Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

Diagnosis dan Tatalaksana Varisela pada Anak

Disusun oleh:

Atika Wahyu Andari

1102015040

Pembimbing:

dr. Dani Kurnia Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD ARJAWINANGUN KAB. CIREBON
11 NOVEMBER 2019 – 18 JANUARI 2020
BAB I
PENDAHULUAN

Varisela, umumnya dikenal sebagai chickenpox atau cacar air, yang


disebabkan oleh virus varisela-zoster (VVZ). VVZ merupakan virus DNA yang
mirip dengan virus Herpes Simpleks. Virus tersebut dapat menyebabkan herpes
zoster.3,4 Varisela pada umumnya menyerang anak, sedangkan herpes zoster atau
shingles merupakan suatu reaktivasi infeksi endogen pada periode laten VVZ
umumnya menyerang orang dewasa atau anak yang menderita defisiensi imun
(White & Fenner, 1994).
Penyakit ini umumnya dianggap sebagai penyakit virus ringan yang sembuh
sendiri dengan komplikasi sesekali. Varisela sering ditemukan dan sangat menular
dan mengenai hampir semua anak yang rentan sebelum remaja. Meskipun sebagian
besar infeksi varisela memberikan kekebalan seumur hidup, reinfeksi klinis varisela
di antara anak-anak yang sehat telah dijelaskan (Bechtel, 2018).
Varisela adalah suatu penyakit infeksi akut primer oleh VVZ yang
menyerang kulit, mukosa dan selaput lendir, klinis terdapat gejala konstitusi,
kelainn kulit polimorf ditandai oleh adanya vesikel-vesikel, terutama berlokasi di
bagian sentral tubuh.1 Gejala yang muncul mungkin termasuk riwayat demam
ringan, sakit perut, riwayat ruam, pruritus hebat, sakit kepala, malaise, anoreksia,
batuk dan coryza, dan sakit tenggorokan. Ruam dan demam adalah temuan khas
selama pemeriksaan fisik pada pasien anak dengan varisela. (Bechtel, 2018).
Varisela biasanya merupakan penyakit ringan pada anak-anak, dan hampir
semua anak sembuh dengan lancar. Namun, varisela tidak sepenuhnya ringan
bahkan hari ini. Sejumlah besar kasus varisela dikaitkan dengan komplikasi, di
antara yang paling serius adalah varisela pneumonia dan ensefalitis (Bechtel, 2018).
Di Amerika Serikat, sebelum diperkenalkan vaksin varisela terjadi epidemi
varisela tahunan setiap musim dingin dan musim semi, tercatat sekitar 4 juta kasus.
Pada tahun 2000, angka kejadian varisela menurun 71%-84% sejak
diperkenalkannya vaksin varisela. Angka kesakitan dan kematian menurun
terutama pada kelompok umur 1-4 tahun.1Angka kejadian varisela di Indonesia
belum pernah diteliti sedangkan berdasarkan data dari poliklinik umum Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (IKA-RSCM) dalam lima
tahun terakhir tercatat 77 kasus varisela tanpa penyulit (Theresia, 2010).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Varisela adalah suatu penyakit infeksi akut primer oleh VVZ yang
menyerang kulit, mukosa dan selaput lendir, klinis terdapat gejala konstitusi,
kelainn kulit polimorf ditandai oleh adanya vesikel-vesikel, terutama berlokasi di
bagian sentral tubuh (Adhi Djuanda, 2017).

