DISUSUN OLEH:
Syifadhiah Rafidah Thamrin (C014222)
Rufsalista Siswanto (C014222196)
Ira Hapsari Gazali (C014222193)
Salsabilah Alvirayu Harwi (C014222035)
Supervisor Pembimbing:
dr. Siti Nur Rahmah, Sp. D.V.E
Residen Pembimbing:
dr. Stefan Cahyadi
ii
DAFTAR ISI
SAMPUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR iv
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PEMBAHASAN 2
2.1. Definisi 2
2.2. Epidemiologi 2
2.3. Etiologi 3
2.5. Patomekanisme 4
2.6. Klasifikasi 6
2.10. Tatalaksana 16
2.11. Prognosis 19
DAFTAR PUSTAKA 22
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 4. Regimen untuk pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampicin .................. 16
DAFTAR GAMBAR
mengikis lapisan basal dn melibatkan zona grenz dan lapisan basal dengan keruskan
melanosit. ................................................................................................................... 11
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
Kusta atau Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan
penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf
perifer sebagai afinitias pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan masalah
kesehatan yang serius di sejumlah negara berpenghasilan rendah. Meskipun jarang
membunuh, kusta merupakan penyakit yang merusak, melumpuhkan, dan
menstigmatisasi Mycobacterium Leprae berkembang biak dengan lambat dan masa
inkubasi penyakit rata-rata adalah 3-5 tahun. Gejala dapat terjadi dalam 1 tahun tetapi
juga dapat berlangsung selama 20 tahun bahkan lebih. Penyakit ini dapat disembuhkan
dengan terapi multiobat. Kusta kemungkinan ditularkan melalui droplets, dari hidung dan
mulut, selamat kontak dekat dan sering dengan kasus yang tidak diobati (Bolognia, et al)
Menurut data WHO tahun 2020, terdapat 127.558 kasus Kusta baru yang
terdeteksi secara global, menurut angka resmi dari 139 negara dari 6 wilayah WHO.
Termasuk 8.629 anak dibawah 15 tahun. Distribusi penyakit kusta di Indonesia pada
tahun 2000 telah mencapai statu eliminasi Kusta, yaitu prevalensi kusta <1 per 10.000
penduduk (<10 per 100.000 penduduk). Angka kejadian kusta menurun di Indonesia
yaitu, pada tahun 2017 sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk dan angka penemuan kasus
baru sebesar 6,08 kasus per 100.000 penduduk. Selain itu, dibeberapa provinsi angka
prevalensinya masih diatas 1 per 10.000 penduduk dimana angka ini belum dapat
dinyatakan bebas kusta dan terjadi di 10 provinsi di Indonesia (Infodatin).
Kusta bukan merupakan penyakit keturunan, tetapi merupakan penyakit
menular dan dianggap sebagai penyakit yang menyeramkan, karena dapat menyebabkan
terjadinya ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Pasien dengan penderita kusta sering
dikucilkan masyarakat sekitar sehingga penderita kusta bukan hanya menderita karena
penyakitnya, tetapi juga menderita pada dampak psikologis akibat masyarakat
menganggap bahwa kusta merupakan penyakit keturunan (Kang, S. et al, 2019).
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Morbus Hansen atau yang biasa disebut dengan Kusta merupakan
penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae
yang bersifat intraselular obligat. Kusta adalah penyakti yang menyerang kulit
menyebabkan luka pada kulit, sistem saraf perifer yang menyebabkan
kerusakan saraf, melemahnya otot dan mati rasa, selaput lendir pada saluran
pernafasan atas, serta mata (Menaldi, 2015).
2.2. Epidemiologi
Morbus Hansen (MH) merupakan salah satu penyakit tertua, dikenal pula
dengan sebutan kusta sejak tahun 1400 SM dan tersebar di seluruh dunia meski
paling sering dijumpai di negara tropis dan subtropis.2,3 Dilaporkan lebih dari
200.000 kasus baru setiap tahunnya pada lebih dari 120 negara. Pada akhir
tahun 2022, data WHO melaporkan 174.087 kasus baru, dimana 67.657 (39%)
terjadi pada Wanita. Asia Tenggara menduduki peringkat tertinggi
penyumbang kasus terbesar, yaitu sejumlah 5.626 diikuti Afrika dan Amerika
dengan jumlah masing- masing kasus 2.797 dan 2.324 (Wisnu, 2017).
