Anda di halaman 1dari 39

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya

gejala-gejala kejang yang datang dalam serangan-serangan, berulang, yang

disebabkan oleh muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak yang bersifat

reversibel.1,2 Berdasarkan katanya, kata Epilepsi berasal dari bahasa

Yunani, Epi berarti atas, dan lepsia berasal dari kata lambenin yang berarti

menyerang. Maka epilepsi berarti suatu serangan dari atas (otak). Epilepsi

adalah suatu sindrom yang dapat ditimbulkan oleh bermacam-macam

penyakit dan epilepsi merupakan kondisi neurologis yang paling sering

ditemukan pada populasi obstetrik, sebesar 0,5% wanita hamil menderita

epilepsi.3,4

Sekitar lebih dari 1 juta wanita di Amerika yang menderita epilepsi

termasuk dalam usia produktif, dan dari wanita yang menderita epilepsi

ini, melahirkan kurang lebih 20.000 bayi setiap tahun. Prevalensi epilepsi

di Indonesia sendiri berkisar antara 0,5 – 4% dengan rata – rata 8,2 kasus

per 1000 penduduk. Prevalensi epilepsi di Indonesia sendiri diperkirakan

antara 1,1 – 4,4 juta penderita epilepsi, sedangkan pada wanita hamil

sendiri ditemukan 0,3 – 0,5% penderita epilepsi.2,5,6

Epilepsi merupakan salah satu penyakit yang dapat menyebabkan

risiko selama kehamilan, persalinan maupun setelah melahirkan, sehingga

pasien epilepsi yang sedang hamil membutuhkan pengawasan yang lebih


2

ketat untuk mengontrol epilepsi selama masa kehamilan dan juga selama

masa nifas. Namun, terapi epilepsi dapat memberikan dampak buruk bagi

janin dan bayi, seperti kematian janin dan kematian perinatal, malformasi

dan anomali kongenital, perdarahan neonatal, berat badan lahir rendah,

keterlambatan perkembangan, hingga epilepsi pada masa kanak-kanak.

Setiap tahun, sekitar 40.000 bayi di seluruh dunia terpapar dengan obat

anti epilepsi (OAE) di dalam kandungan, dan diperkirakan 1.500 – 2.000

dari bayi tersebut mengalami cacat lahir akibat dampak dari OAE.7

Berdasarkan hal tersebut, ibu hamil dengan epilepsi dihadapkan

pada masalah yang unik, dikarenakan penghentian OAE secara total tidak

disarankan, namun OAE juga dapat menyebabkan efek teratogenik yang

dapat membahayakan janin dan balita, sehingga ibu hamil dengan riwayat

epilepsi membutuhkan penanganan yang baik dan komprehensif. Selain

itu, dibutuhkan penanganan secara terpadu antara ahli kebidanan dan ahli

saraf, agar penderita dapat bebas dari serangan epileptik selama masa

kehamilannya, serta ahli anak untuk memantau adanya gangguan

perkembangan dan kelainan kongenital.8


3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epilepsi

2.1.1 Definisi

Epilepsi didefiniskan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan

epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi.

Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan gejala minimal terdapat

2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks (jarak antar bangkitan >24

jam), 1 bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks (berulang 10 thn

kedepan), dan sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.1

2.1.2 Etiologi

Kejang terjadi karena sejumlah saraf kortikal mencetuskan lepas muatan

listrik secara abnormal. Apapun yang mengganggu homeostasis normal dan

stabilitas saraf, dapat memicu hipereksibilitas dan kejang. Ada ribuan kondisi

medis yang dapat menyebabkan epilepsi, dari adanya mutasi genetik hingga luka

trauma pada otak. Etiologi kejang perlu diketahui untuk menentukan jenis terapi

yang tepat bagi pasien.9,10

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu:

1. Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik

Epilepsi primer tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga

terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel


4

saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Dalam jenis ini, tidak ada

kelainan anatomik seperti trauma maupun neoplasma yang menimbulkan

kejang, maka sindrom ini disebut epilepsi idiopatik atau primer. Kejang

dapat ditimbulkan karena abnormalitas susunan sistem saraf pusat. Lebih

kurang 65% dari seluruh kasus epilepsi tidak diketahui faktor

penyebabnya. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi

idiopatik. Insidensi epilepsi idiopatik lebih tinggi pada anak-anak. Diduga

bahwa serangan terjadi karena cetusan listrik abnormal yang terjadi akibat

kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam neuron-neuron

pada area jaringan otak yang abnormal.

2. Epilepsi Sekunder

Disebut epilepsi sekunder berarti gejala yang timbul ialah akibat dari

adanya kelainan pada jaringan otak. Gangguan ini bersifat reversibel,

misalnya karena tumor, trauma, luka kepala, infeksi atau radang selaput

otak.9,10

2.1.3 Klasifikasi

Klasifikasi Epilepsi menurut International League Against Epilepsy

(ILAE) 1981 :

1. Bangkitan Parsial (fokal dan lokal)

Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil

dari otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau

satu bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.


5

a. Kejang parsial sederhana

Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, fenomena

halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial

sederhana, kesadaran penderita masih baik.

b. Kejang parsial kompleks

Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana,

tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan

otomatisme.2,5,7

2. Bangkitan Umum (konvulsi dan nonkonvulsi)

Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari

otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian

tubuh dan kesadaran penderita umumnya menurun.

a. Kejang Absans

Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai

amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau

halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.

b. Kejang Atonik

Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota

badan, leher, dan badan.

c. Kejang Mioklonik

Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan

singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.


6

d. Kejang Tonik-Klonik

Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan

cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot.

Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik

dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama

fase tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi

pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.

e. Kejang Klonik

Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi

kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.

f. Kejang Tonik

Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering

mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.2,5,6,7

2.1.4 Diagnosis

Diagnosis secara umum untuk epilepsi adalah anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesis

Pada anamnesis yang ditanyakan antara lain, pola/bentuk bangkitan,

lama bangkitan, gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan,

frekuensi bangkitan, faktor pencetus, ada/tidak adanya penyakit lain

yang diderita, usia pada saat terjadinya bangkitan pertama, riwayat pada

saat dalam kandungan, kelahiran, dan perkembangan bayi atau anak,


7

riwayat terapi epilepsi sebelumnya, dan juga riwayat penyakit epilepsi

dalam keluarga.

b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik yang harus diperhatikan dan diperiksa meliputi

trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan congenital,

gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alkohol atau obat

terlarang, dan kanker.

c. Pemeriksaan Penunjang

• Pemeriksaan elektro-ensefalografi

• Pemeriksaan pencitraan otak (CT Scan, MRI)

• Pemeriksaan laboratorium

Pada wanita hamil dengan bangkitan dan telah mendapat obat anti

epilepsi maka pemeriksaan yang perlu dilakukan yaitu:

1. Pemeriksaan kadar obat dalam darah.

2. EEG

3. CT Scan, bila ada kelainan neurologik, dilakukan tergantung pada

stadium kehamilan.

