Anda di halaman 1dari 22

SORE THROAT

STEP 3

1. Bagaimana anatomi, fisiologi, dan histologi dari faring dan tonsil?

Anatomi Faring – Tonsil

FARING
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang bentuknya besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini
mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra
servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,
ke depan berhubungan berhubungan dengan rongga mulut melalui istmus
orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring
dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring
pada orang dewasa kurang lebih 14 cm, bagian ini merupakan bagian dinding
faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput
lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.
Faring terbagi atas Nasofaring, Orofaring, dan Laringofaring (Hipofaring).
Unsur faring meliputi : Mukosa, Palut Lendir (Mucous Blanket), dan Otot.
Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada
Nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosannya bersilia,
sedang epitel torak yang berlapis mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya
yaitu Orofaring, dan Laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna,
epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.
Di sepanjang faring banyak ditemukan sel jaringan limfoid yang terletak
dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam system retikuloendotelial. Oleh
karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.
Palut Lendir
Dinding Nasofaring dilalui oleh udara pernafasan yang diisap melalui
hidung. Di bagian atas, Nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas
silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini
berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap.
Palut lendir ini mengandung enzim Lyzozyme yang penting untuk proteksi.
Otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan yang melingkar (sirkular) dan
memanjang (longitudinal). Otot-otot sirkular terdiri dari m.konstriktor faring
superior, media, dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot ini
berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian
atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di
belakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut “rafe faring” (raphe pharyngis).
Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini depersarafi
oleh n.vagus (n.X)
Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. letak otot-otot
ini disebelah dalam. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik
faring, sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan
bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja
kedua otot itu penting pada waktu menelan. M.stilofaring dipersarafi oleh n.IX
sedangkan m.palatofaring dipersarafi oleh n.X.
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam
satu sarung fasia dari mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor veli palatini,
m.palatoglossus, m.palatofaring, dan m.azigos uvula.
M.levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan
kerjanya untuk menyempitkan istmus faring dan memperlebar ostium tuba
eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
M.tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk
mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba Eustachius. Otot
ini dipersarafi oleh n.X.
M.palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya
menyempitkan isthmus faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
M.palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh
n.X.
M.azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan
menaikkan uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
FARING
Faring terdiri dari 3 bagian, yaitu ;
Nasofaring
Batas atas : basis tenggorok
Batas bawah : Palatum mole
Batas depan : Coana
Batas belakang : Vertebra cervikal
Orofaring
 Batas atas : Nasofaring
 Batas bawah : Tepi atas epiglotis
 Batas depan : Cavum Oris
 Batas belakang : Vertebra Cervikal II, III
Hipofaring
 Batas atas : Orofaring
 Batas bawah : Tepi atas Epiglotis
 Batas depan : Tepi belakang Epiglotis
 Batas belakang : Vertebra cervikal