Distribusi MH di Indonesia tidak merata, berdasarkan data tahun 2022
provinsi dengan jumlah kasus baru terbanyak adalah Jawa Timur (1.839), Jawa
Barat (1.597), Papua (1.376), Sulawesi Selatan (735), dan Jawa Tengah (722),
dengan jumlah total kasus nasional adalah 12.288 kasus baru. Morbus Hansen
(MH) dapat terjadi pada semua usia berkisar antara bayi sampai usia lanjut (3
minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia
muda dan produktif. Di Indonesua, proporsi penderita kusta pada anak masih di
atas 5%, yang mengindikasikan tingginya transmisi di wilayah setempat
(Kemenkes, 2022).
Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, MH dapaat mengenai laki-laki dan
2
perempuan. Berdasarkan laporan, Sebagian besar negara di dunia kecuali di
beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang
daripada perempuan. Di Indonesia, proporsi penderita MH laki-laki dan
perempuan relative seimbang.
2.3. Etiologi
Kusta disebabkan oleh infeksi pada individu yang rentan dari kompleks
Mycobacterium leprae (M. leprae dan M. lepromatosis). M. leprae pertama kali
ditemukan oleh Gerhard Hansen pada tahun 1873. M. leprae merupakan bakteri
gram positif, berbentuk basil, tahan asam, intraseluler obligat, dan tidak tumbuh
dalam kultur media buatan. M. leprae tumbuh lambat dan lebih mudah
bereplikasi pada makrofag, sel endotel, dan sel schwann. Pertumbuhannya ideal
terjadi pada suhu 27-33 C. M. lepromatosis baru-baru ini digambarkan sebagai
agen etiologi, meskipun perjalanan klinisnya mungkin tidak dapat dibedakan
dengan infeksi yang disebabkan oleh M. leprae (Gilmore et al, 2023).
2.4.2. Sosioekonomi
● Kontak erat dengan individu yang tinggal di dalam suatu hunian yang
sama yang tidak diobati.
● Tinggal di daerah endemis kusta.
● Kemiskinan.
● Status gizi buruk.
● Sanitasi buruk atau kekurangan air bersih.
3
● Kurangnya layanan kesehatan. (Kang et al, 2019)
2.5. Patomekanisme
Manusia merupakan vektor utama M. leprae. Di Amerika, armadillo
bergaris sembilan (Dasypus novemcinctus) dikenal sebagai reservoir zoonosis
bagi bakteri tersebut. Seperti halnya manusia, armadillo dapat menunjukkan
gejala klinis kusta secara menyeluruh termasuk keterlibatan saraf tepi yang luas.
Penelitian terbaru telah mendeteksi M. leprae pada simpanse. M. lepromatosis
telah terdeteksi pada tupai merah di Inggris. Mekanisme penularan M. leprae
secara historis masih belum jelas karena variabilitas kerentanan inang terhadap
infeksi dan potensi masa inkubasi yang sangat lama. Sekresi pernapasan
kemungkinan merupakan jalur penularan yang paling umum. Kontak kulit dan
penularan vertikal juga merupakan mekanisme infeksi yang mungkin terjadi.
(Gilmore et al, 2023). Masa inkubasi sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40
tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun (Menaldi, 2015).
M. leprae menyerang saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kilit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain, kecuali
susunan saraf pusat (Menaldi, 2015). Umumnya menyerang sel schwann. Ada
4 jalur bakteri ini dapat ke sel schwann, (1) nervus yang filamennya telanjang
di epidermis, (2) M.leprae masuk ke epidermis kemudian ke sel schwann, (3)
fagositosis oleh dermal makrofag yang kemudian menginvasi perineum
sehingga dapat masuk ke sel schwann, (4) melalui darah, M.leprae dapat
mengakses saraf melalui kapiler intraneural.Ketika M.leprae mencapai matriks
ekstraseluler, PGL-I (Phenolic Glicolipid I) berikatan dengan alpha-2 laminin
untuk masuk ke dalam sel schwann. Invasi M. leprae ke dalam sel schwann
dapat menyebabkan kolonisasi dan inflamasi di dalam saraf sehingga terjadi
kerusakan saraf, demielinisasi, dan neuropati.