4. Perubahan-perubahan konsentrasi obat anti epilepsi secara teratur

harus dimonitor setiap bulan.

2.1.5 Patofisiologi

Serangan epilepsi disebabkan adanya proses eksitasi di dalam otak lebih

dominan daripada proses inhibisi, dalam arti lain terjadi gangguan fungsi neuron.

Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi


8

ion ekstraseluler, voltage-gated-ion-channel opening dan menguatnya sinkroni

neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas

serangan epileptik.Neurotransmiter eksitasi yaitu glutamat, aspartat dan

asetilkolin, sedangkan neurotransmiter inhibisi yang paling dikenal adalah gamma

amino butyric acid (GABA) dan glisin.Dalam keadaan istirahat, membran neuron

mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi.

Potensial aksi akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel

akan melepas muatan listrik.2,5,11

Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion-ion dalam ruang ekstraseluler

dan intraseluler, serta gerakan keluar masuk ion-ion menembus membran neuron.

Aktivitas dari ion-ion tersebut yang menimbulkan potensial membran sel.

Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif membran

neuron, yakni membran mudah dilewati oleh ion K dari ekstraseluler ke

intraseluler dan kurang untuk ion Ca, Na dan Cl. Perbedaan konsentrasi yang

dibuat ini yang akan menimbulkan potensial membran.2,7,11

Pada keadaan epilepsi terjadi perubahan distribusi, jumlah, tipe dan

kandungan kanal ion pada membran saraf.Perubahan ini dapat merubah atau

mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilalui oleh ion

Ca dan Na dari ruang ekstrasel ke intrasel. Influks dari Ca ini akan menimbulkan

letupan depolarisasi membran dan melepas muatan listrik yang berlebihan, tidak

teratur dan terkendali. Cetusan listrik abnormal ini yang kemudian menstimulasi

neuron-neuron sekitarnya yang terkait di dalam sel. Sifat khas dari epilepsi ialah

terjadinya penghentian serangan akibat proses inhibisi. Diduga sistem inhibisi ini
9

merupakan pengaruh neuron-neuron disekitarnya. Keadaan lain yang

menyebabkan hentinya serangan epilepsi ialah kelelahan neuron-neuron akibat

habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.2,5,6,7,11

2.1.6 Dampak Epilepsi Terhadap Kehamilan

Bagi kebanyakan wanita dengan epilepsi, frekuensi kejang tidak

meningkat selama kehamilan.Menurut penelitian yang dilakukan oleh Batino dkk

pada 2521 wanita dengan epilepsi, ditemukan bahwa 66,6% tidak mengalami

bangkitan selama kehamilan.Sebuah periode bebas kejang 12 bulan sebelum

kehamilan dikaitkan dengan penurunan 50-70% risiko kejang selama kehamilan.

Beberapa hal yang dapat menyebabkan peningkatan frekuensi serangan epilepsi

pada wanita hamil dengan epilepsi antara lain.12

a. Perubahan hormonal

Selama kehamilan, kadar estrogen dan progesteron dalam plasma akan

meningkat secara bertahap, dan mencapai puncaknya pada trimester

ketiga. Serangan kejang pada epilepsi berkaitan erat dengan rasio estrogen

– progesteron, dimana estrogen akan merusak enzim gamma aminobutyric

acid (GABA) yang menyebabkan terhambatnya transmisi GABA yang

berfungsi sebagai neurotransmitter inhibitorik. Hal ini akan menyebabkan

nilai ambang kejang akan menurun. Sedangkan progesteron memiliki efek

menekan pengaruh glutamat sehingga menurunkan kepekaan untuk

terjadinya serangan epilepsi.


10

b. Metabolik

Pada wanita hamil, terjadi perubahan metabolisme di hepar yang akan

mengganggu metabolisme obat anti epilepsi (terutama dalam proses

eliminasi), serta terjadi hipomagnesemia dan alkalosis respiratorik yang

diduga dapat menimbulkan kejang.

c. Perubahan Farmakokinetik Obat Antiepilepsi

Pada wanita hamil yang mengkonsumsi obat anti epilepsi, akan terjadi

penurunan dari kadar obat anti epilepsi, disebabkan karena berkurangnya

absorbsi, meningkatnya volume distribusi, penurunan protein binding

plasma, berkurangnya kadar albumin yang akan mempengaruhi kadar

plasma obat anti epilepsi, dan meningkatnya kecepatan drug clearance

pada trimester terakhir yang dipengaruhi oleh induksi enzim mikrosom

hati akibat peningkatan hormon steroid (estrogen dan progesteron).

d. Suplementasi Asam Folat

Obat antiepilepsi memiliki antagonis terhadap asam folat sehingga pada

wanita hamil dengan epilepsi lebih mungkin untuk mengalami anemia.

Pemberian asam folat selama kehamilan justru akan menyebabkan

terganggunya metabolisme obat anti epilepsi (Fenytoin dan Fenobarbital)

sehingga mempengaruhi kadar obat dalam plasma.12

2.1.7 Dampak Epilepsi Terhadap Bayi dari Ibu Epilepsi

Bayi dari ibu yang menderita epilepsi memiliki risiko yang lebih tinggi

untuk sejumlah outcome kehamilan yang merugikan. Di antaranya adalah

kematian janin, malformasi kongenital, perdarahan neonatus, berat badan lahir


11

rendah, keterlambatan perkembangan, kesulitan makan, dan epilepsi masa kanak-

kanak.13,14

Bangkitan selama kehamilan meningkatkan risiko outcome kehamilan

yang merugikan. Bangkitan pada trimester pertama diketahui meningkatkan risiko

malformasi kongenital pada keturunan 12,3% berbanding 4% dengan anak yang

terpapar dengan bangkitan maternal pada waktu yang lain. Bangkitan umum

tonik-klonik meningkatkan risiko hipoksia dan asidosis dan juga cedera karena

trauma benda tumpul.

a. Kematian Janin

Kematian janin, didefinisikan sebagai fetal loss setelah usia kehamilan 20

minggu tampaknya menjadi hal yang umum terjadi dan kemungkinan merupakan

masalah yang sama besarnya dengan malformasi dan anomali kongenital.

Penelitian yang membandingkan tingkat stillbirth menemukan tingkat yang lebih

tinggi pada bayi dari ibu dengan epilepsi (1,3 - 1,4%) dibandingkan dengan bayi

dari ibu tanpa epilepsi (1,2-7,8%).

