Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

PENANGANAN TERAPI INTENSIF PADA PASIEN COVID 19

Disusun oleh:
Mushab
20201110101033

Pembimbing:
dr. Suparno Adi Sastika, Sp.An

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF / LAB ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2021
ii

REFERAT
PENANGANAN TERAPI INTENSIF PADA PASIEN COVID 19

Disusun oleh:
Mushab
20201110101033

Pembimbing:
dr. Suparno Adi Sastika, Sp.An

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF / LAB ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2021

ii
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL........................................................................................i
HALAMAN JUDUL............................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................iv
DAFTAR TABEL................................................................................................iv
BAB 1. PENDAHULUAN..................................................................................1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................3
2.1 COVID-19........................................................................................3
2.2 Patofisiologi......................................................................................4
2.3 Manifestasi Klinis............................................................................5
2.4 Tatalaksana di ICU.........................................................................8
2.4.1 Strategi Ventilasi Mekanik......................................................9
2.4.2 Strategi Tatalaksana Syok.......................................................12
BAB 3. KESIMPULAN.......................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................16

iii
iv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Rincian Oksigenasi Pada Pasien ARDS........................................................7


Tabel 2.2 Pasangan PEEP dan FiO2..........................................................................11

iv
1

BAB 1. PENDAHULUAN

Novel Corona Virus 2019 merupakan jenis coronavirus baru yang


ditemukan pertama kali di kota Wuhan, provinsi Hubei, China, pada akhir tahun
2019. Pada tanggal 11 Februari 2020, Novel Corona Virus 2019 secara resmi
dinamai oleh World Health Organization (WHO) sebagai Coronavirus Disease
2019 (COVID-19) (Cascella, 2020).
COVID-19 berasal dari famili single-stranded RNA viruses (ssRNA) yang
dapat diisolasi pada hewan dengan spesies yang berbeda. Virus ini dapat
menyebabkan penyakit pada manusia mulai dari flu biasa hingga penyakit yang
lebih parah seperti Middle-East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS).Saat ini telah terjadi penularan dari manusia ke
manusia melalui kontak langsung, lingkungan, udara, droplet batuk dan bersin
orang yang terinfeksi.
Persentase klinik yang timbul bervariasi dengan sebagian besar pasien
memiliki gejala saluran pernapasan. Sebuah Studi tentang COVID-19 dengan
1.099 pasien menunjukkan bahwa 19% pasien sesak napas, 41% membutuhkan
oksigen suplementasi, 5% menjadi sakit kritis, 2.3% diperlukan ventilasi mekanik
invasive. Study cohort terbaru menggambarkan 99 pasien terinfeksi COVID-19,
usia rata-rata kelompok pasien laki-laki 56 tahun dengan penyakit komorbid
kronik yang signifikan (mis., penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular).
Manifestasi klinis yang sering muncul termasuk demam, batuk, sesak napas
dengan 17% demam tidak terjadi. Pencitraan biasanya menunjukkan perubahan
yang konsisten dengan pneumonia bilateral dan 17% pasien memenuhi kriteria
untuk Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Pasien membutuhkan
perawatan Intensive Care Unit (ICU) 23% dan tingkat kematian 11% selama
periode observasi 25 hari. Tiga belas persen pasien dirawat dengan ventilasi non-
invasif, 4% membutuhkan ventilasi mekanik, 3% membutuhkan ekstrakorporeal
oksigenasi membran. (Xie et al., 2020)
Pasien COVID-19 yang memiliki gejala berat seperti sesak nafas, ARDS,
sepsis bahkan syok septik membutuhkan perawatan Intensif di ICU. Memberikan
2

