Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Imunisasi adalah suatu usaha untuk memberikan kekebalan pada bayi dan

anak terhadap penyakit tertentu. Guna terwujudnya derajat kesehatan yang tinggi,

pemerintah telah menempatkan fasilitas pelayanan kesehatan salah satunya

imunisasi.1

Angka kesakitan bayi di Indonesia relatif masih cukup tinggi, meskipun

menunjukkan penurunan dalam satu dekade terakhir. Program imunisasi bisa

didapatkan tidak hanya di puskesmas atau di rumah sakit saja, akan tetapi juga

diberikan di posyandu yang dibentuk masyarakat dengan dukungan oleh petugas

kesehatan dan diberikan secara gratis kepada masyarakat dengan maksud

program imunisasi dapat berjalan sesuai dengan harapan. Program imunisasi di

posyandu telah menargetkan sasaran yang ingin dicapai yakni pemberian

imunisasi pada bayi secara lengkap. Imunisasi dikatakan lengkap apabila

mendapat BCG 1 kali, DPT 3 kali, Hepatitis 3 kali, Campak 1 kali, dan Polio 4

kali. Bayi yang tidak mendapat imunisasi secara lengkap dapat mengalami

berbagai penyakit, misalnya difteri, tetanus, campak, polio, dan sebagainya. Oleh

karena itu, imunisasi harus diberikan dengan lengkap sesuai jadwal. Imunisasi

secara lengkap dapat mencegah terjadinya berbagai penyakit tersebut.2

1
Pemerintah telah memberikan berbagai upaya dan kebijakan dalam bidang

kesehatan untuk menekan angka kesakitan, namun masyarakat belum bisa

memanfaatkannya secara optimal karena ada sebagian ibu yang memiliki

persepsi bahwa tanpa imunisasi anaknya juga dapat tumbuh dengan sehat.3

Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas

utama. Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat

efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi

merupakan hal mutlak yang perlu diberikan pada bayi. Imunisasi adalah sarana

untuk mencegah penyakit berbahaya, yang dapat menimbulkan kematian pada

bayi. Penurunan insiden penyakit menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun

yang lampau di negara-negara maju yang telah melakukan imunisasi dengan

teratur dengan cakupan yang luas.

Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar diperlukan

pengetahuan dan keterampilan tentang vaksin (vaksinologi), ilmu kekebalan

(imunologi) dan cara atau prosedur pemberian vaksin yang benar. Dengan

melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan perlindungan

pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi tingkat

imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi. Banyak

penyakit menular yang bisa menyebabkan gangguan serius pada perkembangan

fisik dan mental anak. Imunisasi bisa melindungi anakanak dari penyakit melaui

vaksinasi yang bisa berupa suntikan atau melalui mulut.

2
1.2 TUJUAN

Untuk menambah wawasan mengenai imunisasi sebagai bentuk

penjegahan terhadap terjadinya penyakit tertentu pada seseorang atau anak.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif

terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa

tidak terjadi penyakit. Imunisasi berasal dari kata immune yang berarti kebal atau

resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan

atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit yang

lain diperlukan imunisasi lainnya.3

Imunisasi biasanya terutama diberikan pada anak-anak karena sistem

kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan

terhadap serangan penyakit infeksi yang berbahaya. Beberapa imunisasi tidak

cukup diberikan hanya satu kali, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan

lengkap untuk mendapatkan kekebalan dari berbagai penyakit yang sangat

membahayakan kesehatan dan hidup anak.1

Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan

paparan pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan

telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun

memproduksi limfosit yang peka, antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan

infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan

kekebalan. Tujuannya adalah memberikan infeksi ringan yang tidak

berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila

4
terjangkit penyakit yang sesungguhnya dikemudian hari anak tidak menjadi sakit

karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen /

penyakit yang masuk tersebut.

Vaksinasi mempunyai keuntungan :

Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya.

Vaksinasi cost-effective karena murah dan efektif.

Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh

lebih jarang daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit

tersebut secara almiah.

Vaksin adalah mikroorganisme bakteri, virus atau riketsia) atau toksoid

yang diubah ( dilemahkan atau dimatikan) sedemikian rupa sehingga

patogenisitas atau toksisitasnya hilang, tetapi tetap mengandung sifat

antigenisitas. Bila vaksin diberikan kepada manusia maka akan menimbulkan

kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.

Vaksinasi merupakan upaya pencegahan primer. Secara konvensional,

upaya pencegahan penyakit dan keadaan apa saja yang akan menghambat tumbuh

kembang anak dapat dilakukan dalam tiga tingkatan yaitu pencegahan primer,

pencegahan sekunder dan pencegahan tersier.

Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya sakit

atau kejadian yang dapat mengakibatkan seseorang sakit atau menderita cedera

dan cacat. Pencegahan sekunder adalah upaya kesehatan agar tidak terjadi

5
komplikasi yang tidak diinginkan, yaitu meninggal atau meninggalkan gejala

sisa, cacat fisik maupun mental. Pencegahan tersier adalah membatasi

berlanjutnya gejala sisa tersebut dengan upaya pemulihan seseorang penderita

agar dapat hidup mandiri tanpa bantuan orang lain.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan laporan WHO tahun 2012, setiap tahun terjadi kematian

sebanyak 2,5 juta balita, yang disebabkan penyakit yang dapat dicegah melalui

vaksinasi. Radang paru yang disebabkan oleh pneumokokus menduduki

peringkat utama (716.000 kematian), diikuti penyakit campak (525.000

kematian), rotavirus (diare), Haemophilus influenza tipe B, pertusis dan tetanus.

Dari jumlah semua kematian tersebut, 76% kematian balita terjadi dinegara-

negara sedang berkembang, khususnya Afrika dan Asia Tenggara (termasuk

Indonesia).1

WHO mengatakan bahwa penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui

vaksinasi akan dapat diatasi bilamana sasaran imunisasi global tercapai. Dalam

hal ini bisa tercapai bila lebih dari > 90% populasi telah mendapatkan vaksinasi

terhadap penyakit tersebut.1

2.3 RESPON IMUN

Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang

kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua

6
macam pertahanan tubuh yaitu : 1) mekanisme pertahanan nonspesifiik disebut

juga komponen nonadaptif atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu

macam antigen , tetapi untuk berbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan

tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan khusus terhadap satu jenis

antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada pemberian

antigen berikutnya. Hal ini disebabkan telah terbentuknya sel memori pada

pengenalan antigen pertama kali. Bila pertahanan nonspesifik belum dapat

mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.

Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan

dipresentasikan oleh sel makrofag ( APC = antigen presenting cel ) Pada sel T

untuk antigen TD ( T dependent ) sedangkan antigen TI ( T independent ) akan

langsung diperoleh oleh sel B.

Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas

humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh

antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut

imunoglobulin ( Ig ) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada individu yang

lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya

dapat dipindahkan melalui sel, contohnya pada reaksi penolakan organ

transplantasi oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease.

Proses imun terdiri dari dua fase :

Fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen (APC

= antigen presenting cells ), sel limfosit B, limfosit T.

7
Fase efektor, diperankan oleh antibodi dan limfosit T efektor

2.4 KEBERHASILAN IMUNISASI

Tergantung dari beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik

pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.

