PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imunisasi adalah suatu usaha untuk memberikan kekebalan pada bayi dan
anak terhadap penyakit tertentu. Guna terwujudnya kesehatan yang tinggi,
pemerintah telah menempatkan fasilitas pelayanan.
Angka kesakitan bayi di Indonesia relative masih cukup tinggi, meskipun
menunjukkan penurunan dalam satu decade terakhir. Program imunisasi bisa
didapatkan tidak hanya di puskesmas atau di rumah sakit saja, akan tetapi juga
diberikan di posyandu yang dibentuk masyarakat dengan dukungan oleh petugas
kesehatan dan diberikan secara gratis kepada masyarakat dengan maksud
program imunisasi dapat berjalan sesuai dengan harapan. Program imunisasi di
posyandu telah menargetkan sasaran yang ingin dicapai yakni pemberian
pemberian imunisasi pada bayi secara lengkap. Imunisasi dikatakan lengkap
apabila mendapat BCG 1 kali, DPT 3kali, Hepatitis 3 kali, Campak 1 kali, dan
polio 4 kali. Bayi yang tidak mendapat imunisasi secara lengkap dan mengalami
berbagai penyakit, misalnya difteri, tetanus, campak, polio dan sebagainya. Oleh
karena itu, imunisasi harus diberikan dengan lengkap sesuai jadwal. Imunisasi
secara lengkap dapat mencegah terjadinya berbagai penyakit tersebut.
Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas
utama. Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat
efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi
adalah sarana untuk mencegah penyakit berbahaya, yang dapat menimbulkan
kematian pada bayi. Penurunan insiden penyakit menular telah terjadi berpuluh
puluh tahun yang lampau di Negara Negara maju yang telah melakukan
imunisasi dengan teratur dengan cakupan yang luas.
Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar
diperlukan pengetahuan dan keterampilan tentang vaksin (vaksinologi), ilmu
kekebalan (imunologi) dan cara atau prosedur pemberian vaksin yang benar.
Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan
perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya
karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara
aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang
serupa tidak terjadi penyakit. Imunisasi berasal dari kata immune yang berarti
kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan
kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari
penyakit yang lain diperlukan imunisasi lainnya.3
Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan
paparan pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan
Virus
atau
bakteri
liar
ini
dilemahkan
(attinuated)
klinis.
Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas
2. Penyimpanan
Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus
didinginkan pada temperatur 2-8C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin
(DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A ) menjadi tidak aktif bila beku.6
3. Cara penyuntikan vaksin7
1) Subkutan
Penyuntikan subkutan diperuntukan imunisasi MMR, varisela,
meningitis. Perhatikan rekomendasi untuk umur anak.
Tabel 1. Penyuntikan subcutan
Umur
Bayi (lahir
bulan)
1-3 tahun
Tempat
s/d12 Paha
anterolateral
paha
anterolateral/
Lateral lengan
Ukuran jarum
Jarum 5/8-3/4
Spuit no 23-25
Jarum 5/8-3/4
Spuit no 23-25
atas
Lateral lengan Jarum 5/8-3/4
Spuit no 23-25
atas
Insersi jarum
Arah jarum
45o
Terhadap kulit
Cubit tebal untuk
suntikan subkutan
Aspirasi
spuit
sebelum disuntikan
Untuk
suntikan
multipel
pada
berbeda
diberikan
ekstremitas
2) Intramuskular
Diperuntukan Imunisasi DPT, DT,TT, Hib, Hepatitis A & B, Influenza.
Perhatikan rekomendasi untuk umur anak
Tabel 2. Penyuntikan Intramuscular
Umur
Bayi
Tempat
(lahir Otot
s/d 12 bulan
1-3 tahun
Insersi jarum
1. Pakai jarum yang
lateralis
Ukuran jarum
vastus Jarum 7/8-1
Spuit n0 22-25
pada
paha
daerah
mencpai otot
anterolateral
Otot
vastus Jarum
lateralis
paha
cukup
panjang
untuk
di dengan cepat
1. Tekan kulit sekitar tepat
anterolateral
deltoid umur
suntikan dengan ibu jari
sampai
masa 12-15 bulan
Spuit no 22-25 dan telunjuk saat jarum
otot
deltoid
ditusukan
cukup
besar
(pada umumnya
Anak
tahun
>
umur 3 tahun
3 Otot deltoid, di Jarum
1-1
2. Aspirasi
bawah akromion
Spuit no 22-25
spuit
sblm
dalam
vena.Apabilaterdapat
darah, buang dang ulangi
dengan suntik yang baru.
3. Untuk suntikan multipel
diberikan pada bagian
sekstremitas berbeda
4.
atau
dokter
mempunyai
kewajiban
untuk
menjelaskan
kemungkinan reaksi KIPI apa saja yang dapat terjadi. Dan bagi orang yang
hendak menerima vaksinasi mempunyai hak untuk bertanya dan mengetahui
apa saja reaksi KIPI yang dapat terjadi.
Secara khusus KIPI dapat didefinisikan sebagai kejadian medik
yang berhubungan dengan imunisasi, baik oleh karena efek vaksin maupun
efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, kesalahan
program, reaksi suntikan, atau penyebab lain yang tidak dapat ditentukan.
Secara umum, reaksi KIPI dapat dikategorikan sebagai akibat kesalahan
program, reaksi suntikan, dan reaksi vaksin.
Kesalahan program. Sebagian besar kasus KIPI berhubungan
dengan kesalahan teknik pelaksanaan vaksinasi, misalnya kelebihan dosis,
kesalahan memilih lokasi dan cara menyuntik, sterilitas, dan penyimpanan
vaksin. Dengan semakin membaiknya pengelolaan vaksin, pengetahuan, dan
ketrampilan petugas pemberi vaksinasi, maka kesalahan tersebut dapat
diminimalisasi.
Reaksi suntikan. Reaksi suntikan tidak berhubungan dengan
kandungan vaksin, tetapi lebih karena trauma akibat tusukan jarum,
misalnya bengkak, nyeri, dan kemerehan di tempat suntikan. Selain itu,
reaksi suntikan dapat terjadi bukan akibat dari trauma suntikan melainkan
karena kecemasan, pusing, atau pingsan karena takut terhadap jarum suntik.
Reaksi suntikan dapat dihindari dengan melakukan teknik penyuntikan
secara benar.
Reaksi vaksin. Gejala yang muncul pada reaksi vaksin sudah bisa
diprediksi terlebih dahulu, karena umumnya perusahaan vaksin telah
mencantumkan reaksi efek samping yang terjadi setelah pemberian
minggu
setelah
penyuntikkan.
imunisasi
pada
penyuntikan
BCG
meninggalkan parut bulat dengan diameter 4-8 mm, apabila dosis terlalu
tinggi maka ulkus yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikkan
terlalu dalam maka parut yang terjadi tertarik ke dalam.
a. Limfadenitis Limfadenitis supuratif di aksila atau di leher kadangkadang dijumpai setelah penyuntikan BCG. Limfadenitis akan sembuh
sendiri, jadi tidak perlu diobati. Apabila limfadenitis melekat pada kulit
atau timbul fistula maka dapat dibersihkan (drainage) dan diberikan
obat anti tuberculosis oral. Pemberian obat anti tuberculosis sistemik
tidak efektif.
b. BCG-itis diseminasi Jarang terjadi, seringkali berhubungan dengan
imunodefisiensi berat. Komplikasi lainnya adalah eritema nodosum,
iritis, lupus vulgaris dan osteomielitis. Komplikasi ini harus diobati
dengan kombinasi obat anti tuberculosis.
Kontra indikasi BCG8
1) Reaksi uji tuberculin >5 mm
2) Menderita infeksi HIV atau dengan resiko tinggi infeksi HIV,
imunokompromais
akibat
penggunaan
kortikosteroid,
obat
2. Hepatitis B8
Vaksin hepatitis B (hep B) harus segera diberikan setelah lahir,
mengingat vaksinasi hepB merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif
untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu
kepada bayinya.
Vaksin diberikan secara intramuscular dalam. Pada neonatus dan bayi
diberikan di anterolateral paha, sedangkan pada anak besar dan dewasa,
diberikan di region deltoid.
pemberian 5 dosis pada usia 2,4,6,15-18 bulan dan usia 5 tahun atau saat
masuk sekolah. Dosis ke 4 harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan
setelah dosis ke 3. kombinasi toksoid difteria dan tetanus(DT) yang
mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontra
indikasi terhadap pemberian yang pertusis.
Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP
a. Reaksi local kemerahan, bengkak dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi
pada separuh penerima DTP.
b. Proporsi Demam ringan dengan reaksi local sama dan diantaranya
dapat mengalami hiperpireksia.
c. Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam paska
suntikan (inconsolable crying).
d. Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang demam sesudah
vaksinasi yang dihubungkan dengan demam yang terjadi.
e. Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya ensefalopati akut
atau reaksi anafilaksis dan terbukti disebabkan oleh pemberian vaksin
pertusis.
Kontra indikasi
Saat ini didapatkan dua hal yang diyakini sebagai kontra indikasi
mutlak terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole cell maupun acelular.
Yaitu :
a. anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya.
b. Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya.
c. Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus (precaution).
Misalnya pemberian vaksin pertusis berikutnya bila pada pemberian
pertama
dijumpai
riwayat
hiperpireksia,
keadaan
hipotonik-
dasar, diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan. Pada PIN (pekan imunisasi
nasional) semua balita harus mendapat imunisasi tanpa memandang status
imunisasi kecuali pada penyakit dengan daya tahan tubuh menurun
(imunokompromais). Bila pemberiannya terlambat, jangan mengulang
pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi sesuai
dengan jadwal. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV, diberikan 2 tetes
dengan jadwal seperti imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu tidak
berpengaruh terhadap respons pembentukan daya tahan tubuh terhadap polio,
jadi saat pemberian vaksin, anak tetap bisa minum ASI.
Imunisasi polio ulangan diberikan saat masuk sekolah (5-6 tahun) dan
dosis berikutnya diberikan pada usia 15-19 tahun. Sejak tahun 2007, semua
calon jemaah haji dan umroh dibawah usia 15 tahun harus mendapat 2 tetes
OPV.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomielitis terjadi setelah
pemberian vaksin polio. Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat
menimbulkan gejala pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Vaksinasi polio
tidak dianjurkan diberikan ketika seseoarang sedang demam, muntah, diare,
sedang dalam pengobatan radioterapi atau obat penurun daya tahan tubuh,
kanker, penderita HIV, dan alergi pada vaksin polio.
OPV tidak diberikan pada bayi yang masih dirumah sakit karena OPV berisi
virus polio yang dilemahkan dan vaksin jenis ini bisa diekskresikan melalui
tinja selama 6 minggu, sehingga bisa membahayakan bayi lain. Untuk bayi
yang dirawat dirumah sakit, disarankan pemberian IPV.
5. Campak
Penyakit Campak adalah suatu infeksi virus yang sangat menular,
yang ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis (peradangan selaput ikat
mata/konjungtiva) dan ruam kulit. Penyakit ini disebabkan karena infeksi
virus campak golongan Paramyxovirus.
selama 2 hari
Kejang demam
Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan
direkomendasikan
diberikan
bila
seseorang
sedang
demam,
mengalami infeksi akut, dan orang dengan riwayat alergi yang mengancam
jiwa.
2. PCV
Jenis imunisasi ini tergolong baru di Indonesia. PCV atau
Pneumococcal
Vaccine
alias
imunisasi
pneumokokus
memberikan
3. MMR
Vaksin MMR merupakan vaksin kering, mengandung virus hidup.
Bagi Balita, pada usia 12-15 bulan (jika tidak mendapatkan imunisasi
campak) dapat diberikan vaksinasi MMR untuk mencegah risiko tinggi yang
membahayakan bagi kesehatan.
Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah
penyakit campak, gondongan, dan rubella. Pemberian vaksin biasanya
dilakukan pada usia anak 12-15 bulan. Dosis tunggal 0,5 ml diberikan
secara intramuskular atau subkutan dalam.
4. Influenza
Virus influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated
influenza virus). Terdapat 2 macam vaksin, yaitu whole virus dan split-virus
vaccine.
Dosis bagi anak berumur < 3 tahun adalah 0,25 ml dan dosis bagi anak
berumur > 3 tahun adalah 0,5 ml disuntikan di otot paha. Bila anak telah
berusia > 9 tahun, vaksin cukup diberikan satu dosis dan diulang setiap
tahun.
KIPI dari penyuntikan vaksin yang mungkin terjadi adalah bengkak,
nyeri, kemerahan pada tempat suntikan, demam, dan pegal. Gejala-gejala
tersebut dapat terjadi setelah penyuntikan dan bertahan 1-2 hari.
5. Tifoid
Ada 2 jenis vaksin tifoid yang bisa diberikan ke anak, yakni vaksin
oral (Vivotif) dan vaksin suntikan (TyphimVi). Keduanya efektif mencekal
demam tifoid alias penyakit tifus, yaitu infeksi akut yang disebabkan bakteri
Salmonella typhi.
Jenis vaksin
1) Vaksin kapsuler Vi polisakarida
Diberikan pada umur lebih dua tahun, ulangan dilakukan setiap
3 tahun. Kemasan dalam prefilled syringe 0,5 ml pemberian secara
intramuskular.
Keadaan yang dihindarkan saat pemberian vaksin adalah jangan
diberikan sewaktu demam, riwayat alergi, dan keadaan penyakit akut.
KIPI yang timbul berupa demam, pusing, sakit kepala, nyeri sendi,
nyeri otot tempat suntikan.
2) Tifoid oral Ty21a
Diberikan pada umur
kapsul, diberikan 3 dosis dengan interval selang sehari (hari 1,3,5). Imunisasi ulangan diberikan setiap 3-5 tahun. Yang perlu diperhatikan
dalam pemberian vaksin ini adalah tidak boleh dilakukan saat sedang
demam, tidak boleh dilakukan pada orang dengan penurunan sistem
kekebalan tubuh (HIV, keganasan, sedang kemoterapi atau sedang
terapi steroid) dan riwayat anafilaksis, tidak boleh kepada orang yang
alergi gelatin.
KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini cukup ringan, yaitu
muntah, diare, demam, dan sakit kepala. Dengan efektivitas vaksin
yang lebih tinggi dan disertai efek samping yang lebih rendah daripada
jenis vaksin tifoid lainnya, maka
7. Varicela
Vaksin berisi virus hidup varicella-zoster yang dilemahkan yang
berasal dari galur OKA. Vaksin ini berasal dari virus varicella zooster liar
yang diisolasi dari seorang anak yang bernama belakang oka berusia 3
tahun. Vaksin ini dikembangkan pertama kali di Jepang oleh Takahashi dan
di Amerika mendapat lisensi untuk digunakan pada anaksejak tahun 1995.
Menurut rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak seluaruh Indonesia),
vaksin varisela dianjurkan pada anak dengan usia > 1 tahun, cukup 1 dosis.
Namun berdasarkan penelitian mengenai pencegahan dan penanganan
wabah varisela maka pada tahun 2006 The Advisory Commitee on
Immunization Practices (ACIP) dan America Academy of Pediatrics (AAP)
merekomendasikan 2 dosis untuk semua anak. Hal ini disebabkan masih
timbulnya wabah varisela terutama pada populasi yang sebagian besar telah
dievakuasi. Disimpan dalam suhu 2-8oC. Suntikan pertama diberikan saat
usia 12-15 bulan dan suntikan kedua pada usia 4-6 tahun sebanyak 0,5 ml
secara subkutan.11
Kejadian Ikutan Pasca Imunisai
Jarang terjadi, tetapi bila terjadi reaksi yang muncul bersifat lokal
(1%) yaitu bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan yang terjadi
beberapa jam sesudah suntikan. Kadang-kadang didapatkan demam (1%)
dan timbul bercak kemerahan dan lenting ringan.
Kontra indikasi
Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi,
gangguan kekebalan karena pengobatan penyakit keganasan atai sesudah
diradioterapi, pasien yang mendapat pengobatan kortikosteroid tinggi dan
alergi neomisin.
8. HPV
Pengembangan vaksin pencegahan vaksin HPV menawarkan harapan
baru untuk mencegah kanker leher rahim. Uji klinis dari 2 generasi pertama
vaksin, satu untuk HPV tipe 16 dan 18, sedangkan yang lainnya untuk tipe
F.JADWAL IMUNISASI
3. Mukmin yang kuat lebih disukai Allah SWT daripada mukmin yang
lemah. Al Hadits.
4. Dan persiapkanlah kekuatan semaksimal mungkin dalam menghadapi
musuhmusuhmu...QS 8:60
5. Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah maka ia tidak akan
terkena pengaruh sihir atau racun. Al Hadits.
