Anda di halaman 1dari 17

Referat

FORTIFIKASI

Disusun oleh:
Tiur Maris Sumiati Panjaitan
1415133

SMF / BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BANDUNG
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................................. 1
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................................. 6
2.1 Pengertian fortifikasi………………………………………………..…………..6

2.2 Tujuan dan Keuntungan Fortifikasi…………………………………..……7

2.3 Sejarah Fortifikasi Pangan di Indonesia……………………...………...….8

2.4 Klasifikasi Fortifikasi Pangan…………………………..…………………9

2.5 Jenis-Jenis Fortifikasi Pangan……………………………………………10

2.6 Peran Industri dalam Fortifikasi…………………………………….……11


BAB III KESIMPULAN............................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 17

2
BAB I
PENDAHULUAN

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak
diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Beberapa ahli bahkan
menyatakan kebutuhan atas pangan merupakan suatu hak asasi manusia yang paling dasar. Dalam
kaitan ini, penjelasan undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1966 tentang
“Pangan, bahkan secara tegas menyatakan bahwa Pangan sebagai kebutuhan
dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus senantiasa
tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan
h a r g a ya n g terjangkau oleh daya beli masyarakat”. (Pemerintah Indonesia. Undang-Undang
No. 18 Tahun 2012 Yang Mengatur Tentang Pangan. Lembaran Negara RI Tahun 2012. Jakarta:
Sekretariat Negara.)

Makanan yang sehat yaitu makanan yang higienis dan bergizi. Makanan yang higienis
adalah makanan yang tidak mengandung kuman penyakit dan tidak mengandung racun yang dapat
membahayakan kesehatan. Bahan makanan yang akan kita makan harus mengandung komposisi
gizi yang lengkap, yaitu terdiri atas karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air. Di
Indonesia komposisi tersebut dikenal dengan nama makanan “4 sehat 5 sempurna”.. (Kementerian
Kesehatan RI. Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta, 2014.)

Mikronutrien (zat gizi mikro) adalah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah sedikit,
namun mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan hormon, aktivitas enzim serta
mengatur fungsi sistem imun dan sistem reproduksi. Yang termasuk mikronutrien adalah vitamin
(baik yang larut air maupun larut lemak) dan mineral. Mineral dibagi menjadi dua kelompok yaitu
makromineral dan mikromineral. Makromineral adalah mineral yang dibutuhkan tubuh sebanyak
minimal 100 mg per hari (contoh: kalsium, fosfor), sedangkan mikromineral (trace elements)
adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah kurang dari 100 mg per hari (contoh: seng,
besi). Adapula mikromineral dibutuhkan dalam jumlah hanya beberapa mikrogram per hari,

3
seperti cuprum dan molibdenum. Mikronutrien diperoleh dari luar tubuh seperti dari makanan atau
suplemen, karena tubuh tidak mampu memproduksinya dalam jumlah yang cukup sesuai dengan
kebutuhan tubuh (DepKes RI, 2013).

Pada masyarakat Indonesia masih ditemukan kekurangan zat gizi mikro sepefti zat besi
dan vitamin A di rnasyarakat. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) melaporkan prevalensi
anemia pada anak sekolah dan remaja masih sebesar 36,5%. Dampak anemia pada kalangan pelajar
sangat merugikan karena membuat lesu, lemah, semangat belajar menurun, rentan terhadap
penyakit sehingga berakibat prestasi belajar menurun (Kemenkes RI, 2014). Kekurangan seng
yang terjadi pada usia sekolah dapat berakibat gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan sel
otak. Defisiensi seng dapat menurunkan kemampuan ekspresi gen dalam proses replikasi sel dan
pertumbuhan tulang (RISKESDAS, 2008). Siti Helmyati, dkk. 2018. Fortifikasi Pangan Berbasis
Sumber Daya Nusantara: Upaya Mengatasi Masalah Defisiensi Zat Gizi Mikro di Indonesia. Gajah
Mada University Press.