2.4.1 Status imun pejamu

Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan

akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa

fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campsk, bila vaksinasi

campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan

membeikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI)

yang mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio dapat mempengaruhi

keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral. Namun pada umumnya

kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur

beberapa bulan. Pada penelitian di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA

FKUI/RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI

setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena

itu bila vaksinasi polio diberikan pada masa pemberian kolostrum ( kurang atau

sama dengan 3 hari setelah bayi lahir ), hendaknya ASI ( kolostrum ) jangan

diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.

Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi

neonatus fungsi makrofag masih kurang. Pembentukan antibodi spesifik terhadap

8
antigen tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus

akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Maka, apabila

imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan

imunisasi ulangan.

Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat

obat imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita

penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit

keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya

defisiensi imun merupakan kontraindikasi pemberian vaksin hidup karena dapat

menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada

individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis

milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.

Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti

makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral

spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin normal atau bahkan meninggi,

imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena

terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar

komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya

respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.

2.4.2 Faktor genetik pejamu

Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik.

Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup,

9
dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah

terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karena

itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.

2.4.3 Kualitas dan kuantitas vaksin

Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa

sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung

sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat

menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi

pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin.

Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul.

Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal disamping

sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas

sistemik saja.

Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons

imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun

yang diharapkan. Sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel-sel

imunokompeten.Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis,

karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.

Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi.

Disamping frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons

imun yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat

kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera

10
dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga tidak

sempat merangsang sel imunkompaten. Bahkan dapat terjadi apa yang

dinamakan reaksi arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan

antigen akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal sehingga

terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang ( booster ) sebaiknya

mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.

Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons

imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan

mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan

mengaktivasi APC ( antigen presenting cells ) untuk memproses antigen

secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel

imunokompeten lainnya.

Jenis Vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik

dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi ( killed atau inactivated ) atau

bagian ( komponen ) dari mikroorganisme. Vaksin hidup diperoleh dengan

cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah untuk menghasilkan organisme yang

hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh

dengan memodifikasi kondisi tempat tubuh mikroorganisme, misalnya

suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anerob, atau menambah empedu pada

media kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam

selama 13 tahun. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen untuk

spesies lain tetapi untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.

11
2.5 JENIS VAKSIN

Pada dasarnya, vaksin dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :

Live attenuated ( bakteri atau virus hidup yang dilemahkan )

Inactivate ( bakteri, virus atau komponenmnya dibuat tidak aktif )

2.5.1 Vaksin hidup attenuated

Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau

bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih

memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak ( replikasi) dan

menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit.

Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar ( wild ) penyebab penyakit.

Virus atau bakteri liar ini dilemahkan ( attinuated ) dilaboratorium, biasanya

dengan cara pembiakan berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai

sampai sekarang, diisolasi untuk mengubah virus liar campak menjadi virus

vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan penanaman pada jaringan

media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit

campak pada tahun 1954.

o Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup atteuated harus

berkembang biak ( mengadakan replikasi ) di dalam tubuh resipien.

o Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol ( misalnya panas atau

cahaya ) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh (

antibodi yang beredar ) dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif. o

Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama

12
dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak

membedakan antara suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan

dan infeksi dengan virus liar.

o Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk

patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup.

o Antibodi dari sumber apapun ( misalnya transplasental, transfusi ) dapat

mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan

tidak adanya respons ( non response ). Vaksin campak merupakan

mikroorganisme yang paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam

tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh.

Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila

kena panas dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan

dengan baik dan hati-hati.

Vaksin hidup attenuated yang tersedia


Berasal dari vrius hidup : Vaksin campak, gondongan ( parotitis ), rubela,
polio, rotavirus, demam kuning ( yellow fever ).

Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral.

2.5.2 Vaksin Inactivated

o Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara mambiakkan bakteri atau virus

dalam media pembiakan ( persemaian ), kemudian dibuat tidak aktif dengan

penambahan bahan kimia ( biasanya formalin ).

13
o Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis

antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan

penyakit ( walaupun pada orang dengan defisiensi imun ) dan tidak dapat

mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Antigen inactivated tidak

dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan

saat antibodi berada di dalam sirkulasi darah.

o Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya pada

dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu

atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah

dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang

mempunyai respons imun yang mirip atau sama dengan infeksi alami,

respons imun terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral, hanya

sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap

antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu.

o Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit

masih memerlukan vaksin seluruh sel ( whole cell ), namun vaksin bakterial

seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak

reaksi ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons terhadap

komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk

perlindungan ( contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT ).

14
Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari :

Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies, hepatitis

A.

Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.

Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza,

pertusis a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.

Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum.

Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan haemophilus

influenzae tipe b.

Gabungan polisakarida (haemophillus influenzae tipe B dan pneumokokus).

2.6 PEMBERIAN IMUNISASI

Tata cara pemberian imunisasi

Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai

berikut:

o Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak

divaksinasi.

o Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi

reaksi ikutan yang tidak diharapkan.

15
o Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan

dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab

dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.

o Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.

o Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.

o Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan

baik.

o Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan.

Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya

perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.

o Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula

vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up vaccination )

bila diperlukan.

o Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan

jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi bayi/anak

penerima vaksin.

o Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut :

Berilah petunjuk ( sebaiknya tertulis ) kepada orang tua atau pengasuh

apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi

ikutan yang lebih berat.

Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.

16
Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas

Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular.

Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan

vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.

2.7 Penyimpanan

Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus

didinginkan pada temperatur 2-8C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin ( DPT,

Hib, hepatitis B, dan hepatitis A ) menjadi tidak aktif bila beku.

2.8 Tempat Suntikan yang Dianjurkan

Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi

pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan. . Vaksin harus disuntikkan ke dalam

batas antara sepertiga otot bagian tengah yang merupakan bagian yang paling

tebal dan padat. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak yang

lebih besar ( mereka yang telah dapat berjalan ) dan orang dewasa.

Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12 bulan

adalah :

Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah gluteal.

Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap

suntikan secara adekuat.

17
Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila

disuntikkan di daerah gluteal

Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat suntikan

yang menahun.

Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.

18
Gambar 1. Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar
(b)
Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 450-600 ke dalam otot vastus

lateralis atau otot deltoid. Untuk suntikan otot vastus lateralis, jarum diarahkan

ke arah lutut sedangkan untuk suntikan pada deltoid jarum diarahkan ke pundak.

Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan

pada sudut 900.

2.9 KIPI ( KEJADIAN IKUTAN PASCA-IMUNISASI )1

Setiap tindakan medis apa pun bisa menimbulkan risiko bagi pasien si

penerima layanan baik dalam skala ringan maupun berat. Demikian halnya

dengan pemberian vaksinasi, reaksi yang timbul setelah pemberian vaksinasi

disebut kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse following

immunization (AEFI). Dengan semakin canggihnya teknologi pembuatan vaksin

dan semakin meningkatnya teknik pemberian vaksinasi, maka reaksi KIPI dapat

diminimalisasi. Meskipun risikonya sangat kecil, reaksi KIPI berat dapat saja

terjadi. Oleh karena itu, petugas imunisasi atau dokter mempunyai kewajiban

untuk menjelaskan kemungkinan reaksi KIPI apa saja yang dapat terjadi. Dan

bagi orang yang hendak menerima vaksinasi mempunyai hak untuk bertanya dan

mengetahui apa saja reaksi KIPI yang dapat terjadi.

