Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat

harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat

dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi (Dachlan, 1989). Pemilihan obat serta teknik anestesi

harus dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga pasien dapat cepat pulih sadar tanpa efek

samping khususnya mual muntah.

Post operatif Nausea and Vomiting (PONV) merupakan The Big Little Problem

paska operasi. Insiden PONV mencapai 75-80% pada masa anestesia eter dan saat ini dapat

diturunkan menjadi 20-30% dengan obat-obat anestesia modern pengganti eter. Lebih sering

terjadi pada wanita dan obesitas.

Mual dan muntah paska bedah merupakan satu dari efek samping yang paling sering

timbul akibat pembedahan (Quinn, 1994). PONV dapat mengubah suatu pembedahan yang

berhasil jadi bermasalah bagi pasien. Dalam banyak kasus pembedahan, menghindari PONV

1
11
bahkan sangat penting bagi pasien, sehingga menghindari PONV menjadi lebih penting

dibandingkan dengan rasa nyeri paska operasi (Koivuranta, 1997; Macario, 1999).

Banyak faktor timbulnya mual muntah paska bedah, maka pencegahannya tidak

mudah. Berbagai usaha terus dilakukan untuk mencegah atau menurunkan kekerapan mual dan

muntah paska bedah, juga menurunkan derajat mual dan muntah paska bedah dengan tujuan

agar tidak terjadi komplikasi seperti gangguan elektrolit, perdarahan didalam rongga perut dan

mencegah terjadinya aspirasi muntahan. Oleh karena itu pencegahan mual dan muntah paska

bedah harus dimulai sejak pra bedah, seperti penyiapan pasien untuk pembedahan, pemilihan

jenis obat dan teknik anestesia yang dipakai, juga pemilihan jenis obat premedikasi anti mual

dan muntah yang sesuai (Watcha MF,dkk., 1992).

Dalam penelitian ini digunakan jenis obat, ondansetron. ondansetron adalah obat yang

sering digunakan untuk mencegah PONV. Ondansetron merupakan obat selektif terhadap

antagonis reseptor 5-hidroksi-triptamin (5-HT3) di otak, dan bekerja pada aferen nervus vagus

(Farid et al., 2005).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka timbul rumusan

masalah yaitu Efek Penambahan Ondansetron Terhadap Efek Samping Mual Muntah Pada

Anestesi Spinal Operasi Apendiks Dan Repair Hernia Di Rsud Nganjuk

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Efek Samping Mual Muntah Pada

Anestesi Spinal Operasi Apendiks Dan Repair Hernia.

2
22
1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi

Sebagai dasar penelitian multisenter selanjutnya dengan sampel yang memadai,

sehingga pada akhirnya dapat diperoleh hasil yang benar-benar obyektif.

2. Bagi Pasien

Mendapatkan pelayanan yang optimal dengan efek samping yang minimal.

3. Bagi Peneliti

Memperoleh pengalaman ilmiah dan klinis dalam melakukan penelitian dan

mengelola pasien yang menjalani operasi

3
33
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. MUAL MUNTAH PASCA OPERASI

Mual muntah pasca operasi atau Post Operative Nausea and Vomiting (PONV) tidak

mengenakkan bagi pasien dan potensial mengganggu penyembuhan pasca operatif. Kapur

mendeskripsikan PONV sebagai the big little problem pada pembedahan ambulatori. Mual

adalah suatu sensasi tidak enak yang bersifat subjektif yang berhubungan dengan keinginan

untuk muntah. Muntah adalah ekspulsi dengan tenaga penuh dari isi gaster. Retching adalah

ketika tidak ada isi lambung yang keluar walaupun dengan kekuatan otot untuk

mengeluarkannya. Hal ini merupakan mekanisme pertahanan yang penting untuk mencegah

penimbunan toksin. Stimulus yang bisa mecetuskan mual dan muntah berasal dari olfaktori,

visual, vestibular dan psikogenik. Kemoreseptor pada CTZ memonitor level substansi di

darah dan cairan serebrospial dan dan faktor faktor lainnya juga bisa mencetuskan

terjadinya PONV.

Muntah diawali dengan bernafas yang dalam, penutupan glotis dan naiknya langit

langit lunak. Diafragma lalu berkontraksi dengan kuat dan otot otot abdominal

berkontraksi untuk meningkatkan tekanan intra-gastrik. Hal ini menyebabkan isi lambung

keluar dengan penuh tenaga ke esofagus dan keluar dari mulut.

Jalur alamiah dari muntah belum sepenuhnya dimengerti namun beberapa mekanisme

patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah telah diketahui. Koordinator utama

4
44
adalah pusat muntah, kumpulan saraf saraf yang berlokasi di medulla oblongata. Saraf

saraf ini menerima input dari :

Chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area postrema

Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan mual karena

penyakit telinga tengah)

Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)

Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan cedera

fisik)

Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)

Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik dari usus

berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus.

a) Mekanoreseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh kontraksi dan

distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama operasi.

b) Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif terhadap stimulus

kimia.

Pada area CTZ kaya akan reseptor dopamine dan 5-hydroxytryptamine, khususnya

5HT3. CTZ tidak dilindungi oleh sawar darah otak, oleh karena itu bisa terpapar oleh

stimulus stimulus (mis: obat obatan dan toksin). Bisa juga dipengaruhi oleh agen

anestesi, opioid dan faktor humoral (cth 5HT) yang terlepas pada saat operasi. Sistem

vestibular bisa menstimulasi PONV sebagai akibat dari operasi yang berhubungan dengan

telinga tengah, atau gerakan post operatif. Gerakan tiba tiba dari kepala pasien setelah

bangun menyebabkan gangguan vestibular telinga tengah, dan menambah insiden PONV.

5
55
Acetilkoline dan histamin berhubungan dengan transmisi sinyal dari sistem vestibular ke

pusat muntah. Pusat kortikal yang lebih tinggi (cth sistem limbik) juga berhubungan,

terutama jika adanya riwayat PONV. Hal ini mencetuskan mual dan muntah yang

berhubungan dengan rasa, penglihatan, bau, memori yang tidak enak dan rasa takut. Pusat

muntah adalah medulla oblongata yang letaknya sangat dekat dengan pusat viseral lainnya

seperti pusat pernafasan dan vasomotor.

Etiologi muntah pada PONV merupakan multifaktorial. Faktor faktornya bisa

diklasifikasi berdasarkan sikuensi keterpaparan pasien yaitu :

1. Faktor faktor pasien

a. Umur : insidensi PONV 5% pada bayi, 25% pada usia dibawah 5 tahun, 42 51%

pada umur 6 16 tahun dan 14 40% pada dewasa.

b. Gender : wanita dewasa akan mengalami PONV 2 4 kali lebih mungkin

dibandingkan laki laki, kemungkinan karena hormin perempuan.

c. Obesitas : dilaporkan bahwa pada pasien tersebut lebih mudah terjadi PONV baik

karena adipos yang berlebihan sehingga penyimpanan obat obat anestesi atau

produksi estrogen yang berlebihan oleh jaringan adipos.

d. Motion sickness : pasien yang mengalami motion sickness lebih mungkin terkena

PONV

e. Perpanjangan waktu pengosongan lambung : pasien dengan kondisi ini akan

menambah resiko terjadinya PONV

f. Perokok : bukan perokok akan lebih cenderung mengalami PONV

6
66
2. Faktor faktor preoperatif

a. Makanan : waktu puasa yang panjang atau baru saja makan akan meningkatkan

insiden PONV

b. Ansietas : stess dan ansietas bisa menyebabkan muntah

c. Penyebab operasi : operasi dengan peningkatan tekanan intra kranial, obstruksi

saluran pencernaan, kehamilan, aborsi atau pasien dengan kemoterapi.

d. Pre medikasi : atropine memperpanjang pengosongan lambung dan mengurangi

tonus esofageal, opioid meningkatkan sekresi gaster, dan menurunkan motilitas

pencernaan. Hal ini menstimulasi CTZ dan menambah keluarnya 5-HT dari sel

sel chromaffin dan terlepasnya ADH.

3. Faktor faktor intraoperative

a. Faktor anestesi

i. Intubasi : stimulasi mekanoreseptor faringeal bisa menyebabkan muntah ii.

Anestetik : kedalaman anestesi atau inflasi gaster pada saat ventilasi dengan

masker bisa menyebabkan muntah

iii. Anestesia : perubahan posisi kepala setelah bangun akan merangsang

vestibular

iv. Obat obat anestesi : opioid adalah opat penting yang berhubungan dengan

PONV. Etomidate dan methohexital juga berhubungan dengan kejadian

PONV yang tinggi.