terapi oksigen yang masih merupakan intervensi utama dalam penanganan infeksi
berat, mempertahankan jalan napas dengan ventilasi mekanik untuk hypoxic
respiratory failure dan ARDS, serta mempertahankan hemodinamik untuk
penanganan syok septik. Pasien COVID-19 dengan gejala sedang-berat juga
membutuhkan perawatan untuk mencegah terjadinya hipoksia, hipoksemia dan
ARDS. (Zhao et al., 2020)
3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 COVID- 19
Pada tanggal 11 Februari 2020, World Health Organization memberi nama virus
baru tersebut Severa acute respiratory syndrome coronavirus-2 (SARSCoV-2) dan nama
penyakitnya sebagai Coronavirus disease 2019 (COVID-19). Pada mulanya transmisi
virus ini belum dapat ditentukan apakah dapat melalui antara manusia-manusia. Jumlah
kasus terus bertambah seiring dengan waktu. Akhirnya dikonfirmasi bahwa transmisi
pneumonia ini dapat menular dari manusia ke manusia. Pada tanggal 11 Maret 2020,
WHO mengumumkan bahwa COVID-19 menjadi pandemi di dunia. Sejak diumumkan
pertama kali ada di Indonesia, kasus COVID-19 meningkat jumlahnya dari waktu ke
waktu sehingga memerlukan perhatian. Pada prakteknya di masa pandemi, tatalaksana
COVID-19 diperlukan kerjasama semua stakholder untuk menanganinya.(PDPI et al.,
2020)
CoVs (coronaviruses) adalah virus RNA rantai positif yang memiliki bentuk
seperti mahkota bila dilihat dibawah mikroskop elektron dan terdapat tonjolan
glikoprotein di permukaannya.CoVs merupakan subfamili Orthocoronavirinae dari famili
Coronaviridae (ordo Nidovirales) yang diklasifikasikan menjadi empat genus CoVs;
Alphacoronavirus, Betacoronavirus, Deltacoronavirus, dan Gammacoronavirus.
Ditambah lagi, betacoronavirus dikelompokkan menjadi lima sub genus. (Chan et al.,
2013)
Corona virus memiliki kapsul, partikel berbentuk bulat atau elips, sering
pleimorfik dengan diameter sekitar 50-200m. Semua virus ordo Nidovirales memiliki
kapsul, tidak bersegmen, dan virus positif RNA serta memiliki genom RNA sangat
panjang.Struktur corona virus membentuk struktur seperti kubus dengan protein S
berlokasi di permukaan virus. Protein S atau spike protein merupakan salah satuprotein
antigen utama virus dan merupakan struktur utama untuk penulisan gen. Protein S ini
berperan dalam penempelan dan masuknya virus kedalam sel host (interaksi protein S
dengan reseptornya di sel inang).(Wang, Qiang and Ke, 2020)
Menurut penelitian (Guo et al., 2020)COVID-19 banyak terdistribusi di udara,
permukaan objek (mis., lantai, tempat sampah, pegangan tangan, dan komputer), bangsal
umum dan risiko kontaminasi yang lebih besar di unit perawatan intensif. Virus ini
mampu bertahan pada plastik dan peralatan yang terbuat dari besi hampir 72 jam
dibandingkann dengan tembaga hanya mampu bertahan sampai 4 jam dan kardus sampai
4

24 jam. Studi inijuga menemukan virus dapat bertahan dalam partikel cairan (aerosol)
selama 3 jam. Namun, aerosol ini bukan berarti berasal dari batuk manusia pada
umumnya melainkan dihasilkan melalui alat penghasil aerosol yang digunakan pada
prosedur klinis. Organisasi Kesehatan Dunia telah mengkonfirmasi hal itu belum ada
laporan tentang penularan melalui udara. (World Healthy Organization, 2020)

2.2 Patofisiologi
Berikut siklus dari Corona virus setelah menemukan sel host sesuai
tropismenya. Pertama, penempelan dan masuk virus ke sel host diperantarai
oleh Protein S yang ada di permukaan virus. Protein S penentu utama dalam
menginfeksi spesies host-nya serta penentu tropisnya.(Wang, dkk., 2020)
Pada studi yang dilakukan, protein S berikatan dengan reseptor di sel
host yaitu enzim angiotensin converting enzyme 2 (ACE-2). ACE-2 dapat
ditemukan pada mukosa oral dan nasal, nasofaring, paru, lambung, usus
halus, usus besar, kulit, timus, sumsum tulang, limpa, hati, ginjal, otak, sel
epitel alveolar paru, sel enterosit usus halus, sel endotel arteri vena, dan sel
otot polos.(Guo et al., 2020)
Setelah berhasil masuk selanjutnya translasi replikasi gen dari RNA
genom virus. Selanjutnya replikasi dan transkripsi dimana sintesis virus
RNA melalui translasi dan perakitan dari kompleks replikasi virus. Tahap
selanjutnya adalah perakitan dan rilis virus.(Whelan, dkk., 2015)
Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas ataskemudian
bereplikasi di sel epitel saluran napas atas (melakukan siklus hidupnya).
Setelah itu menyebar ke saluran napas bawah. Pada infeksi akut terjadi
peluruhan virus dari saluran napas dan virus dapat berlanjut meluruh
beberapa waktu di sel gastrointestinal setelah penyembuhan. Masa inkubasi
virus sampai muncul penyakit sekitar 3-7 hari. (Wang, dkk., 2020)
Studi yang dilakukan Wang, dkk., 2020 pada SARS menunjukkan
virus bereplikasi di saluran napasbawah diikuti dengan respons sistem imun
bawaan dan spesifik. Faktor virus dan sistem imun berperan penting dalam
patogenesis. Pada tahap pertama terjadi kerusakan difus alveolar, makrofag,
5