Secara khusus KIPI dapat didefinisikan sebagai kejadian medik yang

berhubungan dengan imunisasi, baik oleh karena efek vaksin maupun efek

19
samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, kesalahan program,

reaksi suntikan, atau penyebab lain yang tidak dapat ditentukan. Secara umum,

reaksi KIPI dapat dikategorikan sebagai akibat kesalahan program, reaksi

suntikan, dan reaksi vaksin.

a) Kesalahan program

Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan kesalahan teknik

pelaksanaan vaksinasi, misalnya kelebihan dosis, kesalahan memilih

lokasi dan cara menyuntik, sterilitas, dan penyimpanan vaksin. Dengan

semakin membaiknya pengelolaan vaksin, pengetahuan, dan

ketrampilan petugas pemberi vaksinasi, maka kesalahan tersebut dapat

diminimalisasi.

b) Reaksi suntikan

Reaksi suntikan tidak berhubungan dengan kandungan vaksin, tetapi

lebih karena trauma akibat tusukan jarum, misalnya bengkak, nyeri, dan

kemerehan di tempat suntikan. Selain itu, reaksi suntikan dapat terjadi

bukan akibat dari trauma suntikan melainkan karena kecemasan, pusing,

atau pingsan karena takut terhadap jarum suntik. Reaksi suntikan dapat

dihindari dengan melakukan teknik penyuntikan secara benar.

c) Reaksi vaksin

Gejala yang muncul pada reaksi vaksin sudah bisa diprediksi terlebih

dahulu, karena umumnya perusahaan vaksin telah mencantumkan reaksi

efek samping yang terjadi setelah pemberian vaksinasi. Keluhan yang

20
muncul umumnya bersifat ringan (demam, bercak merah, nyeri sendi,

pusing, nyeri otot). Meskipun hal ini jarang terjadi, namun reaksi vaksin

dapat bersifat berat, misalnya reaksi anafilaksis dan kejang. Untunglah

bahwa reaksi alergi serius relatif jarang terjadi, misalnya reaksi alergi

serius akibat campak kemungkinan kejadiannya hanya 1/1000.000

dosis.

Mengingat hampir setiap vaksin mempunyai potensi memberikakn reaksi

efek samping atau KIPI, maka sebaiknya bertanya terlebih dahulu kepada

petugas gejala apa saja yang dapat terjadi setelah vaksinasi. Bila keluhan KIPI

bersifat ringan, misalnya demam, nyeri tempat suntikan, atau bengkak maka

dapat dilakukan pengobatan sederhana, misalnya dengan minum obat antipiretik

saja. Tetapi bila kejadian pasca imunisasi bersifat serius, maka harus secepat

mungkin dibawa kerumah sakit. Setiap pelayanan kesehatan yang melakukan

pemberian vaksinasi mempunyai kewajiban untuk melaporkan KIPI ke Dinas

Kesehatan Tingkat Kabupaten, dengan tembusan ke Sekretariat KOMDA PP

KIPI yang berkedudukan di setiap provinsi.

2.10 VAKSINASI YANG DIANJURKAN1

Tidak semua negara menerapkan kebijaksanaan vaksinasi yang sama pada

masyarakatnya. Namun, biasanya rekomendasi vaksinasi lebih diprioritaskan

bagi bayi dan anak-anak, karena kelompok usia ini dianggap belum mempunyai

sistem kekebalan tubuh sempurna. Diindonesia, pemerintah mengambil

kebijakan dalam pemberian vaksinasi menjadi dua, yaitu vaksin wajib (sebagai

21
program imunisasi nasional) serta vaksin yang dianjurkan (bukan merupakan

program imunisasi nasional)

Vaksinasi yang dianjurkan Pemerintah 2010


- Tuberculosis - MMR (campak, gondong,
- Hepatitis B rubella)
- DPT tetanus, - Haemophilus influenza tipe B
(Difteri, - Demam tifoid
- pertusis) - Varisela
- Poliomielitis - Hepatitis A
Campak
- Influenza
- Pneumokokus
- Rotavirus
- Yellow fever
- Japannesse encephalitis
- Meningokokus
Tabel 1.Vaksinasi yang dianjurkan (Satgas Imunisasi I katan Dokter Anak
Indonesia, 2010)1

2.10.1 Vaksinasi Tuberkulosis1 ,3, 4

Adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis dibiak

berulang selama 1-3 tahun sehingga di dapat basil yang tidak virulen tetapi masih

mempunyai imunogenitas.Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang memberi

perlindungan terhadap penyakit TB. Vaksin TB tidak mencegah infeksi TB,

tetapi mencegah infeksi TB berat (meningitis TB dan TB milier). Vaksin BCG

membutuhkan waktu 6-12 minggu untuk menghasilkan efek (perlindungan)

kekebalannya. Vaksinasi BCG memberikan proteksi yang bervariasi antara 50-

80% terhadap tuberkulosis. Pemberian vaksinasi BCG sangat bermanfaat bagi

anak.

22
Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan pemerintah.

Vaksin ini diberikan pada bayi yang baru lahir dan sebaiknya diberikan pada

umur sebelum 2 bulan. Vaksin BCG juga diberikan pada anak usia 1-15 tahun

yang belum divaksinasi (tidak ada catatan atau tidak ada scar).

Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah untuk 0,05 ml dan untuk anak

0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersio M. deltoideus kanan.

WHO tetap menganjurkan pemberian vaksin BCG di insersio M. deltoid kanan

dan tidak di tempat lain (bokong, paha), penyuntikan secara intradermal di daerah

deltoid lebih mudah dilakukan (tidak terdapat lemak subkutis yang tebal), ulkus

yang terbentuk tidak mengganggu struktur otot setempat (dibandingkan

pemberian di daerah gluteal lateral atau paha anterior) dan sebagai tanda baku

untuk keperluan diagnosis apabila diperlukan.

Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien

imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang atau

pada infeksi HIV).

KIPI yang didapat setelah vaksinasi adalah papul merah yang kecil timbul

dalam waktu 1 3 minggu. Papul ini akan semakin lunak, hancur, dan

menimbulkan parut. Luka ini mungkin memakan waktu sampai 3 bulan untuk

sembuh. Biarkan vaksinasi sembuh sendiri dan pastikan agar tetap bersih dan

kering.

23
2.10.2 Vaksinasi Hepatitis B1,3

Di Indonesia, vaksinasi hepatitis B merupakan vaksinasi wajib bagi bayi

dan anak karena pola penularannya bersifat vertikal. Ada berbagai jenis pilihan

vaksin yang diproduksi oleh beberapa perusahaan farmasi dan dosis serta cara

pemberiannya sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2.

