Anda di halaman 1dari 34

Case Report Session

PNEUMOTHORAKS SPONTAN

Oleh:

Anisa Aprilia Adha 1840312458

Suci Estetika Sari 1840312635

Satia Bama 1840312642

Preseptor
dr. Rohayat Bilmahdi, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP DR. M DJAMIL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................... 2
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 3
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 3
1.2. Batasan Masalah............................................................................... 4
1.3. Tujuan Penulisan ............................................................................. 4
1.4. Manfaat Penulisan............................................................................ 4
1.5. Metode Penulisan............................................................................. 4
BAB II.TINJAUAN PUSTAKA ……........................................................... 5
Pneumothoraks 5
BAB III. LAPORAN KASUS ...................................................................... 17
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN …………………………….. 30
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 34

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pneumothorak adalah salah satu kondisi kegawatdaruratan dimana


terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura yang pada keadaan normal tidak
berisi udara. Insidennya mencapai 2,4-17,8 per 100.000/tahun yang lebih sering
pada laki-laki dan usia dekade 3 dan 4.1
Pneumothoraks dapat terjadi spontan atau traumatik. Pneumothoraks
spontan dibagi menjadi primer dan sekunder. Primer jika penyebab tidak
diketahui, dan sekunder jika ada penyakit dasar yang menyertai. Traumatik
dibagi menjadi iatrogenik dan bukan iatrogenik. 2
Pneumothoraks spontan sekunder merupakan jenis yang paling sering
terjadi. Jenis ini tejadi sebagai bentuk komplikasi dari penyakit seperti
pneumonia, abses paru, PPOK, asma, TB Paru, keganasan paru dan penyakit
interstisial paru yang menyebabkan pecahnya dinding alveolus. Di negara
berkembang TB paru merupakan penyebab utama terjadinya pneumothoraks
spontan sekunder. 3
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
diperkuat dengan pemeriksaan rontgent thoraks. Penatalaksanaan ditujukan untuk
menghilangkan keluhan pasien, menurunkan kecenderungan untuk berulang
kembali dan pengobatan terhadap penyakit dasar. Kelalaian dalam
penatalaksanaan dapat berakibat timbulnya komplikasi berupa
pneumomediastinum, emfisema subkutan, gagal napas akut dan bahkan sampai
kematian.2
1.2 Batasan Masalah
Case report session ini membahas mengenai definisi, klasifikasi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, dan penatalaksanaan dari pneumothoraks spontan.
1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
dan penatalaksanaan dari pneumothoraks spontan.

1.4 Manfaat Penulisan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


Menambah pengetahuan tentang definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, dan penatalaksanaan dari pneumothoraks spontan.
1.5 Metode Penulisan
Penulisan Case report session ini merujuk pada berbagai kepustakaan dan
literatur.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pneumotoraks
Pneumotoraks merupakan keadaan dimana terdapatnya udara dalam
rongga pleura, antara paru dan dinding dada, yang dapat menyebabkan kolapsnya
paru. Biasanya, udara yang masuk ke rongga pleura berasal dari kebocoran paru
yang sudah ada kelainan sebelumnya, dan jarang yang berasal dari luar akibat
trauma dinding dada.4
2.2 Klasifikasi Pneumotoraks
Klasifikasi pneumotoraks berdasarkan penyebabnya sebagai berikut :5
 Pneumotoraks spontan5
Pneumotoraks spontan adalah setiap pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba
tanpa adanya suatu penyebab (trauma atau iatrogenik), ada dua jenis yaitu: 5
a. Pneumotoraks spontan primer.5
Pneumotoraks spontan primer (PSP) adalah suatu pneumotoraks yang
terjadi tanpa ada riwayat penyakit paru yang mendasari sebelumnya, umumnya
pada individu sehat, dewasa muda, tidak berhubungan dengan aktivitas fisik yang
berat tapi justru terjadi pada saat istirahat dan sampai sekarang belum diketahui
penyebabnya.5
Mekanisme yang diduga mendasari terjadinya PSP adalah ruptur bleb
subpleura pada apeks paru-paru. Udara yang terdapat di ruang intrapleura tidak
didahului oleh trauma, tanpa disertai kelainan klinis dan radiologis. Riwayat
keluarga dengan kejadian serupa dan kebiasaan merokok meningkatkan resiko
terjadinya pneumotoraks ini.5
Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patomekanisme PSP adalah
terdapat sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya. Peningkatan
porositas menyebabkan kebocoran udara viseral dengan atau tanpa perubahan
emfisematous paru-paru. Hubungan tinggi badan dengan peningkatan resiko
terjadinya PSP adalah karena gradien tekanan pleura meningkat dari dasar ke
apeks paru. Akibatnya, alveoli pada apeks paru-paru orang bertubuh tinggi rentan
terhadap meningkatnya tekanan yang dapat mendahului proses pembentukan kista
subpleura.5

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh penderitanya karena tidak
adanya penyakit paru-paru yang mendasari. Pada sebagian besar kasus PSP, gejala
akan berkurang atau hilang secara spontan dalam 24-48 jam.5
b. Pneumothoraks spontan sekunder.5
Pneumotoraks spontan sekunder (PSS) adalah suatu pneumotoraksyang
terjadi karena penyakit paru yang mendasarinya (tuberukulosis paru, PPOK, asma
bronkial, pneumotoraks, tumor paru, dan sebagainya). Pasien PSS bilateral
dengan reseksi torakoskopi dijumpai adanya metastase paru yang primernya
berasal dari sarkomma jaringan lunak luar paru.5
c. Pneumotoraks traumatik5
Pneumotoraks traumatik adalah pneumotoraks yang terjadi akibat suatu
trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan yang menyebabkan robeknya pleura,
dinding dada maupun paru. Pneumotoraks traumatik diperkirakan 40% dari semua
kasus pneumotoraks. Pneumotoraks traumatik tidak harus disertai dengan fraktur
iga maupun luka penetrasi yang terbuka. Trauma tumpul atau kontusio pada
dinding dada juga dapat menimbulkan pneumotoraks. Beberapa penyebab trauma
penetrasi pada dinding dada adalah luka tusuk, luka tembak, akibat tusukan jarum
maupun pada saat dilakukan kanulasi vena sentral.5
 Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik5
Suatu pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis.
Pneumotoraks jenis ini dibedakan menjadi dua yaitu :5

a. Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik Aksidental yaitu penumothoraks


yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan/komplikasi tindakan
medis tersebut. 4
b. Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik Artifisial yaitu pneumotoraks yang
sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara ke dalam rongga pleura
melalui jarum dengan suatu alat Maxwell box.4
 Pneumotoraks Traumatik bukan Iatrogenik
Penumothoraks yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada
dinding dada baik terbuka maupun tertutup. Pneumotoraks jenis ini terjadi akibat
trauma tumpul atau tajam yang merusak pleura viseralis atau parietalis. Pada
trauma tajam, luka menyebabkan udara dapat masuk ke rongga pleura langsung ke

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


dinding toraks atau menuju pleura viseralis melalui cabang-cabang trakeobronkial.
Luka tusuk atau luka tembak secara langsung melukai paru-paru perifer
menyebabkan terjadinya hemothoraks dan pneumotoraks di lebih dari 80% lesi di
dada akibat benda tajam.4

Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis terobek


oleh fraktur atau dislokasi costae. Kompresi dada tiba-tiba menyebabkan
peningkatan tekanan alveolar secara tajam dan kemudian terjadi ruptur alveoli.
Saat alveoli ruptur udara masuk ke rongga intersisiel dan terjadi diseksi menuju
pleura viseralis atau mediastinum. Pneumotoraks terjadi saat terjadi ruptur pada
pleura viseralis atau mediastinum dan udara masuk ke rongga pleura.4

Pneumotoraks traumatik bukan iatrogenik juga dapat terjadi akibat


barotrauma. Pada suhu konstan, volume massa udara berbanding terbalik dengan
tekanannya, sehingga apabila ditempatkan pada ketinggian 3050 m, volume udara
yang tersaturasi pada tubuh meningkat 1,5 kali lipat daripada saat di ketinggian
permukaan laut. Pada peningkatan tekanan tersebut, udara yang terjebak dalam
bleb dapat mengalami ruptur dan menyebabkan pneumotoraks. Hal ini biasanya
terjadi pada kru pesawat terbang. Sedangkan pada penyelam, udara yang
terkompresi dialirkan ke paru-paru harus melalui regulator dan sewaktu naik ke
permukaan barotrauma dapat terjadi seiring dengan penurunan tekanan secara
cepat sehingga udara yang terdapat di paru-paru dapat menyebabkan
pneumotoraks.4

Sedangkan berdasarkan jenis fistulanya pneumotoraks dapat dibagi menjadi


tiga, yaitu :4
 Pneumotoraks tertutup (simple pneumothorax). Pneumotoraks tertutup
yaitu suatu pneumotoraks dengan tekanan udara di rongga pleur yang sedikit lebih
tinggi dibandingkan dengan tekanan pleura pada sisi hemitoraks kontralateral
tetapi tekanannya masih lebih rendah dari tekanan atmosfer. Pada jenis ini tidak
didapatkan defek atau luka terbuka dari dinding dada.
 Pneumotoraks terbuka (open pneumothorax). Pneumotoraks terbuka
terjadi karena luka terbuka pada dinding dada sehingga pada saat inspirasi udara
dapat keluar melalui luka tersebut. Pada saat inspirasi, mediastinum dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


keadaan normal tetapi pada saat ekspirasi mediastinum kearah sisi dinding dada
yang terluka (sucking wound) dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Open Pneumothorax5


 Tension pneumotoraks.
Tension pneumotoraks terjadi karena mekanisme check valve yaitu pada saat
inspirasi udara masuk ke dalam rongga pleura, tetapi pada saat ekspirasi udara
dari rongga pleura tidak dapat keluar. Semakin lama tekanan udara di dalam
rongga pleura akan meningkat dan melebihi tekanan atmosfir. Udara yang sering
menimbulkan gagal nafas. Pneumotoraks ini juga sering disebut pneumotoraks
ventil.9

Gambar 2.2. Tension pneumotoraks5


Pneumotoraks berdasarkan etiologinya terbagi atas dua, yakni spontan dan
traumatik. Penumotoraks spontan terbagi menjadi dua, pneumotoraks spontan
primer dan sekunder.2 Pneumotoraks spontan primer merupakan pneumotoraks

