dekompensasi hati, menghilangkan DNA VHB
(dengan serokonvers HBeAg ke anti-Hbe pada pasien HBeAg positif) dan
normalisasi ALT pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir pengobatan. Tujuan
jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis flare yang dapat
menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis dan/atau HCC
(Hepato Cellular Carcinoma), dan pada akhirnya memperpanjang usia. 13,14
Indikasi terapi pada infeksi Hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi
dari empat kriteria, antara lain: 14
(1) nilai DNA VHB serum,
(2) status HBeAg,
13
Lebih jauh lagi, pasien dengan DNA VHB antara 103-104 kopi/ mL memiliki
risiko relatif 2,4, pasien dengan DNA VHB antara 104-105 kopi/ mL memiliki
risiko relatif 5,4, dan pasien dengan DNA VHB > 105 kopi/mL memiliki risiko
relatif 6,7. Pasien yang memiliki kadar DNA VHB > 104 kopi/ mL juga memiliki
risiko KHS 3-15 kali lipat lebih tinggi daripada mereka yang memiliki kadar
4
DNA VHB <10 kopi/mL. Merujuk pada uraian tersebut, maka level DNA VHB
dapat dijadikan sebagai indikator memulai terapi dan indikator respon terapi.
2. Status HBeAg pasien telah diketahui memiliki peran penting dalam prognosis
pasien dengan hepatitis B kronik. Pasien dengan HBeAg positif diketahui
memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. Namun, pada pasien
dengan HBeAg negatif, respon terapi jangka panjang seringkali lebih sulit
diprediksi dan relaps lebih sering dijumpai. Beberapa panduan yang ada telah
mencoba membedakan indikasi terapi hepatitis B berdasarkan status HBeAg,
dengan pasien HBeAg negatif diindikasikaan memulai terapi pada kadar DNA
VHB yang lebih rendah.
3. Kadar ALT serum telah lama dikenal sebagai penanda kerusakan hati, namun
kadar ALT yang rendah juga menunjukkan bahwa pasien berada pada fase
immune tolerant dan akan mengalami penurunan respon terapi.
4. Adanya tingkat kerusakan histologis yang tinggi juga merupakan prediktor
respon yang baik pada pasien dengan hepatitis B.
Pada pasien dengan HBeAg positif, terapi dapat dimulai pada DNA VHB diatas 2 x
104 IU/mL dengan ALT 2-5x batas atas normal yang menetap selama 3-6 bulan atau
14
ALT serum > 5x batas atas normal, atau dengan gambaran histologis fibrosis derajat
sedang sampai berat. Sedangkan pada pasien HBeAg negatif, terapi dimulai pada
pasien dengan DNA VHB lebih dari 2 x 103 IU/mL dan kenaikan ALT > 2x batas
atas normal yang menetap selama 3-6 bulan.14
Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B yaitu: 12,14
1. Kelompok Imunodulasi
a. Interferon
Interferon tidak memiliki khasiat anti virus langsung tetapi merangsang
terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat
antivirus. Interferon merupakan suatu pilihan untuk pasien hepatitis B
kronis nonsirotik dengan HBeAg positif dengan aktivitas penyakit ringan
sampai sedang. Dosis interferon yang dianjurkan untuk hepatitis B
kronik dengan HBeAg positif adalah 5-10 MU 3x seminggu selama 16-
16
1. Pasien naif dengan DNA VHB <2 x 108 IU/mL, status HBeAg positif
DNA VHB < 2 x 103 IU/mL, serta pada minggu ke-24 mencapai DNA
b. Adefovir Dipivoxil
Adefovir dipivoxil (ADV) adalah analog adenosine monophosphate
yang bekerja dengan berkompetisi dengan nukleotida cAMP untuk
berikatan dengan DNA virus dan menghambat polymerase dan reverse
transcriptase sehingga memutus rantai DNA VHB. Penelitian
17
yang akan menjalani kemoterapi dan terapi imunosupresi harus dilakukan skrining
HBsAg, anti-HBs dan anti-HBc sebelum dilakukannya terapi.15
Vaksinasi pada pasien dengan seronegative VHB sangat direkomendasikan.