7
77
v. Agen inhalasi : eter dan cyclopropane menyebabkan insiden PONV yang

tinggi karena katekolamin. Pada sevoflurane, enflurane, desflurane dan

halothane dijumpai angka kejadian PONV yang lebih rendah. N2O

mempunyai peranan yang dalam terjadinya PONV. Mekanisme terjadinya

muntah karena N2Okarena kerjanya pada reseptor opioid pusat, perubahan

pada tekanan telinga tengah, stimulasi saraf simpatis dan distensi gaster.

b. Tehnik anestesi

Insiden PONV diprediksi lebih rendah dengan spinal anestesi bila

dibandingkan dengan general anestesi. Pada regional anestesi dijumpai insiden

yang lebih rendah pada emesis intra dan postoperatif.

c. Faktor pembedahan :

i. Kejadian PONV juga berhubungan dengan tingginya insiden dan keparahan

PONV. Seperti pada laparaskopi, bedah payudara, laparatomi, bedah plastik,

bedah optalmik, bedah THT, bedah ginekologi.

ii. Durasi operasi (setiap 30 menit penambahan waktu resiko PONV meningkat

sampai 60%). 2

4. Faktor faktor post operatif 2

Nyeri, pusing, ambulasi, makan yang terlalu cepat.

Mekanisme terjadinya PONV sangat kompleks tapi faktor faktor tertentu diketahui

meningkatkan insiden. Faktor faktor preoperatif yang berhubungan dengan pasien seperti

umur, gender, keseimbangan hormonal, berat badan, isi lambung, riwayat sebelumnnya,

kecemasan dan riwayat mual muntah. Faktor faktor post operatif adalah tekhnik atau obat

8
88
yang berhubungan dengan hipotensi, nyeri, analgesia opioid, intake oral yang cepat dan

pergerakan. Thomson juga menegaskan bahwa penggunaan opioid menstimulasi pusat

muntah melalui CTZ tanpa pengaruh dari jalur maupun waktu pemberiannya.

Intervensi untuk mencegah PONV tidaklah perlu untuk semua populasi pasien, bahkan

tanpa profilaksis pasien belum tentu mengalami simptom tersebut. Terlebih lagi intervensi

yang dilakukan kurang efikasinya, terutama yang monoterapi. Oleh karena itu, penting untuk

memberikan intervensi pada pasien yang mungkin mengalami PONV. Bagaimanapun,

pengertian mengenai faktor resiko PONV belumlah lengkap, untuk mengerti tentang

patofisiologi dan faktor resiko PONV dipersulit oleh banyaknya faktor karena banyaknya

reseptor dan stimulus. Setidaknya ada 7 neurotransmiter yang diketahui, serotonin,

dopamine, muscarine, acetylcholine, neurokinin 1, histamine dan opioid. Pengertian

mengenai faktor resiko PONV mengalami peningkatan sejak awal 1990an dengan analisa

stastistik yang lebih baik dan adanya stratifikasi. Perkembangan dan prediksi dengan sistem

skoring berdasarkan penelitian dan publikasi penelitian yang menggunakan sistem skoring

untuk menentukan profilaksis, menuntun kita untuk mengaplikasikan faktor resiko tersebut

sehari hari.

9
99
Gambar 2.1-1 Patofisiologi timbulnya mual dan muntah (Swanson dan Orkin, 1983)

2.2. SKORING SYSTEM

Untuk dewasa, Apfel dan Koivuranta telah membuat sistem skoring sederhana dengan 4

dan 5 faktor resiko. Menurut mereka bahwa penambahan lebih dari beberapa faktor resiko

hanya sedikit atau tidak sama sekali menambah akurasi. Dengan sistem skoring yang

sederhana menyingkirkan perhitungan yang sulit dan mengurangi perlunya anamnese yang

lebih rinci namun menunjukkan kekuatan yang lebih atau sama bila dibandingkan dengan

formula yang lebih kompleks.

10
101
Skor Apfel mempunyai spesivisitas yang lebih tinggi dari skor Koivuranta dalam

memprediksi PONV pada pasien dengan anestesi umum. Hal ini menunjukkan Apfel lebih

baik dalam menentukan pasien mana yang akan mengalami PONV, maksudnya pasien

dengan skor tinggi masih mungkin mengalami PONV.

2.3. ONDANSETRON

Gambar 2.4-1 Rumus Bangun Ondansetron

Ondansetron merupakan derivate carbazolone yang merupakan obat selective memblock

serotonin 5-hydroxytryptamine (5-HT3) receptor. 5- hydroxytryptamine(5-HT) terdapat

dalam jumlah besar di trombosit dan saluran gastrointestinal( enterchromaffin sel dan plexus

myenteric). 5-HT juga berperan penting dalam neurotransmitter di Central nervous system,

retina, system limbic, hypothalamus, cerebellum dan spinal cord. Banyak type dari 5-HT ini,

antara lain 5-HT2A adalah reseptor yang berpengaruh pada kontraksi otot dan agregasi

trombosit. 5-HT3 adalah reseptor yang memediasi terjadinya mual muntah yang terdapat

saluran pencernaan dan area postrema di otak. 5-HT4 adalah reseptor untuk sekresi dan

11
111
peristaltic. 5-HT6 dan 5-HT7 adalah reseptor utama pada system limbic yang berperan

penting untuk terjadinya depresi.

Ondansetron selektif memblock reseptor serotonin 5-HT3. Reseptor 5-HT3 berlokasi

perifer( abdominal vagal afferent) dan sentral(chemoreseptot trigger zone di area postrema

dan tractus nucleus solitaries) yang berperan penting dalam terjadinya mual muntah.

Serotonin dilepaskan dari sel enterocromaffin di usus kecil yang menstimulasi vagal

afferent melalui 5-HT3 dan menstimulasi terjadinya muntah. Obat ini tidak mengganggu

motilitas gastrointestinal dan sphingter oesophagus.

Ondansetron telah tebukti sebagai antiemetic yang efektif untuk mencegah PONV,

chemotherapy dan radiasi yang menyebabkan mual muntah. Tetapi tidak mempunyai efek

pada mual muntah yang diakibatkan oleh gangguan vestibular. Prophylaksis ini harus kita

berikan terutama kepada pasien dengan resiko tinggi terjadinya PONV untuk mengurangi

efek yang tidak diinginkan akibat mual muntah tersebut.

5-HT3 reseptor antagonis mempunyai efek samping yang lebih minimal dibandingkan

obat lain. Ondansetron tidak menyebabkan sedasi, gangguan extrapyramidal ataupun depresi

pernafasan. Efek samping yang paling banyak dilaporkan adalah sakit kepala. Pada beberapa

kasus didapatkan gangguan irama jantung(prolong QT interval) terutama pada dolasetron. 20

Kontraindikasi Ondansetron adalah selain pada pasien yang hipersensitivitas terhadap

obat ini, juga pada ibu hamil ataupun yang sedang menyusui karena mungkin disekresi

dalam asi. Pasien dengan penyakit hati mudah mengalami intoksikasi, tetapi pada pasien

yang mempunyai kelainan ginjal agaknya dapat digunakan dengan aman.

12
121
Dosis yang dianjurkan untuk mencegah PONV adalah 4 mg pada akhir pembedahan,

dapat diulang setiap 4-8jam. waktu paruhnya adalah 3-4 jam pada orang dewasa sedangkan

pada anak-anak dibawah 15 tahun antara 2-3 jam, oleh karena itu ondansetron baik diberikan

pada akhir pembedahan. Ondansetron di metabolisme di hati melalui proses hydroxylasi dan

konjugasi oleh enzyme cythocrome P-450.

2.4 DEFINISI APENDIKS

Apendiks disebut sebagai umbai cacing. Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat

awam sesugguhnya kurang tepat karena usus buntu yang sebenarnya adalh sekum (De jong,

2012).

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis akut adalah

penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen,

penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).

Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan

dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan

penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi

dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur (Anonim,

2007).

2.5 ETIOLOGI

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor

pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor

13
131
pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris

dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan

apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica

(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004). Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan

makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.

Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan

fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini

akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (De jong, 2012).

Gambar bagan 2.1 : Etiologi Apendicitis (De Jong,2012).

Pada bagan gambar 2.1 menjelaskan bahwa Tekanan di dalam sekum akan meningkat (3)

jika katup ileosikal kompeten (2). Kombinasi tekanan tinggi di sekum dan peningkatan flora

kuman di kolon (4) akibat sembelit (1) menjadi pencetus radang dimukosa apendiks(5). Pencetus

lain ialah erosi dan tukak kecil di selpaut lender oleh E.Histolytica (6) dan penghambatan

14
141
evakuasi isi apendiks (7). Evakuasi isi ini terhambat oleh stenosis (8) atau penyumbatan lumen

atau gangguan motilitas oleh pita,adhesi (9) dan faktor yang mengurangi gerakan bebas

apendiks. Perkembangan dari apendisitis mukosa menjadi apendisitis komplit yang meliputi

sebua lapisan dinding apendiks tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor pencetus setempat yang

menghambat pengosongan lumen apendiks atau menganggu motilitas normal apendiks (10).