Nama Produsen Cara Dosis Interval


Dagang Pemberian Pemberian
Engerix GSK IM Anak 10 mcg Bulan ke
B Dewasa 20 mcg 0,1,6
Euvax Sanofi IM Anak 10 mcg Bulan ke
Pasteur Dewasa 20 mcg 0,1,6
HB VAX MSD IM Anak 10 mcg Bulan ke
II Dewasa 20 mcg 0,1,6
Hepavax Kalbuitech IM Anak 10 mcg Bulan ke
Gene Dewasa 20 mcg 0,1,6
Hepatitis Bio Farma IM Anak 10 mcg Bulan ke
B Dewasa 20 mcg 0,1,6
Tabel 2. Produsen, Jenis, Cara pemberian, Dosis, dan Interval Pemberian
Vaksin Hepatitis B (Ali sulaiman dan J. Sundoro,2007)

Secara umum, vaksin diberikan 3 kali pemberian, disuntikan secara dalam

(sampai ke otot). Vaksinasi diberikan dengan jadwal 0, 1, 6 bulan (kontak pertama,

1 bulan, dan 6 bulan kemudian). Khusus vaksinasi bayi baru lahir diberikan dengan

jadwal berikut :

1. Dosis pertama : sebelum umur 12 jam

2. Dosis kedua : umur 1-2 bulan

3. Dosis ketiga : umur 6 bulan

Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah meperoleh imunisasi

hepatitis B, maka secepatnya diberikan. Untuk ibu dengan HbsAg positif, selain

vaksin hepatitis B diberikan juga hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml disisi

tubuh yang berbeda dalam 12 jam setelah lahir. Sebab, Hepatitis B imunoglobulin

24
(HBIg) dalam waktu singkat segera memberikan proteksi meskipun hanya jangka

pendek (3-6 bulan). Reaksi KIPI yang sering terjadi umumnya berupa reaksi lokal

yang ringan dan bersifat sementara, terkadang dapat menimbulkan demam ringan

untuk 1-2 hari. Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi absolut pemberian vaksin

Hepatitis B. Kehamilan dan laktasi bukan kontraindikasi vaksin Hepatitis B.

2.10.3 Vaksinasi DTP1,3

1. Vaksinasi Difteri

Jenis vaksin difteri yang diberikan harus sesuai dengan usia saat pemberian.

Sebagai imunisasi dasar, vaksin difteri diberikan bersamaan dengan imunisasi

tetanus dan pertusis, dalam bentuk vaksin DPT. Pada beberapa dekade terakhir,

pemberian vaksin DPT telah menjadi imunisasi yang diwajibkan oleh

pemerintah. Vaksin DPT (DtaP atau DTwP) diberikan untuk anak usia diatas 6

minggu sampai 7 tahun. Untuk anak usia 7-18 tahun diberikan vaksin difteri

dalam bentuk vaksin Td (Tetanus dan Difteri) atau vaksin Tdap (tetanustoxoid,

reduced diphteria toxoid, dan acellular pertusis vaccine adsorbed). Vaksin Td

diberikan juga pada anak dengan kontraindikasi terhadap komponen pertusis dan

dianjurkan pada anak usia lebih dari 7 tahun untuk memperkecil kejadian ikutan

pasca-imunisasi karena toxoid difteri.

Jadwal vaksinasi yang dianjurkan saat ini dimulai pada usia 2 bulan,

melalui suntikan intramuskular. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dengan selang

waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1 tahun

sesudahnya (usia 15-18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun setelah

ulangan yang pertama (4-6 tahun).

25
Dari laporan yang ada, daya proteksi vaksin difteri sebesar 98,45% setelah

suntikan yang ketiga, namun kekebalan yang terbentuk setelah imunisasi dasar

hanya bertahan selama 10 tahun, sehingga perlu diberikan booster setiap 10 tahun

sekali. Pemberian booster cukup dengan vaksin Td (tetanus dan difteri).

Dianjurkan memberikan booster pada usia 11 sampai dengan 12 tahun atau

minimal 5 tahun setelah pemberian terakhir. Setelah itu direkomendasikan untuk

memberikan booster setiap 10 tahun.

Jadwal vaksinasi untuk usia 7 - 18 tahun sebagai imunisasi primer dengan

menggunakan vaksin Td, yaitu 3 dosis dengan jarak 4 minggu diantara dosis

pertama dan kedua, dan 6 bulan diantara dosis kedua dan ketiga. Ikuti dengan

dosis booster 6 bulan setelah dosis ketiga.

KIPI dan Kontra Indikasi:

Reaksi KIPI dari vaksin DPT adalah terjadinya demam ringan dan reaksi

lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi suntikan. Demam yang

timbul dapat mengakibatkan kejang demam (sekitar 0,06%).Vaksin DPT tidak

boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi dan kejang pada pemberian

vaksin yang pertama.

2. Vaksinasi Pertusis

Bayi baru lahir memiliki kekebalan terhadap pertusis yang didapat dari ibu,

namun kekebalan ini hanya bertahan sampai usia 4 bulan. Oleh karena itu,

sebaiknya anak usia kurang dari 1 tahun diberikan vaksin. Vaksin pertusis

diberikan dalam bentuk vaksin DPT (DTwP atau DtaP) dimulai pada saat bayi

26
berusia 2 bulan melalui suntikan ke dalam otot. Imunisasi dasar diberikan

sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan

pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 18 bulan) dan ulangan kedua

diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (usia 4-6 tahun).

Pada awal pembuatan vaksin DPT, komponen pertusis yang digunakan

merupakan whole pertusis (DTwP), yaitu seluruh bakteri Bordetella pertusis

yang telah di non aktifkan. Namun, sejak tahun 1962 mulai beredear vaksin

dengan menggunakan fraksi sel/aselular (DtaP) yang mengandung satu atau lebih

protein Bordetella pertusis. Dengan penggunaan vaksin DtaP, ternyata efek

samping, baik lokal maupun sistemik yang ditimbulkan lebih rendah (75%) jika

dibandingkan dengan vaksin DTwP. Vaksin ini tidak dapat mencegah pertusis

seluruhnya, namun terbukti dapat meperingan durasi dan tingkat keparahan

pertusis.

KIPI dan Kontra Indikasi:

Demam ringan dengan reaksi lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri

pada lokasi suntikan. Demam yang timbul dapat mengakibatkan kejang demam

(0,06%), anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca

suntikan (inconsolable crying). KIPI yang berat dapat terjadi ensefalopati akut

atau reaksi alergi berat (anafilaksis).

Vaksin tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi berat dan

ensefalopati pada pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang perlu

mendapatkan perhatian khusus adalah bila pada pemberian pertama dijumpai

27
riwayat demam tinggi, respon dan gerak yang kurang (hipotonik- hiporesponsif)

dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 2 jam, dan riwayat kejang

dalam 3 hari sesudah imunisasi DPT.

3. Vaksinasi Tetanus

Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT.

DPT diberikan satu seri yang terdiri atas 5 suntikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6

bulan, 15-18 bulan, dan terakhir saat sebelum masuk sekolah (4-6 tahun).

Pemberian vaksin DPT pada anak-anak harus ditunda jika anak mengalami

demam tinggi, memiliki kelainan saraf, atau mengalami gangguan pertumbuhan.

KIPI:

KIPI pemberian vaksinasi tetanus biasanya bersifat ringan, berupa rasa

nyeri, warna kemerahan dan bengkak di tempat penyuntikan, dan demam.

Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap Difteri,

Tetanus dan Pertusis. Biasanya vaksin DPT atau DT diberikan dalam bentuk

suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha secara intramuskular atau

subkutan sebanyak 0,5 ml.2

Imunisasi DPT diberikan 3 kali yaitu sejak umur 2 bulan (DPT I), umur 3

bulan (DPT II) dan pada umur 4 bulan (DPT III) dengan selang waktu tidak

kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulangan (DPT IV) diberikan 1 tahun

28
setelah DPT III yaitu pada umur 18-24 bulan dan DPT V diberikan pada saat usia

prasekolah (5-6 tahun).2

Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan

booster vaksin DT pada usia 14-16 tahun dan kemudian dilanjutkan setiap 10

tahun karena vaksin memberikan perlindungan selama 10 tahun dan setelah 10

tahun diberikan booster. Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3 kali

suntikan yang mengandung vaksin difteri, akan memberikan perlindungan

terhadap difteri selama 10 tahun.2

Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka

sebaiknya diberikan DT, bukan DPT. Jika anak menderita penyakit yang lebih

serius dari flu ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat. Jika ada

riwayat kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal, penyuntikan

DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau kejangnya bisa

dikendalikan.2

Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara

intramuskular baik pada imunisasi dasar maupun ulangan.