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


yang terjadi pada orang tanpa adanya penyakit paru-paru yang mendasari.
Pneumotoraks sekunder terjadi pada orang dengan adanya penyakit paru-paru
yang mendasari. Pada trauma pneumotoraks biasanya didahului oleh adanya
lubang pada dinding dada akibat adanya luka tusuk atau luka tembak, atau karena
adanya trauma pada paru-paru.4
2.2. Epidemiologi
Kejadian pneumotoraks pertahun sebanyak 18 -28 per 100.000 pada laki-
laki dan 1,2-6 pada perempuan.4 Angka kejadian pneumotoraks spontan skunder
lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding dengan perempuan, masing-masing
7,4-18 per 100.000 dan 1,2 – 6 per 100.000 per tahun.2 Pada penelitian di Inggris
insiden pneumotoraks spontan primer 24 per 100.000 pada laki-laki dan 9,8 per
100.000 pada perempuan. Angka kematian karena pneumotoraks dalam sebuah
penelitian di Inggris lebih tinggi pada laki-laki dibanding dengan perempuan,
yakni mencapai 1,26 per juta per tahun, lebih tinggi pada orang tua, dan pada
orang dengan pneumotoraks sekunder.4
2.3 Etiologi dan faktor risiko
Pneumotoraks spontan primer merupakan pneumotoraks yang terjadi pada
orang tanpa adanya penyakit paru-paru yang mendasari. Pneumotoraks sekunder
terjadi pada orang dengan adanya penyakit paru-paru yang mendasari. Pada
trauma pneumotoraks biasanya didahului oleh adanya lubang pada dinding dada
akibat adanya luka tusuk atau luka tembak, atau karena adanya trauma pada paru-
paru, atau karena iatrogenik dapat menjadi penyebab pneumotoraks.4,6
Penyebab pneumotoraks spontan primer tidak diketahui, tetapi faktor
risikonya umumnya terjadi pada laki-laki, usia muda, bertubuh kurus dan tinggi.
Merokok merupakan salah satu risiko yang berkaitan dengan terjadinya
pneumotoraks spontan primer. Pada perokok lebih berisiko 100 kali untuk terkena
pneumotoraks dibandingkan dengan non perokok. Pada beberapa penelitian juga
dikatakan bahwa adanya riwayat keluarga menjadi salah satu faktor risiko
terjadinya pneumotoraks spontan primer.4,6
Pada pneumotoraks spontan sekunder, adanya penyakit paru-paru yang
mendasari. Penyakit paru yang bisa menyebabkan pneumotoraks spontan
sekunder seperti penyakit paru kronik ( PPOK, asma bronkial), infeksi paru

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


( tuberkulosis, pneumocystic carinii, abses paru), penyakit paru intersisial,
penyakit jaringan ikat sistemik seperti Marfan sindrom, dan keganasan paru.
Penyakit yang paling umum menyebabkan tejadinya pneumotoraks spontan
sekunder adalah PPOK.4,6
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Tekanan dalam rongga pleura lebih negatif dibanding tekanan alvoli.
Tekanan intrapleura yang negatif tidak sama pada semua rongga pleura, terdapat
gradien sebesar 0,25 cmH2O untuk setiap 1 cm jarak vertikal. Pada bagian apeks,
tekanan lebih negatif dari bagian basal. Perbedaan tekanan inilah yang
menyebabkan distensi alveoli yang berada di apeks secara berlebihan. Apabila
terdapat penghubung antara alveoli dengan rongga pleura, maka udara akan
mengalir menuju rongga pleura sampai tekanan alveoli dan intrapleura sama.4,6,7
Udara yang berada di rongga pleura akan dikeluarkan melalui proses difusi
dari rongga pleura menuju aliran vena. Laju absorbsi ini tergantung pada beberapa
variabel yaitu; gradien tekanan antara rongga pleura dengan aliran vena,
permiabilitas permukaan pleura, luas kontak antara udara dengan permukaan
pleura, dan properti untuk difusi. 4,6,7
PSP terjadi karena pecahnya bleb atau bula yang diperkirakan karena over
distensi alveoli. Udara dapat merobek selaput bronkovaskular dibagian medial,
sehingga menyebabkan pneumomediastinum yang akan diikuti dengan emfisema
dan pneumotorak. Udara juga dapat merobek bagian perifer dari paru, diseksi
perifer ini akan menyebabkan udara masuk ke rongga pleura. 4,6,7
Konsekuensi dari pneumotorak adalah berkurangnya kapasitas vital paru
dan berkurangnya PaO2. Kapasitas paru total, kapasitas residual fungsional dan
kapasitas difusi juga berkurang namun tidak sebanyak penurunan kapasitas vital.
Udara yang berada di rongga pleura menyebabkan hilangnya gradien pada
tekanan intrapleura dan volume paru regional, sehingga ventilasi didaerah tersebut
seragam. 4,6,7
Pada orang sehat, penurunan kapasitas vital dan PaO2 dapat ditoleransi
dengan baik. Pada pasien yang disertai kelainan yang mendasari pada paru,
penurunan kapasitas vital akan menyebabkan hipoksemia yang signifikan,
hipoventilasi alveoli, dan asidosis respiratorik. Ketika udara dalam rongga pleura

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


dikeluarkan maka PaO2 akan meningkat lagi. 4,6,7
Pada pneumotorak spontan sekunder akibat TB, terjadi ruptur lesi paru yang
berada dekat dengan pleura, sehingga terdapat akses antara paru dan rongga
pleura. Sehingga udara saat inspirasi dapat masuk ke rongga pleura. Berbeda
dengan PSP, pada PSS keadaan pasien tampak serius dan dapat mengancam
nyawa. 4,6,7
2.5 Diagnosis
Manifestasi klinis berdasarkan keluhan subyektif yang timbul, gejala-
gejala yang sering muncul adalah :8
 Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien
 Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Lindskog dan Halaz
menemukan 69% dari 72 pasien mengalami nyeri dada
 Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien
 Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat sekitar 5-10% dan
biasanya pada PSP. 8
Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri maupun kombinasi dan menurut
Mills dan Luce derajat gangguannya bisa mmulai dari asimtomatik atau
menimbulkan gangguan ringan sampai berat. 8
a) Pemeriksaan Fisik
Suara nafas melemah sampai menghilang, fremitus melemah sampai
menghilang, resonansi perkusi dapat normal atau meningkat/hipersonor.
Pneumothoraks ukuran kecil biasanya hanya menimbulkan gejala takikardia
ringan dan gejala yang tidak khas. Pada pneumothoraks ukuran besar biasanya
didapatkan suara nafas yang melemah bahkan sampai menghilang pada auskultasi,
fremitus raba menurun dan perkusi hipersonor. Pneumothoraks tension dicurigai
apabila didapatkan adanya takikardia berat, hipotensi dan pergeseran mediastinum
atau trakea. 8
b) Pemeriksaan Penunjang
Analisis gas darah arteri memberikan gambaran hipoksemia meskipun pada
kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada suatu penelitian didapatkan 17%
dengan PO2<55mmHg dan 4% dengan PO2<45 mmHg. Pada pasien PPOK lebih
mudah terjadi pneumothoraks spontan. Dalam sebuah penelitian 51 dari 171

