KUSTA
OLEH:
Pembimbing Residen
dr. Sulasmia
Dosen Pembimbing
dr. Widyawati Djamaluddin Sp. KK
i
HALAMAN PENGESAHAN
ii
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN .....................................................................................................1
iii
I. PENDAHULUAN
Penyakit Kusta atau Morbus Hansen atau Lepra adalah salah satu penyakit
menular yang sifatnya kronik dan dapat menimbulkan masalah yang sangat
kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas
sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.
Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga dan sebagian
petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan,
kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya.1,2
Diagnosis penyakit kusta didasarkan atas gambaran klinis, bakterioskopis
dan histopatologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting
dan yang paling sederhana. Untuk mendiagnosis penyakit kusta pada seseorang,
paling sedikit diperlukan satu cardinal sign. Tanpa menemukan suatu cardinal
sign, kita hanya boleh mendiagnosis penyakit penderita sebagai tersangka
(suspek) kusta. Penderita perlu diamati dan diperiksa kembali setelah 3-6 bulan
sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan. 1
Indonesia masih menjadi penyumbang kasus kusta nomor 3 terbanyak di
dunia, setelah India dan Brasil. Pada tahun 2011, Indonesia melaporkan 20.023
kasus baru kusta. Berdasarkan angka tersebut, jumlah kasus dengan kecacatan
tingkat 2, yaitu cacat yang terlihat, berjumlah 2.025 orang. Menurut World Health
Organization (WHO), bahwa di dunia kasus penderita kusta yang dilaporkan
sebanyak 312.036, dan jumlah kasus baru pada pertengahan tahun 2008
dilaporkan dari 121 negara sebanyak 249.007 kasus. Sedangkan di Indonesia
jumlah penderita pada tahun 2008 adalah 17.243 kasus. Penyakit kusta dapat
menyebabkan deformitas dan kecacatan, dimana hal ini timbul akibat beberapa
faktor resiko antara lain tipe penyakit kusta, lamanya penyakit aktif dan jumlah
batang saraf yang terkena.1,2
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk meminimalkan timbulnya cacat
dan mencegah bertambah beratnya cacat yang sudah ada. Diantaranya dengan
diagnosis dan penatalaksanaan penyakit yang dilakukan secara dini. Demikian
juga dengan pemberian edukasi kepada pasien tentang berbagai hal yang dapat
menimbulkan kecacatan sehingga tidak menimbulkan cacat tubuh yang tampak
menyeramkan tersebut. 1
1
II. PEMBAHASAN
Kusta
Sinonim : Morbus Hansen/ Lepra
2.1. Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan
gejala gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen,
sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer
Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Kusta
yang juga disebut lepra merupakan penyakit infeksi granulomatous kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae, terutama mengenai sistem saraf perifer,
kulit, namun dapat juga terjadi pada mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1,2
2.2. Epidemiologi
1. Distribusi penyakit kusta menurut geografi
Distribusi angka penemuan kasus baru kusta di dunia yang terlapor di
WHO pada awal tahun 2012 Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011
adalah sekitar 219.075. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional
Asia Tenggara (160.132) diikuti regional Amerika {36.832), regional Afrika
(12.673), dan sisanya berada di regional lain di dunia.3
2. Distribusi menurut waktu
Teradapat 17 negara yang melaporkan 1000 atau lebih kasus baru selama
tahun 2011. Delapan belas negara ini mempunyai kontribusi 94% dari seluruh
kasus baru di dunia. Pada tahun ini sudah terbagi dua yaitu Sudan dan Sudan
Selatan. Secara global terjadi penurunan penemuan kasus baru, akan tetapi
beberapa negara seperti India, Indonesia, Myanmar, Srilanka menunjukkan
peningkatan deteksi kasus baru. 3
3. Distribusi menurut fakto rmanusia:
a. Etnik atau suku
Dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya,
didapatkan bahwa faktor etnik mempengaruhi distribusi tipe kusta. Di Myanmar
kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan
dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama,
2
kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik
Melayu atau India. 3
b. Faktor sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta, hal ini
terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial
ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang. Kasus kusta
yang masuk dari negara lain ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial
ekonominya tinggi. 3
c. Distribusi menurut umur
Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut
umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada
saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit
sering terkait pada umur saat diketemukan daripada saat timbulnya penyakit. Pada
penyakit kronik seperti kusta, angka prevalensi penyakit berdasarkan kelompok
umur tidak menggambarkan risiko kelompok umur tertentu untuk terkena
penyakit. Kusta diketahui terjadi pada semua usia berkisar antara bayi sampai usia
lanjut (3 minggu sarnpai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada
usia muda dan produktif. 3
d. Distribusi menurut jenis kelamin
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Berdasarkan laporan,
sebagian besar negara di dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan
bahwa laki-laki lebih banyak terserang daripada perempuan.
Rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor
lingkungan dan sosial budaya. Pada kebudayaan tertentu akses perempuan ke
pelayanan kesehatan sangat terbatas. 3
2.3 Etiologi
Kuman penyebab lepra adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat
obligat intraseluler, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil
gram positif dengan ukuran 3 8 m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol.
Waktu pembelahan Mycobacterium leprae sangat lama, yaitu 2-3 minggu, kuman
ini dapat bereproduksi optimal pada suhu 27C 30C secara in vivo, tumbuh
dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung,
3
cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki, dan testis), dan
tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah
punggung).1,2
2.4 Patogenesis
Kuman ini menyebar ke manusia melalui kontak langsung dengan penderita
(keduanya harus ada lesi dan adanya kontak yang lama) dan melalui saluran
pernapasan.3,4
Pada kusta tipe tuberkuloid, ditandai dengan respon imunitas selular yang
tinggi, dengan tipe respon imunitas seluler yaitu Th-1. Kusta tipe tuberkuloid
menghasilkan IFN-y,IL-2, lymphotoxin- pada lesi dan selanjutnya akan
menimbulkan aktivitas fagositik. Makrofag yang mempengaruhi sitokin terutama
TNF bersama dengan limfosit akan membentuk granuloma. Sel CD4+ (T helper
cell) dominan ditemukan terutama di dalam granuloma dan sel CD8+ sel T
sitotoksik dijumpai di daerah sekitarnya. Sel T pada granuloma tuberkuloid
menghasilkan protein antimikroba yaitu granulisin dengan respon hipersensitivitas
tipe IV.5,6
Pada kusta tipe lepromatous, ditandai dengan respon imunitas seluler yang
rendah dengan tipe respon imunitas humoral yaitu Th-2. Kusta tipe lepromatous
mempunyai karakteristik pembentukan granuloma yang sedikit. mRNA
memproduksi terutama sitokin IL-4, IL-5 dan IL-10. IL-4 menyebabkan
penurunan peranan TLR2 pada monosit sedangkan IL-10 akan menekan produksi
dari IL-12. Dijumpai sel CD4+ berkurang, sel CD8+ yang banyak dan dijumpai
foamy makrofag/sel busa/sel virchow.5,6
4
Granuloma yang terbentuk akan menimbulkan gejala primer sebagai reaksi
terhadap M. leprae yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya. Seperti
pada, kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari dan wajah. Cacat
sekunder terjadi akibat adanya deformitas primer terutama kerusakan saraf
(sensoris, motoris, dan autonom). Sedangkan pada mata bisa karena efek primer
maupun sekunder. 3,6,7
M. leprae bisa menyerang saraf dan kulit, baik saraf kulit maupun sel schwann
yang terletak dangkal di daerah yang lebih dingin seperti wajah dan tungkai.
Awitan kusta ini mempengaruhi saraf, kulit dan mata. Ini mungkin juga
mempengaruhi mukosa seperti mulut, hidung, faring, dan testis, ginjal, otot,
sistem retikulo-endothelial serta endotel vaskular. Jadi, proses masuknya M.
leprae melalui lesi pada kulit dan saluran napas. 3,4,8
Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh manusia dalam hal ini makrofag/ sel
schwann melalui saluran napas kontak atau melalui kulit yang lesi kontak dengan
penderita kusta yang lama maka selanjutnya akan bergantung pada pertahanan
tubuh masing-masing individu. M. leprae yang ada didalam makrofag selanjutnya
terbagi menjadi 2 ada yang mati melalui respon imun seluler, ada pula yang
bertahan hidup dari penghancuran sel, kemudian M. leprae akan difagositosis oleh
sel histiosit. Selanjutnya akan berkembang biak didalam makrofag dan menyebar
melalui darah, getah bening atau cairan jaringan. Jaringan yang terinfeksi akan
membentuk granuloma yang memberikan gejala / manifestasi klinis pada kulit
berupa makula hipopigmentasi dan saraf berupa gangguan sensasi. 3,6
Secara umum, bakteri intraselular menghindari pengawasan terhadap sistem
imun humoral, sehingga tubuh kemudian akan mengaktifkan sistem imun seluler
spesifik seperti respon CD4+ dan CD8+ dan Sel NK. Imunitas yang dimediasi
oleh sistem imun yang spesifik memberi perlindungan terhadap sesorang
penderita kusta yang mampu menghambat perkembangan M. leprae maka
penderita kemudian akan sembuh secara spontan atau menghasilkan jenis kusta
Pauci-Bacillary (PB). Namun, apabila respon imun seluler spesifik kurang maka
M. leprae kemudian akan menyebar tidak terkendali dan menghasilkan kusta
Multi-Bacillary (MB) serta memberikan efek pada banyak sistem.5,6,8
5
Respon imun kemudian bervariasi mengikuti pola pengobatan (MDR) atau
peningkatan status imunologi akan berakibat pada kulit, saraf atau jaringan tubuh
yang lain inilah yang kemudian disebut sebagai reaksi kusta tipe 1 dan 2.3,5,8
2.5 Klasifikasi
Penyakit ini dibagi ke dalam 2 tipe utama, lepromatosa dan tuberkuloid
dengan beberapa stadium intermediet. Pada tipe tuberkuloid perjalanan
penyakitnya bersifat jinak dan tidak progresif, dengan lesi kulit macular,
keterlibatan saraf yang asimetris dan berat serta mendadak dengan beberapa lesi
serta tes lepromin (mitsuda) yang positif, kulit diinfiltrasi sel T helper. Tipe
Lepromatosa, perjalanan penyakitnya progresif dan ganas, disertai lesi kulit
nodular, keterlibatan lesi saraf yang simetris dan lambat, basil tahan asam banyak
terdapat pada lesi kulit, tes lepromin yang negatif, kulit di infiltrasi sel T
suppresor.6,8
a. Klasifikasi Penyakit Kusta
1) Jenis klasifikasi yang umum
a. Klasifikasi Internasional (1953) / madrid
1. Indeterminate (I)
2. Tuberkuloid (T)
3. Borderline-Dimorphous (B)
4. Lepromatosa (L)
b. Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling (1962)
1. Tuberkoloid (TT)
2. Boderline tubercoloid (BT)
3. Mid-berderline (BB)
4. Borderline lepromatous (BL)
5. Lepromatosa (LL)
c. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan
modifikasi WHO (1988)
1. Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif
menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut
klasifikasi Madrid.
6
2. Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria
Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta
dengan BTA positif.
7
Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)
PB MB
8
menyebabkan kurang atau hilangnya sensasi panas, sentuhan dan rasa
sakit.8,9,10
Penurunan maupun kehilangan sensasi paling banyak dirasakan pada
ekstremitas dan lebih sedikit pada area wajah, sensasi lebih kurang di bagian
tengah lesi daripada bagian tepi lesi. Permukaan lesi kulit kering, berkerut,
granular sampai berkilau, dan halus. Hilangnya keringat (anhidrosis) akibat
gangguan trofik dan vasomotor di daerah yang terkena lebih awal. Icthyosis
(kekeringan kulit) dan edema kronis kaki (lebih terasa pada malam hari)
biasanya ditemukan pada lepromatous leprosy. Rambut pada kulit yang
terdapat lesi menjadi jarang (madarosis). Saraf di sekitar lesi kulit (terutama
yang memasuki lesi) dapat ditemukan dengan jelas menebal.9,10
Selama tahap pemulihan reaksi lepra, lesi kulit pada kusta dapat bersisik /
mengelupas. Tanpa perawatan, lesi kulit bisa meningkat dalam jumlah dan
ukuran. Lesi ini dapat bergabung dengan kulit yang terlihat normal yang
menghasilkan infiltrasi difus yang kemudian dapat berkembang menjadi
papula bilateral yang tak terhitung jumlahnya dan tersebar luas. Nodul dapat
berwarna seperti kulit / eritematosa, halus mengkilap tanpa adanya kehilangan
sensasi sensori. Nodul tegas pada palpasi. Nodul paling sering terlihat pada
wajah dan telinga. Lesi ini dapat muncul di bagian tubuh lain atau pada
selaput lendir hidung, faring dan laring. Lesi ini biasanya terlihat pada pasien
MB pada spektrum lepromatous.9,10
9
Lesi infiltratif yang difus pada kulit tampak berkilau, menebal dan warnanya
sedikit kemerahan. Lesi ini tidak menunjukkan hilangnya sensasi. Infiltrasi kulit
yang difus selalu ada secara subklinis dan dapat terjadi secara nyata dan
bermanifestasi sebagai pembesaran lobus telinga, pelebaran akar hidung,
pembengkakan jari yang fusiform, dan kulit yang tampak terlipat.9,10
10
yang menyebabkan saddle nose dapat terjadi akibat destruksi tulang rawan
hidung. 9,10
Diagnosis lepra dapat dieksklusi jika terdapat lesi kulit didapatkan sejak
lahir, depigmentasi / memiliki rambut depigmentasi, gatal, ada skuama yang
dapat dihilangkan kecuali pada perbaikan reaksi kusta dan menunjukkan
variasi yang bersifat musiman.10
2. Manifestasi pada saraf
Keterlibatan saraf jauh lebih serius dan menyebabkan cacat permanen dan
progresif dan kelainan yang melumpuhkan karena jika saraf mengalami
kerusakan tidak beregenerasi dan akan digantikan oleh jaringan fibrosa.
Defisit sensorik pada lesi kulit adalah diagnostik kusta. Fungsi saraf bisa pulih
jika terdeteksi dan diobati secara dini.9,10
Pertimbangkan keterlibatan saraf, jika terdapat kelainan berupa; penebalan
saraf, nyeri pada saraf, pembengkakan (abses) pada saraf, penurunan fungsi
saraf. Adapun saraf yang paling sering terkena adalah N. ulnaris) yang dapat
menyebabkan adduksi jari kelingking, clawing kelingking dan jari manis, N.
peroneus communis yang menyebabkan drop foot, N. tibialis posterior yang
menyebabkan clawing jari kaki, N. trigeminal yang menyebabkan hilangnya
sensasi kornea dan konjungtiva. Adapun saraf perifer lain yang mungkin
terkena adalah N. medianus yang meyebabkan clawing dari ibu jari, jari manis
dan jari tengah, N. facialis yang menyebabkan ketidakmampuan untuk
menutup kelopak mata sepenuhnya, dan N. radialis yang menyebabkan drop
wrist.8,9,10
Kelainan pada saraf, baik dengan tanda dan gejala inflamasi atau tanpa
manifestasi serupa (neuropati tenang) yang biasanya disertai dengan
kehilangan fungsi sensorik dan motorik (kelemahan dan / atau atrofi). Jika
sudah berlangsung cukup lama berdiri maka akan disertai juga dengan
kontraktur.8,9
11
Gambar 3. Pasien Kusta RS. Wahidin Sudirohusodo
Tampak penebalan
saraf perifer pada pedis
sinistra, dan tampak
drop foot
12
Atrofi pada tulang anterior nasal biasanya terjadi karena end arteritis
kusta dan osteomielitis piogenic (karena ulserasi hidung yang parah) dan dapat
menyebabkan kerusakan tulang rawan hidung sehingga tampak saddle nose.
Pada sistem retikulo-endotel dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening
disertai tidak nyeri pada pasien MB. Di abdomen, lien dan hepar dapat
diinfilrasi oleh makrofag M. leprae dan dapat membesar. Sedangkan
manifestasi pada ginjal dapat berupa glomerulonefritis, nefritis interstisial dan
pielonefritis dapat terjadi terutama pada kasus yang parah.8,9,10
2.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan pengamatan pegobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan
kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), antara lain dengan Ziehl-
Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seserang penderita, bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung kuman M. leprae.8,9
2. Pemeriksaan histopatologik
Makrofag dalam jarinagn yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel kuppfer di hati, sel alveolar di paru,
sel glia di otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas
makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman (M.leprae) masuk,
akibatnya akan bergantung pada sistem imunitas selualar (SIS) orang itu.
Apabila SIS-nya tinggi, malrofag akan mampu memfagosit M.leprae.
datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunilogik
dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau berlebihan dan tidak ada lagi yang
harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang
tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia
langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit
yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan
cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat
meghancurkan M.leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan
13
tempat berkembang biak dan disebut sel virchow atau sel lepra atau sel busa
dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.8,9
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya.
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non-solid.
Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (epidermal clear
zone), yaitu suatu daerah langsung dibawa epidermis yang jaringannya tidak
patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline,
terdapat campuran unsur-unsur tersebut.8,9
3. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi M.leprae. antibodi yang terbentuk dapat bersifat
spesifik terhadap M.leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1)
dan antibody antiprotein 16 kD serta 35 kD/. Sedangkan antibodi yang tidak
spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga
dihasilkan oleh kuman M.leprae.8,9
2.8 Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis,
histopatologis, dan serologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang
terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memelukan waktu paling
sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan
dapat dilakukan tes lepromin (mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang
hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu
dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai.8,9,10
Diagnosis Kusta dikonfirmasi dengan setidaknya satu dari tiga tanda kardinal
kusta melalui pemeriksaan klinis atau bakteriologis secara sistematis (bila
diperlukan).8,10
Tiga tanda kardinal (sangat penting) untuk konfirmasi diagnosis kusta adalah:
1. Lesi kulit hipopigmentasi atau kemerahan disertai defisit sensorik yang
nyata
2. Saraf perifer yang menebal atau membesar disertai hilangnya sensasi dan /
atau kelemahan otot yang diinervasi oleh saraf tersebut
14
3. Adanya BTA (basil tahan asam) pada pemeriksaan apusan kerokan kulit
atau histopatologi
Adanya salah satu dari tiga tanda kardinal sangat penting untuk mendiagnosis
kusta.
Dalam kasus kusta yang dicurigai, jika dua tanda kardinal pertama tidak ada,
maka harus dilakukan pemeriksaan apusan kerokan kulit. Pemeriksaan lain yang
dapat digunakan untuk mendiagnosis kusta adalah pemeriksaan histopatologis
jaringan setelah biopsi kulit yang diambil dari tepi lesi, biopsi saraf kutaneus
yang terkena, dan pemeriksaan serologis.8,9,10
Anamnesis
Dalam menegakkan diagnosis, diawali dengan anamnesis pada penderita
yang meliputi keluhannya datang ke rumah sakit antara lain pasien mengeluhkan
adanya lesi kulit yang lebih terang daripada kulit sekitarnya, lesi kering (produksi
keringat berkurang), dengan atau tanpa defisit sensorik dan / atau kehilangan
rambut, kehilangan alis mata / bulu mata, ketidakmampuan untuk menutup mata
sepenuhnya atau kesulitan dalam mengedipkan mata, adanya benjolan di kulit atau
daun telinga, penurunan penglihatan baru-baru ini atau mata merah yang
menyakitkan. Nyeri pada siku, pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Selain
itu keluhan juga terkait yaitu adanya sensasi yang tidak biasa di tangan dan kaki
seperti kesemutan, mati rasa, terbakar, atau sensasi serangga merangkak mungkin
merupakan gejala penyajian keterlibatan saraf, kelemahan dalam menggenggam,
ketidakmampuan untuk mencubit, benda-benda cenderung jatuh dari tangan, tidak
nyeri dengan luka berulang atau luka bakar di tangan dan kaki. Tangan atau kaki
terasa lemas, ramping dengan kulit yang berkilau, kehilangan rambut. Selain itu,
dengan mengetahui bahwa pasien memiliki faktor risiko lepra, yaitu kelahiran
atau bertempat tinggal di daerah endemik, atau keluarga yang menderita lepra,
maka para dokter yang berada di daerah non-endemik dapat terbantu dalam
menegakkan diagnosis lepra.9,10
Pemeriksaan fisik secara umum
Pada pemeriksaan fisik, kondisi umum biasanya baik dan orang yang terkena
Kusta tidak menunjukkan tanda toksisitas kecuali selama reaksi lepra. Suhu
seseorang yang terkena Kusta biasanya tidak demam kecuali selama reaksi atau
15
infeksi sekunder pada organ lain yang terkena. Keterlibatan saraf pada wajah
dapat menunjukkan sudut mulut dapat tertarik ke sisi normal, tidak adanya lipatan
dahi pada sisi yang terkena menunjukkan keterlibatan saraf wajah. Sianosisi dapat
terlihat jika terjadi yang bisa dikonfirmasi dengan tes darah untuk hemoglobin
akibat efek samping dari Dapson. Ikterus mungkin juga terjadi sebagai salah satu
efek samping MDT.9,10
Jika terjadi bengkak / edema tangan dan kaki harus diskrining untuk fungsi
ginjal. Pada inspeksi dan palpasi pada kulit perlu dicari adanya kulit kering,
adanya retakan, kalor, luka atau ulkus; Adanya rambut halus / tidak adanya
rambut dan tidak adanya keringat di daerah saraf yang terkena. 9,10
Pemeriksaan status dermatologis:
Melalui pengamatan dan perabaan (palpasi) untuk mendeskripsikan lesi kulit
terdiri dari lokasi dan distribusi yang berguna untuk tindak lanjut dan untuk
memastikan identifikasi lesi baru di kemudian hari. Lesi asimetris / unilateral
yang lebih besar lebih sering terlihat pada tipe PB Kusta. Batas dapat ditentukan
baik dengan tegas maupun tidak tegas. Tepi lesi cenderung semakin tidak
beraturan dan tidak jelas karena status kekebalan pasien memburuk. Jumlah lesi
dapat membantu untuk pengelompokan dan tindak lanjut. 1-5 lesi kulit dan / atau
keterlibatan batang saraf tunggal berarti PB dimana enam atau lebih lesi kulit dan
atau 2 atau lebih keterlibatan batang saraf atau keduanya mengindikasikan jenis
kusta tipe MB. Warna lesi biasanya hipopigmentasi atau eritematosa (kemerahan).
Permukaan lesi sisa halus, berkilau, dan kering.9,10
Rambut pada lesi dapat normal, sedikit, atau tidak ada. Pada pemeriksaan
sensorik terdapat defisit yang mungkin terletak pada lesi kulit. Nyeri pada lesi
kulit terdapat dalam keadaan reaksi. Nyeri di atas saraf menunjukkan adanya
neuritis. Palpasi di sekitar tepi lesi untuk menemukan saraf yang menebal yang
memasuki lesi kulit. Infiltrasi mengacu pada kulit yang menebal, mengkilap dan
eritematosa. Ketiga kriteria tersebut harus ada di area yang sama. Infiltrasi ini
dapat membentuk plak atau menjadi difus. Infiltrasi difus mungkin merupakan
satu-satunya tanda awal penyajian pada beberapa kasus Kusta MB (Kusta
Lepromatosa). Papula / nodul dapat berkembang saat infiltrasi menjadi kasar.
Adanya nodul dapat muncul pada kulit permukaan ekstensor anggota badan dan
16
wajah pada beberapa kasus Kusta MB dan reaksi Tipe 2. Peradangan dan
perluasan lesi kulit ditunjukkan dengan adanya eritema dan ketidaknyamanan
(paresthesia, kehangatan dan atau nyeri) adalah tanda aktivitas lesi kulit. Bengkak,
kemerahan, ketidaknyamanan pada bercak kulit terdapat pada reaksi tipe 1.9,10
Menilai defisit sensoris pada bercak kulit
Tanda kardinal kehilangan sensasi sensorik kulit yang pasti adalah ciri khas
Kusta.Pemeriksaan saraf biasanya meliputi saraf perifer yang terlibat dan
mengalami penebalan dengan atau tanpa kehilangan sensasi di daerah yang
disuplai oleh saraf dan kelemahan / kelumpuhan otot yang diinervasi oleh saraf.
Keterlibatan saraf perifer (tangan, kaki atau mata) ditunjukkan oleh: Penebalan /
nyeri saraf yang pasti pada palpasi. Hal ini lebih mudah dirasakan bila simetris
dengan perbandingan simultan kedua sisi, hilangnya sensasi di daerah yang
disuplai oleh saraf dan atau kelemahan / kelumpuhan otot yang sesuai, adanya
cacat atau deformitas menegaskan keterlibatan saraf. Terdapat dua komponen
pemeriksaan saraf yaitu 1) Palpasi saraf: untuk menentukan penebalan,
kelembutan dan konsistensi Penilaian fungsi saraf: Fungsi otonom, sensorik dan
motorik. 2) Penilaian fungsi saraf untuk fungsi otonom: menilai hidrasi kulit,
rambut rontok, kulit kering dan retak; defisit sensorik: di daerah yang disuplai
oleh saraf dengan uji sensorik; kekuatan otot (motorik): menilai kekuatan
pergerakan otot yang diinervasi oleh saraf yang disebut Voluntary Muscle Test
(VMT).8,10
Jika tidak ada kehilangan sensasi yang obyektif / nyata pada lesi kulit dan
tidak ada saraf yang membesar, namun ada tanda-tanda yang mencurigakan,
seperti infiltrasi menyebar pada kulit, papula dan atau nodul pada cuping telinga,
wajah, punggung dan ekstremitas, penting untuk dilakukan pemeriksaan kerokan
jaringan kulit. Dalam keadaan seperti ini, hasil apusan kerokan kulit positif dapat
digunakan untuk mendiagnosis kusta (tanda kardinal ketiga). Jika masih ragu,
tunggu selama 3-4 bulan dan evaluasi adanya kehilangan sensasi dan atau saraf
yang menebal yang mungkin telah muncul.8,10
Diagnosis kusta yang kuat memerlukan demonstrasi kelainan saraf
perifer yang konsisten atau demonstrasi dari BTA dalam jaringan. Karena M.
leprae tidak tumbuh di media bebas sel, demonstrasi mikobakteri dengan
17
penemuan BTA paling sering digunakan dalam diagnosis. BTA di jaringan paling
baik ditunjukkan oleh carbol fuchsin dan pewarnaan menggunakan modifikasi
metode Ziehl-Neelsen. Karena karakteristik perubahan klinis dan histologis,
spesifikasi positif dari M. leprae jarang dibutuhkan. Kehadiran dari M. leprae
pada saraf atau adanya sel epithelioid granuloma dalam saraf bersifat diagnostik,
sedangkan karakteristik perubahan histologis menguatkan diagnosis kusta.8,9
18
versikolor, mikosis fungoides atau sarcoidosis. Plak eritem berbentuk bundar
(circinata) dapat dianggap seperti tinea korporis, liken planus, atau psoriasis.
Diagnosis banding untuk plak infiltrat atau nodul pada kusta yaitu sifilis,
limfoma, atau tuberculosis kutis. Temuan neurologis pada kusta dapat
menyerupai neuropati perifer lainnya (misalnya pada diabetes mellitus,
defisiensi zat gizi tertentu, atau vaskulitis).12
Diagnosis banding untuk reaksi kusta reversal (tipe 1) yaitu lupus
eritematosus akut, selulitis, dan reaksi obat (drug reaction).12
- Pityriasis alba
Pityriasis alba merupakan dermatosis ekzematosa yang banyak terjadi, berupa
makula hipopigmentasi. Hipopigmentasi pada lesi ini dikategorikan sebagai
hipopigmentasi post inflamasi,tetapi pathogenesis yang mendasarinya belum
jelas. Lesi multipel, dengan diameter 0.5 2 cm dan terdistribusi secara
simetris di wajah, terutama pada pipi. Lesi dapat terlihat sedikit eritem,
dengan skuama pityriasiform. Durasi penyakit bervariasi, dan memberat pada
musim panas. Patogenesis pityriasis alba tidak jelas, tetapi kemungkinan
berkaitan dengan dermatitis atopi yang telah sembuh, dimana inflamasinya
telah mereda. Tidak ada terapi efektif untuk pityriasis alba. Krim
kortikosteroid tidak lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan
emolien.9,12
19
- Pityriasis rosea
Pityriasis rosea merupakan erupsi exantema akut yang umumnya
perlangsungannya bersifat self-limiting. Pada mulanya, sebuah lesi tunggal
(Herald patch) muncul, lalu 1 2 minggu kemudian timbullah erupsi
sekunder generalisata dengan pola distribusi tertentu. Onset penyakit ini
adalah pada usia 10 43 tahun, dan jarang terjadi pada bayi atau lansia.
Penyebab pityriasis rosea dikaitkan dengan reaktivasi virus HHV-6 atau HHV-
7. Lesi Herald patch pada pityriasis rosea berbentuk oval, plak yang sedikit
meninggi, berwarna merah salmon, skuama tipis pada tepi, serta dapat
berjumlah lebih dari satu. Distribusi lesinya mengikuti pola pohon cemara.
Lesi umumnya terbatas pada area trunkus dan area proksimal tangan dan kaki.
Lesi jarang ditemukan pada wajah. Pityriasis rosea umumnya mengalami
remisi spontan pada 6 12 minggu, dan jarang terjadi rekurensi. Terapi yang
diberikan berupa terapi simptomatik, yaitu antihistamin oral, anti pruritus
topikal, dan glukokortikoid topikal.13
- Dermatofitosis
Dermatofitosis merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang
disebabkan golongan jamur dermatofita (yang terdiri dari 3 genus, yakni
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton). Lesi yang dapat
ditemukan berupa lesi bulat/lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema,
skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya
terlihat lebih tenang. Lesi-lesi umunya merupakan bercak-bercak terpisah satu
20
dengan yang lain. Kadang terlihat pula erosi dan krusta akibat garukan.Pada
permulaan infeksi, penderita dapat merasa sangat gatal, akan tetapi kelainan
yang menahun tidak menimbulkan keluhan pada penderita.11
- Pityriasis versikolor
Pasien umunya datang dengan plak multiple berbentuk oval hingga bundar
atau plak tipis dan skuama halus (yang dapat dideteksi dengan menggores
permukaan kulit). Lesi terletak pada area seboroik, terutama trunkus bagian
superior dan bahu. Warna lesi umumnya hiperpigmentasi (kecokelatan) atau
hipopigmentasi. Biasanya terjadi pula inflamasi ringan yang menimbulkan
warna merah jambu. Penyebab Pityriasis versikolor dikatikan dengan
pertumbuhan berlebihan bentuk miselial Malassezia furfur pada area
superfisial. Terapi topikal yang diberikan berupa Selenium Sulfida 2,5%
losion atau sampo, Ketoconazole sampo, dan Krim yang mengandung Azole
(Ketoconazole, Clotrimazole), dan Terbinafin 1% solution. Terapi sistemik
yang diberikan berupa Ketoconazole, Fluconazole, Itraconazole.13
2.10 Penatalaksanaan
22
- Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT
- Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal dibawah ini : 3
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan
oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut :
Pasien pausibasilar (PB) 3,8
Dewasa
Pengobatan bulanan : Hari Pertama (obat diminum didepan petugas)
- 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
- 1 tablet Dapson/DDS 100 mg
Pengobatan harian : Hari ke 2 28
- 1 tablet Dapson/DDS 100 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6 9
bulan.
Pasien multibasilar (MB) 3,8
Dewasa
Pengobatan bulanan : Hari pertama (obat diminum didepan petugas)
- 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
- 3 tablet Lampren 100 mg (300 mg)
- 1 tablet Dapson/DDS 100 mg
Pengobatan harian : Hari ke 2 28
- 1 tablet Lampren 50 mg
- 1 tablet Dapson/DDS 100 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12
18 bulan.
Dosis MDT PB untuk anak (umur 10 15 tahun)3
Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum didepan petugas)
- 2 kapsul Rifampisin 150 mg dan 300 mg
- 1 tablet Dapson/DDS 50 mg
23
Pengobatan harian : hari ke 2 28
- 1 tablet Dapson/DDS 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6 9
bulan.
Dosis MDT MB untuk anak ( umur 10 15 tahun) 3
Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum diepan petugas)
- 2 kapsul Rifampisin 150 mg dan 300 mg
- 3 tablet Lampren 50 mg (150 mg)
- 1 tablet Dapson/DDS 50 mg
Pengobatan harian : hari ke 2 28
- 1 tablet Lampren 50 mg selang sehari
- 1 tablet Dapson/DDS 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12
18 bulan. Bagi dewasa dan anak usia 1-0 14 tahun tersedia paket dalam
bentuk blister.
Dosis anak disesuaikan dengan berat badan :
- Rifampisin : 10 15 mg/KgBB
- Dapson : 1 -2 mg/KgBB
- Lampren : 1 mg/KgBB
Sebagai pedoman praktis untuk dosis MDT bagi pasien kusta digunakan
tabel sebagai berikut : 3
Tipe PB
Jenis Obat < 5 th 5 9 10 15 >15 th Keterangan
th th
300 450 600 Minum
Rifampisin mg/ mg/ mg/ didepan
Berdasarkan bulan bulan bulan petugas
berat badan 25 mg/ 50 mg/ 100 Minum
bulan bulan mg/ didepan
DDS bulan petugas
24
25 mg/ 50 mg/ 100 Minum di
hari hari mg/ rumah
hari
Tipe MB
25
- Bersifat bakteriostatik, bakterisidal lemah, dan anti inflamasi
- Cara pemberian secara oral, diminum sesudah makan untuk menghindari
gangguan gastrointestinal
c. Rifampisin
- Sediaan berbentuk kapsul 150 mg, 300 mg, 450 mg, dan 600 mg
- Bersifat bakterisidal, 99% kuman kusta mati dalam satu kali pemberian
- Cara pemberian secara oral, diminum setengah jam sebelum makan, agar
penyerapan lebih baik.
d. Obat penunjang (vitamin/ roburansia)
Obat neurotropik seperti vitamin B1, B6, dan B12 dapat diberikan. 3
Pencegahan
26
7) Penggunaan alat bantu
8) Rehabilitasi medis.3
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat adalah dengan melaksanakan
diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT secara cepat dan tepat.
Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai
gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera
mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana
misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai
sarung tangan bila bekerja dengan benda tajam atau panas, dan memakai
kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan
kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka
atau ulkus. Selain itu, tangan dan kaki direndam, disikat, dan diminyaki agar tidak
kering dan pecah.8
2.11 Komplikasi
Komplikasi umum kusta timbul cedera saraf perifer, insufisiensi vena, atau
jaringan parut. Kira-kira 25% sehingga 35% dari pasien baru yang didiagnosis
menderita kusta memiliki, atau pada akhirnya ada, beberapa cacat kronis sekunder
akibat cedera saraf yang irreversibel, biasanya tangan atau kaki, atau bisa juga
mata. Paparan keratitis bisa terjadi dari berbagai faktor termasuk mata kering,
kornea yang tidak sensitif, dan lagophthalmus. Keratitis dan lesi ruang anterior
(termasuk keterlibatan iris, sklera atau saraf kornea) dapat menyebabkan
kebutaan. Insufisiensi vena, yang akibat keterlibatan endotel katup vena dapat
menyebabkan dermatitis dan ulkus kaki. Kerusakan sendi (sendi charcot) bisa
terjadi karena hilangnya sensasi nyeri. Keterlibatan saraf simpatis mengakibatkan
turunnya aktivitas hidrosis yang akan menyebabkan keringnya telapak tangan.