2. 2 Epidemiologi
Varicella tersebar kosmopolit (di seluruh dunia), dapat mengenai semua
golongan umur, termasuk neonates (varicella kongenital). Tetapi tersering
menyerang terutama anak-anak, tetapi dapat juga menyerang orang dewasa. Bila
terjadi pada orang dewasa, umumnya gejala konstitusi lebih berat (Adhi Djuanda,
2017).
Epidemiologi cacar air (varicella) lebih tinggi pada negara tropis dan
subtropis, seperti Indonesia. Varisela dapat mengenai semua kelompok umur
termasuk neonatus, tetapi hampir 90% kasus mengenai anak dibawah umur 10
tahun dan terbanyak pada umur 5-9 tahun (Theresia, 2010). Epidemiologi varicella
berbeda antara negara-negara dengan iklim sedang dan negara-negara dengan iklim
tropis. Di sebagian besar negara dengan iklim sedang, lebih dari 90% orang
terinfeksi oleh remaja tetapi di negara-negara dengan iklim tropis, proporsi infeksi
yang lebih tinggi diperoleh pada usia yang lebih tua, yang menghasilkan kerentanan
yang lebih tinggi di antara orang dewasa (Bechtel, 2018).
Di Amerika Serikat, sebelum diperkenalkan vaksin varisela terjadi epidemi
varisela tahunan setiap musim dingin dan musim semi, tercatat sekitar 4 juta kasus.
Pada tahun 2000, angka kejadian varisela menurun 71%-84% sejak
diperkenalkannya vaksin varisela. Angka kesakitan dan kematian menurun
terutama pada kelompok umur 1-4 tahun. Angka kejadian varisela di Indonesia
belum pemah diteliti sedangkan berdasarkan data dari poliklinik umum Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (IKA-RSCM) dalam lima
tahun terakhir tercatat 77 kasus varisela tanpa penyulit (Theresia, 2010).
Kejadian maksimum varisela pada populasi yang tidak divaksinasi adalah
pada anak-anak berusia 1-6 tahun. Orang yang lebih tua dari 14 tahun merupakan
10% dari kasus varicella. Di Amerika Serikat, usia puncaknya sekarang 9-11 tahun
(Bechtel, 2018).
Di daerah beriklim tropis, varicella lebih sering terjadi pada anak yang lebih
besar. Sebagian besar kasus di Jepang terjadi pada anak-anak di bawah 6 tahun.
Sekitar 9,6% kasus melibatkan anak-anak di bawah 1 tahun, dan hampir sepertiga
di antaranya adalah bayi di bawah 5 bulan (Bechtel, 2018).
Varicella tidak memiliki kecenderungan ras atau kecenderungan jenis
kelamin (Bechtel, 2018).
2.3 Etiologi
Varicella disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV). Penamaan virus
ini memberi pengertian bahwa infeksi primer virus ini meyebabkan penyakit
varicella, sedangkan reaktivasi menyebabkan herpes zoster. Varicella Zoster Virus
(VZV) termasuk kelompok virus herpes dengan ukuran diameter kira-kira 140–200
nm (Adhi Djuanda, 2017).
Varicella-Zooster virus diklasifikasikan sebagai herpes virus alfa karena
kesamaannya dengan prototipe kelompok ini yaitu virus herpes simpleks. Inti virus
disebut Capsid, terdiri dari protein dan DNA dengan rantai ganda, yaitu rantai
pendek (S) dan rantai panjang (L) dan membentuk suatu garis dengan berat molekul
100 juta yang disusun dari 162 capsomer dan sangat infeksius. Genom virus
mengkode lebih dari 70 protein, termasuk protein yang merupakan sasaran imunitas
dan timidin kinase virus, yang membuat virus sensitif terhadap hambatan oleh
asiklovir dan dihubungkan dengan agen antivirus (Lichenstein, 2002).
VZV dapat pula menyebabkan Herpes Zoster. Kedua penyakit ini
mempunyai manifestasi klinis yang berbeda. Kontak pertama dengan virus ini akan
menyebabkan varicella, oleh karena itu varicella dikatakan infeksi akut primer,
kemudian setelah penderita varicella tersebut sembuh, mungkin virus itu tetap ada
di akar ganglia dorsal dalam bentuk laten (tanpa ada manifestasi klinis) dan
kemudian VZV diaktivasi oleh trauma sehingga menyebabkan Herpes Zoster
(Lichenstein, 2002).
VZV dapat ditemukan dalam cairan vesikel dan dalam darah penderita
varicella sehingga mudah dibiakan dalam media yang terdiri dari fibroblast paru
embrio manusia.4

Faktor risiko untuk varisela berat (Bechtel, 2018)


Faktor risiko untuk varisela berat pada neonatus adalah sebagai berikut:
 Bulan pertama kehidupan: Bulan pertama neonatus adalah periode yang
rentan untuk varisela berat, terutama jika ibunya seronegatif.
 Persalinan dini: Persalinan sebelum kehamilan 28 minggu juga membuat
bayi rentan karena transfer transplasental dari antibodi imunoglobulin G
(IgG) terjadi setelah masa ini.

