Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PBL

BERCAK PUTIH PADA KULIT

Disusun Oleh :
Kelompok 6
1. Wardayani (11020170072)
2. Anisa Suryani (11020170074)
3. Rifka Yusraeni (11020170075)
4. A.Ayu Pratiwi NZ (11020170076)
5. Murni Aswiranti Putri (11020170077)
6. M. Avizena Ilhami.S (11020170078)
7. Andi Nurul Hikmah R (11020170079)
8. Nadya Nur Aqilah (11020170080)
9. Sri Ainun Zainal Siddiq (11020170081)
10. Pryantama Saputra Tuna (11020170082)

TUTOR : dr.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga laporan hasil tutorial ini dapat terselesaikan dengan
baik. Dan tak lupa kami kirimkan salam dan shalawat kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang penuh kebodohan
ke alam yang penuh kepintaran. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada pihak yang telah membantu membuat laporan ini serta kepada tutor
yang telah membimbing kami selama proses tutorial berlangsung. Semoga
laporan hasil tutorial ini dapat bermanfaat bagi setiap pihak yang telah
membaca laporan ini dan khusunya bagi tim penyusun sendiri. Semoga
setelah membaca laporan ini dapat memperluas pengetahuan pembaca
mengenai BERCAK PUTIH PADA KULIT

Makassar, November 2019

Kelompok 6
SKENARIO C
Seorang laki-laki umur 30 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan
muncul bercak putih di daerah lipat paha, berbentuk tidak merata disertai
gatal ringan. Bercak bulat kecil berdiameter 1–3 cm disertai sisik halus sejak
2 minggu yang lalu. Bercak putih ini dikelilingi bintik-bintik merah, tetapi
bagian tengah lesi kulit tampak tenang dan sisik halus.
A. KATA KUNCI
1. Seorang laki-laki umur 30 tahun
2. keluhan muncul bercak putih di daerah lipat paha
3. berbentuk tidak merata disertai gatal ringan
4. Bercak bulat kecil berdiameter 1–3 cm disertai sisik halus
5. Keluhan sejak 2 minggu yang lalu
6. Bercak putih ini dikelilingi bintik-bintik merah
7. Bagian tengah lesi kulit tampak tenang dan sisik halus.

B. PERTANYAAN
1. Definisi dari makula hipopigmentasi dan etiologinya
2. Patomekanisme makula hipopigmentasi, gatal dan central healing
3. Penyakit - penyakit infeksi tropis yang disebabkan oleh Jamur
4. Jelaskan langkah-langkah diagnosis sesuai skenario!
5. Apakah diagnosis banding pada skenario?
6. Bagaimana tindakan pencegahan pada skenario?
7. Apakah perspektif islam pada skenario ?

C. PEMBAHASAN
1. Definisi dari makula hipopigmentasi dan etiologinya
Etiologi bercak putih pada kulit
Ada beberapa penyebab terjadinya bercak putih, yaitu
1) Jamur
Beberapa jamur baik dermatofit dan nondermatofit dapat
menyebabkan bercak putih pada kulit. Jamur nondermatofit
seperti Malassezia furfur, yang dengan pemeriksaan morfologi
dan imunoflorensi indirek ternyata identik dengan Pityrosporum
orbiculare. Jamur ini dapat menyebaban penyakit Pityriasis
versicolor yang ditandai dengan adanya bercak putih dan gatal,
lebih tinggi (50%) di daerah tropis yang bersuhu hangat dan
lembab. Faktor-faktor yang dapat memicu pertumbuhan
abnormal M.furfur diantaranya adalah faktor eksogen meliputi
panas dan kelembaban. Hal ini merupakan penyebab sehingga
pitiriasis versicolor banyak di jumpai di daerah tropis dan pada
musim padan pada daerah subtropis. Faktor eksogen lain
adalah penutupan kulit oleh pakaian dan kosmetik. Faktor
endogen berupa malnutrisi, dermatitis seboroik, sindrome
chusing, terapi imunospuresan, hiperhidrosis dan riwayat
keluarga yang positif.

2) Bakteri
Pertumbuhan dan perkembangan bakteri dipengaruhi oleh tiga
faktor:
1. Port the entry dan fungsi pertahanan kulit
2. Pertahanan host dan respon inflamasi terhadap invasi
mikroba,
3. Zat-zat patogen yang dihasilkan oleh bakteri.

Bakteri pada dasarnya tidak bisa menembus lapisan keratin


pada kulit yang normal, jika terjadi maserasi dan oklusi dapat
menyebabkan peningkatan PH, tingginya karbondioksida, serta
cairan yang ada pada epidermis sehingga menyebabkan
peningkatan bakteri normal pada kulit. Bakteri gram negatif
dapat ditemukan pada beberapa tempat di kulit, dimana kulit
yang cenderung kering pada kulit normal membatasi
pertumbuhan bakteri tersebut, terutama bakteri basil gram
negatif.

Pada bakteri gram positif seperti beberapa golongan


Streptococcus dan M.leprae merupakan bakteri yang umumnya
tidak termasuk dalam flora normal kulit. Bakteri golongan
Streptococcus dapat menginvasi kulit dan diduga menyebabkan
penyakit Pityriasis alba, dimana penyakit ini ditandai dengan
adanya eritema pada kulit yang kemudian menghilang dan
menimbulkan depigmentasi (bercak putih). Sedangkan bakteri
M.leprae merupakan bakteri gram positif.1 yang dapat
menyebabkan penyakit Lepra. Gejala bervariasi tergantung
pada tipe.

2. Patomekanisme makula hipopigmentasi, gatal, sisik halus dan central


healing
 Patomekanisme makula hipopigmentasi

Flora normal ( Malassezia furfur ) akan berubah bentuk menjadi


tidak normal karena adanya faktor predisposisi, baik eksogen maupun
endogen. Faktor eksogen meliputi panas dan kelembaban. Hal ini
merupakan penyebab sehingga pitiriasis versikolor banyak dijumpai di
daerah tropis dan pada musim  panas di daerah sub tropis. Faktor
eksogen lain adalah penutupan kulit oleh  pakaian atau kosmetik
dimana mengakibatkan peningkatan konsentrasi CO2, mikroflora dan
pH. Faktor endogen berupa malnutrisi, dermatitis seboroik, sindrom
cushing, terapi imunosupresan, hiperhidrosis dan riwayat keluarga
yang positif.
Kelaianan bercak putih pada kulit merupakan penurunan dari
melanin atau tidak adanya produksi melanin dari melanosit. Melanosit
merupakan sel yang membentuk melanin dimana melanin ini
berpengaruh dalam memberikan warna pada kulit. Patogenesis dari
makula hipopigmentasi oleh terhambatnya sinar matahari yang masuk
ke dalam lapisan kulit yang akan mengganggu proses  pembentukan
melanin, adanya toksin yang langsung menghambat  pembentukan
melanin, dan adanya asam azeleat yang dihasilkan oleh Pityrosporum
dari asam lemak dalam sebum yang merupakan inhibitor kompetitif dari
tirosinase.
Ketika flora normal (Malassezia furfur) tadi menjadi tidak normal
atau  pathogen, maka akan merangsang sel mast basophil migrasi ke
dermis. Setelah itu akan membentuk granulasi yang akan melepas
histamine, hingga gatal dapat terjadi pada penderita. Maka dari itu,
penderita pada umumnya mengeluhkan adanya bercak/makula
berwarna putih (hipopigmentasi) atau kecoklatan (hiperpigmentasi)
dengan rasa gatal ringan yang umumnya muncul saat  berkeringat.2

