Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi hampir
sama, walaupun beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara
berkembang. Kejang grandmal merupakan faktor komplikasi yang serius pada waktu
pembedahan, dan harus diterapi secara agresif untuk mencegah jejas muskuloskeletal,
hiperventilasi, hipoksemia dan aspirasi isi lambung.1
Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005, epilepsi adalah suatu kelainan otak yang
ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik,
perubahan neurologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik
sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan / atau
gejala yang timbul sepintas (transient) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau
sinkron yang terjadi di otak. Apabila serangan kejang pada epilepsi terjadi terus
menerus tanpa adanya periode pemulihan kesadaran diantara periode kejang, disebut
status epileptikus.1
Dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) harus mampu menegakkan
diagnosis epilepsi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat.
Autoanamnesis dan alloanamnesis terhadap pasien, orang tua atau orang yang merawat
dan saksi mata yang mengetahui kejadian diperlukan untuk menggambarkan gejala dan
tanda sebelum, selama dan sesudah bangkitan dan untuk menentukan apakah bangkitan
yang terjadi adalah suatu bangkitan epileptik atau bukan. Apabila diagnosis epilepsi
sudah ditegakkan, secara klinis maka dokter di tingkat layanan primer harus segera
merujuk pasien ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut yang memiliki dokter spesialis
neurologi untuk mendapatkan penanganan lanjutan guna menentukan terapi terbaik bagi
pasien. Terapi Obat Anti Epilepsi (AOE) dapat diberikan oleh dokter di layanan primer
berdasarkan hasil konsultasi (rujukan balik) dari spesialis neurologi kecuali pada daerah
yang tidak ada dokter spesialis neurologi dokter FKTP boleh memberi pertolongan
sebelum merujuk.2

1
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan kondisi bebas bangkitan
dengan efek samping seminimal mungkin sehingga penyandang epilepsi dapat hidup
secara normal dan mencapai kualitas hidup yang optimal. Terapi penyandang epilepsi
dibagi menjadi terapi farmakologis dan non farmakologis (edukasi dan konseling).
Keberhasilan terapi penyandang epilepsi sangat tergantung pada kepatuhan pasien
dalam menjalani terapi yang diberikan. Oleh karena itu, dokter di layanan primer
berperan penting dalam memantau perkembangan terapi serta memberikan edukasi
kepada penyandang epilepsi atau keluarganya tentang penyakit yang dideritanya. Hasil
penatalaksanaan epilepsi hendaknya dipantau secara terencana dan berkesinambungan
serta dicatat pada rekam medis di lembar pemantauan.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Suatu kondisi pada otak yang ditentukan oleh salah satu dari keadaan berikut: (1)
Setidaknya dua kejang tanpa penyebab yang jelas (atau refleks) yang terjadi dalam
waktu >24jam yang berbeda; (2) satu kejang tanpa penyebab yang jelas (atau refleks)
dan kemungkinan kejang selanjutnya serupa dengan risiko kekambuhan umum
(setidaknya 60%) setelah dua kejang tanpa penyebab yang jelas, yang terjadi selama 10
tahun ke depan; (3) diagnosis sindrom epilepsi.3
Epilepsi dianggap dapat remisi pada individu yang memiliki sindrom epilepsi
yang bergantung pada usia, tetapi sekarang telah melewati batasan usia yang berlaku
atau mereka yang tetap bebas kejang selama 10 tahun terakhir, tanpa obat anti kejang
selama 5 tahun terakhir.3
Epilepsi adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai gejala klinis,
disebabkan oleh lepasnya muatan listrik dari neuron-neuron otak secara berlebihan dan
berkala, reversibel dengan berbagai etiologi. Aktifitas kejang dapat terlokalisasi pada
area khusus di otak atau menyeluruh. Kejang fokal dapat meluas menjadi kejang umum.
Secara fisiologi epilepsi didefinisikan merupakan gangguan keseimbangan diantara
eksitasi serebral dan inhibisi adalah ujung terhadap tidak terkontrolnya eksitasi.1
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi
berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan yang
dimaksud dengan bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara tiba-tiba dan sementara,
dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik
sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut
(unprovoked).4
Epilepsi merupakan suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurologis,
kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini
membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya. Sedangkan
bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan / atau gejala yang timbul sepintas

3
(transient) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
Apabila serangan kejang pada epilepsi terjadi terus menerus tanpa adanya periode
pemulihan kesadaran diantara periode kejang, disebut status epileptikus.4
Secara operasional/praktis epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai
dengan kondisi/gejala berikut:1
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak
waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal 60%)
bila terdapat 2 bangkitan tanpa profokasi/ bangkitan refleks (misalkan bangkitan
pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan pertama pada anak
yang disertai lesi structural dan epileptiform dischargers)
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang berulang
tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.

2.2 Epidemiologi
Pada saat ini sekitar 50 juta jiwa hidup dengan epilepsi di seluruh dunia. Perkiraan
proporsi populasi dengan epilepsi aktif (kejang terus menerus atau dengan butuh
pengobatan) pada waktu tertentu adalah 4-10 per 1000 penduduk. Namun, pada
beberapa studi menunjukkan bahwa pada negara berpenghasilan rendah dan menengah
memiliki proporsi yang lebih tinggi yaitu 7-14 per 1000 penduduk. Hampir 80%
penderita epilepsi tinggal di negara dengan penghasilan rendah dan menengah.5
Di Indonesia sendiri, prevalensi penderita epilepsi cukup tinggi berkisar antara
0,5-2%. Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50
tahun, dan setelah itu meningkat lagi. 2 Di Indonesia, belum diketahui pasti jumlah
penderita epilepsi anak. Namun, diperkirakan prevalensi epilepsi di Indoensia adalah 5-
10 kasus per 1000 orang dan insiden 50 kasus per 100.000 orang per tahun. Di Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun terdapat
sekitar 175 – 200 pasien baru per tahun dan terbanyak pada kelompok usia 5-12 tahun.5

4
2.3 Patofisiologi

Setiap orang memiliki kecenderungan untuk mengalami kejang. Konsep ambang


kejang manggambarkan bahwa setiap individu berada dalam kerentanan kejang dengan
banyak faktor yang mempengaruhi kerentanan tersebut. Pengobatan, faktor genetik,
kelainan elektrolit, kondisi tidur, infeksi, atau radang otak atau cedera dari berbagai
penyebab dapat menyebabkan seseorang melewati ambang batas tersebut selanjutnya
berakibat kejang.6

Pada tingkat sel, kejang berawal dari eksitasi neuron otak yang sensitif,
menyebabkan eksitasi tersinkronasi dari sekelompok neuron yang terhubung semakin
besar. Neurotransmitter tidak diragukan memiliki peranan. Glutamat merupakan
neurotransmitter eksitatorik yang paling umum, dan asam gamma-aminobutyric
(GABA) adalah neurotransmitter inhibitorik yang penting. Ketidakseimbangan eksitasi
berlebih dan penurunan inhibisi dapat mencetuskan aktivitas listrik abnormal.
Paroxysmal depolarization shifts (PDS) tampaknya memicu aktivitas epileptiform.
Peningkatan aktivasi atau penurunan penghambatan pelepasan tersebut dapat
menyebabkan kejang. Daerah otak yang terkena sering menunjukkan tanda atau gejala
klinis dari fungsi bagian tersebut.6