Faktor risiko untuk varisela berat pada remaja dan dewasa adalah sebagai berikut:
 Terapi steroid: Dosis tinggi (yaitu, dosis setara dengan 1-2 mg / kg / d
prednisolon) selama 2 minggu atau lebih adalah faktor risiko yang pasti
untuk penyakit parah. Bahkan terapi jangka pendek pada dosis ini segera
sebelum atau selama masa inkubasi varicella dapat menyebabkan varicella
yang parah atau fatal.
 Keganasan: Semua anak dengan kanker memiliki peningkatan risiko
varisela yang parah. Risiko tertinggi untuk anak-anak dengan leukemia.
Hampir 30% dari pasien yang immunocompromised dan yang memiliki
leukemia memiliki penyebaran viscela viscera; 7% bisa mati.
 Keadaan immunocompromised (misalnya, keganasan, obat antimalignansi,
human immunodeficiency virus [HIV], kondisi imunodefisiensi bawaan
atau didapat lainnya): Cacat seluler tetapi tidak immunodefisiensi humoral
diyakini membuat seseorang rentan terhadap varicella parah.
 Kehamilan: Wanita hamil memiliki risiko tinggi varicella yang parah,
terutama pneumonia.
2.4 Patofisiologi
Organisme penyebab, virus varicella-zoster, adalah anggota dari subfamili
herpes virus manusia Alphaherpesvirinae dan, seperti semua virus herpes, adalah
virus DNA. Virus masuk melalui sistem pemapasan (mukosa konjungtiva atau
pemapasan atas) dan menjajah saluran pemapasan atas. Replikasi virus terjadi di
kelenjar getah bening regional selama 2-4 hari ke depan; 4-6 hari kemudian, viremia
primer menyebarkan virus ke sel retikuloendotelial di limpa, hati, dan di tempat lain
(Bechtel, 2018). Pada kebanyakan kasus, virus dapat mengatasi pertahanan non-
spesifik seperti interferon dan respons imun. Satu minggu kemudian atau 14-16 hari
setelah terinfeksi, virus kembali menyebar melalui pembuluh darah (viremia
sekunder) dan pada saat ini timbul demam dan malaise. Penyebaran ke seluruh
tubuh terutama kulit dan mukosa. Lesi kulit muncul tidak bersamaan, sesuai
dengan siklus viremia, menimbulkan lesi kulit yang khas (Soedarmo, et al., 2008).
Viremia ini juga menyebarkan virus ke situs pemapasan dan bertanggung jawab
atas penularan varicella sebelum munculnya ruam. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)
atau hati juga terjadi pada saat ini, seperti halnya ensefalitis, hepatitis, atau
pneumonia (Bechtel, 2018). Pada keadaan normal, siklus ini berakhir setelah 3
hari akibat adanya kekebalan humoral dan selular spesifik. Timbulnya pneumonia
varisela dan penyulit lainnya disebabkan kegagalan respons imun mengatasi
replikasi dan penyebaran virus (Papadopoulos, 2018).
Setelah infeksi primer, VZV diduga bersembunyi dalam fase latennya di
ganglion dorsalis neuron sensoris. Reaktivasi virus VZV menimbulkan sekumpulan
gejala yang disebut herpes zoster atau ruam saraf (shingles), yaitu berupa : lesi
vesikuler pada kulit yang terdistribusi hanya pada dermatom neuron sensoris
tertentu. Reaktivasi virus VZV biasanya terjadi pada usia dewasa dan bertahun-
tahun setelah infeksi pertama cacar air. Penderita herpes zoster juga dapat
menularkan cacar air kepada orang lain, khususnya yang belum pemah menderita
cacar air (Papadopoulos, 2018).
Masa inkubasi yang biasa adalah 10-21 hari. Pasien menular dari 1-2 hari
sebelum munculnya ruam sampai lesi mengeras, biasanya 5-6 hari setelah ruam
pertama kali muncul (Bechtel, 2018).
Paparan VZV pada individu dengan sistem imunitas yang baik
menghasilkan kekebalan tubuh berupa antibodi immunoglobulin G (IgG),
immunoglobulin M (IgM) dan immunoglobulin A (IgA) yang memberikan efek
proteksi seumur hidup. Pada umumnya individu yang imunokompeten hanya
mengalami satu kali infeksi varicella sepanjang hidupnya. Jika terjadi infeksi VZV
kembali mungkin berupa penyebaran ke kulit pada herpes zoster (Bechtel, 2018),
(Papadopoulos, 2018).