Tabel 2.1 : Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien appendicitis

Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob


Escherichia coli Bacteroides fragilis

Viridans streptococci Peptostreptococcus micros

Pseudomonas aeruginosa Bilophila species

Enterococcus Lactobacillus species


Sumber :Grace, 2006

2.6 ANATOMI

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-

15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di

bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada

pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab

rendahnya insiden appendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak

intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya

bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya (Soybel, 2006).

15
151
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di

belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens. Gejala klinis appendisitis

ditentukan oleh letak apendiks (Soybel, 2006).

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterica

superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis. Oleh

karena itu, nyeri visceral pada appendisitis bermula di sekitar umbilicus (Soybel, 2006).

Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral.

Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi apendiks akan mengalami

gangren.

Gambar 2.1 : Letak apendiks

Meskipun dasar Appendik berhubungan dengan Taenia caealis pada dasar Caecum, ujung

Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini. Variasi

16
161
lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut yang terjadi apabila Appendik

mengalami peradangan.

Gambar 2.2 : Variasi lokasi Appendik vermicularis

2.7 PATOFISIOLOGI

Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh feses

yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan epidemiologi bahwa

apendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam makanan yang rendah (Burkitt et al,

2007).

Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa. Inflamasi

ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan serosa

(peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut

17
171
ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen,

menyebabkan peritonitis lokal (Burkitt et al, 2007).

2.8 GEJALA KLINIS

Appendisitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang pada

neonatus dan bayi, appendisitis akut kadang-kadang dapat terjadi dan diagnosis appendisitis

jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul.

Seringkali dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi

seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri

yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit (De Jong, 2004).

Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada anak-

anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di

kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri

punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala yang umum pada anak dengan

appendicitis retrocecal arau pelvis. Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau

bladder, gejala dapat berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat

menahan kencing dan distensi kandung kemih (De Jong, 2004).

Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset

terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan

iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi

sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendisitis. Meskipun

18
181
demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit dapat terjadi

pada anak dengan appendisitis. Pada appendisitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan

(37,5 -38,5 0 C). Jika suhu tubuh diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi (De Jong,

2004).

2.9 DIAGNOSIS

Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena

hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga

nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi

n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika

timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C.

Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM,

2010).

Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk sambil

memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian

kanan bawah terlihat pada apendikuler abses (Departemen Bedah UGM, 2010).

Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding

abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh

dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah:

1. Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan

bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.

19
191
2. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan)

adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan

setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.

3. Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence muscular adalah

nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan

peritoneum parietale.

4. Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila

dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya

nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.

5. Psoas sign (+) : dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi

pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot psoas

kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess.

Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak

retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan manuver ini.

6. Obturator sign (+): dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan

endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini menunjukkan

peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis. Perlu diketahui bahwa masing-masing

tanda ini untuk menegakkan lokasi Appendix yang telah mengalami radang atau

perforasi.

20
202
Gambar 2.3 : Posisi Pemeriksaan Obturator Sign

Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat peristaltik normal,

peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat apendisitis

perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis,

tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada

pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12 (Departemen

Bedah UGM, 2010).

2.9.1 Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan appendicitis

akuta. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara 12.000-18.000/mm.

Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal leukosit

menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan

pada pasien dengan appendicitis.

21
212
Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis

atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika

inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.

2. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram) dapat membantu

melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) didalam lumen usus buntu.

3. Ultrasonografi

Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang diagnosis

pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG

yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix dengan diameter

anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya cairan atau massa

periappendix.

False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil dari

salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat muncul karena letak

appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang menghalangi

appendix.

4. CT-Scan

CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis appendicitis

akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien-

pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abscess, maka CT-scan

dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik.

22
222
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan

diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6>6.

Tabel 2.2 : Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis

Manifestasi Skor
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Laboratorium Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10

Sumber : Burkitt, 2007

Keterangan:

0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil

5-6 : bukan diagnosis Appendicitis

7-8 : kemungkinan besar Appendicitis

9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan

bedah sebaiknya dilakukan.

2.10 DIAGNOSIS BANDING

Pada Keadaan tertuntu beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis

banding, seperti (De Jong, 2012):

1. Gastroenteritis

23
232
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut

lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan

leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan apendisitis akut.

2. Demam Dengue

Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil tes

positif untuk Rumpel Leede, trombositopenia, dan hematokrit meningkat.

3. Kelainan ovulasi

Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut kanan

bawah pada pertengahan siklus menstruasi.

4. Infeksi panggul

Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya

lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus.

5. Kehamilan di luar kandungan

Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika

ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan pendarahan, akan

timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok

hipovolemik.

6. Kista ovarium terpuntir

24
242
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam

rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok rektal.

7. Endometriosis ovarium eksterna

Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat endometriosis

berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar.

8. Urolitiasis pielum/ ureter kanan

Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan

gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan.

9. Penyakit saluran cerna lainnya

Penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah peradangan di perut, seperti

divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut,

pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid

abdominalis, karsinoid, dan mukokel apendiks.

2.11 PENATALAKSANAAN

Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan yang paling tepat dan merupakan satu-

satunya pilihan yang baik adalah apendiktomi. Pada appendicitis tanpa komplikasi, biasanya

tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada appendicitis gangrenosa atau appendicitis

perforate\a. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan

abses atau perforasi.

25
252
Gambar 2.4 : Bagan pengelolaan penderita tersangka apendicitis akut

Apendiktomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan laparoskopi. Bila apendiktomi

terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang

diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih dulu. Pemeriksaan

laboratorium dan ultrasonografi dapat dilakukan bila dalam laparoskop, tindakan

laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan

operasi atau tidak (Ellis, 2001).

2.12 KOMPLIKASI

1. Appendicular infiltrat:

26
262
Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix yang

meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus atau usus besar.

2. Appendicular abscess:

Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix yang meradang

yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau usus besar.

3. Perforasi

Komplikasi paling membahayakan, entah perforasi bebas maupun perforasi pada

apendiks yang mengalami pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri dari

apendiks, sekum dan lekuk usus.

4. Peritonitis

Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen ke dalam rongga

abdomen, biasanya diakibatkan dan peradangan, iskemia, trauma atau perforasi peritoneal

diawali terkontaminasi material. Awalnya material masuk ke dalam rongga abdomen

adalah steril (kecuali pada kasus peritoneal dialisis) tetapi dalam beberapa jam terjadi

kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul edem jaringan dan pertambahan eksudat. Cairan

dalam rongga abdomen menjadi keruh dengan bertambahnya sejumlah protein, sel-sel

darah putih, sel-sel yang rusak dan darah. Respon yang segera dari saluran intestinal

adalah hipermotil tetapi segera dikuti oleh ileus paralitik dengan penimbunan udara dan

cairan di dalam usus besar.

27
272
Gambar 2.5 : Bagan perjalanan alami apendikcitis akut

2.13 PROGNOSIS

Mortalitas dari Appendicitis di USA menurun terus dari 9,9% per 100.000 pada tahun 1939

sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor- faktor yang menyebabkan penurunan secara

signifikan insidensi Appendicitis adalah sarana diagnosis dan terapi, antibiotika, cairan i.v., yang

semakin baik, ketersediaan darah dan plasma, serta meningkatnya persentase pasien yang

mendapat terapi tepat sebelum terjadi perforasi (Jaffe et al, 2005).

Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa penyulit, namun

komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah terjadi peritonitis/peradangan di

dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung

28
282
dari usia pasien, kondisi, keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus,

komplikasi dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari (Sanyoto, 2007).

2.14 DEFINISI HERNIA

Hernia merupakan penonjolan isis rongga melalui defek ataubagian lemah dari dinding

rongga bersangkutan (De jong, 2012).

Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah

dari dinding rongga bersangkutan pada hernia abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau

bagian lemah dari bagian muskulo-aponeurotik dinding perut (De jong, 2015).

Hernia adalah adanya penonjolan peritoneum yang berisi alat visera dari rongga abdomen

melalui suatu lokus minoris resistensieae baik bawaan maupun didapat (De jong, 2015).