Status epileptikus disertai dengan perubahan sistemik asidosis laktat, peningkatan


kadar katekolamin, hipertermia, gangguan pernapasan, dan perubahan sistemik lainnya.
Namun, aktivitas listrik berlebih yang terjadi selama status epileptikus itu sendiri
merusak otak. Terdapat evolusi status epileptikus dari kejang terus menerus menjadi
aktivitas motorik minimal atau tidak ada sama sekali. Aktivitas listrik yang didapatkan
oleh EEG juga berubah. Hasilnya menjadi status epileptikus nonkonvulsif.6
Secara fisiologi epilepsi didefinisikan merupakan gangguan keseimbangan
diantara eksitasi serebral dan inhibisi adalah ujung terhadap tidak terkontrolnya
eksitasi.1
Gamma Amino Butyric Acid (GABA) merupakan neurotransmitor utama untuk
inhibisi, glutamat merupakan neurotransmiter utama pada sinaps eksitasi, pada otak
normal fungsi tergantung keseimbangan dari inhibisi dan eksitasi yang sedang
berlangsung.1

5
Jika eksitasi melebihi inhibisi, jaringan otak akan menjadi hipereksitasi akan
mencapai rendahnya ambang kejang. Jika ketidakseimbangan cukup besar, kejang dapat
terjadi dan dapat akhirnya menjadi epilepsi.1
Kejang didefinisikan gangguan sementara pada fungsi otak, hypersyncronous,
pelepasan yang berlebihan dari cortical neurons. Manifestasi klinik dari kejang
tergantung dari regio spesifik dan luasnya dari otak yang terlibat dan dapat termasuk
perubahan pada fungsi motor, sensasi, ketajaman, persepsi, fungsi otonomik, atau
semua dari yang sudah disebutkan.1
Nilai ambang kejang yang terendah akan memicu mulainya terjadi sensasi,
toleransi nilai yang berlebih akan menimbulkan kejang. Setiap orang mempunyai
keseimbangan yang berhubungan dengan genetik antara eksitasi dan inhibisi pada
otaknya. Proporsi relatif ditentukan pada orang yang mempunyai ambang kejang yang
rendah pada kejang yang dikarenakan keseimbangan eksitasi yang besar atau ambang
kejang yang besar pada kejang yang dikerenakan lebih besar inhibisinya.1

2.4 Klasifikasi
Klasifikasi baru dari Epilepsi adalah klasifikasi bertingkat, dirancang untuk
memenuhi klasifikasi epilepsi di lingkungan klinis yang berbeda (Gbr. 1). Ini adalah
pengakuan dari berbagai variasi sumber daya di sekitar dunia, artinya tingkat klasifikasi
yang berbeda akan mungkin tergantung pada sumber daya yang tersedia untuk klinisi
membuat diagnosis. Jika memungkinkan, diagnosis pada ketiga tingkat ini harus dicari
serta etiologi dari epilepsi individu.7
2.4.1 Tipe Kejang
Titik awal kerangka klasifikasi Epilepsi adalah Jenis Kejang; Hal tersebut
mengasumsikan bahwa dokter telah membuat diagnosis pasti dari kejang epilepsi dan
tidak dimaksudkan sebagai algoritme diagnostik untuk membedakan epilepsi dari
kejadian nonepilepsi. Klasifikasi Jenis Kejang ditentukan sesuai dengan nomenklatur
baru. Kejang diklasifikasikan menjadi onset fokal, onset umum, dan onset tidak
diketahui.7
Di beberapa tempat, klasifikasi menurut Jenis Kejang mungkin merupakan tingkat
maksimum untuk mendiagnosis dimana tidak adanya akses untuk EEG, video. dan studi
pencitraan. Pada kasus lain, mungkin informasi yang tersedia terlalu sedikit untuk dapat

6
membuat diagnosis ke tingkat yang lebih tinggi, seperti ketika pasien hanya mengalami
kejang tunggal.7

2.4.2 Tipe Epilepsi


Tingkat kedua adalah Jenis Epilepsi dan asumsi bahwa pasien memiliki diagnosis
epilepsi berdasarkan Definisi tahun 2014. Tipe Epilepsi termasuk katotegori baru dari
"Gabungan Epilepsi Umum dan Fokal" selain Epilepsi Umum dan Epilepsi Fokal. Ini
juga termasuk kategori yang tidak diketahui. Banyak epilepsi akan mencakup beberapa
jenis kejang.7
Untuk diagnosis Epilepsi Umum, pasien biasanya akan menunjukkan aktivitas
gelombang lonjakan umum pada EEG. Individu dengan epilepsi umum mungkin
memiliki berbagai jenis kejang termasuk absen, mioklonik, atonik, tonik, dan kejang
tonik-klonik. Diagnosis umum epilepsi dibuat atas dasar klinis, didukung oleh
menemukan pelepasan EEG interictal yang khas. Perhatian perlu untuk dilakukan pada
pasien dengan kejang tonik-klonik umum dan EEG normal. Dalam hal ini, bukti
pendukung diperlukan untuk membuat diagnosis umum epilepsi, seperti sentakan
mioklonik atau yang riwayat keluarga yang relevan.7
Epilepsi Fokal mencakup gangguan unifokal dan multifokal serta kejang yang
melibatkan satu belahan. Rentang jenis kejang dapat dilihat termasuk kejang sadar
fokal, kejang fokal dengan gangguan kesadaran, kejang motorik fokal, kejang non-
motorik fokal, dan fokal ke bilateral kejang tonik-klonik. EEG interiktal biasanya
menunjukkan epileptiform fokal discharges, tetapi diagnosis dibuat berdasarkan alasan
klinis, didukung oleh temuan EEG.7

7
Grup baru gabungan umum dan fokal Epilepsi ada, karena ada pasien yang
memiliki kedua kejang umum dan kejang fokal. Diagnosis dibuat berdasarkan alasan
klinis, didukung oleh temuan EEG. Rekaman ictal mumgkin membantu tapi tidak
penting. EEG interiktal dapat menampilkan keduanya gelombang-lonjakan umum dan
epileptiform fokal, tetapi aktivitas epileptiform tidak diperlukan untuk diagnosis.
Contoh umum di mana kedua jenis kejang terjadi adalah sindrom Dravet dan sindrom
Lennox-Gastaut.7
Jenis Epilepsi juga bisa menjadi tingkat pencapaian diagnosis akhir jika dokter
tidak dapat membuat diagnosis Epilepsi sindrom. Contohnya adalah sebagai berikut:
situasi umum seorang anak atau orang dewasa dengan nonlesional epilepsi lobus
temporal yang memiliki Epilepsi Fokal dengan etiologi yang diketahui; seorang anak
berusia 5 tahun yang datang dengan Kejang umum tonik-klonik dan aktivitas
gelombang-lonjakan umum pada EEG yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam
sindrom epilepsi yang diketahui tetapi memiliki diagnosis yang jelas dari Generalized
Epilepsi; atau skenario yang kurang umum dari seorang wanita berusia 20 tahun dengan
kejang fokal disertai gangguan kesadaran dan kejang absen dengan pelepasan fokal dan
umum gelombang lonjakan pada rekaman EEG dan MRI normal, yang memiliki
diagnosis Gabungan Umum dan fokal Epilepsi.7
Istilah "Tidak Diketahui" digunakan untuk menunjukkan dan memahami bahwa
pasien memiliki Epilepsi tetapi dokter tidak dapat menentukan apakah Jenis Epilepsi
bersifat fokal atau umum karena informasi yang tersedia tidak cukup. Ini mungkin
karena berbagai alasan. Mungkin tidak ada akses untuk EEG, atau studi EEG mungkin
tidak informatif, misalnya, normal. Jika Jenis Kejang tidak diketahui, maka Jenis
Epilepsi mungkin tidak diketahui untuk alasan serupa, meskipun keduanya mungkin
tidak selalu sesuai. Misalnya, pasien mungkin mengalami beberapa kejang tonik-klonik
simetris tanpa fitur fokal dan rekaman EEG normal. Jadi permulaan kejang tidak
diketahui dan orang tersebut memiliki tipe epilepsi yang tidak diketahui.7
2.4.3 Sindrom Epilepsi
Tingkat ketiga adalah diagnosis Sindrom Epilepsi. Sebuah Sindrom epilepsi
mengacu pada sekelompok fitur yang menggabungkan jenis kejang, EEG, dan fitur
pencitraan yang cenderung terjadi bersama. Hal ini sering memiliki fitur yang
bergantung pada usia seperti usia saat onset dan remisi (jika ada), pemicu kejang,

8
variasi diurnal, dan terkadang prognosis. Hal ini mungkin juga memiliki penyakit
penyerta yang khas seperti intelektual dan disfungsi kejiwaan, bersama dengan temuan
spesifik pada EEG dan studi pencitraan. Ini mungkin terkait etiologi, prognostik, dan
implikasi pengobatan. Penting untuk dicatat bahwa sindrom epilepsi tidak memiliki
korelasi one-to-one dengan diagnosis etiologi dan melayani tujuan yang berbeda seperti
guiding manajemen. Ada banyak sindrom yang dikenal, seperti epilepsi absensi masa
kanak-kanak, Sindrom West, dan sindrom Dravet, meskipun seharusnya begitu perlu
dicatat bahwa tidak pernah ada klasifikasi formal dari sindrom oleh ILAE. Pendidikan
yang baru-baru ini dikembangkan situs ILAE, epilepsydiagnosis.org, menyediakan
sumber daya yang sangat baik untuk memahami parameter diagnosis, meninjau video
jenis kejang dan fitur EEG pada banyak sindrom, dan telah dirancang sebagai alat
pengajaran.7
2.4.4 Epilepsi Umum Idiopatik
Dalam Epilepsi Umum yang terkenal dan subkelompok umum dari Idiopathic
Generalized Epilepsies (IGE). IGE mencakup empat sindrom epilepsi: Epilepsi Absen
Masa Kecil, Epilepsi Absen Remaja, Epilepsi Mioklonik Remaja dan Serangan Tonik-
Klonik Umum Sendiri (sebelumnya dikenal sebagai Kejang Tonik-Klonik Umum saat
Kebangkitan tetapi dimodifikasi bahwa kejang dapat terjadi kapan saja). Intensi untuk
menghapus istilah "idiopatik" dari nomenklatur Klasifikasi Epilepsi telah disarankan,
karena definisinya adalah "etiologi yang tidak diketahui atau dicurigai selain
kemungkinan cenderung turun-temurun”.7
Istilah Yunani "idios" mengacu pada diri sendiri, milik, dan pribadi, dan dengan
demikian dimaksudkan untuk mencerminkan etiologi genetik tanpa secara eksplisit
mengatakannya. Karena itu idiopatik dapat dianggap sebagai istilah yang tidak tepat
mengingat pengakuan kami yang semakin meningkat dan penemuan gen yang terlibat
dalam banyak epilepsi, termasuk mereka dengan monogenik (dengan patogen bawaan
atau varian de novo) atau kompleks (poligenik dengan atau tanpa faktor lingkungan)
warisan. Selain itu, kata “Genetik” terkadang salah diartikan sebagai sinonim dengan
"diwarisi".7
Oleh karena itu, lebih berarti merujuk pada kelompok sindrom ini sebagai Genetic
Generalized Epilepsies (GGEs), di mana dokter merasa ada cukup bukti untuk
klasifikasi ini. Bukti tersebut diambil dari klinis pada penelitian yang sangat teliti

9
tentang pewarisan sindrom ini pada saudara kembar dan studi keluarga dan tidak
mengartikan bahwa spesifik genetik mutasi telah diidentifikasi. Memang saat ini sudah
jarang kasus bahwa mutasi genetik menyebabkan epilepsi pasien telah ditentukan,
mungkin dengan pengecualian onset perkembangan infantil dan ensefalopati epilepsi, di
mana banyak pasien terbukti mengalami varian patogen de novo. Namun demikian, ada
banyak keinginan untuk mempertahankan istilah IGE. Oleh karena itu Satgas telah
memutuskan bahwa istilah IGE akan diterima secara khusus untuk empat grup sindrom
epilepsi: Epilepsi Absen Masa Kecil, Epilepsi Absen Remaja, Epilepsi Mioklonik
Remaja, dan Serangan Tonik-Klonik Umum Saja. Secara individu kasus, istilah Epilepsi
Umum Genetik dapat digunakan di mana dokter merasa nyaman dengan istilah etiologi
genetik.7
2.4.5 Self-limited focal epilepsies
Biasanya ada beberapa Self-limited focal epilepsies dimulai di masa kanak-kanak.
Yang paling umum adalah self-limited epilepsi dengan lonjakan sentrotemporal,
sebelumnya disebut “epilepsi jinak dengan lonjakan sentrotemporal". Termasuk lainnya
dalam kelompok yang luas ini adalah self-limited epilepsi oksipital masa kanak-kanak,
dengan bentuk awal yang dijelaskan oleh Panayiotopoulos dan bentuk onset terlambat
oleh Gastaut. Self-Limited Lobus frontal lainnya, temporal, dan lobus parietal epilepsi
telah dijelaskan dengan beberapa permulaan di masa remaja dan bahkan kehidupan
dewasa.7
2.4.6 Klasifikasi bangkitan Epileptik menurut ILAE 1981:2
1. Bangkitan Umum: tonik-klonik, Absans, Klonik, Tonik, Atonik, Mioklonik
2. Bangkitan Parsial / Fokal: parsial sederhana, parsial kompleks, kejang umum
sekunder
3. Tidak terklasifikasi
2.4.6.1 Bangkitan Umum
Terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran akan terganggu pada awal kejadian
kejang. Kejang umum dapat terjadi diawali dengan kejang parsial simpleks atau kejang
parsial kompleks. Jika ini terjadi, dinamakan kejang umum tonik-klonik sekunder.2
a. Tonik – Klonik (Grand Mal)
Jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan hilangnya kesadaran dan sering
penderita akan menangis. Jika berdiri, orang akan terjatuh, tubuh menegang (tonik) dan

10
diikuti sentakan otot (klonik). Bernafas dangkal dan sewaktu-waktu terputus
menyebabkan bibir dan kulit terlihat keabuan/ biru. Air liur dapat terakumulasi dalam
mulut, terkadang bercampur darah jika lidah tergigit. Dapat terjadi kehilangan kontrol
kandung kemih. Kejang biasanya berlangsung sekitar dua menit atau kurang. Hal ini
sering diikuti dengan periode kebingungan, agitasi dan tidur. Sakit kepala dan nyeri juga
biasa terjadi setelahnya.2
b. Absens (Petit Mal/Lena)
Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi bisa terjadi pada orang
dewasa), seringkali keliru dengan melamun atau pun tidak perhatian. Sering ada riwayat
yang sama dalam keluarga. Diawali mendadak ditandai dengan menatap, hilangnya
ekspresi, tidak ada respon, menghentikan aktifitas yang dilakukan. Terkadang dengan
kedipan mata atau juga gerakan mata ke atas. Durasi kurang lebih 10 detik dan berhenti
secara tiba-tiba. Penderita akan segera kembali sadar dan melanjutkan aktifitas yang
dilakukan sebelum kejadian, tanpa ingatan tentang kejang yang terjadi. Penderita
biasanya memiliki kecerdasan yang normal. Kejang pada anak-anak biasanya teratasi
seiring dengan pubertas.2 Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan
terminasi mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik pada
mata, dagu dan bibir.3
c. Mioklonik
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat umum atau
terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih ekstremitas, atau satu grup otot.
Dapat berulang atau tunggal.2 Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan otot
secara intens terjadi pada anggota tubuh atas. Sering setelah bangkitan mengakibatkan
menjatuhkan dan menumpahkan sesuatu. Meski kesadaran tidak terganggu, penderita
dapat merasa kebingungan dan mengantuk jika beberapa episode terjadi dalam periode
singkat. Terkadang dapat memberat menjadi kejang tonik-klonik.2
d. Tonik
Bangkitan tonik merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas
menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan kepala ke satu sisi,
dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah dan
kebiruan karena tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak
sensitif, dan pupil dilatasi.3 Terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada otot seluruh