 Patomekanisme Pruritus

Diketahui bahwa zat-zat kimia dan rangsangan fisik (mekanik)


dapat memicu terjadi pruritus. Stimulasi terhadap ujung saraf bebas
yang terletak di dekat junction dermo epidermal bertanggung jawab
untuk sensasi ini. 
Sinaps terjadi diakar dorsal kordaspinalis (substansia grisea),
bersinaps dengan neuron kedua yang menyebrang ketengah, lalu
menuju traktus spinotalamikus kontralateral hingga berakhir
di thalamus. Dari thalamus, terdapat neuron ketiga yang meneruskan
rangsang hingga kepusat persepsi di korteks serebri. Saraf yang
menghantarkan sensasi gatal merupakan saraf yang sama seperti
yang digunakan untuk menghantarkan rangsang nyeri. Ini merupakan
serabut saraf tipe C-taktermielinasi. Hal ini dibuktikan dengan
fenomena menghilangnya sensasi gatal dan nyeri ketika dilakukan
blockade terhadap penghantaran saraf nyeri dalam prosedur anastesi.
80% serabut saraf tipe C adalah nosireseptor polimodal (merespons
stimulus mekanik, panas, dan kimiawi); sedangkan 20% sisanya
merupakan nosireseptormekano-intensif, yang tidak dirangsangoleh
stimulus mekanik namun oleh stimulus kimiawi. Dari 20 % serabut
sarafini, 15% tidak merangsang gatal (disebut dengan histamine
negative), sedangkan hanya 5 %yang histamine positif dan
merangsang gatal.3
 Patomekanisme Sisik halus
Sel-sel hidup pada stratum basalis mengalami diferensiasi. Kemudian
bergerak ke atas stratum korneum menjadi sel-sel mati yang berisi
keratin. Pada stratum korneum sel-sel tanduk menghasilkan sel
keratosit yang mengalami keratinisasi. Tapi karena adanya suatu
proses inflamasi sehingga menyebabkan proses dari keratinisasi
terganggu. Sel-sel tanduk yang telah mati mengalami penumpukan
kemudian menyebabkan terbentuknya skuama pada kulit.

1. Kadar air menurun pada stratum korneum


Pada keadaan normal, air mengalir secara difusi dari dermis
menuju ke epidermis melalui dua cara yaitu melalui stratum
korneum dan ruang interseluler. Kulit secara terus-menerus akan
kehilangan cairan secara difusi kemudian akan menguap melalui
stratum korneum dan ruang interseluler, keadaan ini dikenal
dengan transepidermal water loss (TEWL). Stratum korneum
merupakan barier hidrasi yang sangat penting dalam
mempertahankan kelembapan kulit. Bila daya pengikat air pada
stratum korneum menurun maka stratum korneum akan
mengandung sedikit air sehingga menyebabkan timbulnya skuama.
2. Gangguan keratinisasi
Gangguan keratinisasi menyebabkan perubahan struktur dan
kohesi korneosit. Penurunan kadar air dalam stratum korneum
pada kulit kering akan menyebabkan gangguan deskuamasi
abnormal pada keratinosit.4
 Patomekanisme Central Healing

Penularan langsung yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit


yang luka, jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini
disebabkan oleh masuknya artrospora atau konidia. Patogen
menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu pada stratum korneum,
lalu menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi reaksi inflamasi
pada tempat yang terinfeksi. Inflamasi ini dapat menghilangkan
pathogen dari tempat infeksi sehingga patogen akan mencari tempat
yang baru di bagian tubuh. Perpindahan organisme inilah yang
menyebabkan gambaran klinis yang khas berupa central healing.

Dermatofit dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia karena


stratum korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan
dermatofita dan untuk pertumbuhan jamur. Infeksi dermatofita dapat
terjadi melalui tiga tahap adhesi pada keratinosit, penetrasi dan
perkembangan respon host.

1. Adhesi pada keratinosit


Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barrier agar
artrokonidia sebagai elemen infeksius dapat menempel pada
keratin. Organisme ini harus dapat bertahan dari efek sinar
ultraviolet, variasi suhu dan kelembapan, kompetisi dengan flora
normal, dan zat yang dihasilkan oleh keratinosit. Asam lemak
yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea bersifat fungistatik.
2. Penetrasi
Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan
penetrasi pada stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi
proteinase, lipase dan enzim musinolitik yang juga menyediakan
nutrisi untuk fungi. Trauma dan maserasi juga memfasilitasi
penetrasi dan merupakan faktor yang penting untuk pathogenesis
tinea. Pertahanan baru timbul pada lapisan kulit yang lebih dalam,
termasu kompetisi besi oleh transferrin yang belum tersaturasi
dan dapat menghambat pertumbuhan jamur yang didukung oleh
progesteron.
3. Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun
penderita dan organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis
pada sel yang mengalami inflamasi dapat terjadi melalui
beberapa mekanisme. Beberapa jamur menghasilkan kemotatik
faktor seperti yang dihasilkan juga oleh bakteri. Jamur juga bisa
mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif, yang kemudian
menghasilkan faktor kemotatik berasal dari komplemen.
Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada
infeksi dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang
mengalami infeksi dermatofita yang luas juga menunjukkan titer
antibodi yang meningkat namun tidak berperan untuk
mengeliminasi jamur ini. Akan tetapi, reaksi hipersensitivitas tipe
lambat berperan dalam melawan dermatofita. respon dari
imunitas seluler diperankan oleh interferon yang diatur oleh sel
Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan paparan
dermatofita sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan
inflamasi yang ringan. Infeksi akan tampak sebagai eritema dan
skuama ringan, sebagai hasil dari percepatan tumbuhnya
keratinosit.4