Kekurangan zat gizi mikro harus diatasi salah satunya adalah teknologi pangan dalam
memperkaya kandungan gizi salah satunya teknologi fortifikasi pangan. Fortifikasi pangan
(pangan yang lazim dikonsumsi) dengan zat gizimikro adalah salah satu strategi utama yang dapat
digunakan untuk meningkatkan status mikronutrien pangan. Fortifikasi harus dipandang sebagai
upaya (bagian dari upaya) untuk memperbaiki kualitas pangan selain dari perbaikan praktek-
praktek pertanian yang baik (good agricultural practices), perbaikan pengolahan dan
penyimpangan pangan (good manufacturing practices), dan memperbaiki pendidikan konsumen
untuk mengadopsi praktek-praktek penyediaan pangan yang baik.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Fortifikasi

Fortifikasi adalah suatu proses penambahan satu atau lebih zat gizi mikro tertentu (vitamin,
mineral) pada bahan makanan atau makanan untuk meningkatkan status gizi dan kesehatan
masyarakat. Ada fortifikasi wajib yang diatur dalam peraturan khusus dan fortifikasi sukarela yang
dilakukan oleh produsen makanan. Bahan makanan atau makanan yang difortifikasi wajib harus
memenuhi syarat tertentu, yaitu selalu ada di setiap rumah tangga dan dikonsumsi secara teratur
dengan jumlah yang relatif sama. Makanan di produksi oleh produsen yang terbatas, tersedia
teknologi fortifikasi, makanan yang difortifikasi tidak merubah rasa, warna, dan konsistensi.17

Fortifikasi makanan menurut FAO/WHO adalah menambahan zat gizi makro atau mikro pada
makanan yang biasa dikonsumsi untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas gizi makanan
pada total diet kelompok, komunitas, atau populasi. Zat gizi yang ditambahkan bisa satu, dua, atau
lebih dari dua macam zat gizi. Istilah ini biasanya dieknal dengan istilah single, double, ataupun
multiple fortification. Zat gizi yang ditambahkan dikenal dengan fortificant, sedangkan makanan
yang membawanya disebut vehicle. Selain fortifikasi dan suplementasi, dikenal juga istilah
restoration dan enrichment. Restorasi (restoration) adalah penggantian zat gizi yang hilang selama
pengolahan bahan makanan. Misalnya, pada penggilingan gandum menjadi tepung yang
menyebabkan kerusakan vitamin dan mineral. Sementara itu, enrichment adalah istilah khusus
untuk kegiatan penambahan kembali zat gizi yang hilang selama penggilingan.17

Untuk menggambarkan proses penambahan zat gizi ke pangan, istilah-istilah lain seperti
enrichment (pengkayaan), nutrification atau restoration telah saling dipertukarkan, meskipun
masing-masing mengimplikasikan tindakan spesifik. Fortifikasi mengacu kepada penambahan zat-
zat gizi pada taraf yang lebih tinggi dari pada yang ditemukan pada pangan asal/awal atau pangan
sebanding. Enrichment biasanya mengacu kepada penambahan satu atan lebih zat gizi pada pangan
asal pada taraf yang ditetapkan dalam standar intemasional (indentitas pangan). Restoration
mengacu kepada penggantian zat gizi yang hilang selama proses pengolahan, dan nutrification

5
berarti membuat campuran makanan atau pangan lebih bergizi.7 Istilah nutrification lebih spesifik
terhadap ilmu gizi, sementara semua istilah-istilah yang lain diadopsi dari disiplin dan aplikasi
lain.2

2.2 Tujuan dan Keuntungan Fortifikasi

Dalam fortifikasi dikenal istilah double fortification dan multiple fortification yang digunakan
apabila 2 atau lebih zat gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atau campuran pangan.
Pangan pembawa zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Vehicle’, sementara zat gizi yang
ditambahkan disebut ‘Fortificant ‘. Secara umum fortifikasi pangan dapat diterapkan untuk tujuan-
tujuan berikut:14

 Untuk memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki defisiensi akan
zat gizi yang ditambahkan).
 Untuk mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang signifikan
dalam pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama pengolahan.
 Untuk meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang digunakan
sebagai sumber pangan bergizi misal : susu formula bayi.
 Untuk menjamin equivalensi gizi dari produk pangan olahan yang menggantikan
pangan lain, misalnya margarin yang difortifikasi sebagai pengganti mentega.