2.5 Manifestasi Klinis


Perjalanan penyakit dibagi menjadi 2 stadium yaitu stadium prodromal dan
stadium erupsi.
Stadium Prodromal
Gejala prodromal timbul setelah 4-15 hari masa inkubasi, dengan
timbulnya ruam kulit disertai demam yang tidak begitu tinggi serta malaise.
Pada anak lebih besar besar dan dewasa ruam didahului oleh demam selama
2-3 hari sebelumnya, menggigil, malaise, nyeri kepala, anoreksia, nyeri
punggung, dan pada beberapa kasus nyeri tenggorok dan batuk .
Stadium Erupsi
Ruam kulit muncul di muka dan kulit kepala, dengan cepat menyebar
ke badan dan ekstrermitas. Ruam lebih jelas pada bagian badan yang tertutup
dan jarang ditemukan pada telapak kaki dan tangan. Penyebaran lesi varisela
bersifat sentrifugal. Gambaran yang menonjol adalah perubahan yang cepat dari
makula kemerahan ke papula, vesikula, pustula dan akhimya menjadi krusta.
Perubahan ini hanya terjadi dalam waktu 8-12 jam. Gambaran vesikel khas,
superfisial, dinding tipis dan terlihat seperti tetesan air (tear drop). Penampang
2-3 mm berbentuk elips dengan sumbu sejajar garis lipatan kulit. Cairan
vesikel pada permulaan jemih, dan dengan cepat menjadi keruh akibat serbukan
sel radang dan menjadi pustula. Lesi kemudian mengering yang dimulai dari
bagian tengah dan akhimya terbentuk krusta. Krusta akan lepas dalam waktu
1-3 minggu bergantung kepada dalamnya kelainan kulit. Bekasnya akan
membentuk cekungan dangkal benwama merah muda dan kemudian berangsur-
angsur hilang. Apabila terdapat penyulit berupa infeksi sekunder dapat terjadi
jaringan parut.