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


pasien PPOK (30%) dengan FEV1 <1,0 liter dan 33% dengan FEV1/FVC <40%
prediksi.1
Pneumothoraks primer paru kiri sering menimbulkan perubahan aksis QRS
dan gelombang T prekordial pada rekaman elektrokardiografi (EKG) dan dapat
ditafsirkan sebagai infark miokard akut (IMA).9
Pemeriksaan foto thoraks bayangan udara dalam rongga pleura memberikan
gambaran radiolusen yang tanpa struktur jaringan paru (avascular pattern) dengan
batas tegas paru berupa garis radioopak tipis berasal dari pleura viseral. Jika
pneumothoraks luas, akan menekan jaringan paru ke arah hilus atau paru menjadi
kuncup/kolaps di daerah hilus dan mendorong mediastinum ke arah kontralateral.
Selain itu sela iga menjadi lebih lebar.8
Bila udara berasal dari paru melalui suatu robekan berupa katup (ventil),
maka tiap kali menarik nafas sebagian udara yang masuk ke dalam rongga pleura
tidak dapat keluar lagi, kejadian ini bila lama akan menyebabkan semakin banyak
udara terkumpull dalam rongga pleura sehingga kantong udara pleura mendesak
mediastinum dan paru yang sehat (herniasi). Keadaan ini dapat mengakibatkan
fungsi pernafasan sangat terganggu yang harus segera diatasi.8

Gambar 2.3. Foto thorax pada pneumothoraks10


Pemeriksaan CT-scan mungkin diperlukan apabila dengan fotothoraks
belum dapat ditegakkan. Pemerisaan ini lebih spesifik untuk membedakan antara
emfisema bullosa dengan pneumothoraks,batas antara udara dengan cairan intra

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


dan ekstra pulmoner serta untuk membedakan antara pneumothoraks spontan
primer atau sekunder. Sensitivitas pemeriksaan CT-scan untuk mmendiagnosis
emfisema subpleura yang bisa menimbulkan pneumothoraks primer antara 80-
90%.8
Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan invasif,
tetapi memiliki senstitivitas lebih besar dibandingkan pemeriksaan CT-scan.
Menurut Swierenga dan Vanderschueren berdasarkan analisa dari 126 kasus pada
tahun 1990, hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi 4 derajat yaitu :8
 Derajat I : Pneumothoraks dengan gambaran paru mendekati normal
(40%)
 Derajat II : Pneumothoraks dengan perlengketan disertai hemothoraks
(12%)
 Derajat III : Pneumothoraks dengan diameter bleb atau bulla <2 cm (31%)
 Derajat IV : Pneumothoraks dengan banyak bulla yang besar, diameter >2
cm (17%)

Gambar 2.4. CT scan pada pneumothoraks9


Cara menentukan ukuran (persentase) pneumothoraks
Volume paru dan hemithoraks dihitung sebagai diameter kubus. Jumlah (isi)
paru yang kolaps ditentukan dnegan rata-rata diameter kubus paru dan thoraks
sebagai nilai perbandingan (rasio). Misalnya : diameter rata-rata hemithoraks 10
cm dan diameter kubus rata-rata paru yang kolaps 8 cm, maka rasio diameter
kubus adalah 83/103 = 512/1000, sehingga diperkirakan ukuran pneumothoraksnya
50%.8

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


Cara lain untuk menentukan luas atau presentase pneummothoraks adalah
dengan menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal
ditambah dengan jarak terjauh celah pleura pada garis horizontal ditambah dengan
jarak terdekat celah pleura pada garis horizontal, kemudian dibagi 3 dan dikalikan
10 (Gambar 2.5).

Gambar 2.5. Cara menentukan luas pneumothoraks8


2.6 Tatalaksana
Tindakan pengobatan pneumothoraks tergantung dari luasnya
pneumothoraks. Tujuan dari penatalaksanaan tersebut yaitu untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi.
British Thoracic Society dan American College of Chest Physicians telah
memberikan rekomendasi untuk penanganan pneumothoraks. Pinsip-prinsip
penanganan pneumothoraks adalah :6
 Observasi dan pemberian tambahan oksigen
 Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi
dengan atau tanpa pleurodesis
 Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb
atau bulla
 Torakotomi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


Gambar 2.6. Manajemen Tatalaksana Pneumothoraks6
Pengobatan pneumotoraks diasarkan dari keparahan gejala, kehadiran
penyakit paru-paru, dan pekiraan ukuran pneumotoraks dari gambaran X-ray.
a. Konservatif4
Pada pneumotoraks spontan kecil, tidak ada sesak napas, dan tidak ada
penyakit paru-paru yang mendasari, pneumotoraks umumnya
menghilang secara spontan. Pada pneumotoraks sekunder dapat
dilakukan tindakan konservatif pada ukuran yng sangat kecil (1 cm
atau pinggiran udara kurang) dan ada gejala terbatas. Oksigen dapat
diberikan pada tingkat aliran tinggi untuk mempercepat resorpsi.
b. Water sealed drainage (WSD)4
Dilakukan dengan memasukkan tabung plastik fleksibel pada bagian
samping dada ke ruang pleura, yang gunanya untuk menghilangkan
udara. Follow up pada pemasangan WSD dengan memperhtikan
undulasi yakni pergerakan cairan di dalam selang sesuai irama
pernapasan, cairan akan bergerak ke bawah saat inspirasi dan bergerak
ke atas saat ekspirasi. Kemudian juga dilihat apakah adalah gelembung

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


udara, warna dan jumlah cairan yang keluar, serta perlu dilakukannya
foto rontgen ulang.