Selain itu, M. leprae dapat menginfeksi makrofag kulit. Makrofag
mencerna bakteri dan dibungkus ke dalam vesikel yg disebut fagosom,
kemudian bergabung dengan organel intraseluler lain, yaitu lisosom
4
membentuk fagolisosom. Normalnya di dalam fagolisosom, bakteri akan
hancur. Akan tetapi, M.leprae punya kekuatan untuk menghambat fusi
fagolisosomal sehingga bakteri ini dapat hidup di dalam makrofag dan
bereplikasi (Kang et al, 2019).
Bila kuman M. leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul
gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis
bergantung pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik akan
tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah
memberikan gambaran lepromatosa (Menaldi, 2015). Kasus kusta tuberkuloid
mempunyai respon Th1 yang kuat, dengan produksi sitokin IL-2, TNF-α, IFN-
γ, dan IL-12, sedangkan penderita kusta lepromatosa mempunyai respon Th2,
dengan IL-4, IL-5, IL -10 dan produksi antibodi tingkat tinggi. Pasien kusta
tuberkuloid menunjukkan granuloma terorganisir dengan baik yang
mengandung sel epiteloid, sel T CD4+, imunitas seluler yang baik, hampir tidak
ada produksi antibodi, dan tidak ditemukan basil pada pemeriksaan basiloskopi
slit skin smear. Di sisi lain, pasien kusta lepromatosa menunjukkan infiltrasi
masif makrofag yang berisi basil dalam jumlah besar, dengan sedikit limfosit,
sebagian besar sel T CD8+, dan imunitas seluler yang cacat dengan titer
antibodi yang tinggi terhadap antigen M. leprae, termasuk ke PGL-I (Kang et
al, 2019).
2.6. Klasifikasi
Ada dua sistem klasifikasi utama untuk gambaran klinis kusta yang memandu
penatalaksanaan dan pengobatan: 1) klasifikasi Ridley-Jopling
menggabungkan gambaran klinis, histopatologi, dan indeks bakteriologis (BI).
dan 2) sistem klasifikasi WHO berdasarkan BI atau jumlah lesi kulit. (KH Chen
et al, 2022)
5
WHO Classification :
Ridley-Jopling Classification
6
2.7. Manifestasi Klinis
Pada anamnesis dapat ditanyakan keluhan utama pasien. Gambaran klinis
kusta yang paling umum adalah bercak hipopigmentasi atau eritematosa yang
menunjukkan hilangnya sensasi. Manifestasi klinisnya dipengaruhi oleh respon
imun pasien. Ciri-ciri fisik lain yang dapat diamati terkait dengan kusta
meliputi :
● bercak kulit yang tampak kemerahan dan kurang sensasi.
● Sensasi kesemutan disertai mati rasa pada ekstremitas.
● Luka bakar yang tidak nyeri terjadi pada ekstremitas.
● Pembesaran saraf perifer yang sensitif.
Lesi kulit yang umum terlihat pada penyakit kusta dapat dikategorikan
dalam sebagai berikut : (Bhandari J et al, 2022)
1. Kusta Tuberkuloid (TT)
7
Hal ini ditandai dengan lesi hipopigmentasi atau eritematosa yang besar
dengan demarkasi yang jelas dan tepi yang menonjol. Presentasi plak
terbukti bersisik.
Gambar 1. Tuberkuloid
3. Mid-Borderline (BB)
Penyakit ini ditandai dengan munculnya lesi yang “terlubang”.
8
Gambar 3. Mid-Borderline
9
Gambar 5. Lepromatous Leprosy
10
2. Pemeriksaan Histopatologi
Tampakan Histopatologi MH : (Mohta A et al, 2021)
1. Tipe tuberkuloid
Tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih jelas terlihat dalam tipe
lepromatosa, di mana basil (kuman penyebab penyakit) jarang atau
hampir tidak ada, dan jaringan di daerah subepidermal (wilayah di
bawah lapisan kulit) secara patologis tidak mengalami perubahan
yang signifikan. Selain itu, dalam tipe ini, sel Virchow dengan
jumlah basil yang cukup banyak dapat ditemukan.