2.10.4 Vaksinasi Polio1 , 3

Pada saat ini ada dua jenis vaksin polio yaitu OPV (oral polio vaccine) dan

IPV (inactivated polio vaccine). OPV diberikan 2 tetes melalui mulut, sedangkan

IPV diberikan melalui suntikan dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan

dalam 3 kali di lengan dengan jarak 2 bulan. Vaksin polio oral diberikan pada

29
bayi baru lahir kemudian dilanjutkan dengan imunisasi dasar, diberikan pada usia

2, 4, dan 6 bulan. Pada PIN (pekan imunisasi nasional) semua balita harus

mendapat imunisasi tanpa memandang status imunisasi kecuali pada penyakit

dengan daya tahan tubuh menurun (imunokompromais). Bila pemberiannya

terlambat, jangan mengulang pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan

lengkapi imunisasi sesuai dengan jadwal. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV,

diberikan 2 tetes dengan jadwal seperti imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu

tidak berpengaruh terhadap respons pembentukan daya tahan tubuh terhadap

polio, jadi saat pemberian vaksin, anak tetap bisa minum ASI.

Imunisasi polio ulangan diberikan saat masuk sekolah (5-6 tahun) dan dosis

berikutnya diberikan pada usia 15-19 tahun. Sejak tahun 2007, semua calon

jemaah haji dan umroh dibawah usia 15 tahun harus mendapat 2 tetes OPV.

KIPI:

Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomielitis terjadi setelah pemberian

vaksin polio. Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat menimbulkan gejala

pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Vaksinasi polio tidak dianjurkan diberikan

ketika seseoarang sedang demam, muntah, diare, sedang dalam pengobatan

radioterapi atau obat penurun daya tahan tubuh, kanker, penderita HIV, dan alergi

pada vaksin polio.

OPV tidak diberikan pada bayi yang masih dirumah sakit karena OPV berisi

virus polio yang dilemahkan dan vaksin jenis ini bisa diekskresikan melalui tinja

30
selama 6 minggu, sehingga bisa membahayakan bayi lain. Untuk bayi yang dirawat

dirumah sakit, disarankan pemberian IPV.

2.10.5 Imunisasi Campak1 , 3

Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak.

Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan

campak jerman (vaksin MMR). Jika hanya mengandung campak vaksin

diberikan pada usia 9 bulan dalam 1 dosis 0,5 ml subkutan dalam. Terdapat 2

jenis vaksin campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus campak hidup dan

dilemahkan (tipe Edmonston-B) dan vaksin yang berasal dari virus campak yang

dimatikan (virus campak yang berada dalam larutan formalin yang dicampur

dengan garam aluminium).

Imunisasi ulangan juga dianjurkan dalam situasi tertentu :

a. Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan

terbukti bahwa potensi vaksin yang digunakan kurang baik (tampak

peningkatan insidens kegagalan vaksinasi). Pada anak-anak yang

memperoleh imunisasi ketika berumur 12-14 bulan tidak disarankan

mengulangi imunisasinya tetapi hal ini bukan kontra indikasi

b. Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkatan kasus campak,

maka anak SD, SLTP dan SLTA dapat diberikan imunisasi ulang

c. Setiap orang yang pernah memperoleh imunoglobulin

d. Seseorang yang tidak dapat menunjukan catatan imunisasinya.

31
KIPI dan Kontraindikasi :

Bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi, sedang memperoleh

pengobatan imunosupresif, hamil, memiliki riwayat alergi, sedang memperoleh

pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari darah, alergi terhadap

protein telur.

- Demam lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam dijumpai

pada hari ke-5 sampai ke-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari

- Kejang demam

- Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan berlangsung

selama 2-4 hari

- Reaksi KIPI yang berat dapat menyerang sistem saraf, yang reaksinya

diperkirakan muncul pada hari ke-30 sesudah imunisasi.

2.10.6 Vaksinasi MMR1 , 3

Vaksin MMR merupakan vaksin kering, mengandung virus hidup. Bagi

Balita, pada usia 12-15 bulan (jika tidak mendapatkan imunisasi campak) dapat

diberikan vaksinasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit

campak, gondongan, dan rubella. Pemberian vaksin biasanya dilakukan pada usia

anak 12-15 bulan. Dosis tunggal 0,5 ml diberikan secara intramuskular atau

subkutan dalam.

32
Terdapat 2 jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia yaitu :
Galur virus yang
dilemahkan
Campak Gondongan Rubella
Edmonston Jerryl lyn Wistar RA 27/3
schwarz Urabe AM-9 Wistar RA 27/3
Tabel 3. Dua jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia.

Daya lindung MMR sebesar 95%, namun kadar antibodi yang dibentuk

melalui vaksinasi lebih rendah dibandingkan dengan antibodi yang diperoleh

setelah menderita gondongan. Vaksinansi MMR tidak dianjurkan diberikan pada:

anak yang alergi terhadap telur/neomycin, yang sedang dalam pengobatan

imunosupresif, anak dengan alergi berat, anak dengan demam akut, setelah

pemberian imunoglobulin atau transfusi darah.

KIPI:

Reaksi sistemik, seperti malaise, demam, atau ruam yang sering terjadi 1

minggu setelah imunisasi dan berlangsung selama 2-3 hari.

2.10.7 Vaksinasi Hib (Haemophilus influenza tipe b)1 , 3

Vaksin Hib merupakan vaksin yang tidak aktif, dibuat dari kapsul

Haemophilus influenza Tipe B yang disebut polyribosribitol phospat (PRP).

Terdapat 2 jenis vaksin Hib di Indonesia yaitu PRP-T dan PRP-OMP. Kedua

vaksin ini termasuk vaksin konjugasi. Vaksin Hib PRP-T diberikan pada usia 2,

4 dan 6 bulan. Vaksin Hib PRP-OMP diberikan pada usia 2 dan 4 bulan.

Dosis ketiga tidak diperlukan. Vaksin ulangan, baik PRP-T maupun

PRPOMP diberikan pada usia 15 - 18 bulan. Apabila anak datang pada usia 1-5

tahun, maka vaksin Hib hanya diberikan 1 kali. Vaksin ini diberikan secara

intramuskular sebanyak 0,5 ml didaerah paha atas. Kekebalan tubuh akan mulai

33
terbentuk setelah pemberian suntikan yang pertama dengan vaksin jenis PRP-

OMP dan setelah 2 kali suntikan dengan vaksin jenis PRP-T.

Anak-anak usia diatas 6 bulan yang belum mendapat vaksin diberikan 2

kali suntikan, sedangkan bagi anak diatas usia 1 tahun cukup mendapat 1 kali

suntikan saja tanpa perlu pemberian ulangan. Dengan pemberian vaksin ini

diharapkan 95% anak-anak terlindungi dari infeksi Hib setelah dosis kedua atau

ketiga.

