Anda di halaman 1dari 34

RESPONSI KASUS

HEPATITIS B KRONIS

Oleh:

Dinda Pradnya Paramitha Paturusi (1302006228)


Desak Putu Kunti Wedayanti (1302006258)

Pembimbing
dr. Gede Somayana, Sp.PD

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2017

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan responsi kasus yang berjudul “Hepatitis
B Kronis”. Penulisan tugas ini merupakan salah satu prasyarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari awal
hingga akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1) Ni Putu Ai Welly Pertiwi (alm) dan keluarga, selaku pasien yang sudi
menyumbangkan informasi untuk melengkapi laporan kasus ini.
2) Dr. Gede Somayana, Sp.PD, selaku pembimbing laporan ini, atas bimbingan,
saran dan masukan selama penyusunannya.
3) Dokter-dokter residen yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas bimbingan dan
saran-sarannya.
4) Rekan-rekan dokter muda yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas bantuannya
dalam penyusunan laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka dan laporan kasus ini masih jauh
dari sempurna, untuk itu saran dan kritik membangun, sangat penulis harapkan
demi perbaikan tugas serupa di waktu berikutnya. Semoga tugas ini juga dapat
memberi manfaat bagi pihak yang berkepentingan.

Denpasar, Desember 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................. i


KATA PENGANTAR ............................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 3
2.1 Definisi ................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi ........................................................................... 3
2.3 Etiologi .................................................................................... 4
2.4 Cara Penularan ....................................................................... 5
2.5 Patogenesis .............................................................................. 6
2.6 Manifestasi Klinis ................................................................... 9
2.7 Diagnosis ................................................................................. 10
2.8 Penatalaksanaan ...................................................................... 12
2.9 Komplikasi .............................................................................. 19
2.10 Prognosis .............................................................................. 20
BAB III LAPORAN KASUS ................................................................. 21
BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................... 27
BAB V SIMPULAN ............................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan hati yang
memberikan gejala klinis yang khas yaitu badan lemas, mudah lelah, nafsu makan
menurun, urin seperti teh pekat, serta mata dan seluruh tubuh menjadi kuning.1
Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk di
Indonesia, yang terdiri dari Hepatitis A, B, C, D, dan E. Hepatitis B tergolong salah
satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan serius di Indonesia maupun di
banyak negara lainnya. Hepatitis B ditularkan secara parenteral, dapat menjadi
kronis dan menimbulkan sirosis kemudian menjadi kanker hati.2
Infeksi Virus Hepatitis B (VHB) dapat memberikan gambaran klinis yang
bervariasi. Infeksi akut dapat terjadi tanpa disertai gejala sampai menimbulkan
gejala yang fatal yang disebut hepatitis fulminan. Virus Hepatitis B (VHB)
merupakan virus DNA yang termasuk dalam famili virus Hepadnaviridae. Virus
ini secara spesifik menyerang sel hati, namun sebagian kecil DNA hepatitis juga
dapat ditemukan di ginjal, pankreas, dan sel mononuklear. Penularan VHB sama
seperti penularan Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu melalui kontak
dengan darah atau cairan tubuh dari orang yang terinfeksi VHB. Namun VHB
berpotensi 50-100 kali lebih infeksius dibanding HIV. Cara penularan VHB bisa
melalui transfusi darah yang sering mendapat hemodialisis. Selain itu, VHB dapat
masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit/selaput lendir, kontak seksual dengan
penderita VHB, dan infeksi VHB dari seorang ibu pengidap VHB kepada bayinya
sebelum persalinan (infeksi perinatal) juga dapat terjadi.1
Virus Hepatitis B telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia, sekitar
240 juta orang di antaranya menjadi pengidap Hepatitis B kronik. Sebanyak 1,5 juta
penduduk dunia meninggal setiap tahunnya karena Hepatitis. Indonesia merupakan
negara dengan endemisitas tinggi Hepatitis B, terbesar kedua di negara South East
Asian Reigion (SEAR) setelah Myanmar. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas), studi dan uji saring darah donor PMI maka diperkirakan terdapat 28
juta penduduk Indonesia yang terinfeksi Hepatitis B dan C, 14 juta diantaranya
berpotensi untuk menjadi kronis, dan dari yang kronis tersebut 1,4 juta orang
berpotensi untuk menderita kanker hati. Besaran masalah tersebut tentunya akan

1
2

berdampak sangat besar terhadap masalah kesehatan masyarakat, produktifitas,


umur harapan hidup, dan dampak sosial ekonomi lainnya.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis
B, suatu anggota famili Hepadnaviridae yang dapat menyebabkan peradangan hati
akut atau kronis dan dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis
B akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis
bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada
gambaran patologi anatomi selama 6 bulan.3
Hepatitis yang disebabkan oleh virus hepatitis B pertama kali ditemukan oleh
Blumberh tahun 1965. Penelitian Blumberh menunjukkan adanya antibodi yang
dihasilkan terhadap senyawa poliprotein dari dua orang penderita hemopili yang
sering mendapatkan tranfusi darah, mereka memiliki antibodi yang dapat bereaksi
dengan antigen dari seorang aborigin Australia. Pada saat itu didapatkan bahwa
antigen tersebut ditemukan pada 20% penderita virus hepatitis. Antigen ini
sebelumnya dinamakan dengan Australia antigen yang sekarang dikenal dengan
nama HbsAG.4

2.2 Epidemiologi
Infeksi Virus Hepatitis B (VHB) adalah suatu masalah kesehatan utama di
dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Diperkirakan Virus Hepatitis
B telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia, sekitar 240 juta orang di
antaranya menjadi pengidap Hepatitis B kronik.2 Tujuh puluh lima persen dari
semua pembawa kronis hidup di Asia dan pesisir Pasifik Barat. Prevalensi pengidap
VHB tertinggi ada di Afrika dan Asia.5 Infeksi VHB merupakan penyebab utama
hepatitis akut, hepatitis kronis, sirosis, dan kanker hati di dunia. Center for Disease
Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa sejumlah 200.000 hingga
300.000 orang (terutama dewasa muda) terinfeksi oleh VHB setiap tahunnya.
Hanya 25% dari mereka yang mengalami ikterus, 10.000 kasus memerlukan
perawatan di rumah sakit, dan sekitar 1-2% meninggal karena penyakit fulminan.6