3. Penyakit - penyakit infeksi tropis yang disebabkan oleh Jamur


Klasifikasi Penyakit Kulit Akibat Jamur
1) Mikosis Superficialis
Yaitu jamur-jamur yang menyerang lapisan luar pada kulit, kuku,
dan rambut. Dibagi dalam 2 bentuk, yaitu :
DERMATOFITOSIS, terdiri dari :6
a) Tinea Corporis
Menyerang kulit tubuh yang tidak berambut, disebabkan
oleh serangan jamur Trichophyton rubrum, Trichophyton
metagrophytes, Epidermophyton. floccosum. Hifa tumbuh aktif ke
arah pinggir cincin stratum korneum yan belum terserang. Klinis:
Sering menimbulkan lesi-lesi anuler kurap, dengan bagian tengah
bersisik dikelilingi oleh pingiran merah meninggi sering
mengandung volikel. Waktu hifa menjadi tua dan memisahkan diri
menjadi artrospora, sel-sel yang mengandung artrosphora
mengelupas, sehinga pada beberapa kasus terdapat bagian
tengah yang bersih pada lesi kurap.
b) Tinea Capitis (kurap kulit kepala)
Infeksi microsporum terjadi pada masa kanak-kanak dan
biasanya akan sembuh pada saat memasuki masa puberitas.
Sedangkan jika infeksi disebabkan oleh Trichophyon yang tidak
diobati akan menetap sampai dewasa. Klinis: infeksi dimulai pada
kulit kepala, selanjutnya ermofita tumbuh ke bawah mengikuti
dinding keratin folikel rambut. Infeksi pada rambut terjadi di atas
akar rambut. Rambut menjadi mudah patah dan meninggalkan
potongannya yang pendek. Pada bagian kulit kepala yang botak
terlihat bentuk kemerahan, edema, bersisik dan membentuk
vesikel, pada kasus yang lebih parah dapat menyebabkan
peradangan dan mengarah pada mikosis sistemik.
c) Tinea pedis (kaki atlet)
Infeksi menyerang jaringan antara jari-jari kaki dan
berkembang menjadi vesikel-vesikel kecil yang pecah dan
mengeluarkan cairan encer, disebabkan oleh Trichophyton
rubrum, T. Mentagrophytes, Epidemirmophyton floccosum. Klinis :
Kulit antara jari kaki mengalami pengelupasan dan kulit pecah-
pecah, dapat juga terjadi infeksi skunder.
d) Tinea Favosa
Infeksi pada kulit kepala, kulit badan yang tidak berambut dan
berkuku disebabkan oleh Trichopyton schoenleinii. Klinis: Gejala
awal berupa bintik-bintik putih pada kuli kepala kemudian
membesar membentuk kerak yang berwarna kuning kotor, Kerak
sangat lengket, bila diangkat akan meninggalkan luka basah.
Dapat menyebabkan kebotakan yang menetap.
NON-DERMATOFITOSIS, terdiri dari:7
a) Tinea Versicolor
Merupakan infeksi ringan yang nampak dan terjadi akibat
pertumbuhan Malassezia furfur yang tidak terkendali. Dalam
bahasa lokal dikenal sebagai panu.
Klinis : Muncul bercak putih kekuningan disertai rasa gatal
pada kulit dada, punggung, axila leher dan perut bagian atas.
Daerah yang terserang akan mengalami depigmentasi.
b) Piedra
Dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu White Piedra disebabkan
oleh Trichosporon Beigelli dan Black Piedra diakibatkan oleh
Piedraia hortae. Klinis: terbentuknya nodul hitam keras di sekitar
rambut kepala (Black piedra) terbentuk nodul yang lebih halus
pada rambut ketiak, kemaluan, janggut (White piedra)
c) Tinea nigra
Infeksi pada lapisan kulit (stratum korneum) akibat serangan
Exophiala weneckii. Klinis: Muncul bercak-bercak (makula)
berwarna coklat kehitaman. Bercak tersebut terisi oleh hifa
bercabang, bersepta, dan sel-sel yang bertunas, akan tetapi tetap
terlihat datar menempel pada kulit (tidak membentuk bagian yang
menonjol, seperti sisik ataupun reaksi yang lain).
2) Mikosis Intermediat
Yaitu jamur-jamur yang menyerang kulit, mukosa, subkutis, dan
alat-alat dalam, terutama yang disebabkan oleh spesies candida
sehingga penyakitnya disebut kandidiasis oleh Candida albicans.
3) Mikosis Profunda
SUBKUTIS
a) Sporotrichosis
Akibat infeksi Sporothrix schenckii, yang merupakan jamur
degan habitat pada tumbuh-tumbuhan atau kayu. Invasi terjadi ke
dalam kulit melalui trauma, kemudian menyebar melalui aliran
getah bening. Klinis: Terbentuk abses atau tukak pada lokasi
yang terinfeksi, Getah bening menjadi tebal, Hampir tidak
dijumpai rasa sakit, terkadang penyebaran infeksi terjadi juga
pada persendian dan paru-paru. Akibat secara histologi adalah
terjadinya peradangan menahun, dan nekrosis.
b) Mycetoma (madura foot)
Infeksi pada jaringan subkutan yang disebabkan oleh jamur
Eumycotic mycetoma dan atau kuman (mikroorganisme) mirip
jamur yang disebut Actinomycotic mycetoma. Klinis: ditandai
dengan pembengkakan seperti tumor dan adanya sinus yang
bernanah. Jamur masuk ke dalam jaringan subkutan melalui
trauma, terbentuk abses yang dapat meluas sampai otot dan
tulang. Jamur terlihat terlihat sebagai granula padat dalam nanah.
Jika tidak diobati maka lesi-lesi akan menetap dan meluas ke
dalam dan ke perifer sehingga berakibat pada derormitas.
SISTEMIK
Adalah infeksi jamur yang mengenai organ internal dan jaringan
sebelah dalam. Seringkali tempat infeksi awal adalah paru-paru,
kemudian menyebar melalui darah. Masing-masing jamur cenderung
menyerang organ tertentu. Semua jamur bersifat dimorfik, artinya
mempunyai daya adaptasi morfologik yang unik terhadap
pertumbuhan dalam jaringan atau pertumbuhan pada suhu 37°C
a) Blastomikosis
Infeksi yang terjadi melalui saluran pernafasan, menyerang
pada kulit, paru-paru, organ vicera tulang dan sistem syaraf yang
diakibatkan oleh jamur Blastomycetes dermatitidis dan
Blastomycetes brasieliensi. Klinis: Kasusnya bervariasi dari
ringan hinga berat, pada kasus ringan biasanya dapat sembuh
dengan sendirinya. Berbagai gejala umum akibat mikosis ini tidak
dapat dibedakan dengan infeksi pernafasan bawah akut lain
(demam, batuk, berkeringat malam). Jika terjadi penyebaran
maka dapat mengakibatkan timbulnya lesi-lesi pada kulit di
permukaan terbuka (leher,muka, lengan dan kaki).
b) Kokodiodomikosis
Disebabkan oleh Coccidiodes immitis yang hidup di tanah,
mikosis ini menyerang paru-paru. Klinis: Infeksi dapat terjadi
melalui inhalasi, gejala yang umum timbul adalah demam, batuk,
sakit kepala, kompleks gejala tersebut dikenal sebagai demam
valley atau desert rheumatism, dan biasanya dapat sembuh
dengan sendirinya.
c) Hitoplasmosis
Disebabkan oleh Hitoplasma capsulatum, jamur ini hidup
pada tanah dengan kandungan nitrogen tinggi (tanah yang
terkontaminasi dengan kotoran unggas atau ternak. Klinis: Infeksi
terjadi melalui proses pernafasan. Konidia yang terhirup diliputi
oleh makrovag areolar akhir-nya berkembang menjadi sel-sel
bertunas. Meskipun infeksi dapat menyebar secara cepat namun
99% infeksi bersifat asimtomatik. Gejala yang timbul berupa
sindroma flu yang dapat sembuh dengan sendirinya. Pada kasus
penderita dengan defisiensi imun, hipoplasmosis dapat berakibat
pada terjadinya pembengkakan limpa dan hati, demam tinggi ,
anemia. Juga dapat terjadi tukak-tukak pada hidung, mulut lidah,
dan usus halus.
4. Jelaskan langkah-langkah diagnosis sesuai skenario!
5. Apakah diagnosis banding pada skenario?
a. Penyakit Kusta (Morbus Hansen, Lepra)
 Defenisi
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan
oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama
menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit,
mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan
saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat
asimtomatik, namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan
mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya
pada tangan dan kaki.8
 Epidemiologi
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum
sepenuhnya diketahui secara pasti. Penyakit kusta tersebar di
seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis. Dapat
menyerang semua umur, frekuensi tertinggi pada kelompok
umur antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki
daripada wanita.
Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik
pada tahun 1985 dijumpai 107 negara telah mencapai target
eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000 penduduk pada tahun
2000. Pada tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara
yang melaporkan 1000 atau lebih penderita baru selama tahun
2006. Lima belas negara ini mempunyai kontribusi 94% dari
seluruh penderita baru didunia. Indonesia menempati urutan
prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil.
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada
seluruh propinsi dengan pola penyebaran yang tidak merata.
Meskipun pada pertengahan tahun 2000 Indonesia secara
nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun
tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan
penderita kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta
baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi terbanyak
melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku, Papua,
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih
besar dari 20 per 100.000 tahun 2010, tercatat 17.012 kasus
baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per
100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371
kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 8,03
per 100.000 penduduk.8
 Etiologi
Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang
ditemukan oleh GH Armauer Hansen, seorang sarjana dari
Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam,
berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar 0,2 - 0,5
mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,
hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan
tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat
menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadilo. 8