Aborsi spontan, didefinisikan sebagai fetalloss pada usia kehamilan

kurang dari 20 minggu, tampaknya terjadi lebih sering pada bayi dari ibu dengan

epilepsi. Kontrol serangan epilepsi selama trimester pertama kehamilan juga

berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya cacat.

Pada penelitian ditemukan sekitar 12% anak lahir cacat dari ibu epilepsi

yang mengkonsumsi OAE dan mengalami serangan pada trimester pertama. Ibu

yang tidak mengalami serangan pada trimester pertama kehamilan namun juga

mengkonsumsi OAE, cacat lahir yang terjadi hanya sekitar 4 %. Serangan selama
12

kehamilan juga dihubungkan dengan lebih tingginya angka fetal dan maternal

mortality rates sebesar 30%–50%.

b. Perdarahan Neonatus

Sebuah fenomena perdarahan neonatus yang unik telah digambarkan pada

bayi dengan epilepsi. Berbeda dengan gangguan perdarahan lain pada bayi dimana

perdarahan cenderung terjadi selama 24 jam pertama kehidupan. Pada awalnya

berhubungan dengan paparan terhadap fenobarbital atau primidone tetapi

selanjutnya juga ditunjukkan pada anak yang terpapar dengan fenitoin,

karbamazepin, diazepam, mefobarbital, amobarbital, dan ethosuximide. Mortalitas

tinggi, lebih dari 30%, karena perdarahan terjadi dalam kavitas interna dan tidak

diketahui hingga anak mengalami syok.

Perdarahan diakibatkan karena defisiensi faktor perdarahan yang

tergantung vitamin K yaitu faktor II, VII, IX dan X. Antikonvulsan bekerja seperti

warfarin, dan menghambat transport vitamin K melewati plasenta.

c. Berat Badan Lahir Rendah

Berat badan lahir rendah (kurang dari 2500g) dan prematuritas telah

ditunjukkan pada bayi dari ibu penderita epilepsi. Rata-rata tingkatan berkisar dari

7-10% untuk berat badan lahir rendah dan 4-11% untuk prematuritas. Penelitian

ini tidak menganalisis efek dari tipe bangkitan tertentu, frekuensi atau OAE

terhadap aspek perkembangan janin.


13

d. Malformasi dan Teratogenesis OAE

Berbagai penelitian menemukan, OAE yang dikonsumsi ibu lebih menjadi

penyebab cacat lahir dibanding penyakitnya atau epilepsinya sendiri. OAE

menyebabkan efek teratogenik pada janin.

Penelitian yang dilakukan oleh Holmes et al. menunjukkan, peningkatan

cacat lahir pada bayi yang dilahirkan olehibu penderita epilepsi yang mendapat

terapi OAE lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak mendapat terapi.

Meskipun dihadapkan pada risiko cacat lahir, penghentian OAE pada perempuan

hamil bukan suatu tindakan yang realistik. Hal itu disebabkan karena kondisi

kehamilan itu sendiri meningkatkan risiko bangkitan. Sekitar 30% perempuan

hamil yang sudah mendapat terapi mengalami kenaikan frekuensi bangkitan.

Risiko paling tinggi dihadapi oleh mereka yang sudah memiliki bangkitan lebih

dari satu kali sebelum hamil. Risiko paling rendah terjadi pada mereka yang pada

masa sebelum kehamilan hanya mengalami bangkitan kurang dari satu kali dalam

sembilan bulan.

Sejumlah OAE baru telah dipasarkan di Amerika Serikat sejak tahun 1993:

gabapentin, felbamate, lamotrigine, leveticaretam, oxcarbazepine, tiagabine,

topiramate, dan zonisamide. Jumlah laporan kehamilan yang terpapar obat ini

sangat rendah, dan tidak cukup besar untuk dapat menentukan apakah ada

peningkatan risiko outcome yang merugikan dengan paparan janin. Kita

mengetahui bahwa konsentrasi lamotrigin dan levetiracetam mengalami

penurunan selama kehamilan dan telah menduga bahwa hal ini juga benar untuk

OAE yang baru lainnya.


14

Pemberian terapi jangka panjang dengan zat yang diperkirakan

mempunyai efek teratogenik yang potensial pada masa usia kehamilan yang

sensitif harus dipertimbangkan dengan cermat, hal ini termasuk penggunaan OAE.

Gangguan pada masa rawan ini menimbulkan cacat terutama pada sistem saraf

pusat, karena sistem saraf pusat sedang terbentuk dan berkembang. Neural Tube

Defect (NTD) adalah cacat yang terjadi pada susunan saraf pusat termasuk otak

dan medula spinalis. Spina bifida merupakan istilah dari bahasa Latin yang berarti

medula spinalis yang terbuka, mengacu pada cacat lahir yang ditandai dengan

adanya medulla spinalis yang tidak terbentuk secara lengkap.13,14

2.1.8 Penatalaksanaan Epilepsi Pada Kehamilan

Epilepsi pada kehamilan merupakan masalah yang rumit, dimana

kehamilan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya serangan, sedangkan

pada saat yang sama juga penggunaan obat anti epilepsi dapat menyebabkan

gangguan perkembangan janin. Namun, ibu dengan epilepsi tetap dapat hamil

walaupun perlu untuk memperhatikan beberapa hal untuk mencegah terjadinya

serangan selama masa kehamilan ataupun komplikasi terhadap janin yang

disebabkan oleh obat anti epilepsi. Oleh karena itu, tatalaksana epilepsi pada

kehamilan perlu dilakukan sejak sebelum terjadinya konsepsi hingga selama masa

menyusui dan direncanakan dengan cermat.7,15


15

Beberapa tahapan tatalaksana epilepsi pada kehamilan adalah sebagai

berikut

a. Prekonsepsi

Pada wanita dengan epilepsi yang memiliki rencana untuk hamil,

diperlukan untuk diberikan konseling mengenai

 Proses perubahan yang terjadi pada tubuh ibu selama masa

kehamilan dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi epilepsi, dan

juga sebaliknya.

 Menginformasikan bahwa perempuan penyandang epilepsi

mempunyai risiko lebih tinggi untuk melahirkan bayi yang cacat, yang

disebabkan karena obat antiepilepsi yang diminumnya

 Menjelaskan bahwa penting untuk mengendalikan serangan

epilepsi sehingga diperlukan ketaatan ibu untuk minum obat selama

hamil

 Menyarankan untuk dilakukan peninjauan neurologis, untuk

memastikan diagnosis dan kebutuhan untuk diteruskannya pengobatan

dengan obat antiepilepsi.