3
4

Prevalensi yang lebih tinggi didapatkan di negara berkembang, termasuk


Indonesia. Di Indonesia, angka pengidap hepatitis B pada populasi sehat
diperkirakan mencapai 4,0-20,3 %, dengan proporsi pengidap di luar Pulau Jawa
lebih tinggi daripada di Pulau Jawa. Secara genotip, virus hepatitits di Indonesia
kebanyakan merupakan virus dengan genotip B (66%), diikuti oleh C (26%), D
(7%), dan A (0,8%). Sirosis dan Karsinoma Hepatoselular (KHS) adalah dua
keluaran klinis hepatitis B kronis yang tidak diterapi dengan tepat. Insiden
kumulatif 5 tahun sirosis pada pasien dengan hepatitis B yang tidak diterapi
menunjukkan angka 8-20%, dengan 20% dari jumlah ini akan berkembang menjadi
sirosis dekompensata dalam 5 tahun berikutnya. Sementara insiden kumulatif KHS
pada pasien dengan hepatitis B yang sudah mengalami sirosis mencapai 21% pada
pemantauan 6 tahun. Persentase Hepatitis B tertinggi pada kelompok umur 45- 49
tahun (11,92%), umur >60 tahun (10.57%) dan umur 10-14 tahun (10,02%),
selanjutnya HBsAg positif pada kelompok laki-laki dan perempuan hampir sama
(9,7% dan 9,3%). Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 10 penduduk Indonesia telah
terinfeksi virus Hepatitis B.7

2.3 Etiologi
Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil
berasal dari genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter 40-42
nm. Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari. Bagian
luar dari virus ini adalah protein envelope lipoprotein, sedangkan bagian dalam
berupa nukleokapsid atau core.8 Genom VHB merupakan molekul DNA sirkular
untai-ganda parsial dengan 3200 nukleotida.5 Genom berbentuk sirkuler dan
memiliki empat Open Reading Frame (ORF) yang menyandi tujuh polipeptida.
Protein envelope yang dikenal sebagai selubung HBsAg seperti large HBs (LHBs),
medium HBs (MHBs), dan small HBs (SHBs) disebut gen S dan pre-S, yang
merupakan target utama respon imun host, dengan lokasi utama pada asam amino
100-160.8 HBsAg dapat mengandung satu dari sejumlah subtipe antigen spesifik,
disebut d atau y, w atau r. Subtipe HbsAg ini menyediakan penanda epidemiologik
tambahan.9
5

Gen C dan pre-C yang mengkode protein inti (HBcAg) dan HBe yang
diproses menjadi HBeAg, gen P yang mengkode enzim polimerase yang digunakan
untuk replikasi virus, dan terakhir gen X yang mengkode protein X (HBx), yang
memodulasi sinyal sel host secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi
ekspresi gen virus ataupun host, dan belakangan ini diketahui berkaitan dengan
terjadinya kanker hati.8

Gambar 2.1 Struktur virus Hepatitis B4

2.4 Cara Penularan


Cara utama penularan VHB adalah melalui parenteral dan menembus
membran mukosa, terutama berhubungan seksual.6 Penanda HBsAg telah
diidentifikasi pada hampir setiap cairan tubuh dari orang yang terinfeksi yaitu
saliva, air mata, cairan seminal, cairan serebrospinal, asites, dan air susu ibu.
Beberapa cairan tubuh ini (terutama semen dan saliva) telah diketahui infeksius.10
Jalur penularan infeksi VHB di Indonesia yang terbanyak adalah secara parenteral
yaitu secara vertikal (transmisi) maternal-neonatal atau horisontal (kontak antar
individu yang sangat erat dan lama, seksual, iatrogenik, penggunaan jarum suntik
bersama). Virus Hepatitis B dapat dideteksi pada semua sekret dan cairan tubuh
manusia, dengan konsentrasi tertinggi pada serum.11
6

2.5 Patogenesis
2.5.1 Replikasi Virus
Siklus hidup VHB dimulai dengan attachment atau menempelnya partikel
Dane pada hepatosit. Penempelan tersebut dapat terjadi dengan perantara protein
pre S1, protein pre S2, dan lain-lain. Penempelan VHB akan diikuti proses
penetrasi VHB kedalam hepatosit, kemudian ditranspor kedalam sitoplasma dan
kemudian terjadi pelepasan DNA kedalam nukleus (tahap 1 sampai 3 pada gambar
2.2). DNA VHB yang masuk ke dalam nukleus mula-mula berupa dua rantai DNA
yang tidak sama panjang (partly doublestranded). Kemudian akan terjadi proses
DNA repair berupa pemanjangan rantai DNA yang pendek (DNA (+) strand)
sehingga menjadi dua rantai DNA yang sama panjang (Fully double stranded) atau
covalently closed circle DNA (cccDNA) (tahap 4). Selanjutnya terjadi pregenom
RNA (RNA (+)) dan beberapa mRNA. Translasi pre genom RNA akan
menghasilkan protein core (HBcAg), HBeAg, dan enzim polymerase, sedangkan
translasi mRNA lainnya akan menghasilkan protein yang dibutuhkan (tahap 5-6).4
Selanjutnya terjadi proses encapsidation yaitu uptake pre-genom RNA
kedalam protein core (HBcAg), dilanjutkan dengan proses perakitan (assembly)
didalam sitoplasma. Proses maturasi genom dimulai dengan proses reversed
transcription pre-genom RNA. Dilanjutkan dengan proses maturasi dengan cara
sintesa DNA (+) strand (tahap 7). Proses envelopment partikel core yang telah
mengalami maturasi genom terjadi didalam endoplasmik retikulum. Disamping itu
disini juga terjadi sintesa pertikel VHB lainnya yaitu partikel tubular dan partikel
bentuk bulat yang masing-masing tidak mengandung partikel core dan genom
VHB. Selanjutnya melalui aparatus golgi disekresikan partikel-partikel Dane,
partikel bentuk bulat dan tubular dan juga HBeAg, dengan cara budding atau lisis
langsung kedalam sirkulasi darah.4
Beberapa penelitian melaporkan bahwa VHB bukan merupakan suatu virus
yang sitopatik. Kelainan sel hati yang terjadi akibat infeksi VHB disebabkan karena
reaksi imun tubuh terhadap sel hepatosit yang terinfeksi VHB dengan tujuan untuk
mengeliminir VHB tersebut. Pada kasus-kasus hepatitis B respon imun tersebut
berhasil mengeliminir sel-sel hepar yang terkena infeksi VHB, sehingga terjadi
gejala klinik yang diikuti dengan kesembuhan. Sedangkan pada sebagian penderita
7

