Anda di halaman 1dari 32

TUGAS KHUSUS

BIDANG PENGUJIAN LABORATORIUM MIKROBIOLOGI


BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
DI BANDUNG
PERIODE JANUARI 2018

RESUME DASAR-DASAR KEAMANAN VAKSIN

Disusun Oleh:

Nama NIM Instansi


Marita Isti Wulandari 260112170045 UNPAD
Amanda Adistya 1401826 UPI
Annisa Aprinandri I 1405659 UPI
Julia Francesca N 1407073 UPI
MODUL 1: INTRODUKSI KEAMANAN VAKSIN
1.1 Sejarah Pengembangan Vaksin
Pada tahun 1796 seorang dokter yang berasal dari Inggris bernama E. Jenner
sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan konsep imunisasi modern. Beliau
berhasil menginokulasi bahan yang didapatkan dari nanah cowpox (cacar sapi) kepada
pasien untuk mencegah cacar yang disebabkan oleh virus sejenis. Pada tahun 1900,
dikenal dengan dua jenis vaksin virus untuk manusia yaitu vaksin cacar dan vaksin
antirabies, dan tiga vaksin dari bakteri untuk mencegah typhoid, kolera, dan pes. Pada
abad ke 20 beberapa jenis vaksin lain ditemukan seperti, vaksin pertusis (batuk rejan),
vaksin difteri, vaksin tetanus, vaksin polio, vaksin campak, vaksin rubela. Sampai saat
ini ada lebih dari 20 jenis vaksin untuk PD3I.
1.2 Penguatan Program Pengembangan Imunisasi WHO
Pada tahun 1974, WHO melaunching PPI (Program Pengembangan Imunisasi)
dengan tujuan setiap anak (< 1 tahun) mendapat perlindungan dari 6 penyakit yaitu
tuberculosis, polio, difteri, pertusis, tetanus, dan campak. Sampai tahun 1990 imunisasi
yang dilakukan secara rutin telah melindungi lebih dari 80% anak-anak di dunia dari
enam jenis PD3I. Setelah itu di beberapa negara selain ke-6 antigen, dan beberapa
vaksin baru ditambahkan dalam imunisasi rutin. Pada tahun 1999, dibentuk GAVI
(Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi) yang meluaskan pencapaian PPI dan
membantu negara-negara berkembang untuk mengintroduksi vaksin baru ke dalam
program nasional.
1.3 Harapan Terhadap Keamanan Vaksin
Walaupun vaksin dikategorikan aman. Teteapi secara umum masyarakat tidak
bisa mengabaikan KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) walau sekecil apapun.
Untuk itu peran BPOM untuk memastikan kualitas, keamanan, dan efektivitas vaksin
dan produk farmasi lainnya dengan cara, produk vaksin harus selalu di review secara
terus mennerus, BPOM harus memantau dan menginvestigasi KIPI untuk memastikan
keamanan vaksin, sebelum diedarkan vaksin harus dinilai dalam suatu uji klinis.
1.4 Bagaimana Sistem Imunitas Bekerja
Sistem imunitas berfungsi untuk mengenal dan menghancurkan benda asing yang
masuk ke dalam tubuh manusia termasuk patogen. Patogen merupakan benda atau
bahan yang menimbulkan penyakit pada manusia (virus atau bakteri). Sistem imunitas
merespon masuknya bakteri atau virus ke dalam tubuh manusia melalui mekanisme
yang kompleks. Sistem imunitas mengenal antigen yang unik dari suatu bakteri atau
virus yang merangsang timbulnya antibodi dan limfosit. Limfosit ini yang mengenali
antigen yang masuk kemudian menghancurkannya.
1.5 Bagaimana Vaksin Bekerja
Pemberian vaksin mempunyai tujuan yaitu merangsang sistem kekebalan tubuh
dalam melawan antigen, sehingga apabila antigen tersebut menginfeksi kembali,
menghasilkan reaksi imunitas yang lebih kuat. Vaksin mengandung antigen yang sama
dengan antigen yang menyebabkan suatu penyakit, namun antigen yang ada pada
vaksin sudah dilemahkan maka pemberian vaksin tidak menyebabkan orang menderita
penyakit seperti jika orang tersebut terpapar dengan antigen yang sama secara alamiah.
Imunisasi memicu respon sistem kekebalan tubuh dimana vaksin akan membentuk
kekebalan dalam jangka panjang yang biasanya didapat secara alamiah setelah
penyembuhan penyakit infeksi.
1.6 Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
a. Bacillus tuberculosis  Vaksin BCG (Bacillus Calmete Guirine)
b. Poliovirus  Vaksin polio oral (diteteskan)/ OPV, vaksin polio in active
(disuntikkan)/ IPV
c. Corynebacterium diphteriae (Difteri)  Vaksin DT (difteri vaksin yang
dikombiansikan dengan tetanus)
d. Clostridium tetani  Vaksin TT (Tetanus Toksoid), DT (Difteri Tetanus), DPT
(Difteri, Pertusis, Tetanus)
e. Pertusis  Vaksin pertusis ada dua macam yaitu wP dan aP (bebas dari sel)
f. Campak (measles virus)  vaksin campak
g. Hepatitis B virus  Vaksin Hepatitis B
h. Ritavirus  Vaksin Rotavirus
i. Haemophilus influenza type B (Hib)  Vaksin Hib conjugate
j. Streptococcus pneumoniae (infeksi oleh penumococcus)  Vaksin pneumonia
k. Yellow fever virus  Vaksin Yellow Fever
1.7 Jenis-jenis Vaksin
Vaksin tersedia dalam berbagai jenis yang tersedia di pasaran. Berikut merupakan
jenis vaksin berdasarkan kandungan antigen, yaitu:
1. Vaksin yang hidup (live attenuated)
- Vaksin Polio Oral (OPV)
- Campak (measles)
- Rotavirus
- Demam Kuning (Yellow Fever)
2. Vaksin yang sudah dimatikan (inactive/killed antigen)
- Whole-cell pertussis (vaksin pertusis utuh)
- Inactivated Polio Virus (IPV)
3. Vaksin yang berisi sub unit dari antigen (antigen yang sudah dimurnikan)
- Acelluler Pertussis (aP)
- Haemophilus influenzae type B (Hib)
- Hepatitis B (Hep B)
- Vaksin berisi toksoid (Toksin yang sudah diinaktivasi)
- Toksoid Tetanus
- Difteri toksoid
MODUL 2:
2.1 Jenis-Jenis Vaksin
Formulasi vaksin mempengaruhi bagiamana cara pemakaiannya, bagaimana cara
penyimpanannya dan bagaimana cara pemberiannya. Jenis vaksin yang digolongkan
sesuai dengan jenis antigen yang ada didalamnya dan selama ini telah dipakai secara
global yang dibahas dalam modul ini dibagi dalam 4 jenis:
1. Vaksin yang hidup (Live Attenuated Vaccine)
Vaksin jenis ini merupakan salah satu jenis vaksin yang dibuat dari
mikroorganisme patogen dari virus dan bakteri yang sudah dilemahkan di
laboratorium. Contoh vaksin dari virus yang menggunakan vaksin jenis ini yang
dianjurkan oleh WHO diantaranya adalah polio oral, campak, rotavirus, dan demam
kuning. Sedangkan yang bersumber dari bakteri dan menggunakan vaksin jenis ini
adalah Tuberkulosis (BCG). Mikroorgaisme yang dilemahkan tersebut akan tumbuh
dan tubuh penerima vaksin tetapi tidak menyebabkan sakit atau hanya sakit ringan saja
karena sudah dilemahkan. Respon kekebalan yang dihasilkan oleh vaksin hidup yang
dilemahkan (LAV) dapat merangsang respon kekebalan tubuh dengan baik, karena
kuman hidup memberikan rangsangan antigenik secara terus menerus sehingga
memberikan kesempatan kepada sel imun untuk memproduksi sel memori. Dalam hal
virus atau mikroorganisme intraseluler dimana biasanya dibutuhkan reaksi kekebalan
yang dimediasi sel (cell-mediated immunity cell adalah respon imun yang tidak
melibatkan antibodi, sel darah spesifik, leukosit, dan limfosit menyerang dan
menghancurkan antigen.), kuman patogen dapat bereplikasi di dalam sel inangnya.
Orang yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan tubuh seperti pada penderita
HIV-AIDS kemungkinan mereka tidak bisa memberikan respon yang sama kuat
terhadap patogen walaupun sudah dilemahkan. Sebagai langkah kehati-hatian maka
vaksin hidup yang dilemahkan cenderung tidak diberikan kepada ibu hamil, walaupun
kemungkinan vaksin hidup yang dilemahkan dapat mempengaruhi kesehatan bayi yang
akan dikandungnya masih sangat teoritis. Sebagai contoh banyak penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa pemberian vaksinasi rubela selama kehamilan tidak
meningkatkan risiko terjadinya kecacatan pada bayi. Sebagai rangkuman pada LAV
dapat disimpulkan sebagai berikut:
Keuntungan Kerugian
Mikroorganisme hidup memberikan Patogen yang dilemahkan dapat
rangsangan antigenik terus menerus berubah ke bentuk aslinya dan
sehingga sel imun memproduksi sel menimbulkan penyakit
memori.
Patogen yang dilemahkan dapat Potensi berbahaya bagi individu
bereplikasi di dalam sel pejamu. dengan sistem imun kompromis.
Infeksi menetap seperti BCG
Kontaminasi pada biakkan jaringan
Rentan kesalahan prosedur
imunasasi
Biasanya tidak diberikan pada ibu
hamil.