2.15 ANATOMI HERNIA

Region inguinal harus dipahami, pengetahuan tentanag region ini penting untuk terapi

operatif ari hernia. Sebagai tambahan, pengetahuan tentangposisi relative dari saraf, pembuluh

darah dan struktur vas deferen, aponeurosis dan fascia.

1. Kanalis Inguinalis

Kanalis inguinalis pada orang dewasa panjangnya kira-kira 4 cm dan terletak 2-4 cm

kearah caudal lagamentum inguinal. Kanal melebar diantara cincin internal dan eksternal.

Kanalis inguinalis mengandung salah satu vas deferens atau ligamentum uterus. Funikulus

spermatikus terdiri dari serat-serat otot cremaster, pleksus pampiniformis, arteri testicularis n

29
292
ramus genital nervus genitofemoralis, ductus deferens, arteri cremaster, limfatik, dan prosesus

vaginalis (Mansjoer, 2000).

Kanalis inguinalis harus dipahami dalam konteks anatomi tiga dimensi. Kanalis inginalis

berjalan dari lateral ke medial, dalam ke luar dan cepal ke caudal. Kanalis inguinalis dibangun

oleh aponeurosis obliquus ekternus dibagian superficial, dinding inferior dibangun oleh

ligamentum inguinal dan ligamentum lacunar. Dinding posterior (dasar) kanalis inguinalis

dibentuk oleh fascia transfersalis dan aponeurosis transverses abdominis. Dasar kanalis

inguinalils adalah bagian paling penting dari sudut pandang anatomi maupun bedah (Mansjoer,

2000).

Pembuluh darah epigastric inferior menjadi batas superolateral dari trigonum Hesselbach.

Tepi medial dari trigonum dibentuk oleh membrane rectus, dan ligamentum inguinal menjadi

batas inferior. Hernia yang melewati trigonum Hesselbach disebut sebagai direct hernia,

sedangkan hernia yang muncul lateral dari trigonum adalah hernia indirect (Burrhit et al, 2003).

30
303
Gambar 2.1 :Segitiga Hasselbach

2. Aponeurosis Obliqus External

Aponeurosis otot obliquus eksternus dibentuk oleh dua lapisan: superficial dan

profunda. Bersama dengan aponeorosis otot obliqus internus dan transversus abdominis,

mereka membentuk sarung rectus dan akhirnya linea alba. external oblique aponeurosis

menjadi batas superficial dari kanalis inguinalis. Ligamentum inguinal terletak dari spina

iliaca anterior superior ke tuberculum pubicum (Burrhit et al, 2003).

Gambar 2.3 Muskulus Obliqus

31
313
3. Otot Oblique internus

Otot obliq abdominis internus menjadi tepi atas dari kanalis inguinalis . bagian medial

dari internal oblique aponeurosis menyatu dengan serat dari aponeurosis transversus

abdominis dekat tuberculum pubicum untuk membentuk conjoined tendon. adanya

conjoined tendon yang sebenarnya te;ah banyak diperdebatkan, tetapi diduga oleh banyak

ahli bedah muncul pada 10% pasien (Bhatia, 2003).

4. Fascia Transversalis

Fascia transversalis dianggap suatu kelanjutanb dari otot transversalis dan

aponeurosisnya. Fascia transversalis digambarkan oleh Cooper memiliki 2 lapisan: "The

fascia transversalis dapat dibagi menjadi dua bagian, satu terletak sedikit sebelum yang

lainnya, bagian dalam lebih tipis dari bagian luar; ia keluar dari tendon otot transversalis

pada bagian dalam dari spermatic cord dan berikatan ke linea semulunaris (Bhatia, 2003).

5. Ligamentum Cooper

Ligamentum Cooper terletak pada bagian belakang ramus pubis dan dibentuk oleh

ramus pubis dan fascia. Ligamentum cooper adalah titik fixasi yang penting dalam

metode perbaikan laparoscopic sebagaimana pada teknik McVay (Bhatia, 2003).

6. Preperitoneal Space

Preperitoneal space terdiri dari jaringan lemak, lymphatics, pembuluh darah dan

saraf. Saraf preperitoneal yang harus diperhatikan oleh ahli bedah adalah nervus

cutaneous femoral lateral dan nervus genitofemoral. nervus cutaneous femoral lateral

32
323
berasal dari serabut L2 dan L3 dan kadang cabang dari nervus femoralis. Nervus ini

berjalan sepanjang permukaan anterior otot iliaca dan dibawah fascia iliaca dan dibawah

atau melelui perlekatan sebelah lateral ligamentum inguinal pada spina iliaca anterior

superior (Burrhit et al, 2003).

Nervus genitofemoral biasanya berasal dari L2 atau dari L1 dan L2 dan kadang dari

L3. Ia turun didepan otot psoas dan terbagi menjadi cabang genital dan femoral. Cabang

genital masuk ke kanalis inguinalis melalui cincin dalam sedangkan cabang femoral

masuk ke hiatus femoralis sebelah lateral dari arteri. ductus deferens berjalan melalui

preperitoneal space dari caudal ke cepal dan medial ke lateral ke cincin interna inguinal.

Jaringan lemak, lymphatics, ditemukan di preperitoneal space, dan jumlah jaringan

lemak sangat bervariasi (Burrhit et al, 2003).

2.16 ETIOLOGI

Penyebab terjadinya hernia (Palanivelu, 2004):

1. Lemahnya dinding rongga perut. Dapat ada sejak lahir atau didapat kemudian dalam hidup.

2. Akibat dari pembedahan sebelumnya.

3. Kongenital

a. Hernia congenital sempurna

Bayi sudah menderita hernia kerena adanya defek pada tempat tempat tertentu.

b. Hernia congenital tidak sempurna

Bayi dilahirkan normal (kelainan belum tampak) tapi dia mempunyai defek pada

tempat tempat tertentu (predisposisi) dan beberapa bulan (0 1 tahun) setelah lahir

33
333
akan terjadi hernia melalui defek tersebut karena dipengaruhi oleh kenaikan tekanan

intraabdominal (mengejan, batuk, menangis).

4. Aquisial adalah hernia yang buka disebabkan karena adanya defek bawaan tetapi disebabkan

Oleh faktor lain yang dialami manusia selama hidupnya, anatara lain:

a. Tekanan intraabdominal yang tinggi. Banyak dialami oleh pasien yang sering mengejan

yang baik saat BAB maupun BAK.

b. Konstitusi tubuh. Orang kurus cenderung terkena hernia jaringan ikatnya yang sedikit.

Sedangkan pada orang gemuk juga dapat terkena hernia karena banyaknya jaringan

lemak pada tubuhnya yang menambah beban kerja jaringan ikat penyokong pada LMR

c. Banyaknya preperitoneal fat banyak terjadi pada orang gemuk.

d. Distensi dinding abdomen karena peningkatan tekanan intraabdominal.

e. Sikatrik.

f. Penyakit yang melemahkan dinding perut.

g. Merokok

h. Diabetes mellitus

2.17 KLASIFIKASI HERNIA

1. Menurut lokasinya :

a. Hernia inguinalis adalah hernia yang terjadi dilipatan paha. Jenis ini merupakan yang

tersering dan dikenal dengan istilah turun berok atau burut.

b. Hernia umbilikus adalah di pusat.

c. Hernia femoralis adalah di paha.

2. Menurut isinya :

34
343
a. Hernia usus halus

b. Hernia omentum

3. Menurut penyebabnya :

a. Hernia kongenital atau bawaan

b. Hernia traumatic

c. Hernia insisional adalah akibat pembedahan sebelumnya.

4. Menurut terlihat dan tidaknya :

a. Hernia externs, misalnya hernia inguinalis, hernia scrotalis, dan sebagainya.

b. Hernia interns misalnya hernia diafragmatica, hernia foramen winslowi, hernia

obturaforia.

5. Menurut keadaannya :

a. Hernia inkarserata adalah bila isi kantong terperangkap, tidak dapat kembali kedalam

rongga perut disertai akibat yang berupa gangguan pasase atau vaskularisasi. Secara klinis

hernia inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia irrenponibel.

b. Hernia strangulata adalah jika bagian usus yang mengalami hernia terpuntir atau

membengkak, dapat mengganggu aliran darah normal dan pergerakan otot serta mungkin

dapat menimbulkan penyumbatan usus dan kerusakan jaringan.

6. Menurut nama penemunya :

a. Hernia petit yaitu hernia di daerah lumbosacral.

35
353
b. Hernia spigelli yaitu hernia yang terjadi pada linen semi sirkularis diatas penyilangan vasa

epigastrika inferior pada muskulus rektus abdominalis bagian lateral.

c. Hernia richter yaitu hernia dimana hanya sebagian dinding usus yang terjepit.