 Hindari perubahan obat antiepilepsi, karena dapat memicu

terjadinya serangan. Bila harus diganti maka lakukan cross-tappering

Pada wanita dengan epilepsi yang telah bebas serangan selama 2 – 5 tahun,

dapat dipertimbangkan untuk mengubah terapi dari politerapi menjadi

monoterapi, dengan melakukan tappering off dari obat anti epilepsi yang sedang
16

digunakan selama periode 3 – 6 bulan sebelum konsepsi, hingga mendapat terapi

dengan dosis terendah namun efektif untuk mencegah serangan epilepsi.

b. Selama Masa Kehamilan

Pada wanita dengan epilepsi yang sudah terjadi konsepsi dan sedang

hamil, diperlukan pemeriksaan antenatal care (ANC) secara ketat dan dilakukan

oleh dokter spesialis kebidanan bersama dengan dokter spesialis saraf untuk

dievaluasi selama kehamilan. beberapa hal yang perlu dievaluasi pada ibu hamil

dengan epilepsi adalah sebagai berikut.7,15,16

 Monitoring malformasi janin selama trimester pertama terutama

pada usia kehamilan 18 – 22 minggu melalui USG untuk mendeteksi

neural tube defect(NTD) yang sering disebabkan oleh obat anti epilepsi

terutama fenobarbital dan valproat, bibir sumbing, dan kelainan jantung

bawaan. Selain USG, pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein (AFP) yang

akan meningkat pada kasus NTD terbuka juga dapat dilakukan untuk

mendeteksi kelainan selama trimester pertama kehamilan

 Pada usia kehamilan 32 – 40 minggu, pasien harus dievaluasi oleh

dokter anestesi untuk bersama dengan spesialis kebidanan

merencanakan persalinan yang akan dilakukan

 Dianjurkan untuk mengkonsumsi asam folat1 - 4 mg/hari selama

masa percobaan konsepsi hingga 12 minggu setelah konsepsi. Folat

merupakan vitamin esensial yang diperlukan untuk sintesa nukleotid

dan metilasi DNA. Pada trimester pertama kehamilan, folat sangat

penting dalam mencegah cacat bawaan terutama NTD karena pada


17

masa ini embrio bertumbuh secara cepat sehingga dibutuhkan sintesis

DNA. Beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian asam folat

prakonsepsi dan selama kehamilan menurunkan kejadian abortus

spontan dan risiko terjadinya NTD pada ibu dengan risiko tinggi. Dosis

yang diberikan pada wanita yang tidak memiliki defisiensi asam folat

cukup diberikan 1 mg/hari, sedangkan apabila ditemukan defisiensi

asam asam folat dan pada ibu hamil dengan epilepsi diberikan 4

mg/hari selama kehamilan.

 Diberikan profilaksis Vitamin K (konakion) dengan dosis 20 mg

per oral sejak usia kehamilan 36 minggu, hingga persalinan dan bayi

yang dilahirkan juga harus diberikan vitamin K 1 mg intramuskuler

pada saat kelahiran, terutama pada ibu hamil dengan epilepsi yang

mengkonsumsi obat anti epilepsi jenis karbamazepin, fenitoin,

primidon, dan fenobarbiton. Hal ini karena obat – obat anti epilepsi

tersebut bekerja dengan cara menginduksi enzim cytocrom-P450 (CYP)

hepar, yang secara tidak langsung ikut menginduksi metabolisme

vitamin K. metabolisme dari vitamin K akan menyebabkan penurunan

dari faktor pembekuan darah yang tergantung vitamin K yaitu faktor II,

VII, IX, dan X sehingga ibu dan bayi rentan terhadap perdarahan post

partum.

 Apabila terjadi kejang, maka ditangani seperti pada umumnya.

Regimen yang disarankan terdiri atas diazepam 10 – 20 mg IV(10 mg

pertama diberikan bolus tiap 2 mg secara perlahan) bila perlu, dapat


18

diberikan phenytoin IV dengan dosis 15 mg/kgBB namun tidak lebih

dari 50 mg/menit. Apabila akses IV sulit, maka diazepam dapat

diberikan melalui rectal.

c. Selama masa Persalinan

Masa persalinan merupakan saat dimana terjadi peningkatan risiko baik

untuk ibu maupun janin.Serangan epilepsi dapat terjadi selama masa persalinan

dan membahayakan janin karena terjadi anoksia. Oleh karena itu, persalinan ibu

hamil dengan epilepsi harus dilakukan di rumah sakit sehingga dapat dilakukan

tatalaksana yang tepat dan cepat apabila terjadi bangkitan selama proses

persalinan. Tatalaksana yang dapat dilakukan selama masa persalinan untuk

mengurangi kemungkinan terjadinya bangkitan ataupun risiko pada janin adalah

sebagai berikut.15

 Obat anti epilepsi harus tetap diberikan dan harus dijaga agar kadar

obat dalam plasma tetap dalam dosis yang adekuat untuk mencegah

terjadinya bangkitan selama proses persalinan.

 Apabila terjadi bangkitan (paling sering tonik – klonik) selama

persalinan, maka ditangani seperti pada umumnya. Apabila ragu kejang

disebabkan karena eklampsia atau karena epilepsi, maka regimen yang

dipilih adalah magnesium sulfat (MgSO4) sesuai dosis yang dianjurkan.

 Ibu hamil dengan epilepsi dapat diberikan hampir semua obat

analgesik selama persalinan, kecuali pethidine, karena dimetabolisme

menjadi norphetidine yang merupakan zat epileptogenic. Pilihan

analgesik yang paling tepat adalah morphine.


19

 Apabila terjadi persalinan preterm dan pasien membutuhkan terapi

steroid, maka diberikan regimen steroid total 48 mg (normalnya 24 mg

pada ibu hamil tanpa epilepsi) diberikan sebagai 2 dosis 24 mg dengan

jarak 12 jam. Hal ini karena obat anti epilepsi yang bekerja dengan

menginduksi enzim, juga memiliki efek meningkatkan metabolisme

dari steroid.

 Ibu hamil dengan epilepsi dapat melahirkan secara pervaginam.

Seksiosesarea hanya dilakukan apabila terjadi kejang umum berulang

pada usia kehamilan akhir atau selama persalinan, dan bila ditemukan

indikasi obstetric lainnya.

 Hindari perpanjangan kala II, pertimbangkan untuk menggunakan

instrument (vakum atau forseps) apabila diperlukan.

d. Selama Masa Post Partum dan Menyusui

Setelah lahir, ibu beserta dengan bayi harus diawasi secara ketat.Bayi yang

lahir dari ibu yang menderita epilepsi memiliki peningkatan kemungkinan

mengalami epilepsi sebanyak 3% dalam semua bentuk epilepsi. Selain itu juga,

hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana ibu yang menderita epilepsi

merawat bayi dan proses menyusuinya. Karena itu, beberapa hal yang dapat

dilakukan selama masa post partum dan menyusui adalah7,15,16

 Berikan injeksi vitamin K 2 mg intramuskular pada bayi yang baru

lahir untuk mencegah terjadinya perdarahan.