respon imun tersebut tidak berhasil menghancurkan sel-sel hati yang terinfeksi
sehingga VHB tersebut tetap mengalami replikasi. Pada kasus hepatitis B kronik
respon imun tersebut ada tapi tidak sempurna sehingga hanya terjadi nekrosis pada
sel hati yang mengandung VHb dan masih tetap ada sel hati yang terinfeksi dapat
menjalar ke sel yang lain. Pada carrier yang sehat respon imun tersebut sama sekali
tidak efektif sehingga tidak ada nekrosis hati yang terinfeksi dan virus tetap
mengadakan replikasi tanpa adanya gejalan klinis.4

Gambar 2.2 Replikasi Virus4


2.5.2 Infeksi Hepatitis B Akut
Setelah virus masuk kedalam tubuh maka akan segera muncul alfa interferon
yang akan mengaktifkan peran sel Natural Killer (NK). Meningkatnya jumlah
interferon alfa ini akan menyebabkan keluhan demam serta rasa mual. Reaksi sel
radang seperti limfosit T helper CD4 muncul dan akan meningkat setelah
mengalami sensitisasi terhadap peptida nukleokapsid. Kerusakan sel helper yang
terinfeksi oleh VHB disebabkan karena adanya ekspresi antigen pada membran
hepatosit yang disertai dengan ekspresi molekul MCH kelas 1 yang kemudian
dikenal oleh sel T sitototoksik sehingga akhirnya terjadi lisis dari hepatosit
tersebut.4
Hasil pemeriksaan serologi penderita hepatitis B akut memperlihatkan bahwa
respon pertama yang timbul adalah terhadap antigen pre-S yang terjadi sekitar 30
8

hari setelah terjadinya kerusakan hati. Respon imum yang muncul kemudian adalah
terhadap HBcAg yang muncul 10 hari kemudian. Respon imun yang paling kuat
yaitu respon imun terhadap antigen S yang terjadi 10 hari sebelum keruskan sel
hati. Dalam hal ini jelas adanya perbedaan antara antigen viral yang diekspresikan
pada hepatosit yang terinfeksi antigen selubung (pre-S dan S) maupun antigen
nukleokapsid (HBcAg).4
Infeksi hepatitis akut ini dapat berkembang menjadi infeksi kronik. Dimana
setelah fase akut IgM anti-HBc berangsur-angsur menurun, petanda replikasi
seperti DNA VHB dan HbeAg tetap positif, sedangkan Anti-Hbe serta Anti-HBs
tetap negatif. Kadar SGPT yang tinggi menunjukkan hepatitis tetap aktif, transisi
dari hepatitis yang aktif menjadi kronik asimptomtik dapat terjadi langsung dari
fase akut dan dapat pula terjadi beberapa tahun kemudian. Ptanda replikasi dapat
menghilang setelah terjadi flare up dari gejala dan kelainan, seperti yang terlihat
dalam gambar yang ditandai dengan munculnya imunitas tubuh.4
2.5.3 Infeksi Hepatitis B Kronik
Bila seorang HbsAg positif lebih dari enam bulan maka individu tersebut
menderita infeksi virus hepatitis kronik, karena pada dasarnya pada hepatitis B akut
paling lama positif selama enam bulan. Faktor risiko terpenting untuk terjadinya
infeksi VHB menahun adalah umur penderita pada waktu terkena infeksi. Bila
terjadi pada waktu neonatus maka 90% bayi tersebut akan mengalami infeksi
kronik. Bila infeksi terjadi pada umur 1-5 tahun infeksi kronik sekitar 25-50% dan
semakin dewasa peluangnya semakin kecil. Secara klinik gejala penderita
mengalami keluhan lemah, mual, nafsu makan berkurang atau rasa tidak enak pada
perut kanan atas. Tetapi keluhan ini seringkali tidak jelas, sebagian besar dari
mereka bahkan tidak pernah merasa menderita hepatitis akut sebelumnya.4
Dalam hal natural history infeksi kronik ada tiga fase infeksi yaitu: fase
imunotolerance, fase immune clearance, dan fase residual VHB integration. Pada
fase imunotolerance replikasi virus masih tinggi, dapat dilihat pada tingginya titer
HbsAg, HBeAg yang positif dan DNA VHB dengan parameter biokimia yang
normal. Perubahan histologipun minimal sekalipun dalam bentuk hepatitis kronik
persisten. Pada fase immune clearance replikasi virus menurun, titer HbsAg rendah,
HbeAg masih positif dan Anti-Hbe bisa sudah positif atau masih negatif.
9

Pemeriksaan biokimia menunjukkan gejala hepatitis, sedangkan histologi


menunjukkan tanda-tanda hepatitis kronik aktif. Pada fase residual VHB
integration sudah tidak ada tanda-tanda replikasi VHB. HbsAg positif, titer rensah,
HbeAG negatif, Anti-Hbe positif, biokimia normal atau bila ada perubahan kadar
albumin rendah, dan histopatologi terjadi perubahan minimal atau sirosis. Bisa
didapatkan hepatoma.4

2.6 Manifestasi Klinis


2.6.1 Hepatitis B Akut
Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung ringan.
Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya
riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya
menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat.11
Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu:
1. Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus. Fase
inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari.
2. Fase prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus.
Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan malaise umum, mialgia, artalgia,
mudah lelah, gejala saluran napas atas, dan anoreksia. Diare atau konstipasi dapat
terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau
epigastrum, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan
kolestitis.
3. Fase ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan
munculnya gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi. Setelah timbul
ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi
perbaikan klinis yang nyata.