11
tubuh, menyebabkan orang menjadi kaku dan terjatuh jika dalam posisi berdiri.
Pemulihannya cepat namun cedera yang terjadi dapat bertahan. Kejang tonik dapat
terjadi pula saat tertidur.2
e. Atonik
Bangkitan atonik berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya
kepala jatuh kedepan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh sehingga pasien
terjatuh.3 Terjadi mendadak, kehilangan kekuatan otot, menyebabkan penderita lemas
dan terjatuh jika dalam posisi berdiri. Biasanya terjadi cedera dan luka pada kepala.
Tidak ada tanda kehilangan kesadaran dan cepat pemulihan kecuali terjadi cedera.2
f. Bangkitan Parsial / Fokal
Kejang parsial mungkin tidak diketahui maupun dibingungkan dengan kejadian
lain. Terjadi pada satu area otak dan terkadang menyebar ke area lain. Jika menyebar,
akan menjadi kejang umum (sekunder), paling sering terjadi kejang tonik klonik. 60 %
penderita epilepsi merupakan kejang parsial dan kejang ini terkadang resisten terhadap
terapi antiepileptik.2
Parsial Sederhana
Kejang singkat ini diistilahkan “aura” atau “warning” dan terjadi sebelum kejang
parsial kompleks atau kejang tonik klonik. Tidak ada penurunan kesadaran, dengan
durasi kurang dari satu menit.2
Parsial Kompleks
Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung pada area dimulai dan
penyebaran di otak. Banyak kejang parsial kompleks dimulai dengan tatapan kosong,
kehilangan ekspresi atau samar-samar, penampilan bingung. Kesadaran terganggu dan
orang mungkin tidak merespon. Kadang-kadang orang memiliki perilaku yang tidak
biasa. Perilaku umum termasuk mengunyah, gelisah, berjalan di sekitar atau bergumam.
Kejang parsial dapat berlangsung dari 30 detik sampai tiga menit. Setelah kejang,
penderita sering bingung dan mungkin tidak ingat apa-apa tentang kejang.2

Pada tahun 2010 revisi terminologi dan konsep dalam klasifikasi kejang dan
epilepsi daiajukan oleh Komisi Klasifikasi dan Terminologi ILAE (The International
League Against Epilepsy). Klasifikasi revisi ini mengelompokkan dalam kategori
“sindrom elektroklinik,” “konstelasi,” “epilepsi yang berhubungan dengan kondisi

12
struktural atau metabolik,” dan “epilepsi dengan penyebab yang tidak diketahui”.
klasifikasi pada tipe yang individual ini didasarkan pada karakteristik termasuk “usia
pada onset, perkembangan kognitif, pemeriksaan motorik dan sensorik, EEG, faktor
pencetus, pola kejadian kejang berdasar klasifikasi ILAE. Sebagian besar kejang dapat
diklasifikasikan sesuai dengan onset (umum atau fokal) dan ictal utama yang muncul
(motor vs nonmotor).1

Table 1. Simplified clinical classification of seizure type 2

2.5 Etiologi
Kejang dapat diprovokasi atau tidak. Kejang yang diprovokasi, juga dikenal
sebagai kejang dengan gejala akut, dapat terjadi akibat gangguan elektrolit, toksin,
cedera kepala, proses infeksi, kelainan vaskular, tumor atau lesi lain, dan banyak
penyebab lainnya. Beberap penyebab umum tercantum di bawah ini:
 Gangguan elektrolit (hipoglikemia, hiponatremia, hipernatremia, hipokalsemia, dll)
 Intoksikasi akut (antidepressan, simpatomimetik, dll)

13
 Sindrom withdrawal (etanol, benzodiazepin, others)
 Obat anti epilepsi yang tidak teratur dikonsumsi
 Sepsis
 Infeksi susunan saraf pusat
 Hypoxic brain injury
 Traumatic brain injury
 Stroke iskemik atau hemoragik
 Neoplasma
 Inflamasi (lupus cerebritis, anti-NMDA encephalitis, others)
 Demam
 Gangguan tidur

Epilepsi terjadi karena kecenderungan kejang akibat faktor genetik atau proses
patologis kronis. Kejang yang tidak diprovokasi, menurut definisi, terjadi tanpa adanya
penyebab yang jelas atau terjadi lebih dari tujuh hari setelah cedera atau serangan akut
seperti stroke atau perdarahan otak. Kejang berulang yang tidak diprovokasi
menegaskan suatu keadaan epilepsi.6
Terminologi dan konsep baru yang dikembangkan oleh ILAE membagi penyebab
epilepsi menjadi tiga kategori besar: genetik, struktural / metabolik, dan tidak diketahui.
Meskipun kategori ini sesuai dengan kategori-kategori idiopatik, simtomatik, dan
kriptogenik sebelumnya, ada perbedaan konseptual yang penting.1
• Penyebab epilepsi genetis saat epilepsi diduga akibat langsung dan manifestasi inti
dari dugaan defek genetik yang sudah diketahui sebelumnya.
• Penyebab dianggap struktural / metabolik bila lesi struktural (baik statis atau
progresif) atau kondisi metabolik (misalnya, kesalahan metabolisme bawaan) hadir
dan diketahui terkait dengan peningkatan risiko epilepsi. Bila lesi atau kondisi seperti
itu timbul karena cacat genetik, yaitu, ketika ada gangguan terpisah yang diselingi
antara defek genetik dan epilepsi, penyebab epilepsi harus diklasifikasikan sebagai
struktural / metabolik. Oleh karena itu, penyebabnya dikaitkan dengan kondisi yang
paling langsung terkait dan membarengi perkembangan epilepsi.
• Jika sifat penyebabnya tidak diketahui, maka penyebab tersebut tergolong tidak
diketahui. Dalam masing-masing tiga kategori besar tersebut banyak penyebab

14
spesifik yang heterogen. Studi epidemiologi sebelumnya telah mengklasifikasikan
etiologi dalam kategori luas idiopatik / kriptogenik dan simtomatik.1
Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat
penghambatan neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara
neurotransmiter eksitatori dan inhibitori. Definisi neurotransmiter inhibitori seperti
Gamma Amino Butyric Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter eksitatori
seperti glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak normal. Neurotransmiter eksitatori
(aktivitas pemicu kejang) yaitu glutamat, aspartat, asetilkolin, norepinefrin, histamin,
faktor pelepas kortikotripin, purin, peptida, sitokin dan hormon steroid. Neurotransmiter
inhibitori (aktivitas menghambat neuron) yaitu dopamin dan GABA.1
Serangan kejang juga diakibatkan oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan
kanal ion, dan defisiensi ATP-ase yang berkaitan dengan transport ion, dapat
menyebabkan ketidakstabilan membran neuron. Aktifitas glutamat pada reseptor alpha
amino 3 hidroksi 5 methylosoxazole-4- propionic acid (AMPA) dan N-methyl D-
aspartat (NMDA) dapat memicu pembukaan kanal Na+. Pembukaan kanal Na+ ini
diikuti oleh pembukaan kanal Ca 2+, sehingga ion-ion Na+ dan Ca 2+ banyak masuk ke
intrasel. Akibatnya terjadinya pengurangan perbedaan polaritas pada membran sel atau
yang disebut juga dengan depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam penerusan
potensial aksi sepanjang sel saraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat peningkatan
glutamat pada pasien epilepsi menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus
menerus dan memicu aktivitas sel-sel saraf. Beberapa obat antiepilepsi, bekerja dengan
cara memblokade atau menghambat reseptor AMPA dan menghambat reseptor NMDA.
Interaksi antara glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya ion-ion Na+ dan Ca
2+ yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya potensial aksi. Namun felbamat
(antagonis NMDA) dan topiramat (antagonis AMPA) bekerja dengan berikatan pada
reseptor glutamat, sehingga glutamat tidak bisa berikatan dengan reseptornya. Efek dari
kerja kedua obat ini adalah menghambat penerusan potensial aksi dan menghambat
penerusan potensial aksi dan menghambat aktivitas sel-sel saraf yang teraktivasi.
Patofisiologi epilepsi yang meliputi ketidakseimbangan kedua faktor ini akan
menyebabkan instabilitas pada sel-sel saraf tersebut.1