 Berikan ASI seperti pada umumnya. Epilepsi bukan merupakan

kontraindikasi dari menyusui, walaupun OAE akan diekskresikan


20

melalui ASI dan dapat terpapar pada bayi, namun belum ditemukan

bukti memberikan efek samping yang bermakna pada bayi, hal ini

mungkin berkaitan dnegan tingkat keterikatan obat oleh protein plasma

dalam darah. Makin tinggi keterikatannya maka makin rendah kadar

dalam ASI. Selain itu, obat seperti fenitoin dan asam valproate

memiliki tingkat keterikatan yang tinggi, selain itu juga fenitoin sulit

untuk diabsorbsi oleh saluran pencernaan bayi. Karbamazepin dan

fenobarbital memiliki kadar yang tinggi dalam ASI sehingga pada ibu

dengan epilepsi yang mengkonsumsi obat ini tidak dianjurkan untuk

menyusui. Apabila menyusui, maka harus diawasi secara ketat apakah

tampak mengantuk atau tidak bisa mengisap puting. Bila memiliki

kedua tanda ini, maka segera hentikan pemberian ASI. Disarankan

untuk memberikan ASI sebelum ibu mengkonsumsi obat anti

epilepsinya untuk menurunkan kadar obat yang terpapar pada bayi.

 Disarankan untuk memeriksakan kadar obat anti epilepsi dalam

darah bayi yang menerima ASI dari ibu yang sedang mengkonsumsi

obat anti epilepsi.

 Berikan edukasi pada ibu mengenai cara perawatan bayi seperti

harus makan dengan duduk di lantai dan jangan menggendong bayi

sendiri tanpa pngawasan, hal ini untuk mencegah terjadinya trauma

pada bayi apabila ibu mengalami serangan epilepsi.

 Lakukan penilaian kembali regimen terapi obat anti epilepsi pada

ibu dan konseling mengenai rencana KB.


21

 Pilihan kontrasepsi yang paling baik bagi wanita dengan epilepsi

adalah alat kontrasepsi dalam rahim, dan depot progesteron (Depo-

provera). Implan progesteron tidak disaranakan, terutama pada pasien

yang menggunakan obat anti epilepsi yang bekerja dngan cara induksi

enzim (karbamazepin, phenytoin, primidone, phenobarbitone), karena

akan menurunkan efektivitas dari kontrasepsi hormonal.7,15,16

2.1.8 Persalinan dan Menyusui

Persalinan adalah waktu dimana terjadi peningkatan risiko baik

untuk ibu maupun janin. Bangkitan relatif mungkin terjadi selama

persalinan dengan akibat risiko pada janin karena anoksia. Persalinan

harus dilakukan di klinik atau rumah sakit dengan fasilitas untuk

perawatan epilepsi dan unit perawatan intensif untuk neonatus. Selama

persalinan, OAE harus tetap diberikan apabila perlu maka dapat diberi

dosis tambahan dan/atau obat penetral terutama apabila terjadi partus

lama.Perlu diingat bahwa OAE yang menginduksi enzim merupakan

inhibitor kompetitif terhadap prothrombinprecusors; hal demikian ini

menempatkan bayi dalam keadaan risiko tinggi untuk terjadinya

perdarahan termasuk perdarahan otak. Risiko tertinggi terdapat pada hari

pertama pascalahir,dan bayi mungkin memerlukan pemeriksaan koagulasi.

Untuk mengurangi risiko perdarahan maka pada bayi perlu diberikan

vitamin K pada saat lahir, akhir minggu pertama, dan akhir minggu ke-

empat bayi diberi 2 mg vitamin K secara oral.14,17


22

Banyak perempuan penyandang epilepsi yang mampu menyusui

anaknya secara baik. Kadar OAE ditentukan oleh kadar obat dalam plasma

dan tingkat terikatnya obat oleh protein. Makin tinggi tingkat keterikatan

oleh protein maka kadar obat dalam ASI semakin rendah. Fenitoin dan

asam valproat terikatprotein cukup tinggi sehingga kadarnya dalam ASI

cukup rendah. Lebih dari itu, fenitoin cukup sulit diabsorbsi oleh traktus

gastrointestinalis bayi. Dengan demikian ibu yang minum fenitoin dan

asam valproat diperbolehkan menyusui bayinya.

Karbamazepin dan fenobarbital terdapat dalam ASI dalam kadar

yang lebih tinggi, dengan demikian kepada perempuan yang bersangkutan

kurang dianjurkan untuk menyusui bayinya, atau diperbolehkan menyusui

bayinya dengan pengawasan yang ketat. Apabila ibu minum fenobarbital

maka bayinya harus selalu diawasi apakah tidak dapat menghisap ASI atau

tampak mengantuk terus. Apabila terjadi keduanya maka pemberian ASI

harus segera dihentikan.14,17

Tatalaksana umum

 Prinsip tatalaksana : gunakan obat dengan dosis terendah dan HINDARI

penggunaan obat pada kehamiilan muda yang meningkatkan kemungkinan

kelainan bawaan (asam valproat)

 Jika ibu kejang, berikan 10 mg diazepam IV pelan selama 2 menit, bisa

diulang sesudah 10 menit dan Segera rujuk ibu ke rumah sakit.14,17


23

Tatalaksana khusus

 Jika kejang berlanjut (status epileptikus) berikan 1 gr fenitoin IV

dilarutkan dalam NaCl 0,9% 50-100 mL selama 30 menit (18 mg/kgBB).

JANGAN masukkan fenitoin dalam cairan lain (selain NaCl 0,9%) karena

akan terjadi kristalisasi

- Bilas dengan NaCl 0,9% sebelum dan sesudah infus fenitoin dan

Jangan berikan infus fenitoin melebihi 50 mg/menit, karena bisa terjadi

denyut jantung iregular, hipotensi, dan depresi pernafasan.

 Jika ibu epilepsi sudah diketahui sebelumnya, lanjutkan terapi yang sudah

didapatkan selama ini, Jika TIDAK diketahui pengobatan epilepsi selama

ini, berikan fenitoin oral 100 mg 2-3 kali/hari

 Suplemen asam folat oral dosis 600 µg/hari diberikan bersama dengan

terapi antiepilepsi dalam kehamilan

 Fenitotin dapat mengakibatkan defisiensi neonatal terhadap faktor

pembekuan yang bergantung pada faktor vitamin K. Sebaiknya berikan

vitamin K 1 mg IM pada neonatus.14,17


24

BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas pasien

Nama :Ny. ASS

Jenis kelamin : Perempuan

Tanggal Lahir : 8 September 1994

Umur : 24 Tahun

Status : Menikah

Alamat : Namosain

Nomor MR : 50 63 56

MRS VK :1 Maret 2019 (17.00 wita)

3.2 Anamnesis

• Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut yang

menjalar ke pinggang yang dirasakan 1 hari SMRS.

 Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang dengan keluhan nyeri perut

yang menjalar ke pinggang yang dirasakan 1 hari SMRS. Selain itu pasien

juga mengaku keluar darah sedikit dari jalan lahir. untuk lendir dan air-air

belum keluar dari jalan lahir. Gerak janin masih dirasakan dengan baik.

 Riwayat Penyakit Dahulu: Hipertensi (-), DM (-), Asma (-), riwayat

kejang-kejang secara tiba-tiba sejak tahun 2008 & konsumsi obat dari

November 2018. Pasien mangaku lupa total kejang berapa kali namun

pasien yakin kejang >1 kali selama ini dan jarak antara kejang tidak dekat

bisa lebih dari 1 hari. Kejang terjadi secara tiba-tiba disertai penurunan

kesadaran dan gerakan yang muncul saat kejang adalah menghentak-


25

hentak kedua kaki dan tangan yang berlangsung sekitar 2-3 menit., Pasien

mengaku rutin minum obat antiepilepsi namun 3 hari terakhir SMRS

pasien tidak minum obat karena obat habis. Pasien mengaku kejang

terakhir pada tanggal 3 Januari 2019.

 Riwayat Penyakit Keluarga :Hipertensi (-), DM (-), perdarahan (-),

tumor (-), Penyakit Jantung (-), Asma (-), epilepsi (-)

 Riwayat Reproduksi:

- Menarke : 14 tahun

- Siklus haid : 28 hari

- Lama haid : 3 hari

 Riwayat persalinan :

1. 9 bulan/spontan/rumah/dukun/BB?/Laki-laki/5 tahun

2. 1 bulan/abortus/rumah/tidak dikuret/tahun 2017

3. Hamil ini:

- HPHT : 03-06-2018

- TP : 10-03-2019

- UK : 38 – 39 minggu

 Riwayat Ante Natal Care :

8 kali di pustu Namosain, 1 kali di puskesmas Alak, dan 8 kali di Sp.OG

 Riwayat Imunisasi : 1x imunisasi TT hamil ini

 Riwayat Kontrasepsi : tidak pernah menggunakan kontrasepsi


26

3.3 Pemeriksaan fisik

 Keadaan Umum : Baik

 Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)

 Tanda-tanda vital : TD: 120/80 mmHg S: 36,5°C, Nadi : 81x/Mnt

RR:20 x/menit

o Kepala : normocephal, trauma (-)

o Mata: Conjungtiva anemis -/- sklera ikterik -/-

o Telinga: othorea -/-. Udem -/-, inflamasi -/-

o Leher: pembesaran KGB (-), pembesaran thiroid (-)

o Thoraks: cor: s1 s2 reguler tunggal murmur (-), gallop (-)

o Pulmo: vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-

o Abdomen :

o Inspeksi: tampak Cembung

o Auskultasi: Bising Usus (+) kesan normal

o Palpasi: supel

o Ekstremitas :

o Akral hangat

o CRT <2 detik

o Udem ekst. Inferior +/+

o Pemeriksaan neurologis:

o Nervus III, IV, VI: pergerakan bola mata (+), pergerakan

kelopak mata (+)

o Nervus VII: wajah simetris saat istirahat maupun saat bergerak


27

o Nervus XII: tidak ditemukan deviasi linguae

o Motorik: ekstremitas superior : 5/5, eksterimitas inferior: 5/5

o Sensorik: tidak ditemukan penurunan sensibilitas

o Reflek fisiologi: biseps: +/+ patella +/+, achilles +/+

o Reflek patologis: babinsky -/-, chadock -/-

o Leopold :

 Leopold 1 : lunak, 3 jari dibawah Px (TFU 32cm)

 Leopold 2 : Punggung kiri

 Leopold 3: Bulat, Keras

 Leopold 4: sudah masuk PAP, 4/5

o DJJ :137 x / mnt (Doppler)

o HIS : 2x10’ (20’’)

o VT :Vulva vagina tidak tampak kelainan, portio tipis, lunak,

pembukaan 3 cm, effacement 25%, KK (+), bagian terendah

kepala, denominator UUK lateral, Hodge I

Hasil Laboratorium (01/03/2019)

PEMERIKSAAN HASIL Nilai Rujukan


Hemoglobin 10.8 g/dL (L) 12.0-16.0
Jumlah eritrosit 5.11*106/uL 4.20-5.40
Hematokrit 34.2 % (L) 37.0 - 47.0
MCV 66.9 fl (L) 81.0-96.0
MCH 21.1 pg (L) 27.0-36.0
MCHC 31.6 g/L 31.0-37.0
Jumlah Lekosit 7.03 *103/ul 4.0 – 10.0
Jumlah trombosit 240 *103/ul 150 – 400
28

PT 8.7 detik (L) 10.8-14.4


APTT 28.9 detik 26.4 - 376
Hbsag Rapid Test nonreaktif nonreaktif
HIV ONE STEP nonreaktif nonreaktif

Hasil UL (01/03/2019)

warna kuning kuning

kejernihan Agak keruh jernih

pH 7.0 4,5 – 8,0

nitrit negatif negatif

Leukosit esterase negatif negatif

protein negatif negatif

glukosa negatif negatif

keton negatif negatif

darah negatif negatif

Sedimen urin

eritrosit 5-10/LP negatif

leukosit 1-2/LP 0-5

Bakteri Negatif negatif


29

3.4 Diagnosa dan tatalaksana

A. G3P1A1 AH 1 38-39 minggu T/H + observasi Inpartu + Riwayat epilepsi +

TBJ 3255 gram

P:

-Observasi tanda-tanda Inpartu, bila inpartu pro persalinan spontan belakang

kepala

-Rencana konsul saraf riwayat epilepsi

3.5 Follow Up Pasien

1 Maret 2019 21.00


S : kencang-kencang pada perut yang menjalar ke belakang
O. Kesadaran :E4 V5 M6
• Tanda-tanda vital :
TD : 120/80 mmHg; N: 80x/mnt, regular, kuat angkat; RR: 22x/mnt; S:
36,5° C
 DJJ: 130x/mnt
 His 3-4x 10’ (35-40’’)
 VT: Vulva vagina tidak tampak kelainan, portio tipis, lunak, pembukaan
9 cm, effacement >75%, KK (+), kepala, denominator UUK anterior,
Hodge III
A: G3P1A1 AH 1 38-39 minggu T/H + Inpartu kala I fase aktif + Riwayat
epilepsi + TBJ 3255 gram