4. Fase konvalesen (penyembuhan)


10

Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan
abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan
kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih
sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminan.12
2.6.2 Hepatitis B Kronik
Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut lebih
dari enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B
kronik dibagi menjadi tiga fase penting yaitu : 12
1. Fase Imunotoleransi
Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus tinggi dalam
darah, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Virus Hepatitis B berada
dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi.
2. Fase Imunoaktif (Clearance)
Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat terjadinya replikasi virus yang
berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan
konsentrasi ALT. Fase clearance menandakan pasien sudah mulai kehilangan
toleransi imun terhadap VHB.
3. Fase Inaktif Carrier
Pada umumnya sangat sulit membedakan antara pasien yang ada dalam
imunotoleransi dengan fase inaktif tanpa pemeriksaan HBV DNA. Dengan
pemeriksaan HBV DNA, fase imunotoleransi ditandai dengan masih tingginya
kadar HBV DNA, sedang fase inaktif ditandai dengan HBV DNA yang negatif atau
dalam kadar yang rendah. Pada fase inaktif, HBsAg bisa negatif tapi kebanyakan
masih positif. HBeAg yang dulunya positif menjadi negatif dan anti HBe menjadi
positif. Pada fase inaktif, HBeAg yang tadinya positif menjadi negatif dan
digantikan dengan anti HBe yang positif.
4. Fase Reaktif
Fase reaktivasi terjadi setelah fase inaktif. Reaktivasi adalah timbulnya tanda-tanda
aktivitas penyakit hati dengan manifestasi seperti hepatitis B akut pada penderita
infeksi hepatitis B kronik yang sebelumnya secara klinik sudah tenang dan telah
melewati fase inaktif yang antara lain ditunjukkan dengan negatifnya HBeAg dan
positifnya anti HBe. Fase reaktivasi ini juga disebut fase immune escape. Pada
11

penderita infeksi hepatitis B kronik yang masih ada dalam fase imunoclearance juga
sering terjadi gejala-gejala yang mirip hepatitis akut. Untuk membedakan keadaan
itu dengan reaktivasi yang timbul pada inaktif carrier, keadaan ini dinamakan
“flare”. Beberapa ahli menyebut kedua keadaaan tersebut dengan nama yang sama
yaitu eksaserbasi akut.

2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu digali riwayat transmisi
seperti pernah transfusi, seks bebas, riwayat sakit kuning sebelumnya. Pemeriksaan
fisik didapatkan hepatomegali. Pemeriksaan penunjang terdiri dari pemeriksaan
laboratorium, USG abdomen dan Biopsi hepar. Pemeriksaan laboratorium pada
VHB terdiri dari pemeriksaan biokimia, serologis, dan molekuler. Pemeriksaan
USG abdomen tampak gambaran hepatitis kronis, selanjutnya pada biopsi hepar
dapat menunjukkan gambaran peradangan dan fibrosis hati.3

a. Infeksi hepatitis B akut : anamnesis, pemeriksaan fisik, dan temuan serologis


HBsAg (+) dan IgM anti-HBc (+). 13
b. Kriteria hepatitis B kronis:13
- Hepatitis B Kronik
1. HBsAg seropositif > 6 bulan
2. DNA VHB serum >20.000 IU/mL (nilai yang lebih rendah 2000-
20.000 IU/mL ditemukan pada HBeAg negatif)
3. Peningkatan ALT yang presisten maupun intermiten
4. Biopsi hati yang menunjukkan hepatitis kronik dengan derajat
nekroinflamasi sedang sampai berat
- Pengidap Inaktif
1. HBsAg seropositif > 6 bulan
2. HBeAg (-), anti HBe (+)
3. ALT serum dalam batas normal
4. DNA VHB <2000-20000 IU/mL
5. Biopsi hati yang tidak menunjukkan inflamasi yang dominan
- Resolved Hepatitis Infection
12

1. Riwayat infeksi Hepatitis B, anti-HBc dalam darah


2. HBsAg (-)
3. DNA VHB serum yang tidak terdeteksi
4. ALT serum dalam batas normal

Penanda Serologis Hepatitis B13


HBsAg Anti Hbs Anti- HBeAg Anti- DNA
HBc HBe VHB
Hepatitis Akut + - IgM + - +
Periode Jendela - - IgM +/- +/- +
Riwayat Hepatitis - + IgG - +/- -
B (Sembuh)
Imunisasi - + - - - -
Hepatitis Kronis + - IgG + - +
HBeAg (+)
Hepatitis Kronis - - IgG - + +/-
HBeAg (-)

2.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengobatan Hepatitis B kronik adalah untuk
mengeliminasi atau menekan secara permanen VHB. Pengobatan dapat
mengurangi patogenitas dan infektivitas akhirnya menghentikan atau mengurangi
inflamasi hati, mencegah terjadinya dekompensasi hati, menghilangkan DNA VHB
(dengan serokonvers HBeAg ke anti-Hbe pada pasien HBeAg positif) dan
normalisasi ALT pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir pengobatan. Tujuan
jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis flare yang dapat
menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis dan/atau HCC
(Hepato Cellular Carcinoma), dan pada akhirnya memperpanjang usia. 13,14
Indikasi terapi pada infeksi Hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi
dari empat kriteria, antara lain: 14
(1) nilai DNA VHB serum,
(2) status HBeAg,
13

(3) nilai ALT dan


(4) gambaran histologis hati.
1. Nilai DNA VHB merupakan salah satu indikator mortalitas dan morbiditas yang
paling kuat untuk hepatitis B. Studi REVEAL yang melibatkan lebih dari 3.000
responden di Taiwan menyatakan bahwa kadar DNA VHB basal merupakan
prediktor sirosis dan KHS yang paling kuat baik pada pasien dengan HBeAg
positif maupun negatif. Pasien dengan kadar DNA VHB antara 300-1000
kopi/mL memiliki risiko relatif 1,4 kali lebih tinggi untuk terjadinya sirosis pada
11,4 tahun bila dibandingkan dengan pasien dengan DNA VHB tak terdeteksi.