Dari beberapa hadits dan ayat Qur'an tersebut di atas kita dapat melihat bahwa
Islam sangat menganjurkan aspek pencegahan terhadap penyakit. Karena biaya
yang dikeluarkan untuk aspek pencegahan akan jauh lebih murah dibandingkan
dengan pengobatan penyakit. Hal ini telah dibuktikan kebenarannya oleh ilmu
kedokteran modern. Islam memberi kebebasan dalam hal teknik pencegahan
sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada saat itu.
a. Pendapat para ulama mengenai vaksinasi
Kita perlu tahu bahwa vaksinasi bukan hanya dilaksanakan di
Indonesia namun juga dilaksanakan di lebih dari 190 negara di seluruh
dunia, termasuk negara-negara muslim. Sampai saat ini tidak pernah
terdengar seorang pun dari ulama-ulama di negara-negara muslim itu yang
melarang diberikannya vaksinasi kepada bayi dan anak di negaranya.
Sebagai contoh Syaikh Abdullah Bin Bazz seorang mufti dari Saudi Arabia
membolehkan vaksinasi. DR Yusuf Al Qaradhawy seorang ulama mujtahid
yang berdomisili di Qatar pun membolehkan imunisasi. Bahkan beliau
banyak menyerahkan masalah ini kepada para dokter yang menguasai ilmu
vaksinologi secara mendalam dan kemudian beliau berikan fatwa terhadap
apa yang diungkapkan para dokter. Kalau para ulama di tingkat
internasional saja membolehkan vaksinasi lalu mengapa ada orang yang
bukan ulama malah mempermasalahkan bolehnya vaksinasi dalam Islam.
Adapun pendapat sebagian kelompok Islam yang mengatakan vaksinasi
dilarang dalam Islam karena menggunakan kuman yang disuntikkan ke
dalam tubuh sehingga berpotensi membahayakan tubuh, adalah pendapat
yang tidak berlandaskan ilmu. Hanya berdasarkan zhan atau prasangka
belaka. Padahal Islam melarang umatnya untuk berprasangka, karena
sebagian prasangka adalah dosa. Saat ini ada sebagian orang yang bukan
ahlinya namun seringkali berkomentar mengenai sesuatu yang tidak
difahaminya secara mendalam.
b. Masalah enzym babi dalam proses pembuatan vaksin
Salah satu persoalan yang sering dipermasalahkan mengenai kehalalan
vaksin adalah digunakannya enzym tripsin dari babi selama pembuatan
beberapa jenis vaksin tertentu. Seringkali masalahnya ada pada perbedaan
persepsi. Sebagian besar orang mengira bahwa proses pembuatan vaksin itu
seperti orang membuat puyer. Bahan-bahan yang ada semua dicampur jadi
satu, termasuk yang mengandung babi, dan kemudian digerus menjadi
vaksin. Hal semacam ini adalah persepsi keliru mengenai proses pembuatan
vaksin di era modern ini. Bila prosesnya demikian sudah tentu hukum
vaksin menjadi haram.
Namun sebenarnya proses pembuatan vaksin di era modern ini
amatlah kompleks. Ada beberapa tahapan, dan tidak ada proses seperti
menggerus puyer tadi. Enzym tripsin babi digunakan sebagai katalisator
untuk memecah protein menjadi peptida dan asam amino yang menjadi
bahan makanan kuman. Kuman tersebut setelah dibiakkan kemudian
dilakukan fermentasi dan diambil polisakarida sebagai antigen bahan
pembentuk vaksin. Selanjutnya dilakukan proses purifikasi, yang mencapai
pengenceran 1/67,5 milyar kali sampai akhirnya terbentuk produk vaksin.
Pada hasil akhir proses sama sekali tidak terdapat bahan-bahan yang
mengandung babi. Bahkan antigen vaksin ini sama sekali tidak
bersinggungan dengan babi baik secara langsung maupun tidak.
Dengan demikian isu bahwa vaksin mengandung babi menjadi sangat tidak
relevan dan isu semacam itu timbul karena persepsi yang keliru pada
tahapan proses pembuatan vaksin. Majelis Ulama Indonesia sudah
mengeluarkan fatwa halal terhadap vaksin meningitis yang pada proses
pembuatannya menggunakan katalisator dari enzym tripsin babi. Hal serupa
terjadi pula pada proses pembuatan beberapa vaksin lain yang juga
menggunakan tripsin babi sebagai katalisator proses. Sebagai dokter kita
perlu memahami konteks ini agar dapat berdiskusi dengan pasien yang
mempunyai kesalah-pahaman terhadap vaksinasi dengan informasi keliru
khususnya yang berkaitan dengan ajaran agama (Islam). Diharapkan dengan
diskusi intensif dengan pasien yang masih ragu kita bisa meyakinkan bahwa
vaksinasi itu halal dan aman.
c. Fatwa Lembaga dan Organisasi Islam di Indonesia
1. Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Fatwa MUI 4 Syaban 1431 H/16 Juli 2010 M (fatwa terbaru MUI)
fatwa no. 06 tahun 2010 tentang penggunaan vaksin meningitis bagi
jemaah haji atau umrah. Menetapkan ketentuan hukum :
a) vaksin MencevaxTM ACW135Y hukumnya haram
b) vaksin Monveo meningicocal dan vaksin meninggococcal hukumnya
halal
c) vaksin yang boleh digunakan hanya vaksin yang halal
d) ketentuan dalam fatwa MUI nomor 5 tahun 2009 yang menyatakan
bahwa bagi orang yang melaksanakan wajib haji atau umrah wajib,
boleh menggunakan vaksin meningitis haram karena Al-hajah
(kebutuhan mendesak) dinyatakan tidak berlaku lagi.
(sumber: http://jambi.kemenag.go.id/file/dokumen/fatwavaksin.pdf)
2. Fatwa dari Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah
Pertanyaan dari Pimpinan Pusat Aisyiyah Majelis Kesehatan dan
Lingkungan Hidup, tentang status hukum vaksin, khususnya untuk
imunisasi polio yang dicurigai memanfaatkan enzim dari babi.
Jawaban: sebagai kesimpulan, dapatlah dimengerti bahwa vaksinasi
polio yang memanfaatkan enzim tripsin dari babi hukumnya adalah
mubah atau boleh, sepanjang belum ditemukan vaksin lain yang bebas
dari enzim itu : sehubungan dengan itu, kami menganjurkan pada pihakpihak yang berwenang dan berkompeten agar melakukan penelitianpenelitian terkait dengan penggunaan enzim dari binatang selain babi
yang tidak diharamkan memakannya. Sehingga suatu saat nanti dapat
ditemukan vaksin yang benar-benar bebas dari barang-barang yang
hukum asalnya adalah haram.
(sumber: http://www.fatwatarjih.com/2011/08/hukum-vaksin.html)
3. Fatwa LBM-NU [Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama]
Indonesia
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) akan menindaklanjuti hasil
sidang Lembaga Bahtsul Matsail NU (LBM-NU). Kesimpulan sidang
menyatakan secara umum hukum vaksin meningitis suci dan boleh
dipergunakan.
BAB III
KESIMPULAN
Upaya pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan banyak cara. Salah
satunya adalah dengan meningkatkan kekebalan atau imunitas tubuh dalam
menghadapi ancaman penyakit yang dilakukan dengan pemberian imunisasi.
Imunisasi dasar pada anak usia dibawah 2 tahun sangat penting untuk dilakukan
oleh karena bisa menurunkan angka kesakitan dan kematian yang seharusnya
dapat dicegah walaupun imunisasi tidak menjamin 100% bahwa seseorang tidak
akan terjangkit penyakit tersebut.
Pada tahun 2014 berdasarkan rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak
Indonesia)
dianjurkan.
Dalam hal ini maka harus terus digalakkan program imunisasi kepada
masyarakat luas sehingga masyarakat menyadari pentingnya imunisasi dan mau
membawa anaknya untuk melakukan imunisasi, khususnya imunisasi yang
diwajibkan. Jika imunitas pada masyarakat tinggi, maka risiko terjadinya
penularan dan wabah juga akan berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suharjo, JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius : 2010
2. Sri, Rezeki S Hadinegoro. Prof. Dr. dr. SpA(K), dkk. Pedoman imunisasi
di Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta 2005
3. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting.
Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.
4. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB, penyunting.
Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi kedua. Jakarta: UKK
Respiratologi PP IDAI; 2007.
5. Lawrence M Tierney Jr MD, Stephen J McPhee MD, Maxine A Papadakis
MD. Current Medical Diagnosis and Treatment 2002. Page 1313-1319.
6. Eric AF Simoes MD DCH and Jessie R Groothius MD. Immunization.
Page 235-258.
7. Eric AF Simoes MD DCH, Matthew F. Daley, MD Sean T. OLeary, MD,
Ann-Christine Nyquist, MD, MSPH. Immunization; chapter 240-272.
2008
Available
from
http://pediatricinfo.wordpress.com/2009/04/20/jadwal-imunisasi-2008idai/
9. Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) 2008 [image on the Internet]. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia,
2014
Available
from
http://idai.or.id/public-
articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-idai-2014.html