Berikut adalah keuntungan fortifikasi pangan sebagai alternatif perbaikan gizi:14


 Efektif untuk jangka panjang dan menengah
 Pangan pembawa (food vehicle) yang cocok dan fasilitas pengolahan yang terorganisir
 Menjangkau semua segmen dari populasi sasaran
 Tidak memerlukan kerja sama yang intensif dan kerelaan masing-masing individu
 Biaya rendah
 Teknologi yang memadai tersedia dan mudah ditransfer.

2.3 Sejarah Fortifikasi Pangan di Indonesia5

6
Fortifikasi makanan memiliki sejarah panjang seiring kesuksesannya mengatasi
masalah kekurangan vitamin A, vitamin D, dan beberapa vitamin B (thiamin, riboflavin,
dan niasin), zat besi, dan yodium di beberapa negara industri. Program yodisasi garam
pertama kali dperkenalkan pada awal 1920-an di Switzerland dan Amerika Serikat. Hingga
saat ini, program tersebut telah dilaksanakan hampir di seluruh negara. Pada awal tahun
1940, fortifikasi produk serealia dengan tiamin, riboflavin, dan niasin juga telah umum
dilakukan. Selanjutnya, beberapa bahan makanan juga difortifikasi, seperti vitamin A pada
margarine di Denmark dan vitamin D pada susu di Amerika Serikat. Beberapa tahun
kemudian, makanan untuk anak-anak difortifikasi dengan zat besi. Terdapat pula fortifikasi
asam folat pada gandum yang telah banyak dilakukan di Amerika, kemudian diadopsi oleh
Kanada, Amerika Serikat, dan 20 negara Amerika Latin lainnya.
Di Indonesia, pada tahun 1924, tidak lama setelah program tersebut dilaksanakan
di luar negeri, pemerintah Belanda telah mengeluarkan peraturan mengenai yodisasi
garam. Pada saat itu, satu-satunya penghasil garam adalah PN Garam di Madura sehingga
proses kontrol kualitas mudah dilakukan. Akan tetapi, setelah masa kemerdekaan
Indomesia tahun 1945, produsen garam tidak hanya PN Garam, tetapi juga terdapat
produsen lainnya, peraturan tersebut tidak lagi dilaksanakan.
Perkembangan selanjutnya mengenai fortifikasi pangan, yakni sejak
dikeluarkannya inpres wajib yodiumisasi garam pada tahun 1994. Setelah itu, dilanjutkan
dengan penelitian mengenai fortifikasi zat besi pada tepung terigu pada tahun 1997 yang
kemudian mendorong terbitnya SNI wajib fortifikasi tepung terigu pada tahun 2001/2002.
Fortifikasi kedua jenis zat gizi tersebut diprakarsai oleh lintas sektor, yaitu Bappenas,
Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, dan
didukung oleh UNICEF.
Penelitian fortifikasi terus berkembang di Indonesia. Pada tahun 2007, keberhasilan
uji coba fortifikasi vitamin A pada minyak goreng kemudian dilanjutkan pada tahap
produksi oleh pihak industri yang dilakukan oleh dua produsen minyak goreng nasional.
Peningkatan asupan besi juga dapat dilakukan melalui fortifikasi. Fortifikasi besi
relative lebih murah/lebih cost effective dibandingkan dengan suplementasi. Salah satu hal
penting dalam melakukan fortifikasi adalah memilih makanan pembawa (food vehicle).
Fortifikasi akan menjadi sulit bila dilakukan di negara dengan populasi pedesaan yang luas.

7
Hal ini dikarenakan karena keterbatasan industri makanan, keterbatasan teknologi,
keteratasan akses, dan keterbatasan konsumsi pangan olahan.