Lebih jauh lagi, pasien dengan DNA VHB antara 103-104 kopi/ mL memiliki

risiko relatif 2,4, pasien dengan DNA VHB antara 104-105 kopi/ mL memiliki

risiko relatif 5,4, dan pasien dengan DNA VHB > 105 kopi/mL memiliki risiko

relatif 6,7. Pasien yang memiliki kadar DNA VHB > 104 kopi/ mL juga memiliki
risiko KHS 3-15 kali lipat lebih tinggi daripada mereka yang memiliki kadar
4
DNA VHB <10 kopi/mL. Merujuk pada uraian tersebut, maka level DNA VHB
dapat dijadikan sebagai indikator memulai terapi dan indikator respon terapi.
2. Status HBeAg pasien telah diketahui memiliki peran penting dalam prognosis
pasien dengan hepatitis B kronik. Pasien dengan HBeAg positif diketahui
memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. Namun, pada pasien
dengan HBeAg negatif, respon terapi jangka panjang seringkali lebih sulit
diprediksi dan relaps lebih sering dijumpai. Beberapa panduan yang ada telah
mencoba membedakan indikasi terapi hepatitis B berdasarkan status HBeAg,
dengan pasien HBeAg negatif diindikasikaan memulai terapi pada kadar DNA
VHB yang lebih rendah.
3. Kadar ALT serum telah lama dikenal sebagai penanda kerusakan hati, namun
kadar ALT yang rendah juga menunjukkan bahwa pasien berada pada fase
immune tolerant dan akan mengalami penurunan respon terapi.
4. Adanya tingkat kerusakan histologis yang tinggi juga merupakan prediktor
respon yang baik pada pasien dengan hepatitis B.
Pada pasien dengan HBeAg positif, terapi dapat dimulai pada DNA VHB diatas 2 x

104 IU/mL dengan ALT 2-5x batas atas normal yang menetap selama 3-6 bulan atau
14

ALT serum > 5x batas atas normal, atau dengan gambaran histologis fibrosis derajat
sedang sampai berat. Sedangkan pada pasien HBeAg negatif, terapi dimulai pada

pasien dengan DNA VHB lebih dari 2 x 103 IU/mL dan kenaikan ALT > 2x batas
atas normal yang menetap selama 3-6 bulan.14

Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B dengan HBeAg positif 14


15

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B dengan HBeAg negatif 14

Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B yaitu: 12,14
1. Kelompok Imunodulasi
a. Interferon
Interferon tidak memiliki khasiat anti virus langsung tetapi merangsang
terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat
antivirus. Interferon merupakan suatu pilihan untuk pasien hepatitis B
kronis nonsirotik dengan HBeAg positif dengan aktivitas penyakit ringan
sampai sedang. Dosis interferon yang dianjurkan untuk hepatitis B
kronik dengan HBeAg positif adalah 5-10 MU 3x seminggu selama 16-
16

24 minggu. Penelitian menunjukkan bahwa terapi interferon untuk


hepatitis B kronik HBeAg negatif sebaiknya diberikan sedikitnya 12
bulan.
b. Timosin alfa 1
Timosin alfa 1 merangsang fungsi sel limfosit dapat menurunkan
replikasi VHB dan menurunkan konsentrasi atau menghilangkan DNA
VHB. Kombinasi dengan interferon dapat meningkatkan efektivitas
interferon.
2. Terapi Antivirus
a. Lamivudin
Analog nukleos(t)ida bekerja dengan menghambat tempat berikatan
polimerase virus, berkompetisi dengan nukleosida atau nukleotida, dan
menterminasi pemanjangan rantai DNA. Lamivudin diminum secara oral
dengan dosis optimal 100 mg/hari. Pemberian satu kali sehari
dimungkinkan mengingat waktu paruhnya yang mencapai 17-19 jam di
dalam sel yang terinfeksi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa
lamivudin adalah pilihan terapi yang murah, aman, dan cukup efektif
baik untuk pasien hepatitis B dengan HBeAg positif maupun negatif.
Namun tingginya angka resistensi dan rendahnya efektivitas bila
dibandingkan dengan terapi lain membuat obat ini mulai ditinggalkan.
Lamivudin dapat dipertimbangkan untuk digunakan pada:

1. Pasien naif dengan DNA VHB <2 x 108 IU/mL, status HBeAg positif

ALT >2x batas atas normal. 


2. Lamivudin dapat diteruskan bila pada minggu ke-4 pasien mencapai

DNA VHB < 2 x 103 IU/mL, serta pada minggu ke-24 mencapai DNA

VHB <2 x 102 IU/mL. 


b. Adefovir Dipivoxil
Adefovir dipivoxil (ADV) adalah analog adenosine monophosphate
yang bekerja dengan berkompetisi dengan nukleotida cAMP untuk
berikatan dengan DNA virus dan menghambat polymerase dan reverse
transcriptase sehingga memutus rantai DNA VHB. Penelitian
17

menunjukkan bahwa pemakaian adefovir dengan dosis 10 mg atau 30 mg


tiap hari selama 48 minggu. Bila dibandingkan dengan lamivudin,
adefovir memang memiliki efektivitas yang sedikit lebih rendah, namun
obat ini memiliki profil resistensi yang lebih baik.
c. Entecavir
Obat ini lebih poten daripada lamivudin maupun adefovir dan masih
efektif pada pasien dengan resistensi lamivudin. Entecavir diberikan
secara oral dengan dosis 0.5 mg/ hari untuk pasien tidak resistensi dan 1
mg/hari untuk pasien yang mengalami resistensi lamivudin.
d. Telbivudin
Telbivudin (LdT) adalah analog L-nukleosida thymidine yang efektif
melawan replikasi VHB. Obat ini diberikan secara oral dengan dosis
optimal 600 mg/hari. Sebaliknya, telbivudin tidak boleh diberikan pada
pasien dengan karakteristik pasien yang sudah resisten terhadap
lamivudin, telbivudin, atau entecavir.
e. Tenofovir
Tenofovir disoproxil fumarate (TDF) adalah prekursor tenofovir, sebuah
analog nukleotida yang efektif untuk hepadanavirus dan retrovirus. Obat
ini awalnya digunakan sebagai terapi HIV, namun penelitian-penelitian
menunjukkan efektivitasnya sangat baik untuk mengatasi hepatitis B.
Tenofovir diberikan secara oral pada dosis 300 mg/hari. Tenovofir
memiliki profil resistensi yang cukup baik sehingga obat ini efektif
digunakan pada pasien yang sudah mengalami resistensi dengan terapi
lain.