P:
-evaluasi CHPB/1 jam

-pro persalinan spontan pervaginam belakang kepala

-Rencana konsul saraf riwayat epilepsi


30

1 Maret 2019 22.15

S : Ibu berasa ingin BAB


O. Kesadaran :E4 V5 M6
• Tanda-tanda vital :
TD : 120/80 mmHg; N: 89x/mnt, regular, kuat angkat; RR: 22x/mnt; S:
36,5° C
 DJJ: 140x/mnt
 His 4x 10’ (40-45’’)
 VT: Vulva vagina tidak tampak kelainan, pembukaan lengkap (10 cm),
effacement (-), KK (-) sisa mekonial, kepala, denominator UUK anterior,
Hodge IV
A: G3P1A1 AH 1 38-39 minggu T/H + Inpartu kala II + Riwayat epilepsi + TBJ
3255 gram

P:
-Pimpin persalinan

-pro persalinan spontan pervaginam belakang kepala

-Rencana konsul saraf riwayat epilepsi

22.55

Outcome:

Lahir bayi laki-laki, BB: 3600 PB: 52 cm, A/S: 7/9, Ballard score: 36: 38-39

minggu

Sisa ketuban mekonial

23.00

Plasenta lahir lengkap


31

2 Maret 2019 01.00


S : tidak ada keluhan
O : TD : 120/80 mmHg, N : 80 x/m, RR : 20x/mnt, S: 36,6 c
Mata: conjungtiva anemis -/-
ASI : produksi (+)
TFU: 2 jari dibawah pusat, kontraksi (+)
PPV (+) sedikit
A: P2A1 AH 2 post partum spontan H1 + riwayat epilepsi
P : amoxicillin 3x500mg
Asam mafenmat 3x500mg
Livron 1x1tab
03 Maret 2019
S : tidak ada keluhan
O : TD : 100/70 mmHg, N : 80 x/m, RR : 20x/mnt, S: 36,6 c
Mata: conjungtiva anemis -/-
ASI : produksi (+)
TFU: 2 jari dibawah pusat, kontraksi (+)
PPV (+) sedikit
A: P2A1 AH 2 post partum spontan H2 + riwayat epilepsi
P : amoxicillin 3x500mg
Asam mafenmat 3x500mg
Livron 1x1tab
BPL
32

24 Januari 2019 Poli Saraf

S : pasien kontrol pasca rawat inap dan dirawat oleh obgyn. Keluhan kejang-
kejang kurang lebih 5 tahun hilang muncul, saat ini pasien sedang hamil 7 bulan,
dan terkadang pandangan kabur.
O. Kesadaran :E4 V5 M6
Status neurologis: dalam batas normal
A: Epilepsi + Gravid

P:
-Kutoin 3x100 mg

-Asam folat 2x1


33

BAB 4

PEMBAHASAN

Diagnosis klinis pada pasien ini G3P1A1 AH 1 38-39 minggu T/H +

observasi Inpartu + Riwayat epilepsi + TBJ 3255 gram.

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan

epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi.

Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan gejala minimal terdapat

2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks (jarak antar bangkitan >24

jam), 1 bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks (berulang 10 thn

kedepan), dan sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi. Pada kasus ini pasien

sudah bisa didiagnosa dengan epilepsi.1

Dilihat dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu:

Epilepsi primer/epilepsi idiopatik dan epilepsi sekunder. Epilepsi primer adalah

serangan kejang yang terjadi karena cetusan listrik abnormal yang disebabkan

karena adanya kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam neuron-

neuron pada area jaringan otak yang abnormal. Dalam jenis ini, tidak ada kelainan

anatomik seperti trauma maupun neoplasma yang menimbulkan kejang, maka

sindrom ini disebut epilepsi idiopatik atau primer. sebanyak 65% dari seluruh

kasus epilepsi tidak diketahui faktor penyebabnya. Umumnya faktor genetik lebih

berperan pada epilepsi idiopatik. Sedangkan etiologi lainnya adalah Epilepsi

Sekunder dimana gejala yang timbul ialah akibat dari adanya kelainan pada

jaringan otak. Gangguan ini bersifat reversibel, misalnya karena tumor, trauma,
34

luka kepala, infeksi atau radang selaput otak. Pada pasien tidak di dapatkan secara

jelas penyebab dari kejangnya. Pada kasus ini, pasien tidak menyampaikan

tentang riawayat sakit yang pernah di deritanya dan juga pasien menyangkal jika

ada anggota keluarga yang menderita epilepsi.

Untuk penegakan diagnosis dari epilepsi di dapatkan melalui anamnesis :

Pola/bentuk bangkitan, lama bangkitan, gejala sebelum, selama dan pasca

bangkitan, frekuensi bangkitan, faktor pencetus, ada/tidak adanya penyakit lain

yang diderita, usia pada saat terjadinya bangkitan pertama, riwayat pada saat

dalam kandungan, kelahiran, dan perkembangan bayi atau anak, riwayat terapi

epilepsi sebelumnya dan riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga. Pemeriksaan

Fisik jika di curigai trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan

congenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alkohol atau obat

terlarang, dan kanker. Pemeriksaan Penunjang dapat berupa pemeriksaan elektro-

ensefalografi, pemeriksaan pencitraan otak (CT Scan, MRI) dan pemeriksaan

laboratorium. Pada kasus ini, dari anamnesis didapatkan pasien memiliki riwayat

epilepsi/kejang sebelumnya dari tahun 2008 saat pasien berumur 14 tahun. Kejang

terjadi secara tiba-tiba disertai penurunan kesadaran dan gerakan yang muncul

saat kejang adalah tonik klonik yang berlangsung sekitar 2-3 menit. Pada pasien

dilakukan pemeriksaan fisik yang mengarah ke diagnosis pasien dan pada

pemeriksaan fisik tidak ditemukan penemuan yang bermakna. Jika dari riwayat

pasien, maka penderita harus dilakukan pemeriksaan EEG untuk meneggakan

diagnosa secara pasti.