2.4 Klasifikasi Fortifikasi Pangan


1. Berdasarkan Target Sasaran
a. Fortifikasi massal (mass fortification)
Fortifikasi massal merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut penambahan
satu atau lebih zat gizi mikro pada pengan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat
umum, seperti sereal, bumbu, dan susu. Biasanya dirancang dan diatur oleh pemerintah
dan dilakukan jika mayoritas masyarakat memiliki risiko terkena defisiensi zat gizi
tertentu, sedangkan masyarakat yang tidak memiliki tanda-tanda kekurangan zat gizi
tertentu dapat memperoleh manfaat dari fortifikasi yang dilakukan. Contoh dari
fortifikasi jenis ini adalah penambahan asam folat pada tepung terigu5

b. Fortifikasi untuk populasi tertentu (targeted fortification)


Fortifikasi ini ditujukan untuk kelompok tertentu sehingga asupan zat gizinya
meningkat. Misalnya, fortifikasi pada makanan tambahan untuk bayi dan balita,
makanan yang dikembangkan untuk program makanan tambahan pada anak sekolah,
biskuit khusus untuk anak-anak dan wanita hamil, dan makanan untuk kondisi darurat
seperti pengungsi. Pada kenyataannya, beberapa makanan tidak mampu mencukupi
kebutuhan gizi mikro oleh karena itu pemberian zat gizi mikro perlu dilakukan.
Misalnya, tambahan kebutuhan garam beryodium, tablet tambah darah untuk ibu hamil,
vitamin A dosis tinggi untuk anak-anak dan wanita pasca melahirkan. Selain itu, jika
memungkinkan, tambahkan buah dan sayuran segar pada makanan para pengungsi.
Makanan fortifikasi untuk pengungsi lebih sering diprioritaskan untuk anak-anak dan
wanita hamil/menyusui.5

2. Berdasarkan Pertimbangan Hukum


a. Mandatory Fortification

8
Mandatory fortification terjai ketika pemerintah mewajibkan secara legal produsen
makanan untuk menambahkan zat gizi mikro pada makanan dengan kategori tertentu.
Penentuan dan pengaturan fortifikasi jenis ini diatur dan sepenuhnya
dipertanggungjawabkan oleh pemerintah. Pemerintah bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa kombinasi makanan pembawa dan zat fortifikan berkhasiat dan
efektif untuk kelompok sasaran, serta aman dan baik untuk kelompok sasaran maupun
kelompok bukan sasaran.
Secara umum, mandatory fortification lebih sering dilakukan untuk fortifikasi
makanan dengan zat gizi mikro seperti yodium, zat besi, vitamin A, dan asam folat. Dari
semua itu, program garam beryodium merupakan program paling banyak dilakukan
sebagai fortifikasi massal yang diatur oleh pemerintah. Contoh lain adalah penambahan
vitamin A pada gula dan margarine serta penambahan zat besi pada tepung (biasanya
bersama vitamin B12, B2, dan niasin).5
Dalam Repelita VI telah ditetapkan beberapa fortifikan yang penting, yaitu zat besi,
vitamin A, dan yodium. Pemerintah Indonesia mencanangkan fortifikasi wajib pada
beberapa produk, yaitu:
1. Yodisasi Garam
Berdasarkan SKB Menkes, MenIndustri, MenDagri 1982, JSKB 4 Menteri plus
Pertanian, 1984, dan INPRES No. 64/1994. Fortifikasi ini dilakukan untuk
mengatasi permasalahan kesehatan terkait gangguan akibat kekurangan yodium
(GAKY)
2. Fortifikasi Tepung Terigu
Berdasarkan SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan SNI tepung
terigu tahun 2001 menyatakan bahwa semua tepung terigu yang diproduksi dan
diperdagangkan di Indonesia harus difortifikasi dengan zat besi, seng, asam folat,
vitamin B1, vitamin B2
3. Minyak Goreng
Misalnya harus mengandung vitamin A sebanyak 45 IU.

4. Fortifikasi Beras Raskin


Harus mengandung asam folat, zat besi, zink, dan lain-lain.

9
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk fortifikasi wajib, yaitu:16
1. Makanan yang umumnya selalu ada disetiap rumah tangga dan dimakan secara
teratur dan terus-menerus oleh masyarakat termasuk masyarakat miskin.
2. Makanan itu diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya, agar
mudah diawasi proses fortifikasinya.
3. Tersedianya teknologi fortifikasi untuk makanan yang dipilih.
4. Makanan tidak berubah rasa, warna dan konsistensi setelah difortifikasi.
5. Tetap aman dalam arti tidak membahayakan kesehatan. Oleh karena itu program
fortifikasi harus diatur oleh undang-undang atau peraturan pemerintah, diawasi
dan dimonitor, serta dievaluasi secara teratur dan terus menerus.
6. Harga makanan setelah difortifikasi tetap terjangkau daya beli konsumen yang
menjadi sasaran