7. Menurut sifatnya :

a. Hernia reponibel adalah bila isi hernia dapat keluar masuk. Isi hernis keluar jika berdiri

atau mengedan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk, tidak ada keluhan nyeri

atau gejala obstruksi usus.

b. Hernia irreponibel adalah bila isi kantung hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam

rongga.

8. Jenis hernia lainnya :

a. Hernia pantolan adalah hernia inguinalis dan hernia femuralis yang terjadi pada satu sisi

dan dibatasi oleh vasa epigastrika inferior.

b. Hernia scrotalis adalah hernia inguinalis yang isinya masuk ke scrotum secara lengkap.

c. Hernia littre adalah hernia yang isinya adalah divertikulum meckeli.

2.18 PATOFISIOLOGI

1. Hernia Inguinalis

Kanalis inguinalis dalam kanal yang normal pada fetus. Pada bulan ke 8 dari kehamilan,

terjadinya desensus vestikulorum melalui kanal tersebut. Penurunan testis itu akan menarik

peritoneum ke daerah scrotum sehingga terjadi tonjolan peritoneum yang disebut dengan

prosesus vaginalis peritonea. Bila bayi lahir umumnya prosesus ini telah mengalami obliterasi,

36
363
sehingga isi rongga perut tidak dapat melalui kanalis tersebut. Tetapi dalam beberapa hal sering

belum menutup, karena testis yang kiri turun terlebih dahulu dari yang kanan, maka kanalis

inguinalis yang kanan lebih sering terbuka. Dalam keadaan normal, kanal yang terbuka ini akan

menutup pada usia 2 bulan (Mansjoer et al, 2000).

Bila prosesus terbuka sebagian, maka akan timbul hidrokel. Bila kanal terbuka terus,

karena prosesus tidak berobliterasi maka akan timbul hernia inguinalis lateralis kongenital.

Biasanya hernia pada orang dewasa ini terjadi kerana usia lanjut, karena pada umur tua otot

dinding rongga perut melemah. Sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan jaringan tubuh

mengalami proses degenerasi. Pada orang tua kanalis tersebut telah menutup. Namun karena

daerah ini merupakan locus minoris resistance, maka pada keadaan yang menyebabkan tekanan

intraabdominal meningkat seperti batuk batuk kronik, bersin yang kuat dan mengangkat barang

barang berat, mengejan. Kanal yang sudah tertutup dapat terbuka kembali dan timbul hernia

inguinalis lateralis karena terdorongnya sesuatu jaringan tubuh dan keluar melalui defek tersebut.

Akhirnya menekan dinding rongga yang telah melemas akibat trauma, hipertropi protat, asites,

kehamilan, obesitas, dan kelainan kongenital dan dapat terjadi pada semua (Mansjoer et al,

2000).

Pria lebih banyak dari wanita, karena adanya perbedaan proses perkembangan alat

reproduksi pria dan wanita semasa janin. Potensial komplikasi terjadi perlengketan antara isi

hernia dengan dinding kantong hernia sehingga isi hernia tidak dapat dimasukkan kembali.

Terjadi penekanan terhadap cincin hernia, akibat semakin banyaknya usus yang masuk, cincin

hernia menjadi sempit dan menimbulkan gangguan penyaluran isi usus. Timbulnya edema bila

terjadi obtruksi usus yang kemudian menekan pembuluh darah dan kemudian terjadi nekrosis.

Bila terjadi penyumbatan dan perdarahan akan timbul perut kembung, muntah, konstipasi. Bila

37
373
inkarserata dibiarkan, maka lama kelamaan akan timbul edema sehingga terjadi penekanan

pembuluh darah dan terjadi nekrosis (Mansjoer et al, 2000).

Juga dapat terjadi bukan karena terjepit melainkan ususnya terputar. Bila isi perut terjepit

dapat terjadi shock, demam, asidosis metabolik, abses. Komplikasi hernia tergantung pada

keadaan yang dialami oleh isi hernia. Antara lain obstruksi usus sederhana hingga perforasi

(lubangnya) usus yang akhirnya dapat menimbulkan abses lokal, fistel atau peritonitis (Mansjoer

et al, 2000).

A. Hernia Inguinalis Direkta (Medialis)

Hernia ini merupakan jenis henia yang didapat (akuisita) disebabkan oleh faktor peninggian

tekanan intra abdomen kronik dan kelemahan otot dinding di trigonum Hesselbach. Jalannya

langsung (direct) ke ventral melalui annulus inguinalis subcutaneous. Hernia ini sama sekali

tidak berhubungan dengan pembungkus tali mani, umumnya terjadi bilateral, khususnya pada

laki-laki tua. Hernia jenis ini jarang, bahkan hampir tidak pernah, mengalami inkarserasi dan

strangulasi.

Gamabar 2.4 : Hernia Inguinalis direct

B. Hernia Inguinalis Indirekta (lateralis)

38
383
Hernia ini disebut lateralis karena menonjol dari perut di lateral pembuluh epigastrika

inferior. Dikenal sebagai indirek karena keluar melalui dua pintu dan saluran, yaitu annulus dan

kanalis inguinalis. Pada pemeriksaan hernia lateralis akan tampak tonjolan berbentuk lonjong.

Dapat terjadi secara kongenital atau akuisita (Ellis et al, 2006).

a. Hernia inguinalis indirekta congenital.

Terjadi bila processus vaginalis peritonei pada waktu bayi dilahirkan sama sekali tidak

menutup. Sehingga kavum peritonei tetap berhubungan dengan rongga tunika vaginalis propria

testis. Dengan demikian isi perut dengan mudah masuk ke dalam kantong peritoneum tersebut

(Ellis et al, 2006).

b. Hernia inguinalis indirekta akuisita.

Terjadi bila penutupan processus vaginalis peritonei hanya pada suatu bagian saja. Sehingga

masih ada kantong peritoneum yang berasal dari processus vaginalis yang tidak menutup pada

waktu bayi dilahirkan. Sewaktu-waktu kentung peritonei ini dapat terisi dalaman perut, tetapi isi

hernia tidak berhubungan dengan tunika vaginalis propria testis (Ellis et al, 2006).

39
393
Gambar 2.5 : Hernia Inguinalis direct dan indirect

C. Hernia Pantalon

Merupakan kombinasi hernia inguinalis lateralis dan medialis pada satu sisi. Kedua kantung

hernia dipisah oleh vasa epigastrika inferior sehingga berbentuk seperti celana. Keadaan ini

ditemukan kira-kira 15% dari kasus hernia inguinalis. Diagnosis umumnya sukar untuk

ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, dan biasanya baru ditemukan sewaktu operasi (Ellis et al,

2006).

D. Hernia femoralis

Pada umumnya dijumpai pada perempuan tua, kejadian pada wanita kira-kira 4 kali lelaki.

Keluhan biasanya berupa benjolan di lipat paha. Sering penderita datang ke dokter atau rumah

sakit dengan hernia strangulata. Pada pemeriksaan fisik ditemukan benjolan di lipat paha di

bawah ligamentum inguinale, di medial vena femoralis dan lateral tuberkulum pubikum. Tidak

jarang yang lebih jelas adalah tanda sumbatan usus, sedangkan benjolan di lipat paha tidak

40
404
ditemukan, karena kecilnya atau karena penderita gemuk. Hernia ini masuk melalui annulus

femoralis ke dalam kanalis femoralis dan keluar pada fosa ovalis di lipat paha (Ellis et al, 2006).

Kanalis femoralis terletak medial dari v.femoralis di dalam lakuna vasorum dorsal dari

ligamentum inguinale, tempat v.safena magna bermuara di dalam v.femoralis. Foramen ini

sempit dan dibatasi oleh pinggir keras dan tajam. Batas kranioventral dibentuk oleh lig.

Inguinale, kaudodorsal oleh pinggir os. Pubis yang terdiri dari lig. Iliopektineale (lig. Cooper),

sebelah lateral oleh (sarung) v.femoralis, dan di sebelah medial oleh lig. Lakunare Gimbernati.

Hernia femoralis keluar melalui lakuna vasorum kaudal dari lig. Inguinale. Keadaan anatomi ini

sering mengakibatkan inkarserasi hernia femoralis (Ellis et al, 2006).

Gambaran Klinis Hernia

Menurutnya sifatnya, hernia disebut hernia reponibel bila isi hernia dapat keluar masuk.

Selama hernia masih reponibel, tidak ada keluhan nyeri atau obsruksi usus. Bila isi kantong tidak

dapat direposisis kembali ke dalam rongga perut, hernia disebut hernia ireponibel. Ini biasanya

disebbakan oleh isi perlekatan isikantong kepada peritoneum kantong hernia.

