STASE ANASTESIOLOGI
SMF ANASTESIOLOGI
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2021
1. Mengapa pada perempuan lebih tinggi kejadian PONV dibanding laki-laki? (pertanyaan
Naufal Dian Fajarianto)
Perempuan memiliki risiko 2 sampai 4 kali lebih banyak mengalami PONV daripada laki-laki
karena pengaruh hormon gonadotropin, walaupun mekanismenya belum dapat dijelaskan
secara rinci. Faktor ini merupakan faktor prediksi terkuat terjadinya PONV dari 22 penelitian
yang dilakukan systematic review.
Pasien wanita memiliki resiko PONV tiga kali dibandingkan pasien pria, sehingga wanita
menjadi faktor risiko individual yang penting. Risiko tersebut meningkat pada saat pubertas.
Kemungkinan disebabkan jumlah lemak lebih banyak daripada laik-laki sehingga waktu
eliminasi agen anastesi larut lemak memanjang. Selain itu tingginya angka PONV pada
wanita kemungkinan juga disebabkan faktor hormon estrogen dan progesterone dan
fluktuasinya menjelang menstruasi. Namun untuk secara pasti belum ada penelitian atau
teori yang mendukung bagaimana proses hormone estrogen dan progesterone dapat
mempengaruhi PONV.
Sumber:
Apfel CC, Heidrich M, Jukar-rao S, Jalota L, Hornuss C, Whelan RP, dkk. Evidencebased
analysis of risk factors for postoperative nausea and vomiting. Br J Anaesth. 2012;12(3):1–
12.
Apfel CC. PONV: A problem of inhalational anaesthesia? Best Practice and Research
Clinical Anaesthesiology 2005; 19(3):485-500
2. Mengapa PONV banyak terjadi pada pasien pasca operasi abdominal dan middle ear?
( pertanyaan Theresia Alfionita Sinulingga)
Terdapat 5 jalur aferen yang terlibat dalam stimulasi muntah :
1. chemoreceptor trigger zone (CTZ)
2. Jalur mukosa vagal pada sistem pencernaan
3. Jalur neuronal dari sistem vestibular
4. Jalur refleks aferen dari korteks cerebri
5. Midbrain afferents.
Stimulasi pada salah satu jalur di atas dapat mengaktivasi sensasi mual muntah melalui
reseptor kolinergik (muskarinik), dopaminergic, histaminergic, atau serotonergic.
Pembedahan dengan peningkatan TIK, obstruksi GI, strabismus, laparotomy, kehamilan,
aborsi dan kemoterapi mempunyai kejadian PONV yang lebih besar. Pembedahan pada
abdominal dengan respon inflamasi saluran pencernaan akibat manipulasi/intervensi usus
besar menyebabkan pelepasan substans P dan 5-HT yang akan memicu aferen serabut saraf
vagus dari saluran pencernaan menstimulus chemoreceptor trigger zone (CTZ). Disana
terdapat faktor mekanoreseptor (deteksi distensi dinding perut, contoh karena obstruksi usus
besar) dan kemoreseptor (deteksi toksin). Sedangkan, perubahan tekanan pada middle ear
menghasilkan traksi membrane gendang telinga dan berakibat menstimulasi sistem
vestibular.
Sumber:
Tramer MR. Strategies for post operative nausea and vomiting. Best Practice and Research
Clinical Anaesthesiology 2004; 18(4):693-701
Safiya I S, et al. Postoperative nausea and vomiting: A simple yet complex problem.
Anesth Essays Res. 2016; 10(3): 388–396.
3. Mengapa kejadian PONV lebih tinggi pada pasien yang bukan perokok? (pertanyaan
Muizzadin Hasani)
Terdapat efek proteksi rokok terhadap kejadian PONV karena terdapat induksi enzim
CYP450 oleh aromatik hidrokarbon polisiklik yang terdapat dalam tar rokok. Hal tersebut
menyebabkan peningkatan metabolisme obat-obat anestesi. Hal ini juga kemungkinan
disebabkan nikotin meningkatkan konsentrasi synaps dari dopamin dengan cara
menghambat jalur GABAergik.
Sumber:
Farhat K, Waheed A, Pasha AK, Iqbal J, Mansoor Q. Effect of smoking on nausea,
vomiting, and pain in the postoperative periode. J Postgrad Med Inst. 2014;28(3):277–81.
Tramer MR. Strategies for post operative nausea and vomiting. Best Practice and Research
Clinical Anaesthesiology 2004; 18(4):693-701
4. Mengapa kejadian PONV lebih rendah pada orang yang mengkonsumsi alkohol?
(pertanyaan Dede Mega Apriliana)
Peminum alkohol akan mengalami risiko PONV yang lebih rendah daripada orang yang
bukan peminum alkohol, dikarenakan alkohol bersifat menekan sistem saraf pusat dimana
seluruh tubuh pasien akan terganggu seperti gangguan berjalan dan bicara diluar kesadaran.
Zat kimia alkohol juga akan menekan neurotransmitter bagian vomiting center sehingga
pengguna akohol lebih memiliki risiko rendah untuk PONV dikarenakan reseptor untuk
mual muntahnya tertekan.
Sumber:
VA Rhodes, R W McDaniel. Nausea, vomiting, and retching: complex problems in palliative
care. 2001; 51(4):232-248.