 Patogenesis
Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya
invasi yang rendah karena penderita yang mengandung kuman
lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat,
bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat
infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun
yang berbeda, yang menggugah reaksi granuloma setempat
atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif.
Oleh karena itu penyakit lepra dapat disebut sebagai penyebab
imunologik. Kelompok umur terbanyak terkena lepra adalah usia
25-35 tahun.
Onset lepra adalah membahayakan yang dapat
mempengaruhi saraf, kulit dan mata. Hal ini juga dapat
mempengaruhi mukosa (mulut, hidung dan faring), testis, ginjal,
otot-otot halus, sistem retikuloendotel dan endotelium pembuluh
darah.
Basil masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem
pernafasan, memiliki patogenisitas rendah dan hanya sebagian
kecil orang yang terinfeksi menimbulkan tanda-tanda penyakit.
Masa inkubasi M. leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah memasuki
tubuh basil bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk kedalam
sel Schwann. Bakteri juga dapat ditemukan dalam makrofag,
sel-sel otot dan sel-sel endotel pembuluh darah.
Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan
bakteri tergantung pada perlawanan dari individu yang terinfeksi.
Basil mulai berkembangbiak perlahan (sekitar 12-14 hari untuk
satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel, dapat dibebaskan
dari sel-sel hancur dan memasuki sel terpengaruh lainnya. Basil
berkembang biak, peningkatan beban bakteri dalam tubuh dan
infeksi diakui oleh sistem imunologi serta limfosit dan histiosit
(makrofag) menyerang jaringan terinfeksi. Pada tahap ini
manifestasi klinis mungkin muncul sebagai keterlibatan saraf
disertai dengan penurunan sensasi dan atau skin patch. Apabila
tidak didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih
lanjut akan ditentukan oleh kekuatan respon imun pasien.
Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan
terhadap penderita lepra. Ketika SIS spesifik efektif dalam
mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang secara
spontan atau menimbulkan lepra dengan tipe Pausibasilar (PB).
Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan
menimbulkan lepra dengan tipe Multibasilar (MB). Kadang-
kadang respon imun tiba-tiba berubah baik setelah pengobatan
atau karena status imunologi yang menghasilkan peradangan
kulit dan atau saraf dan jaringan lain yang disebut reaksi lepra
(tipe 1 dan 2).9
 Klasifikasi Lepra
Menurut Kongres Internasional Madrid (1953), lepra
dibagi atas tipe Indeterminan(I), tipe Tuberculoid (T), tipe
Lepromatosa dan tipe Borderline (B). Ridley Jopling (1960)
membagi lepra kedalam berbagai tipe yaituIndeterminan (I),
Tuberculoid polar (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid
Borderline (BB), Borderline Lepromatous (BL), dan
Lepromatosa polar (LL).
Tipe I tidak termasuk dalam spektrum. Tipe TT adalah
tipe tuberculoid polar yaitu tuberculoid 100% yang merupakan
tipe stabil sehingga tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga
dengan tipe LL yang merupakan tipe lepromatosa polar, yaitu
lepramatosa 100% , mempunyai sifat stabil dan tidak mungkin
berubah lagi. BB merupakan tipe campuran yang terdiri atas
50% tuberculoid dan 50% lepromatosa. Pada tipe BT lebih
banyak tuberculoid, sedangkan pada tipe BL lebih banyak
lepromatosa. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil yang
berarti bahwa dapat dengan bebas beralih tipe, baik ke arah tipe
TT maupun tipe LL.10
Menurut WHO pada 1981, lepra dibagi menjadi dua tipe
11
yaitu tipe Multibasilar (MB) dan tipe Pausibasilar (PB).
1. Lepra tipe PB ditemukan pada seseorang dengan SIS baik.
Pada tipe ini berarti mengandung sedikit kuman yaitu tipe
TT, tipe BT dan tipe I. Pada klasifikasi Ridley-Jopling
dengan Indeks Bakteri (IB) kurang dari 2+.
2. Lepra tipe MB ditemukan pada seseorang dengan SIS yang
rendah. Pada tipe ini berarti bahwa mengandung banyak
kuman yaitu tipe LL, tipe BL dan tipe BB. Pada klasifikasi
Ridley- Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+.
Berkaitan dengan kepentingan pengobatan pada tahun 1987
telah terjadi perubahan yaitu lepra PB adalah lepra dengan BTA
negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, tipe
TT dan tipe BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Apabila pada
tipe-tipe tersebut disertai BTA positif maka akan dimasukkan
kedalam lepra tipe MB. Sedangkan lepra tipe MB adalah semua
penderita lepra tipe BB, tipe BL dan tipe LL atau apapun
klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan
regimen MDT (Multi Drug Therapy)-MB.
 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada
beberapa hal yaitu multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae,
respon imun penderita terhadap kuman M. leprae serta
komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.
Karakteristik klinis kerusakan saraf tepi:
1. Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan
cepat, saraf yang terlibat terbatas (sesuai jumlah lesi), dan
terjadi penebalan saraf yang menyebabkan gangguan
motorik, sensorik dan otonom.
2. Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf
tersebar, perlahan tetapi progresif, beberapa tahun
kemudian terjadi hipoestesi (bagian-bagian dingin pada
tubuh), simetris pada tangan dan kaki yang disebutglove
dan stocking anaesthesia terjadi penebalan saraf
menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom
dan ada keadaan akut apabila terjadi reaksi tipe 2.
3. Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe
tuberculoid dan tipe lepromatosa)
A B

Gambar A) Tipe tuberculoid; B) Tipe lepromatosa

Tabel 1 Gambaran klinis, bakteriologis dan imunologis lepra tipe


MB.
Borderline Mid Borderline
Sifat Lepramatosa (LL)
Lepromatosa (BL) (BB)
Lesi
Makula Infiltrat Plakat Dome-
Makula Plakat
- Bentuk difus Papul shaped (kubah)
Papul
Nodus Punched-out
Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung,
- Jumlah praktis tidak ada masih ada kulit kulit sehat jelas
kulit sehat seha ada
- Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
- Agak kasar,
Halus berkilat Halus berkilat
Permukaan agak berilat
- Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Tidak ada sampai
- Anestesia Tidak jelas Lebih jelas
tidak jelas
BTA
Banyak (ada
- Lesi kulit Banyak Agak banyak
globus)
- Sekret Banyak (ada
Biasanya negatif Negatif
hidung globus)
Tes
Negatif Negatif Biasanya negatif
lepromin

Tabel 2 Gambaran klinis, bakteriologis dan imunologis lepra tipe


PB.
Borderline
Sifat Tuberkuloid (TT) Indeterminate (I)
Tuberkuloid (BT)
Lesi
Makula saja; Makula dibatasi
- Bentuk makula dibatasi infiltrat; infiltrat Hanya makula
infiltrat saja
Beberapa atau
Satu, dapat Satu atau
- Jumlah satu dengan
beberapa beberapa
satelit
- Distribusi Asimetris Masih asimetris V ariasi
- Halus, agak
Kering bersisik Kering bersisik
Permukaan berkilat
Dapat jelas atau
- Batas Jelas Jelas
tidak jelas
Tidak ada, sampai
- Anestesia Jelas Jelas
tidak jelas
BTA
Hampir selalu Negatif atau
- Lesi kulit Biasanya negatif
negatif hanya 1+
Tes Dapat positif
Positif kuat (3+) Positif lemah
lepromin lemah atau negatif

TINEA CRURIS
I.1 Definisi
Dermatofitosis adalah sekelompok penyakit jamur kulit superfisial yang
menyerang jaringan dengan zat tanduk, misalnya stratum korneum pada
epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan oleh jamur golongan
dermatofita. Infeksi dermatofitosis dikenal dengan nama tinea dan dibagi
berdasarkan lokasi. Tinea kruris adalah salah satu dermatofitosis yang
ditemukan pada pangkal paha, genital, pubis, serta perineum dan kulit
perianal. Penyakit ini juga dikenal sebagai jock itch, crotch itch, dhobie itch,
eczema marginatum, dan ringworm of the groin.