2. Vaksin yang sudah dimatikan (inactivated/killed antigen).


Vaksin yang diinaktivasi dibuat dari mikroorganisme (virus, bakteri dan lain-
lain) yang telah dimatikan dengan proses menggunakan bahan kimia tertentu atau
secara fisik. Mikroorganisme yang sudah mati ini tidak dapat menyebabkan penyakit.
Vaksin yang dibuat dari bakteri utuh yang sudah diinaktivasi kalau diberikan kepada
seseorang tidak selalu bisa merangsang timbulnya respon imunitas dan walaupun
timbul kekebalan mungkin tidak kebal seumur hidup. Diperlukan beberapa dosis untuk
untuk bisa menimbulkan respon kekebalan yang memadai. Vaksin jenis ini yang
dianjurkan oleh WHO adalah pertusis (wP) dan polio yang diinaktivasi. Adapun
keuntungan dan kerugian dari vaksin jenis ini adalah:
Keuntungan Kerugian
Tidak berisiko merangsang suatu Tidak selalu merangsang respon imun
penyakit. pada pemberian pertama.
Lebih aman dan stabil dibandingkan Respon tidak memberikan
dengan LAV. perlindungan jangka panjang sehingga
memerlukan dosis banyak dan berkali-
kali.

3. Vaksin yang berisi sub unit dari antigen (antigen yang sudah dimurnikan)
Vaksin subunit, seperti vaksin inaktivasi sel utuh, tidak mengandung komponen
patogen hidup. Berbeda dengan vaksin inaktivasi yang berisi sel utuh,vaksin subunit
hanya mengandung sebagian dari komponen patogen. Bagian dari patogen ini dapat
merangsang pembentukan respon kekebalan. Untuk mendapatkan vaksin subunit,
maka bagian mana dari patogen yang dapat berfungsi sebagai antigen untuk
merangsang respon kekebalan harus diteliti dengan tepat untuk mendapatkan respon
kekebalan melalui cara pemberian yang tepat. Vaksin subunit dikategorikan kedalam
3 kategori, yaitu:
a) Vaksin subunit berbasis protein
Vaksin subunit yang berbasis protein, berisi protein spesifik yang diisolasi dari
patogen, dan tidak mengandung partikel dari virus. Kelemahan dari teknik ini
adalah apabila mengalami denaturasi, maka protein ini dapat berikatan dengan
antibodi-antibodi lain yang tidak spesifik dengan antibodi terhadap protein
patogen. Contoh vaksin subunit protein yang sering digunakan adalah Pertusis
Aseluler (aP) dan Hepatitis B (Hep B).
b) Vaksin polisakarida
Vaksin jenis ini merupakan jenis bakteri tertentu yang apabila menginfeksi
seseorang dapat diproteksi oleh kapsul polisakarida (gula) untuk bertahan dari
sistem pertahanan tubuh seseorang, terutama pada bayi dan anak-anak. Vaksin jenis
polisakarida ini dapat merangsang respon kekebalan terhadap molekul dalam
kapsul patogen. Molekul ini sangat kecil dan sangat imunogenik. Contohnya adalah
vaksin meningitis meningokokus.
c) Vaksin subunit konjugasi
Vaksin subunit konjugasi merangsang terjadinya respons terhadap molekul kapsul
dari patogen. Jika dibandingkan dengan vaksin polisakarida murni, maka vaksin
dengan teknologi subunit konjugasi ini dapat mengikat polisakarida dengan
protein karier. Protein karier adalah protein yang terikat dengan antigen yang
lemah untuk meningkatkan imunogenitas pada saat vaksin digunakan. dan dapat
menimbulkan respon kekebalan jangka panjang walaupun pada bayi. Contoh dari
vaksin jenis ini adalah Haemophilus influenzae type b (Hib), dan pneumokokus.
4. Vaksin yang berisi toksoid
Vaksin toksoid merupakan suatu vaksin yang dibuat dari toksin (racun) yang
sudah tidak berbahaya lagi, namun masih dapat merangsang respon imun melawan
toksin tersebut. Dibuat dari toksin yang dihasilkan oleh bakteri tertentu (seperti tetanus
atau difteri). Toksin ini masuk dalam aliran darah dan menyebabkan gejala penyakit.
Toksin berbasis protein tidak berbahaya dan digunakan sebagai antigen yang dapat
merangsang kekebalan. Vaksin toksoid sangat aman, dikarenakan tidak dapat
menyebabkan penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin ini dan tidak ada kemungkinan
berubah mernjadi virulen. Antigen pada vaksin ini tidak berkembang biak dan tidak
menyebar (menular) pada individu yang tidak mendapatkan imunisasi. Vaksin ini stabil
dan tidak begitu terpengaruh oleh perubahan suhu, sinar dan kelembaban. Reaksi yang
mungkin terjadi dari vaksin Tetanus Toksoid adalah Anafilaksis. Anafilaksis adalah
kejadian akut yang melibatkan multisistem dalam tubuh manusia sebagai reaksi alergi
(IgE imediated) terhadap substansi asing yang masuk kedalam tubuh seseorang.
Substansi asing ini dapat berupa obat, vaksin ataupun makanan. Gejala anafilaksis
termasuk sulit bernafas, penurunan kesadaran, dan penurunan tekanan darah. Kondisi
ini dapat bersifat fatal dan memerlukan tindakan medis dengan segera. (1–6 / juta dosis)
dan Brachial Neurutis, (dikenal juga sebagai neuropati plexus brakhialis atau
amiotrofik neuralgika) Neuropati yang bergejala nyeri dan sakit yang menetap pada
bahu dan lengan atas serta kelemahan otot. (5–10 kejadian / juta dosis) adalah sangat
jarang.
5. Vaksin Kombinasi
Vaksin kombinasi adalah vaksin yang berisi dua atau lebih antigen dalam satu
kemasan vaksin (MMR, DTP). Melalui uji klinik yang ketat sebelum diizinkan beredar
oleh NRA (National Regulatory Authorities), dan di Indonesia NRA adalah BPOM
(Badan Pengawasan Obat dan Makanan). Badan regulasi yang memberikan izin,
prosedur untuk meyakinkan obat-obatan termasuk vaksin, bahwa keamanan dan
potensinya terjamin. Pabrik vaksin bertanggung jawab memproduksi batch vaksin yang
memenuhi persyaratan uji spesifisitas yang diberikan oleh NRA. NRA juga
bertanggung jawab secara resmi terhadap proses lot rilis vaksin sesuai dengan data dan
informasi yang diberikan oleh produsen vaksin dan bertanggung jawab terhadap semua
jenis uji konfirmasi. untuk menjamin keamanan, efektifitas dan kualitasnya. Vaksin
kombinasi ini dapat menyederhanakan pemberian dan memungkinkan introduksi
vaksin baru tanpa menambah jumlah kunjungan ke klinik dan jumlah suntikan.
Keuntungan jenis vaksin kombinasi ini diantaranya adalah:
1. Mengurangi biaya penyimpanan, dan biaya pemberian vaksin apabila antigen
tersendiri.
2. Mengurangi biaya kunjungan ke klinik.
3. Memperbaiki waktu pemberian vaksin menjadi lebih singkat. (banyak orang tua
bayi/anak dan petugas kesehatan enggan dengan penyuntikan lebih dari satu kali
kepada seorang anak dalam satu kali kunjungan. Hal ini berkaitan dengan
kebanyakan anak takut disuntik, sebagian juga karena takut akan keamanan vaksin.
4. Memfasilitasi tambahan pada vaksin-vaksin baru ke dalam program inunisasi.
2.2 Komponen-Komponen Yang Ada Dalam Vaksin
Vaksin berisi berbagai antigen antara lain antigen, stabilizer, ajuvant, antibiotik,
pengawet. Vaksin dapat juga mengandung residu dari proses produksi. Mengetahui
dengan persis apa saja yang ada didalam satu jenis vaksin akan dapat membantu dalam
investigasi apabila terjadi KIPI. Dan dapat juga untuk membantu untuk mencari pilihan
vaksin lain apabila seseorang alergi terhadap salah satu komponen vaksin yang
dicurigai.
1. Antigen
Antigen adalah komponen yang dihasilkan dari struktur organisme penyebab
penyakit yang dikenal sebagai ‘benda asing’ oleh sistem kekebalan tubuh manusia.
Antigen ini dapat merangsang terbentuknya imunitas.
2. Zat Penstabil
Stabilizer digunakan untuk menjamin stabilitas vaksin saat disimpan. Stabilitas
sangat penting apabila disimpan dalam sistem rantai dingin yang tidak baik.
Instabilitas dapat menyebabkan hilangnya antigenisitas dan menurunkan infeksitas
vaksin hidup (LAV). Faktor yang mempengaruhi stabilitas vaksin antara lain, suhu,
pH. Vaksin bakterial tidak stabil diakibatkan oleh proses hidrolisis atau agregasi
dari molekul karbohidrat dan protein. Bahan yang dipakai sebagai stabilizer antara
lain MgCl2 (untuk OPV), MgSO4 (untuk vaksin campak), lactose-sorbitol dan
sorbitol – gelatin.
3. Adjuvan
Secara kimia, adjuvan merupakan kelompok senyawa yang heterogen dengan
hanya satu persamaan yaitu kemampuannya untuk merangsang respon kekebalan.
Terdapat variasi yang besar tentang bagaimana mereka mempengaruhi sistem
kekebalan dan sejauh mana reaksi simpang yang timbul akibat hiperaktivasi sistem
kekebalan.
4. Antibiotik
Antibiotik (dalam jumlah yang sedikit) dipakai dalam proses pembuatan vaksin,
dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri pada kultur sel
dimana virus sedang dikembangbiakkan. Biasanya kadar antibiotika yang terdeteksi
dalam vaksin sangat rendah, misalnya pada vaksin MMR dan IPV, hanya ada 25µgr
neomycin untuk setiap dosis vaksin (< 0, 000025 gr). Orang yang alergi terhadap
neomycin harus dipantau secara ketat, karena kemungkinan dapat timbul reaksi
alergi, sehingga dapat ditangani dengan cepat apabila timbul alergi.
5. Bahan Pengawet
Bahan pengawet ditambahkan pada vaksin dengan kemasan multidosis untuk
mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur. Beberapa jenis bahan pengawet seperti
thiomersal, formaldehid dan derivat feno

2.3 Cara Pemberian


Terdapat beberapa cara pemberian vaksin yang daplikasikan dan diakui,
diantaranya adalah:
1. Injeksi intramuskuler (IM): vaksin diberikan melalui suntikan kedalam massa otot.
Vaksin yang mengandung adjuvan harus diberikan secara intramuskuler untuk
mengurangi reaksi lokal. Contohnya adalah DTwP, DTaP, DT, Td, TT, Hep B,
IPV, Hib, dan PCV-7.
2. Injeksi subkutan (SK): vaksin disuntikan dibawah kulit diatas otot. Contohnya
adalah campak dan demam kuning.
3. Suntikan intradermal (ID): vaksin disuntikan pada lapisan teratas kulit. BCG adalah
satu-satunya jenis vaksin yang disuntikan secara intradermal. Pemberian BCG
secara intradermal mengurangi risiko terdjadinya kelainan neurovaskuler.
4. Oral: pemberian vaksin secara oral, mengurangi kebutuhan akan jarum suntik dan
sempit, dan membuat proses pemberian lebih mudah. Contohnya adalah OPV dan
rotavirus.
5. Intranasal: semprotan intranasal merupakan prosedur yang bebas dari jarum
dimana vaksin disemprotkan melalui mukosa nasal.
2.4 Imunisasi Pada Ibu Hamil
Vaksin influenza dan tetanus dianjurkan untuk diberikan kepada ibu hamil,
karena manfaatnya dirasakan baik untuk ibu maupun bayi mereka. Sedangkan vaksin
jenis LAV secara teoritis beresiko pada bayi yang dikandung, sehingga merupakan
kontraindikasi diberikan pada ibu hamil. Sedangkan vaksin tetanus neonatorum
biasanya fatal, namun sepenuhnya dapat dicegah melalui pemberian vaksinasi TT
kepada ibu hamil.

MODUL 3 : KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI (KIPI)


3.1 Klasifikasi KIPI
KIPI merupakan kejadian medis yang tidak diinginkan dan terjadi setelah
pemberian imunisasi, dan belum tentu memiliki hubungan kausalitas dengan vaksin.
Berdasarkan jenisnya, KIPI dibagi menjadi 5 kategori:
1. Reaksi yang terkait produk vaksin
2. Reaksi yang terkait cacat mutu vaksin
3. Reaksi yang terkait kekeliruhan prosedur imunisasi
4. Reaksi kecemasan terkait imunisasi
5. Kejadian koinsiden
KIPI dapat diakatakan serius apabila mengancam jiwa dan berakibat kematian,
kecacatan, kelainan kongenital/cacat lahir, kerusakan permanen. Sedangkan KIPI berat
merupakan peristiwa medis minor, dikatakan berat dilihat dari demam ringan atau
sedangnya.
3.2 Reaksi Vaksin
Reaksi terhadap suatu vaksin bersifat sangat individual. Reaksi vaksin dibagi
menjadi dua kelompok yaitu reaksi ringan dan reaksi berat.
1. Reaksi vaksin ringan
Reaksi lokal dan sistemik seperti rasa sakit dan demam bisa muncul setelah
imunisasi sebagai bagian dari proses reaksi kekebalan. Sebagai tambahan, komponen
lain yang ada didalam vaksin seperti ajuvan. bahan penstabil dan bahan pengawet dapat
menimbulkan reaksi vaksin. Reaksi vaksin berserta penanganannya:
a) Reaksi lokal: sakit, bengkak dan kemerahan. Penanganan: kompres dingin pada
lokasi suntikan, parasetamol
b) Reaksi sistemik: Demam > 38°C, Rewel, malaise dan gejala sistematik lainnya.
Penanganan: berikan minum yang banyak, berikan pakaian yang sejuk dan nyaman,
berikan spons hangat,b erikan minum yang banyak.
Reaksi vaksin ringan biasanya muncul sehari atau dua hari setelah imunisasi (kecuali
ruam setelah imunisasi campak muncul pada hari ke 6-12 pasca imunisasi) dan
berlangsung selama satu sampai beberapa hari.
2. Reaksi vaksin berat
Berbagai jenis vaksin dapat menimbulkan reaksi yang berbeda. Reaksi vakisn
berat dapat terjadi dengan gejala seperti:
a) Pemberian vaksin BCG: infeksi sistemik yang fatal dari BCG
b) Pemberian vaksin OPV: vaccine associated paralytic poliomyelitis (VAPP)
c) Pemberian vaksin DTwP: menangis terus menerus & kejang
d) Pemberian vaksin campak: kejang demam, anafilaksis, trombositopenia
3.3 Reaksi KIPI Akibat Kesalahan Prosedur Imunisasi
Kesalahan prosedur imunisasi dapat menimbulkan KIPI yang bersifat kluster
yaitu terjadinya dua atau lebih KIPI yang sama yang terkait dengan waktu, tempat dan
vaksin yang sama. KIPI kluster ini sering juga terjadi pada petugas kesehatan, fasilitas
kesehatan, dan atau vaksin dari vial dan batch yang sama, yang dikelola tidak sesuai
dengan SOP atau terkontaminasi. Dampak kesalahan prosedur imunisasi dapat terjadi
pada jumlah vial vaksin yang besar, misalnya vaksin membeku pada saat transportasi
dapat menyebabkan peningkatan reaksi lokal. Contoh-contoh kesalahan prosedur
imunisasi dan kemungkinan jenis KIPI:
1. Penyuntikan tidak steril
2. Kesalahan waktu melarutkan vaksin
3. Suntikan pada lokasi yang salah
4. Transportasi dan penyimpanan vaksin yang tidak sesuai SOP
5. Mengabaikan kontra indikasi
3.4 Reaksi KIPI Akibat Kecemasan karena Takut Disuntik
Seseorang dapat bereaksi sebelum atau sesudah disuntik. Reaksi ini tidak ada
kaitannya dengan vaksin, tetapi lebih kepada rasa takut disuntik. Ada 4 jenis reaksi
KIPI akibat kecemasan karena takut disuntik yaitu pusing berkunang-kunang,
hiperventilasi, muntah dan kejang.
3.5 Kejadian Koinsiden
Kejadian koinsiden terjadi setelah imunisasi tetapi tidak disebabkan oleh vaksin
atau cara pemberian imunisasi. Imunisasi umumnya dijadwalkan pada bayi dan anak-
anak usia muda. Pada usia ini berbagai penyakit, kelainan kongenital, kelainan
neurologis umum terjadi. Kejadian koinsiden tidak dapat dihindari bila memberikan
imunisasi pada kelompok usia ini. Dengan mengetahui insiden angka morbiditas dan
mortalitas pada kelompok usia ini, sejalan dengan jadwal dan cakupan imunisasi yang
diberikan dapat diketahui estimasi kejadian koinsiden setelah imunisasi.
3.6 Kampanye Imunisasi Massal
Dalam suatu kampanye diberikan imunisasi dalam jumlah besar terhadap
populasi yang besar dalam waktu yang singkat, dengan demikian akan lebih banyak
KIPI yang dilaporkan baik oleh petugas lapangan maupun oleh masyarakat. Hal-hal
yang menimbulkan KIPI dalam imunisasi massal:
1. Petugas kurang paham dengan vaksin
2. Perbedaan usia sasaran dengan target usia imunisasi
3. Kelompok masyarakat memprovokasi isu KIPI
4. Rumor yang merusak program imunisasi massal
3.7 KIPI Rate
Salah satu bagian tugas dari setiap petugas kesehatan dan NRA/ BPOM dalam
program imunisasi adalah :
1. Mengantisipasi dan/atau mengevaluasi kemungkinan terjadinya KIPI yang terjadi
pada vaksin tertentu.
2. Membandingkan angka KIPI sebenarnya yang dilaporkan dengan angka KIPI yang
diperkirakan terjadi pada kelompok yang divaksinasi dan kelompok yang tidak di
vaksinasi.
3. Melakukan investigasi segera apabila ada laporan KIPI serius.
Untuk membantu setiap negara anggota dalam proses introduksi vaksin baru
kedalam program imunisasi mereka, WHO telah mempublikasikan lembar informasi
tentang angka kejadian KIPI untuk setiap jenis vaksin tertentu yang relevan dipakai
untuk melakukan analisis terhadap setiap kejadian KIPI yang dilaporkan. dengan
membandingkan antara angka rujukan KIPI sebagai pembanding dengan angka KIPI
yang sebenarnya yang terjadi di lapangan, kita dapat mengetahui bahwa suatu kejadian
KIPI benar-benar akibat vaksin dan vaksinasi. Faktor-faktor lain yang menyertai ketika
membandingkan angka KIPI:
1. Vaksin
Pabrik vaksin akan membuat vaksin dengan komposisi yang berbeda karena ada
perubahan ajuan dan komponen lain yang berbeda. Dengan adanya komponen
tambahan ini, reakogenitas (potensi terhadap timbulnya reaksi vaksin) akan
berbeda antara satu produk vaksin dari pabrik yang berbeda.
2. Umur
Vaksin yang sama apabila diberikan kepada kelompok umur yang berbeda akan
memberikan “vaccine atributable rates” yang berbeda.
3. Dosis vaksin
Jenis vaksin yang sama apabila diberikan sebagai “dosis primer” akan memberikan
reaktogenitas yang berbeda dibandingkan bila diberikan sebagai dosis buster.
4. Definisi kasus
Definisi KIPI yang berbeda dapat mempengaruhi angka besaran KIPI.
5. Metode surveilans
Cara data surveilans dikumpulkan dapat mempengaruhi perhitungan angka
kejadian KIPI
6. Kondisi dasar
Angka pembanding pada tiap-tiap kejadian tertentu disuatu masyarakat berbeda
satu sama lain. Perbedaan ini akan dapat mempengaruhi perhitungan angka
kejadian KIPI yang sebenarnya di masyarakat yang berbeda dengan angka reaksi
yang sama.

MODUL 4 : SURVEILANS
4.1 Farmakovigilans
Farmakovigilans merupaka kegiatan yang berkaitan dengan deteksi, penilaian,
pemahaman, respon dan pencegahan dari reaksi samping obat dan masalah potensial
yang berkaitan dengan obat-obatan termasuk Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).
Tujuan farmakovigilans:
1. Meningkatkan perhatian dan keamanan kepada pasien dalam kaitannya dengan
penggunaan obat-obatan pada intervensi medis dan paramedis termasuk
(imunisasi).
2. Meningkatkan kesehatan dan keamanan masyarakat yang berkaitan dengan
penggunaan semua obat-obatan.
3. Berkontribusi pada penilaian manfaat, kerugian, efektivitas dan resiko obat-obatan
4. Mendorong pengunaan obat-obatan dengan aman, rasional dan efektif.
5. Mendorong pemahaman, edukasi dan pelatihan klinis dalam farmakovigilans dan
komunikasi yang efektif dari peran surveilansnya ke masyarakat.
4.2 Peran BPOM dalam Regulagis Keamanan Obat
BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) bertanggung jawab untuk
menjamin bahwa setiap produk farmasi termasuk vaksin yang digunakan di suatu
negara agar berkualitas baik, efektif dan aman sesuai dengan tujuannya. Pusat
farmakovigilans mempunyai peran yang signifikan dalam surveilans efek samping obat
pasca pemasaran. Beberapa fungsinya antara lain:
1. Surveilans efek samping obat pasca pemberian lisensi
2. Pengumpulan data KIPI menggunakan metodologi standar
3. Analisis data
4. Komunikasi teratur dengan BPOM untuk memutakhirkan profil keamanan (safety
profiles)
4.3 Surveilans Reaksi Simpang Obat
Surveilans reaksi simpang obat bertanggung jawab untuk menghimpun reaksi
samping setelah pemberian obat. Surveilans efek samping obat pasca lisensi terutama
dilakukan oleh sentra farmakovigilans nasional yang bekerja sama dengan WHO
Uppsala Monitoring Center (UMC). Mereka telah mencapai banyak hal antara lain:
1. Mengumpulkan dan menganalisis laporan kasus-kasus efek samping obat,
2. Memisahkan KIPI karena reaksi vaksin dari KIPI akibat penyebab lain seperti
rumor, atau kejadian koinsidenMendukung keputusan.
3. Regulasi berdasarkan gejala yang kuat.
4. Mengingatkan permberi layanan, produsen dan publik akan risiko baru efek samping
obat.
4.4 Keamanan Imunisasi Membutuhkan Sistem Surveilans yang Disesuaikan
Keamanan vaksin merupakan proses untuk menjamin dan memonitor keamaman
semua aspek dari imunisasi, termasuk kualitas vaksin, kejadian ikutan, penyimpanan
dan penanganan vaksin, pemberian vaksin, pembuangan limbah tajam, tatalaksana
limbah. Beberapa perbedaan utama antara vaksin dan obat adalah:
1. Vaksin diperuntukan untuk orang sehat termasuk anak-anak. Biasanya masyarakat
banyak, kohort kelahiran, atau kelompok yang berisiko tinggi terhadap penyakit
atau komplikasi. Sedangkan obat untuk orang sakit.
2. Fungsi dari vaksin adalah untuk mencegah penyakit. Sedangkan obat adalah untuk
mengobati penyakit.
3. Vaksin biasanya diberikan melaui program kesehatan masyarakat.
4. Kebanyakan vaksin untuk anak diberikan pada umur tertentu atau pada situasi
tertentu seperti keadaan KLB atau sebagai syarat bepergian ke daerah terentu.
Sedangkan obatdiberikan pada saat sakit.
5. Hanya terdapat 8–15 macam vaksin bagi anak-anak yang direkomendasikan secara
global. Sedangkan obat jumlahnya ribuan macam.
4.5 Farmakovigilans Vaksin
Farmakovigilans vaksin bertujuan untuk mendeteksi kejadian ikutan secara dini
agar bisa dilakukan kajian risiko dengan seksama dan melakukan respon yang memadai
(tatalaksana risiko) terhadap masalahnya. Farmakovigilans vaksin terdiri dari 3
langkah yaitu deteksi sinyal, pengembangan hipotesis kausalitas, dan pengujian
hipotesis kausalitas.
4.6 Pertimbangan Khusus Surveilans KIPI
Ada 3 faktor utama yang harus mendapat pertimbangan khusus karena dapat
mempengaruhi jenis surveilans KIPI yang dilakukan serta hasilnya yaitu:
1. Pelatihan petugas kesehatan
Petugas kesehatan perlu dilatih untuk mendeteksi, melapor dan merespon KIPI,
termasuk menstabilkan penderita (misalnya pada kasus anafilaksis) dan
berkomunikasi dengan orangtua, masyarakat dan media.
2. Menentukan penyebab
Kesulitan dalam menentukan penyebab dari kejadian yang bersamaan merupakan
hal yang umum pada semua sistem monitoring keamanan obat dan vaksin.
3. Diperlukan kajian yang independen
Diperlukan kajian independen, yang terpisah dari program imunisasi ntuk mengkaji
efek simpang.
4.7 Interaksi Antara KIPI dan Sistem Surveilans Efek Samping Obat
BPOM merupakan satu-satunya badan dengan tanggung jawab untuk menjamin
keamanan, efektivitas dan kualitas dari vaksin. Monitoring keamanan vaksin
memerlukan keterlibatan baik program imunisasi nasional maupun BPOM. BPOM
bertanggung jawab untuk menjamin keamanan vaksin sistem surveilans KIPI yang kuat
yang diintegrasikan dengan baik dengan sistem pelayanan imunisasi.
4.8 Komponen Surveilans KIPI
Tujuan sistem surveilans KIPI yang efektif adalah untuk :
1. Mengidentifikasi masalah dalam lot atau merek vaksin yang menimbulkan reaksi
vaksin akibat komponen vaksin tersebut.
2. Mendeteksi, mengoreksi dan mencegah kesalahan prosedur imunisasi yang
disebabkan kesalahan dalam penyiapan, penanganan, penyimpanan atau pemberian
imunisasi.
3. Mencegah tuduhan yang keliru akibat KIPI koinsiden yang penyebabnya tidak
berhubungan dengan imunisasi baik diketahui ataupun tidak diketahui.
4. Menurunkan insidensi KIPI akibat kecemasan karena takut disuntik atau nyeri yang
disebabkan oleh imunisasi, dengan memberikan penyuluhan dan meyakinkan
penerima imunisasi, orang tua/wali dan masyarakat tentang keamanan vaksin.
5. Menjaga kepercayaan dengan merespon secara baik terhadap kekhawatiran orang
tua/masyarakat, sambil meningkatkan kewaspadaan (masyarakat dan tenaga
profesional) tentang risiko vaksin.
6. Membuat hipotesa baru tentang reaksi vaksin yang spesifik pada populasi di
wilayah/negara anda.
7. Memperkirakan angka kejadian KIPI di populasi lokal dibandingkan dengan data
uji coba dan internasional, khususnya untuk vaksin baru yang sedang diintroduksi.
4.9 Deteksi dan Pelaporan
Petugas kesehatan bertanggung jawab untuk mendeteksi dan melaporkan bila
terjadi KIPI. Mereka juga bertanggung jawab untuk menangani atau merujuk penderita
untuk penanganan lanjut. Semua staf imunisasi harus mampu mengenali KIPI. Kepala
program imunisasi harus membuat kriteria yang memadai untuk mendeteksi KIPI
dengan mengidentifikasi reaksi simpang. Kepala program imunisasi bertanggung
jawab untuk menentukan peran dan tanggung jawab para pemangku kepentingan,
menjelaskan proses pelaporan, dan bagaimana memastikan/mendorong agar pelaporan
berjalan sesuai SOP.
4.10 Investigasi
Beberapa laporan KIPI membutuhkan investigasi lebih lanjut. Tujuannya adalah
untuk:
1. Mengkonfirmasi diagnosis (atau mengajukan diagnosis lain) dan menentukan
kondisi akhir dari kejadian ikutan.
2. Mengidentifikasi spesifikasi dari vaksin yang digunakan untuk imunisasi pasien.
3. Menilai aspek operasional dari program imunisasi, yang mungkin menyebabkan
kesalahan prosedur imunisasi.
4. Menjadi dasar untuk mencari KIPI lain/adanya pengelompokan.
5. Membandingkan risiko dasar (background risk) kejadian ikutan (yang terjadi pada
orang yang tidak diimunisasi) dengan angka yang terjadi pada masyarakat yang
diimunisasi.
6. Tidak semua laporan KIPI perlu investigasi. Kejadian yang perlu investigasi adalah
KIPI serius, klaster dari KIPI ringan, pemakaian vaksin baru, KIPI yang
direkomendasikan WHO.
7. Investigasi KIPI klister dimulai dengan membuat definisi kasus dan
mengindentifikasi semua kasus yang memenuhi definisi kasus tersebut.
Selanjutnya, kepala program imunisasi harus melakukan dua langkah yaitu
mengindentifikasi riwayat imunisasi dari kasus klaster termasuk rincian tentang
kapan, dimana dan vaksin apa yang diberikan, dengan mengumpulkan dan
mencatat. Selanjutnya mengidentifikasi semua paparan umum pada kasus.
Pengujian vaksin merupakan langkash selanjutnya dalam proses investigasi yaitu
dengan cara mengumpulkan sisa vaksin (bila memungkinkan) dari fasilitas kesehatan.
Bila vaksin telah dilarutkan, kumpulkan juga sejumlah vaksin yang belum dibuka dan
pelarutnya dari pelayanan kesehatan yang sama. Spesimen vaksin harus ditempatkan
dalam kondisi penyimpanan yang baik sampai dilakukan pengujian. Tes yang
dilakukan dalam pengujian adalah:
1. Tes visual
2. Uji sterilitas
3. Analisis komposisi kimia
4. Uji biologis
5. Tambahan informasi performa vaksin di lapangan
4.11 Kausalitas KIPI
Kualitas dari penilaian kausalitas tergantung pada:
1. Kualitas laporan kasus KIPI
2. Efektivitas sistem pelaporan KIPI
3. Kualitas proses kajian kausalitas
Prinsip yang menjadi dasar penilaian kausalitas untuk kejadian ikutan vaksin:
1. Spesifitas
2. Hubungan sementara
3. Kekuatan hubungan
4. Konsistensi
5. Biological plausibility
4.12 Penilaian Risiko/Manfaat
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengevaluasi manfaat vaksin:
1. Deskripsi dari vaksin yang dipakai dan lots (termasuk merek, produsen, lot,
penggunaan intenasional).
2. Indikasi penggunaan (mis. menurunkan risiko kesakitan dan kematian terkait
campak atau rotavirus sebesar 80%).
3. Identifikasi altenatif modalitas (bila ada, misalnya suplementasi vitamin A,
modifikasi perilaku, dll).
4. Deskripsi singkat dari keamanan vaksin.
5. Epidemiologi dan riwayat perjalanan penyakit (misalnya kesakitan dan kematian
akibat penyakit rotavirus).
6. Efektifitas yang telah diketahui dari vaksin yang dipakai.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengevaluasi resiko vaksin:
1. Besarnya bukti dari risiko yang dicurigai (misalnya frekuensi, keparahan,
kematian, anafilaksis).
2. Presentasi rinci dan analisis data dari risiko baru yang dicurigai (hasil dari
investigasi kasus, insidensi saat kampanye).
3. Penjelasan yang mungkin.
4. Tingkat kemampuan mencegah, tingkat prediksi dan reversibiltas dari risiko baru
(misalnya apakah sama dengn risiko vaksin campak yang sudah diketahui).
5. Risiko dari vaksin alternatif.
6. Kajian lengkap dari profil keamanan vaksin.
7. Estimasi insidensi KIPI yang umum dari vaksin alternatif tersebut.
8. Soroti perbedaan penting antar vaksin alternatif.
Modul ini menjelaskan tentang peran sentral institusi nasional, yaitu badan otoritas
regulatori nasional (national regulatory authority/NRA) dan program imunisasi
nasional (National Immunization Program/NIP) bersama Komite Nasional KIPI; serta
peran berbagai pihak terkait lainnya secara internasional, dalam mendukung keamanan
vaksin nasional maupun internasional.
MODUL 5: INSTITUSI DAN MEKANISME
5.1 Tingkat Nasional
1. Sistem Surveilans KIPI Nasional
Sistem Surveilans KIPI nasional disusun dan diawasi oleh Badan otoritas
regulatori nasional (NRA) dan program imunisasi nasional (NIP). Pada pelaksanaannya
NRA dan NIP dibantu oleh Komite Nasional Pengkaji KIPI dan organisasi pendukung
lainnya seperti institusi akademik dan badan/unit teknis, yang memiliki keterkaitan
dengan Sistem Surveilans KIPI. Bagian dari sistem surveilans KIPI nasional yaitu
negara yang memproduksi vaksin sendiri, produsen vaksin dan pusat pengujian
laboratorium nasional. Terdapat 7 prinsip umum Surveilans KIPI yaitu Deteksi, koreksi
dan pencegahan kesalahan program imunisasi, dll.
2. Badan Otoritas Regulatori Nasional
Badan otoritas regulatori Nasional dibutuhkan oleh semua negara untuk
memastikan bahwa semua obat-obatan, termasuk vaksin, yang digunakan negara
tersebut aman, efektif dan bermutu. NRA bertanggungjawab untuk menjamin
keamanan vaksin melalui pelaksanaan surveilans KIPI. Dalam menjalankan tugasnya
NRA perlu mendapat bantuan dari Manajer Program Imunisasi dalam Surveilan KIPI.
A. Fungsi-fungsi utama terkait vaksin secara khusus
1) Pemberian izin edar
2) Surveilans pasca pemasaran (penjaminan, dengan fokus deteksi investigasu dan
respon terhadap KIPI yang tidak diharapkan)
3) Pelolosan lot vaksin (verifikasi mutu dan keamanan)
4) Akses pengujian laboratorium
5) Inspeksi (fasilitas prosuksi dan jalur distribusi vaksin)
6) Inspeksi uji klinik (memberikan izin dan pengawasan)
B. Fungsi-fungsi sesuai dengan sumber vaksin
Semua NRA bertanggung jawab pada Fungsi 1 (pemberian izin edar vaksin) dan
Fungsi 2 (surveilans KIPI). NRA dapat bertanggung jawab untuk Fungsi 3–6
tergantung bagaimana pengadaan vaksin di suatu negara. Jika pengadaan vaksin
dilakukan oleh badan PBB maka fungsi 3-6 dijalankan NRA dibawah pengawasan
PBB. Jika pengadaan vaksin dilakukan oleh NRA maka fungsi 5-6 diambil alih oleh
negara produsen, Jika pengadaan vaksin dilakukan oleh dalam negeri maka semua
fungsi RNA dijalankan sendiri.
C. Pengadaan vaksin dan pelulusan Lots
Jumlah vaksin hanya berkisar 30 jenis di dunia sehingga tidak banyak pabrik
vaksin yang berkembang. Bagi negara yang tidak memiliki pabrik vaksin dapat
mengimport vaksin dari negara produsen vaksin. Vaksin import ini akan ditangani oleh
NRA negera yang bersangkutan.
D. Regulasi tentang keamanan obat
Tanggung jawab NRA adalah menjamin kemanan vaksin, keefektifan vaksin dan
mutu vaksin. Regulasi tentang keamanan obat yang dilakukan oleh NRA berupa proses
evaluasi keamanan obat dilakukan setelah izin edar dikeluarkan didasarkan hal-hal
tertentu. Farmakovigilans yang bertugas mendeteksi adanya kejadian ikutan biasanya
dilakukan oleh pusat farmakovigilans nasional atas nama NRA.
3. Program Imunisasi Nasional (NIP)
Program imunisasi nasional adalah bagian dari Kementrian Kesehatan yang
melakukan upaya pencegahan penyakit, kecacatan, dan kematian akibat penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi. NIP bertanggung jawab dalam penyimpanan,
penanganan, pengiriman dan pemberian vaksin.
A. Fungsi-fungsi utama terkait keamanan vaksin
Program imunisasi nasional bertanggung jawab untuk menjamin pemberian
vaksin yang aman dan menjamin bahwa petugas kesehatan yang memberi vaksin
merespon kejadian ikutan, dan meminimalkan risiko terjadinya KIPI. NIP harus
bekerjasama dengan NRA dalam menjaga kemanan vaksin dan pusat farmakovigilans
dalam pengumpulan dan pengkajian data KIPI.
B. Keamanan pemberian vaksin
Dalam keamanan pemberian vaksin, NIP bertugas untuk menjamin petugas
kesehatan dan petugas imunisasi setempat terlatih untuk menyimpan, menangani,
menyiapkan dan memberikan vaksin dengan benar kepada masyarakat dan
menggunakan peralatan dan bahan yang benar dalam melakukan tugasnya.
Meminimalisir kesalahan program imunisasi adalah hal yang terpenting.
4. Komite Nasional Pengkaji KIPI
Setiap negara harus memiliki komite pengkaji KIPI yang beranggotakan anggota
independen program imunisasi nasional dan memiliki keahlian khusus yang berkaitan
dengan pengkajian KIPI. Komite pengkaji KIPI ini memiliki fungsi mengkaji setiap
kejadian KIPI serius, mengkaji hubungan kausal antara KIPI dan vaksin (atau lot
vaksin), memonitor data KIPI yang dilaporkan untuk melihat adanya potensial sinyal
kejadian ikutan yang terkait dengan vaksin yang sebelumnya tidak diketahui,
memberikan rekomendasi untuk penyelidikan lebih lanjut, dll.
5. Kelompok Pendukung Lainnya
Dalam menjalankan tugas kemanan vaksin melalui program imunisasi terdapat
beberapa kelompok lainnya selain NRA, NIP, dan Komite Nasional KIPI yang
mendukung tugas tersebut yaitu Pusat Farmakovigilans dan NITAGs. Tugas Pusat
Farmakovigilans adalah memberikan layanan informasi yang berkualitas tinggi kepada
petugas kesehatan, menyelenggarakan kegiatan edukasi yang berkesinambungan dan
memadai, untuk meningkatkan pengetahuan dan mendorong petugas kesehatan untuk
melaporkan KIPI. Tugas NITAGs adalah memberikan arahan kepada pemerintah;
membuat keputusan dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi
imunisasi berdasarkan bukti ilmiah.
2.2 Tingkat Internasional
1. Pemangku Kepentingan Dalam Global Vaccine Safety Dan Kegiatannya
Kerjasama internasional merupakan hal yang esensial untuk menjaga program
imunisasi dan mencegah penyebaran misinformasi tentang keamanan vaksin.
Misinformasi ini membuat masih banyaknya praktik penyuntikan yang tidak aman,
penangangan rumor dan kejadian ikutan yang kurang tepat, kurangnya akses terhadap
teknologi baru yang lebih aman seperti auto-disable syringes, dll. Terdapat beberapa
komponen dari sistem vaksin global yaitu GACVS, WHO dan mitra, Brighton
collaboration, counsil for International of medical sciences CIOMS/WHO working
group, WHO programme for International DRUG monitoring, dan kelompok
pendukung lainnya.
2. Analisis Dan Respon Global
A. Komite Penasehat Global
Komite Penasehat Global atau yang lebih dikenal dengan The Global Advisory
Committee on Vaccine Safety (GACVS), didirikan tahun 1999 di bawah naungan
WHO's Immunization Safety Priority Project. Komite ini merupakan badan utama
penasihat global yang memiliki tugas memberikan masukan dan dukungan kajian
ilmiah yang komprehensif kepada WHO mengenai keamanan vaksin. Setiap anggota
harus independen dan tidak memihak, memiliki keahlian yang luas, dan dapat
mengambil keputusan dengan kajian ilmiah secara komprehensif.
B. Praktik Pemberian Informasi yang Baik- Jejaring Keamanan Vaksin
Untuk itu untuk mencegah terjadinya misinformasi mengenai keamanan vaksin
Global Advisory Committee on Vaccine Safety (GACVS) merekomendasikan daftar
kriteria yang harus ada pada situs yang memberikan informasi tentang keamanan
vaksin.
3. Peningkatan Kapasitas Global dan Harmonisasi Perangkat
A. Kolaborasi Brighton – Penetapan Standar Dalam Keamanan Vaksin
Kolaborasi Brighton merupakan suatu kolaborasi internasional dari para pakar
ilmiah, didirikan tahun 2000. Kolaborasi ini memfasilitasi penyusunan, evaluasi dan
penyebaran informasi yang berkualitas tentang keamanan vaksin. Tujuan utama
kolaborasi ini adalah untuk meningkatkan kewaspadaan global akan keberadaan
standar dari definisi kasus dan pedoman untuk pengumpulan, analisis dan penyajian
data, dll.
B. Cioms/Kelompok Kerja WHO
The Council for International Organizations of Medical Sciences (CIOMS)
adalah suatu organisasi internasional non pemerintah, yang dibentuk oleh WHO dan
UNESCO pada tahun 1949 untuk memberikan layanan peminatan ilmiah dari
masyarakat/komunitas biomedis internasional. The Council for the International
Organizations of Medical Sciences (CIOMS) dan WHO membentuk suatu kelompok
kerja bersama dalam farmakovigilans vaksin pada tahun 2005.
C. Kesempatan Training Tentang Keamanan Vaksin
The Global Vaccine Safety Resource Centre (GVS RC) adalah suatu program
online dimana WHO menyediakan sumber daya untuk proses belajar dalam rangka
memperkuat kapasitas baik dalam bentuk pelatihan (workshop) ataupun kursus
online. GVS RC menawarkan kesempatan belajar kepada petugas kesehatan
masyarakat, manajer dan staf program imunisasi.
4. Evaluasi dan Deteksi sinyal global
A. Program WHO Untuk International Drug Monitoring
Didirikan pada tahun 1968. WHO Programme for International Drug
Monitoring (PIDM) ini merupakan suatu forum untuk bekerjasama dalam memantau
keamanan obat, dan identifikasi serta analisis sinyal global. Program ini terdiri dari 3
jejaring yaitu Pusat farmakovigilans nasional, UMC dan Kantor pusat WHO di
Geneva, Switzerland.
B. Jejaring Data Keamanan Vaksin Global (GVSD)
Pada tahun 2007, suatu pertemuan internasional diadakan di Perancis untuk
mendiskusikan pembentukann Global Vaccine Safety DataNet (GVSD). Tujuan
pertemuan ini adalah jika suatu masalah keamanan vaksin teridentifikasi dan
tervalidasi di suatu tempat atau negara, informasinya akan dapat dengan cepat
dikomunikasikan melalui database ke negara lain yang menggunakan vaksin yang
sama.
5. Pemantauan Produk
A. Badan Pengadaan
Negara yang tidak memproduksi sendiri vaksinnya mendapatkan vaksin dari
penyedia vaksin luar negeri. Sangat dianjurkan agar pemerintah negara tersebut
membeli vaksin melalui lembaga pengadaan kompeten yang diakui secara
internasional. Organisasi internasional yang mendukung upaya pengadaan vaksin
seperti UNICEF Supply division – Copenhagen, Denmark,WHO.
B. Kewenangan Pemberian Izin Edar di negara produsen
Vaksin yang digunakan dalam program imunisasi nasional haruslah memenuhi
persyaratan WHO untuk mutu dan keamanan. Untuk menjaga hal tersebut badan
otoritas nasional (National Regulatory Authority atau NRA) suatu negara haruslah
kompeten, independen dan berfungsi dengan baik.
C. Pabrik vaksin
Pemegang izin edar (marketing authorization holders/MAH) diharapkan
memberikan ringkasan informasi keamanan terkini dalam bentuk laporan evaluasi
risiko dan manfaat secara periodik (Periodic Benefit-Risk Evaluation
Report (PBRER).
D. Inisiatif Global Keamanan Vaksin
Ratusan juta dosis vaksin digunakan setiap tahun di negara berkembang. Namun,
hanya sejumlah kecil dari beberapa negara berkembang yang mempunyai kemampuan
untuk memantau dan menjamin penggunaan vaksin dengan aman. Dengan mempelajari
kinerja dari sistem farmakovigilans vaksin di negara berpenghasilan rendah dan
menengah, WHO telah menyusun suatu Global Vaccine Safety Blueprint
Strategy dalam suatu inclusive drafting process.

MODUL 6: KOMUNIKASI
Modul ini menjelaskan tentang bagaimana risiko, manfaat vaksin, cara
menginformasikan dan membantu masyarakat dalam memahami ketakutan dan
kekhawatiran dalam hal keamanan vaksin. Vaksin dirancang untuk merangsang respon
imun di tubuh manusia, dan tidak dapat dielakkan bahwa reaksi ini bisa menimbulkan
risiko kesehatan tetapi lebih kecil dari pada manfaat yang didapat yaitu
perlindungan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dengan berbagai
konsekuensinya.

6.1 Komunikasi Risiko


A. Kebutuhan Akan Komunikasi Yang Lebih Baik
Kekuatiran sering diungkapkan oleh masyarakat dan media massa tentang protokol
vaksin dan imunisasi. Perlu dilakukan mengembangkan kuantitas, kualitas dan target
komunikasi tentang keamanan vaksin bila ingin meningkatkan penerimaan imunisasi
melalui peningkatan kesadaran terhadap risiko dan manfaat.
B. Komunikasikan Hanya Informasi Yang Dapat Dipercaya
Sebelum memulai konsultasi atau mempimpin suatu sesi pelatihan/ edukasi,
semua petugas kesehatan harus mengevaluasi kebenaran dan validitas informasi yang
akan mereka berikan kepada klien, penderita atau koleganya. Koordinator KIPI
nasional bertanggung jawab untuk menjamin pedoman imunisasi yang akan
disampaikan petugas kesehatan adalah benar.
C. Pesan Utama Sederhana
Dalam penyampaian pesan berupa informasi vaksin diharapkan dapat sesuai
dengan gambar berikut.

Kejelasan tentang pesan utama dan pesan sederhana adalah penting. Sebelum
dilakukan vaksin dalam imunisasi pertugas harus mendapatkan persetujuan.
Persetujuan tidak dapat diberikan kecuali semua informasi penting telah
dikomunikasikan kepada sasaran dalam bahasa sederhana dan mudah dimengerti yang
menjadikan sasaran bisa membuat keputusan.
D. Persepsi Risiko
1) Persepsi ahli
Para ahli kesehatan mempunyai cara pandang yang lebih baik tentang risiko yang
berkaitan dengan prosedur medis (seperti vaksinasi) dibandingkan anggota
masyarakat (orang tua, penderita dan penerima vaksin). Para ahli memahami risiko
dalam bentuk nilai dan angka.
2) Persepsi publik
Persepsi publik seperti para orang tua, pengasuh, dan penerima vaksin hanya
melihat risiko dalam bentuk kerelaan untuk terpapar risiko, pengenalan terhadap
risiko, pengendalian atas risiko, potensi malapetaka, dll. Persepsi publik melihat
risiko paling berat yang akan terjadi. Faktor-faktor yang mempengaruhi jalan
pikiran masyarakat tentang risiko ini adalah kelalaian akan bahaya penyakit,
pengaruh dari konteks individual, dan keengganan terhadap pengobatan.
3) Kekuatiran target sasaran
Ada beberapa miskonsepsi tentang vaksinasi yang sering dikemukakan oleh para
orang tua sebagai alasan untuk tidak membawa anak mereka untuk diimunisasi.
Bila petugas bisa meresponnya dengan baik maka ini akan menenteramkan pikiran
mereka dan juga akan mengurangi niat mereka untuk melancarkan tindakan anti
vaksin.
E. Sumber Informasi
Kurangnya informasi, atau informasi yang tidak akurat atau menyesatkan tentang
keamanan vaksin dapat meningkatkan risiko hilangnya kepercayaan dan keyakinan
kepada ahli kesehatan, program imunisasi dan pemerintah. Waspadalah dengan
berbagai sumber informasi yang berbeda di negara kita dan negara lainnya.
Pengetahuan, sikap dan kepercayaan masyarakat terhadap keamanan vaksin
dipengaruhi oleh berbagai sumber informasi yang kian meningkat jumlahnya.
F. Berkomunikasi Di Masyarakat
Dalam berkomunikasi, petugas perlu memilih cara komunikasi yang tepat untuk
membuat masyarakat memahami tentang vaksin. Petugas harus mengumpulkan
informasi sebanyak-banyaknya tentang target pendengar, untuk dapat memutuskan
bagaimana cara komunikasi terhadap target. Bentuk komunikasi ini dapat berupa
komunikasi terstruktur dan komunikasi interaktif.
6.2 Merespon Krisis Keamanan Vaksin
A. Rumor dan Krisis
Isu atau rumor tentang kejadian ikutan yang terkait vaksin bila tidak ditangani
dengan cepat dan efektif akan dapat mengurangi kepercayaan pada vaksin dan
mengakibatkan konsekuensi yang dramatis. Krisis dalam keamanan vaksin ditandai
dengan rangkaian kejadian yang tidak diharapkan yang mulanya terlihat tidak bisa
ditanggulangi.
B. Dampak Rumor dan Krisis
Sejarah imunisasi tidak hanya ditandai dengan keberhasilan dalam mengurangi
kematian dan kesakitan dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Hal ini
menjadi tantangan yang persisten dari program imunisasi sejak program tersebut
dimulai sekitar dua abad yang lalu. Contoh rumor dan krisis yang pernah terjadi adalah
"Ketakutan" terhadap pertusis sel utuh, Kontroversi MMR dan autisme di Inggris
C. Merespon Rumor dan Krisis
Sebelum kita mulai mengerjakan rencana komunikasi krisis, juga yakinkan
bahwa kita telah mendapatkan informasi yang jelas dan memahami krisis serta rumor
itu sendiri. Komunikasi dalam konteks krisis yang terkait vaksin prinsipnya juga
mengikuti langka-langkah yang sama seperti proses perencanaan lain, tetapi karena
situasi yang urgen, waktunya menjadi terbatas dan kita harus mampu melaksanakannya
dengan segera.
6.3 Berkomunikasi Dengan Media
A. Menyiapkan Pernyataan Pers
Pernyataan pers yang dilakukan dengan sering oleh otoritas yang berkaitan
dengan penyelidikan kematian memberikan keyakinan bahwa wartawan terus diberi
informasi tentang fakta yang perlu diketahui. Ini mencegah berkembangnya spekulasi
yang menyimpang dan tidak baik tentang penyebab tragedi. Dalam mempersiapkan
suatu pernyataan pers, kita harus mempertimbangkan dua aspek: judul dan isinya.
B. Menyiapkan Suatu Wawancara
Mempersiapkan suatu wawancara adalah seperti menyiapkan pernyataan pers,
tetapi di sini kita perlu mencari tahu siapa yang melakukan wawancara dan untuk
organisasi mana ia bekerja. Individu atau organisasi tersebut mungkin mempunyai satu
pandangan sendiri (misalnya ada bias untuk mendukung atau menentang imunisasi),
atau mereka mempunyai reputasi yang baik dalam pemberitaan yang berimbang.

Anda mungkin juga menyukai