Tabel 2.1 : Gambaran Klinis Hernia

Jenis Reponibel Nyeri Obstruksi Tampak Toksik

sakit
Reponibel/bebas + - - - -

Ireponibel/akreta - - - - -

Inkarserasi - + + + +

Strangulasi - ++ + ++ ++
Sumber : De jong, 2012

41
414
2.19 Diagnosis

Anamnesis

Hernia inguinalis lateralis biasanya terlihat sebagai benjolan pada daerah inguinal dan

meluas ke depan atau ke dalam skrotum. Kadang-kadang, anak akan datang dengan bengkak

skrotum tanpa benjolan sebelumnya pada daerah inguinal. Orang tuanya biasanya sebagai orang

pertama yang melihat benjolan ini, yang mungkin muncul hanya saat menangis atau mengejan.

Selama tidur atau apabila pada keadaan istirahat atau santai, hernia menghilang spontan tanpa

adanya benjolan atau pembesaran skrotum. Riwayat bengkak pada pangkal paha, labia, atau

skrotum berulang-ulang yang hilang secara spontan adalah tanda klasik untuk hernia inguinalis

lateralis (shochat, 2000).

Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi

- Hernia reponibel terdapat benjolan dilipat paha yang muncul pada waktu berdiri,

batuk, bersin atau mengedan dan mneghilang setelah berbaring.

- Hernia inguinal Lateralis : muncul benjolan di regio inguinalis yang berjalan dari

lateral ke medial, tonjolan berbentuk lonjong.

- Hernia inguinal Medialis : tonjolan biasanya terjadi bilateral, berbentuk bulat.

- Hernia skrotalis : benjolan yang terlihat sampai skrotum yang merupakan tojolan

lanjutan dari hernia inguinalis lateralis.

- Hernia femoralis : benjolan dibawah ligamentum inguinal.

42
424
- Hernia epigastrika : benjolan dilinea alba.

- Hernia umbilikal : benjolan diumbilikal.

- Hernia perineum : benjolan di perineum.

2. Palpasi

- Titik tengah antar SIAS dengan tuberkulum pubicum (AIL) ditekan lalu pasien

disuruh mengejan. Jika terjadi penonjolan di sebelah medial maka dapat

diasumsikan bahwa itu hernia inguinalis medialis.

- Titik yang terletak di sebelah lateral tuberkulum pubikum (AIM) ditekan lalu pasien

disuruh mengejan jika terlihat benjolan di lateral titik yang kita tekan maka dapat

diasumsikan sebagai nernia inguinalis lateralis.

- Titik tengah antara kedua titik tersebut di atas (pertengahan canalis inguinalis)

ditekan lalu pasien disuruh mengejan jika terlihat benjolan di lateralnya berarti hernia

inguinalis lateralis jika di medialnya hernia inguinalis medialis.

- Hernia inguinalis : kantong hernia yang kosong kadang dapat diraba pada funikulus

spermatikus sebagai gesekan dua permukaan sutera, tanda ini disebut sarung tanda

sarung tangan sutera. Kantong hernia yang berisi mungkin teraba usus, omentum

(seperti karet), atau ovarium. Dalam hal hernia dapat direposisi pada waktu jari

masih berada dalam annulus eksternus, pasien mulai mengedan kalau hernia

menyentuh ujung jari berarti hernia inguinalis lateralis dan kalau samping jari yang

43
434
menyentuh menandakan hernia inguinalis medialis. lipat paha dibawah ligamentum

inguina dan lateral tuberkulum pubikum.

- Hernia femoralis : benjolan lunak di benjolan dibawah ligamentum inguinal

- Hernia inkarserata : nyeri tekan.

3. Perkusi

Bila didapatkan perkusi perut kembung maka harus dipikirkan kemungkinan hernia

strangulata. Hipertimpani, terdengar pekak.

4. Auskultasi

Hiperperistaltis didapatkan pada auskultasi abdomen pada hernia yang mengalami

obstruksi usus (hernia inkarserata).

5. Colok dubur

Tonjolan hernia yang nyeri yang merupakan tanda Howship romberg (hernia

obtutaratoria).

6. Tiga teknik pemeriksaan sederhana yaitu finger test, Ziemen test dan Tumb test.

A. Pemeriksaan Finger Test

1. Menggunakan jari ke 2 atau jari ke 5.

2. Dimasukkan lewat skrortum melalui anulus eksternus ke kanal inguinal.

3. Penderita disuruh batuk:

44
444
- Bila impuls diujung jari berarti Hernia Inguinalis Lateralis.

- Bila impuls disamping jari Hernia Inguinnalis Medialis.

Gambar2.6: Pemeriksaan Finger Test

B. Pemeriksaan Ziemen Test :

- Posisi berbaring, bila ada benjolan masukkan dulu (biasanya oleh penderita).

- Hernia kanan diperiksa dengan tangan kanan.

- Penderita disuruh batuk bila rangsangan pada :

a. jari ke 2 : Hernia Inguinalis Lateralis.

b. jari ke 3 : hernia Ingunalis Medialis.

45
454
c. jari ke 4 : Hernia Femoralis.

Gambar2.7: Pemeriksaan Ziemen Test

C. Pemeriksaan Thumb Test :

- Anulus internus ditekan dengan ibu jari dan penderita disuruh mengejan

- Bila keluar benjolan berarti Hernia Inguinalis medialis.

- Bila tidak keluar benjolan berarti Hernia Inguinalis Lateralis.

46
464
Gambar2.8: Pemeriksaan Thumb Test

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan Ultrasound pada daerah inguinal dengan pasien dalam posisi supine

dan posisi berdiri dengan manuver valsafa dilaporkan memiliki sensitifitas dan

spesifisitas diagnosis mendekati 90%. Pemeriksaan ultrasonografi juga berguna untuk

membedakan hernia incarserata dari suatu nodus limfatikus patologis atau penyebab lain

dari suatu massa yang teraba di inguinal. Pada pasien yang sangat jarang dengan nyeri

inguinal tetapi tak ada bukti fisik atau sonografi yang menunjukkan hernia inguinalis

(Michael, 2005).

2. CT scan

47
474
Dapat digunakan untuk mengevaluasi pelvis untuk mencari adanya hernia

obturator (Michael, 2005).

2.20 Diagnosis Banding

Diagnosa Banding Hernia

1. Keganasan:

- Limfoma

- Retroperitoneal sarcoma

- Metastasis

- Tumor Testis

2. Penyakit Testis Primer :

- Varikokel

- Epididymitis

- Torsio testis

- Hidrokel

- Testis ectopic

- Undescenden testis

3. Aneurisma areri femoralis

4. Nodus limfatikus

5. Kista sebasea

6. Hidraenitis

7. Psoas abses

8. Hematoma

48
484
9. Ascites

2.21 Penatalaksanaan

Hampir semua hernia harus diterapi dengan operasi. Karena potensinya menimbulkan

komplikasi inkarserasii atau strangulasi lebih berat dibandingkan resiko yang minimal dari

operasi hernia (khususnya bila menggunakan anastesi local). Khusus pada hernia femoralis, tepi

kanalis femoralis yang kaku meningkatkan resiko terjadinya inkarserasi.

Berdasarkan pendekatan operasi, banyak teknik herniorraphy dapat diklompokkan dalam 4

kategori utama :

1. Open Anterior Repair

Kelompok 1 operasi hernia (teknik Bassini, McVay dan Shouldice) melibatkan

pembukaan aponeurosis otot obliquus abdomins ekternus dan membebaskan funikulus

spermatikus. fascia transversalis kemudian dibuka, dilakukan inspeksi kanalis spinalis, celah

direct dan indirect. Kantung hernia biasanya diligasi dan dasar kanalis spinalis di

rekonstruksi (Gary et al, 2002).

49
494
b. Teknik Bassini

- Komponen utama dari teknik bassini adalah membelah aponeurosis otot obliquus

abdominis eksternus dikanalis ingunalis hingga ke cincin ekternal.

- Memisahkan otot kremaster dengan cara reseksi untuk mencari hernia indirect

sekaligus menginspeksi dasar dari kanalis inguinal untuk mencari hernia direct.

- Memisahkan bagian dasar atau dinding posterior kanalis inguinalis (fascia

transversalis).

- Melakukan ligasi kantung hernia seproksimal mungkin

- Rekonstuksi didinding posterior dengan menjahit fascia tranfersalis, otot

transversalis abdominis dan otot abdominis internus ke ligamentum inguinalis

lateral.

Gambar 2.9 : McVay open anterior repair

50
505
2. Open Posterior Repair

Posterior repair (iliopubic tract repair dan teknik Nyhus) dilakukan dengan membelah

lapisan dinding abdomen superior hingga ke cincin luar dan masuk ke properitoneal space.