I.2 Epidemologi
Tinea kruris menyebar melalui kontak langsung dan diperburuk oleh
lingkungan yang lembab. Tinea kruris tiga kali lebih sering terjadi pada pria
dibandingkan dengan wanita, dan orang dewasa lebih sering terkena
daripada anak-anak. Penyakit ini terjadi pada laki-laki dan perempuan, tetapi
lebih sering terlihat pada pria karena beberapa alasan yaitu skrotum membuat
lingkungan menjadi hangat dan lembab.Faktor predisposisi tinea kruris
lainnya termasuk obesitas dan keringat yang berlebihan.
I.3 Etiopatogenesis
Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita.
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Menurut Budimulja tahun 2010, dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti,
yang terbagi dalam tiga genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton, mempunyai sifat mencerna keratin. Penyebab tersering
tinea kruris adalah Epidermophyton floccosum, diikuti Tricophyton rubrum dan
Tricophyton mentagrophytes.
Infeksi dermatofita melalui tiga proses, yaitu perlekatan ke keratinosit,
penetrasi melewati dan di antara sel, dan perkembangan respon pejamu.
Pertama adalah berhasil melekatnya artrokonidia, spora aseksual yang
dibentuk dari hasil fragmentasi hifa, ke permukaan jaringan berkeratin setelah
melewati beberapa pertahanan pejamu, antara lain asam lemak yang
dihasilkan oleh kelenjar sebasea yang bersifat fungistatik dan kompetisi
dengan flora normal. Dalam beberapa jam, secara in vitro 2 jam setelah
terjadinya kontak, pertumbuhan dan invasi spora mulai berlangsung.
Proses kedua adalah invasi spora ke lapisan yang lebih dalam. Tahap
ini dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim musinolitik, yang
menjadi nutrisi bagi jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi
jamur ke keratinosit. Selain itu, manans, suatu zat yang terkandung dalam
dinding sel dermatofita ini, dapat menghalangi proliferasi dari keratinosit dan
respon imunitas seluler yang memperlambat penyembuhan epidermis.
Proses ketiga adalah perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di
pengaruhi oleh status imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi
hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memegang
peranan yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Respon inflamasi
dari reaksi hipersensitivitas ini berkaitan dengan penyembuhan pasien.
Respon imunitas seluler yang rusak akan mengakibatkan proses penyakit
yang kronis dan berulang. Pengaruh adanya atopi dan kadar IgE yang tinggi
juga diduga berpengaruh terhadap kronisitas.
Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen dermatofita diproses
oleh sel Langerhans epidermis dan dipresentasikan dalam limfosit T di nodus
limfe. Sel Langerhans bekerja sebagai Antigen Presenting Cell (APC) yang
mampu melakukan fungsi fagosit, memproduksi IL-1, mengekspresikan
antigen, reseptor Fe dan reseptor C3. Sel Langerhans berkumpul di dalam
kulit membawa antigen ke dalam pembuluh getah bening dan
mempertemukannya dengan limfosit yang spesifik. Selain oleh sel
Langerhans, peran serupa dilakukan pula oleh sel endotel pembuluh darah,
fibroblast, dan keratinosit. Limfosit T yang telah aktif ini kemudian
menginfiltrasi tempat infeksi dan melepaskan limfokin. Limfokin inilah yang
mengaktifkan makrofag sehingga mampu membunuh jamur patogen.
Faktor host yang berperan pada dermatofitosis yaitu genetik, jenis
kelamin, usia, obesitas, penggunaan kortikosteroid dan obat-obat
imunosupresif. Kulit di lipat paha yang basah dan tertutup menyebabkan
terjadinya peningkatan suhu dan kelembaban kulit sehingga memudahkan
infeksi. Penjalaran infeksi dari bagian tubuh lain juga dapat menyebabkan
terjadinya tinea kruris, misalnya tinea pedis pada daerah kaki. Faktor
lingkungan, berupa higiene sanitasi dan lokasi geografis beriklim tropis,
merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit jamur.
I.4 Gambaran Klinis
Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk (polimorfik), baik primer
maupun sekunder.1 Tinea kruris mempunyai lesi yang khas berupa plak
eritematosa berbatas tegas meluas dari lipat paha hingga ke paha bagian
dalam dan seringkali bilateral (Gambar 1). Skrotum biasanya jarang terlibat.
Lesi disertai skuama selapis dengan tepi yang meninggi.

Gambar 1. Plak eritematosa


dan skuama pada regio inguinal yang meluas ke regio pubis
Apapun penyebab tinea kruris, keluhan gatal merupakan salah satu
gejala umum yang menonjol. Nyeri juga sering dirasakan pada daerah yang
terjadi maserasi dan infeksi sekunder. Peradangan di bagian tepi lesi lebih
terlihat dengan bagian tengah tampak seperti menyembuh (central clearing).
Pada tepi lesi dapat disertai vesikel, pustul, dan papul, terkadang terlihat erosi
disertai keluarnya serum akibat garukan. Pada lesi kronis dapat ditemukan
adanya likenifikasi disertai skuama dan hiperpigmentasi (Gambar 2).

Gambar 2.
Gambaran klinis tinea kruris disertai hiperpigmentasi
I.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis tinea kruris ditegakkan berdasarkan anamnesis,
gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, tinea kruris
umumnya ditandai dengan adanya keluhan gatal. Sifat keluhan dapat terjadi
secara akut, namun umumnya subakut atau kronis, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup.
Gejala klinis tinea kruris yang khas adalah gatal yang meningkat saat
berkeringat, dengan bentuk lesi polisiklik/bulat berbatas tegas, efloresensi
polimorfik, dan tepi lebih aktif. Dari pemeriksaan penunjang, terdapatnya hifa
pada sediaan mikroskopis pemeriksaan elemen jamur dengan KOH. Dan
pemeriksaan metode kuktur jamur dapat dilakukan, namun membutuhkan
waktu yang lama.
I.6 Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis tinea kruris dibutuhkan uji diagnostik untuk
mengisolasi dan mengidentifikasi jamur. Gambaran klinis tinea kruris berupa
kelainan kulit yang berbatas tegas disertai peradangan dengan bagian tepi
lebih nyata daripada bagian tengah.
1. Pemeriksaan elemen jamur
Spesimen kerokan kulit diambil dari daerah pinggir lesi yang meninggi
atau aktif. Hasil pemeriksaan mikroskopik secara langsung dengan
KOH 10-20% didapatkan hifa (dua garis lurus sejajar transparan,
bercabang dua/dikotom dan bersepta) dengan atau tanpa artrospora
(deretan spora di ujung hifa) yang khas pada infeksi dermatofita
(Gambar 3). Pemeriksaan mikroskopik langsung untuk
mengidentifikasi struktur jamur merupakan teknik yang cepat,
sederhana, terjangkau, dan telah digunakan secara luas sebagai
teknik skrining awal. Teknik ini hanya memiliki sensitivitas hingga
40% dan spesifisitas hingga 70%. Hasil negatif palsu dapat terjadi
hingga pada l5% kasus, bahkan bila secara klinis sangat khas untuk
dermatofitosis.
Gambar 3. Gambaran hifa (tanda panah biru) disertai spora (tanda
panah merah)
2. Pemeriksaan kultur
Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik
namun membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas
yang rendah, harga yang lebih mahal Pemeriksaan kultur tidak rutin
dilakukan pada diagnosis dermatofitosis. Biasanya digunakan hanya
pada kasus yang berat dan tidak berespon pada pengobatan
sistemik. Kultur dilakukan untuk mengetahui golongan ataupun
spesies dari jamur penyebab tinea kruris. Kultur perlu dilakukan untuk
menentukan spesiesnya karena semua spesies dermatofita tampak
identik pada sediaan langsung. Media biakan yang digunakan adalah
agar dekstrosa Sabourraud yang ditambah antibiotik, contohnya
kloramfenikol, dan sikloheksimid untuk menekan pertumbuhan jamur
kontaminan/ saprofit (contohnya jamur non-Candida albicans,
Cryptococcus, Prototheca sp., P.werneckii, Scytalidium sp.,
Ochroconis gallopava), disimpan pada suhu kamar 25-30 oC selama
tujuh hari, maksimal selama empat pekan dan dibuang jika tidak ada
pertumbuhan.
Tabel 1. Morfologi dan gambaran mikroskopis jamur penyebab tersering tinea
kruris

Morfologi Koloni Gambaran Keterangan


Mikroskopis
T. rubrum
Beberapa mikrokonidia
berbentuk air mata,
makrokonidia jarang berbentuk
pensil.
E. floccosum

T. interdigitale
Tidak ada mikrokonidia,
beberapa dinding tipis dan tebal.
Makrokonidia berbentuk gada.

Mikrokonidia yang bergerombol,


bentuk cerutu yang jarang,
terkadang hifa spiral.