TONSIL
Tonsila Palatina
Tonsila palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fossa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pillar anterior dan pillar
posterior. (Kornblut AD . 1991 ). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 20 – 25
mm, dengan lebar 15- 20 mm, dimana masing – masing tonsil mempunyai 8 – 20
kripta yang terdiri dari jaringan connective tissue seperti jaringan limpoid dan
berisi sel limpoid . Tonsila palatina kaya akan pembuluh darah yang berasal dari
cabang arteri karotis eksterna. Pendarahan utama tonsil berakhir pada bagian lateral
tonsil, sedangkan arteri karotis interna berada kira – kira 2 cm posterolateral tonsil.
Pendarahan lain pada bagian anterior tonsil yang merupakan cabang dari arteri
lingualis dorsal, sedangkan bagian inferior tonsil merupakan cabang dari arteri
fasialis dan bagian superior tonsil berasal dari arteri palatina desenden.
(Paparela.1991).
Sistem pendarahan vena pada tonsil melalui vena para tonsillar, vena – vena
ini melalui pleksus faringeal atau vena fasial setelah bercabang pada otot
konstriktor superior. ( Brodsky L, 2006)
Kripta Tonsil
Kripta tonsil berbentuk saluran yang tidak sama panjang dan masuk
kebagian dalam jaringan tonsil, terdiri dari 8 – 20 buah kripta, biasanya tubular dan
hampir selalu memanjang dari dalam tonsil sampai ke kapsultonsil pada permukaan
luarnya. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan
medial. Saluran kripta kearah luar biasanya bertambah luas. Secara klinis terlihat
bahwa kripta merupakan sumber infeksi baik secara lokal maupun umum karena
dapat berisi sisa makanan, epitel yang terlepas dan juga bakteri. ( Ballenger JJ.
1994)
Kapsul Tonsil
Merupakan suatu selubung fibros berwarna putih terdiri dari jaringan ikat
(fibrosa) yang disebut fasia faringeal yang menutupi 4/5 tonsil. Kapsul tonsil
mempunyai trabekula yang berjalan ke dalam daerah parenkim. Trabekula ini
mengandung pembuluh darah, saraf – saraf dan pembuluh darah limfe eferen.
Pembuluh darah eferen tidak dijumpai. ( Ballenger JJ 1994 )
Fossa Tonsilaris
Fossa tonsilaris atau sinus tonsilaris terletak diantara 2 buah plika yaitu
plika anterior dan posterior. Plika anterior dibentuk oleh otot palatoglosus, sedang
plika posterior di bentuk oleh otot palatofaringeus. Bagian luar tonsil dilindungi
oleh kapsul yang dibentuk oleh fasia faringobasilaris dan dilateral oleh fasia
bukofaringeal. (Beasley. P 1997. Balasubramanian T, 2009) Otot palatoglosus
mempunyai origo berbentuk kipas dipermukaan otot palatum molle dan berakhir
pada sisi lateral lidah. Dimana otot ini merupakan otot yang tersusun vertikal dan
diatasnya melekat pada palatum durum, tuba eustachius dan pada dasar tengkorak.
Kedua plika ini akan bertemu diatas untuk bergabung dengan palatum molle, serta
kebagian bawah berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding
lateral faring. Dinding luar fossa tonsil terdiri dari M. konstriktor faringeus
superior. sedang M. tonsilofaringeus melekat pada kapsul tonsil pada pertemuan
lobus atas dan bawah. ( Ballanger JJ .1994)

Sistem Limfatik Faring dan Tonsil

Sistim pembuluh limpatik dari tonsil menembus fasia bukofaringeal dan


melalui bagian atas kelenjar servikal. (Beasley. P 1997)

Persarafan Faring dan Tonsil


Sistem persarafan tonsil berasal dari saraf palatina, yang diteruskan ke
ganglion sfenopalatina, untuk rangsangan sensori terutama dibentuk oleh cabang –
cabang saraf glosofaringeus ( Paparella, 1991 )
SUMBER : JURNAL UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

IMUNOLOGI TONSIL
Tonsil palatina merupakan penghasil utama dari sitokin yang dihasilkan oleh
makrofag - makrofag dan partikel netrofil didalam tubuh yang merupakan
mekanisme pertahanan tubuh. Interleukin (IL) seperti IL-1β, IL-6, dan tumor
necrosis factor- α juga berperan dalam pertahanan tubuh pada fase akut. (Unal,
Ozturk 2002). Secara sistemik proses imunologi dari tonsil terbagi 3 yaitu;
1) Respon imun tahap 1.
2) Respon imun tahap 2.
3) Migrasi limfosit.
Pada respon imun tahap 1 terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai
epitel kripta yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barrier
imunologi. Sel M tidak hanya berperan untuk mentransport antigen melalui barrier
tetapi juga membentuk kompartemen intraepitel spesifik yang membawa material
asing dalam konsentrasi yang tinggi secara bersamaan. Respon imun tonsila
palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel kripta dan mencapai
daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid, sel plasma tonsil juga menghasilkan
lima jenis Ig ( Ig G 65 %, Ig A 30%, Ig M, Ig d, Ig E) yang membantu melawan
dan mencegah infeksi. Respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Dari
penelitian didapat bahwa migrasi limposit berlanjut terus menerus dari darah ke
tonsil dan kembali ke sirkulasi melalui pembuluh limfe
http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=12026

2. Mengapa pasien mengeluh ada sensasi panas, sakit di tenggorokan, demam dan
penurunan nafsu makan?

Nyeri Tenggorok

Pada radang amandel (tonsilitis), sakit dirasakan saat makan. Ini disebabkan karena
sentuhan makanan pada amandel yang sedang mengalami peradangan. Kalau radang di
sekitar amandel (abses), tidak menelan ludah ataupun makan pun terasa sakit, karena
adanya peradangan hebat di sekitar amandel.

Secara klinis peradangan ini ada yang akut (baru), ditandai dengan nyeri menelan
(odinofagi), dan tidak jarang disertai demam, sedangkan yang sudah menahun biasanya
tidak nyeri menelan, tapi jika ukurannya cukup besar (hipertrofi) akan menyebabkan
kesulitan menelan (disfagia).

Pada saat terjadinya sebuah peradangan akan dibentuk berberapa zat yang bisa
mempengaruhi temprature yang bernama pyrogen yang dibagi dua berdasarkan asalnya
yaitu: endogenous (IL-1/6, TNF, INF a) dan exogenous (zat hasil metabolisme
microorganism, toxin microba, fragment dan keseluruhan microba) yang akan
memasuki sikulasi dan menuju ke hypothalamus dalam serum, khususnya kepada
endothelium hypothalymus dimana ia akan merangsang adenosine 5’monophosphate
yang merupakan neurotransmitter yang dirangsang oleh reseptor prostaglandin E dalam
endothelium hypothalymus yang akan mempengaruh daerah yang mengatur temprature
tubuh.

SUMBER : Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Ed, 2008


Pathophysiology, the biological basis for Disease in Adults and Children 5th Ed,
2006

Bakteri dan virus masuk dalam tubuh melalui saluran nafas bagian atas akan
menyebabkan infeksi pada hidung atau faring kemudian menyebar melalui sistem
limfa ke tonsil. Adanya bakteri dan virus patogen pada tonsil menyebabkan terjadinya
proses inflamasi dan infeksi sehingga tonsil membesar dan dapat menghambat keluar
masuknya udara. Infeksi juga dapat mengakibatkan kemerahan dan edema pada faring
serta ditemukannya eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil sehingga
menyebabkan timbulnya sakit tenggorokan, nyeri telan, demam tinggi bau mulut serta
otalgia.

Invasi kuman patogen (bakteri / virus)

Penyebaran limfogen

Faring & tonsil

Proses inflamasi

Tonsilitis akut hipertermi

Edema tonsil Tonsil & adenoid membesar


Nyeri telan Obstruksi pada tuba eustakii

Sulit makan & minum Kurangnya pendengaran Infeksi sekunder

kelemahan

Resiko perubahan status Otitis media


nutrisi < dari kebutuhan
tubuh Intoleransi
aktifitas
Gangguan persepsi sensori :
pendengaran

https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CDUQFjAB&url=ht
tp%3A%2F%2Fsofaners.files.wordpress.com%2F2013%2F03%2Faskep-
tonsilitis.doc&ei=ZTDcUeShFIPJrAfB34DwAw&usg=AFQjCNEdjwf-
pxh_zJZQLF4wlGDPri6jkQ&sig2=3wUKsERklo6xa1zi0KuGkQ

Demam

a. Panas tersebut timbul akibat terjadinya infeksi yang disebabkan oleh bakteri
dimana bakteri tersebut terdapat banyak protein, hasil pemecahan protein dan
zat tertentu lain terutama toksin liposakarida yang dilepaskan oleh bakteri dapat
menyebabkan peningkatan set-point thermostat hipotalamus. Zat yang
mengandung efek seperti ini disebut pirogen.

b. Pirogen dilepaskan oleh bakteri toksik atau pirogen yang dilepaskan dari
degenerasi jaringan tubuh dapat sebabkan demam selama keadaan sakit

Fisiologi kedokteran Guyton & Hall edisi 9

Panas

Terjadinya demam  perangsangan zat pirogen eksogen yang dapat berasal dari
mikroorganisme atau merupakan suatu hasil reaksi imunologik yang tidak
berdasarkan suatu infeksi  pelepasan zat pirogen dari dalam lekosit (Benneth, et
al, 1996; Gelfand, et al, 1998). Pirogen eksogen ini juga dapat karena obat-
obatan dan hormonal, misalnya progesterone.

Pirogen eksogen bekerja pada fagosit  menghasilkan IL-1, suatu polipetida yang
juga dikenal sebagai pirogen endogen. IL-1 mempunyai efek luas dalam tubuh 
Zat ini memasuki otak dan bekerja langsung pada area preoptika hipotalamus 
Di dalam hipotalamus zat ini merangsang pelepasan asam arakhidonat 
peningkatan sintesis PGE-2  yang langsung dapat menyebabkan suatu
pireksia/ demam (Lukmanto, 1990; Gelfand, et al, 1998).

Tingkatan suhu tubuh manusia dibagi atas :

a. Hipotermia : suhu tubuh di bawah 36O C

b. Normotermi : 36-37O C

c. Subfebris : 37-37,8O C

d. Demam (Febris) : di atas 37,8O C

Dikutip dari Gelfand JA, Dinarello CA: Alteration in Body Temperature,


1998. dr. Amran Arsjad (http://leukosit.wordpress.com/2009/08/23/demam/ )

Nafsu makan menurun

Karena  disfagia (menekan esofagus), dan sindroma vena kava superior


(menekan vena kava superior) penurunan nafsu makan  penurunan BB (Amin
M, Alsagaff H. Pengantar Ilmu penyakit paru. Surabaya: Airlangga University
Press; 1989).

3. Bagaimana mekanisme terjdinya pelebaran crypte? Jelaskan derajat derajat


pembesaran tonsil!

Tonsilitis kronik
Proses radang yang berulang  epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis  proses
penyembuhan  jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut  pengerutan  kripte
melebar  diisi detritus  menembus kapsul tonsil  perlekatan dengan jaringan di
sekitar fossa tonsilaris  pada anak + pembesaran kelenjar submandibula
1

Rusmarjono. Soepardi, E.A. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam


Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Ed. ke-6.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.

4. Apa px fisik dan px penunjang sesuai kasus?

FARING

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

1. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis, eksudat (virus
influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat).
Pada coxsachievirus dapat timbul lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash.

2. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil
hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak
petechiae pada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior
membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.

3. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan pangkal lidah,
sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.

4. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di bawah


mukosa faring dan hiperplasia lateral band. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding
posterior tidak rata dan bergranular (cobble stone).

5. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir
yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.

6. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkejuan pada mukosa


faring dan laring.

7. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit:

a. Stadium primer

Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring berbentuk bercak keputihan.
Bila infeksi berlanjut timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu
tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar mandibula

b. Stadium sekunder

Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat eritema yang menjalar ke arah
laring.

c. Stadium tersier

Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap.

2. Pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Gram.

3. Pada dugaan adanya infeksi jamur, dapat dilakukan dengan pemeriksaan

mikroskopik swab mukosa faring dengan pewarnaan KOH.

TONSIL

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

1. Tonsilitis akut:

a. Tonsil hipertrofik dengan ukuran ≥ T2.

b. Hiperemis dan terdapat detritus di dalam kripti yang memenuhi permukaan tonsil baik
berbentuk folikel, lakuna, atau pseudomembran. Bentuk tonsillitis akut dengan detritus
yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercakbercak detritus ini menjadi satu,
membentuk alur alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris.

c. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membran semu (pseudomembran)
yang menutupi ruang antara kedua tonsil sehingga tampak menyempit. Temuan ini
mengarahkan pada diagnosis banding tonsilitis difteri.

d. Palatum mole, arkus anterior dan arkus posterior juga tampak udem dan hiperemis.

e. Kelenjar limfe leher dapat membesar dan disertai nyeri tekan.

2. Tonsilitis kronik:

a. Tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan berisi
detritus.

b. Pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami perlengketan.

3. Tonsilitis difteri:

a. Tampak tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas
b. Tampak pseudomembran yang melekat erat pada dasar tonsil sehingga bila diangkat
akan mudah berdarah.

Pemeriksaan Penunjang: bila diperlukan

1. Darah lengkap

2. Swab tonsil untuk pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan Gram

5. Apa DD dan diagnosisnya?

Faringitis Akut

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus (40-60%),
bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Anak-anak dan orang dewasa
umumnya mengalami 3-5 kali infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk
faringitis setiap tahunnya.

Keluhan

1. Nyeri tenggorokan, terutama saat menelan

2. Demam

3. Sekret dari hidung

4. Dapat disertai atau tanpa batuk

5. Nyeri kepala

6. Mual

6. Muntah

7. Rasa lemah pada seluruh tubuh

Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:

1. Faringitis viral (umumnya oleh Rhinovirus): diawali dengan gejala rhinitis dan beberapa
hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea dan mual.
2. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang demam dengan suhu yang
tinggi, jarang disertai batuk, dan seringkali terdapat pembesaran KGB leher.

3. Faringitis fungal:terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.

4. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk
yang berdahak.

5. Faringitis kronik atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau.

6. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon dengan pengobatan
bakterial non spesifik.

7. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan riwayat hubungan
seksual, terutama seks oral.

Faktor Risiko

1. Usia 3 – 14 tahun.

2. Menurunnya daya tahan tubuh.

3. Konsumsi makanan dapat mengiritasi faring

4. Gizi kurang

5. Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, makanan, refluks asam lambung, inhalasi uap
yang merangsang mukosa faring.

6. Paparan udara yang dingin.

Klasifikasi Faringitis

1. Faringitis Akut

a. Faringitis Viral

Dapat disebabkan oleh rinovirus, adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV), virus influenza,
coxsachievirus, cytomegalovirus, dan lain-lain. Pada adenovirus juga menimbulkan gejala
konjungtivitis terutama pada anak.

b. Faringitis Bakterial
Infeksi grup A stereptokokus beta hemolitikus merupakan penyebab faringitis akut pada
orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).

Faringitis akibat infeksi bakteri streptokokkus group A dapat diperkirakan dengan


menggunakan Centor criteria, yaitu :

 Demam

 Anterior Cervical lymphadenopathy

 Eksudat tonsil

 Tidak ada batuk

Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor 1. Bila skor 0-1 maka pasien tidak mengalami
faringitis akibat infeksi streptokokkus group A, bila skor 1-3 maka pasien memiliki
kemungkian 40% terinfeksi streptokokkus group A dan bila skor 4 pasien memiliki
kemungkinan 50% terinfeksi streptokokkus group A.

c. Faringitis Fungal

Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring.

d. Faringitis Gonorea

Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital

2. Faringitis Kronik

a. Faringitis Kronik Hiperplastik

Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring.

b. Faringitis Kronik Atrofi

Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi,
udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga menimbulkan
rangsangan serta infeksi pada faring.

3. Faringitis Spesifik

a. Faringitis Tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru.

b. Faringitis Luetika

Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring, seperti juga penyakit lues
di organ lain. Gambaran klinik tergantung stadium penyakitnya.

Tonsilitis Akut

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan jaringan limfoid yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual
(tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/Gerlach’s
tonsil). Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak berusia 3 sampai 10 tahun.

Keluhan

1. Rasa kering di tenggorokan sebagai gejala awal.

2. Nyeri pada tenggorok, terutama saat menelan. Rasa nyeri semakin lama semakin
bertambah sehingga anak menjadi tidak mau makan.

3. Nyeri dapat menyebar sebagai referred pain ke telinga.

4. Demam yang dapat sangat tinggi sampai menimbulkan kejang pada bayi dan anak-anak.

5. Sakit kepala, badan lesu, dan nafsu makan berkurang.

6. Plummy voice / hot potato voice: suara pasien terdengar seperti orang yang mulutnya
penuh terisi makanan panas.

7. Mulut berbau (foetor ex ore) dan ludah menumpuk dalam kavum oris akibat nyeri telan
yang hebat (ptialismus).

8. Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh ada penghalang / mengganjal di tenggorok,


tenggorok terasa kering dan pernafasan berbau (halitosis).

9. Pada Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa) gejala yang timbul adalah
demam tinggi (39˚C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit tenggorokan, badan lemah,
gusi mudah berdarah dan hipersalivasi.
Faktor Risiko

1. Faktor usia, terutama pada anak.

2. Penurunan daya tahan tubuh.

3. Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu).

4. Higiene rongga mulut yang kurang baik.

5. Riwayat alergi

Diagnosis Banding

Infiltrat tonsil, limfoma, tumor tonsil

6. Apa etiologi dan faktor resiko dari skenario?

Faktor Risiko Faringitis

1. Usia 3 – 14 tahun.

2. Menurunnya daya tahan tubuh.

3. Konsumsi makanan dapat mengiritasi faring

4. Gizi kurang

5. Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, makanan, refluks asam lambung, inhalasi uap
yang merangsang mukosa faring.

6. Paparan udara yang dingin.

Faktor Risiko Tonsilitis

1. Faktor usia, terutama pada anak.

2. Penurunan daya tahan tubuh.

3. Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu).

4. Higiene rongga mulut yang kurang baik.

5. Riwayat alergi
7. Apa terapi farmakoterapi dan non farmakoterapi?

Penatalaksanaan Faringitis

1. Istirahat cukup

2. Minum air putih yang cukup

3. Berkumur dengan air yang hangat dan berkumur dengan obat kumur antiseptik untuk
menjaga kebersihan mulut. Pada faringitis fungal diberikan Nistatin 100.000-400.000 IU, 2
x/hari. Untuk faringitis kronik hiperplastik terapi lokal dengan melakukan kaustik faring
dengan memakai zat kimia larutan Nitras Argentin 25%

4. Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti virus Isoprinosine dengan dosis 60-
100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari pada orang dewasa dan pada anak <5 tahun
diberikan 50mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari

5. Untuk faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya Streptococcus group
A, diberikan antibiotik Amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 x/hari selama 10 hari dan
pada dewasa 3x500 mg selama 6-10 hari atau Eritromisin 4x500 mg/hari.

6. Pada faringitis gonorea, dapat diberikan Sefalosporin generasi ke-3, seperti Seftriakson
2 gr IV/IM single dose.

7. Pada faringitis kronik hiperplastik, penyakit hidung dan sinus paranasal harus diobati.
Pada faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi. Sedangkan, pada
faringitis kronik hiperplastik dilakukan kaustik 1 x/hari selama 3-5 hari.

8. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.

9. Analgetik-antipiretik

10. Selain antibiotik, Kortikosteroid juga diberikan untuk menekan reaksi inflamasi
sehingga mempercepat perbaikan klinis. Steroid yang diberikan dapat berupa
Deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 x/hari selama 3 hari.

Penatalaksanaan Tonsilitis

1. Istirahat cukup
2. Makan makanan lunak dan menghindari makan makanan yang mengiritasi

3. Menjaga kebersihan mulut

4. Pemberian obat topikal dapat berupa obat kumur antiseptik

5. Pemberian obat oral sistemik

a. Tonsilitis viral.

Istirahat, minum cukup, analgetika / antipiretik (misalnya, Paracetamol), dan antivirus


diberikan bila gejala berat. Antivirus Metisoprinol diberikan pada infeksi virus dengan
dosis 60-100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada
anak < 5 tahun diberikan 50mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.

b. Tonsilitis bakteri

Bila diduga penyebabnya Streptococcus group A, diberikan antibiotik yaitu Penisilin G


Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau Amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3
kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari atau Eritromisin 4 x
500 mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan Kortikosteroid karena steroid telah terbukti
menunjukkan perbaikan klinis yang dapat menekan reaksi inflamasi. Steroid yang dapat
diberikan berupa Deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak
0,01 mg/kgBB/hari dibagi 3 kali pemberian selama 3 hari. Analgetik / antipiretik, misalnya
Paracetamol dapat diberikan.

c. Tonsilitis difteri

Anti Difteri Serum diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan dosis 20.000-
100.000 unit tergantung umur dan jenis kelamin. Antibiotik penisilin atau eritromisin 25-
50 mg/kgBB/hari. Antipiretik untuk simptomatis dan pasien harus diisolasi. Perawatan
harus istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.

d. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)

Antibiotik spektrum luas diberikan selama 1 minggu, dan pemberian vitamin C serta
vitamin B kompleks.

8. Apa komplikasi yang mungkin terjadi?


Komplikasi Faringitis

Tonsilitis, Abses peritonsilar, Abses retrofaringeal, Gangguan fungsi tuba Eustachius,


Otitis media akut, Sinusitis, Laringitis, Epiglotitis, Meningitis, Glomerulonefritis akut,
Demam rematik akut, Septikemia

Komplikasi Tonsilitis

1. Komplikasi lokal

a. Abses peritonsil (Quinsy)

b. Abses parafaringeal

c. Otitis media akut

d. Rinosinusitis

2. Komplikasi sistemik

a. Glomerulonephritis

b. Miokarditis

c. Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik

9. Bagaimana prognosis yang terjadi ?

Kriteria Rujukan Faringitis

1. Faringitis luetika

2. Bila terjadi komplikasi

Kriteria Rujukan Tonsilitis

Segera rujuk jika terjadi:

1. Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, septikemia, meningitis,


glomerulonephritis, demam rematik akut.

2. Adanya indikasi tonsilektomi.


3. Pasien dengan tonsilitis difteri.

Anda mungkin juga menyukai