Diseksi kemudian diperdalam kesemua bagian kanalis inguinalis. Perbedaan utama antara

teknik ini dan teknik open anterior adakah rekonrtuksi dilakukan dari bagian dalam.

Posterior repair sering digunakan pada hernia dengan kekambuhan karena menghindari

jaringan parut dari operasi sebelumnya. Operasi ini biasanya dilakukan dengan anastesi

regional atau anastesi umum (Gary et al, 2002).

3. Tension-Free Repair With Mesh

Kelompok 3 operasi hernia (teknik Lichtenstein dan Rutkow ) menggunakan pendekatan

awal yang sama degan teknik open anterior. Akan tetapi tidak menjahit lapisan fascia untuk

memperbaiki defek , tetapi menempatkan sebuah prostesis, mesh yang tidak diserap. Mesh

ini dapat memperbaiki defek hernia tanpa menimbulkan tegangan dan ditempatkan disekitar

fascia gambar 6. Hasil yang baik diperoleh dengan teknik ini dan angka kekambuhan

dilaporkan kurang dari 1 persen (Gary et al, 2002).

51
515
Gambar 2.10 : Open mesh repair

4. Laparoscopic

Operasi hernia Laparoscopic makin populer dalam beberapa tahun terakhir, tetapi juga

menimbulkan kontroversi. Pada awal pengembangan teknik ini, hernia diperbaiki dengan

menempatkanpotongan mesh yang besar di region inguinal diatas peritoneum. Teknik ini

ditinggalkan karena potensi obstruksi usus halus dan pembentuka fistel karena paparan usus

terhadap mesh (Gary et al, 2002).

Saat ini kebanyakan teknik laparoscopic herniorrhaphies dilakukan menggunakan salah

satu pendekatan transabdominal preperitoneal (TAPP) atau total extraperitoneal (TEP) .

pendekatan TAPP dilakukan dengan meletakkan trokar laparoscopic dalam cavum

abdomendan memperbaiki region inguinal dari dalam. Ini memungkinkan mesh diletakkan

dan kemudian ditutupi dengan peritoneum.sedangkan pendekatan TAPP adalah prosedur

52
525
laparoskopic langsung yang mengharuskan masuk ke cavum peritoneal untuk diseksi.

Konsekuensinya, usus atau pembuluh darah bisa cidera selama operasi (Gary et al, 2002).

Gambar 2.11 : Laparoscopic mesh repair

Komplikasi

Komplikasi hernia bergantung pada keadaan yang dialami oleh isis hernia. Isi hernia

dapat tertahan dalam kantong hernia pada hernia ireponibel. Hal ini dapat erjadi kalau isi

kantong hernia besar, misalnya terdiri atas omentum, organ ekstraperitoneal, atau merupakan

hernia akreta. Di sini tidak muncul gejala klinis kecuali benjolan Dapat pula terjadi isi hernia

tercekik oleh cincin hernia sehingga terjadi hernia strangulata/ inkarserasi yang menimbulkan

gejala obstruksi usus yang sederhana. Bila cincin hernia sempit, kurang elastis, atau lebih

kaku seperti pada hernia hernia femoralis dan hernia obturatoria, lebih sering terjadi jepitan

parsial (De jong, 2012).

53
535
Jepitan cincin hernia inguinalis lateralis akan menyebabkan gangguan perfusi jaringan isi

hernia. Pada permulaan terjadi bendungan vena sehingga terjadi udem organ atau struktur di

dalam hernia dan transudasi ke dalam kantong hernia. Timbulnya udem menyebabkan jepitan

pada cincin hernia makin. bertambah sehingga akhirnya peredaran darah jaringan terganggu.

Isi hernia menjadi nekrosis dan kantong hernia akan berisi transudant berupa cairan

serosanguinus. Kalau isi hernia terdiri usus, dapat terjadi perforasi yang akhirnya dapat

menimbulkan abses lokal, fistel, atau peritonitis jika terjadi hubungan dengan rongga perut.

Akibat penyumbatan usus terjadi aliran balik berupa muntah-muntah sampai dehidrasi dan

shock dengan berbagai macam akibat lain (De jong, 2012).

Komplikasi setelah operasi herniorraphy biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri,

hematom dan infeksi luka adalah masalah yang paling sering terjadi. Komplikasi yang lebih

serius seperti perdarahan, osteitis atau atropy testis terjadi kurang dari 1 persen pada pasien

yang menjalani herriorraphy. Perbandingan komplikasi berat dan ringan dari teknik open dan

laparoscopic herniorrhaphies (Bendavid et al , 2001).

Tabel 2.2 Komplikasi dari Open dan Laparoscopic Repair

Laparoscopic Repair
Open Repair
Berat: Berat:

1.Hemorrhage
1.Hemorrhage
2. Cedera Kansung Kemih
2.Testicular atrophy
3. Cedera usus
3.Terpotongnya vas deferens

4. Cedera Pembuluh Darah besar


4.Cedera Kansung Kemih
Ringan: Ringan :

54
545
1.Scrotal ecchymosis 1. infeksi luka

2. infeksi luka 2. Retensi urin

3. retensi urin 3. obstruksi usus halus

4.kekambuhan

5.Hydrokel

6.Terpotongnya saraf

7.Terjepit saraf

55
555
BAB III

KERANGKA KONSEP

Faktor Pasien Faktor Preoperatif Faktor Anestesi

Chemoreseptor Triggerzone
(CTZ)

Pusat Mual
Muntah

Ondansentron

PONV

56
565
Keterangan :

Variabel yang diteliti

Variabel yang tidak diteliti

Chemoreseptor Triggerzone (CTZ) yang mempengaruhi pusat mual muntah dipengaruhi oleh

beberapa factor yaitu factor pasien, factor prosedur dan factor anestesi. Pada penelitian upaya untuk

mengendalikan efek post operasi mual dan muntah adalah dengan menginjeksikan Ondansentron 4 mg,

30 menit sebelum operasi.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui efek penambahan ondansetron terhadap efek

samping mual dan muntah dengan anestesi spinal pada operasi appendectomy dan hernioraphy di

RSUD Nganjuk.

57
575
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 KERANGKA ALUR PENELITIAN


Etiologi Mual dan Muntah Pada
PONV

Faktor Pasien
Faktor Preoperatif Faktor Intraoperatif Faktor Post Operatif

Pasien Operatif Elektif


Appendictomy dan Repair
Hernia Tanpa Komplikasi

Random sampling

Kelompok 1 Kelompok 2

Pemberian obat Pemberian obat


premedikasi Inj. premedikasi Inj.
NaCl (Placebo) 0,9 Ondancentron 4
% 2 ml IV 30 menit mg/2ml IV 30 menit
sebelum SAB sebelum SAB

Anestesi SAB dengan


Lidocain 5% + adjuvan
adrenalin 0,1 mg

Pendataan mual muntah pasca operasi akan dibuat pada menit ke-0 s.d 3 jam

58
Pengolahan
585 data
Keterangan : Variabel Bebas

Variabel Terikat

Penelitian ini menyangkut kejadian mual dan muntah pasca operasi yang meliputi

berbagai faktor yang berpengaruh, namun pada penelitian ini peneliti berfokus pada faktor

intraoperatif yang meliputi

a. Faktor anestesi :

i. Intubasi : stimulasi mekanoreseptor faringeal bisa menyebabkan muntah.

ii. Anestetik : kedalaman anestesi atau inflasi gaster pada saat ventilasi

dengan masker bisa menyebabkan muntah .

iii. Anestesia : perubahan posisi kepala setelah bangun akan merangsang

vestibular

59
595
iv. Obat obat anestesi : opioid adalah opat penting yang berhubungan

dengan PONV. Etomidate dan methohexital juga berhubungan dengan

kejadian PONV yang tinggi.

v. Agen inhalasi : eter dan cyclopropane menyebabkan insiden PONV yang

tinggi karena katekolamin. Pada sevoflurane, enflurane, desflurane dan

halothane dijumpai angka kejadian PONV yang lebih rendah. N2O

mempunyai peranan yang dalam terjadinya PONV. Mekanisme terjadinya

muntah karena N2O karena kerjanya pada reseptor opioid pusat,

perubahan pada tekanan telinga tengah, stimulasi saraf simpatis dan

distensi gaster.

b. Tehnik anestesi : insiden PONV diprediksi lebih rendah dengan spinal anestesi

bila dibandingkan dengan general anestesi. Pada regional anestesi dijumpai

insiden yang lebih rendah pada emesis intra dan postoperatif.

c. Faktor pembedahan :

i. Kejadian PONV juga berhubungan dengan tingginya insiden dan

keparahan PONV. Seperti pada laparaskopi, bedah payudara, laparatomi,

bedah plastik, bedah optalmik, bedah THT, bedah ginekologi.