dan infiltrasi sel T dan proliferasi pneumosit tipe 2. Pada rontgen toraks
diawal tahap infeksi terlihat infiltrat pulmonar seperti bercak-bercak. Pada
tahap kedua, organisasi terjadi sehingga terjadi perubahan infiltrat atau
konsolidasi luas di paru. Infeksi tidak sebatas di sistem pernapasan tetapi
virus juga bereplikasi di enterosit sehingga menyebabkan diare dan luruh di
feses, juga urin dan cairan tubuh lainnya.
Studi terbaru (Ramanathan et al., 2020) menunjukkan peningkatan
sitokin proinflamasi diserum seperti IL1B, IL6, IL12, IFNγ, IP10, dan
MCP1 dikaitkan dengan inflamasi di paru dan kerusakan luas di jaringan
paru-paru pada pasien dengan SARS. Pada COVID-19 ditemukan target sel
kemungkinan berlokasi di saluran napas bawah. Virus COVID-19
menggunakan ACE-2 sebagai reseptor, sama dengan pada SARS-CoV.
Sekuens dari RBD (Reseptor-binding domain) termasuk RBM (Receptor
Binding Motif) pada SARS-CoV-2 kontak langsung dengan enzim
angiotensin-converting enzyme 2 (ACE 2). Hasil residu pada SARS-CoV-2
RBM (Gln493) berinteraksi dengan ACE 2 pada manusia, konsisten dengan
kapasitas SARS-CoV-2 untuk infeksi sel manusia. (Wan et al., 2020)
Beberapa residu kritis lain dari COVID-19 RBM (Asn501)
kompatibel mengikat ACE2 pada manusia, menunjukkan SARS-CoV-2
mempunyai kapasitas untuk transmisi manusia ke manusia. Analisis secara
analisis filogenetik kelelawar menunjukkan COVID-19 juga berpotensi
mengenali ACE 2 dari beragam spesies hewan yang menggunakanspesies
hewan ini sebagai inang perantara. Secara patofisiologi, pemahaman
mengenai COVID-19 masihperlu studi lebih lanjut.(Wan et al., 2020)

2.3 Manifestasi Klinis


2.3.1 Gejala Klinis
Infeksi COVID-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang
atauberat. Gejala klinis utama yang muncul yaitu demam (suhu >38ºC),
batuk dan kesulitan bernapas. Selain itu dapat disertai dengan sesak
memberat, fatigue, mialgia, gejala gastrointestinal seperti diare dan gejala
saluran napas lain. Setengah dari pasien timbul sesak dalam satu minggu.
6