Tabel 2. Etiologi Kejang1

15
2.6 Status Epileptikus
Status epilepticus (SE) adalah keadaan darurat medis yang terdiri dari kejang
persisten atau berulang tanpa kembali ke status mental awal. SE bukan satu kesatuan,
tapi bisa dibagi menjadi subtipe berdasarkan jenis kejang dan etiologi yang
mendasarinya. Manajemen harus dilaksanakan dengan cepat dan berdasarkan jalur
perawatan yang direferensikan terus menerus.1
Tujuannya adalah untuk menghentikan kejang sekaligus mengidentifikasi dan
mengelola kondisi presipitant. Manajemen kejang melibatkan pengobatan “emergent”
dengan benzodiazepin (lorazepam intravena, midazolam secara intramuskular, atau
diazepam secara rektal) diikuti dengan terapi “mendesak” (fenitoin / fosphenytoin,
phenobarbital, levetiracetam atau valproate sodium).1
Lebih dari satu dekade lalu, Epilepsy Foundation of America (EFA)
mendefinisikan SE sebagai kejang yang terus-menerus selama paling sedikit 30 menit
atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran di antaranya.
Definisi ini telah diterima secara luas, walaupun beberapa ahli mempertimbangkan
bahwa durasi kejang lebih singkat dapat merupakan suatu SE. Untuk alasan praktis,
pasien dianggap sebagai SE jika kejang terus-menerus lebih dari 5 menit. Saat ini, ada
beberapa versi pengklasifikasian SE sebagai berikut:6

2.6.1 Generalized Convulsive SE

16
Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya. Generalized mengacu pada
aktivitas listrik kortikal yang berlebihan, sedangkan convulsive mengacu kepada
aktivitas motorik suatu kejang.6
2.6.2 Subtle SE
Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang bertahan saat tidak ada
respons motorik. Terminologi ini dapat membingungkan, karena subtle SE seperti tipe
NCSE (Non-convulsive Status Epilepticus). Walaupun secara definisi subtle SE
merupakan nonconvulsive, namun harus dibedakan dari NCSE lain. Subtle SE
merupakan keadaan berbahaya, sulit diobati, dan mempunyai prognosis yang buruk.6
2.6.3 Nonconvulsive SE
NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan complex partial SE.
Perbedaan 2 tipe ini sangat penting dalam tatalaksana, etiologi, dan prognosis; focal
motor SE mempunyai prognosis lebih buruk.6
2.6.4. Simple Partial SE
Secara definisi, simple partial SE terdiri dari kejang yang terlokalisasi pada area
korteks serebri dan tidak menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda dengan
convulsive SE, simple partial SE tidak dihubungkan dengan mortalitas dan morbiditas
yang tinggi.6
Secara tradisional, SE dapat diklasifikasikan menjadi convulsive dan
nonconvulsive, namun istilah ini dapat tidak tepat. Skema baru klasifi kasi ILAE
(International League Against Epilepsy) telah menolak penggunaan istilah
nonconvulsive, karena dapat merupakan suatu keadaan yang beragam seperti kejang
fokal pada limbic SE ataupun generalized seperti absence SE. Di samping itu, keadaan
convulsive, khususnya kejang myoclonic, dapat terlihat pada nonconvulsive SE,
misalnya kejang di kelopak mata atau perioral. Skema ILAE 2001 mendefinisikan SE
sebagai aktivitas kejang yang terus-menerus dan mengklasifi kasikan SE menjadi dua
kategori, yaitu generalized dan focal SE. Laporan ILAE Core Group (2006) mengklasifi
kasikan bermacam-macam tipe SE, serta berusaha menghindari istilah generalized dan
focal.6

2.7 Faktor Risiko

17
Faktor resiko epilepsi antara lain asfiksia neonatorium, riwayat demam tinggi,
riwayat ibu yang memiliki faktor resiko tinggi (wanita dengan latar belakang susah
melahirkan atau pengguna obat-obatan, hipertensi), pasca trauma kelahiran, riwayat ibu
yang menggunakan obat anti konvulsan selama kehamilan, riwayat intoksikasi obat-
obatan maupun alkohol, adanya riwayat penyakit pada masa anak-anak (campak,
mumps), riwayat gangguan metabolisme nutrisi dan gizi, riwayat keturunan epilepsi.2

2.8 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan electro encepalography (EEG), rekaman EEG merupakan pemeriksaan
yang paling berguna pada dugaan suatu bangkitan. Pemeriksaan EEG akan
membantu menunjukan diagnosis dan membantu menentukan jenis bangkitan
maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan tertentu dapat membantu menentukan
prognosis dan menentukan perlu atau tidaknya pengobatan dengan AED.
b. Pemeriksaan CT scan dan MRI, meningkatkan kemampuan dalam mendeteksi lesi
epileptogenik diotak. Dengan MRI beresolusi tinggi berbagai macam lesi patologi
dapat terdiagnosis secara non invasif, misalnya nesial temporal sklerosis, glioma,
ganglioma, malformasi kavernosus, DNET. Ditemukanya lesi-lesi ini menambah
pilihan terapi pada epilepsi yang refrakter terhadsap OAE.
c. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan hemtologik mencakup hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit,
apusan darah tepi, elektrolit. Pemeriksaan ini dilakukan pada awal pengobatan
beberapa bulan kemudian diulang bila timbul gejala klinik dan rutin setiap tahun
sekali.
2. Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level setelah tercapai steady state,
pada saat bangkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik. Pemeriksaan ini diulang
setiap tahun, untuk memonitor kepatuhan pasien. Pemeriksaan ini dilakukan pula
bila bangkitan ini timbul lagi, atau bila timbul gejala toksisitas, bila akan
dikombinasi dengan obat lain, atau saat melepas kombinasi dengan obat lain, bila
terdapat fisiologi pada tubuh pasien.3

2.9 Terapi

18
Penatalaksanaan pada pasien epilepsi adalah dengan pemberian OAE. Prinsip
terapi farmakologi pada pasien epilepsi antara lain:4
1. OAE diberikan apabila:
a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan.
b. Pastikan factor pencetus bangkitan dapat dihindari.
c. Terdapat minimal 2 bangkitan dalam satu tahun.
d. Pasien dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan.
e. Pasien dan keluarga sudah diberitahu tentang kemungkinan efek samping obat.
2. Terapi dimulai dengan mono terapi, penggunaan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping.
4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan,
ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE
pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
5. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat
diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Indikasi menghentikan obat pada pasien epilepsi antara lain:


1. Secara klinis: bebas bangkitan selama 2 tahun
2. Cara penurunan: secara bertahap (6 minggu s/d 6 bulan)
3. Jika dalam penurunan dosis, bangkitan timbul kembali, OAE diberikan kembali
dengan dosis terakhir yang sebelumnya dapat mengontrol bangkitan.4