11
Gambar 7. Histopatologis menunjukkan granuloma dermal yang
memanjang dan berbentuk baik dengan granuloma peri
appendageal yang melibatan folikel rambut dengan melibatkan
sedikit zona grenz.
12
4. Tipe Borderline Lepromatous
Dalam jenis ini, kulit merespons dengan adanya infiltrasi limfosit
yang padat, terutama terbatas pada rongga yang dihuni oleh
makrofag. Pada respon tipe BL, terlihat lapisan perineum dengan
sel radang yang menyusup. Sel plasma dan bakteri basil juga dapat
dengan mudah ditemukan dalam kondisi ini.
13
3. Pemeriksaan Serologi
Berdasarkan pembentukan antibodi dalam tubuh individu yang terinfeksi
oleh M.leprae, ada beberapa jenis antibodi yang dapat terbentuk. Beberapa
di antaranya adalah antibodi yang spesifik terhadap M. leprae, seperti
antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD
serta 35kD. Selain itu, ada juga antibodi yang tidak bersifat spesifik,
seperti antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh
kuman M. tuberculosis. (Chen KH et al, 2022)
4. Tes Lepromin
Tes lepromin tidak digunakan untuk mendiagnosis lepra, tetapi digunakan
untuk mengklasifikasikan dan memprognosis penyakit ini. Tes ini
membantu dalam menunjukkan bagaimana sistem kekebalan tubuh pasien
merespons M.leprae. Ini melibatkan penyuntikan 0,1 ml lepromin yang
disiapkan dari ekstrak basil organisme ke dalam kul
it. Hasil tes dapat dibaca setelah 48 jam (reaksi Fernandez) atau 3-4
minggu (reaksi Mitsuda). Jika terjadi indurasi dan eritema setelah tes, ini
menandakan bahwa pasien memberikan respons imun tipe lambat
terhadap M.leprae, mirip dengan tes mantoux (PPD) untuk tuberkulosis.
Reaksi Mitsuda bernilai: (Chen KH et al, 2022)
5. Tes PCR
Tes ini penting untuk melakukan pengawasan aktif dan deteksi dini
penyakit MH agar dapat dicegah penyebaran M. Leprae. Salah satu teknik
molekuler yang digunakan untuk mendeteksi DNA M. Leprae dan
14
kebanyakan M. Lepromatosis adalah reaksi berantai polimerase (PCR).
Pada kebanyakan kasus awal kusta pada anak-anak, pemeriksaan olesan
kulit tetap menunjukkan hasil BTA-Negatif. Oleh karena itu, dalam kasus-
kasus seperti ini, diperlukan teknik tambahan untuk memastikan
diagnosis. salah satu metode yang digunakan adalah PCT in situ pada
apusan kulit, yang minim invasif dan lebih sederhana dibanding biopsi
kulit. PCR dilaporkan memiliki sensitivitas yang tinggi (87-100%) pada
pasien dengan tipe BI atau LL, tetapi sensitivitasnya lebih rendah (30-
83%) pada pasien dengan tipe BI atau TT.
15
2.10. Tatalaksana
● Nonmedikamentosa :
1. Rehabilitasi medik, meliputi fisioterapi, penggunaan protese, dan
terapi okupasi
2. Rehabilitasi non-medik, meliputi: rehabilitasi mental, karya, dan
sosial
3. Edukasi kepada pasien, keluarga dan masyarakat tentang
menghilangkan stigma dan penggunaan obat
4. Setiap kontrol, harus dilakukan pemeriksaan untuk pencegahan
disabilitas.
● Medikamentosa :
1. Pengobatan dengan multidrug therapy (MDT)
Pengobatan dengan MDT disesuaikan dengan indikasi
sebagai berikut
16
a) Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui, MDT
harus tetap diberikan. Menurut WHO, obat-obatan MDT
standar aman dipakai selama masa kehamilan dan
menyusui baik untuk ibu maupun bayinya, tidak diperlukan
perubahan dosis pada MDT. Obat dapat melalui air susu
ibu dalam jumlah kecil, belum ada laporan mengenai efek
simpang obat pada bayi.
b) Pengobatan kusta pada pasien yang menderita tuberkulosis
(TB) pada saat yang bersamaan.
c) Bila pada saat yang sama pasien kusta juga menderita TB
aktif, pengobatan harus ditujukan untuk kedua penyakit.
Obat anti TB tetap diberikan bersamaan dengan
pengobatan MDT untuk kusta.
i) Pasien TB yang menderita kusta tipe PB.
Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan
dapson 100 mg karena rimfapicin sudah diperoleh
dari obat TB. Lama pengobatan tetap sesuai dengan
jangka waktu pengobatan PB.
ii) Pasien TB yang menderita kusta tipe MB
Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan
lampren karena rifampicin sudah diperoleh dari
obat TB. Lama pengobatan tetap disesuaikan
dengan jangka waktu pengobatan MB. Jika
pengobatan TB sudah selesai, maka pengobatan
kusta kembali sesuai blister MDT.
d) Pengobatan kusta pada penderita yang disertai infeksi HIV
pada saat yang sama. Manajemen pengobatan pasien kusta
yang disertai infeksi HIV sama dengan manajemen untuk
penderita non HIV.
17
Regimen U-MDT (Unfixed Multi-Drug) untuk kusta PB
dan MB. Obat ini diberikan pada MH-PB dan MB selama 6 bulan,
terdiri atas Rimfapisin 600 mg 1 kali/bulan, dapson 100 mg/hari,
Klofazimin 300 mg/bulan (pada bulan pertama dan dilanjutkan
dengan dosis 50 mg/hari). Regimen diatas efektif dand itolerans
baik untuk tipe PB, tetapi kurang adekuat untuk tipe MB.
Pengobatan Kusta dengan regimen alternatif. Jika MDT-
WHO tidak dapat diberikan dengan berbagai alasan, antara lain :
a) Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin.
Penyebabnya mungkin akibat alergi obat,
menderita penyakit penyerta hepatitis kronik, atau
terinfeksi dengan kuman yang resisten dengan
rimfapisin. Pasien dengan kuman resisten terhadap
rimfapisin, biasanya resisten juga terhadap DDS.
Oleh sebab itu digunakan regimen berikut :
18
minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan
c) Pasien yang tidak dapat mengonsumsi DDS. Jika
dapson menyebabkan terjadinya efek samping
berat, seperti sindrom dapson (sindrom
hipersensitivitas obat), obat ini harus segera
dihentikan. Tidak ada modifikasi lain untuk pasien
MB, sehngga MDT tetap dilanjutkan tanpa dapson
selama 12 bulan. Sedangkan untuk pasien PB,
dapson diganti dengan klofazimin dengan dosis
sama dengan MDT tipe MB selama 6 bulan.
2.11. Prognosis
Prognosis MH dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang kompleks dan
beragam, yang mencakup tahap perkembangan penyakit pada saat diagnosis,
inisiasi perawatan yang diberikan sesegera mungkin, aksesibilitas pasien
terhadap perawatan medis, serta tingkat kepatuhan pasien terhadap terapi.
Dengan dimulainya terapi multidrug (MDT) tepat waktu setelah serangan awal,
MH umumnya memiliki prognosis yang baik. Perawatan dengan MDT dapat
mencegah kelainan bentuk yang luas dan kecacatan neurologis. Dengan
mengikuti terapi yang ditentukan dengan benar, tingkat kerusakan neurologis
dapat dibatasi. Namun terdapat beberapa kasus yang menunjukkan bahwa tidak
ada pemulihan dari miastenia / kelemahan otot atau hilangnya sensasi yang
terjadi sebelum dimulainya terapi. Rekurensi MH jarang terjadi setelah
19
pemberian MDT yang efektif, dan risiko kematian akibat kusta juga tergolong
rendah. Namun, penting untuk diingat bahwa perawatan yang efektif,
pemberian tepat waktu, dan ketaatan terhadap terapi adalah faktor kunci yang
dapat meningkatkan peluang pemulihan dan mengurangi komplikasi pada
individu yang terkena kusta (Bhandari, 2023).
20
BAB 3
KESIMPULAN
Kusta atau Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium Leprae yang menyerang saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit
dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat. Mekanisme penularan M. leprae masih belum jelas karena
variabilitas kerentanan inang terhadap infeksi dan potensi masa inkubasi yang sangat
lama. Untuk mendiagnosis kusta di dapatkan 1 dari 3 cardinal sign yang positif, yaitu (1)
adanya bercak hipopigmentasi atau eritematous yang mati rasa, mati rasa dapat berupa
kurang rasa (hipoestesi) atau tidak merasa sama sekali (anestesi), (2) penebalan saraf tepi
disertai gangguan fungsi saraf ; sensoris (anestesi), motoris (parese/paralisis), otonom
(kulit kering), dan (3) ditemukan Basil Tahan Asam (BTA) positif. Ada dua sistem
klasifikasi utama untuk gambaran klinis kusta yaitu (1) klasifikasi Ridley-Jopling
menggabungkan gambaran klinis, histopatologi, dan indeks bakteriologis (BI), membagi
kusta dalam tipe tuberculoid (TT), borderline tuberculoid (BT), borderline borderline
(BB), borderline lepromatous (BL), dan lepromatous (LL), dan (2) sistem klasifikasi
WHO berdasarkan BI atau jumlah lesi kulit, membagi kusta dalam tipe pausibasiler (PB)
dan multibasiler (MB) . Pengobatan kusta dilakukan dengan pemberian multidrug therapy
(MDT). Pada pasien dewasa dengan kusta tipe PB diberikan rifampicin 600 mg dan
dapson 100 mg untuk per bulan, diminum di depan petugas, dan dapson 100 mg per hari
untuk diminum di rumah. Sedangkan pada tipe MB, MDT yang diberikan terdiri atas
rifampicin 600 mg, dapson 100 mg, dan klofazimin 300 mg untuk per bulan, diminum di
depan petugas, serta dapson 100 mg dan klofazimin 50 mg per hari untuk diminum di
rumah. Obat MDT ini diminum selama 6-9 bulan untuk tipe PB dan 12-18 bulan untuk
tipe MB. Penting juga untuk mengedukasi pasien bahwa penyakit ini bukan penyakit
kutukan dan dapat disembuhkan. Semakin cepat didiagnosis dan patuh rutin minum
memiliki prognosis yang lebih baik.
21
DAFTAR PUSTAKA
Bhandari J, Awais M,Robbins BA, et al. Leprosy. [Update 2022 aug 29].
Bologna JL Schaffer JV and Cerroni L. 2017. Dermatology. Edisi 4. Elsevier.
Bhandari, J. (2023) Leprosy. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559307/.
Chen KH, Lin CY, Su SB, Chen KT. Leprosy: A Review of Epidemiology, Clinical
Diagnosis, and Management. J Trop Med. 2022 Jul 4;2022:8652062. doi:
10.1155/2022/8652062. PMID: 35832335; PMCID: PMC9273393.
Gilmore, A., Roller, J. and Dyer, J.A. (2023) Leprosy (Hansen’s disease): An update
and review, Missouri medicine. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9970335/
Mohta A, Jain SK, Agrawal A, Kushwaha RK, Sharma P, Sethia K, Jain M.
Dermoscopy in Leprosy: A Clinical and Histopathological Correlation Study. Dermatol
Pract Concept. 2021 Apr 12;11(2):e2021032. doi: 10.5826/dpc.1102a32. PMID:
33954015; PMCID: PMC8060002.
Kang, S. et al. (2019) Fitxpatrick’s Dermatology 9th Edition Vol 1. 9th edn.
McGraw-Hill Education.
KEMENKES (2022) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit . Available at:
https://p2pm.kemkes.go.id/storage/informasi-publik/content/informasi-
publik_18_20220718073519.pdf.
Menaldi, S.L.S. (2015) Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th edn. Jakarta, Indonesia:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) (2017)
Panduan Praktik Klinis. Jakarta: PERDOSKI
Siregar, R.S. (2013) Atlas Berwarna saripati penyakit kulit. Jakarta: EGC
Wisnu IM, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Kusta. In: Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 7th Ed. Jakarta: UI; 2017 .pp. 234-8
22
23