Cedera kulit yang berulang dapat menyebabkan hiperkeratosis, fissura dan infeksi
bakteri.9,15
Ruptur hidung pada tipe LL adalah disebabkan dari kontraktur jaringan parut,
yang telah menggantikan tulang dan tulang rawan. Fenomena Lucio meliputi
septikemia dari ulserasi luas dan kontraktur sekunder dari pembentukan parut
dapat terjadi namun jarang ditemukan.9
27
Cedera saraf menyebabkan hilangnya inervasi otot dan dapat menyebabkan
kelemahan. Cedera berulang dan infeksi bakteri, yang disebabkan oleh kehilangan
sensasi nyeri, adalah penyebab kerusakan jaringan yang parah penderita kusta.
Pengelolaan dan pencegahan masalah yang timbul dari cedera saraf mungkin
membutuhkan keterampilan ahli bedah ortopedi, dokter mata, ahli bedah plastik,
ahli terapi fisik, ortotis, atau terapis okupasi. 9,15
2.12 Prognosis
Pasien kusta yang bisa menyembuhkan dirinya sendiri tanpa terapi adalah
mereka yang memiliki tipe TT, atau pasien BT yang berubah ke tipe TT, dalam
hal ini yang masuk klasifikasi PB. Jika tidak, penyakit akan menjadi progresif,
dengan morbiditas yang disebabkan oleh cedera saraf. Dengan pengobatan dapat
memperbaiki penjalaran penyakit. Neuritis perifer dapat membaik dengan
pemberian pengobatan kortikosteroid. Seperti sindrom post polio, semakin lama
waktu yang dibutuhkan untuk timbul gangguan pada sensori, semakin buruk
prognosis dan pengobatannya. 9,15
28
III. KESIMPULAN
Kusta yang juga disebut lepra merupakan penyakit infeksi granulomatous
kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, terutama mengenai sistem
saraf perifer, kulit, namun dapat juga terjadi pada mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis,
histopatologis, dan serologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang
terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memelukan waktu paling
sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan
dapat dilakukan tes lepromin (mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang
hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu
dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai.
Diagnosis Kusta dikonfirmasi dengan setidaknya satu dari tiga tanda kardinal
kusta melalui pemeriksaan klinis atau bakteriologis secara sistematis (bila
diperlukan).
Tiga tanda kardinal (sangat penting) untuk konfirmasi diagnosis kusta adalah:
1. Lesi kulit hipopigmentasi atau kemerahan disertai defisit sensorik yang nyata
2. Saraf perifer yang menebal atau membesar disertai hilangnya sensasi dan / atau
kelemahan otot yang diinervasi oleh saraf tersebut
3. Adanya BTA (basil tahan asam) pada pemeriksaan apusan kerokan kulit atau
histopatologi
Dalam kasus kusta yang dicurigai, jika dua tanda kardinal pertama tidak ada,
maka harus dilakukan pemeriksaan apusan kerokan kulit. Pemeriksaan lain yang
dapat digunakan untuk mendiagnosis kusta adalah pemeriksaan histopatologis
jaringan setelah biopsi kulit yang diambil dari tepi lesi, biopsi saraf kutaneus
yang terkena, dan pemeriksaan serologis.
Pengobatan kusta/lepra berdasarkan berbeda tergantung tipe yaitu Pausibasilar
dan Multibasilar. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat adalah dengan
melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT secara cepat dan
tepat.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Tiarasari, Riska. 2012. Rehabilitation and disability limitation of youth 22 years
old Morbus Hansen, Faculty of Medicine University of Lampung.
2. Dali, harahap. 2000. Penyakit kusa dalam Ilmu penyakit kulit. Hipocrates: Jakarta.
Hal:260-270.
3. Kementrian Kesehatan RI. 2012. Pedoman nasional program pengendalian kusta.
Jakarta: Bakti Husada.
4. Widoyono. 2011. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya Ed 2. Erlangga : Jakarta. Hal: 48-50
5. Baratawidjaya.KG, Rengganis.imunologi dasar Ed 11.FKUI : Jakarta. 349-361
6. National Leprosy Eradication Programme (NELP). Patoghenesis of leprosy.
Acced 12/07/17.
7. Melnic, et all.2010. Mikrobiologi kedokteran Ed 25.Buku Kedokteran EGC:
Jakarta. Hal: 312
8. Djuanda dkk. 2016. Ilmu penyakit kulit dan kelamin Ed 8. FKUI : Jakarta Hal :73-
77, 87-95
9. Klaus Wolff, Lowell Goldsmith. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine
Eight Edition. New York : McGraw Hill, 2012.
10. Directorate general of health service. Training Manual for Medical Officers.
National Leprosy Eradication Programme. Ministry of health and family welfare,
Nirman Bawan, New Delhi. 2009.
11. A Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.
2010. Dalam : Djuanda Adhi dkk (ed). Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi
kelima. Jakarta : Balai Penerbit FK UI; h. 85-88.
12. Bolognia Jean L, Jorizzo Joseph L. Dermatology second edition. Elsevier, 2011.
13. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatricks color atlas and synopsis of
clinicaldermatology. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill;2009.
14. James D, William, et.al. Andrews Diseases of the skin : clinical dermatology.
11th ed.; Elsevier; 2011.
15. Bikash Ranjan, & C.K Job. Visible Deformity in Childhood Leprosy, International
Jurnal of Leprosy and Other Mycobacterial Diseases. 2005, pg 241-24
30