Dosis yang lebih tinggi atau vaksin yang diperkuat mungkin diperlukan untuk
mencapai respon anti-HBs pada pasien imunokompromais.15
Semua pasien yang memiliki HBsAg yang positif yang akan menjalani
kemoterapi atau terapi imunosupresi harus segera dirujuk ke spesialis untuk
penilaian dan diagnosis lebih lanjut mengenai fase infeksi VHB. Semua pasien ini
harus memulai nucleotide analogues (NA) yang poten sebagai terapi atau
profilaksis.15
Pasien dengan hepatitis B kronis harus diterapi dengan ETV, TDF atau
tenofovir alafenamide (TAF), sama halnya dengan pasien imunokompeten. Cara
monitoring dan penghentian NA sama dengan pada pasien imunokompeten.15
Pemberian profilaksis lamivudine (LAM) menunjukkan penurunan risiko
reaktivasi VHB dan berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas, namun risiko
residual untuk reaktivasi VHB tetap ada pada sekitar 10% pasien VHB kronis
dengan viremia yang rendah (HBV DNA<2,000 IU/ml) dan dalam proporsi yang
lebih tinggi pada mereka dengan tingkat viremia yang lebih tinggi. Penelitian
terbaru membuktikan profilaksis ETV, TDF, TAF dapat direkomendasikan untuk
pasien ini. Profilaksis harus dilanjutkan selama mminimal 12 bulan (18 bulan untuk
rituximab-based regimens) setelah terapi imunosupresi dan dihentikan hanya jika
penyakit dasar mengalami remisi. Tes fungsi hepar dan HBV DNA harus dilakukan
setiap 3 hingga 6 bulan selama profilaksis dan untuk minimal 12 bulan setelah
penghentian NA sebagai proporsi yang besar untuk perkembangan reaktivasi VHB
setelah penghentian NA.15
Pada pasien dengan HBsAg yang negatif, dan anti-HBc yang positif, risiko
reaktivasi VHB sangat bervariasi, tergantung profil virologis, penyakit dasar dan
jenis dan durasi regimen imunosupresi. Pasien seperti ini dapat dites serum HBV
DNA sebelum imunosupresi. Jika viremia, maka harus diterapi sebagaimana pasien
HBsAg positif.15
Pada kelompok risiko tinggi (>10%), termasuk pasien anti-HBc positif yang
perlu diterapi dengan rituximab pada situasi hematoonkologi atau transplan stem
19
2.8 Komplikasi
Hepatitis B kronik merupakan penyulit jangka lama pada hepatitis B akut.
Penyakit ini terjadi pada sejumlah kecil penderita hepatitis B akut. Kebanyakan
penderita hepatitis B kronik tidak pernah mengalami gejala hepatitis B akut
yang jelas. Hepatitis fulminant merupakan penyulit yang paling ditakuti karena
sebagian besar berlangsung fatal. Lima puluh persen kasus hepatitis virus
fulminant adalah dari tipe B dan banyak diantara kasus hepatitis B akut
fulminant terjadi akibat koinfeksi dengan hepatitis D atau hepatiis C. Angka
kematian lebih dari 80% tetapi penderita hepatitis fulminant yang berhasil
hidup biasanya mengalami kesembuhan biokimiawi atau histologik. Terapi
pilihan untuk hepatitis B fulminant adalah transplantasi hati.16 Sirosis hati
merupakan kondisi dimana jaringan hati tergantikan oleh jaringan parut yang
terjadi bertpahap. Jaringan parut ini semakin lama akan mengubah struktur
20
normal dari hati dan regenerasi sel-sel hati. Maka sel-sel hati akan mengalami
kerusakan yang menyebabkan fungsi hati mengalami penurunan bahkan
kehilangan fungsinya.3
2.9 Prognosis
Insiden kumulatif 5 tahun dari saat terdiagnosis hepatitis B kronis menjadi