b. Voluntary fortification
Voluntary fortification adalah ketika pembuat makanan dengan bebas memilih
makanan khusus sebagai tanggapan atas izin yang diberikan pada hukum makanan atau
keadaan khusus yang mendorong pemerintah mengizinkan fortifikasi dilakukan.
Dorongan untuk melakukan voluntary fortification biasanya muncul dari industri dan
konsumen yang mencari keuntungan kesehatan yang miungkin diperoleh melalui
peningkatan asupan zat gizi mikro.5
Namun demikian, sampai sekarang fortifikasi masih belum banyak berperan dalam
penanggulangan anemia gizi besi di masyarakat, terlihat dengan masih tingginya angka
prevalensi anemia gizi besi. Salah satu penyebabnya adalah karena bahan pangan yang
digunakan sebagai “tunggangan” (vehicle) belum dikonsumsi secara luas dan kontinyu
oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi lemah. Agar strategi
fortifikasi ini lebih efektif, perlu dicari vehicle baru yang lebih umum dan banyak
dikonsumsi masyarakat.16

2.5 Jenis-Jenis Fortifikasi Pangan

a. Fortifikasi Yodium

10
Defisiensi Yodium dihasilkan dari kondisi geologis yang irreversibel. Itu
sebabnya, penganekaragaman makanan dengan menggunakan pangan yang tumbuh di
daerah dengan tipe tanah dengan menggunakan pangan yang sama tidak dapat
meningkatkan asupan Yodium oleh individu ataupun komunitas. Diantara strategi-strategi
untuk penghapusan GAKY, pendekatan jangka panjang adalah fortifikasi pangan dengan
Yodium. Sampai tahun 60an, beberapa cara suplementasi yodium dalam dies yang telah
diusulkan berbagai jenis pangan pembawa seperti garam, roti, susu, gula, dan air tela dicoba
yodisasi garam menjadi metode yang paling umum yang diterima di kebanyakan negara di
dunia sebab garam digunakan secara luas dan seragam oleh seluruh lapisan masyarakat.
Prosesnya adalah sederhana dan tidak mahal. Fortifikasi yang biasa digunakan adalah
Kalium Yodida (KI) dan Kalium Iodat (KID3). Iodat lebih stabil dalam 'impure salt' pada
penyerapan dan kondisi lingkungan (kelembaban) yang buruk penambahan tidak
menambah warna, penambahan dan rasa garam. Negara-negara yang dengan program
iodisasi garam yang efektif memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akan
prevalensi GAKI.14

b. Fortifikasi Besi
Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk perbaikan anemia gizi
besi, fortifikasi zat gizi besi dipandang oleh beberapa peneliti merupakan strategi termurah
untuk memulai, mempertahankan, mencapai/mencakup jumlah populasi yang terbesar, dan
menjamin pendekatan jangka panjang.4
Fortifikasi Zat besi tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan.
Inilah keuntungan pokok dalam hal keterterimaannya oleh konsumen dan pemasaran
produk-produk yang diperkaya dengan besi. Penetapan target penerima fortifikasi zat besi,
yaitu mereka yang rentan defisiensi zat besi, merupakan strategi yang aman dan efektif
untuk mengatasi masalah anemi besi.1
Tahapan kritis dalam perencanaan program fortifikasi besi adalah pemilihan senyawa besi
yang dapat diterima dan dapat diserap.4 Harus diperhatikan bahwa wanita hamil
membutuhkan zat besi sangat besar selama akhir trimester kedua kehamilan. Terdapat
beberapa fortifikan yang umum digunakan untuk fortifikasi besi seperti besi sulfat besi
glukonat, besi laktat, besi ammonium sulfat, dan lain-lain. Contoh fortifikasi zat besi
adalah pada mie kering yang dibuat dari campuran tepung terigu dan tepung singkong.14