5. Antagonis reseptor kolinergik dan histamine menghasilkan efek samping yaitu gangguan
penglihatan, bagaimana penatalaksanaannya? (pertanyaan Fikri Lukman Hakiem)
Efek samping antagonis reseptor kolinergik dibedakan menjadi 2 jenis yaitu efek samping
perifer dan sentral. Efek samping perifer lebih bersifat fisik daripada efek samping sentral
dan oleh karena itu mungkin lebih mudah untuk didiagnosis. Gejala khas termasuk mulut
kering, sembelit, retensi urin, obstruksi usus, pupil membesar, penglihatan kabur, detak
jantung meningkat, dan penurunan keringat. Penatalaksanaan efek samping antikolinergik
bisa sederhana, meskipun situasi tertentu mungkin timbul yang memerlukan perhatian
khusus. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengurangi dosis. Pengurangan
dosis terkadang dapat memperbaiki efek antikolinergik. Mengubah ke antiemetik pada jalur
berbeda juga dapat mencegah kelanjutan gejala. Sedangkan efek samping antagonis
histamine pada umumnya bergantung pada kondisi pasien dan hanya memiliki efek samping
ringan seperti nyeri kepala, pusing, lemas, nyeri perut, konstipasi atau diare.
Sumber:
Joseph A. Lieberman. Managing Anticholinergic Side Effects. Prim Care Companion J.2004;
6(2) pg: 20-23
6. Apakah terdapat perbedaan dosis obat antara pasien dengan faktor risiko PONV yang rendah
dibanding pasien dengan faktor risiko tinggi? ( Pertanyaan Andrionaldy)
Baseline untuk mencegah angka insidensi PONV berdasarkan faktor risiko menggunakan
strategi yang direkomendasikan:
1. Menghindari penggunaan anesthesia umum dengan menggunakan anesthesia regional
2. Menggunakan propofol untuk induksi dan maintenans anesthesia
3. Menghindari penggunaan nitrous oxide
4. Menghindari penggunaan agen anesthesia volatile (liquids at room temperature and
require the use of vaporizers for inhalational administration)
5. Meminimalisir penggunaan opioid pada intra dan post operatif
6. Hidrasi adekuat
Pada asesmen preoperative, perlu kita identifikasi apakah pasien memiliki faktor risiko.
Beberapa faktor lain yang tidak dapat dihindari kebanyakan adalah faktor pasien dan jenis
operasi sehingga yang perlu diupayakan adalah untuk meminimalisir risiko kejadian PONV dan
disaat bersamaan memastikan faktor-faktor lain seperti nyeri post operasi tidak terlibat.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Penundaan operasi hingga perut kosong (pastikan pasien mulai berpuasa 6 jam sebelum
tindakan. Pada pasien dengan kondisi perut penuh/berisi, berikan antasida dan prokinetik
( sodium citrate dan metoklopramid) untuk meminimalisir risiko regurgitasi dan PONV.
2. Hindari ventilasi manual yang terlalu lama
3. N2O diperkirakan menyebabkan PONV melalui distensi usus dan telinga tengah,
sehingga penggunaannya dikurangi pada pasien yang diprediksi memiliki faktor risiko
mengalami PONV
4. Total intravenous anaesthesia (TIVA) merupakan teknik anesthesia dimana pasien
menghirup udara yang kaya oksigen dan anesthesia dipertahankan hanya menggunakan
agen-agen intravena. Hal ini dapat menghindari penggunaan N2O dan agen anestesi
inhalasi lainnya. Pada kondisi ini, propofol memiliki keuntungan sebagai antiemetic
5. Hipotensi harus dihindari terutama ketika anestesi spinal dilakukan.
6. Penggunaan cairan intravena
7. Terapi kombinasi dengan antiemetic pada jalur dan reseptor berbeda (multimodal) lebih
efektif dibandingkan monoterapi (missal kombinasi ondansentron, deksametason dan
droperidol)
Sumber:
Tong J G, et al. Consensus Guidelines for The Management of Postoperative Nausea and
Vomiting. 2014; 118(1) pg 89.
Sumber:
Pusch F, Berger A, Wildling E, et al. The Effects of Systolic Arterial Blood Pressure Variations
on Postoperative Nausea and Vomiting. Anesthesia & Analgesia. 2002; 94(6) pg. 1652-1655
8. Bagaimana cara membedakan apakah yang terjadi pada pasien adalah akibat PONV atau
akibat tindakan pembedahan? (pertanyaan dr. Erlina, Sp.An)
PONV dianggap merupakan suatu keadaan klinis yang memiliki karakter dapat
sembuh/pulih sendiri dan tidak pernah menjadi kronik dan hampir tidak menyebabkan
mortalitas. Meskipun demikian, kejadian PONV lebih sering menyebabkan
ketidaknyamanan pada pasien dibandingkan nyeri pasca bedah. Mual (Nausea)
menyebabkan pasien tidak nyaman dan muntah (Vomiting) menyebabkan meningkatnya
risiko aspirasi, dan berhubungan dengan terbukanya jahitan, ruptur esophagus, empisema
subkutis dan pneumothoraks bilateral. Oleh sebab itu tetap diperlukan pemberian obat
antiemetik untuk menangani kejadian PONV. Membedakan dengan mual dan muntah akibat
tindakan pembedahan pertama dapat dilihat dari onset. PONV yang disebabkan oleh agen
anesthesia biasa akan membaik dalam waktu 24 jam. Sedangkan pada mual dan muntah
akibat pembedahan bersifat kronik.
Sumber: