Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imunisasi adalah suatu usaha untuk memberikan kekebalan pada bayi dan
anak terhadap penyakit tertentu. Guna terwujudnya kesehatan yang tinggi,
pemerintah telah menempatkan fasilitas pelayanan.
Angka kesakitan bayi di Indonesia relative masih cukup tinggi, meskipun
menunjukkan penurunan dalam satu decade terakhir. Program imunisasi bisa
didapatkan tidak hanya di puskesmas atau di rumah sakit saja, akan tetapi juga
diberikan di posyandu yang dibentuk masyarakat dengan dukungan oleh petugas
kesehatan dan diberikan secara gratis kepada masyarakat dengan maksud
program imunisasi dapat berjalan sesuai dengan harapan. Program imunisasi di
posyandu telah menargetkan sasaran yang ingin dicapai yakni pemberian
pemberian imunisasi pada bayi secara lengkap. Imunisasi dikatakan lengkap
apabila mendapat BCG 1 kali, DPT 3kali, Hepatitis 3 kali, Campak 1 kali, dan
polio 4 kali. Bayi yang tidak mendapat imunisasi secara lengkap dan mengalami
berbagai penyakit, misalnya difteri, tetanus, campak, polio dan sebagainya. Oleh
karena itu, imunisasi harus diberikan dengan lengkap sesuai jadwal. Imunisasi
secara lengkap dapat mencegah terjadinya berbagai penyakit tersebut.
Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas
utama. Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat
efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi
adalah sarana untuk mencegah penyakit berbahaya, yang dapat menimbulkan
kematian pada bayi. Penurunan insiden penyakit menular telah terjadi berpuluh
puluh tahun yang lampau di Negara Negara maju yang telah melakukan
imunisasi dengan teratur dengan cakupan yang luas.
Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar
diperlukan pengetahuan dan keterampilan tentang vaksin (vaksinologi), ilmu
kekebalan (imunologi) dan cara atau prosedur pemberian vaksin yang benar.
Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan
perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya
karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi

penyebaran infeksi. Banyak penyakit menular yang bisa menyebabkan gangguan


serius pada perkembangan fisik dan mental anak. Imunisasi bisa melindungi
anak anak dari penyakit melalui vaksinasi yang bisa berupa suntukan atau
melalui mulut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara
aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang
serupa tidak terjadi penyakit. Imunisasi berasal dari kata immune yang berarti
kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan
kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari
penyakit yang lain diperlukan imunisasi lainnya.3
Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan
paparan pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan

telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun


memproduksi limfosit yang peka, antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan
infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan
kekebalan. Tujuannya adalah memberikan infeksi ringan yang tidak
berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila
terjangkit penyakit yang sesungguhnya dikemudian hari anak tidak menjadi sakit
karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen /
penyakit yang masuk tersebut.3
Vaksin adalah mikroorganisme bakteri, virus atau riketsia) atau toksoid
yang diubah ( dilemahkan atau diamtikan) sedemikian rupa sehingga
patogenisitas atau toksisitasnya hilang, tetapi tetap mengandung sifat
antigenisitas. Bila vaksin diberikan kepada manusia maka akan menimbulkan
kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.3
B. JENIS VAKSIN
Pada dasarnya, vaksin dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
Live attenuated ( bakteri atau virus hidup yang dilemahkan )
Inactivate ( bakteri, virus atau komponennya dibuat tidak aktif )
Vaksin attenuated
Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi
virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang
dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak
(replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan
penyakit. Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab
penyakit.

Virus

atau

bakteri

liar

ini

dilemahkan

(attinuated)

dilaboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang.5,6


Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami
kerusakan bila kena panas dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan
dan penyimpanan dengan baik dan hati-hati.6
Vaksin hidup attenuated yang tersedia

Berasal dari virus hidup


:
Vaksin campak, gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus,
demam kuning (yellow fever).
Berasal dari bakteri
:

Vaksin BCG dan demam tifoid oral. 6


Kelebihan dari vaksin hidup attenuated adalah:
a. Vaksin merangsang respon seluler dan antibodi yang kuat sehingga
dapat bertahan seumur hidup dengan hanya satu atau dua dosis
pemberian.
b. Untuk beberapa jenis vaksin virus mudah diproduksi.6
Kekurangan dari vaksin hidup attenuated adalah:
a. Vaksin bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila terkena panas
atau sinar.
b. Vaksin dapat menyebabkan penyakit yang umumnya bersifat ringan
dan dianggap sebagai kejadian ikutan (adverse event).
c. Vaksin dapat berubah menjadi bentuk patogenik seperti semula (hanya
terjadi pada vaksin polio hidup).6
Vaksin Inactivated
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri
atau virus dalam media pembiakan ( persemaian ), kemudian dibuat tidak
aktif dengan penambahan bahan kimia ( biasanya formalin ). Vaksin
inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis
antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan
penyakit (walaupun pada orang dengan defisiensi imun) dan tidak dapat
mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. 6
Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya
pada dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya
memacu atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru
timbul setelah dosis kedua atau ketiga. 6
Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari

a. Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies,


hepatitis A.
b. Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
c. Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza,
pertusis a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.
d. Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum.
e. Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan

haemophilus influenzae tipe b.


f. Gabungan polisakarida ( haemophillus influenzae tipe B dan
pneumokokus ).6
Kelebihan dari vaksin inactivated adalah:
a. Vaksin tidak menyebabkan penyakit (walaupun pada orang dengan
defisiensi imun).
b. Vaksin tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik.6
Kekurangan dari vaksin inactivated adalah :
a. Vaksin selalu membutuhkan dosis multipel untuk membentuk respon
imun protektif.
b. Respon imun terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral,
hanya sedikit atau tak menimbulkan imunitas seluler.6
C. PEMBERIAN IMUNISASI
1. Tata cara pemberian imunisasi
Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila
tidak divaksinasi.
Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila
terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan
dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab
dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.
Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan
dengan baik.
Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan.
Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya
perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.
Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan
pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up
vaccination ) bila diperlukan.

Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai


pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan
posisi bayi/anak penerima vaksin.
Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut :
Berilah petunjuk ( sebaiknya tertulis ) kepada orang tua atau
pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang

biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat.


Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan

klinis.
Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas

Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular.


Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan
vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.

2. Penyimpanan
Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus
didinginkan pada temperatur 2-8C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin
(DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A ) menjadi tidak aktif bila beku.6
3. Cara penyuntikan vaksin7
1) Subkutan
Penyuntikan subkutan diperuntukan imunisasi MMR, varisela,
meningitis. Perhatikan rekomendasi untuk umur anak.
Tabel 1. Penyuntikan subcutan
Umur
Bayi (lahir
bulan)
1-3 tahun

Tempat
s/d12 Paha
anterolateral
paha
anterolateral/
Lateral lengan

Anak > 3 tahun

Ukuran jarum
Jarum 5/8-3/4
Spuit no 23-25
Jarum 5/8-3/4
Spuit no 23-25

atas
Lateral lengan Jarum 5/8-3/4
Spuit no 23-25
atas

Insersi jarum
Arah jarum

45o

Terhadap kulit
Cubit tebal untuk
suntikan subkutan

Aspirasi

spuit

sebelum disuntikan
Untuk
suntikan
multipel
pada
berbeda

diberikan
ekstremitas

2) Intramuskular
Diperuntukan Imunisasi DPT, DT,TT, Hib, Hepatitis A & B, Influenza.
Perhatikan rekomendasi untuk umur anak
Tabel 2. Penyuntikan Intramuscular
Umur
Bayi

Tempat
(lahir Otot

s/d 12 bulan

1-3 tahun

Insersi jarum
1. Pakai jarum yang

lateralis

Ukuran jarum
vastus Jarum 7/8-1
Spuit n0 22-25
pada

paha

daerah

mencpai otot

anterolateral
Otot
vastus Jarum
lateralis
paha

cukup

panjang

untuk

5/8-1 2. Suntik dengan arah

pada (5/8 untuk jarum 80-90o. lakukan


daerah suntikan

di dengan cepat
1. Tekan kulit sekitar tepat
anterolateral
deltoid umur
suntikan dengan ibu jari
sampai
masa 12-15 bulan
Spuit no 22-25 dan telunjuk saat jarum
otot
deltoid
ditusukan
cukup
besar
(pada umumnya
Anak
tahun

>

umur 3 tahun
3 Otot deltoid, di Jarum

1-1
2. Aspirasi

bawah akromion
Spuit no 22-25

spuit

sblm

vaksin disuntikan, untuk


meyakinkan tidak masuk
ke

dalam

vena.Apabilaterdapat
darah, buang dang ulangi
dengan suntik yang baru.
3. Untuk suntikan multipel
diberikan pada bagian
sekstremitas berbeda
4.

KIPI ( Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi )1


Setiap tindakan medis apa pun bisa menimbulkan risiko bagi
pasien si penerima layanan baik dalam skala ringan maupun berat.

Demikian halnya dengan pemberian vaksinasi, reaksi yang timbul setelah


pemberian vaksinasi disebut kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau
adverse following immunization (AEFI). Dengan semakin canggihnya
teknologi pembuatan vaksin dan semakin meningkatnya teknik pemberian
vaksinasi, maka reaksi KIPI dapat diminimalisasi. Meskipun risikonya
sangat kecil, reaksi KIPI berat dapat saja terjadi. Oleh karena itu, petugas
imunisasi

atau

dokter

mempunyai

kewajiban

untuk

menjelaskan

kemungkinan reaksi KIPI apa saja yang dapat terjadi. Dan bagi orang yang
hendak menerima vaksinasi mempunyai hak untuk bertanya dan mengetahui
apa saja reaksi KIPI yang dapat terjadi.
Secara khusus KIPI dapat didefinisikan sebagai kejadian medik
yang berhubungan dengan imunisasi, baik oleh karena efek vaksin maupun
efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, kesalahan
program, reaksi suntikan, atau penyebab lain yang tidak dapat ditentukan.
Secara umum, reaksi KIPI dapat dikategorikan sebagai akibat kesalahan
program, reaksi suntikan, dan reaksi vaksin.
Kesalahan program. Sebagian besar kasus KIPI berhubungan
dengan kesalahan teknik pelaksanaan vaksinasi, misalnya kelebihan dosis,
kesalahan memilih lokasi dan cara menyuntik, sterilitas, dan penyimpanan
vaksin. Dengan semakin membaiknya pengelolaan vaksin, pengetahuan, dan
ketrampilan petugas pemberi vaksinasi, maka kesalahan tersebut dapat
diminimalisasi.
Reaksi suntikan. Reaksi suntikan tidak berhubungan dengan
kandungan vaksin, tetapi lebih karena trauma akibat tusukan jarum,
misalnya bengkak, nyeri, dan kemerehan di tempat suntikan. Selain itu,
reaksi suntikan dapat terjadi bukan akibat dari trauma suntikan melainkan
karena kecemasan, pusing, atau pingsan karena takut terhadap jarum suntik.
Reaksi suntikan dapat dihindari dengan melakukan teknik penyuntikan
secara benar.
Reaksi vaksin. Gejala yang muncul pada reaksi vaksin sudah bisa
diprediksi terlebih dahulu, karena umumnya perusahaan vaksin telah
mencantumkan reaksi efek samping yang terjadi setelah pemberian

vaksinasi. Keluhan yang muncul umumnya bersifat ringan (demam, bercak


merah, nyeri sendi, pusing, nyeri otot). Meskipun hal ini jarang terjadi,
namun reaksi vaksin dapat bersifat berat, misalnya reaksi anafilaksis dan
kejang. Untunglah bahwa reaksi alergi serius relatif jarang terjadi, misalnya
reaksi alergi serius akibat campak kemungkinan kejadiannya hanya
1/1000.000 dosis.
Mengingat hampir setiap vaksin mempunyai potensi memberikakn
reaksi efek samping atau KIPI, maka sebaiknya bertanya terlebih dahulu
kepada petugas gejala apa saja yang dapat terjadi setelah vaksinasi. Bila
keluhan KIPI bersifat ringan, misalnya demam, nyeri tempat suntikan, atau
bengkak maka dapat dilakukan pengobatan sederhana, misalnya dengan
minum obat antipiretik saja. Tetapi bila kejadian pasca imunisasi bersifat
serius, maka harus secepat mungkin dibawa kerumah sakit. Setiap
pelayanan kesehatan yang melakukan pemberian vaksinasi mempunyai
kewajiban untuk melaporkan KIPI ke Dinas Kesehatan Tingkat Kabupaten,
dengan tembusan ke Sekretariat KOMDA PP KIPI yang berkedudukan di
setiap provinsi.
D. IMUNISASI YANG DIWAJIBKAN
1. BCG8
Bacille Calmete-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari
Mycobacterium Bovis yang dilemahkan, sehingga didapatkan basil yang
tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksinasi BCG
menimbulkan sensitivitas terhadap tuberculin.
Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. Namun untuk
mencapai cakupan yang lebih luas, dianjurkan pemberian imunisasi BCG
pada umur antara 0-12 bulan.

Gambar 1. Vaksin BCG


Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak
(>1 tahun). Vaksin BCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan
atas pada insersio M.Deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak ditempat lain
(bokong, paha) .
Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberculosis, namun dapat
mencegah komplikasinya. Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3
bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu. Vaksin BCG
diberikan apabila uji tuberculin negatif.
Efek proteksi timbul 8-12

minggu

setelah

penyuntikkan.

Berhubungan dengan beberapa faktor yaitu mutu vaksin yang dipakai,


lingkungan dengan Mycobacterium atipik atau faktor pejamu (umur, keadaan
gizi dan lain-lain).8
Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan pada
suhu 280C, tidak boleh beku. Vaksin yang telah dienccerkan harus
dipergunakan dalam waktu 8 jam.
Kejadian ikutan pasca

imunisasi

pada

penyuntikan

BCG

intradermal akan menimbulkan ulkus local yang superficial 3 minggu setelah


penyuntikkan. Ulkus tertutup krusta, akan sembuh dalam 2-3 bulan, dan

meninggalkan parut bulat dengan diameter 4-8 mm, apabila dosis terlalu
tinggi maka ulkus yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikkan
terlalu dalam maka parut yang terjadi tertarik ke dalam.
a. Limfadenitis Limfadenitis supuratif di aksila atau di leher kadangkadang dijumpai setelah penyuntikan BCG. Limfadenitis akan sembuh
sendiri, jadi tidak perlu diobati. Apabila limfadenitis melekat pada kulit
atau timbul fistula maka dapat dibersihkan (drainage) dan diberikan
obat anti tuberculosis oral. Pemberian obat anti tuberculosis sistemik
tidak efektif.
b. BCG-itis diseminasi Jarang terjadi, seringkali berhubungan dengan
imunodefisiensi berat. Komplikasi lainnya adalah eritema nodosum,
iritis, lupus vulgaris dan osteomielitis. Komplikasi ini harus diobati
dengan kombinasi obat anti tuberculosis.
Kontra indikasi BCG8
1) Reaksi uji tuberculin >5 mm
2) Menderita infeksi HIV atau dengan resiko tinggi infeksi HIV,
imunokompromais

akibat

penggunaan

kortikosteroid,

obat

imunosupresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit keganasan


yang mengenai sumsum tulang atau system limfe. - Menderita gizi
buruk. - Menderita demam tinggi. - Menderita infeksi kulit yang
luas.
3) Pernah sakit tuberculosis.
4) Kehamilan.

2. Hepatitis B8
Vaksin hepatitis B (hep B) harus segera diberikan setelah lahir,
mengingat vaksinasi hepB merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif
untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu
kepada bayinya.
Vaksin diberikan secara intramuscular dalam. Pada neonatus dan bayi
diberikan di anterolateral paha, sedangkan pada anak besar dan dewasa,
diberikan di region deltoid.

Gambar 2. Vaksin Hepatitis B Rekombinan


Secara umum, vaksin diberikan 3 kali pemberian, disuntikan secara
dalam (sampai ke otot). Vaksinasi diberikan dengan jadwal 0, 1, 6 bulan
(kontak pertama, 1 bulan, dan 6 bulan kemudian). Khusus vaksinasi bayi
baru lahir diberikan dengan jadwal berikut :
1. Dosis pertama
: sebelum umur 12 jam
2. Dosis kedua
: umur 1-2 bulan
3. Dosis ketiga
: umur 6 bulan
Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah meperoleh imunisasi
hepatitis B, maka secepatnya diberikan.
Untuk ibu dengan HbsAg positif, selain vaksin hepatitis B
diberikan juga hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml disisi tubuh yang
berbeda dalam 12 jam setelah lahir. Sebab, Hepatitis B imunoglobulin (HBIg)
dalam waktu singkat segera memberikan proteksi meskipun hanya jangka
pendek (3-6 bulan).
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
Reaksi KIPI yang sering terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang
ringan dan bersifat sementara, terkadang dapat menimbulkan demam ringan
untuk 1-2 hari. Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi absolut pemberian
vaksin Hepatitis B. Kehamilan dan laktasi bukan kontraindikasi vaksin
Hepatitis B.
3. DTP3,9
Imunisasi DTP mengandung toksoid difteri, toksoid tetanus dan
vaksin pertusis. Dengan demikian vaksin ini memberikan perlindungan
terhadap 3 penyakit sekaligus, yaitu difteri, pertusis, dan tetanus.

Gambar 3. Vaksin DTP


Vaksin DTP dibedakan menjadi 2, yaitu DTwP dan DtaP berdasarkan
perbedaan pada vaksin tetanus. DTwP (Difteri Tetanus whole cell Pertusis)
mengandung suspense kuman B. pertusis yang telah mati, sedangkan DTaP
(Difteri Tetanus acellular Pertusis) tidak mengandung seluruh komponen
kuman B.Pertusis, melainkan hanya beberapa komponen yang berguna
dalam pathogenesis dan memicu pembentukan antibody. Vaksin DTaP
mempunyai efek samping yang lebih ringan dibandingkan vaksin DTwP.
Vaksin DTP diberikan saat anak berumur 2, 4 , dan 6 bulan. Setelah
itu, dapat dilanjutkan dengan pemberian vaksin kembali saat anak berumur
18 bulan, 5 tahun dan 12 tahun.
Ulangan booster DTP selanjutnya diberikan satu tahun setelah DTP-3
yaitu pada umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5
tahun. Pada booster umur 5 tahun harus tetap diberikan vaksin dengan
komponen pertusis (sebaiknya diberikan DTaP untuk mengurangi demam
pasca imunisasi) mengingat kejadian pertusis pada dewasa muda meningkat
akibat ambang proteksi telah sangat rendah sehingga dapat menjadi sumber
penularan pada bayi dan anak. DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di
sekolah dasar. Ulangan DT-6 diberikan pada 12 tahun, mengingat masih
dijumpai kasus difteria pada umur lebih dari 10 tahun. Dosis DTwP atau
DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuscular, baik untuk imunisasi dasar
maupun ulangan. Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan

pemberian 5 dosis pada usia 2,4,6,15-18 bulan dan usia 5 tahun atau saat
masuk sekolah. Dosis ke 4 harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan
setelah dosis ke 3. kombinasi toksoid difteria dan tetanus(DT) yang
mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontra
indikasi terhadap pemberian yang pertusis.
Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP
a. Reaksi local kemerahan, bengkak dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi
pada separuh penerima DTP.
b. Proporsi Demam ringan dengan reaksi local sama dan diantaranya
dapat mengalami hiperpireksia.
c. Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam paska
suntikan (inconsolable crying).
d. Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang demam sesudah
vaksinasi yang dihubungkan dengan demam yang terjadi.
e. Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya ensefalopati akut
atau reaksi anafilaksis dan terbukti disebabkan oleh pemberian vaksin
pertusis.
Kontra indikasi
Saat ini didapatkan dua hal yang diyakini sebagai kontra indikasi
mutlak terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole cell maupun acelular.
Yaitu :
a. anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya.
b. Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya.
c. Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus (precaution).
Misalnya pemberian vaksin pertusis berikutnya bila pada pemberian
pertama

dijumpai

riwayat

hiperpireksia,

keadaan

hipotonik-

hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 3


jam dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DTP Riwayat
kejang dalam keluarga dan kejang yang tidak berhubungan dengan
pemberian vaksin sebelumnya, kejadian ikutan paska imunisasi atau
alergi terhadap vaksin bukanlah suatu indikasi kontra terhadap
pemberian vaksin DTaP. Walaupun demikian keputusan untuk
pemberian vaksin pertusis harus dipertimbangkan secara individual

dengan memperhitungkan keuntungan dan resiko pemberiannya.


4. Polio
Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang
disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang
dinamakan poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut, mengifeksi
saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem
saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan
(paralisis).

Gambar 4. Vaksin Polio Oral

Gambar 5. Vaksin OPV Trivalen dan droper


Pada saat ini ada dua jenis vaksin polio yaitu OPV (oral polio vaccine)
dan IPV (inactivated polio vaccine). OPV diberikan 2 tetes melalui mulut,
sedangkan IPV diberikan melalui suntikan dengan dosis 0,5 ml dengan
suntikan subkutan dalam 3 kali di lengan dengan jarak 2 bulan. Vaksin polio
oral diberikan pada bayi baru lahir kemudian dilanjutkan dengan imunisasi

dasar, diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan. Pada PIN (pekan imunisasi
nasional) semua balita harus mendapat imunisasi tanpa memandang status
imunisasi kecuali pada penyakit dengan daya tahan tubuh menurun
(imunokompromais). Bila pemberiannya terlambat, jangan mengulang
pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi sesuai
dengan jadwal. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV, diberikan 2 tetes
dengan jadwal seperti imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu tidak
berpengaruh terhadap respons pembentukan daya tahan tubuh terhadap polio,
jadi saat pemberian vaksin, anak tetap bisa minum ASI.
Imunisasi polio ulangan diberikan saat masuk sekolah (5-6 tahun) dan
dosis berikutnya diberikan pada usia 15-19 tahun. Sejak tahun 2007, semua
calon jemaah haji dan umroh dibawah usia 15 tahun harus mendapat 2 tetes
OPV.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomielitis terjadi setelah
pemberian vaksin polio. Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat
menimbulkan gejala pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Vaksinasi polio
tidak dianjurkan diberikan ketika seseoarang sedang demam, muntah, diare,
sedang dalam pengobatan radioterapi atau obat penurun daya tahan tubuh,
kanker, penderita HIV, dan alergi pada vaksin polio.
OPV tidak diberikan pada bayi yang masih dirumah sakit karena OPV berisi
virus polio yang dilemahkan dan vaksin jenis ini bisa diekskresikan melalui
tinja selama 6 minggu, sehingga bisa membahayakan bayi lain. Untuk bayi
yang dirawat dirumah sakit, disarankan pemberian IPV.
5. Campak
Penyakit Campak adalah suatu infeksi virus yang sangat menular,
yang ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis (peradangan selaput ikat
mata/konjungtiva) dan ruam kulit. Penyakit ini disebabkan karena infeksi
virus campak golongan Paramyxovirus.

Gambar 6. Vaksin Campak Kering


Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anakanak. Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan
dan campak jerman (vaksin MMR). Jika hanya mengandung campak vaksin
diberikan pada usia 9 bulan dalam 1 dosis 0,5 ml subkutan dalam. Terdapat 2
jenis vaksin campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus campak hidup dan
dilemahkan (tipe Edmonston-B) dan vaksin yang berasal dari virus campak
yang dimatikan (virus campak yang berada dalam larutan formalin yang
dicampur dengan garam aluminium).
Imunisasi ulangan juga dianjurkan dalam situasi tertentu :1
a. Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan terbukti
bahwa potensi vaksin yang digunakan kurang baik (tampak peningkatan
insidens kegagalan vaksinasi). Pada anak-anak yang memperoleh
imunisasi ketika berumur 12-14 bulan tidak disarankan mengulangi
imunisasinya tetapi hal ini bukan kontra indikasi
b. Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkatan kasus campak, maka
anak SD, SLTP dan SLTA dapat diberikan imunisasi ulang
c. Setiap orang yang pernah memperoleh imunoglobulin
d. Seseorang yang tidak dapat menunjukkan catatan imunisasinya
Kontraindikasi :
Bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi, sedang
memperoleh pengobatan imunosupresif, hamil, memiliki riwayat alergi,
sedang memperoleh pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan berasal
dari darah, alergi terhadap protein telur.

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi


- Demam lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam
dijumpai pada hari ke-5 sampai ke-6 sesudah imunisasi dan berlangsung
-

selama 2 hari
Kejang demam
Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan

berlangsung selama 2-4 hari


Reaksi KIPI yang berat dapat menyerang sistem saraf, yang reaksinya
diperkirakan muncul pada hari ke-30 sesudah imunisasi.

E. IMUNISASI YANG DIANJURKAN


1. Vaksinasi Hib (Haemophilus influenza tipe b)1,3
Vaksin Hib merupakan vaksin yang tidak aktif, dibuat dari kapsul
Haemophilus influenza Tipe B yang disebut polyribosribitol phospat (PRP).
Terdapat 2 jenis vaksin Hib di Indonesia yaitu PRP-T dan PRP-OMP.
Kedua vaksin ini termasuk vaksin konjugasi. Vaksin Hib PRP-T diberikan
pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Vaksin Hib PRP-OMP diberikan pada usia 2 dan
4 bulan. Dosis ketiga tidak diperlukan. Vaksin ulangan, baik PRP-T maupun
PRP-OMP diberikan pada usia 15 - 18 bulan. Apabila anak datang pada usia
1-5 tahun, maka vaksin Hib hanya diberikan 1 kali. Vaksin ini diberikan
secara intramuskular sebanyak 0,5 ml didaerah paha atas. Kekebalan tubuh
akan mulai terbentuk setelah pemberian suntikan yang pertama dengan
vaksin jenis PRP-OMP dan setelah 2 kali suntikan dengan vaksin jenis PRPT.
Anak-anak usia diatas 6 bulan yang belum mendapat vaksin diberikan
2 kali suntikan, sedangkan bagi anak diatas usia 1 tahun cukup mendapat 1
kali suntikan saja tanpa perlu pemberian ulangan. Dengan pemberian vaksin
ini diharapkan 95% anak-anak terlindungi dari infeksi Hib setelah dosis
kedua atau ketiga.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi setelah pemberian vaksinasi Hib,
5%-30% anak memperoleh vaksinasi bisa mengalami demam, bengkak
kemerahan, dan nyeri pada tempat suntikan selama 1-3 hari. Vaksin Hib
tidak

direkomendasikan

diberikan

bila

seseorang

sedang

demam,

mengalami infeksi akut, dan orang dengan riwayat alergi yang mengancam
jiwa.

2. PCV
Jenis imunisasi ini tergolong baru di Indonesia. PCV atau
Pneumococcal

Vaccine

alias

imunisasi

pneumokokus

memberikan

kekebalan terhadap serangan penyakit IPD (Invasive Peumococcal


Diseases), yakni meningitis (radang selaput otak), bakteremia (infeksi
darah), dan pneumonia (radang paru). Ketiga penyakit ini disebabkan
kuman Streptococcus Pneumoniae atau Pneumokokus yang penularannya
lewat udara.
Vaksin pneumokokus diberikan secara intramuskular atau subkutan di
daerah deltoid atau

paha tengah lateral sebanyak 0,5 ml. Vaksin ini

diberikan sejak usia 2 bulan dengan interval 2 bulan sebanyak 3 kali.


Kemudian ulangan hanya dilakukan pada anak yang memiliki risiko tinggi
tertular pneumokokus pada usia 12-18 bulan. PCV7 sebaiknya diberikan
jika anak sudah berusia lebih dari 2 bulan, diberikan pada bayi umur 12-15
bulan. Interval antara 2 dosis minimal 4-8 minggu. Anak yang telah
mendapat imunisasi PCV7 lengkap sebelum umur 2 tahun, pada umur 2
tahun diberi PPV23 1 dosis, dengan selang waktu suntik > 2 bulan setelah
PCV7 terakhir.
Reaksi KIPI pada 30-50% resipien yang mendapatkan vaksin ini akan
mengalami eritema atau nyeri pada tempat suntikan, biasanya berlangsung
kurang dari 48 jam. Reaksi lain berupa demam, gelisah, pusing, nafsu
makan menurun, mialgia (pada anak <1%). Demam ringan sering timbul.
Reaksi ikutan pasca imunisasi ini biasanya terjadi setelah pemberian dosis
kedua, namun berlangsung tidak lama dan menghilang dalam 3 hari.
Ada beberapa kondisi dimana imunisasi pneumokokus ini tak dapat
diberikan, yaitu:
Kontraindikasi absolut: bila timbul anafilaksis setelah pemberian vaksin.
Kontraindikasi relatif:
Usia kurang dari 2 tahun, karena respon terhadap vaksin masih
kurang baik

Dalam pengobatan imunosupresif atau radiasi kelenjar limfe.

3. MMR
Vaksin MMR merupakan vaksin kering, mengandung virus hidup.
Bagi Balita, pada usia 12-15 bulan (jika tidak mendapatkan imunisasi
campak) dapat diberikan vaksinasi MMR untuk mencegah risiko tinggi yang
membahayakan bagi kesehatan.
Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah
penyakit campak, gondongan, dan rubella. Pemberian vaksin biasanya
dilakukan pada usia anak 12-15 bulan. Dosis tunggal 0,5 ml diberikan
secara intramuskular atau subkutan dalam.
4. Influenza
Virus influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated
influenza virus). Terdapat 2 macam vaksin, yaitu whole virus dan split-virus
vaccine.
Dosis bagi anak berumur < 3 tahun adalah 0,25 ml dan dosis bagi anak
berumur > 3 tahun adalah 0,5 ml disuntikan di otot paha. Bila anak telah
berusia > 9 tahun, vaksin cukup diberikan satu dosis dan diulang setiap
tahun.
KIPI dari penyuntikan vaksin yang mungkin terjadi adalah bengkak,
nyeri, kemerahan pada tempat suntikan, demam, dan pegal. Gejala-gejala
tersebut dapat terjadi setelah penyuntikan dan bertahan 1-2 hari.
5. Tifoid
Ada 2 jenis vaksin tifoid yang bisa diberikan ke anak, yakni vaksin
oral (Vivotif) dan vaksin suntikan (TyphimVi). Keduanya efektif mencekal
demam tifoid alias penyakit tifus, yaitu infeksi akut yang disebabkan bakteri
Salmonella typhi.
Jenis vaksin
1) Vaksin kapsuler Vi polisakarida
Diberikan pada umur lebih dua tahun, ulangan dilakukan setiap
3 tahun. Kemasan dalam prefilled syringe 0,5 ml pemberian secara
intramuskular.
Keadaan yang dihindarkan saat pemberian vaksin adalah jangan
diberikan sewaktu demam, riwayat alergi, dan keadaan penyakit akut.

KIPI yang timbul berupa demam, pusing, sakit kepala, nyeri sendi,
nyeri otot tempat suntikan.
2) Tifoid oral Ty21a
Diberikan pada umur

lebih dari 6 tahun. - Dikemas dalam

kapsul, diberikan 3 dosis dengan interval selang sehari (hari 1,3,5). Imunisasi ulangan diberikan setiap 3-5 tahun. Yang perlu diperhatikan
dalam pemberian vaksin ini adalah tidak boleh dilakukan saat sedang
demam, tidak boleh dilakukan pada orang dengan penurunan sistem
kekebalan tubuh (HIV, keganasan, sedang kemoterapi atau sedang
terapi steroid) dan riwayat anafilaksis, tidak boleh kepada orang yang
alergi gelatin.
KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini cukup ringan, yaitu
muntah, diare, demam, dan sakit kepala. Dengan efektivitas vaksin
yang lebih tinggi dan disertai efek samping yang lebih rendah daripada
jenis vaksin tifoid lainnya, maka

vaksin tifoid oral ini merupakan

pilihan utama. Sayangnya, vaksin oral belum tersedia di Indonesia.


6. Hepatitis A
Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa vaksinasi Hepatitis A dapat
memberikan perlindungan hampir 100% dan dapat bertahan sekitar 15 - 20
tahun. Vaksin Hepatitis A berisi virus Hepatitis A yang dilemahkan dan
tersedia dalam 2 kemasan dosis, yaitu untuk anak-anak 2-18 tahun dan
dewasa usia > 18 tahun. Vaksin diberikan sebanyak 2 kali, suntikan kedua
diberikan 6-12 bulan dari suntikan pertama, dan selanjutnya tidak
diperlukan pengulangan. Untuk pemberian yang cepat dapat langsung
diberikan suntikan 2 dosis sekaligus dengan daya perlindungan > 90%
dalam 2 minggu. Dosisnya bervariasi bergantung pada produk dan usia,
disuntik secara intramuskular di deltoid.
Umumnya aman dan KIPI yang sering ditemukan adalah reaksi lokal
tetapi umumnya ringan, kadang-kadang juga ada sedikit demam. Efek
samping akibat pemberian vaksinasi terbanyak 10 %-15% berupa nyeri dan
bengkak di tempat injeksi. Vaksin tidak boleh diberikan pada individu yang
mengalami efek samping berat sesudah pemberian dosis pertama.

7. Varicela
Vaksin berisi virus hidup varicella-zoster yang dilemahkan yang
berasal dari galur OKA. Vaksin ini berasal dari virus varicella zooster liar
yang diisolasi dari seorang anak yang bernama belakang oka berusia 3
tahun. Vaksin ini dikembangkan pertama kali di Jepang oleh Takahashi dan
di Amerika mendapat lisensi untuk digunakan pada anaksejak tahun 1995.
Menurut rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak seluaruh Indonesia),
vaksin varisela dianjurkan pada anak dengan usia > 1 tahun, cukup 1 dosis.
Namun berdasarkan penelitian mengenai pencegahan dan penanganan
wabah varisela maka pada tahun 2006 The Advisory Commitee on
Immunization Practices (ACIP) dan America Academy of Pediatrics (AAP)
merekomendasikan 2 dosis untuk semua anak. Hal ini disebabkan masih
timbulnya wabah varisela terutama pada populasi yang sebagian besar telah
dievakuasi. Disimpan dalam suhu 2-8oC. Suntikan pertama diberikan saat
usia 12-15 bulan dan suntikan kedua pada usia 4-6 tahun sebanyak 0,5 ml
secara subkutan.11
Kejadian Ikutan Pasca Imunisai
Jarang terjadi, tetapi bila terjadi reaksi yang muncul bersifat lokal
(1%) yaitu bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan yang terjadi
beberapa jam sesudah suntikan. Kadang-kadang didapatkan demam (1%)
dan timbul bercak kemerahan dan lenting ringan.
Kontra indikasi
Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi,
gangguan kekebalan karena pengobatan penyakit keganasan atai sesudah
diradioterapi, pasien yang mendapat pengobatan kortikosteroid tinggi dan
alergi neomisin.
8. HPV
Pengembangan vaksin pencegahan vaksin HPV menawarkan harapan
baru untuk mencegah kanker leher rahim. Uji klinis dari 2 generasi pertama
vaksin, satu untuk HPV tipe 16 dan 18, sedangkan yang lainnya untuk tipe

6, 11, 16, 18 telah memperlihatkan proteksi yang cukup tinggi melawan


insiden dan infeksi persisten.
Vaksin diberikan 3 dosis (bulan ke-0, ke-1, dan ke-6) secara
intramuskular lengan atas. Vaksin tidak akan memberikan proteksi
maksimal jika tidak menyeleseikan ke-3 dosis tersebut. Sampai saat ini,
penelitian selama 5 tahun dan masih berjalan bahwa vaksin ini tidak
memerlukan booster, sehingga masih efektif setidaknya untuk 5 tahun.
Vaksin HPV aman dan efektif jika diberikan pada wanita usia 9-26
tahun. Namun panduan dari Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia
(HOGI) menyarankan vaksin diberikan pada wanita usia 10-55 tahun.
Vaksin pencegahan terhadap infeksi HPV akan bekerja secara efisien bila
vaksin ini diberikan sebelum individu terpapar infeksi HPV.
Vaksin HPV relatif aman, reaksi KIPI relatif ringan dapat berupa nyeri
pada lokasi penyuntikan, sakit kepala, demam, mual, dan demam.

F.JADWAL IMUNISASI

G. HALAL HARAM IMUNISASI


Islam mengutamakan aspek pencegahan dalam berbagai bidang
kehidupan. Sebagai contoh dalam menghadapi kemungkinan timbulnya penyakit
menular seksual, Islam dengan tegas melarang ummatnya untuk mendekati zina.
Dalam surat al Isra 32 :"Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan keji dan jalan yang buruk. Panduan terhadap
pencegahan penyakit dalam al Qur'an maupun al Hadits (petunjuk Nabi saw)
dapat dilihat pada beberapa ayat dan hadits berikut:
1. Jagalah lima keadaan sebelum datang lima keadaan, di antaranya:
jagalah kesehatanmu sebelum datang masa sakitmu. Al Hadits.
2. Bila terjadi wabah di suatu tempat, maka penduduk setempat dilarang
meninggalkan daerahnya dan orang luar dilarang berkunjung sampai
wabah berlalu. Al Hadits. Inilah konsep isolasi daerah wabah yang
sudah diajarkan oleh Nabi SAW sejak dahulu.

3. Mukmin yang kuat lebih disukai Allah SWT daripada mukmin yang
lemah. Al Hadits.
4. Dan persiapkanlah kekuatan semaksimal mungkin dalam menghadapi
musuhmusuhmu...QS 8:60
5. Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah maka ia tidak akan
terkena pengaruh sihir atau racun. Al Hadits.
Dari beberapa hadits dan ayat Qur'an tersebut di atas kita dapat melihat bahwa
Islam sangat menganjurkan aspek pencegahan terhadap penyakit. Karena biaya
yang dikeluarkan untuk aspek pencegahan akan jauh lebih murah dibandingkan
dengan pengobatan penyakit. Hal ini telah dibuktikan kebenarannya oleh ilmu
kedokteran modern. Islam memberi kebebasan dalam hal teknik pencegahan
sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada saat itu.
a. Pendapat para ulama mengenai vaksinasi
Kita perlu tahu bahwa vaksinasi bukan hanya dilaksanakan di
Indonesia namun juga dilaksanakan di lebih dari 190 negara di seluruh
dunia, termasuk negara-negara muslim. Sampai saat ini tidak pernah
terdengar seorang pun dari ulama-ulama di negara-negara muslim itu yang
melarang diberikannya vaksinasi kepada bayi dan anak di negaranya.
Sebagai contoh Syaikh Abdullah Bin Bazz seorang mufti dari Saudi Arabia
membolehkan vaksinasi. DR Yusuf Al Qaradhawy seorang ulama mujtahid
yang berdomisili di Qatar pun membolehkan imunisasi. Bahkan beliau
banyak menyerahkan masalah ini kepada para dokter yang menguasai ilmu
vaksinologi secara mendalam dan kemudian beliau berikan fatwa terhadap
apa yang diungkapkan para dokter. Kalau para ulama di tingkat
internasional saja membolehkan vaksinasi lalu mengapa ada orang yang
bukan ulama malah mempermasalahkan bolehnya vaksinasi dalam Islam.
Adapun pendapat sebagian kelompok Islam yang mengatakan vaksinasi
dilarang dalam Islam karena menggunakan kuman yang disuntikkan ke
dalam tubuh sehingga berpotensi membahayakan tubuh, adalah pendapat
yang tidak berlandaskan ilmu. Hanya berdasarkan zhan atau prasangka
belaka. Padahal Islam melarang umatnya untuk berprasangka, karena

sebagian prasangka adalah dosa. Saat ini ada sebagian orang yang bukan
ahlinya namun seringkali berkomentar mengenai sesuatu yang tidak
difahaminya secara mendalam.
b. Masalah enzym babi dalam proses pembuatan vaksin
Salah satu persoalan yang sering dipermasalahkan mengenai kehalalan
vaksin adalah digunakannya enzym tripsin dari babi selama pembuatan
beberapa jenis vaksin tertentu. Seringkali masalahnya ada pada perbedaan
persepsi. Sebagian besar orang mengira bahwa proses pembuatan vaksin itu
seperti orang membuat puyer. Bahan-bahan yang ada semua dicampur jadi
satu, termasuk yang mengandung babi, dan kemudian digerus menjadi
vaksin. Hal semacam ini adalah persepsi keliru mengenai proses pembuatan
vaksin di era modern ini. Bila prosesnya demikian sudah tentu hukum
vaksin menjadi haram.
Namun sebenarnya proses pembuatan vaksin di era modern ini
amatlah kompleks. Ada beberapa tahapan, dan tidak ada proses seperti
menggerus puyer tadi. Enzym tripsin babi digunakan sebagai katalisator
untuk memecah protein menjadi peptida dan asam amino yang menjadi
bahan makanan kuman. Kuman tersebut setelah dibiakkan kemudian
dilakukan fermentasi dan diambil polisakarida sebagai antigen bahan
pembentuk vaksin. Selanjutnya dilakukan proses purifikasi, yang mencapai
pengenceran 1/67,5 milyar kali sampai akhirnya terbentuk produk vaksin.
Pada hasil akhir proses sama sekali tidak terdapat bahan-bahan yang
mengandung babi. Bahkan antigen vaksin ini sama sekali tidak
bersinggungan dengan babi baik secara langsung maupun tidak.
Dengan demikian isu bahwa vaksin mengandung babi menjadi sangat tidak
relevan dan isu semacam itu timbul karena persepsi yang keliru pada
tahapan proses pembuatan vaksin. Majelis Ulama Indonesia sudah
mengeluarkan fatwa halal terhadap vaksin meningitis yang pada proses
pembuatannya menggunakan katalisator dari enzym tripsin babi. Hal serupa
terjadi pula pada proses pembuatan beberapa vaksin lain yang juga
menggunakan tripsin babi sebagai katalisator proses. Sebagai dokter kita

perlu memahami konteks ini agar dapat berdiskusi dengan pasien yang
mempunyai kesalah-pahaman terhadap vaksinasi dengan informasi keliru
khususnya yang berkaitan dengan ajaran agama (Islam). Diharapkan dengan
diskusi intensif dengan pasien yang masih ragu kita bisa meyakinkan bahwa
vaksinasi itu halal dan aman.
c. Fatwa Lembaga dan Organisasi Islam di Indonesia
1. Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Fatwa MUI 4 Syaban 1431 H/16 Juli 2010 M (fatwa terbaru MUI)
fatwa no. 06 tahun 2010 tentang penggunaan vaksin meningitis bagi
jemaah haji atau umrah. Menetapkan ketentuan hukum :
a) vaksin MencevaxTM ACW135Y hukumnya haram
b) vaksin Monveo meningicocal dan vaksin meninggococcal hukumnya
halal
c) vaksin yang boleh digunakan hanya vaksin yang halal
d) ketentuan dalam fatwa MUI nomor 5 tahun 2009 yang menyatakan
bahwa bagi orang yang melaksanakan wajib haji atau umrah wajib,
boleh menggunakan vaksin meningitis haram karena Al-hajah
(kebutuhan mendesak) dinyatakan tidak berlaku lagi.
(sumber: http://jambi.kemenag.go.id/file/dokumen/fatwavaksin.pdf)
2. Fatwa dari Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah
Pertanyaan dari Pimpinan Pusat Aisyiyah Majelis Kesehatan dan
Lingkungan Hidup, tentang status hukum vaksin, khususnya untuk
imunisasi polio yang dicurigai memanfaatkan enzim dari babi.
Jawaban: sebagai kesimpulan, dapatlah dimengerti bahwa vaksinasi
polio yang memanfaatkan enzim tripsin dari babi hukumnya adalah
mubah atau boleh, sepanjang belum ditemukan vaksin lain yang bebas
dari enzim itu : sehubungan dengan itu, kami menganjurkan pada pihakpihak yang berwenang dan berkompeten agar melakukan penelitianpenelitian terkait dengan penggunaan enzim dari binatang selain babi
yang tidak diharamkan memakannya. Sehingga suatu saat nanti dapat
ditemukan vaksin yang benar-benar bebas dari barang-barang yang
hukum asalnya adalah haram.

(sumber: http://www.fatwatarjih.com/2011/08/hukum-vaksin.html)
3. Fatwa LBM-NU [Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama]
Indonesia
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) akan menindaklanjuti hasil
sidang Lembaga Bahtsul Matsail NU (LBM-NU). Kesimpulan sidang
menyatakan secara umum hukum vaksin meningitis suci dan boleh
dipergunakan.

BAB III
KESIMPULAN
Upaya pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan banyak cara. Salah
satunya adalah dengan meningkatkan kekebalan atau imunitas tubuh dalam
menghadapi ancaman penyakit yang dilakukan dengan pemberian imunisasi.
Imunisasi dasar pada anak usia dibawah 2 tahun sangat penting untuk dilakukan
oleh karena bisa menurunkan angka kesakitan dan kematian yang seharusnya
dapat dicegah walaupun imunisasi tidak menjamin 100% bahwa seseorang tidak
akan terjangkit penyakit tersebut.
Pada tahun 2014 berdasarkan rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak
Indonesia)
dianjurkan.

ditetapkan program imunisasi wajib dan program imunisasi yang

Dalam hal ini maka harus terus digalakkan program imunisasi kepada
masyarakat luas sehingga masyarakat menyadari pentingnya imunisasi dan mau
membawa anaknya untuk melakukan imunisasi, khususnya imunisasi yang
diwajibkan. Jika imunitas pada masyarakat tinggi, maka risiko terjadinya
penularan dan wabah juga akan berkurang.

DAFTAR PUSTAKA
1. Suharjo, JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius : 2010
2. Sri, Rezeki S Hadinegoro. Prof. Dr. dr. SpA(K), dkk. Pedoman imunisasi
di Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta 2005
3. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting.
Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.
4. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB, penyunting.
Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi kedua. Jakarta: UKK
Respiratologi PP IDAI; 2007.
5. Lawrence M Tierney Jr MD, Stephen J McPhee MD, Maxine A Papadakis
MD. Current Medical Diagnosis and Treatment 2002. Page 1313-1319.
6. Eric AF Simoes MD DCH and Jessie R Groothius MD. Immunization.
Page 235-258.
7. Eric AF Simoes MD DCH, Matthew F. Daley, MD Sean T. OLeary, MD,
Ann-Christine Nyquist, MD, MSPH. Immunization; chapter 240-272.

8. Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia


(IDAI) 2008 [image on the Internet]. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia,

2008

Available

from

http://pediatricinfo.wordpress.com/2009/04/20/jadwal-imunisasi-2008idai/
9. Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) 2008 [image on the Internet]. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia,

2014

Available

from

http://idai.or.id/public-

articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-idai-2014.html

Anda mungkin juga menyukai