Gambar 2.7. Water sealed drainage6

2.7 Komplikasi9,10
1. Infeksi sekunder, sehingga dapat menimbulkan pleuritis, empiema,
hidropneumotoraks.
2. Gangguan hemodinamika
Pada pneumotoraks yang hebat, seluruh mediastinum dan jantung dapat
tergeser ke arah yang sehat dan mengakibatkan penurunan kardiak "output",
sehingga dengan demikian dapat menimbulkan syok kardiogenik.
3. Emfisema, dapat berupa emfisema kutis atau emfisema mediastinalis

2.8 Prognosis
Prognosis pneumotoraks bergantung kepada tingkat dan jenis pneumotoraks.
Pneumotoraks kecil umumnya akan hilang sendiri tanpa pengobatan.
Pneumotoraks sekunder jauh lebih serius dan dapatmenyebabkan kematian
mencapai 15%. Tingkat kekambuhan pneumotoraks baik tipe primer atau
sekunder sekitar 40%, yang biasanya terjadi dalam waktu 1,5 sampai dua tahun.4

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
• Nama : Tn. FSF
• Umur : 20 tahun
• Jenis kelamin : laki-laki
• Alamat : Lubuk Alung
• Pekerjaan : Mahasiswa
• Agama : Islam

II. ANAMNESIS
Pasien masuk ke bangsal Penyakit Dalam RSUP dr. M.Djamil Padang pada
tanggal 15 Oktober 2019 dengan :
Keluhan Utama
Sesak nafas semakin meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
- Sesak nafas semakin meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Sesak nafas tidak diikuti bunyi menciut. Pasien tiba-tiba terbangun saat
tidur dan merasa sangat sesak. Sesak nafas sudah dirasakan sejak 2
minggu sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas dipengaruhi oleh batuk
dan posisi. Sesak nafas tidak dipengaruhi emosi, cuaca dan makanan.
Karna sesak nafas, pasien dibawa ke IGD SPH, telah dilakukan rontgen
thoraks di SPH, kemudian dirujuk ke RSUP dr. M. Djamil Padang
- Batuk ada, dirasakan sejak 2 bulan ini. Batuk tidak berdahak, tidak
berdarah
- Nyeri dada sebelah kanan ada, dirasakan sejak 2 minggu yang lalu pada
saat batuk. Nyeri tidak bisa ditunjuk dan tidak menjalar
- Demam ada, hilang timbul, tidak tinggi, tidak menggigil, dirasakan sejak 2
minggu yang lalu
- Riwayat trauma dan dada terbentur tidak ada
- Keringat malam disangkal
- Penurunan nafsu makan disangkal

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


- Penurunan berat badan ada, tidak diketahui berapa kilogram
- BAK volume cukup, tidak ada keluhan
- BAB jumlah dan konsistensi biasa
- Mual, muntah, nyeri ulu hati tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat hipertensi tidak ada
- Riwayat DM tidak ada
- Riwayat TB tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga dan orang sekitar dengan penyakit yang sama, tidak ada
riwayat penyakit hipertensi, DM dan TB di dalam keluarga.
Riwayat Kebiasaan
Pasien seorang Mahasiswa Teknik Mesin. Pasien tidak pernah merokok,
mengonsumsi alkohol, narkotika, dan tidak pernah melakukan seks beresiko.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : composmentis kooperatif
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 86 x/menit, reguler, kuat angkat
Pernafasan : 25 x/menit
Saturasi oksigen : 99 %
Suhu : 36,7° C
Tinggi badan : 178 cm
Berat badan : 53 kg
Keadaan gizi : buruk (BMI 16,7 kg/m2)
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Edema : tidak ada
Anemis : tidak ada

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


Status Generalisata
Kulit
Teraba hangat, warna sawo matang, efloresensi (-), scar (-), pigmentasi normal,
ikterus (-), sianosis(-), spider nevi (-), telapak tangan dan kaki pucat (-),
pertumbuhan rambut normal.
Kelenjar Getah Bening
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di leher, submandibula,
supraklavikula, infraklavikula, aksila, dan inguinalis.
Kepala
Bentuk normochepali, simetris, deformitas (-), rambut hitam, ikal, tidak mudah
dicabut dan rontok.
Mata
Edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik,
tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan, pernapasan cuping hidung (-).
Telinga
Kedua meatus acusticus eksternus normal, cairan (-), Tophi (-), nyeri tekan
processus mastoideus (-), pendengaran baik.
Mulut
Pembesaran tonsil (-), pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah (-),
stomatitis (-), bau pernafasan khas (-).
Leher
Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, pembesaran kelenjar KGB tidak ada, JVP
(5-0) cmH2O, kaku kuduk (-).
Thoraks
Bentuk dada normochest, spider nevi (-).
Paru Depan
I : Dinding dada kanan (asimetris) tampak lebih cembung dibanding
dinding dada kiri
Pergerakan dinding dada kanan tertinggal dibanding dada kiri saat
inspirasi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


P : Fremitus kanan menurun, fremitus kiri baik
P : hipersonor pada lapangan paru kanan dan sonor pada lapangan paru
kiri
A: Suara nafas kanan menghilang, suara nafas kiri vesikuler, ronkhi (-/-),
wheezing (-).
Paru Belakang
I : Statis (simetris kanan dan kiri)
Dinamis (pergerakan dinding dada kanan tertinggal dibanding dada kiri)
P : Fremitus kanan menurun, fremitus kiri baik
P : hipersonor pada lapangan paru kanan dan sonor pada lapangan paru
kiri
A: Suara nafas kanan menghilang, suara nafas kiri vesikuler ronkhi (-/-),
wheezing (-).
Jantung
I : Iktus kordis terlihat 1 jari medial LMCS RIC V
P : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V, luas 1 jari, kuat angkat
P : Batas atas RIC II, batas jantung kanan linea sternalis dextra, batas
jantung kiri 1 jari medial LMCS RIC V
A: BJ 1 dan BJ 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
I : distensi (-)
P:
(superfisial): supel (+), nyeri tekan (-), teraba massa (-)
(profunda) : hepar dan lien tidak teraba, ballottement ginjal (-)
Shifting dullness (-), nyeri tekan dan nyeri ketok CVA (-)
P : timpani
A: BU (+) normal
Alat kelamin
Tidak ada kelainan
Ekstremitas atas: nyeri sendi (-), gerakan bebas, edema (-), jaringan parut (-),
pigmentasi normal, telapak tangan pucat (-), jari tabuh (-),