Sampai saat ini belum ada konsensus baku penatalaksanaan kejang berkaitan
dengan pemilihan obat dan dosis. Tidak ada obat yang ideal untuk tatalaksana kejang.
Tujuan utama adalah penghentian dari aktivitas kejang klinis dan elektroensefalografik.1
Obat yang umum digunakan untuk mengatasi serangan kejang pada epilepsi
antara lain, carbamazepine, clonazepam, diazepam, clorazepate, phenytoin, gabapentin,
primidone, tiagabine, valproic acid. Efek samping obat tersebut, dapat berupa sedasi,
ataksia, dyskinesia, sensori neuropati, gangguan fungsi hepar, aplastic anemia,

19
leukopenia, trombositopenia, kulit kemerahan (rashes), systemic lupus erythematosus
(SLE), scleroderma, hiponatermi, gangguan fungsi tiroid. Antikonvulsan/ antiepilespi
umumnya memiliki efek resisten terhadap pelumpuh otot dan opioid, diduga obat
tersebut akan meningkatkan klirens dan menurunkan waktu paruh obat-obat anestesi.
Sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi, agar pelumpuh otot dan opioid tersebut
dapat berfungsi. Namun hingga kini, belum diketahui secara pasti, apa yang
menyebabkan hal tersebut. Selain itu, antikonvulsan/anti epilepsi juga memiliki efek
kardiak disaritmia, yang beresiko terjadinya sudden death syndrom. Efek samping lain
adalah angina, neurogenic pulmonary edema, pheochromocytoma syndrom.1

Tabel 3. Dosis obat anti epilepsi untuk orang dewasa6

Obat Dosis Dosis Jumlah Waktu Waktu


Awal Rumatan Dosis per Paruh tercapainya
(mg/hari) (mg/hari) Hari Plasma Steady
(Jam) State
(Hari)
Carbamazepine 400-600 400-1600 2-3x (CR 15-35 2-7
2x)*

Phenytoin 200-300 200-400 1-2x 10-80 3-15


Valproic Acid 500-1000 500-2500 2-3x 12-18 2-4
(CR1-2x)

Phenobarbital 50-100 50-200 1


Clonazepam 1 4 1-2x 20-60 2-10
Oxcarbazepine 600-900 600-3000 2-3x 8-15
Levetiracetam 1000- 1000- 2x 6-8 2
2000 3000
Topiramate 100 100-400 2x 20-30 2-5
Gabapentin 900-1800 900-3600 2-3x 5-7 2
Lamotrigine 50-100 20-200 1-2x 15-35 2-6
*CR: controlled release Waktu paruh tertera di atas adalah pada penyandang yang tidak
menggunakan enzyme inducers

Tabel 4. Efek samping obat anti epilepsi9

Obat Efek Samping

20
Minor (Terkait Dosis) Idiosinkrasi/Mengancam Jiwa
Carbamazepine Ataksia, diplopia, dizziness, Ruam morbiliform,
nyeri kepala, mual, agranulositosis, anemia
mengantuk, netropenia, aplastik, efek hepatotoksik,
hiponatremia, kelelahan sindrom steven-johnson, efek
teratogenik, lupus like
syndrome
Phenytoin Nistagmus, ataksia, mual, Jerawat, coarse feceis,
muntah, hipertrofi gusi, hirsutism, lupus-like syndrom,
depresi, mengantuk, ruam, sindrom steven-johnson,
paradoxial increase in seizure, Dupuytren‘s contracture,efek
anemia megaloblastik hepatotoksik, efek teratogenik
Valprocid Acid Tremor, berat badan Pankreatitis akut, efek
bertambah, dispepsia, mual, hepatotoksik, trombositopenia,
muntah, kebotakan, ensefalopati, udem perifer
teratogenik
Phenobarbital Kelelahan, restlegless, depresi, Ruam makulopapular,
Pada anak : insomnia, eksfoliasi, nekrosis, epidermal
distractability, hiperkinesia, toksik, efek hepatotoksik,
dan irritability arthritic changes, Dupuytren‘s
contracture
Clonazepam Kelelahan, sedasi, mengantuk, Ruam, trombositopenia
dizziness
Pada anak : agresi,
hiperkinesia
Levetiracetam Somnolen, astenia, sering Belum diketahui
muncul ataksia, penurunan
jumlah sel darah merah, kadar
hemaglobin dan hematokrit
Gabapentin Somnolen, kelelahan, ataksia, Efek teratogenik
dizziness, gangguan saluran
cerna
Lamotrigine Ruam, dizziness, tremor, Sindrom steven-johnson,
ataksia, diplopia, nyeri kepala, kegagalan multi organ, efek
gangguan saluran cerna. teratogenik
Clobazam Sedasi, dizziness, irritability,
depresi, dysinhibition
Topiramate Gangguan kognitif, tremor, Efek teratogenik
dizziness, ataksia, nyeri
kepala, kelelahan, gangguan
saluran cerna, batu ginjal

21
Oxcarbazepine Dizziness, diplopia, ataksia, Ruam, efek teratogenik
nyrei kepala, kelemahan,
ruam, hiponatremia

2.9.1 Monoterapi
Monoterapi direkomendasikan untuk pasien dengan epilepsi yang baru
didiagnosis, karena 60% pasien yang baru didiagnosis dengan epilepsi akan bebas
bangkitan dengan pemberian OAE tunggal dengan dosis sedang. Hal yang harus
diperhatikan dalam pemilihan OAE adalah keamanan tolerabilitas dari pasien. Obat
yang dipilih harus mempertimbangkan beberapa aspek di antaranya usia, jenis kelamin,
berat badan, mekanisme obat, efek samping, jenis bangkitan, sindrom epilepsi, riwayat
gangguan jiwa, penyakit lain yang diderita, obat lain yang sedang dikonsumsi dan gaya
hidup pasien. Hal ini dilakukan dengan harapan pasien dapat bebas bangkitan tanpa
toksisitas dan efek samping jangka panjang.10
Kelebihan monoterapi antara lain efektif sebagai pengobatan awal, tidak terjadi
interaksi obat, toksisitas minimum, analisis keberhasilan lebih mudah. Kekurangan
monoterapi adalah gagal mengendalikan bangkitan pada sebagian kecil pasien dan
terdapatnya variasi respons dari setiap individu.
Prinsip praktis dalam keberhasilan monoterapi dalam manajemen epilepsi onset
awal meliputi sebagai berikut: 1) memilih OAE yang sesuai untuk jenis bangkitan yang
spesifik (tabel 1), 2) memilih OAE dengan toksisitas dan efek samping yang dapat
ditoleransi, 3) titrasi OAE secara perlahan sampai dosis yang diinginkan dengan
mempertimbangkan respons pasien terhadap pengobatan, 4) jika monoterapi pertama
tidak dapat digunakan karena terdapat efek samping maka disarankan untuk beralih
pada monoterapi alternatif.10
Penyebab kegagalan monoterapi OAE adalah:
1) diagnosis yang salah (misalnya pasien sinkop dianggap sebagai bangkitan epilepsi),
2) diagnosis tipe bangkitan yang tidak akurat sehingga pilihan OAE tidak sesuai,
3) efek samping yang tidak dapat ditoleransi,
4) reaksi idiosinkratik,
5) adanya lesi otak (terutama progresif),
6) cacat neuropsikiatrik (sering dihubungkan dengan kepatuhan yang buruk),