11
c. Fortifikasi Vitamin A
Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk mengatasi
problem kekurangan vitamin A dengan menjembatani jurang antara asupan vitamin A
dengan kebutuhannya. Fortifikasi dengan vitamin A adalah strategi jangka panjang untuk
mempertahankan kecukupan vitamin A. Kebanyakan vitamin yang diproduksi secara
komersial (secara kimia) identik dengan vitamin yang terdapat secara alami dalam bahan
makanan. Vitamin yang larut dalam lemak (seperti vitamin A) biasanya tersedia dalam
bentuk larutan minyak (oil solution), emulsi atau kering, keadaan yang stabil yang dapat
disatukan/digabungkan dengan campuran multivitamin-mineral atau secara langsung
ditambahkan ke pangan. Bentuk komersial yang paling penting dari vitamin A adalah
vitamin A asetat dan vitamin A palmitat. Vitamin A dalam bentuk retionol atau karoten
(sebagai beta-karoten dan beta-apo-8’ karotenal) dapat dibuat secara komersial untuk
ditambahkan ke pangan. Pangan pembawa seperti gula, lemak, dan minyak, garam, teh,
sereal, dan monosodium glutamat (MSG) telah (dapat) difortifikasi oleh vitamin A.14

2.6 Peran Industri dalam Fortifikasi

Industri makanan memegang kunci yang penting dalam fortifikasi berbagai


makanan di setiap Negara. Defisiensi zat mikro merupakan masalah kesehatan. Fortifikasi
pada food vehicle dilaksanakan oleh industri makanan. Sayangnya, kebanyakan kasus,
departemen kesehatan sering tidak dapat mengontrol dan memotivasi industri makanan.
Pendekatan yang sukses untuk mengatasi masalah kekurangan zat mikro adalah
memungkinkan jika industri makanan tergabung dalam program nasional.11

Secara lebih spesifik, industri (baik nasional maupun multinasional) perlu:11


- Berpartisipasi pada setiap permulaaan dari rencana program nasional yang dapat
menetapkan strategi fortifikasi yang memungkinkan untuk dilaksanakan.
- Indentifikasi mekanisme untuk berkolaborasi antara pemerintah nasional, industry
makanan dan system marketingnya, serta nongovernmental organizations (NGOs) dan
sukarelawan.
- Membantu identifikasi fortifikan dan food vehicle yang sesuai
- Menetapkan dan membangun sistem jaminan yang berkualitas; dan

12
- Berpartisipasi dalam usaha promosi dan edukasi untuk mencapai target populasi.

Program fortifikasi makanan yang sukses didukung oleh industri makanan dan
pemerintah nasional. Selain itu, hal-hal yang mempengaruhi kesuksesan fortifikasi
makanan adalah:11
- Dukungan politik
- Dukungan industri
- Undang-undang yang adekuat
- Level fortifikasi yang tepat
- Bio-availabilitas yang baik dari bahan campuran
- Tidak mengganggu asupan makanan sehari-hari
- Sumber daya manusia yang terlatih di bidang industri dan tingkat marketing
- Penerimaan oleh konsumen
- Tidak ada kultur yang menentang fortifikasi makanan
- Pemeriksaan laboratorium yang adekuat terhadap status zat gizi mikro
- Pada kasus anemia defisiensi besi, tidak ada parasitisme atau penyebab non-diet yang
menimbulkan anemia; dan
- Tidak ada yang membatasi usaha mendapatkan zat gizi mikro

Untuk mengatasi permasalahan gizi mikro dengan cara fortifikasi diperlukan


beberapa kerjasama dari beberapa pihak yang harus terlibat, diantaranya:12

a. Pemerintah : Fasilitator, Regulator, Quality Control dan Pembinaan, Social


Marketing
b. Industri : Proses Produksi dan Distribusi, Quality Assurance sesuai Standar
SNI
c. Konsumen : Partisipasi Konsumsi dan Pengawasan

Selain faktor diatas, pihak lain yang terlibat yaitu para pengajar, klub olahraga, orang
tua, orang-orang difabel, organisasi wanita, kelompok wanita hamil, dokter spesialis
obstetri-ginekologi, dokter spesialis anak, dokter spesialis mata, media massa, pihak
penyedia pelayanan telekomunikasi, buruh, pertain politik, pemuka agama, pemuka adat,

13
anggota parlemen. Mereka semua dapat berkontribusi untuk membuat permintaan dan/atau
mengawasi produk yang difortifikasi sehingga mensukseskan program fortifikasi
makanan.11