Pada kasus berat perburukan secara cepat dan progresif, seperti ARDS, syok
septik, asidosis metabolik yang sulit dikoreksi dan perdarahan atau disfungsi
sistem koagulasi dalam beberapa hari. (Wang, dkk., 2020)
2.3.2 Klasifikasi Klinis
Menurut WHO pada tahun 2020 klasifikasi klinis COVID-19 antara
lain:
a. Mild illness
Pasien yang terinfeksi virus saluran pernapasan bagian atas
yang tidak memiliki gejala seperti demam, kelelahan, batuk (dengan
atau tanpa produksi sputum/dahak), anoreksia, lemas, nyeri otot,
suara serak, sesak napas, hidung tersumbat, atau sakit kepala. Pasien
terkadang mengalami diare, mual, dan muntah.
b. Pneumonia
Pneumonia pada dewasa tidak disertai dengan tanda
pneumonia berat dan tidak membutuhkan oxygen sedangkan
pneumonia pada anak disertai batuk atau sulit bernapas dan bernapas
cepat tanpa adanya tanda pneumonia berat.
Definisi takipnea pada anak:
< 2 bulan : ≥ 60x/menit
2-11 bulan : ≥ 50x/menit
1-5 tahun : ≥ 40x/menit.
c. Pneumonia Berat
- Pada pasien dewasa
Gejala yang muncul diantaranya demam atau curiga infeksi
saluran napas.Tanda yang muncul yaitu takipnea (frekuensi
napas: >30x/menit), distress pernapasan berat atau saturasi
oksigen pasien < 93% udara luar.
- Pada pasien anak
Gejala yang muncul yakni batuk atau tampak sesak, ditambah
satu diantara kondisi berikut:
Sianosis central atau SpO2 < 90%
7

Distress nafas berat (retraksi dinding dada)


Pneumonia dengan tanda bahaya (tidak mau menyusu atau
minum; letargi atau penurunan kesadaran; atau kejang)
Dalam menentukan pneumonia berat ini diagnosis dilakukan
dengan diagnosis klinis, yang mungkin didapatkan hasil
penunjang yang tidak menunjukkan komplikasi.
d. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Onset baru atau perburukan gejala respirasi dalam 1 minggu
setelah diketahui kondisi klinis. Derajat ringan beratnya ARDS
berdasarkan kondisi hipoksemia. Hipoksemia didefinisikan tekanan
oksigen arteri (PaO₂) dibagi fraksi oksigeninspirasi(FIO₂) kurang
dari< 300 mmHg.
Pemeriksaan penunjang yang penting yaitu pencitraan toraks
seperti foto toraks, CT Scan toraks atau USG paru. Pada pemeriksaan
pencitraan dapat ditemukan: opasitas bilateral, tidak menjelaskan
oleh karena efusi, lobar atau kolaps paru atau nodul. Sumber dari
edema tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh gagal jantung atau
kelebihan cairan, dibutuhkan pemeriksaan objektif lain seperti
ekokardiografi untuk mengeksklusi penyebab hidrostatik penyebab
edema jika tidak ada faktor risiko. Penting dilakukan analisis gas
darah untuk melihat tekanan oksigen darah dalam menentukan
tingkat keparahan ARDS serta terapi. Berikut rincian oksigenasi pada
pasien ARDS dewasa.
8

Anak:
- Bilevel non-invasive mechanical ventilation (NIV) atau Continious
Positive Airway Pressure (CPAP) ≥ 5 cmH2O melalui masker full
wajah : PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg atau SpO2/FiO2 ≤ 264
- ARDS ringan (ventilasi invasif): 4 ≤ oxygenation index (OI) < 8 or
5 ≤ OSI < 7.5
- ARDS sedang (ventilasi invasif): 8 ≤ OI < 16 atau 7.5 ≤
oxygenation index using SpO2 (OSI) < 12.3
- ARDS berat (ventilasi invasif): OI ≥ 16 atau OSI ≥ 12.3
e. Sepsis
Sepsis merupakan suatu kondisi respons disregulasi tubuhterhadap
suspek infeksi atau infeksi yang terbukti dengan disertaidisfungsi organ.
Tanda disfungsi organ perubahan status mental, susah bernapas atau
frekuensi napas cepat, saturasi oksigen rendah, keluaran urin berkurang,
frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, akral dingin atau tekanan
darah rendah, kulit mottling atau terdapat bukti laboratorium
koagulopati, trombositopenia, asidosis, tinggi laktat atau
hiperbilirubinemia.
f. Syok septik
Definisi syok septik yaitu hipotensi persisten setelah resusitasivolum
adekuat sehingga diperlukan vasopressor untuk mempertahankan Mean
Arterial Pressure(MAP) ≥ 65 mmHg dan serum laktat > 2 mmol/L.
9

Definisi syok septik pada anak yaitu hipotensi dengan tekanansistolik <
persentil 5 atau >2 Standar Deviasi (SD) dibawah rata rata tekanan
sistolik normal berdasarkan usia atau diikuti dengan 2-3 kondisi
berikut :Perubahan status mental, bradikardia atau takikardia (pada
balita: frekuensi nadi 160x/menit, pada anakanak: frekuensi nadi
150x/menit26), capillary refill time (CRT) meningkat (>2 detik) atau
vasodilatasi hangat denganbounding pulse, takipnea, kulit mottled atau
petekia atau purpura, peningkatan laktat, oliguria, hipertemia atau
hipotermia.

2.4 Tatalaksana pada ICU


Pada pembahasan tatalakasana ini kita terfokus pada
tatalaksana pada Intensive Care Unit (ICU). Penderita COVID-
19 dapat muncul dengan berbagai gejala penyakit virus. Tetapi
umumnya pasien masuk ke ICU diakibatkan oleh ARDS
dan/atau sepsis yang diakibatkan oleh pneumonia. Pasien
asimtomatis, dengan gejala ISPA dan pasien dengan pneumonia
ringan bukanlah ranah perawatan ICU. Berikut tatalaksana
COVID-19 di ICU.
2.4.1 Strategi Ventilasi Mekanik
Saat ini manifestasi paru dari COVID-19 dijelaskan sebagai sebuah
spektrum dengan 2 titik. Titik awal adalah infeksi COVID-19 tipe L
yang merespons pemberian terapi oksigen konvensional dan infeksi
COVID-19 tipe H yang memerlukan terapi oksigen dengan tekanan yang
lebih tinggi.
1. Terapi awal O2
a) Segera berikan oksigen dengan nasal kanul atau face mask
b) Jika tidak respon, gunakan HNFC
c) NIV boleh dipertimbangkan jika tidak terdapat HFNC dan tidak ada tanda-
tanda kebutuhan intubasi segera, tetapi harus disertai dengan NIV disertai
10

dengan monitoring ketat. Tidak ada rekomendasi mengenai jenis


perangkat NIV yang lebih baik.
d) Target SpO2 tidak lebih dari 96%
e) Segera intubasi dan beri ventilasi mekanik jika terjadi perburukan selama
penggunaan HFNC ataupun NIV atau tidak membaik dalam waktu 1 jam.
2. Pengaturan Ventilasi Mekanik
a) Ventilatory setting
- Mode ventilasi dapat menggunakan volume maupun pressure based
- Volume tidal (TV) awal 8 ml/kgbb
 Titrasi TV dengan penurunan sebesar 1 ml/kgbb setiap 2 jam
sampai mencapai TV 6 ml/kgbb
 Rentang TV yang disarankan adalah 4-8 ml/kgbb
 Gunakan predicted body weight untuk menghitung TV.
Adapun rumus perhitungan predicted body weight adalah
sebagai berikut:
Laki-laki = 50 + (0,91 [tinggi badan (cm) – 152.4])
Perempuan = 45.5 + (0,91 [tinggi badan (cm) – 152.4])
- Laju nafas diatur dengan memperhitungan ventilasi semenit yang
adekuat.
- Tekanan plateau (Pplat) < 30 cmH2O.
 Periksa Pplat setiap 4 jam atau setelah perubahan PEEP dan TV
 Titrasi Pplat
Jika Pplat> 30 cm H2O: turunkan TB sebesar 1ml/kg
secara bertahap (minimal = 4 ml/kg).
Jika Pplat< 25 cm H2O dan VT< 6 ml/kg, naikkan TV
sebesar 1 ml/kg secara bertahap sampai Pplat>25cmH2O
atau VT =6ml/kg.
Jika Pplat< 30 dan terjadi asinkroni: boleh naikkan TB
sebesar 1ml/kg secara bertahap sampai 7 or 8 ml/kg
selama Pplat tetap < 30 cm H2O.
11

- Gunakan tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) tinggi pada tipe H,


sedangkan pada tipe L, batasi dengan PEEP maksimal 8-10 cmH2O.
 Hati-hati barotrauma pada penggunaan PEEP > 10 cmH2O
 Sesuaikan FiO2 dengan PEEP yang diberikan dengan
menggunakan tabel ARDS untuk COVID-19 tipe H.
 Target oksigenasi PaO2 55-80 mmHg atau SpO2 88-95%
 Jika terjadi hipoksemia refrakter,
o Lakukan rekrutmen paru :
Posisikan tengkurap (posisi prone) selama 12-16
jam per hari.
Hindari strategi staircase.
o Pertimbangkan pemberian inhalasi vasodilator paru
sebagai terapi bantuan (rescue), tetapi jika tidak terjadi
perbaikan gejala, terapi ini perlu segera dihentikan.
Penggunaan N2O inhalasi tidak direkomendasikan.
o Setelah semua upaya ventilasi mekanik konvensional
dilakukan, segera pertimbangkan pasien untuk
mendapatkan terapi extracorporeal membrane
oxygenation (ECMO) atau dirujuk ke pusat pelayanan
yang dapat memiliki fasilitas ECMO.

Tabel 2.2 Pasangan PEEP dan FiO2


3. Perawatan Pasca Intubasi
a) Intubasi oral lebih dipilih dibandingkan intubasi nasal pada remaja dan
orang dewasa
12

b) Gunakan sistem suctioning tertutup; lakukan drainase secara berkala


dan buang kondensat dalam tabung
c) Gunakan sirkuit ventilator baru untuk setiap pasien; jika pasien telah
terventilasi, ganti sirkuit jika kotor atau rusak tetapi tidak secara rutin
d) Ubah heat moisture exchanger jika tidak berfungsi, kotor, atau setiap
5-7 hari
e) Gunakan protokol penyapihan yang mencakup penilaian harian untuk
persiapan bernafas spontan
f) Sedasi pada pasien ARDS harus diminimalkan untuk memfasilitasi
pemulihan yang lebih cepat. Oleh karena itu berkembang konsep
analgosedation, dengan maksud meningkatkan kenyamanan pasien
dalam menghadapi prosedur-prosedur ICU yang menimbulkan rasa
sakit sehingga kebutuhan obat sedasi murni pun berkurang.
Penggunaan agen sedasi dapat digunakan jika pasien perlu disedasi
lebih dalam, seperti pada kasus asinkroni ventilasi mekanik. Asinkroni
pada kasus ARDS umumnya terjadi akibat strategi volume tidal rendah
dan PEEP yang tinggi.
g) Penggunaan agen pelumpuh otot dapat digunakan jika pasien terjadi
asinkroni yang persisten setelah pemberian analgetik dan sedasi. Untuk
meminimalkan efek samping obat akibat dosis yang tinggi, dapat
dilakukan strategi balaced sedation menggunakan pelumpuh otot.
Pelumpuh otot ini diberikan secara intermitten. Tetapi pada kasus yang
refrakter, dapat digunakan secara kontinyu, selama durasi dibatasi < 48
jam. Hal ini terkait peningkatan mortalitas yang didapatkan pada
pasien yang diberikan pelumpuh otot selama lebih dari 48 jam saat
dirawat di ICU.
h) Jaga pasien dalam posisi semi-terlentang (elevasi kepala tempat tidur
30-45º) Hal ini penting untuk memaksimalkan fungsi paru,
mengurangi kejadian pneumonia terkait ventilator (VAP) dan
melancarkan drainase darah dari otak.
4. Penyapihan Ventilasi Mekanik
13

a) Syarat penyapihan
- PEEP ≤ 8 dan FiO2 ≤ 0,4 atau PEEP ≤ 5 dan FiO2 ≤ 0,5
- Usaha nafas adekuat
- Hemodinamik stabil tanpa topangan atau topangan minimal
- Patologi paru sudah membaik
b) Tehnik penyapihan
- Gunakan T-piece atau CPAP ≤ 5 cmH2O dan PS ≤ 5 cmH2O
- Awasi toleransi selama 30 menit, maksimal 2 jam
 SpO2 > 90% dan/atau PaO2 > 60 mmHg
 TV > 4 ml/kgbb
 RR < 35 x/menit
 pH > 7.3
 Tidak ada tanda kesulitan bernafas seperti laju nadi >
120x/menit, gerakan nafas paradoks, penggunaan otot-otot
pernafasan sekunder, keringat berlebih atau sesak.
- Jika terdapat tanda intoleransi, lanjutkan ventilasi mekanik sesuai
pengaturan sebelum penyapihan
2.4.2 Strategi Tata Laksana Syok
1. Septik syok diidentifikasi pada pasien dengan dugaan atau terbukti
mengalami infeksi yang membutuhkan penggunaan vasopressor untuk
mempertahankan MAP >65 mmHg, kadar laktat >2 mmol/L tanpa
disertai tanda hypovolemia. Pada kondisi tidak dapat dilakukan
pemeriksaan kadar laktat, gunakan MAP dan tanda klinis gangguan
perfusi untuk mendifinisikan syok.
2. Identifikasi dan kelola dengan inisiasi terapi antimikrobial dan inisiasi
resusitasi cairan dan pemberian vasopressor untuk mengatasi hipotensi
dalam 1 jam pertama.
3. Resusitasi cairan dengan bolus cepat kristaloid 250 – 500 mL (15 – 30
menit) sambil menilai respon klinis.
14

a) Respon klinis dan perbaikan target perfusi (MAP >65 mmHg,


produksi urine >0,5 ml/kg/jam, perbaikan capillary refill time, laju
nadi, kesadaran dan kadar laktat).
b) Penilaian tanda overload cairan setiap melakukan bolus cairan
(distensi vena juguler, crackles pada auskultasi paru, edema paru
pada pencitraan radiologis atau hepatomegaly)
c) Hindari penggunaan kristaloid hipotonik, gelatin dan starches
untuk resusitasi inisiasi
d) Pertimbangkan untuk menggunakan indeks dinamis terkait volume
responsiveness dalam memandu resusitasi cairan (passive leg
rising, fluid challenges dengan pengukuran stroke volume secara
serial atau variasi tekanan sistolik, pulse pressure, ukuran vena
cava inferior, atau stroke volume dalam hubungannya dengan
perubahan tekanan intratroakal pada penggunaan ventilasi
mekanik).
4. Penggunaan vasopressor bersamaan atau setelah resusitasi cairan,
untuk mencapai target MAP >65 mmHg dan perbaikan perfusi
a) Norepinephrine sebagai first-line vasopressor
b) Pada hipotensi refrakter tambahkan vasopressin (0,01- 0,03
iu/menit) atau epinephrine. Penambahan vasopressin (0,01-0,03
iu/menit) dapat mengurangi dosis norepinehrine
c) Dopamine dapat dipertimbangkan pada pasien dengan potensi
takiaritmia yang rendah atau pasien dengan bradikardia
d) Pada pasien COVID-19 dengan disfungsi jantung dan hipotensi
persisten, tambahkan dobutamine. Jika memungkinkan gunakan
monitor parameter dinamis hemodinamik. Baik invasif, seperti
PiCCO2, EV1000, Mostcare, maupun non-invasif, seperti
ekokardiografi, iCON, dan NICO2.
15

BAB 3. KESIMPULAN

Novel Corona Virus 2019 merupakan jenis coronavirus


baru yang ditemukan dan secara resmi dinamai oleh WHO
sebagai COVID-19. COVID-19 berasal dari famili single-
stranded RNA viruses (ssRNA) yang dapat diisolasi pada hewan
dengan spesies yang berbeda. Virus ini dapat menyebabkan
penyakit pada manusia mulai dari flu biasa hingga penyakit yang
lebih parah seperti Middle-East Respiratory Syndrome (MERS)
dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Manifestasi
klinis yang sering muncul termasuk demam, batuk, sesak napas
dengan 17% demam tidak terjadi. Pencitraan biasanya
menunjukkan perubahan yang konsisten dengan pneumonia
bilateral dan 17% pasien memenuhi kriteria untuk Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Pasien membutuhkan
perawatan Intensive Care Unit (ICU) 23%. Tatalaksana di ICU
meliputi dua hal yakni mekanisme pemberian ventilasi mekanik
dan juga tatalaksana syok sepsis.
16

DAFTAR PUSTAKA

1. Arif, S. K., Muchtar, F., Wulung, N., Hisbullah,. Herdarjan, P., Nurdin, H.
(2020), Buku Pedoman PENANGANAN PASIEN KRITIS COVID-19’, (April),
pp. 1–88.
2. Bhagavathula, A. S., Wafa, A. A., Jamal, R., Muhammad, J. A. M., Deepak, K.
B. (2020), Knowledge and Perceptions of COVID-19 Among Health Care
Workers: Cross-Sectional Study, JMIR Public Health and Surveillance, 6(2), p.
e19160. doi: 10.2196/19160.
3. British Society of Thoracic Imaging (2020), Background COVID-19, First cases
Wuhan City China, (March), p. 28. Available at:
https://www.bsti.org.uk/media/resources/files/BSTI_COVID19_Radiology
_Guidance_version_2_16.03.20.pdf.
4. Guo Z, dkk. 2020. Aerosol and Surface Distribution of Severe Acute Respiratory
Syndrome Coronavirus 2 in Hospital Wards. Pp 1–2. doi: :
https://doi.org/10.3201/eid2607.200885 Aerosol.
5. Huang C, dkk. 2020.Clinicalfeatures of patients infected with 2019 novel
coronavirus in Wuhan, China. The Lancet: 395(10223), pp. 497–506. doi:
10.1016/S0140-6736(20)30183-5.
6. Kementerian Kesehatan RI (2020) Pedoman pencegahan dan pengendalian
coronavirus disease (COVID-19) revisi ke-4 1.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MenKes/413/2020
TentangPedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019
(COVID-19). MenKes/413/2020, 2019.
8. PDPI et al. (2020) PROTOKOL TATALAKSANA COVID-19. 1st edn. Jakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2020) Diagnosis danPenatalaksanaan
Pneumonia COVID-19. 1st edn. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
9. Ruíz, A. A. B. 2015. Clinical Management of COVID-19. 3(2), pp. 54–67.
17

Available at: http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf.


10. Singer, M., dkk. 2016. The third international consensus definitions forsepsis and
septic shock (sepsis-3). JAMA - Journal of the American MedicalAssociation:
315(8), pp. 801–810. doi: 10.1001/jama.2016.0287.
11. Sun, Q., Qiu, H., Huang, M., Yang, Y. 2020. Lower mortality of COVID-19 by
early recognition and intervention: experience from Jiangsu Province, Annals of
Intensive Care. Springer International Publishing: 10(1), pp. 2– 5.doi:
10.1186/s13613-020-00650-2.
12. Wan, Y., Shang, J., Graham, R., S. Baric, R., Li, F. 2020. crossm Receptor
Recognition by the Novel Coronavirus from Wuhan : an Analysis Based on
Decade-Long Structural Studies of. pp. 1–9. doi:10.1128/JVI.00127-20.
13. Wang, Z., Qiang, W. and Ke, H. 2020. A Handbook of 2019-nCoV Pneumonia
Control and Prevention. Hubei Science and technology press: pp. 1–108.
14. Whelan, J., Murcha, M. W. and Walker, J. M. 2015. Mitochondria IN Series
Editor.
15. World Healthy Organization. 2020. Clinical management of severe acute
respiratory infection when COVID-19 is suspected (v1.2). Who: pp. 1–21.
Available at: https://www.who.int/publications-detail/clinicalmanagementof-
severe-acute-respiratory-infection-when-novelcoronavirus-(ncov)-infection-is-
suspected.
16. Xie, J., Tong, Z., Guan, X., Du, B., Qiu, H., Slutsky, A. S. 2020, Critical care
crisis and some recommendations during the COVID-19 epidemic in China.
Intensive Care Medicine. Springer Berlin Heidelberg: 46(5), pp. 837–840. doi:
10.1007/s00134-020-05979-7.
17. Zhang, M., dkk. 2020. Knowledge, attitude, and practice regarding COVID-19
among healthcare workers in Henan, China. Journal of Hospital Infection.
Elsevier Ltd: 105(2), pp. 183–187. doi: 10.1016/j.jhin.2020.04.012.
18. Zhao, S., dkk. 2020. Anesthetic Management of Patients with COVID 19
Infections during Emergency Procedures. Journal of Cardiothoracic and Vascular
Anesthesia. Elsevier Inc: 34(5), pp. 1125–1131. doi: 10.1053/j.jvca.2020.02.039.
19. Zhong, B. L., dkk. 2020. Knowledge, attitudes, and practices towards COVID19
among chinese residents during the rapid rise period of the COVID-19 outbreak:
A quick online cross-sectional survey. International Journal of Biological
18

Sciences: 16(10), pp. 1745–1752. doi: 10.7150/ijbs.45221.

Anda mungkin juga menyukai