22
7) kejang fokal,
8) ketidakpatuhan minum obat,
9) faktor farmakogenetik.10

Tabel 5. Pilihan obat anti epilepsi berdasarkan tipe bangkitan10

2.9.2 Politerapi
Sekitar 35% dari pasien dengan epilepsi tidak berespons terhadap monoterapi,
sebagian besar pasien yang sulit disembuhkan menjadi kandidat untuk politerapi.
Politerapi OAE adalah penggabungan dua atau lebih OAE untuk meningkatkan efikasi
(bebas bangkitan) dan tolerabilitas pengobatan. Syarat pemberian politerapi yang
rasional pada pasien epilepsi meliputi kombinasi OAE yang keduanya harus mempunyai
profil obat sebagai berikut.10
2.9.2.1 Mempunyai mekanisme kerja obat yang berbeda satu sama lain
Cara memilih kombinasi OAE salah satunya berdasarkan dari mekanisme kerja
obat, karena OAE yang memiliki mekanisme kerja obat sama kemungkinkan memiliki
efek samping yang sama pula. Deckers et al., meninjau 39 artikel mengenai terapi
kombinasi dua obat OAE dengan kesimpulan kombinasi OAE yang disarankan yaitu
memiliki mekanisme kerja obat yang berbeda, sebagai contoh OAE yang bekerja
sebagai sodium channel blocker dikombinasikan dengan OAE yang bekerja pada
GABA-mimetic. Kombinasi ini telah terbukti lebih efektif dibandingkan pemberian
kombinasi dua agen GABA-mimetic. Tabel mekanisme aksi obat anti epilepsi adalah
sebagai berikut:10

Tabel 6. Mekanisme aksi obat anti epilepsi7

23
2.9.2.2 Tidak memiliki interaksi farmakokinetik yang kompleks
Interaksi farmakokinetik adalah timbulnya perubahan dalam proses penyerapan,
metabolisme, pengikatan protein dan ekskresi suatu obat yang disebabkan oleh adanya
interaksi dengan obat lain. Interaksi ini dapat meningkatkan risiko terjadinya efek
samping dan mempengaruhi efikasi obat. Obat anti epilepsi yang memiliki risiko paling
besar untuk menimbulkan interaksi antar obat adalah jenis obat yang dimetabolisme di
hepar melalui sistem sitokrom P450. Hal ini mempengaruhi clearance OAE atau obat
lain yang dikonsumsi secara bersamaan. Obat yang paling rentan menimbulkan interaksi
adalah fenobarbital, phenytoin, carbamazepine, primidone, asam valproat, topiramate
dan oxcarbazepine.
Kerja suatu obat dapat menghambat kerja obat yang lainnya jika obat-obat
tersebut dalam berinteraksi melibatkan proses induksi enzim hepar. Obat yang
terinduksi enzim hepar tidak mencapai konsentrasi serum yang dapat memberikan efek
terapetik. Obat yang jarang menimbulkan interaksi antar obat adalah gabapentin,
levetiracetam, pregabalin, dan vigabatrin. Hal ini disebabkan obat-obat tersebut tidak
dimetabolisme di hepar dan mempengaruhi sitokrom P450.10
2.9.2.3. Tidak memiliki efek samping yang sama
Obat anti epilepsi dengan mekanisme kerja obat yang sama dapat menyebabkan
peningkatan efek samping saat digunakan dalam kombinasi. Penelitian klinis
menyatakan belum diketahui pasti kemungkinan adanya efek samping tambahan yang
berlipat ganda melalui interaksi farmakodinamik obat.

24
Beberapa bukti menunjukkan jika pemberian dua OAE dengan mekanisme kerja
yang sama akan lebih berisiko menimbulkan interaksi farmakodinamik antar obat yang
memicu terjadinya efek samping sebagai contoh efek samping neurotoksik yang
berlebihan telah dilaporkan pada pasien yang diberikan carbamazepine atau
oxcarbazepine dalam kombinasi dengan lamotrigine. Kedua obat ini sama-sama bekerja
dengan memblokir kanal sodium channel blocker.10
2.9.2.4. Dapat dikombinasikan dalam dosis kecil untuk memberikan efek obat yang
maksimal.
Interaksi farmakodinamik terjadi ketika kombinasi obat-obatan menimbulkan
toksisitas adiktif berlebih atau memberikan manfaat adiktif berlebih tanpa adanya
perubahan konsentrasi obat pada serum. Interaksi farmakodinamik yang baik adalah
interaksi yang menghasilkan manfaat adiktif atau manfaat sinergis tanpa adanya
peningkatan toksisitas yang proporsional. Kombinasi asam valproat dan lamotrigine
merupakan salah satu contoh kombinasi manfaat sinergis.10
Cara melakukan politerapi adalah sebagai berikut: 1) politerapi dilakukan setelah
dua macam obat monoterapi gagal, 2) perlu diperhatikan mengenai aspek lain seperti
diagnosis epilepsi apakah sudah sesuai, tipe bangkitan, sindrom epilepsi, dan kepatuhan
pasien dalam mengkonsumsi OAE sebelum mengganti atau mengkombinasi OAE, 3)
dosis harus ditingkatkan mencapai dosis maksimum yang dapat ditoleransi pasien jika
obat pertama dapat mengurangi bangkitan. Pasien yang belum bebas bangkitan
meskipun OAE pilihan pertama sudah mencapai dosis maksimal maka OAE pilihan
kedua dapat ditambahkan. Obat pilihan kedua harus memiliki mekanisme kerja yang
berbeda dan tidak boleh memiliki profil efek samping yang sama dengan obat pilihan
pertama. Obat dengan mekanisme kerja yang sama sebaiknya tidak dikombinasikan, 4)
pasien dengan yang sudah mulai berespons dengan terapi kombinasi tetapi belum
mencapai bebas bangkitan maka pemberian obat pilihan ketiga dapat diberikan dengan
dosis kecil. Pemberian obat pilihan keempat atau kelima tidak berkontribusi pada
keberhasilan penanganan, 5) pemberian tiga macam obat sekaligus sebaiknya dihindari,
sebagian besar pasien mencapai bebas bangkitan dengan menggunakan kombinasi dua
OAE dan hampir tidak ada yang mencapai bebas bangkitan dengan kombinasi empat
OAE. Pasien yang mengkonsumsi empat atau lebih OAE disarankan mengurangi
menjadi dua atau tiga OAE, 6) pengobatan untuk setiap pasien disesuaikan berdasarkan

25
tipe bangkitan, sindrom epilepsi, usia, jenis kelamin, adanya penyakit komorbid dan
obatobatan lainnya yang sedang dikonsumsi, 7) pasien yang gagal mencapai bebas
bangkitan dengan monoterapi atau kombinasi dari dua atau lebih OAE maka
kemungkinan mengalami drug resistant epilepsy. Pasien tersebut harus dievaluasi lebih
lanjut untuk dipertimbangkan strategi terapi alternatif seperti operasi epilepsi.10
2.9.2.5 Kontraindikasi politerapi adalah pada wanita hamil
Penatalaksanaan epilepsi pada wanita hamil adalah sebagai berikut: 1) wanita
hamil disarankan untuk monoterapi dengan dosis sedang atau minimal. Kontrol
bangkitan yang belum optimal pada pasien dengan tipe bangkitan selain bangkitan tonik
klonik merupakan kondisi yang masih dapat ditoleransi, hal ini diupayakan untuk
mengurangi risiko teratogenesitas dari politerapi, 2) risiko teratogenesitas tertinggi
terjadi saat setelah pembuahan dan trimester pertama, sehingga terapi OAE harus sesuai
dengan prinsip terapi yang rasional sebelum konsepsi, 3) penggunaan asam valproat
dosis tinggi, baik dalam monoterapi atau politerapi sebaiknya dihindari selama
kehamilan. Kombinasi dua OAE dapat berpengaruh pada efek samping obat dan efikasi
terapetik yang dihasilkan oleh kombinasi tersebut.
Konsekuensi yang dapat terjadi di antaranya: 1) kombinasi tersebut tidak
memberikan manfaat, bahkan kedua obat tersebut mempunyai mekanisme kerja yang
saling bertentangan, 2) kombinasi tersebut memberikan manfaat atau efek samping yang
lebih kecil atau sama dengan pemberian obat monoterapi (adiktif), 3) kombinasi
tersebut memberikan manfaat atau efek samping yang lebih besar dibanding dengan
pemberian obat monoterapi (supra-additive). Ada beberapa pendapat yang mengatakan
supaya politerapi ini “rasional” maka dibutuhkan kombinasi dua OAE yang dapat
memberikan efikasi terapetik supra-additive. Kombinasi obat yang dapat dilakukan
antara lain kombinasi asam valproat dan lamotigrine untuk penanganan bangkitan tipe
lena. Penggunaan kombinasi OAE lainnya seperti asam valproat dengan ethosuximide
untuk penanganan bangkitan tipe lena, vigabatrin dengan tiagabine untuk epilepsi
refrakter, dan carbamazepine dengan asam valproat atau vigabatrin untuk bangkitan
fokal.10