Meskipun terdapat solusi nutrisi dan teknologi yang sederhana untuk mengatasi
masalah kekurangan mikronutrien, hal ini dipersulit oleh faktor ekonomi, social , dan
politik. Berbagai strategi intervensi harus dilakukan. Hal ini merupakan tantangan. Yang
harus dilakukan adalah mengidentifikasi aksi yang utama dan memulai proses dialog antara
berbagai sektor untuk penerapan rencana dalam menghapuskan masalah kekurangan zat
gizi mikro.11

BAB III
KESIMPULAN

14
 Kekurangan zat gizi mikro merupakan masalah kesehatan yang sangat jelas menunjukkan
rendahnya asupan zat gizi dari menu sehari-hari. Di Indonesia terdapat lebih dari 100 juta
orang mengalami defisiensi zat gizi mikro. Fortifikasi merupakan salah satu upaya yang
dapat dilakukan.
 Fortifikasi adalah penambahan satu atau lebih zat gizi mikro tertentu pada bahan makanan
atau makanan untuk meningkatkan status gizi dan kesehatan masyarakat.
 Fortifikasi bahan pangan dibagi menjadi 2, yaitu berdasarkan target sasaran yang terbagi
menjadi fortifikasi massal dan fortifikasi untuk populasi tertentu, dan berdasarkan
pertimbangan hukum yang terbagi menjadi mandatory fortification dan voluntary
fortification
 Dalam Repelita VI telah ditetapkan beberapa fortifikan yang penting, yaitu zat besi,
vitamin A, dan yodium.
 Dalam pelaksanaan fortifikasi pangan, industri pangan memegang kunci penting dalam
fortifikasi pangan. Dibutuhkan juga komunikasi antar sektor untuk penerapan rencana
dalam menghapuskan masalah kekurangan zat gizi mikro.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballot, D.E, et al. 1989. Fortification of curry powder with NaFe(III) EDTA in an
irondeficient population: initial survey of iron status. Am J Clin Nutr, 49.

15
2. Bauernd, JC. 1994. Nutrification of Foods. In Shils, MD.; Olsm, JA.; Shike, M. Ed. Modern
nutrition in health an disease. Lea and Febiger, 8th Edition, Chaper.
3. Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
4. Cook JD, Reusser ME. Iron fortification: an update. Am J Clin Nutr. 1983 Oct;38(4):648-
59.
5. Groff. J.L. and Sareen.S. Gropper. 1998. Advanced Nutrition and Human Metabolism.
Third Ed. Wadsworth.
6. Harris, RS. 1968. Attitudes and approaches to supplementation offoods with nutrients. J.
Agr. Food Chern. 16(2), 149-152.
7. Kementerian Kesehatan RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbang)
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Laporan Nasional. Balitbang, Jakarta, 2010.
8. Kementerian Kesehatan RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbang).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Laporan Nasional. Balitbang Depkes, Jakarta,
2008.
9. Kementerian Kesehatan RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbang)
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2012, Laporan Nasional. Balitbang, Jakarta 2013.
10. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta, 2014.
11. Lotfi, Mahsid, et al. 1999. Micronutrient Fortification of Foods: Developing A Program.
J.food technol Afr. Jan – March ’99.
12. Martianto, Drajat. 2012. Fortifikasi Pangan. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Fakultas
Ekologi Manusia
13. Pemerintah Indonesia. Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 Yang Mengatur Tentang
Pangan. Lembaran Negara RI Tahun 2012. Jakarta: Sekretariat Negara.
14. Siagian, Albiner. 2003. Pendekatan Fortifikasi Pangan Untuk Mengatasi Masalah
Kekurangan Zat Gizi Mikro. USU digital library.
15. Siti Helmyati, dkk. 2018. Fortifikasi Pangan Berbasis Sumber Daya Nusantara: Upaya
Mengatasi Masalah Defisiensi Zat Gizi Mikro di Indonesia. Gajah Mada University
Press.
16. Soekirman. 2008. Fortifikasi Pangan: Program Gizi Utama Masa Depan?. Bogor:
Micronutrient Initiative.

16
17. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). 2001. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Depkes RI, Jakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai