VAKSIN
7.1 PENDAHULUAN
Peranan vaksin dalam penanggulangan dan pencegahan penyakit infeksi telah sejak lama kita
ketahui. Terutama sejak dunia terbebas dari penyakit cacat, karena keberhasilan para peneliti
dalam menghasilkan vaksin cacar yang dapat terjangkau masyarakat diseluruh pelosok
terepencil sekalipun diseluruh dunia saat ini dunia terbebas dari penyakit cacar yang
mematikan itu. (Radji, M., 2011)
Keberhasilan serupa diharapkan pula oleh WHO terhadap vaksinasi polio dengan
telah dicanangkannya dunia bebas polio pada tahun 2005. Sampai dengan akhir tahun 1990-
an melalui kampanye internasional terhadap penanggulangan penyakit utama penyebab
infeksi seperti difteri, pertossis, polio, campak, tetanus dan tuberculosis, lebih dari 80% balita
diseluruh dunia telah divaksinasi dengan keenam jenis vaksin tersebut, sehingga dapat
menurunkan tingkat kematian bayi diseluruh dunia secara signifikan. (Radji, M., 2011)
Vaksin konvensional terdiri dari vaksin generasi pertama dan veksin generasi kedua. Vaksin
generasi pertama merupakan vaksin yang mengandung mikroorganisme hidup yang telah
dilemahkan. Dalam penggunaannya vaksin generasi pertama ini seringkali dapat bermutasi
kembali menjadi virulen sehingga menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan.
Umumnya jenis vaksin yang dilemahkan ini tidak dianjurkan diberikan kepada penderita
imunokompromais. (Radji, M., 2011)
Vaksin generasi kedua merupakan vaksin yang mengadung mikroorganisme yang
telah dimatikan menggunakan zat kimia tertantu, biasanya menggunakan formalin atau fenol.
Dalam penggunaannya vaksin yang mengandung mikroorganisme yang telah
dimatikan,sering mengalami kegagalan atau tidak mampu merangsang timbulnya respon
imun dalam tubuh. (Radji, M., 2011)
Untuk mengatasi beberapa kelemahan yang terjadi pada penggunaan vaksin generasi
pertama dan kedua, telah dikembangkan vaksin generasi ketiga yaitu vaksin rekombinan yang
86
juga dikenal dengan vaksin subunit yang mengandunng fragmen antigenic suatu
mikroorganisme yang dapat merangsang respon imun. (Radji, M., 2011)
87
Kebanyakan vaksin yang dikenal saat ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga grup
yaitu vaksin hidup yang dilemahkan, vaksin dimatikan (killed vaccine) dan vaksin subunit.
Contoh yang pertama yaitu meningitis, tuberkulosis, virus measles,rubella dsb. Vaksin
dimatikan misalnya bakteri kolera, pertusis, tifoid, virus rabies, virus influenza; sedangkan
vaksin subunit contohnya virus hepatitis B, influenza dan sebagainya.
Pembuatan vaksin dengan cara melemahkan organisme penyebab infeksi untuk
memperoleh strain yang virulerisinya sangat berkurang, sudah diakui keampuhannya. Namun
demikian vaksin ini masih banyak kelemahannya, vaksin hidup mempunyai potensi untuk
berubah menjadi virulen, sehingga dapat membahayakan pemakainya. Beberapa virus
mungkin sukar atau tidak dapat dilemahkan sehingga menjadi kendala pembuatan vaksin
ham. Sebelum vaksin hidup digunakan sediaan vaksin yang dimatikan telah digunakan
sebagai vaksin.
Inaktivasi virus biasanya dengan merusak kemampuan replikasi tetapi antigen yang
berkaitan dengan penyebab penyakit masih terpelihara sifat antigeniknya. Vaksin yang
diperoleh dengan inaktivasi ini juga mempunyai beberapa masalah. Vaksinasi memerlukan
jumlah antigen lebih besar dan jumlah fragmen sel (yang tidak bersifat antigenik) selain
antigen juga besar, sehingga jika ada substansi toksik dalam fragmen tersebut akan dapat
menimbulkan masalah toksisitas. Untuk inaktivasi, organisme tersebut memerlukan
perlakuan relatif keras supaya inaktivasi dapat sempurna; kondisi tersebut dapat merusak
antigen. Aplikasi vaksin ini juga biasanya lebih rumit daripada vaksin hidup, karena harus
diberikan dengan injeksi, sedangkan vaksin hidup dapat diberikan peroral atau intranasal.
Selain itu kekebalan yang diinduksi oleh vaksin yang dimatikan biasanya berlangsung dalam
waktu relatif singkat.
Kondisi penyimpanan kadang-kadang juga menjadi masalah, misalnya pada foot &
mouth disease. Vaksin ini biasanya diperoleh dengan menginaktivasi virus yang dibiakkan
dalam baby hamster kidney atau bovine tongue epithelial cells. Vaksin ini efektif tetapi perlu
disimpan pada temperature dingin, sehingga kurang sesuai untuk negara tropis. Prinsip yang
penting pada pembuatan vaksin ialah metode inaktivasi harus memusnahkan infektivitas
organisme, tetapi sifat antigeniknya harus tidak berubah. Untuk mengurangi beberapa
masalah yang terdapat pada kedua cara pembuatan vaksin tersebut, kemudian dikembangkan
pembuatan vaksin subunit. Sediaan ini pada prinsipnya diperoleh dengan memisahkan
partikel agen infeksi yang bersifat antigenik dan memurnikannya dari partikel-partikel lain,
sehingga didapat antigen murni. Sebagai contoh adalah antigen hepatitis B yang didapat
dengan memurnikan plasma manusia pembawa virus hepatitis B. Namun populasi pembawa
88
virus hepatitis B sangat terbatas sehingga sangat sulit memproduksi vaksin dalam jumlah
besar. Cara ini hasilnya relatif kurang efektif dalam memacu reaksi kekebalan. Dalam
perkembangan selanjutnya inovasi dalam bidang rekayasa genetika diharapkan dapat
menutup kekurangan yang telah ada.
Salah satu keuntungan dari kemajuan rekayasa genetika adalah kemampuannya
menganalisa gen secara terperinci, sehingga memungkinkan melakukan cloning atau
substitusi gen yang tak diinginkan dengan gen yang dikehendaki. Informasi ini sangat penting
dalam pengembangan vaksin sub unit, karena dengan demikian dapat
dilakukan cloning bagian DNA pengkode protein antigenik sehingga antigen tersebut dapat
diproduksi oleh bakteri atau yeast dalam jumlah besar. Cara ini sangat efektif untuk
memproduksi vaksin subunit dari berbagai agen infeksi. Vektor untuk mengekspresikan
antigen bisa bervariasi seperti E. coli, yeast atau sel mamalia. Ada beberapa contoh vaksin
subunit yang telah berhasil dipasarkan atau masih dalam pengembangan. Vaksin hepatitis B
dapat pula diproduksi dengan yeast, S. cerevisiae atau Pichia pastoris atau sel bakteri E.
coil atau sel mamalia chinese hamster ovary cells. Vaksin cholera menggunakan vektor E.
colL Vaksin herpes simplex dengan chinese hamster ovary cells. Vaksin tetanus
C. tetani menggunakan E. coil dan masih banyak lagi vaksin yang akan dapat diproduksi
dengan cara ini.
Pendekatan pembuatan vaksin subunit sedang dikembangkan oleh beberapa
perusahaan bioteknologi baik untuk vaksin manusia maupun veteriner. Namun produksi
vaksin subunit menggunakan cara rekombinan masih mempunyai masalah yang sama dengan
produksi vaksin subunit konvensionil yaitu vaksin ini kurang efektif dalam menginduksi
respon kekebalan host dibandingkan dengan vaksin sel utuh (whole cells). Untuk menutupi
kekurangan ini telah dikembangkan cara baru menghasilkan vaksin hidup whole
cells menggunakan virus vaccinia sebagai vektor. Prinsipnya memasukkan gen pengkode
antigen spesifik kedalam virus vaccinia sehingga antigen ditimbulkan oleh virus tersebut.
Teknik ini memungkinkan pembuatan vaksin hidup untuk berbagai penyakit virus, bakteri
dan parasit pada manusia & binatang. Selain itu dengan cara ini dapat diproduksi vaksin
hidup yang dapat merangsang reaksi kekebalan dengan efektif seperti halnya infeksi alami.
90
Virus dari pabrik sel ini kemudian dipisahkan dari media, dan ditempatkan dalam
media kedua untuk penumbuhan tambahan. Metode awal yang dipakai 40 atau 50 tahun yang
lalu yaitu menggunakan botol untuk menyimpan campuran, dan pertumbuhan yang
dihasilkan berupa satu lapis virus di permukaan media. Peneliti kemudian menemukan bahwa
jika botol itu berubah posisi saat virus tumbuh, virus bisa tetap dihasilkan karena lapisan
virus tumbuh pada semua permukaan dalam botol.
Sebuah penemuan penting dalam tahun 1940-an adalah bahwa pertumbuhan sel
sangat dirangsang oleh penambahan enzim pada medium, yang paling umum digunakan yaitu
tripsin. Enzim adalah protein yang juga berfungsi sebagai katalis dalam memberi makan dan
pertumbuhan sel.
Dalam praktek saat ini, botol tidak digunakan sama sekali. Virus yang sedang tumbuh
disimpan dalam wadah yang lebih besar namun mirip dengan pabrik sel, dan dicampur
dengan manik-manik, partikel mikroskopis dimana virus dapat menempelkan diri.
Penggunaan manik-manik memberi virus daerah yang lebih besar untuk menempelkan diri,
dan akibatnya, pertumbuhan virus menjadi yang jauh lebih besar. Seperti dalam pabrik sel,
suhu dan pH dikontrol secara ketat. Waktu yang dihabiskan virus untuk tumbuh bervariasi
sesuai dengan jenis virus yang diproduksi, dan hal itu sebuah rahasia yang dijaga ketat oleh
pabrik.
91
7.3.3 Pemisahan Virus
Ketika sudah tercapai jumlah virus yang cukup banyak, virus dipisahkan dari manik-manik
dalam satu atau beberapa cara. Kaldu ini kemudian dialirkan melalui sebuah filter dengan
bukaan yang cukup besar yang memungkinkan virus untuk melewatinya, namun cukup kecil
untuk mencegah manik-manik dapat lewat. Campuran ini sentrifugasi beberapa kali untuk
memisahkan virus dari manik-manik dalam wadah sehingga virus kemudian dapat
dipisahkan. Alternatif lain yaitu dengan mengaliri campuran manik-manik dengan media lain
sehingga mencuci manik-manik dari virus.
Gambar 7.2. Skema pemisahan strain virus untuk membuat vaksin virus
92
beberapa virus yang tepat mencapai tingkat atenuasi yang membuat mereka dapat diterima
untuk penggunaan vaksin, dan tidak mengalami perubahan dalam kekuatannya. Teknologi
molekuler terbaru telah memungkinkan atenuasi virus hidup dengan memanipulasi molekul,
tetapi metode ini masih langka.
Virus ini kemudian dipisahkan dari media tempat dimana virus itu tumbuh. Vaksin
yang berasal dari beberapa jenis virus (seperti kebanyakan vaksin) dikombinasikan sebelum
pengemasan. Jumlah aktual dari vaksin yang diberikan kepada pasien akan relatif kecil
dibandingkan dengan jumlah medium yang dengan apa vaksin tersebut diberikan. Keputusan
mengenai apakah akan menggunakan air, alkohol, atau solusi lain untuk injeksi vaksin,
misalnya, dibuat setelah tes berulang-ulang demi keselamatan, steritilitas, dan stabilitas.
93
Gambar 7.4. Gaun Tyvek untuk melindungi pekerja yang membuat dan mengemas vaksin
94
7.3.7 Masa depan Vaksin
Memproduksi vaksin antivirus yang aman dan dapat dimanfaatkan melibatkan sejumlah besar
langkah yang, sayangnya, tidak selalu dapat dilakukan pada setiap virus. Masih banyak yang
harus dilakukan dan dipelajari. Metode baru dari manipulasi molekul telah menyebabkan
lebih dari satu ilmuwan meyakini bahwa teknologi vaksin baru sekarang memasuki zaman
keemasan. Perbaikan vaksin sangat mungkin dilakukan di masa depan. vaksin Rabies,
misalnya, menghasilkan efek samping yang membuat vaksin tidak memuaskan untuk
imunisasi masal, di Amerika Serikat, vaksin rabies sekarang digunakan hanya pada pasien
yang telah tertular virus dari hewan yang terinfeksi dan mungkin bila tanpa imunisasi,
menjadi penyakit yang fatal.
95
Ekspresi gen asing pada hewan dapat dicapai melalui administrasi sederhana DNA
rekombinan, seperti penelitian yang pertama menunjukkan lebih dari 20 tahun yang lalu
meskipun dorongan untuk aplikasi terakhir untuk vaksin biasanya ditelusuri Wolff dkk. pada
tahun 1990.
Segera setelah itu, induksi respon antibodi, respon T-limfosit sitotoksik (CTL), dan
kekebalan protektif oleh vaksin DNA dalam model hewan mematikan dilaporkan. Sejak itu,
bidang vaksin DNA (juga disebut vaksin genetik) telah sangat aktif. Selama satu dekade
terakhir, utilitas umum pendekatan ini untuk profilaksis dan terapi dari penyakit menular dan
tidak menular telah ditetapkan , yang berpuncak pada uji klinis banyak vaksin DNA yang
berbeda terhadap manusia. Beberapa teknologi vaksin DNA generasi kedua telah
dikembangkan dan beberapa sekarang memasuki evaluasi klinis.
98
7.4.4 Aplikasi Teknik Nuklir Dalam Pembuatan Vaksin
Berdasarkan bahan dasarnya, vaksin dibagi menjadi empat tipe yaitu (1) vaksin dengan bahan
dasar organisme patogen yang dimatikan atau inaktif; (2) vaksin dengan parasit yang
dilemahkan atau daya virulensinya rendah; (3) vaksin dengan subunit protein hasil purifikasi,
rekombinasi atau proses kimia; dan (4) vaksin asam nukleat baikdeoxyribonucleic
acid (DNA) maupun ribonucleic acid (RNA).
Hal yang mulai dikembangkan untuk pembuatan vaksin adalah dengan memanfaatkan
efek radiasi. Suatu materi hidup seperti sel, bila terkena sinar gamma akan mengalami
kerusakan secara langsung atau tidak langsung. Efek langsung adalah terjadinya pemutusan
ikatan senyawa-senyawa penyusun sel. Efek tidak langsung terjadi karena materi sel
terbanyak adalah air yang apabila terkena sinar gamma akan mengalami hidrolisis dan
menghasilkan radikal bebas. Radikal bebaslah yang akan menyebabkan kerusakan materi sel.
Target utama bagian sel adalah DNA yang merupakan sumber informasi genetik sel.
Perubahan genetik sel akan berakibat pada terganggunya kinerja atau kematian sel. DNA
yang terkena radiasi akan mengalami pemutusan rantai dan dapat kembali menyusun ulang
urutan basa nitrogennya. Hasil penyusunan kembali tersebut dapat sama atau berbeda dengan
semula. Penyusunan ulang yang berbeda dapat berakibat pada kematian sel, mutasi atau
transformasi. Efek-efek yang ditimbulkan sinar gamma tersebut dapat digunakan untuk
mengiradiasi agen penyakit yang berasal dari virus, bakteri, protozoa dan cacing.
Vaksin yang menggunakan iradiasi dibagi menjadi dua macam, yaitu vaksin aktif dan
vaksin inaktif. Vaksin aktif adalah vaksin dengan bahan dasar organisme hidup yang telah
dilemahkan dengan proses iradiasi, sedangkan vaksin inaktif adalah vaksin dengan bahan
dasar organisme mati hasil iradiasi. Vaksin inaktif sendiri dibagi menjadi dua, yaitu vaksin
aktif rekombinan dan non rekombinan. Vaksin inaktif rekombinan diperoleh dengan cara
melemahkan organism terlebih dahulu melalui teknik rekombinan setelah itu diinaktivasi
dengan iradiasi. Vaksin inaktif non rekombinan adalah pemakaian iradiasi untuk inaktivasi
organisme patogen secara langsung.
Vaksin aktif yang telah dilemahkan biasanya digunakan untuk parasit yang bersifat
intraselular yang berasal dari protozoa dan cacing. Beberapa penelitian vaksin yang saat ini
dikembangkan baik pada manusia maupun hewan menggunakan teknik nuklir untuk
melemahkan organisme patogen, seperti untuk protozoa dan cacing.
Keuntungan vaksin jenis ini adalah dapat mengaktifkan seluruh fase sistem imun,
meningkatkan respon imun terhadap seluruh antigen (proses inaktivasi dapat menyebabkan
perubahan antigenisitas), durasi imunisitas lebih panjang, biaya lebih murah, lebih cepat
99
menimbulkan respon imunitas, mudah dibawa ke lapangan, dapat mengurangi wild type.
Tetapi vaksin jenis ini memiliki beberapa kelemahan dimana vaksin ini kurang baik apabila
digunakan pada daerah tropis dan pada penderita penyakit defisiensi imun serta adanya
kemungkinan terjadi mutasi balik yang menyebabkan daya virulensi menjadi tinggi.
Hasil percobaan terdahulu menunjukkan bahwa booster yang diberikan akan
bermanfaat apabila diberikan pada saat tingkat produksi/titer antibodi menjelang puncaknya,
sehingga akan meningkatkan daya kekebalan pada hewan yang bersangkutan. Disamping itu
pertambahan bobot badan hewan tidak terganggu karena parasit penantang yang diberikan
tidak bisa berkembang dan tidak infektif lagi. Kegiatan percobaan ini merupakaan kelanjutan
dalam menguji bahan vaksin iradiasi untuk melihat potensi dan keamanannya serta
penerapannya pada kondisi lapang. Dosis iradiasi terhadap parasit yang digunakan adalah 45
Gy di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi BATAN Jakarta. Contoh vaksin aktif
protozoa adalah malaria pada stadium sporozoit dengan dosis iradiasi berkisar 150 200 Gy.
Vaksin inaktif contohnya Leishmania, yaitu penyakit Kala-azar yang ditimbulkan oleh
protozoa. Keuntungan vaksin ini adalah memberikan imunitas humoral yang tinggi bila
diberikan booster, tidak menyebabkan mutasi atau reversi, dapat digunakan untuk pasien
defisiensi imun, cocok digunakan untuk daerah tropis tetapi vaksin jenis ini
membutuhkanbiaya yang lebih tinggi karena membutuhkan booster.
Vaksin inaktif rekombinan contohnya untuk penyakit yang disebabkan
bakteri Brucellaabortus, yaitu penyakit menyebabkan keguguran pada ternak ruminansia
maupun manusia. Rekombinasi dilakukan untuk melemahkan bakteri dengan cara
menginsersikan gen plasmid bakteri Escherichia coli sehingga B. abortus memiliki
karakteristik membran yang samadengan E. coli. Selanjutnya mutan tersebut
yang diinaktivasi dengan iradiasi sinar gamma dengan dosis 300 Gy.
Hal yang penting selain mendapatkan dosis optimum iradiasi selama melakukan
pengembangan vaksin adalah optimasi laju dosis. Laju dosis akan mempengaruhi proses
kualitas vaksin yang diinaktivasi atau dilemahkan.
7.6 REFERENSI
1. Kayser, O., dan Muller, R.H. (2004). Pharmaceutical Biotechnology; Drug Discovery and
Clinical Applications. Willey-VCH: German.
2. Radji, M. (2011). Rekayasa Genetika; Pengantar untuk Profesi Kesehatan. Sagung Seto: Jakarta.
101