Pengobatan pada kelompok khusus dengan infeksi hepatitis B, salah


satunya adalah pada kelompok pasien yang sedang mnejalani terapi imunosupresi
atau kemoterapi. Pada pasien dengan HBsAg yang positif dan HBsAg yang negatif,
anti-HBc positif yang menerima kemoterapi atau terapi imunosupresi, risiko
reaktivasi VHB akan meningkat, terutama jika rituximab diberikan secara tunggal
atau dikombinasikan dengan steroid. Risiko reaktivasi VHB dapat diklasifikasikan
menjadi tinggi (>10%), sedang (1-10%), rendah (<1%). Sehingga seluruh pasien
18

yang akan menjalani kemoterapi dan terapi imunosupresi harus dilakukan skrining
HBsAg, anti-HBs dan anti-HBc sebelum dilakukannya terapi.15
Vaksinasi pada pasien dengan seronegative VHB sangat direkomendasikan.
Dosis yang lebih tinggi atau vaksin yang diperkuat mungkin diperlukan untuk
mencapai respon anti-HBs pada pasien imunokompromais.15
Semua pasien yang memiliki HBsAg yang positif yang akan menjalani
kemoterapi atau terapi imunosupresi harus segera dirujuk ke spesialis untuk
penilaian dan diagnosis lebih lanjut mengenai fase infeksi VHB. Semua pasien ini
harus memulai nucleotide analogues (NA) yang poten sebagai terapi atau
profilaksis.15
Pasien dengan hepatitis B kronis harus diterapi dengan ETV, TDF atau
tenofovir alafenamide (TAF), sama halnya dengan pasien imunokompeten. Cara
monitoring dan penghentian NA sama dengan pada pasien imunokompeten.15
Pemberian profilaksis lamivudine (LAM) menunjukkan penurunan risiko
reaktivasi VHB dan berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas, namun risiko
residual untuk reaktivasi VHB tetap ada pada sekitar 10% pasien VHB kronis
dengan viremia yang rendah (HBV DNA<2,000 IU/ml) dan dalam proporsi yang
lebih tinggi pada mereka dengan tingkat viremia yang lebih tinggi. Penelitian
terbaru membuktikan profilaksis ETV, TDF, TAF dapat direkomendasikan untuk
pasien ini. Profilaksis harus dilanjutkan selama mminimal 12 bulan (18 bulan untuk
rituximab-based regimens) setelah terapi imunosupresi dan dihentikan hanya jika
penyakit dasar mengalami remisi. Tes fungsi hepar dan HBV DNA harus dilakukan
setiap 3 hingga 6 bulan selama profilaksis dan untuk minimal 12 bulan setelah
penghentian NA sebagai proporsi yang besar untuk perkembangan reaktivasi VHB
setelah penghentian NA.15
Pada pasien dengan HBsAg yang negatif, dan anti-HBc yang positif, risiko
reaktivasi VHB sangat bervariasi, tergantung profil virologis, penyakit dasar dan
jenis dan durasi regimen imunosupresi. Pasien seperti ini dapat dites serum HBV
DNA sebelum imunosupresi. Jika viremia, maka harus diterapi sebagaimana pasien
HBsAg positif.15
Pada kelompok risiko tinggi (>10%), termasuk pasien anti-HBc positif yang
perlu diterapi dengan rituximab pada situasi hematoonkologi atau transplan stem
19

cell, profilaksis antivirus direkomendasikan. Profilaksis harus dilanjutkan selama


setidaknya 18 bulan setelah penghentian imunosupresi dan monitor harus
dilanjutkan sampai minimal 12 bulan setelah profilaksis dihentikan. LAM mungkin
dapat digunakan secara aman, walau beberapa kasus eksaserbasi VHB karena
resistensi LAM telah dilaporkan. Profilaksis dengan ETV atau TDF atau TAF dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan HBsAg negatif, anti-HBc positif yang
menerima regimen imunosupresi yang tinggi dalam jangka panjang.15
Pada pasien dengan HBsAg negatif, anti-HBc positif dengan risiko
reaktivasi VHB sedang (<10%) atau rendah (<1%), terapi pre-emptive, bukan
profilaksis, direkomendasikan. Kejadian virologi yang paling utama pada pasien
dengan anti-HBc positif adalah kemunculan HBsAg, yang secara konstan berkaitan
dengan hepatitis flare; dengan mengkonversikan deteksi HBV DNA menyebabkan
seroreversion dan hepatitis hanya dalam 50% kasus. Terapi pre-emptive tergantung
pada monitoring HBsAg dan/atau HBV DNA setiap 1–3 bulan selama dan setelah
imunosupresi, dan memulai terapi ETV, TDF atau TAF pada kasus yang terdeteksi
HBV DNA atau seroreversi HBsAg. Seroreversi HBsAg dapat menyebabkan
hepatitis akut berat, bahkan fatal, NA harus dmulai sesegera mungkin, berapapun
jumlah ALT.15

2.8 Komplikasi
Hepatitis B kronik merupakan penyulit jangka lama pada hepatitis B akut.
Penyakit ini terjadi pada sejumlah kecil penderita hepatitis B akut. Kebanyakan
penderita hepatitis B kronik tidak pernah mengalami gejala hepatitis B akut
yang jelas. Hepatitis fulminant merupakan penyulit yang paling ditakuti karena
sebagian besar berlangsung fatal. Lima puluh persen kasus hepatitis virus
fulminant adalah dari tipe B dan banyak diantara kasus hepatitis B akut
fulminant terjadi akibat koinfeksi dengan hepatitis D atau hepatiis C. Angka
kematian lebih dari 80% tetapi penderita hepatitis fulminant yang berhasil
hidup biasanya mengalami kesembuhan biokimiawi atau histologik. Terapi
pilihan untuk hepatitis B fulminant adalah transplantasi hati.16 Sirosis hati
merupakan kondisi dimana jaringan hati tergantikan oleh jaringan parut yang
terjadi bertpahap. Jaringan parut ini semakin lama akan mengubah struktur
20

normal dari hati dan regenerasi sel-sel hati. Maka sel-sel hati akan mengalami
kerusakan yang menyebabkan fungsi hati mengalami penurunan bahkan
kehilangan fungsinya.3