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


turgor kembali lambat (-), eritema palmaris (-), sianosis (-),
muscle wasting (+)
Ekstremitas bawah: nyeri sendi (-), gerakan bebas, edema (-), jaringan parut (-),
pigmentasi normal, telapak tangan pucat (-), jari tabuh (-),
turgor kembali lambat (-), eritema palmaris (-), sianosis (-
),muscle wasting (+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah rutin
Hb : 14,4 gr/dl
Leukosit : 7.440/mm3
Trombosit : 302.000/mm3
Hematokrit : 44%
Kesan : hasil dalam batas normal
Kimia klinik
GDS : 92 mg/dl
Na/K/Cl/Ca : 141/4,1/106 Mmol/l / 9,7 mg/dl
Ur/Cr : 15/0,8 mg/dl
Alb/Glb : 4,7/3,2 g/dl
PT/APTT : 11,1/43,4 detik
Kesan: hasil dalam batas normal

DIAGNOSIS KERJA
- Secondary spontaneous pneumothoraks dextra ec suspect TB paru

DIAGNOSIS BANDING
- Primary spontaneous pneumothoraks dextra

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Rontgen Thoraks

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


Tampak gambaran hiperlusen avaskuler hemithoraks dextra dengan batas paru
kolaps
Kesan : Pneumothoraks dextra

ANJURAN PEMERIKSAAN
- Pemeriksaan Gene Expert Sputum
- Pemeriksaan Rontgen Serial Post WSD

PENATALAKSANAAN
Nonfarmakologis
- Diet MB TKTP 1300 kkal
- Terapi oksigen 3 liter / menit
Farmakologis
- IVFD NaCl 0,9% 8 jam/kolf

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22


- IVFD Aminofluid 500 ml : atnoleat 20% 100 ml
- N-acetil sistein 3 x 200 mg (po)
- Paracetamol 3 x 500 mg (po)
- Zink 1 x 20 mg

PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia

FOLLOW UP
Hari, tanggal Follow up
Rabu, 16 S/ Sesak nafas (+), batuk (+) hilang timbul, dahak (-), demam
Oktober 2019 (-), nyeri dada (+) saat batuk
08.00 pagi O/ KU : sedang
Kesadaran : CMC
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 80 x /menit
Nafas : 25 x / menit
Suhu : 36,50 C
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Pulmo : suara nafas kanan menghilang, rh (-/-) Wh(-/-)
Cor : S1, S2 reguler murmur (-), gallop (-)
Abdomen : bising usus (+) normal
Ekstremitas : edem (-/-), akral hangat, CRT < 2 detik
A/ - secondary spontaneous pneumothoraks dextra ec suspect
TB Paru
- DD/ primary spontaneous pneumothoraks dextra
P/ - Diet MB TKTP 1300 kkal
- IVFD NaCl 0,9% 8 jam /kolf
- Inj Ceftriaxone 2 x 1 gram
- Asam mefenamat 3 x 500 mg

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


R/ Pemasangan WSD (sore)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


Kamis / 17 S/ Sesak nafas (+) berkurang, batuk (+) hilang timbul, dahak
Oktober 2019 (-), demam (-), nyeri dada (+) berkurang saat batuk
(08.00 pagi) O/ KU : sedang
Kesadaran : CMC
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 90 x /menit
Nafas : 22 x / menit
Suhu : 36,50 C
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Pulmo : suara nafas kanan menurun, rh (-/-) Wh(-/-)
Cor : S1, S2 reguler murmur (-), gallop (-)
Abdomen : bising usus (+) normal
Ekstremitas : edem (-/-), akral hangat, CRT < 2 detik
WSD : undulasi (+), bubbles (+)
A/ - secondary spontaneous pneumothoraks dextra ec suspect
TB Paru

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


- DD/ primary spontaneous pneumothoraks dextra
P/ - Diet MB TKTP 1300 kkal
- IVFD NaCl 0,9% 8 jam /kolf
- Inj Ceftriaxone 2 x 1 gram
- Asam mefenamat 3 x 500 mg
R/ rontgen ulang thoraks (18/10/2019)
Jum’at / 18 S/ Sesak nafas (+) berkurang, batuk (+) hilang timbul,
Oktober 2019 dahak (-), demam (-), nyeri dada (+) berkurang saat
batuk
O/ KU : sedang
Kesadaran : CMC
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 88 x /menit
Nafas : 22 x / menit
Suhu : 36,50 C
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Pulmo : suara nafas kanan menurun, rh (-/-) Wh(-/-)
Cor : S1, S2 reguler murmur (-), gallop (-)
Abdomen : bising usus (+) normal
Ekstremitas : edem (-/-), akral hangat, CRT < 2 detik
WSD : undulasi (+), bubbles (+)
A/ - secondary spontaneous pneumothoraks dextra ec
suspect TB Paru
- DD/ primary spontaneous pneumothoraks dextra
P/ - Diet MB TKTP 1300 kkal
- IVFD NaCl 0,9% 8 jam /kolf
- Inj Ceftriaxone 2 x 1 gram
- Asam mefenamat 3 x 500 mg