60
606
ii. Durasi operasi (setiap 30 menit penambahan waktu resiko PONV

meningkat sampai 60%).

Pada penelitian ini tindakan pembiusan pada pasien yang menjalani pembedahan yang

terencana yaitu dengan pembiusan setengah badan. Yang dimaksud dengan pembiusan dengan

teknik pembiusan melalui tulang belakang (spinal) adalah pasien mendapatkan pembiusan

separuh badan, pasien tetap sadar namun bagian tubuh yang dioperasi tidak merasa sakit karena

telah mendapatkan pembiusan.

Beberapa jenis obat bius lokal (anestesi lokal) telah digunakan untuk pembiusan melalui

tulang belakang daerah punggung (pembiusan spinal). Obat yang paling sering digunakan adalah

lidocain 5% dengan adjuvan adrenalin 0,1 mg Obat ini cara penggunaannya dengan

menyuntikkan melalui tulang belakang di daerah punggung. Setelah obat bekerja bagian tubuh

yang dioperasi tidak merasa sakit lagi karena telah mendapatkan pembiusan pada separuh badan

yang akan dilakukan operasi. Dapat timbul efek samping penurunan tekanan darah, namun hal

ini dapat dicegah dengan pemberian cairan infus sebelum dilalukan penyuntikan obat anestesi

lokal tersebut dan untuk efek sampingnya berupa mual serta muntah. Dengan memberikan

ondansetron 30 menit sebelum operasi diharapkan pasien tidak lagi merasa mual serta muntah

dalam 3 jam setelah operasi selesai. Selanjutnya peneliti menjelaskan pada pasien yang akan

diambil sebagai sukarelawan penelitian ini, berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan

sebelumnya. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan pilihan (alternatif)

kombinasi obat untuk menurunkan efek samping mual serta muntah setelah operasi, dengan

membandingkan penambahan obat ondansetron dan yang tidak diberi penambahan obat

ondansetron (placebo).

61
616
Pada penelitian ini pasien akan dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok A mendapat

perlakuan Pemberian obat premedikasi Inj. NaCl (Placebo) 0,9 % 2 ml , dan kelompok B

mendapat perlakuan Pemberian obat premedikasi Inj. Ondancentron 4mg/2ml selanjutnya kedua

kelompok dinduksi Lidocain 5% dengan adjuvan adrenalin 0,1 mg sebagai anestesi kemudian

dioperasi dan dilakukan pendataan mual muntah pasca operasi selama menit ke 0 sampai jam ke

3 dan selanjutnya akan dilakukan pengolahan data dengan menggunakan cara pengukuran PONV

memakai system skor numeric.

1. Kriteria Inklusi

Semua pasien operasi apendiktomi dan hernioraphy tanpa komplikasi


Pasien dengan usia 18-60 tahun operasi apendiktomi dan hernioraphy tanpa

komplikasi
Pasien operasi dengan anestesi blok spinal
Pasien PS 1-2, operasi elektif
Dirawat di Ruang Bougenville
Setuju dan mampu berpartisipasi pada penelitian
Tidak ada kontra indikasi terhadap pemberian ondansetron

2. Kriteria Eksklusi

Pasien yang masuk dalam kriteria inklusi kemudian akan dikelurkan jika spinal

anestesi gagal dan harus dilakukan general anestesi


Alergi terhadap obat
Pasien tidak kooperatif

4.2 METODE PENELITIAN

62
626
Dalam penelitian ini, peneliti dalam melakukan penelitian menggunakan jenis

penelitian double blind eksperimental studi yaitu selain subjek atau sampel dan peneliti,

tim monitoring penelitian juga tidak mengetahui kedalam kelompok mana subjek

dialokasikan. Kekuatan desain ini kami anggap dapat meminimalisir faktor perancu yang

dapat menyebabkan bias dalam hasil penelitian.

4.3 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan dalam rentang waktu antara tanggal 21 November 2016

hingga 25 Desember 2016 di Kamar operasi RSUD Nganjuk dan Ruang bougenville

RSUD Nganjuk.

4.4 SAMPEL

Sampel penelitian adalah pasien laki-laki dan perempuan yang akan melakukan

operasi elektif apendiktomi dan hernioraphy tanpa komplikasi. Operasi elektif yaitu

operasi terencana yang dilakukan pada region abdomen. Pasien sebelumnya telah ditanya

tentang adanya kontra indikasi pembesaran ondansetron dan riwayat alergi. Pasien yang

memenuhi syarat penelitian akan diinformasikan tentang prosedur penelitian serta akan

menandatangani informed consent selambat-lambatnya satu hari sebelum operasi

dilakukan.

4.5 PROSEDUR PENELITIAN


63
636
Penelitian dilakukan dalam rentang waktu antara tanggal 21 November 2016

hingga 18 Desember 2016. Peneliti mendata sampel yaitu pasien laki-laki dan perempuan

yang dirawat di RSUD Nganjuk di Ruang Bougenville yang akan melakukan operasi

elektif apendiktomi dan hernioraphy tanpa komplikasi. Peneliti selanjutnya memberikan

penjelasan kepada setiap sampel dan meminta pasien menandatangani informed consent

apabila mereka setuju, mengerti dan bersedia berpartisipasi.

Peneliti berkoordinasi dengan tim dokter anastesi ruang OK RSUD Nganjuk.

Koordinasi yang dimaksud yaitu tim dokter anastesi melakukan injeksi ondansetron pada

sampel yang masuk dalam penelitian. Setelah operasi selesai, peneliti meminta sampel

untuk memperhatikan dan mencatat efek samping apa saja yang muncul. Sampel dikirim

kembali ke bougenville, kemudian peneliti mendata hasil pencatatan dari pasien dan

memasukkannya dalam tabel data penelitian.

4.6 ANALISA DATA PENELITIAN

Dalam menganalisa data, peneliti menggunakan jenis analisa data secara kualitatif

yaitu peneliti akan menginterpretasikan hasil dari rangkuman setiap sampel atau subjek

penelitian. Penelitian kualitatif dipakai oleh peneliti karena adanya keterbatasan waktu.

DAFTAR PUSTAKA

Bendavid, J. Abrahamson, Mauruce E. A, dkk.2001. Abominal Wall Hernias (Principles

and Management). Edisi I. Penerbit Sringer-Varlag. New York. 2001. (Ebook, di

akses11 Desember 2016)

64
646
Bhatia P& Dr. S. J. John. Laparoscopic Hernia Repair (a step by step approach). 2003.

Edisi I. Penerbit Global Digital Services, Bhatia Global Hospital & Endosurgery

Institute. New Delhi. (Ebook, di akses 11 Desember 2016)

Burhitt & O.R.G. Quick. 2003. Essential Surgery . Edisi III.Hal 348-356

De Jong et. 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah. Sistem Organ dan tindak Bedahnya. Edisi3.

Hal:619-625. EGC.Jakarta

De Jong et. 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah. Sistem Organ dan tindak bedahnya. Edisi3.

Hal:755-760. EGC.Jakarta

Ellis H, Nathanson LK. 2001. Appendix and Appendectomy. In : Maingots Abdominal

Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,

McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. : 1191-222

Gary G. Wind. 2002Applied Laparoscopic Anatomy (Abdomen and Pelvis). Edisi II.

Penerbit Williams & Wilkins, a Waverly Company.

Grace, P.A., Borley, N.R. 2006. Apendisitis Akut dalam At A Glance. Hal:106. Jakarta:

Erlangga;
Human Anatomy 205.Retrieved at December 12th 2016 From: http://www

.talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg
Jaffe BM, Berger DH. 2005.The Appendix. In: Schwartzs Principles of Surgery Volume 2.

8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG,

Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. :1119-34

Mansjoer A, Suprohaita, W.K. Wardhani, W. Setiowulan. 2000. Kapita Selekta Kedokteran.

Edisi III, Jilid II. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 313-317. Penerbit

Media Aesculapius Jakarta.

65
656
Michael M. Henry & Jeremy N. T. Thompson. 2005.Clinical Surgery. Edisi II.

Michael S. Kavic. 1997. Laparoscopic Hernia Repair. Edisi I. Penerbit Harwood Academic

Publishers. Amsterdam. (Ebook, di akses11 Desember 2016)

Palanivelu. 2004. Operative Manual of Laparoscopic Hernia Surgery. Edisi I. Penerbit

GEM Foundation. Hal 39-58

Smiltzer SC.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Hal45-47.EGC.Jakarta


Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed: Norton JA,

Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson RW. New

York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62

66
666

Anda mungkin juga menyukai