2.9 Prognosis
Insiden kumulatif 5 tahun dari saat terdiagnosis hepatitis B kronis menjadi
sirosis hati ialah 8-20%, dari insiden kumulatif 5 tahun sirosis kompensata
sebanyak 20% menjadi sirosis dekompensata pada hepatitis B kronis yang
tidak diobati. Pada kondisi sirosis dekompensata tersebut, angka survival
dalam 5 tahun hanya berkisar 14-35%.13
BAB III
RESPONSI KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : NPAWP
Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jalan Nusa Kambangan Pengiasan Denpasar
Tanggal MRS : 24 Oktober 2017
Tanggal Pemeriksaan : 3 November 2017

II. ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA
Lemas

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang ke UGD RSUP Sanglah pada tanggal 24 Oktober 2017 dengan
keluhan utama lemas. Keluhan lemas dirasakan sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan lemah dirasakan terus menerus dan memberat
sekitar 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengatakan keluhan
dirasakan membaik ketika pasien beristirahat dan semakin memberat ketika
pasien beraktivitas. Pasien juga mengatakan demam sumer-sumer yang
hilang timbul sejak sekitar 2-3 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan lain
seperti perubahan kulit menjadi kuning, penurunan berat badan drastis tanpa
sebab yang jelas, penurunan nafsu makan, mual, muntah, dan batuk
disangkal.

21
22

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU DAN PENGOBATAN


3 bulan yang lalu saat kerja di Jepang pasien merasa ada benjolan di leher
sebelah kirinya. Benjolan dirasakan semakin membesar. Kemudian pasien
memeriksakan dirinya ke rumah sakit, dan didiagnosis dengan kanker darah.
Beberapa minggu kemudian pasien memutuskan untuk kembali ke Bali dan
dirawat di RSUP Sanglah. Pasien juga didiagnosis hepatitis B kronis 3 bulan
yang lalu. Pasien mendapatkan transfusi darah sebanyak 8 kantong selama
dirawat di RSUP Sanglah. Pasien juga telah menjalani kemoterapi sebanyak
3 kali dengan vincristine dan methotexate.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Riwayat penyakit yang sama dengan pasien dalam keluarga disangkal.
Riwayat penyakit diabetes mellitus, penyakit hati, penyakit jantung, dan
penyakit ginjal dalam keluarga disangkal.

RIWAYAT PRIBADI DAN SOSIAL


Pasien merupakan seorang perawat di salah satu panti jompo di jepang.
Semenjak sakit pasien sudah tidak bekerja. Riwayat mengkonsumsi rokok,
alkohol, dan memakai jarum secara bergantian disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK ( 03/11/2017)


Status Present
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS (E4V5M6)
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu aksila : 36 °C
VAS : 0/10
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 155 cm
23

BMI : 20,8 kg/m2

Status General
Mata : anemis -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ Isokor,
edema palpebra -/-
THT : tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
Mulut : lidah : plak (-), hiperemi (-), papil lidah atrofi (-)
bibir : pucat (-)
Leher : JVP PR + 0 cm H2O, pembesaran kelenjar (-)
Thorax
Cor
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Pinggang jantung PSL kiri, ICS II
Batas kanan jantung PSL kanan, ICS IV
Batas kiri jantung ICS V MCL kiri, ICS V
Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dada simetris statis dinamis
Palpasi : Vokal fremitus normal/normal
Perkusi : sonor/sonor
sonor/sonor
sonor/sonor
Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronki-/-, Wheezing -/-
+/+ -/- -/-
+/+ -/- -/-
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), ascites (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar : liver span 8 cm
Lien : traube space timpani
Nyeri tekan (-)
24

Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Hangat + + Edema - -

+ + - -

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Lengkap (25/10/2017)

Parameter Nilai Unit Remarks Nilai Normal


WBC WBC 5,18 103/μL 4,1 – 11,0

Ne% 3,88 % 47 – 80
Ly% 20,91 % 13 – 40
Mo% 5,27 % 2,0 – 11,0
Eo% 0,20 % 0,0 – 5,0
Ba% 0,40 % 0,0 – 2,0
Ne# 3,88 103/μL 2,50 – 7,50
Ly# 1,08 103/μL 1,00 – 4,00
Mo# 0,20 103/μL 0,10 – 1,20
Eo# 0,00 103/μL 0,00 – 0,50
Ba# 0,02 103/μL 0,00 – 0,10
RBC 2,93 106/μL Rendah 4,0-5,2
MCH 29,91 Pg 26,0-34,0
MCHC 34,54 g/dL 31-36
MCV 86,61 fL 80,0-100,0
HGB 8,77 g/dl Rendah 12,00 – 16,00
HCT 25,40 % Rendah 36,00 – 46,00
PLT 213,30 103/μL 140 – 440

Kimia Klinik (02/11/2017)


Parameter Hasil Unit Remarks Nilai Normal
AST/SGOT 40,1 U/L Tinggi 11,00 – 27,00
ALT/SGPT 216,90 U/L Tinggi 11,00 – 34,00
25

Albumin 3,3 g/dL 3,40 - 4,80


BUN 16 mg/dL 8,00 – 23,00
Creatinine 0,59 mg/dL 0,50 – 0,90

Faal Hemostasis (25/10/2017)


Parameter Hasil Unit Remarks Nilai Normal
PPT 13,3 Detik 10,8 – 14,4
INR 1,07 0,9 - 1,1

Serologi (Juli 2017)


Parameter Hasil Nilai Satuan Keterangan
Rujukan
AntiHbs 15
AntiHbc Reaktif Non reaktif

Serologi (Agustus 2017)


Parameter Hasil Nilai Satuan Keterangan
Rujukan
HbeAg Non Reaktif Non Reaktif Metode: CMIA
Hbv-DNA Tidak Tidak Metode: CMIA
terdeteksi terdeteksi

V. DIAGNOSIS KERJA
1. Acute Limfoblastik Leukemia (ALL)
2. Hepatitis B Kronis
- Observasi transminitis ec susp chemotherapy related dd/ cancer related

VI. PENATALAKSANAAN
Terapi
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Prednisolon 20 mg tiap 8 jam oral
- Tenofovir 300mg tiap 24 jam oral
26