Untuk menentukan spesies penyebab dilakukan identifikasi


makroskopis dan mikroskopis. Secara makroskopis, tampak
gambaran gross koloni dengan tekstur, topografi dan pigmentasinya,
sedangkan identifikasi mikroskopi dibuat preparat dengan
penambahan lactophenol cotton blue (LPCB) dan diperiksa di bawah
mikroskop dengan pembesaran objektif 40 x. Gambaran mikroskopis
yang harus diperhatikan adalah morfologi hifa, pigmentasi dinding sel
jamur, dan karakteristik sporulasi (makronidia dan mikronidia) (Tabel
1).
3. Pemeriksaan histopatologi
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi tidak dilakukan pada gambaran
lesi yang khas. Biopsi dilakukan untuk penegakan diagnosis yang
memerlukan terapi sistemik pada lesi yang luas. Dengan pewarnaan
hematoksilin dan eosin, hifa akan terlihat pada stratum korneum.
Pewarnaan yang paling sering digunakan adalah dengan periodic
acid-Schiff (PAS), jamur akan tampak merah muda dan methenamine
silver stains, jamur akan tampak coklat atau hitam.
I.7 Diagnosis Banding
Gambaran klinis tinea kruris dapat menyerupai infeksi oleh Candida
albicans. Namun, pada kandidosis, lebih sering ditemukan pada wanita dan
lesi yang ditemukan lebih meradang dan lembab disertai sejumlah lesi satelit
(makula dan pustul putih) yang berukuran kecil dan banyak.
Lokasi di lipat paha, tinea kruris dapat didiagnosis banding dengan
eritrasma, dermatitis seboroik, pemfigus vegetans, dan psoriasis
intertriginosa. Eritrasma dapat dibedakan dari pemeriksaan penunjang
menggunakan lampu Wood yang akan memberikan warna merah bata yang
dihasilkan oleh bakteri Corynebacterium minutissimum. Sedangkan, pada
infeksi jamur golongan dermatofita, biasanya tidak menampakkan floresensi
pada pemeriksaan lampu Wood. Dermatitis seboroik bisa mengenai lipat
paha, dan terkadang meluas hingga ke daerah lain yang banyak mengandung
kelenjar sebasea, seperti dada dan ketiak. Pada pemfigus vegetans, lesi
disertai maserasi dan erosi. Psoriasis intertriginosa menunjukkan gambaran
skuama dan pustul pada tepi lesi. Namun, pada psoriasi intertriginosa, lesi
yang khas juga dapat ditemukan di bagian tubuh lain. Biopsi dapat dilakukan
untuk psoriasis dengan lesi yang kurang khas.
Eritema intertrigo dan dermatitis kontak juga dapat terjadi di lipat paha.
Eritema intertrigo disebabkan oleh kolonisasi bakteri di lipat paha. Biasanya
ditemukan pada pasien dengan obesitas, baik perempuan maupun laki-laki.
Lesi berbatas tegas dengan maserasi di bagian tengah lesi. Dermatitis kontak
(alergi/iritan) yang muncul di lipat paha mungkin dapat disebabkan oleh
bahan pakaian dan juga akibat pemakaian deodaran.
I.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tinea kruris dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana
umum dan khusus. Tatalaksana khusus tinea kruris juga dibagi menjadi dua,
yaitu tatalaksana topikal dan sistemik.
Tatalaksana Umum
Secara umum, tatalaksana tinea kruris berupa edukasi untuk mencegah
infeksi berulang. Daerah yang terinfeksi dijaga agar tetap kering dan terhindar
dari sumber infeksi serta mencegah pemakaian peralatan mandi bersama.
Pengurangan keringat dan penguapan dari daerah lipat paha, seperti
penggunaan pakaian yang menyerap keringat dan longgar juga penting
dalam pencegahan agar daerah lipat paha tetap kering. Daerah lipat paha
harus benar-benar dikeringkan setelah mandi dan diberikan bedak.
Pencucian rutin pakaian, sprei, handuk yang terkontaminasi dan penurunan
berat badan pada seorang dengan obesitas juga dapat dilakukan. Infeksi
berulang pada tinea kruris dapat terjadi melalui proses autoinokulasi reservoir
lain yang mungkin ada di tangan dan kaki (tinea pedis, tinea unguium)
sehingga penting untuk dilakukan eradikasi.
Tatalaksana Khusus
Untuk lesi yang ringan dan tidak luas cukup diberikan terapi topikal saja.
Terapi sistemik diberikan untuk lesi yang lebih luas dan meradang, sering
kambuh dan tidak sembuh dengan obat topikal yang sudah adekuat.
Beberapa pilihan obat antijamur topikal dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pilihan obat antijamur topikal
Golongan Golongan Golongan Golongan lain
Imidazol Alilamin Naftionat
mikonazol 2% naftitin 1% tolnaftat 1% siklopiroksolamin
klotrimazol 1% terbinafin 1% tolsiklat 1%
ekonazol 1% butenafin 1% salep Whitfield
isokonazol salep 2-4/3-10
sertakonazol vioform 3%
tiokonazol 6,5%
ketokonazol 2%
bifonazol
oksikonazol 1%
Lama pengobatan tinea kruris menggunakan antijamur topikal umumnya
sampai 1-2 pekan. Untuk pengobatan topikal dengan antijamur yang bersifat
fungistatik, pengobatan dilanjutkan 1-2 pekan setelah lesi hilang/sembuh. Hal
ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kekambuhan sehingga pengobatan
diberikan selama sekurang-kurangnya 3-4 pekan. Untuk pengobatan topikal
dengan antijamur yang bersifat fungisidal, pengobatan cukup diberikan
selama 1-2 pekan, tidak perlu diteruskan 1-2 pekan setelah lesi hilang/
sembuh.
Sebelum dioles, daerah yang akan diolesi obat dibersihkan dan
dikeringkan. Obat dioles di atas lesi menjadi satu lapisan tipis yang menutupi
paling sedikit sampai 3 cm ke arah luar lesi. Obat digunakan 2 kali sehari,
kecuali butenafin, terbinafin, sertakonazol hanya dioles 1 kali sehari. Hasil
maksimal bila lesi dijaga tetap bersih, kering dan sejuk, misalnya dengan
menggunakan celana yang tidak sempit dan menyerap keringat.
Untuk terapi sistemik, beberapa pilihan obat antijamur yang dapat
digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pilihan obat antijamur sistemik
Golongan Sediaan dan dosis
Alilamin
- terbinafin - Bersifat fungisidal, paling efektif untuk infeksi
jamur dematofita
- Sediaan: Tablet 250 mg
- Dosis: 250 mg/hari selama 2 pekan
(Dewasa)
Imidazol - Dosis: 3-6 mg/kgBB/hari selama 2 pekan
- itrakonazol (Anak)

- Bersifat fungistatik
- Interaksi dengan obat lain cukup banyak
- Sediaan: Kapsul 100 mg, solusio oral
- flukonazol 10mg/ml
- Dosis: 100 mg/hari selama 2 pekan
(Dewasa)
- Dosis: 5 mg/kgBB/hari selama 1 pekan
(Anak)
- ketokonazol
- Bersifat fungistatik
- Sediaan: Tabel 100, 150, 200 mg, suspensi
oral 10 dan 40 mg/ml, injeksi 400 mg
- Dosis: 150 mg/pecan selama 4-6 pekan
Griseofulvin
- Bersifat fungistatik
- Dikonsumsi dengan makanan atau minuman
bersoda
- Bersifat hepatotoksik
- Sediaan: Tablet 200 mg
- Dosis: 200 mg/hari selama 10-14 hari

- Bersifat fungistatik, aktif untuk golongan


dermatofita
- Efek samping: sefalgia, gejala
gastrointestinal, fotosensitivitas
- Dikonsumsi dengan makanan berlemak
- Sediaan:
- Micronized: Tabel 250 dan 500 mg, oral
suspensi 125mg/ sendok teh
- Ultramicronized: Tablet 165 dan 330 mg
- Dosis: 500 mg/hari selama 2-6 pekan
(Dewasa)
- Dosis: 10-20 mg (ultramicronized)/kgBB/hari
selama 6 pekan (Anak)