35

Pedoman terbaru American Academy of Neurology dan American Epilepsy

Society menyebutkan bahwa wanita dengan epilepsi relatif aman untuk hamil,

tetapi harus waspada dan hati-hati, termasuk menghindari obat epilepsi tertentu

yang dapat menyebabkan cacat kongenital. Untuk kebanyakan wanita hamil

dengan epilepsi, penghentian OAE tidak beralasan atau bukan pilihan aman

karena kejang/kejadian yang terkait dengan serangan dapat menyebabkan ibu dan

janin terpajan perlukaan fisik. Jika memungkinkan, obat anti epilepsi pada wanita

usia subur diganti dengan yang kurang teratogenik. Asam valproat, meskipun

efektif, merupakan obat antiepilepsi yang tercatat paling berhubungan dengan

risiko malformasi pada pajanan in utero. Mengganti asam valproat dengan obat

anti epilepsi lain seharusnya dilakukan sebelum kehamilan untuk memastikan

bahwa terapi yang baru dapat mencegah serangan secara adekuat.

Terdapat bukti cukup kuat bahwa valproat berhubungan dengan peningkatan

risiko malformasi fetal dan mengurangi kemampuan berpikir anak-anak, baik

digunakan sendiri maupun bersama obat lain. Karena itu, jika masih dapat diganti

dengan karbamazepin. Pajanan karbamazepin mungkin kurang menyebabkan

gangguan kognitif maupun malformasi pada keturunan wanita dengan epilepsi.

Alternatif untuk pasien dengan epilepsi umum lebih terbatas karena valproat lebih

efektif dibanding lamotrigin atau topiramat. Penelitian tentang lamotrigine

seharusnya dipertimbangkan.

Pada Ibu hamil penyandang epilepsi pada trimester akhir kehamilan

terutama 2 minggu terakhir menjelang tanggal kelahiran dianjurkan pemberian

vitamin K oral 10-20 mg/hari untuk menurunkan risiko terjadinya perdarahan


36

maternal maupun neonatal. Kemungkinan terjadinya cacat pada janin mendorong

dikerjakannya pemeriksaan pranatal, meliputi pemeriksaan kadar OAE, asam

folat, AFP, vitamin K, dan pemeriksaan ultrasonografi untuk mengetahui ada atau

tidak adanya neural-tube defects, bibir sumbing, dan kelainan jantung bawaan.

Pemeriksaan tersebut dikerjakan sejak kehamilan 6 minggu sampai 36 minggu.

Dosis optimal asam folat belum diketahui secara pasti. Untuk perempuan yang

tidak mengalami defisiensi asam folat cukup diberi 1mg/hari. Apabila terbukti ada

defisiensi asam folat maka perlu diberi asam folat dengan dosis yang lebih tinggi,

dapat diberikan sampai 4 mg/hari.


37

BAB 5

PENUTUP

Telah dilaporkan kasus Ny. ASS usia 24 tahun dengan diagnosa G3P1A1
AH 1 38-39 minggu T/H + observasi Inpartu + Riwayat epilepsi + TBJ 3255
gram. Penanganan dilakukan terminasi kehamilan secara spontan pervaginam
belakang kepala. setelah dilakukan terminasi kehamilan pasien dirawat di ruangan
flamboyan dan dilakukan perawatan selama 2 hari dan dipulangkan dengan tanpa
bangkitan kejang. Pasien dikontrolkan ke poli kandungan dan poli saraf pasca
rawat inap.
38

DAFTAR PUSTAKA

1. Prof.dr.I Gst Ngr. Ngoerah. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Universittas


Udayana. Tahun 2017. Page 244
2. Prilipko L, Saxena S, Boer H. Atlas : Epilepsy care in the world [Internet].
Vol. 129, World Health Organization. Geneva: Department of Mental
Health and Substance Abuse, World Health Organization; 2005. 22 p.
Available from:
http://books.google.com/books?id=ZJfku__6BKMC&pgis=1
3. Martínez-Frías ML, Egüés X, Puras A, Hualde J, de Frutos CA, Bermejo
E, et al. Thanatophoric dysplasia type II with encephalocele and semilobar
holoprosencephaly: Insights into its pathogenesis. Am J Med Genet A.
2011 Jan. 155A(1):197-202. [Medline].
4. Naveen NS, Murlimanju BV, Kumar V, Pulakunta T. Thanatophoric
dysplasia: a rare entity. Oman Med J. 2011 May. 26(3):196-7. [Medline].
[Full Text].
5. Wijaya IPA. Management Of Woman 20 Years Old With Gestasional
Epilepsy. Medula Unila. 2014;1(September):54–9.
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Prevalensi ibu hamil dengan
status epileptikus. Jakarta: Depkes RI; 2006.
7. Taufiqurrohman A, Nuradyo D, Harsono. Manajemen Epilepsi pada
Kehamilan. J Kedokt dan Kesehat Indones [Internet]. 2009;1–13.
Available from: http://journal.uii.ac.id/index.php/JKKI/article/view/547
8. Blaas HG, Vogt C, Eik-Nes SH. Abnormal gyration of the temporal lobe
and megalencephaly are typical features of thanatophoric dysplasia and
can be visualized prenatally by ultrasound. Ultrasound Obstet Gynecol.
2012 Feb 28. [Medline].
9. Cohen MM Jr. Cloverleaf skulls: etiologic heterogeneity and pathogenetic
variability. J Craniofac Surg. 2009 Mar. 20 Suppl 1:652-6. [Medline].
10. Chitty LS, Mason S, Barrett AN, et al. Non-invasive prenatal diagnosis of
achondroplasia and thanatophoric dysplasia: next-generation sequencing
39

allows for a safer, more accurate, and comprehensive approach. Prenat


Diagn. 2015 Jul. 35 (7):656-62. [Medline].
11. Vera R, Ayu M, Dewi R. Sindrom Epilepsi Pada Anak. Sindrom Epilepsi
Pada Anak. 2014;46(1):72–6.
12. Sukiandra R. Epilepsi dan Kehamilan. J Ilmu Kedokt.
2014;(September):58–63.
13. Harden CL, Hopp J, Ting TY, et al: Practice parameter update:
management issues for women with epilepsy—focus on pregnancy (an
evidencebased review): obstetrical complications and change in seizure
frequency. Neurology 73(2):126, 2009a
14. Cunningham, Leveno, Bloom, Spong, Dashe, Hoffman, Cassey, Sheffield.
Williams Obstetry24TH Edition. 2014.
15. Rao A, Cuthbertson A, Hollis P, Berner C, Roberts D, Moon S, et al.
Management Of Pregnant Patients With Epilepsy. 2015. p. 1–10.
16. Sethi N, Wasterlain A, Harden C. Pregnancy and epilepsy-when your
managing both. J Fam Pract [Internet]. 2010;59(12):675–9. Available
from: http://cat.inist.fr/?aModele=afficheN&cpsidt=23688661
17. Kementerian Kesehatan. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas
Kesehatan Dasar Dan Rujukan. Pedoman Bagi Tenaga Kesehatan. Edisi
Pertama. Tahun 2013.

Anda mungkin juga menyukai