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 27
Senin / 21 S/ Sesak nafas (+) berkurang, batuk (-), demam (-),
Oktober 2019 nyeri dada (+)
O/ KU : sedang
Kesadaran : CMC
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 92 x /menit
Nafas : 22 x / menit
Suhu : 36,50 C
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Pulmo : suara nafas kanan menurun, rh (-/-) Wh(-/-)
Cor : S1, S2 reguler murmur (-), gallop (-)
Abdomen : bising usus (+) normal
Ekstremitas : edem (-/-), akral hangat, CRT < 2 detik
WSD : undulasi (+), bubbles (+)
A/ - secondary spontaneous pneumothoraks dextra ec
suspect TB Paru
- DD/ primary spontaneous pneumothoraks dextra
P/ - Diet MB TKTP 1300 kkal
- IVFD NaCl 0,9% 8 jam /kolf
- Inj Ceftriaxone 2 x 1 gram
- Asam mefenamat 3 x 500 mg

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 28


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 29
BAB IV
ANALISIS KASUS DAN PEMBAHASAN

Seorang pasien laki-laki berusia 20 tahun dirawat di Bangsal Anak RSUP


Dr. M.Djamil pada tanggal 15 Oktober 2019 dengan diagnosis kerja secondary
spontaneous pneumothoraks ec suspect TB Paru. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien
mengeluhkan sesak nafas semakin meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Sesak nafas tidak diikuti bunyi menciut. Pasien tiba-tiba terbangun saat
tidur dan merasa sangat sesak. Sesak nafas sudah dirasakan sejak 2 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas tanpa bunyi menciut menunjukan tidak
terdapatnya penyempitan saluran nafas. Hal ini menunjukan kemungkinan
terjadinya gangguan pengembangan paru (kolaps), gangguan ventilasi, sehingga
penderita akan mengeluhkan sesak napas. Kolapsnya paru dapat disebabkan oleh
dua hal, yaitu adanya akumulasi cairan atau akumulasi udara di dalam rongga
pleura.4
Akumulasi jumlah cairan di dalam rongga pleura dapat terjadi jika terdapat
peningkatan tekanan hidrostatik kapiler darah seperti pada gagal jantung, atau jika
terjadi penurunan tekanan osmotik cairan darah seperti pada pasien dengan
hipoalbuminemia. Akumulasi udara di dalam rongga pleura menyebabkan tekanan
di dalam rongga pleura tidak lagi negatif (dalam keadaan normal, tekanannya
adalah -5 cmH2O). Paru menjadi kempis, sehingga penderita akan mengeluhkan
sesak napas karena tidak terjadi ventilasi pada paru yang kolaps.4,6
Dari pemeriksaan fisik inspeksi didapatkan dinding dada kanan asimetris
(tampak lebih cembung) dibandingkan dinding dada kiri, pergerakan dada kanan
tertinggal dibanding dada kiri, akibat penekanan udara yang terkumpul di rongga
pleura sebelah kanan sehingga terjadi gangguan pengembangan paru. Dari palpasi
fremitus kanan menurun di seluruh lapangan paru kanan, dari perkusi didapatkan
hipersonor pada lapangan paru kanan serta dari auskultasi didapatkan suara nafas
kanan menghilang. Pemeriksaan fisik paru menunjukan klinis yang khas untuk
ditegakan diagnosis pneumothoraks dextra. Untuk menunjang diagnostik pada

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 30


pasien ini, dilakukan pemeriksaan rontgen thoraks dan didapatkan adanya
gambaran hiperlusen avaskuler dengan batas paru kolaps di hemithoraks kanan.
Hal ini mendukung kesan pneumothoraks dextra.
Dari anamnesis, pasien juga mengeluhkan batuk dan nyeri dada saat batuk
yang dapat menjadi keluhan tambahan pada pasien dengan pneumothoraks.
Keluhan batuk selama lebih kurang 2 bulan, demam hilang timbul yang tidak
tinggi selama 2 minggu ini, serta adanya penurunan berat badan. Hal ini dapat
menjadi dasar penelusuran etiologi pneumothoraks yang mengarah pada
kecurigaan adanya infeksi paru pada pasien ini, khususnya TB Paru. Pada pasien
yang mengalami pneumothoraks spontan sekunder, penyakit paru yang biasanya
mendasari adalah penyakit paru kronik (PPOK, asma bronkial), infeksi paru
(tuberkulosis, pneumocystic caranii, abses paru), penyakit paru interstitial,
penyakit jaringan ikat, dan keganasan paru.4
Udara mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah,
akibatnya udara bermigrasi dari alveoli menuju ke rongga pleura sampai tekanan
pada kedua area ini mencapai ekuilibrium. Ketika udara yang ada pada rongga
pleura berhasil meningkatkan tekanan pleura dari -5 cm H2O menjadi -2.5 cm
H2O, maka tekanan transpulmonal akan berkurang dari 5 cmH2O menjadi 2.5 cm
H2O, dan kapasitas vital paru menurun sebesar 33%. Ketika udara berpindah dari
paru menuju rongga pleura, paru terkompresi sehingga paru menjadi kolaps dan
terjadi penurunan kapasitas paru sebesar 25%. Perubahan tekanan intra pleural
meningkatkan volume thoraks yang mengakibatkan perubahan pengembangan
dari dinding dada dan menurunkan 8% kapasitas vital. Ketika tekanan rongga
pleura meningkat, mediastinum bergerak kearah yang berlawanan, memperluas
thoraks pada daerah yang sakit, dan menekan diafragma. 4,5
Etiologi yang sesuai dengan faktor resiko yang ada pada pasien ini untuk
pneumothoraks sekunder spontan sesuai kriteria diagnosis TB paru. Gejala utama
TB adalah batuk 2 minggu atau lebih, diikuti gejala tambahan berupa dahak
bercampur darah, batuk darah, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, berkeringat malam tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu
bulan.11Pada pasien ini didapatkan gejala berupa batuk selama lebih kurang 2