I.9 Prognosis
Prognosis tinea kruris baik jika diagnosis dan penanganannya tepat,
tapi penyakit ini dapat kambuh jika tidak dapat keadaan kering. Mortalitas
tidak ada kaitannya dengan tinea cruris. Tapi pruritus yang dialami pada
penderita tinea cruris dapat menyebabkan likenifikasi, infeksi bacterial
sekunder, dan iritasi serta dermatitis kontak alergi yang disebabkan oleh
pengobatan topikal.12

Pytiriasis versicolor
DEFINISI
Pitiriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial ringan akibat
infeksi kulit kronis oleh jamur lipofilik genus Malassezia spp. Manifestasi klinis
khas berupa bercak diskret atau konfluens dengan perubahan warna yang
tertutup skuama halus, terutama pada bagian atas dan ekstremitas proksimal.
Perubahan warna dapat berupa hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dan
eritematosa.
EPIDEMIOLOGI
Pitiriasis versikolor banyak dijumpai di daerah tropis dikarenakan
tingginya suhu dan kelembaban lingkungan, diperkirakan 40-50% dari
populasi di negara tropis terkena penyakit ini. Penyakit ini dapat menyerang
semua usia, namun paling banyak pada usia 16-20 tahun.3 Di Indonesia
sendiri belum ada data mengenai angka kejadian pitiriasis versikolor, namun
di Asia dan Australia pernah dilakukan percobaan secara umum pada tahun
2008 dan didapatkan angka yang cukup tinggi karena mendukungnya iklim di
daerah Asia.
ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh organisme normal pada kulit berupa
jamur lipofilik yang dahulu disebut sebagai Pityrosporum orbiculare dan
Pityrosporum ovale, tetapi saat ini telah diklasifikasikan dalam satu genus
Malassezia. Awalnya dianggap hanya satu spesies, yakni M. furfur, namun
analisis genetik menunjukkan berbagai spesies yang berbeda dan dengan
teknik molekular saat ini telah diketahui 14 spesies yaitu M. furfur, M.
sympoidalis, M. globosa, M. obtusa, M. restricta, M. slooffiae, M. dermatis, M.
japonica, M. yamotoensis, M. caprae, M. nana, M. equine, M cuniculi, dan M.
pachydermatis.
PATOGENESIS
Pityriasis versicolor timbul bila Malassezia furfur berubah bentuk
menjadi bentuk miselia karena adanya faktor predisposisi, baik eksogen
maupun endogen.
a. Faktor eksogen meliputi suhu, kelembaban udara dan keringat. Faktor
eksogen lain adalah penutupan kulit oleh pakaian atau kosmetik
dimana akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi CO2, mikroflora
dan pH.
b. faktor endogen meliputi malnutrisi, dermatitis seboroik, sindrom
cushing, terapi imunosupresan, hiperhidrosis, dan riwayat keluarga
yang positif. Disamping itu bisa juga karena Diabetes Melitus,
pemakaian steroid jangka panjang, kehamilan, dan penyakit – penyakit
berat lainnya yang dapat mempermudah timbulnya Pityriasis
versicolor.
Perubahan Pigmen pada Pitiriasis Versikolor
Malassezia spp. mampu menghalangi sinar matahari dan mengganggu
proses penggelapan kulit. Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga adanya
peran asam azeleat, suatu asam dikarboksilat metabolit Malassezia spp. yang
bersifat menghambat tirosinase dalam alur produksi melanin. Ukuran
melanosom yang lebih kecil dan hanya sedikit termelanisasi diproduksi, tetapi
tidak ditransfer ke keratinosit dengan baik, hal ini terjadi pada orang dengan
kulit lebih gelap. Hipopigmentasi akan menetap beberapa bulan bahkan tahun
dan menjadi lebih jelas pada musim panas dikarenakan kulit normal sekitar
menjadi lebih gelap karena paparan sinar matahari. Selain itu Malassezia
spp. menghasilkan sejumlah senyawa indol, metabolit tryptophan-dependent
yang diduga mengakibatkan hipopigmentasi tanpa gejala inflamasi yang
merupakan gambaran klinis PV pada umumnya.
GEJALA KLINIS
Kelainan pitiriasis versikolor sering ditemukan di bagian atas dada dan
meluas ke lengan atas, leher, punggung, dan tungkai atas atau bawah.
Penderita pada umumnya. Keluhan yang dirasakan penderita umumnya gatal
ringan saat berkeringat. Makula hipopigmentasi atau hiperpigmentasi,
berbentuk teratur sampai tidak teratur, berbatas tegas maupun difus.
Beberapa bentuk yang tersering yaitu:
a. Berupa bercak-bercak yang melebar dengan skuama halus diatasnya
dengan tepi tidak meninggi, ini merupakan jenis makuler.
b. Berupa bercak seperti tetesan air yang sering timbul disekitar folikel
rambut, ini merupakan jenis folikuler.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan
mikroskopis, dan pemeriksaan menggunakan lampu wood. Gambaran khas
berupa bercak hipopigmenasi sampai hiperpigmentasi dengan penyebaran
yang luas beserta batas tegas.
 Pemeriksaan dengan lampu wood
Hasil dari pemeriksaan ini kulit yang terkena pitiriasis versikolor akan
berfluoresensi menjadi kuning keemasan. Fluoresensi ini dapat
menunjukkan batas lesi yang terlihat jelas, sehingga kita bisa
mengetahui luas lesi, selain itu dapat juga dipakai untuk evaluasi
pegobatan yang sebelumnya.
 Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop cahaya
Preparat sediaan dibuat dari kerokan skuama pada lesi yang
diletakkan pada objek glass yang ditetesi dengan larutan KOH 20%
sebanyak 1-2 tetes. Pada pemeriksaan ditemukan hifa pendek tebal 2-
5μ dan bersepta, dikelilingi spora berukuran 1-2μ gambaran ini khas
sphageti and meatball atau banana and grapes.

PENGOBATAN
1. Pengobatan Topikal
 Selenium sulfida 1,8% dalam bentuk shampoo 2-3 kali seminggu. Obat
digosokkan pada lesi dan didiamkan selama 15-30 menit sebelum
mandi
 Salisil spiritus 10%. Turunan azol, misalnya : mikozanol, klotrimazol,
isokonazol dan ekonazol dalam bentuk topikal
 Sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20%
 Larutan Natrium Tiosulfas 25%, dioleskan 2 kali sehari sehabis mandi
selama 2 minggu.
2. Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik diberikan pada kasus Pityriasis versicolor yang luas
atau jika pemakaian obat topikal tidak berhasil. Obat yang dapat diberikan
adalah :
 Ketoconazole Dosis: 200 mg per hari selama 10 hari
 Fluconazole Dosis: dosis tunggal 150-300 mg setiap minggu
 Itraconazole Dosis: 100 mg per hari selama 2 minggu.
3. Terapi hipopigmentasi (Leukoderma)
 Liquor carbonas detergent 5%, salep pagi/malam
 Krim kortikosteroid menengah pagi dan malam
 Jemur di matahari ±10 menit antara jam 10.00-15.00
PENCEGAHAN
Untuk mencegah terjadinya Pityriasis versicolor dapat disarankan
pemakaian 50% propilen glikol dalam air untuk pencegahan kekambuhan.
Pada daerah endemik dapat disarankan pemakaian ketokonazol 200 mg/hari
selama 3 bulan atau itrakonazol 200 mg sekali sebulan atau pemakaian
sampo selenium sulfid sekali seminggu.
Untuk mencegah timbulnya kekambuhan, perlu diberikan pengobatan
pencegahan, misalnya sekali dalam seminggu, sebulan dan seterusnya.
Warna kulit akan pulih kembali bila tidak terjadi reinfeksi. Pajanan terhadap
sinar matahari dan kalau perlu obat fototoksik dapat dipakai dengan hati-hati,
misalnya oleum bergamot atau metoksalen untuk memulihkan warna kulit
tersebut.
PROGNOSIS
Prognosisnya baik dalam hal kesembuhan bila pengobataan dilakukan
menyeluruh, tekun dan konsisten. Pengobatan harus di teruskan 2 minggu
setelah fluoresensi negatif dengan pemeriksaan lampu Wood dan sediaan
langsung negatif.13,14