- Parasetamol 500 mg tiap 8 jam

Planning Diagnostik
- USG Abdomen
- LFT lengkap

Monitoring
- Vital sign
- Keluhan
- SGOT dan SGPT setiap 3 hari
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis Hepatitis B kronik dapat ditegakkan berdasarkan pada anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis pasien
mengeluh badan lemas yang dirasakan pada seluruh tubuh terutama memberat saat
beraktivitas. Pasien juga mengeluh demam sumer-sumer yang hilang timbul. Pasien
memiliki riwayat hepatitis B kronik. Keluhan yang dialami pasien tersebut sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa umumnya pada hepatitis B tanpa keluhan,
perlu digali riwayat transmisi seperti pernah transfusi, seks bebas, riwayat sakit
kuning sebelumnya.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien tidak didapatkan hepatomegali
yang tidak sesuai dengan tanda yang ditemukan pada pemeriksaan pasien dengan
hepatitis B yaitu pada pemeriksaan abdomen didapatkan hepatomegali.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien adalah pemeriksaan
darah lengkap, kimia klinik, faal hemostatis, dan serologi. Hal ini sesuai dengan
teori yang menyatakan bahwa pasien yang mengalami hepatitis B dilakukan
pemeriksaan laboratorium yang terdiri dari pemeriksaan biokimia, serologis, dan
molekuler.
Hasil pemeriksaan serologi pada pasien ini didapatkan AntiHbs 15, AntiHbc
(+), HbeAg (-), HBV-DNA (-). Hasil pemeriksaan kimia klinik didapatkan SGOT
dan SGPT dengan nilai yang tinggi masing-masing 40,1 U/L dan 216,90 U/L. Hasil
pemeriksaan tersebut sesuai dengan teori kriteria diagnosis untuk hepatits B kronik
yaitu: HBsAg seropositif > 6 bulan, DNA VHB serum >20.000 IU/mL (nilai yang
lebih rendah 2000-20.000 IU/mL ditemukan pada HBeAg negatif) , Peningkatan
ALT yang presisten maupun intermiten, Biopsi hati yang menunjukkan hepatitis
kronik dengan derajat nekroinflamasi sedang sampai berat
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien ini
didiagnosis dengan hepatitis B Kronik

Indikasi terapi pada infeksi Hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi


dari empat kriteria yaitu; nilai HBV DNA serum, status HBeAg, nilai ALT dan

27
28

gambaran histologis hati. Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis
B yaitu kelompok Imunodulasi yaitu Interferon dan Timosin alfa 1. Interferon
merupakan suatu pilihan untuk pasien hepatitis B kronis nonsirotik dengan HBeAg
positif dengan aktivitas penyakit ringan sampai sedang. Timosin alfa 1 merangsang
fungsi sel limfosit dapat menurunkan replikasi VHB dan menurunkan konsentrasi
atau menghilangkan HBV DNA. Terapi Antivirus yaitu Lamivudin, Adefovir
Dipivoxil, Entecavir, Telbivudin, Tenofovir. Pada pasien ini terapi yang dipilih
adalah Tenofovir karena memiliki profil resistensi yang cukup baik sehingga obat
ini efektif digunakan pada pasien ini.
BAB V
SIMPULAN

Diagnosis hepatitis B kronis dengan akut leukemia limfoblastik dapat


ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Gejala hepatitis B kronis terdiri dari 3 fase yaitu fase
imunotoleransi, fase imunoaktif (clearance), dan fase residual. Pemeriksaan
fisik pasien dengan hepatitis B kronis yaitu tidak menunjukkan gejala yang
khas, kecuali yang dari permulaan menderita hepatitis yang belum sembuh.
Terdapat riwayat ikterus ringan, hepatomegali lien tidak teraba. Gejala
peningkatan tekanan portal. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien adalah Lab. rutin (DL, UL, FL, faal hemostasis), protein elektroforesis,
cholinesterase, penanda virus Hepatitis B (HBsAg, HBeAg dan anti HBe, HBV
DNA), USG hati, peritoneoskopi dengan biopsi, biopsi hati. Penatalaksanaan
terhadap hepatitis B kronis pada akut leukemia limfoblastik yaitu
imunomodulator dan antivirus. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang pasien NPAWP didiagnosis dengan hepatitis B kronis
dengan akut leukemia limfoblastik. Terapi yang diberikan yaitu Tenofovir
karena memiliki profil resistensi yang cukup baik sehingga obat ini efektif
digunakan pada pasien ini.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Amtarina R, Arfianti, Zainal A, Chandra F. Faktor risiko hepatitis B pada


tenaga kesehatan kota pekanbaru. Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
2007.
2. Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan analisis hepatitis. Jakarta: Badan
Litbangkes. 2014.
3. Mustofa S, Kurniawaty E. Manajemen gangguan saluran cerna: Panduan
bagi dokter umum. Bandar Lampung: Aura Printing & Publishing. 2013.
4. Pasaribu DMR. Patogenesis Virus Hapatitis B. Fakultas Kedokteran
Kristen Krida Wacana. 2009.
5. Kumar M, Singh T, Sinha S. Chronic hepatitis B virus infection and
pregnancy. Journal Of Clinical And Experimental Hepatology. 2012; 2(4):
366-381.
6. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi ke-6. Jakarta: EGC. 2012: hlm 472-500.
7. Kementerian Kesehatan. Pedoman pengendalian hepatitis virus. Jakarta:
Direktorat Jenderal PP dan PL. 2012.
8. Hardjoeno UL. Kapita selekta hepatitis virus dan interpretasi hasil
laboratorium. Makassar: Cahya Dinan Rucitra: hlm 5-14.
9. Asdie AH, Wiyono P, Rahardjo P, Triwibowo, Marcham SN, Danawati W.
Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi ke-13. Jakarta: EGC.
2012: hlm 1638-63.
10. Thedja MD. Genetic diversity of hepatitis B virus in Indonesia:
Epidemiological and clinical significance. Jakarta: DIC creative. 2012.
11. Juffrie M, Soenarto Ssy, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS. Buku
ajar gastroenterologi-hepatologi. Jakarta: badan Penerbit IDAI. 2012.
12. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata S, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2010.
13. Tanto, Chris, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
2014.

30
31

14. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI). Konsensus nasional


penatalaksanaan hepatitis B di Indonesia. Jakarta: PPHI. 2012.
15. European Association for The Study of the Liver. EASL 2017 Clinical
Practice Guidelines on the management of hepatitis B virus infection.
Journal of Hepatology. 2017;67(2):370-398.
16. Soewignjo S, Gunawan S. Hepatitis virus B, edisi ke-2. Jakarta:ECG. 2008.

Anda mungkin juga menyukai