Reaksi KIPI setelah pemberian vaksinasi Hib, 5%-30% anak memperoleh

vaksinasi bisa mengalami demam, bengkak kemerahan, dan nyeri pada tempat

suntikan selama 1-3 hari. Vaksin Hib tidak direkomendasikan diberikan bila

seseorang sedang demam, mengalami infeksi akut, dan orang dengan riwayat

alergi yang mengancam jiwa.

2.10.8 Vaksinasi Pneumokokus 1 , 3

Saat ini telah tersedia 2 macam vaksin untuk mencegah penyakit yang

disebabkan bakteri pneumokokus, yaitu PPV23 dan PCV7. PPV23 adalah vaksin

pneumokokus yang berisi polisakarida murni dengan 23 serotipe, vaksin jenis ini

kurang bereaksi baik jika diberikan pada anak usia kurang dari 2 tahun karena

fungsi sel imun yang belum matang. Vaksin ini hanya memberikan kekebalan

dalam jangka pendek. Sedangkan PCV7 adalah vaksin pneumokokus generasi

kedua yang berisi polisakarida konjugasi. Vaksin ini dapat diberikan pada anak

usia kurang dari 2 tahun meskipun sel imun mereka belum matur. Vaksin ini

34
mencakup 7 serotipe yang berbahaya yang banyak mengakibat kematian pada

anak usia < 5 tahun.

Vaksin pneumokokus diberikan secara intramuskular atau subkutan di

daerah deltoid atau paha tengah lateral sebanyak 0,5 ml. Vaksin ini diberikan

sejak usia 2 bulan dengan interval 2 bulan sebanyak 3 kali. Kemudian ulangan

hanya dilakukan pada anak yang memiliki risiko tinggi tertular pneumokokus

pada usia 12-18 bulan. PCV7 sebaiknya diberikan jika anak sudah berusia lebih

dari 2 bulan, diberikan pada bayi umur 12-15 bulan. Interval antara 2 dosis

minimal 4-8 minggu. Anak yang telah mendapat imunisasi PCV7 lengkap

sebelum umur 2 tahun, pada umur 2 tahun diberi PPV23 1 dosis, dengan selang

waktu suntik > 2 bulan setelah PCV7 terakhir.

Reaksi KIPI pada 30-50% resipien yang mendapatkan vaksin ini akan

mengalami eritema atau nyeri pada tempat suntikan, biasanya berlangsung

kurang dari 48 jam. Reaksi lain berupa demam, gelisah, pusing, nafsu makan

menurun, mialgia (pada anak <1%). Demam ringan sering timbul. Reaksi ikutan

pasca imunisasi ini biasanya terjadi setelah pemberian dosis kedua, namun

berlangsung tidak lama dan menghilang dalam 3 hari.

Ada beberapa kondisi dimana imunisasi pneumokokus ini tak dapat

diberikan, yaitu:

Kontraindikasi absolut: bila timbul anafilaksis setelah pemberian vaksin.

Kontraindikasi relatif:

- Usia kurang dari 2 tahun, karena respon terhadap vaksin masih kurang baik

35
- Dalam pengobatan imunosupresif atau radiasi kelenjar limfe.

2.10.9 Vaksinasi Influenza1 , 3

Virus influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza

virus). Terdapat 2 macam vaksin, yaitu whole virus dan split-virus vaccine.

Dosis bagi anak berumur < 3 tahun adalah 0,25 ml dan dosis bagi anak

berumur > 3 tahun adalah 0,5 ml disuntikan di otot paha. Bila anak telah berusia

> 9 tahun, vaksin cukup diberikan satu dosis dan diulang setiap tahun.

KIPI dari penyuntikan vaksin yang mungkin terjadi adalah bengkak, nyeri,

kemerahan pada tempat suntikan, demam, dan pegal. Gejala-gejala tersebut dapat

terjadi setelah penyuntikan dan bertahan 1-2 hari.

2.10.10 Vaksinasi Tifoid1 , 3

Vaksin tifoid ada dua macam, yaitu: 10

a. Vaksin oral: berasal dari kuman Salmonella typhi yang dilemahkan.

Disimpan dalam suhu 2-8oC dan dikemas dalam bentuk kapsul. Vaksin oral

diberikan pada saat anak berusia 6 tahun atau lebih sebanyak 4 kapsul

dengan jarak setiap 1 hari (hari 1-3-5-7). Pemberiannya dapat diulang tiap

5 tahun. Respon imun akan terbentuk 10-14 hari setelah dosis terakhir.

Yang perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin ini adalah tidak boleh

dilakukan saat sedang demam, tidak boleh dilakukan pada orang dengan

penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV, keganasan, sedang kemoterapi

36
atau sedang terapi steroid) dan riwayat anafilaksis, tidak boleh kepada

orang yang alergi gelatin.

KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini cukup ringan, yaitu muntah, diare,

demam, dan sakit kepala. Dengan efektivitas vaksin yang lebih tinggi dan

disertai efek samping yang lebih rendah daripada jenis vaksin tifoid

lainnya, maka vaksin tifoid oral ini merupakan pilihan utama. Sayangnya,

vaksin oral belum tersedia di Indonesia.

b. Vaksin parenteral: berasal dari polisakarida Vi dari kapsul salmonella

typhi, yang dimatikan. Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml

mengandung kuman Salmonella typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan

larutan bufer yang mengandung natrium klorida, disodium fosfat,

monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan. Disimpan dalam suhu 2-

8oC dan tidak boleh dibekukan. Diberikan pada anak berusia 2 tahun atau

lebih. Satu dosis dapat diberikan setiap 2-3 tahun. Dilakukan secara

intramuskular atau subkutan di deltoid atau paha atas. Respon imunitas

akan terbentuk dalam 15 hari sampai 3 minggu setelah imunisasi.

Keadaan yang dihindarkan saat pemberian vaksin adalah jangan diberikan

sewaktu demam, riwayat alergi, dan keadaan penyakit akut.

KIPI yang timbul berupa demam, pusing, sakit kepala, nyeri sendi, nyeri otot

tempat suntikan.

37
2.10.11 Imunisasi Hepatitis A1 , 3

Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa vaksinasi Hepatitis A dapat

memberikan perlindungan hampir 100% dan dapat bertahan sekitar 15 - 20 tahun.

Vaksin Hepatitis A berisi virus Hepatitis A yang dilemahkan dan tersedia dalam

2 kemasan dosis, yaitu untuk anak-anak 2-18 tahun dan dewasa usia > 18 tahun.

Vaksin diberikan sebanyak 2 kali, suntikan kedua diberikan 6-12 bulan dari

suntikan pertama, dan selanjutnya tidak diperlukan pengulangan. Untuk

pemberian yang cepat dapat langsung diberikan suntikan 2 dosis sekaligus

dengan daya perlindungan > 90% dalam 2 minggu. Dosisnya bervariasi

bergantung pada produk dan usia, disuntik secara intramuskular di deltoid.

Jenis Vaksin Usia Dosis Volume (ml) Jadwal


(Bulan ke-)
Havrix 2-18 th 720 ELISA 0,5 Dua dosis : 0
(GlaxoSmithKline) units dan 6-12
>18 th ELISA units 1 Dua dosis : 0
dan 6-12
Vaqta (Merck) 2-18 th 25 U 0,5 Dua dosis : 0
dan 6-18
>18 th 50 U 1 Dua dosis : 0
dan 6-12
Twinrix >17 th 720 ELISA 1 Tiga dosis :
(GlaxoSmithKline) units 0,1,6
Tabel 4. Vaksinasi Hepatitis A dan pemberian Imunoglobulin (Craig & William S
2004)

KIPI:

Umumnya aman dan KIPI yang sering ditemukan adalah reaksi lokal tetapi

umumnya ringan, kadang-kadang juga ada sedikit demam. Efek samping akibat

pemberian vaksinasi terbanyak 10 %-15% berupa nyeri dan bengkak di tempat

38
injeksi. Vaksin tidak boleh diberikan pada individu yang mengalami efek

samping berat sesudah pemberian dosis pertama.

2.10.12 Vaksinasi Varisela1 , 3

Vaksin berisi virus hidup varicella-zoster yang dilemahkan yang berasal

dari galur OKA. Vaksin ini berasal dari virus varicella zooster liar yang diisolasi

dari seorang anak yang bernama belakang oka berusia 3 tahun. Vaksin ini

dikembangkan pertama kali di Jepang oleh Takahashi dan di Amerika mendapat

lisensi untuk digunakan pada anaksejak tahun 1995.

Menurut rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak seluaruh Indonesia),

vaksin varisela dianjurkan pada anak dengan usia > 1 tahun, cukup 1 dosis.

Namun berdasarkan penelitian mengenai pencegahan dan penanganan wabah

varisela maka pada tahun 2006 The Advisory Commitee on Immunization

Practices (ACIP) dan America Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan

2 dosis untuk semua anak. Hal ini disebabkan masih timbulnya wabah varisela

terutama pada populasi yang sebagian besar telah dievakuasi. Disimpan dalam

suhu 2-8oC. Suntikan pertama diberikan saat usia 12-15 bulan dan suntikan

kedua pada usia 4-6 tahun sebanyak 0,5 ml secara subkutan.11

KIPI:

Jarang terjadi, tetapi bila terjadi reaksi yang muncul bersifat lokal (1%)

yaitu bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan yang terjadi beberapa jam

sesudah suntikan. Kadang-kadang didapatkan demam (1%) dan timbul bercak

kemerahan dan lenting ringan.

39
Kontra indikasi:

Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi,

gangguan kekebalan karena pengobatan penyakit keganasan atai sesudah

diradioterapi, pasien yang mendapat pengobatan kortikosteroid tinggi dan alergi

neomisin.

2.10.13 Vaksinasi Rotavirus1 , 3

Pada tahun 1998, vaksin Rotashield telah digunakan untuk mencegah diare

rotavirus. Namun, karena efek samping yang ditimbulkan (berupa gangguan usus),

maka vaksin tersebut ditarik dari peredaran. Saat ini terdapat 2 vaksin rotavirus,

yaitu ;

- Rotarix (GSK) yang merupakan vaksin monovalen karena hanya

mengandung strain manusia P(8)G1.

- Rotateg yang merupakan vaksin prevalen karena mengandung strain

manusiasapi P(8)G1-G4.

Keduanya diberikan melalui mulut (oral). Kedua vaksin tersebut terbukti

aman dari risiko gangguan usus. Efektivitas vaksin berkurang apabila

diberikan bersama vaksin polio oral. Kejadian ikutan pasca pemberian vaksin

dilaporkan adalah diare 7,5%; muntah 8,7%; dan demam 12,1%.

40
Nama Vaksin Rota Virus
Sasaran Imunisasi Bayi sedini usia 4 minggu
Macam Vaksin Rotarix, Rotateg
Dosis Rotarix, 3 dosis; Rotareg, 2 dosis
Jadwal Pemberian Rotarix usia (4, 8) minggu; Rotateg :
usia (4,8,12) minggu
Cara Pemberian Oral
Efektivitas Belum diketahui secara pasti
Kontraindikasi - Sebaiknya tidak diberikan
bersama-sama dengan vaksin polio
oral
- Adanya infeksi bakteri patogen
diusus
KIPI Diare, Muntah, Demam
Tabel 5. Vaksinasi Rotavirus

2.10.14 Vaksin Japanesse Encephalitis1

Pencegahan penyakit JE pada manusia bisa dilakukan dengan pemberian

vaksin JE. Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan pada

hari ke-0, hari ke-7 dan hari ke-28. Untuk anak berumur 1-3 tahun, dosis yang

diberikan masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang sama. Dosis penguat dapat

diberikan 3 tahun kemudian bagi mereka yang tinggal di daerah rawan terinfeksi

virus JE.

KIPI pemberian vaksin JE bias berupa kemerahan dan bengkak di tempat

penyuntikan, demam, sakit kepala, menggigil, mual dan muntah. Di Indonesia

pemberian vaksin JE pada manusia belum disosialisasikan, karena kebijakan

penggunaan vaksin masih belum diatur.

41
Nama Vaksin Vaksin Japanesse Encephalitis
Indikasi Semua umur terutama yang tinggal
didaerah rawan JE atau yang akan
mengadakan perjalanan ke daerah yang
rawan penyakit JE
Dosis awal 1 ml secara subkutan pada hari 0, 7, 28.
Untuk anak berumur 1-3 th; dosis 0,5 ml,
dengan jadwal yang sama
Efektivitas 90%
KIPI Kemerahan dan bengkak ditempat
penyuntikan, demam, sakit kepala,
menggigil, mual, dan muntah
Kontraindikasi Alergi
Tabel 6. Vaksinasi Japanesse Encephalitis

2.10.15 Vaksinasi Meningitis1

Pencegahan secara khusus dilakukan dengan pemberian vaksin. Vaksin

meningococcus pertama diperkenalkan pada tahun 1978. Awalnya, vaksin ini

hanya mampu melindungi dari 2 subtipe bakteri moningococcus (A & C).

Namun, vaksin ini telah mengalami banyak perkembangan, sekarang dapat

melindungi 4 subtipe dari bakteri meningococcus, yaitu subtype A, C, Y,dan W-

135.

Vaksin ini disebut vaksin tetravalent, yaitu MPSV4 (meningococcal

polysacarida vaccine A, C, Y, W-135) dan yang terbaru MCV4 ( Meningococcaal

conjugated vaccine A,C, Y, W-135).

Pemberian vaksin diutaman bagi anggota militer yang tinggal di barak

perkemahan, pegawai laboratorium yang kontak serta dengan bakteri Neisseria

meningitidis, siswa yang tinggal di daerah pesantren, dan bagi jemaah haji serta

turis yang hendak masuk ke daerah endemik.

42
1. Vaksin Polisakarida Meningococcus A, C, Y, W-135 (MPSV4)

Vaksin ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 1981, diberikan pada anak

usia 2-10 tahun dan usia di atas 55 tahun. Pemberian vaksin tidak dianjurkan bagi

anak usia kurang dari 2 tahun dan anak sekolah di atas 11 tahun. Yang lebih

dianjurkan untuk usia ini adalah vaksin jenis MCV4, namun jika tidak tersedia

vaksin jenis MCV4, maka vaksin ini (MPSV4) juga dapat digunakan.

Vaksin MPSV4 diberikan dengan satu kali suntikan secara subkutan (di

bawah kulit). Perlindungan yang didapatkan sekitar 85%-100% dan akan bertahan

selama 3-5 tahun. Kekebalan yang terbentuk akan menurun dalam 2-3 tahun,

sehingga diperlukan imunisasi ulangan setiap 3-5 tahun.