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 31


bulan, sesak nafas, dan berat badan menurun, sehingga pasien dapat dikatakan
terduga TB. Untuk menegakkan diagnosis pasti TB paru perlu dilakukan uji BTA
sputum atau gene expert. Pada pneumotorak spontan sekunder akibat TB, terjadi
ruptur lesi paru yang berada dekat dengan pleura, sehingga terdapat akses antara
paru dan rongga pleura. Sehingga udara saat inspirasi dapat masuk ke rongga
pleura, dan menyebabkan terjadinya pneumothoraks spontan sekunder.4,6
Namun, pada pasien ini tidak dapat dilakukan pemeriksaan BTA sputum
atau gene expert dikarenakan tidak adanya dahak, sehingga tidak dapat ditegakan
etiologi pneumothoraks pada pasien ini adalah infeksi paru tuberkulosis. Oleh
karena itu, penulis mendiagnosa banding pasien dengan pneumothoraks spontan
primer, berdasarkan adanya faktor resiko pada pasien, yakn jenis kelamin laki-laki,
usia muda (20 tahun), bertubuh kurus (berat badan 53 kg) dan tinggi (178 cm).
Tekanan pleura lebih negatif di bagian apeks paru. Sehingga, semakin tinggi
seseorang maka semakin panjang paru nya dan tekanan di bagian apeks paru
semakin negatif. Udara akan mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan yang lebih
rendah, sehingga individu yang bertubuh tinggi memiliki resiko lebih tinggi untuk
dapat terjadinya pneumothoraks spontan primer.5
Pada pneumotoraks spontan kecil, tidak ada sesak napas, dan tidak ada
penyakit paru-paru yang mendasari, pneumotoraks umumnya menghilang secara
spontan. Pada pneumotoraks sekunder dapat dilakukan tindakan konservatif pada
ukuran yang sangat kecil (1 cm atau pinggiran udara kurang) dan ada gejala
terbatas. Oksigen dapat diberikan pada tingkat aliran tinggi untuk mempercepat
resorpsi.4
Untuk penatalaksanaan kegawatdaruratan pada pasien ini, telah dilakukan
pemberian terapi oksigen 3 liter per menit, serta dilakukan pemasangan WSD
(Water Sealed Drainage) untuk drainase udara atau mengeluarkan udara dari
rongga pleura. Kemudian perlu dilakukan observasi terhadap undulasi saat
inspirasi dan ekspirasi serta gelembung (bubbles) pada saat batuk, meliputi jumlah
dan warnanya. Kemudian pada pasien ini juga dilakukan rontgen ulang setelah
dilakukan pemasangan WSD untuk melihat perkembangan dan progresifitas
pengembangan paru pasca pemasangan WSD. Pada pasien ini, pengembangan
paru yang kolaps tidak sesuai yang diharapkan, sehingga masih dilakukan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 32


penelusuran penyebab tidak adekuatnya perkembangan paru kolapsnya. Hal ini
menyebabkan, prognosis quo ad sanactionam pada pasien ini masih dubia
(meragukan).

Untuk terapi non medikamentosa, pasien diberikan diet MB TKTP 1300


kkal, IVFD Aminofluid 500 ml : atnoleat 20% 100 ml, dan zink 1 x 20 mg untuk
mengatasi status gizi dengan malnutrisi pada pasien ini. Pasien juga N-acetyl
sistein per oral 3 x 200 mg sebagai mukoregulator, dan paracetamol 3 x 500 mg
sebagai analgetik anti piretik. Pasien juga diberikan antibiotik ceftriaxone 2 x 1 gr
dan asam mefenamat 3 x 500 mg sebagai analgetik post WSD.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 33


DAFTAR PUSTAKA

1. Light RW, Lee YCG. Pneumothorax, Chylothorax, Hemothorax and


Fibrothorax. In: Murray and Nadel’s Textbook of Respiratory
Medicine. Editors: Mason RJ, Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA.
4th Eds. Pennsylvania. Elsevier Saunders 2005. p. 1961-82
2. Nasution, A.R, Sumariyono, Pneumotorak. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi VI Jiild III. 2014. Jakarta : Interna Publishing
3. Yusup Subagio Sutanto, Eddy Surjanto, Suradi, A Farih Raharjo,
Tuberkulosis paru sebagai penyebab tertinggi kasus pneumotoraks di
bangsal paru RSUD Dr Moewardi (RSDM) Surakarta tahun 2009.
4. Hisyam B, Budiono E. Pneumotoraks. Dalam: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, K MS, Setiyohadi B, Syam AF (eds). sBuku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II. Ed.6. Jakarta: InternePublishing. 2014:
p.1642-51
5. Macduff A, Arnold A, Harvey J. Management of Spontaneous
Pneumothorax : British Thoracic Society Pleural Disease Guideline
2010. British Thoracic Journal.2010.
6. Slobodan M, Marko S, Bojan M. Pneumotorax-Diagnosis and
Treatment. Sanamed. 2015; 10(3): 221–228
7. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM,Pack AI.
Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorder. Volume 2. Fourth ed.
Mc Graw Hill. New York. 2008
8. Loddenkemper R, Frank W. 2003. Pleural Disease in Respiratory
Medicine, 3rd edition, Vol. 2, Hal 1184-1937
9. Djojodibroto, D. Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik. Dalam:
Respirologi (Respiratory Medicine). EGC

10. Bourke SJ. Lecture Note On Respiratory Medicine. 6th ed. Black
Well. USA. 2003. Albert RK, Spiro SG, Jett JR. Clinical Respiratory
Medicine. Third ed. Mosby Elsevier. China. 2008
11. Permenkes RI No. 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan
Tuberkulosis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 34

Anda mungkin juga menyukai