7. Bagaimana penatalaksanaan awal dan tindakan pencegahan pada


skenario?
Penatalaksanaan dan Pencegahan
Pengobatan infeksi jamur dibedakan menjadi pengobatan non
medikamentosa dan pengobatan medikamentosa.
 Non medikamentosa: menurut badan POM RI (2011) ,dikatakan bahwa
penatalaksanaan non medikamentosa adalah sebagai berikut:
a. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena
infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk
mencegah penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya. 
b. Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara berganti
an dengan orang yang terinfeksi.
c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas unt
uk mencegah penyebaran jamur tersebut.
d. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
e. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat
menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis
yang dapat menghambat sirkulasi udara.
f. Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan
bersihkan debu-debu yang menempel pada sepatu.
g. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami
infeksi jamur. Gunakan sandal yangterbuat dari bahan kayu dan karet
 Medikamentosa: Pengobatan dapat diberikan melalui topikal dan
sistemik. Terapi topikal direkomendasikan untuk infeksi lokal karena
dermatofit yang hidup pada jaringan kulit. Preparat yang sering digunakan
yaitu golongan imidazol, allilamin, siklopirosolamin, dan kortikosteroid.
Ketokonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang bersifat lipofilik
dan larut dalam air pada pH asam. Ketokonazol digunakan untuk
pengobatan dermatofita, pitiriasis versikolor, kutaneus kandidiasis, dan
dapat juga untuk pengobatan dermatitis seboroik. Ketokonazol 2% kream
digunakan untuk infeksi jamur di kulit yang tidak berambut seperti
dermatofita, dengan dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari
kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 1-2
kali sehari.

Obat oral atau kombinasi obat oral dan topical diperlukan pada lesi yang
luas atau kronik rekurens. Anti jamur topical yang dapat diberikan yaitu
derivate imidazole, toksiklat, haloprogin dan tolnaftat. pengobatan lokal infeksi
jamur pada lesi yang meradang disertai vesikel dan eksudat terlebih dahulu
dilakukan dengan kompres basah secara terbuka . Pada keadaan
inflamasi menonjol dan rasa gatal berat,kombinasi antijamur dengan
kortikosteroid jangka pendek akan mempercepat perbaikan klinis dan
mengurangi keluhan pasien.
 Peran Nutrisi Pada Sistem Integumen (Kulit)
Kulit merupakan organ terbesar sistem metabolik aktif yang berfungsi
untuk melindungi tubuh dari cedera dan infeksi, membantu mengontrol suhu
dan immunoregulation, dan bertindak sebagai reservoir penyimpanan nutrisi
tertentu .
1. Kesehatan kulit dipengaruhi oleh usia :
- Semakin meningkat degenerasi sel penuaan keriput/tidak elastis
- Selain faktor Usia ada juga faktor yang lain yaitu diet nutrisi,radikal
bebas ,iklim, sinar matahari dll.
- Karena kebutuhan metabolik yang tinggi, kulit memiliki kebutuhan
yang relatif tinggi akan  energi, protein, dan nutrisi penting lainnya.
2. Ketidakseimbangan gizi dapat terjadi sebagai akibat dari:
 Makan yang buruk atau nilai gizi tidak seimbang, atau
 Gangguan fungsional organ yang mempengaruhi kemampuan untuk
mencerna dan menyerap, nutrisi digunakan gangguan metabolisme
3. Jenis nutrisi yang diperlukan untuk kesehatan kulit
 Selenium - Membantu menjaga kesehatan rambut dan kuku,
meningkatkan imunitas, bekerja sama dengan vitamin E untuk
melindungi sel dari kerusakan. (Bawang putih,  kacang brasil, daging,
telur, unggas, hasil laut).
 Beta-carotene - memelihara kulit sehat, membantu mencegah infeksi
dan kebutaan malam, mendorong pertumbuhan dan perkembangan
tulang. (wortel, tomat, bayam, brokoli, kentang manis dan labu kuning)
 Vitamin E - berguna sebagai pelindung dari esensi lemak dalam sel
darah merah dan membranes sel. merupakan antioksidan lain yang
bisa mencegah kerusakan kulit akibat sinar matahari. Vitamin ini juga
berperan sebagai antiperadangan dan menguatkan sistem kekebalan
tubuh. (Peanut butter, kacang-kacangan, biji-bijian, minyak nabati dan
mentega, gandum kuman, alpukat).
 Vitamin C - menghancurkan radikal bebas di dalam dan di luar sel.
Membantu dalam pembentukan partikel jaringan, penyembuh luka dan
penyerapan zat besi. (Peppers, tomat, jeruk buah-buahan  brokoli,
bayam, kubis, kentang, mangga, pepaya).
 Vitamin A  - kandungan antioksidannya membantu mencegah infeksi
serta mendukung pertumbuhan dan perbaikan sel-sel, jaringan  kulit.
Membantu menjaga kelembaban lapisan kulit bawah. Kekurangan
vitamin A bisa menyebabkan kulit kering, gatal dan kehilangan
elastisitas.
 Vitamin B Kompleks (riboflavin, niacin, B-6, B-12 dan biotin) -
Paling banyak terkandung di whole grain dan sereal whole grain, juga
produk-produk sereal serta biji-bijian yang diperkaya. Jika tidak terlalu
suka sereal Anda bisa juga mendapatkan vitamin ini pada beras,
oatmeal, biji bunga matahari, ikan, telur, hati dan produk susu rendah
lemak.Vitamin B Klompeks berguna untuk mengurangi rasa kering dan
gatal di kulit. Kekurangan vitamin B dapat menyebabkan kulit kering,
mengelupas dan sensitif.
 Asam lemak esensial seperti omega-3 dan omega-6 membantu
memproduksi lapisan minyak pelindung alami kulit serta mencegah
munculnya jerawat. sumber lemak esensial ini dari minyak zaitun dan
canola oil, biji rami, kenari, serta jenis ikan seperti salmon, sarden dan
makarel.
Selain vitamin dan mineral, untuk mewujudkan kulit sehat tubuh juga
memerlukan nutrisi makro yang baik, di antaranya:
1. Karbohidrat
zat gizi ini dikandung dalam roti, beras (sebaiknya beras merah) dan
oatmil. Karbohidrat penting untuk energy
2. Protein
Daging, unggas, telur, ikan, kacang-kacangan dan tahu adalah
sumber protein terbaik. Protein dibutuhkan kulit khususnya dan
tubuh secara keseluruhan untuk energi, serta memperbaiki jaringan
dan sel tubuh.
3. Lemak
Terdapat pada minyak sayur, lemak unggas, minyak kedelai,
kacang-kacangan dan biji-bijian. Lemak cukup penting untuk
menjaga agar kulit tetap sehat dan lembab.
Kekurangan lemak dapat menyebabkan kulit yang kering, bersisik
dan terkelupas serta rontoknya rambut.
4. Air
Air putih adalah sumber terbaik.Namun asupan cairan yang baik
juga didapat dari buah-buahan, sayur-sayuran dan produk susu. Air
sangat penting untuk hidrasi sel, serta  berperan dalam meregulasi
suhu tubuh. Air juga bertugas membawa nutrisi ke sel-sel dan
sampah hasil metabolisme keluar dari sel.
8. Perspektif Islam yang sesuai pada scenario
HR. Bukhari dan Muslim
”At-Tha’un (penyakit menular) adalah na’jis yang dikirimkan kepada suatu
golongan dari golongan orang israil dan kepada orang-orang sebelummu.
Maka apabila kamu mendengar penyakit menular tersebut terjangkit
disuatu tempat, janganlah kamu memasuki daerah tersebut . dan apabila di
suatu tempat berjangkit penyakit menular tersebut sedang kamu sedang
kamu berada di dalamnya janganlah kamu keluar atau lari dari
padanya.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Q.S Asy-Syu’ara ayat 79-82

(yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki
aku, dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan
apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan
mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan Yang
amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat.”(Q.S
Asy-Syu’ara ayat 79-82)

Anda mungkin juga menyukai