sirosis hati ialah 8-20%, dari insiden kumulatif 5 tahun sirosis kompensata
sebanyak 20% menjadi sirosis dekompensata pada hepatitis B kronis yang
tidak diobati. Pada kondisi sirosis dekompensata tersebut, angka survival
dalam 5 tahun hanya berkisar 14-35%.13
BAB III
RESPONSI KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : NPAWP
Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jalan Nusa Kambangan Pengiasan Denpasar
Tanggal MRS : 24 Oktober 2017
Tanggal Pemeriksaan : 3 November 2017
II. ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA
Lemas
21
22
Status General
Mata : anemis -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ Isokor,
edema palpebra -/-
THT : tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
Mulut : lidah : plak (-), hiperemi (-), papil lidah atrofi (-)
bibir : pucat (-)
Leher : JVP PR + 0 cm H2O, pembesaran kelenjar (-)
Thorax
Cor
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Pinggang jantung PSL kiri, ICS II
Batas kanan jantung PSL kanan, ICS IV
Batas kiri jantung ICS V MCL kiri, ICS V
Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dada simetris statis dinamis
Palpasi : Vokal fremitus normal/normal
Perkusi : sonor/sonor
sonor/sonor
sonor/sonor
Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronki-/-, Wheezing -/-
+/+ -/- -/-
+/+ -/- -/-
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), ascites (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar : liver span 8 cm
Lien : traube space timpani
Nyeri tekan (-)
24
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Hangat + + Edema - -
+ + - -
Ne% 3,88 % 47 – 80
Ly% 20,91 % 13 – 40
Mo% 5,27 % 2,0 – 11,0
Eo% 0,20 % 0,0 – 5,0
Ba% 0,40 % 0,0 – 2,0
Ne# 3,88 103/μL 2,50 – 7,50
Ly# 1,08 103/μL 1,00 – 4,00
Mo# 0,20 103/μL 0,10 – 1,20
Eo# 0,00 103/μL 0,00 – 0,50
Ba# 0,02 103/μL 0,00 – 0,10
RBC 2,93 106/μL Rendah 4,0-5,2
MCH 29,91 Pg 26,0-34,0
MCHC 34,54 g/dL 31-36
MCV 86,61 fL 80,0-100,0
HGB 8,77 g/dl Rendah 12,00 – 16,00
HCT 25,40 % Rendah 36,00 – 46,00
PLT 213,30 103/μL 140 – 440
V. DIAGNOSIS KERJA
1. Acute Limfoblastik Leukemia (ALL)
2. Hepatitis B Kronis
- Observasi transminitis ec susp chemotherapy related dd/ cancer related
VI. PENATALAKSANAAN
Terapi
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Prednisolon 20 mg tiap 8 jam oral
- Tenofovir 300mg tiap 24 jam oral
26
Planning Diagnostik
- USG Abdomen
- LFT lengkap
Monitoring
- Vital sign
- Keluhan
- SGOT dan SGPT setiap 3 hari
BAB IV
PEMBAHASAN
27
28
gambaran histologis hati. Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis
B yaitu kelompok Imunodulasi yaitu Interferon dan Timosin alfa 1. Interferon
merupakan suatu pilihan untuk pasien hepatitis B kronis nonsirotik dengan HBeAg
positif dengan aktivitas penyakit ringan sampai sedang. Timosin alfa 1 merangsang
fungsi sel limfosit dapat menurunkan replikasi VHB dan menurunkan konsentrasi
atau menghilangkan HBV DNA. Terapi Antivirus yaitu Lamivudin, Adefovir
Dipivoxil, Entecavir, Telbivudin, Tenofovir. Pada pasien ini terapi yang dipilih
adalah Tenofovir karena memiliki profil resistensi yang cukup baik sehingga obat
ini efektif digunakan pada pasien ini.
BAB V
SIMPULAN
29
DAFTAR PUSTAKA
30
31