2.10 Edukasi

26
Edukasi kesehatan adalah suatu bentuk perlakuan atau upaya yang ditujukan pada
perilaku agar perilaku tersebut kondusif untuk kesehatan dengan kata lain edukasi
kesehatan mengupayakan agar perilaku individu mempunyai pengaruh positif terhadap
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Tujuan pemberian edukasi pada pasien
epilepsi adalah untuk meningkatkan pengetahuan terhadap penyakit epilepsi,
konsekuensi, diagnosis dan terapi serta meningkatkan pemahaman terhadap masalah
psikososial.11
Epilepsi merupakan penyakit yang membutuhkan pengobatan dalam jangka waktu
yang lama, oleh karena itu perlu dipantau tingkat kepatuhan pada pengobatan epilepsi.
Kepatuhan minum obat berpengaruh pada tercapainya target pengobatan yang optimum
dan penurunan komplikasi. Adanya ketidakpatuhan pasien dapat memberikan efek
negatif yang sangat besar.11
Faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penderita epilepsi adalah
dukungan keluarga, dukungan dokter, pengaruh faktor motivasi, adanya efek samping
obat, pengobatan monoterapi, dan pengaruh biaya pengobatan. Dengan demikian, pada
pengobatan epilepsi kita harus memperhatikan faktor-faktor apa saja yang akan
berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan, di samping tentunya faktor obat yang
efikasius, dosis yang tepat dan cara pemberian obat yang tepat juga harus diperhatikan.11
Faktor resiko epilepsi antara lain asfiksia neonatorium, riwayat demam tinggi,
riwayat ibu yang memiliki faktor resiko tinggi (wanita dengan latar belakang susah
melahirkan atau pengguna obat-obatan, hipertensi), pasca trauma kelahiran, riwayat ibu
yang menggunakan obat anti konvulsan selama kehamilan, riwayat intoksikasi obat-
obatan maupun alkohol, adanya riwayat penyakit pada masa anak-anak (campak,
mumps), riwayat gangguan metabolisme nutrisi dan gizi, riwayat keturunan epilepsi.11
Penyebab timbulnya kejang pada penderita antara lain ketidakpatuhan meminum
obat sesuai jadwal yang diberikan oleh dokter dan dosis yang telah ditetapkan,
meminum minuman keras seperti alkohol, memakai narkoba seperti kokain atau pil lain
seperti ekstasi, kurangnya tidur pada penderita, mengkonsumsi obat lain sehingga
mengganggu efek obat epilepsi.11

2.11 Prognosis

27
Kekambuhan setelah bangkitan pertama terjadi kurang dari setengah pada anak
atau dewasa muda dengan EEG normal, neuroimaging normal, dan tidak ada riwayat
penyebab epilepsi simptomatis. Sedangkan pada usia tua kekambuhan dapat mencapai
70%.12
Bangkitan yang pertama kali timbul pada usia tua lebih mudah diobati
dibandingkan pada kelompok usia yang lebih muda, dengan persentase kejadian bebas
kejang 60%-70% dengan monoterapi.12 Kejang yang tidak ditangani juga dapat
menimbulkan bahaya seperti jatuh, fraktur, cedera kepala, sudden death, dan status
epileptikus.12

BAB III

28
KESIMPULAN

Epilepsi adalah manifestasi gangguan otak, disebabkan oleh lepasnya muatan


listrik dari neuron-neuron otak secara berlebihan dan berkala, aktifitas kejang dapat
terlokalisasi pada area khusus di otak atau menyeluruh. Kejang fokal dapat meluas
menjadi kejang umum/general. pada pasien epilepsi diperlukan perhatian mulai
preoperatif hingga postoperatif. Apabila pasien mendapat pengobatan epilepsi harus
diteruskan sampai tiba saatnya menjalani anestesi. Selama prosedur anestesi harus
diperhatikan hal-hal yang dapat menyebabkan kejang, dan dipersiapkan untuk penangan
kejang.
Berdasarkan consensus ILAE 2014, epilepsi dapat ditegakkan pada tiga kondisi,
yaitu terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah lebih dari 24 jam,
terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi, namun resiko kejang selanjutnya sama
dengan resiko rekurensi umum setelah dua kejang tanpa provokasi dalam 10 tahun
mendatang, serta sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan EEG).
Tujuan tatalaksana adalah status bebas kejang tanpa efek samping. Obat-obat
lini pertama untuk epilepsi antara lain karbamazepine, lamotrigine, asam valproat,
fenobarbital, fenitoin. Terapi lain berupa terapi non-farmakologi dan terapi bedah
(lobektomi dan lesionektomi).
Diharapkan pada penderita untuk terapi secara rutin untuk meminimalisir angka
kekambuhan serta para tenaga medis mendukung penderita dari segi fisik maupun
mental. Bagi pemerintah untuk mengatur regulasi serta infrastruktur yang memadai
untuk penderita dalam menjalani pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

29
1. Apsari RKF, Rahardjo S, Prayunanto E. 2018. Manajemen Anestesi Pada Epilepsi.
Jurnal Komplikasi Anestesi. 5(2); 73-80.
2. Kristanto A. 2017. Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP Sanglah
Denpasar-Bali. Intisari Sains Medis. 8(1): 69-73.
3. Fisher RS, Cross JH, D’Souza C, French JA, Haut SR, Higurashi N, et al.
Instruction manual for the ILAE 2017 operational classification of seizure types.
Epilepsia. 2017;58(4):531–42.
4. Repindo A, Zanariah Z, Oktafany. 2017. Epilepsi Simptomatik Akibat Cidera
Kepala pada Pria Berusia 20 Tahun. Medula. 7(4); 26-29.
5. Yolanda NGA, Sareharto TP, Istiadi H. 2019. Faktor Faktor Yang Berpengaruh
Pada Kejadian Epilepsi Intraktabel Anak Di Rsup Dr Kariadi Semarang. Jurnal
Kedokteran Diponegoro. 8(1); 378-389.
6. Huff JS, Murr N. Seizure. [Updated 2020 Sep 18]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430765/?report=classic.
7. Scheffer IE, Berkovic S, Capovilla G, Connolly MB, French J, Guilhoto L, et al.
ILAE classification of the epilepsies: Position paper of the ILAE Commission for
Classification and Terminology. Epilepsia. 2017;58(4):512–21.
8. Rilianto B. 2015. Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus. CDK-233. 42(10):
750-754.
9. Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Edisi
ke-5. Surabaya: Airlangga University Press. 2014.
10. Khairani AF, Sejahtera DP, Fauzal IA. 2019. Strategi pengobatan epilepsi:
monoterapi dan politerapi. Berkala Neurosains. 18(3). 115-119.
11. Kuncoro PT, Thursina C, Setyaningsih I. 2019. Pengaruh pemberian edukasi dan
leaflet terhadap penurunan frekuensi bangkitan epilepsi anak. Berkala Neurosains.
18(3). 136-141.
12. Pengurus Besar IDI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. Edisi 1. Jakarta: PB IDI, 2015.

30

Anda mungkin juga menyukai