Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Imunisasi telah diakui sebagai upaya pencegahan suatu penyakit infeksi yang
paling sempurna dan berdampak pada peningkatan kesehatan masyarakat. Oleh
karena itu, kebutuhan akan vaksin makin meningkat seiring dengan keinginan
dunia untuk mencegah berbagai penyakit yang dapat menimbulkan kecacatan dan
kematian. Peningkatan kebutuhan vaksin telah ditunjang dengan upaya perbaikan
dalam produksi vaksin guna meningkatkan efektifitas dan keamanan.
Bulan Imunisasi Anak Sekolah atau disingkat BIAS adalah bentuk
kegiatan operasional dari imunisasi lanjutan pada anak sekolah yang dilaksanakan
pada bulan tertentu setiap tahunnya dengan sasaran seluruh anak-anak usia
Sekolah Dasar (SD) atau sederajat (MI/SDLB) kelas 1, 2, dan 3 di seluruh
Indonesia. BIAS dilaksanakan di seluruh Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah
Ibtidaiyah (MI) negeri dan swasta, Institusi pendidikan setara SD lainnya (Pondok
Pesantren, Seminari, SDLB). Tujuan diadakannya BIAS ini tentunya untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat yang nantinya akan menjadi sumber daya
manusia yang berkualitas. Penyakit menular masih merupakan masalah di
Indonesia, dengan tersedianya vaksin yang dapat mencegah penyakit menular
tertentu maka pencegahan berpindahnya penyakit dari satu daerah ke daerah lain
dapat dilakukan secara relative singkat dan program yang dipilih adalah imunisasi.
Imunisasi yang telah diperoleh pada waktu bayi belum cukup untuk
melindungi terhadap penyakit PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi) sampai usia anak sekolah. Hal ini disebabkan karena sejak anak mulai
memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan terhadap tingkat kekebalan yang
diperoleh saat imunisasi ketika bayi. Oleh sebab itu, pemerintah menyelenggarakan imunisasi ulangan pada anak usia sekolah dasar atau sederajat (MI/SDLB)
yang pelaksanaannya serentak di Indonesia dengan nama Bulan Imunisasi Anak
Sekolah (BIAS).

Penyelenggaraan BIAS ini berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI


nomor 1059/Menkes/SK/IX/2004 dan mengacu pada himbauan UNICEF, WHO
dan UNFPA tahun 1999 untuk mencapai target Eliminasi Tetanus Maternal dan
Neonatal (MNTE) pada tahun 2005 di negara berkembang (insiden dibawah 1 per
1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun).
BIAS dilaksanakan dua kali setahun yaitu, bulan September untuk
pemberian imunisasi Campak pada anak kelas satu dan bulan November untuk
pemberian imunisasi DT pada anak kelas satu, TT pada anak kelas dua dan tiga.
Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi, maka penggunaan vaksin
juga meningkat sehingga reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan juga meningkat.
Hal yang penting dalam menghadapi reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan ialah:
Apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang diberikan? Ataukah
bersamaan dengan penyakit lain yang telah diderita sebelum pemberian vaksin
(koinsidensi)? Seringkali hal ini tidak dapat ditentukan dengan tepat sehingga oleh
WHO digolongkan dalam kelompok adverse events following immunisation
(AEFI) atau kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Kejadian ikutan pasca
imunisasi (KIPI) adalah suatu kejadian sakit yang terjadi setelah menerima
imunisasi yang diduga disebabkan oleh imunisasi. Untuk mengetahui hubungan
antara pemberian imunisasi dengan KIPI diperlukan pelaporan dan pencatatan
semua reaksi yang tidak diinginkan yang timbul setelah pemberian imunisasi.
Surveilans KIPI sangat membantu program imunisasi, khususnya untuk
memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya imunisasi sebagai upaya
pencegahan penyakit yang paling efektif.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
Bagaimana mengenali KIPI?
Apakah KIPI dapat dicegah dan bagaimana cara pencegahannya?
Bagaimana cara pemantauan pasca imunisasi yang baik?
Bagaimana mengatasi KIPI bila hal tersebut terjadi?
1.3.
Tujuan penulisan

Untuk memberikan pengetahuan dan informasi mengenai deteksi KIPI, cara


pencegahannya, pemantauan dan pencatatan reaksi dari imunisasi serta strategi
mengatasi bila KIPI telah terjadi
1.4.

Manfaat
Dengan penulisan mini project ini diharapkan seluruh masyarakat pada
umumnya dan tenaga kesehatan pada khususnya lebih memahami kepentingan
imunisasi serta KIPI yang mungkin terjadi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Imunisasi
2.1.1. Pengertian
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Imunisasi adalah
suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke
dalam tubuh manuasia. Kebal adalah suatu keadaan dimana tubuh mempunyai
daya kemampuan mengadakan pencegahan penyakit dalam rangka menghadapi
serangan kuman tertentu, namun kebal atau resisten terhadap suatu penyakit
belum tentu kebal terhadap penyakit lain.
Vaksin adalah suatu bahan yang berasal dari kuman atau virus yang
menjadi penyebab penyakit, namun telah dilemahkan atau dimatikan, atau diambil
sebagian, atau mungkin tiruan dari kuman penyebab penyakit, yang secara sengaja
dimasukkan ke dalam tubuh seseorang atau kelompok orang dengan tujuan
merangsang timbulnya zat antipenyakit tertentu pada orang-orang tersebut.
2.1.2. Manfaat Imunisasi

Untuk anak: mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit

dan kemungkinan cacat atau kematian.


Untuk keluarga: menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan
bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua
yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang

nyaman.
Untuk negara: memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa
yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara.

2.1.3. Reaksi Antigen-Antibodi


Prof. Dr. A. H. Markum menjelaskan mengenai proses terjadinya imunitas
seperti di bawah ini :

Dalam bidang imunologi kuman atau racun kuman (toksin) disebut sebagai
antigen. Secara khusus antigen tersebut merupakan bagian protein kuman atau
protein racunnya. Bila antigen untuk pertama kali masuk ke dalam tubuh manusia,
maka sebagai reaksinya tubuh akan membentuk zat anti. Bila antigen itu kuman,
zat anti yang dibuat tubuh disebut antibodi. Zat anti terhadap racun kuman disebut
antitoksin. Berhasil tidaknya tubuh anak memusnahkan antigen atau kuman,
bergantung kepada jumlah zat anti yang dibentuk.
Pada umumnya tubuh anak tidak akan mampu melawan antigen yang kuat.
Antigen yang kuat ialah jenis kuman ganas/virulen. Karena itu anak akan menjadi
sakit bila terjangkit kuman ganas.
Jadi pada dasarnya reaksi pertama tubuh anak untuk membentuk
antibodi/antitoksin terhadap antigen, tidaklah terlalu kuat. Tubuh belum
mempunyai pengalaman untuk mengatasinya. Tetapi pada reaksi yang ke-2, ke3 dan berikutnya, tubuh anak sudah pandai membuat zat anti. Pembentukannya
pun sangat cepat. Dalam waktu yang singkat setelah antigen atau kuman masuk ke
dalam tubuh, akan dibentuk jumlah zat anti yang cukup tinggi.
Dari uraian tersebut maka hal yang terpenting ialah bahwa dengan
imunisasi anak dapat terhindar dari ancaman penyakit yang ganas tanpa bantuan
pengobatan. Dengan dasar reaksi antigen-antibodi ini tubuh akan memberikan
reaksi perlawanan terhadap benda asing dari luar (kuman, virus, racun dan bahan
kimia) yang mungkin akan merusak tubuh. Akan tetapi setelah beberapa
bulan/tahun jumlah zat anti dalam tubuh akan berkurang karena diubah oleh
tubuh, sehingga imunitas tubuh pun akan menurun. Agar tubuh tetap kebal
diperlukan perangsangan kembali oleh antigen artinya anak tersebut harus
mendapatkan suntikan/imunisasi ulang.
2.1.4

Jenis-jenis imunisasi

Imunisasi telah dipersiapkan sedemikian rupa agar tidak menimbulkan efek-efek


yang merugikan. Imunisasi ada 2 macam, yaitu:
a. Imunisasi aktif

Merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang telah dilemahakan


(vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan
memberikan suatu ingatan terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar
lagi tubuh dapat mengenali dan meresponnya. Contoh imunisasi aktif
adalah imunisasi polio dan campak. Dalam imunisasi aktif, terdapat
beberapa unsur-unsur vaksin, yaitu:

Vaksin, dapat berupa organisme yang secara keseluruhan


dimatikan, eksotoksin yang didetoksifikasi saja, atau endotoksin
yang terikat pada protein pembawa seperti polisakarida, dan vaksin
dapat juga berasal dari ekstrak komponen-komponen organisme
dari suatu antigen. Dasarnya adalah antigen harus merupakan

bagian dari organisme yang dijadikan vaksin.


Pengawet, stabilisator atau antibiotik. Merupakan zat yang
digunakan agar vaksin tetap dalam keadaan lemah atau
menstabilkan antigen dan mencegah tumbuhnya mikroba. Bahanbahan yang digunakan seperti air raksa dan antibiotik yang biasa

digunakan
Cairan pelarut dapat berupa air steril atau juga berupa cairan kultur
jaringan yang digunakan sebagai media tumbuh antigen, misalnya

antigen telur, protein serum, dan bahan kultur sel.


Adjuvan, terdiri dari garam alumunium yang berfungsi meningkatkan sistem imun dari antigen. Ketika antigen terpapar dengan
antibodi tubuh, antigen dapat melakukan perlawanan juga, dalam
hal ini semakin tinggi perlawanan maka semakin tinggi

peningkatan antibodi tubuh.


b. Imunisasi pasif
Merupakan suatu proses meningkatkan kekebalan tubuh dengan cara
pemberian zat imunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu
proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang
didapat bayi dari ibu melalui plasenta) atau binatang (bisa ular) yang
digunakan untuk mengatasi mikroba yang sudah masuk dalam tubuh yang
terinfeksi. Contoh imunisasi pasif adalah penyuntikan ATS (Anti Tetanus

Serum) pada orang yang mengalami luka kecelakaan. Contoh lain adalah
yang terdapat pada bayi yang baru lahir dimana bayi tersebut menerima
berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui darah plasenta selama masa
kandungan, misalnya antibodi terhadap campak.
2.1.5. Imunisasi di Indonesia
Di Indonesia imunisasi adalah program kesehatan yang diatur oleh
Departemen Kesehatan. Dalam pelaksanaannya selain dilakukan oleh unit
pelayanan kesehatan pemerintah, pelayanan imunisasi juga dilakukan oleh swasta
dan masyarakat dengan prinsip keterpaduan dan kebersamaan antara berbagai
pihak. Pemerintah dan badan dunia seperti WHO maupun para ahli nasional
menetapkan sasaran jumlah penerima imunisasi, kelompok umur serta tata cara
bagaimana memberikan vaksin kepada anak-anak atau kelompok umur penerima
vaksin lainnya. Target jumlah sasaran anak yang harus mendapat imunisasi amat
penting untuk diketahui dan ditetapkan. Kaitannya dengan status herd immunity
atau kekebalan kelompok dalam satu wilayah. Institusi swasta yang turut dalam
memberikan imunisasi harus memberikan laporan tentang jumlah orang yang
mendapat imunisasi. Pelaporan diperlukan untuk mengetahui apakah imunitas
kelompok tercapai atau tidak.
Dalam catatan internasional, pada akhir tahun

1990-an,

Indonesia

memiliki reputasi pencapaian program imunisasi yang mengesankan, berkat


sistem pelayanan yang efektif. Namun sejak dimulainya desentralisasi tampak
adanya gambaran penurunan dibeberapa daerah.
Program imunisasi di Indonesia memiliki tujuan menurunkan angka
kejadian penyakit dan angka kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Secara spesifik program imunisasi di Indonesia memiliki target
cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di seluruh desa
atau kelurahan pada tahun 2010.
Sesuai dengan program pemerintah (Departemen Kesehatan) tentang
Program Pengembangan Imunisasi (PPI), maka anak mendapatkan perlindungan
terhadap 4 jenis vaksin penyakit utama, yaitu penyakit TBC, difteri, tetanus, batuk
rejan, poliomyelitis dan campak.

Jenis Vaksin
Manfaat
BCG
Memberikan kekebalan secara aktif
terhadap
tuberculosis (TBC). Tuberkulosis (TBC)
adalah
suatu penyakit menular langsung
yang
disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium
tuberculosis). Penyakit TBC ini
dapat
DPT
Memberikan kekebalan secara
simultan
terhadap difteri, tetanus dan batuk rejan.
1. Difteri merupakan penyakit infeksi
yang
disebabkan oleh
Corynebacterium
diphtheria. Penyakit ini merangsang
saluran
pernafasan terutama terjadi pada
balita.
2. Pertusis atau batuk rejan adalah
penyakit
infeksi akut yang disebabkan
oleh
Bordotella pertusis pada saluran
pernafasan.
Penyakit ini merupakan penyakit
Polio
Memberikan kekebalan aktif

Hepatitis B

Kandungan
vaksin bentuk beku kering
yang
mengandung
mycobacterium
bovis hidup yang
sudah
dilemahkan dari strain
Paris no
1173.P2 (Vademecum
Vaksin jerap DPT
(Difteri
Pertusis Tetanus) adalah
vaksin
yang terdiri dari toxoid,
difteri
dan tetanus yang
dimurnikan
serta bakteri pertusis yang
telah
diinaktivasi dan
teradsorbsi
kedalam 3 mg/ml
aluminium
fosfat.

Vaksin Oral Polio adalah


vaksin
terhadap
polio trivalent yang terdiri
dari
poliomyelitis.
suspense virus poliomyelitis
Poliomielitis adalah penyakit yang
tipe
disebabkan
oleh virus polio. Telah dikenal 3 jenis 1,2 dan 3 (strain sabin)
yang
virus
dilemahkan.
polio,
yaitu tipe
I, II danaktif
III. Virus
polio sudah
Memberikan
kekebalan
terhadap
vaksin virus recombinan
hepaitis
yang
B.Penyakit hepatitis B merupakan
telah diinaktivasikan dan
penyakit
bersifat

2.2. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)


2.2.1. Definisi KIPI
8

Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penaggulangan KIPI (KN PP KIPI),


KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan
setelah imunisasi. Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai
masa 42 hari (arthritis kronik pasca vaksinasi rubella), atau bahkan 42 hari
(infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi
campak, dan polio paralitik serta infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien
non imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).
Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi
simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek
langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek
farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi
idoisinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan.efek
farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena
potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang
terhadap unsure vaksin dengan latar belakang genetic. Reaksi alergi dapat terjadi
terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning),
antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsure lain yang
terkandung dalam vaksin.
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi
karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan
vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata
kejadian yang timbul secara kebetulan. Sesuai telaah laporan KIPI oleh Vaccine
Safety Committee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian
besar KIPI terjadi karena kebetulan saja. Kejadian yang memang akibat imunisasi
tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic
errors).

2.2.2. Etiologi

Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar
ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu unutk
menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai:

Besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu


Sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik

Serajat sakit resipien

Apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti

Apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin,


kesalahan produksi, atau kesalahan prosedur

KN PP KIPI membagi penyebab KIPI menjadi 5 kelompok faktor etiologi


menurut klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:
1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)
Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik
pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,
pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat
terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:

Dosis antigen (terlalu banyak)

Lokasi dan cara menyuntik

Sterilisasi semprit dan jarum suntik

Jarum bekas pakai

Tindakan aseptik dan antiseptik

Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik

Penyimpanan vaksin

Pemakaian sisa vaksin

Jenis dan jumlah pelarut vaksin

Tidak memperhatikan petunjuk produsen

Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila


terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
2. Reaksi suntikan

10

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik
langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi
suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada
tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa
takut, pusing, mual, sampai sinkope.
3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat
diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan
secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala
klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko kematian.
Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam
petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra,
indikasi khusus, perhatian khusus, atauberbagai tindakan dan perhatian
spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain.
Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana
imunisasi.
4. Faktor kebetulan (koinsiden)
Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi
secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini
ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada
kelompok populasi setempat dengan karakterisitik serupa tetapi tidak
mendapatkan imunisasi.
5. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan
kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam
kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya denagn
kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab
KIPI.

11

2.2.3. Gejala Klinis KIPI


Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi
menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya.
Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat gejalanya.
Tabel 2.2 Reaksi KIPI
Reaksi KIPI
Lokal

Gejala KIPI
Abses pada tempat suntikan
Limfadenitis
Reaksi lokal lain yang berat, misalnya

SSP

selulitis, BCG-itis
Kelumpuhan akut
Ensefalopati
Ensefalitis
Meningitis

Lain-lain

Kejang
Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema
Reaksi anafilaksis
Syok anafilaksis
Artralgia
Demam tinggi >38,5C
Episode hipotensif-hiporesponsif
Osteomielitis
Menangis menjerit yang terus menerus
(3jam)
Sindrom syok septik

Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka
apabila seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu diobsevasi beberapa saat,
sehingga dipastikan tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi
sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis
imunisasi harus dilakukan observasi selama 15 menit.untuk menghindarkan

12

kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka
waktu tertentu timbulnya gejala klinis.
Tabel 2.3 Gejala dan Onset KIPI menurut jenis vaksin
Jenis Vaksin
Gejala Klinis KIPI
Toksoid Tetanus (DPT, Syok anafilaksis

Saat timbul KIPI


4 jam

DT, TT)

Neuritis brakhial

2-18 hari

Komplikasi akut termasuk kecacatan

tidak tercatat

Pertusis

whole

(DPwT)

Campak

dan kematian
cell Syok anafilaksis

4 jam

Ensefalopati

72 jam

Komplikasi akut termasuk kecacatan

tidak tercatat

dan kematian
Syok anafilaksis

4 jam

Ensefalopati

5-15 hari

Komplikasi akut termasuk kecacatan

tidak tercatat

dan kematian
Trombositopenia

7-30 hari

Klinis campak pada resipien

6 bulan

imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan
Polio hidup (OPV)

dan kematian
Polio paralisis

tidak tercatat
30 hari

Polio paralisis pada resipien

6 bulan

imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan
Hepatitis B

dan kematian
Syok anafilaksis

4 jam

Komplikasi akut termasuk kecacatan

tidak tercatat

dan kematian
BCG
BCG-itis
2.2.4. Angka Kejadian KIPI

4-6 minggu

KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis. Angka
kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT, tetapi yang
benar-benar reaksi anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang
13

lebih besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau
lambat. Episode hipotonik/hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum
dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi.
2.2.5. Imunisasi Pada Kelompok Resiko
Untuk mengurangi resiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah
resipien termasuk dalam kelompok resiko. Yang dimaksud dengan kelompok
resiko adalah:
1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu
Hal ini harus segera dilaporkan kepada Pokja KIPI setempat dan KN PP
KIPI dengan menggunakan formulir pelaporan yang telah tersedia untuk
penanganan segera.
2. Bayi berat lahir rendah
Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi
cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan
adalah:
a) Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dar
pada bayi cukup bulab
b) Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi
ditunda dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau
berumur 2 bulan; imunisasi hepatitis B diberikan pada umur 2
bulan atau lebih kecuali bila ibu mengandung HbsAg
c) Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin
polio yang diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia,
sehingga tidak menyebabkan penyebaaran virus polio melaui tinja
3. Pasien imunokompromais
Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar
atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid
jangka panjang). Jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk
pasien imunokompromais dapat diberikan IVP bila vaksin tersedia.
Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan

14

pemberian dalam waktu pendek. Tetapi imunisasi harus ditunda pada anak
dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari
atau prednison 20 mg/ kg berat badan/hari selama 14 hari. Imunisasi dapat
diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau 3
bulan setelah pemberian kemoterapi selesai.
4. Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin
Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan utnuk
menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.
2.2.6. Indikasi Kontra dan Perhatian Khusus Untuk Imunisasi
Pada umumnya tidak terdapat indikasi kontra imunisasi untuk individu sehat
kecuali untuk kelompok resiko. Pada setiap sediaan vaksin selalu terdapat
petunjuk dari produsen yang mencantumkan indikasi kontra serta perhatian
khusus terhadap vaksin. Petunjuk ini harus dibaca oleh setiap pelaksana vaksinasi.
(cfs/pedoman tata laksana medik KIPI bagi petugas kesehatan)
2.2.7. Pencatatan dan Pelaporan
Pada pelaksanaannya, penyebab KIPI tidaklah mudah ditentukan. Untuk
menentukan penyebab KIPI diperlukan keterangan rinci mengenai riwayat
pemberian vaksin terdahulu, adakah ditemukan alternatif penyebab, kerentanan
individu terhadap vaksin, kapan KIPI terjadi (tanggal, hari, jam), bagaimana
gejala yang timbul, berapa lama interval waktu sejak diberi vaksin sampai timbul
gejala, apakah dilakukan pemeriksaan fisis serta ditunjang dengan pemeriksaan
laboratorium, serta pengobatan apa yang telah diberikan. Dari data yang tersedia
kemudian diperlukan analisis kasus untuk mengambil kesimpulan. Daftar KIPI
yang harus dilaporkan tertera pada Tabel 3.
Hal-hal yang perlu mendapat perhatian pada pelaporan.
1. Identitas: Nama anak, tanggal dan tahun lahir (umur), jenis kelamin, nama
orang tua, dan alamat.

15

2. Jenis vaksin yang diberikan, dosis, nomer lot, siapa yang memberikan. Vaksin
sisa disimpan dan diperlakukan seperti vaksin yang masih utuh (perhatikan cold
chain).
3. Nama dokter yang bertanggung jawab
4. Apakah pernah menderita KIPI pada imunisasi terdahulu?
5. Gejala klinis yang timbul dan/atau diagnosis (bila ada); tulis dalam kolom
laporan yang tersedia. Pengobatan yang diberikan dan perjalanan penyakit,
sembuh, dirawat atau meninggal. Sertakan hasil laboratorium yang pernah
dilakukan. Tulis juga apabila terdapat penyakit lain yang menyertainya.
6. Waktu pemberian imunisasi, tanggal, jam.
7. Saat timbulnya gejala KIPI sehingga diketahui berapa lama interval waktu
antara pemberian imunisasi dengan terjadinya KIPI.
8. Apabila dirawat dan sembuh, apakah terdapat gejala sisa?
9. Bagaimana cara menyelesaikan masalah KIPI (kronologis)
10. Adakah tuntutan dari keluarga ?
Tabel 3. KIPI yang harus dilaporkan
KIPI terjadi dalam waktu 48 jam setelah imunisasi (satu gejala atau lebih)
Anafilaksis
Syok
Episod hipotonik hiporesponsif
KIPI terjadi dalam waktu 30 hari setelah imunisasi (satu gejala atau lebih)
Ensefalopati
Kejang
Meningitis aseptik
Trombositopenia
Lumpuh layu (acute flaccid paralysis)
Meninggal
Penyebab lain yang berat termasuk bila anak perlu perawatan
Reaksi KIPI dapat dipantau melalui sistem surveilans yang baik untuk
mendapatkan profil keamanan penggunaan di lapangan. Untuk mengetahui
besarnya masalah KIPI di Indonesia diperlukan pelaporan dan pencatatan kasus

16

KIPI dan koordinasi antara pengambil keputusan dengan petugas pelaksana di


lapangan, guna menentukan sikap dalam mengatasi kasus KIPI yang terjadi.
Dalam rangka meningkatkan kegiatan diperlukan pelaporan dan pencatatan kasus
KIPI untuk mengkoordinasikan hal tersebut, telah dibentuk Pokja KIPI Depkes
yang terdiri dari klinisi, organisasi profesi (IDAI, POGI), pakar dalam bidang
mikrobiologi, virologi, vaksin, farmakologi, epidemiologi, dan pakar hukum.
Pokja KIPI dalam kegiatannya bekerja sama dengan Subdit Imunisasi Direktorat
Jendral PPM&PLP Departemen Kesehatan. Risiko KIPI selalu ada pada setiap
tindakan imunisasi, oleh karena itu profesi kesehatan yang terkait perlu
memahami KIPI serta penanggulangannya. Pokja KIPI diharapkan juga dapat
dibentuk di daerah Dati I guna menjalin kerjasama antara para pakar terkait,
instansi kesehatan, dan pemerintah daerah setempat.

17

Gambar 1. Alur tatalaksana KIPI

18

BAB III
METODE PENGAMBILAN DATA
3.1. Sumber data
3.1.1. Data Primer
Data primer merupakan data yang didapatkan langsung di lapangan saat
dilakukan suatu kegiatan atau penelitian. Pada kegiatan mini project ini
data primer didapatkan langsung saat melakukan kegiatan di lapangan,
yaitu pada saat pelaksanaan BIAS tanggal 10-16 November 2014. Penulis
berpartisipasi aktif dalam kegiatan BIAS mulai dari persiapan, pelaksanaan serta pemantauan pasca imunisasi. Tindak lanjut dilakukan bila
ditemukan KIPI pada saat pelaksaan mini project.
Data primer yang didapatkan berisi fakta mengenai jumlah siswa
yang diimunisasi, cakupan imunisasi, KIPI yang mungkin terjadi dan
penanganannya.
3.1.2. Data Sekunder
Data sekunder didapatkan dari data di Puskesmas Blora berupa profil
UPTD Puskesmas Blora pada bulan Januari 2014.
3.2. Sampel
Sampel pada kegiatan ini siswa SDN Andongrejo kelas 1, 2 dan 3 yang
masing berjumlah 22, 26 dan 26 anak. Kegiatan BIAS di sekolah ini
dilaksanakan pada hari Senin, 10 November 2014.
3.3. Langkah pelaksanaan mini project
Dalam melaksanakan mini project ini dilakukan beberapa persiapan.
Pembentukan tim BIAS dilakukan sebelum jadwal pelaksaan BIAS pada
minggu kedua November 2014. Satu tim berjumlah 3-6 orang bergantung
pada jumlah siswa yang diimunisasi. Ketua tim bertugas mengambil data
awal mengenai jumlah siswa yang akan diimunisasi, serta data mengenai
berapa jumlah anak yang tinggal kelas, sakit atau memiliki perhatian khusus

19

serta memberi informasi kepada pihak sekolah mengenai persiapan yang


harus dilakukan siswa sebelum menjalani imunisasi.
Sebelum berangkat ke SDN Andongrejo disiapkan 3 vial vaksin DT
dan 6 vial vaksin TT, 80 spuit 0,5 cc, kapas dan alkohol, safety box, vaccine
cool box dan obat-obatan KIPI. Suhu vaksin tetap terjaga antara 2-8C
sebelum diinjeksikan kepada siswa.
Siswa yang pada hari itu sedang sakit (demam) atau tidak masuk tidak
mengikuti BIAS dan disarankan mengikuti imunisasi susulan di Puskesmas
Blora pada hari yang telah ditentukan.
Proses imunisasi dilakukan secara lege artis. Setiap siswa diberikan
paracetamol sesuai dosisnya untuk profilaksis demam dengan anjuran
diminum satu kali. Dilanjutkan dengan observasi selama 40-60 menit untuk
mengamati terjadinya KIPI segera. Bila terjadi KIPI akan dilakukan
penanganan awal, bila diperlukan akan dirujuk ke Puskesmas dan Rumah
Sakit. KIPI yang memenuhi kriteria pelaporan dicatat untuk dilaporkan ke
Dinas Kesehatan Kota.

BAB IV
HASIL KEGIATAN
4.1. Profil Puskesmas Blora
4.1.1 Pembentukan UPTD Puskesmas
Dasar pembentukan UPTD Puskesmas adalah Peraturan Daerah Kabupaten Blora
Nomor 7 Tahun 2008 tetang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten
Blora ( Lembaran Daerah Kabupaten Blora Tahun 2008 Nomor : 7, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Blora Nomor : 7 ) yang dijabarkan dalam Peraturan
20

Bupati Blora No. 58 Tahun 2008 tentang penjabaran tugas pokok dan fungsi Dinas
Kesehatan Kabupaten Blora.
4.1.2 Kedudukan, Tupoksi UPTD Puskesmas Blora.
UPTD Pusat Kesehatan Masyarakat mempunyai tugas melaksanakan sebagian
kegiatan teknis operasional dan / atau kegiatan teknis penunjang di bidang
perencanaan kesehatan dasar dan rujukan serta melaksanakan tugas lain yang
diberikan oleh Kepala Dinas Kesehatan sesuai bidang tugasnya.
4.1.3 Susunan Organisasi
Susunan Organisasi UPTD Puskesmas terdiri dari :
a. Kepala UPTD.
b. Sub Bagian Tata Usaha.
c. Jabatan fungsional.
Pegawai UPTD Puskesmas Blora tahun 2014 terdiri dari 47 orang.
4.1.4 Visi dan Misi UPTD Puskesmas Blora
Visi :
Mewujudkan masyarakat Blora Sehat, dengan memberikan pelayanan kesehatan
secara terpadu, bermutu serta terjangkau kepada seluruh lapisan masyarakat .
Misi :
Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal melalui terciptanya

masyarakat yang hidup dalam :


1. Lingkungan yang sehat dan berperilaku hidup sehat.
2. Memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu.
Meningkatkan kedisiplinan dan tingkat kepatuhan petugas.

4.1.5 Program dan Kegiatan yang Dilaksanakan UPTD Puskesmas Blora.


Program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh UPTD Puskesmas Blora adalah
sebagai berikut :
1. Kegiatan Kesga / KIA
2. Kegiatan KB.
3. Kegiatan Gizi.
4. Kegiatan PL.
5. Kegiatan P2.
6. Kegiatan PKM / Promkes.
7. Kegiatan BP.
8. Kegiatan UKS.
9. Kegiatan Kesgilut.
10.Kegiatan Perkesmas.
11.Kegiatan Kesehatan Jiwa.
12.Kegiatan Kesehatan Mata.
21

13.Kegiatan Kesehatan PTM.


14.Kegiatan Kesehatan Laboratorium.
15.Kegiatan Imunisasi.
16.Kegiatan Apotik/ Kamar Obat.
17.Kegiatan Tata Usaha.
18.Kegiatan SP3.

4.1.6 Data Umum UPTD Puskesmas Blora


a. Keadaan Daerah
Luas Daerah
: 56 km
- Tanah Sawah
: 1.490,087 ha
- Tanah Kering
: 967,067 ha
- Hutan Negara
:- Lain-lain
: 250,708 ha
Jumlah desa/ kelurahan : 6 desa, 12 kelurahan
Jumlah RW, RT
: 95 RW, 376 RT
b. Komunikasi Transportasi.
Jarak Puskesmas-Kabupaten : 0 km
Dari Desa ke Puskesmas
: 5 km
c. Komunikasi Berita.
Jumlah Kantor Pos
:
1 buah
Jumlah Pesawat Telepon
: 2101 buah
Jumlah Pesawat TV
: 8475 buah
Telegram
:
1 buah
Jumlah Surat Kabar
: 704 buah
Jumlah Pesawat ORARI
: 12 buah
d. Keadaan Penduduk.
Jumlah Penduduk
: 76.605 jiwa
- Laki-laki
: 37.509 jiwa
- Perempuan
: 39.096 jiwa
Jumlah KK
: 23.112 KK
Distribusi Penduduk menurut golongan Umur :
- 0-1 th
:
990 jiwa
- 1-4 th
: 3.814 jiwa
- 5-14 th
: 11.339 jiwa
- 15-44 th
: 38.282 jiwa
- 45-64 th
: 16.013 jiwa
- > 65 th
: 6.167 jiwa
e. Pendidikan penduduk menurut umur 10 th keatas.
Tidak/ belum pernah sekolah : 2.435 jiwa
Tidak/ belum tamat SD
: 1.639 jiwa
Tamat SD
: 27.605 jiwa
22

Tamat SLTP
: 11.290 jiwa
Tamat SLTA
: 18.689 jiwa
Akademi
: 1.832 jiwa
Universitas
: 5.657 jiwa
f. Sarana Pendidikan.
Jumlah TK/ PAUD
: 53 buah
Jumlah SD / MI
: 44 buah
Jumlah SLTP
: 11 buah
Jumlah SLTA
: 11 buah
Jumlah PT
: 1 buah
g. Pekerjaan Penduduk.
Tani/ Buruh Tani
: 35.932 jiwa
Pensiunan/ PNS/ ABRI
: 17.325 jiwa
Pedagang
: 6.336 jiwa
Lain-lain
: 20.420 jiwa
h. Sosial Ekonomi.
Sarana Perekonomian :
- Jumlah Pasar
: 5 buah
- Jumlah toko/warung/kios
: 772 buah
- Jumlah KUD
: 1 buah
- Jumlah koperasi simpan pinjam
: 9 buah
- Jumlah Badan Kredit
: 9 buah
- Jumlah Lumbung Desa
: 8 buah
Jumlah Industri Rumah Tangga
: 91 buah
Jumlah Tempat Tinggal :
- Rumah Sehat
: 17.003 buah
- Rumah Tidak Sehat : 4.720 buah
i. Sosial Budaya.
Sebagian besar penduduk beragama Islam.
Kebiasaan masyarakat yang merugikan kesehatan :
- BAB ( Buang Air Besar ) di sembarang tempat.
- Kerja Bhakti tiap 1 minggu sekali sulit dilaksanakan.
Kebiasaan masyarakat yang mendukung kesehatan :
- Gotong royong
- Jimpitan
- Selapanan PKK / desa
4.1.7 Sumber Daya Kesehatan
Sumber daya kesehatan yang dimiliki oleh UPTD Puskesmas Blora adalah
sebagai berikut :
N
o

Jenis Ketenagaan

Jumlah

23

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Dokter Spesialis
Dokter Umum
Dokter Gigi
Kesmas
Perawat
Perawat Gigi
Bidan
Gizi
Farmasi
Sanitasi
Analis
Rekam Medik
Pekarya
TU/ Staff
Jumlah

0
1
1
0
9
1
21
1
1
1
2
1
3
3
45

4.2. Data siswa yang mengikuti BIAS


Kelas
1
2
3
Jumlah

Jumlah diimunisasi
20
24
25
69

Tidak diimunisasi
2
2
1
5

Keterangan
tidak masuk
tidak masuk
sakit

4.3. Data siswa yang mengalami KIPI


Setelah pelaksanaan imunisasi dan observasi selama 60 menit, tidak didapatkan
siswa yang mengalami KIPI. Hanya terdapat seorang siswa yang mengeluh pusing
dan tampak pucat yang diperkirakan karena rasa takut akan imunisasi. Anak
tersebut segera membaik dengan pemberian makanan, minuman dan support
mental.
Tiga jam setelah imunisasi, seorang anak mengeluh bahu (regio deltoid)
mengalami pembengkakan dan nyeri. Setelah tim BIAS datang, dilakukan
pemeriksaan fisik, tidak didapatkan gangguan gerak, neurologis maupun vaskuler.
Pada palpasi didapatkan otot yang menegang dan nyeri tekan. Dilakukan kompres
dingin dan pemberian obat analgesik untuk mengurangi nyeri.

24

BAB V
PEMBAHASAN
Program BIAS adalah program yang rutin dilakukan oleh Puskesmas Blora selaku
UPTD Kesehatan di wilayah Kecamatan Blora. Setiap tahun BIAS dilaksanakan
pada bulan Agustus untuk Campak dan pada bulan November untuk DT (kelas I)
dan Td (kelas II dan III). Pelayanan imunisasi di sekolah dikoordinir oleh tim
pembina UKS. Peran guru menjadi sangat strategis dalam memotivasi murid dan
orangtuanya. Ketidak hadiran murid pada saat pelayanan imunisasi akan
merugikan murid itu sendiri dan lingkungannya karena peluang untuk
memperoleh kekebalan melalui imunisasi tidak dimanfaatkan.
Dari sampel yang diambil dari siswa SDN Andongrejo 2, terdapat 5 anak
yang tidak diimunisasi, dengan cakupan imunisasi sebesar 93,2% kurang dari
target 100%. Keempat anak tidak masuk sekolah tanpa alasan yang jelas yang
diketahui oleh wali kelasnya. Sebagai catatan, keempatnya masuk sekolah sehari
sebelumnya. Berbagai asumsi seperti mungkin tidak adanya motivasi dari pihak
orangtua, sudah mendapat vaksin di tempat lain, sakit mendadak, dll.
Satu anak tidak mendapat vaksin karena sedang menderita ISPA.
Pemberian vaksin ditunda hingga kondisi anak pulih sepenuhnya. Penundaan
disebabkan karena pada saat kondisi anak sedang sakit, sistem imun sedang dalam
kondisi yang kurang optimal, sementara vaksin yang akan diberikan adalah jenis

25

imunisasi pasif yang memerlukan kemampuan sistem imun untuk membentuk


kekebalan terhadap antigen yang diinjeksikan.
Seorang anak mengalami KIPI berupa memar di regio deltoid. Terdapat
dua diagnosis banding yang mungkin, yaitu hematoma atau abses dingin.
Hematoma adalah diagnosis yang paling mungkin, dikarenakan kemungkinan
terpaparnya pembuluh vena terhadap jarum sputi saat melakukan injeksi sangat
mungkin terjadi. Vaksin sudah dihangat sesaat sebelum diinjeksikan, sehingga
diagnosis abses dingin dapat disingkirkan kemudian. Kompres dingin dilakukan
dengan segera untuk menciptakan vasokontriksi pembuluh darah di area injeksi
sehingga tidak memperberat hematoma. Pemberian antianalgesik berupa paracetamol diberikan untuk mengurangi nyeri. Setelah dua hari tindak lanjut, anak
tersebut tidak mengeluh sakit dan bengkak telah mereda.
Tidak ditemukan kasus KIPI yang membutuhkan pelaporan pada
pelaksanaan BIAS di SDN Andongrejo 2.

26

27

Anda mungkin juga menyukai