KIPI yang timbul akibat vaksin ini relatif ringan, yakni hanya berupa nyeri

dan kemerahan pada tempat suntikan, dapat terjadi demam (5%). Reaksi alergi

jarang terjadi (kurang dari 0,1/100.000).

2. Vaksin Conjugasi Meningococcus (MCV 4)

MCV4 pertama kali dikeluarkan pada tahun 2005 dengan harapan dapat

lebh baik daripada vaksin sebelumnya dan dapat memberikan perlindungan yang

lebih lama. Vaksin ini diberikan bagi anak di atas usia 2 tahun, terutama pada

usia 11-12 tahun. Pertimbangan pemberian vaksin untuk anak usia di atas 11

tahun adalah karena respon kekebalan yang terbentuk terhadap vaksin ini tidak

optimal, sehingga daya perlindungan yang didapatkan tidak maksimal.

43
Pemberian vaksin dilakukan 1 kali melalui suntikan di otot lengan dan

boleh diberikan bersamaan dengan vaksin lainnya, asalkan pada tempat yang

berbeda.

Kekebalan mulai terbentuk dalam 10 - 14 hari setelah pemberian vaksin

dan dapat bertahan selama 10 tahun. Dengan demikian tidak perlu pemberian

ulangan, tetapi untuk yang menerima vaksin di bawah usia 4 tahun kekebalan

tubuh yang terbentuk akan lebih cepat menurun dalam 3 tahun pertama.

Pemberian ulangan diberikan jika ada risiko penularan secara terus menerus.

Jadwal ulangan adalah 1 tahun untuk anak yang menerima vaksin pada usia

kurang dari 4 tahun. Bagi anak yang menerima vaksin pada usia di atas 4 tahun,

maka ulangan diberikan setelah satu tahun.

KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini lebih sering terjadi dibandingkan

dengan vaksin jenis MPSV4. Namun, biasanya sangat ringan, yakni berupa rasa

sakit dan tibul kemerahan pada tempat suntikan yang akan hilang dalam 12 hari.

Efek lain yang dapat timbul adalah kesemutan atau rasa seperti terbakar, tetapi

angka kejadiannya sangat jarang (kurang dari 1/10.000 orang). GuillainBarre

Syndrome atau terjadi kelumpuhan merupakan efek samping yang ditakutkan,

namun risiko terjadinya efek ini sangat kecil. Vaksin ini tidak boleh diberikan

pada seseorang dengan riwayat alergi dengan bahan vaksin, alergi latex, dan pada

orang dengan infeksi akut, serta pada wanita hamil.

44
2.10.16 Vaksin Yellow Fever1

Orang (berumur > 1 tahun) yang hendak bepergian ke Amerika dan Amerika

Latin harus mendapatkan vaksinasi demam kuning. Aturannya adalah 10 hari

setelah mendapatkan vaksinasi, orang tersebut akan memperoleh International

Certificate of Vaccination yang berlaku sampai 10 tahun. Vaksin demam kuning

berupa virus hidup yang dilemahkan, dari galur 17 D. Vaksin disuntikkan di bawah

kulit sebanyak 0,5 ml berlaku untuk semua umur dan sangat efektif dalam

memberikan proteksi dalam kurun waktu 10 tahun. Vaksin tidak direkomendasikan

pada anak < 9 bulan, ibu hamil, alergi telur, dan orang yang sedang mengalami

penurunan daya tahan tubuh.,

KIPI pemberian vaksin demam kuning pada umumnya bersifat ringan.

Sekitar 2%-5% penerima vaksin ini merasa pusing, nyeri otot, dan demam yang

terjadi 5-10 hari setelah mendapatkan vaksinasi.

2.10.17 Vaksinasi HPV

Pengembangan vaksin pencegahan vaksin HPV menawarkan harapan baru

untuk mencegah kanker leher rahim. Uji klinis dari 2 generasi pertama vaksin,

satu untuk HPV tipe 16 dan 18, sedangkan yang lainnya untuk tipe 6, 11, 16, 18

telah memperlihatkan proteksi yang cukup tinggi melawan insiden dan infeksi

persisten.

45
Vaksin diberikan 3 dosis (bulan ke-0, ke-1, dan ke-6) secara intramuskular

lengan atas. Vaksin tidak akan memberikan proteksi maksimal jika tidak

menyeleseikan ke-3 dosis tersebut. Sampai saat ini, penelitian selama 5 tahun dan

masih berjalan bahwa vaksin ini tidak memerlukan booster, sehingga masih

efektif setidaknya untuk 5 tahun.

Vaksin HPV aman dan efektif jika diberikan pada wanita usia 9-26 tahun.

Namun panduan dari Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI)

menyarankan vaksin diberikan pada wanita usia 10-55 tahun. Vaksin pencegahan

terhadap infeksi HPV akan bekerja secara efisien bila vaksin ini diberikan

sebelum individu terpapar infeksi HPV.

Vaksin HPV relatif aman, reaksi KIPI relatif ringan dapat berupa nyeri pada

lokasi penyuntikan, sakit kepala, mual, dan demam.

2.11 JADWAL IMUNISASI

Jadwal Imunisasi IDAI 2008 secara garis besar sama dibandingkan dengan

jadwal 2004. Perbedaan terletak pada penambahan vaksin pneumokokus

konjugasi (PCV=pneumococcal conjugate vaccine), vaksin influenza pada

program imunisasi yang dianjurkan (non-PPI) serta jadwal imunisasi varisela

yang dianjurkan diberikan pada umur 5 tahun (jadwal tahun 2007). Pada jadwal

2008 ditambahkan vaksin Rotavirus untuk diare pada anak dan HPV (Human

Papilloma Virus). Pada tahun 2010 ini berdasarkan rekomendasi IDAI (Ikatan

Dokter Anak Indonesia) tidak adanya lagi perbedaan program imunisasi yang

46
diwajibkan dan dianjurkan serta ada perbedaan waktu pemberian awal imunisasi

seperti varisela atau imunisasi ulangan seperti hepatitis B.

Gambar. Jadwal imunisasi 2011-20127

47
BAB III
KESIMPULAN

Upaya pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan banyak cara. Salah

satunya adalah dengan meningkatkan kekebalan atau imunitas tubuh dalam

menghadapi ancaman penyakit yang dilakukan dengan pemberian imunisasi.

Imunisasi dasar pada anak usia dibawah 2 tahun sangat penting untuk dilakukan

oleh karena bisa menurunkan angka kesakitan dan kematian yang seharusnya

dapat dicegah walaupun imunisasi tidak menjamin 100% bahwa seseorang tidak

akan terjangkit penyakit tersebut.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Suharjo, JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius : 2010

2. Sri, Rezeki S Hadinegoro. Prof. Dr. dr. SpA(K), dkk. Pedoman imunisasi di

Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta 2005

3. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting.

Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi

Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.

4. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB, penyunting.

Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi kedua. Jakarta: UKK

Respiratologi PP IDAI; 2007.

5. Lawrence M Tierney Jr MD, Stephen J McPhee MD, Maxine A Papadakis

MD. Current Medical Diagnosis and Treatment 2002. Page 1313-1319.

6. Eric AF Simoes MD DCH and Jessie R Groothius MD. Immunization. Page

235-258.

7. Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia

(IDAI) 2008 [image on the Internet]. Jakarta: Ikatan Dokter Anak

Indonesia,2008 Available from :

http://pediatricinfo.wordpress.com/2009/04/20/jadwal-imunisasi-

2008idai/

49

Anda mungkin juga menyukai