Gambar 2. Varicella pada anak

Vesikel juga dapat timbul pada mukosa mulut terutama pada palatum.
Vesikel ini dengan cepat pecah sehingga luput dari pemeriksaan, bekasnya
masih dapat terlihat berupa ulkus dangkal dengan diameter 2-3 mm. Lesi kulit
terbatas terjadi pada lapisan epidermis sehingga tidak menembus membran
basal kulit, sehingga tidak menimbulkan bekas. Jaringan parut yang menetap te
rjadi sebagai akibat infeksi sekunder (lesi menembus membran basalis kulit).
Vesikel juga dapat timbul pada mukosa hidung, faring, laring, trakea, saluran
cema, saluran kemih, vagina dan konjungtiva. Gambaran lain dari lesi varisela
adalah terdapatnya semua tingkatan lesi kulit dalam waktu bersamaan pada
satu area. Pada kasus yang khas dan berat suhu badan dapat mencapai 39-
40,5OC. Apabila demam berlanjut mungkin telah terjadi infeksi bakteri sekunder
atau penyulit lain. Keluhan yang paling menonjol adalah perasaan gatal selama
fase erupsi, sehingga dapat dijumpai lesi bekas garukan (Soedarmo, et al., 2008).
2.6 Diagnosis
Diagnosis varisela dapat ditegakkan secara klinis dengan gambaran dan
perkembangan lesi kulit yang khas, terutama apabila diketahui ada kontak 2-3
minggu sebelumnya. Gambaran khas termasuk (1). Muncul setelah masa
prodromal yang singkat dan ringan, (2) Lesi berkelompok terutama di bagian
sentral, (3) Perubahan lesi yang cepat dari makula, vesikula, pustula sampai krusta,
(4) Terdapatnya semua tingkat lesi kulit dalam waktu bersamaan pada daerah
yang sama, (5) Terdapat lesi mukosa mulut. Diagnosis banding dapat berupa
sindrom Stevens Johnson, herpes zoster generalisata atau herpes simpleks.
Umumnya pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan lagi. Pada tiga hari pertama
dapat terjadi leukopenia yang diikuti dengan leukositosis. Serum antibody IgA dan
IgM dapat terdeteksi pada hari pertama dan kedua pasca ruam. Untuk
mengkonfirmasi diagnosis varisela dapat dengan pewamaan imunohistokimiawi
dari lesi kulit. Prosedur ini umumnya dilakukan pada pasien risiko tinggi yang
memerlukan konfirmasi cepat. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan di
antaranya isolasi virus (3-5 hari), PCR, ELISA, tehnik imunofluoresensi
Fluorosecent Antibody to Membrane Antigen (FAMA), yang merupakan baku
emasnya (Soedarmo, et al., 2008).
Diagnosis banding yang harus dipertimbangkan dalam diagnosis varisela pediatrik
meliputi: (Bechtel, 2018)
- Urtikaria akut
- Enchephalitis
- Penyakit Hand-foot-and-mouth Disease dalam Pengobatan Darurat
- Henoch-Schonlein Purpura
- Herpes Simplex Virus (HSV) dalam Pengobatan Darurat
- Herpes Zoster
- Impetigo
- Dermatitis Kontak Anak
- Infeksi Enteroviral Pediatrik
- Infeksi Virus Herpes Simpleks Anak
- Kudis
- Sindrom Stevens-Johnson
- Sindrom Syok Beracun
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Gambaran histopatologi yaitu vesikula terdapat dalam epidermis, terbentuk
akibat ‘degenerasi balon’, sangat sukar dibedakan dari kelainan pada herpes zoster
dan herpes simpleks (White & Fenner, 1994), (Siregar, 2004).
Lesi pada varicella dan herpes zoster tidak dapat dibedakan secara
histopatologi. Pada pemeriksaan menunjukkan sel raksasa berinti banyak dan sel
epitel yang mengandung badan inklusi intranuklear yang asidofilik (Straus, et al.,
2008).
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan percobaan Tzanck dengan cara
membuat sediaan hapus yang diwamai, dimana bahan pemeriksaan diambil dari
kerokan dari dasar vesikel yang muncul lebih awal, kemudian diletakkan di atas
object glass, dan difiksasi dengan ethanol atau methanol, dan diwamai dengan
pewamaan hematoxylin-eosin, Giemsa, Papanicolaou, atau pewamaan Paragon.
Hasilnya akan didapati sel datia raksasa berinti banyak. Kehadiran sel raksasa
berinti banyak menunjukkan infeksi virus herpes tetapi tidak spesifik untuk virus
varicella-zoster. Infeksi dengan virus herpes lainnya, seperti herpesvirus 1 dan 2,
juga menampilkan sel raksasa berinti banyak yang serupa. Dengan demikian,
temuan ini tidak cukup sensitif atau spesifik untuk varisela dan harus diganti dengan
pewamaan imunohistokimia yang lebih spesifik dari kerokan tersebut, jika tersedia
(Bechtel, 2018).
Pewamaan imunohistokimia dari kerokan lesi kulit dapat mengkonfirmasi
varisela. Prosedur ini berguna untuk pasien berisiko tinggi yang memerlukan
konfirmasi cepat (Bechtel, 2018).
Di samping itu Varicella zoster virus (VZV) polymerase chain reaction
(PCR) adalah metode pilihan untuk diagnosis varicella. VZV juga dapat diisolasi
dari kultur jaringan, meskipun kurang sensitif dan membutuhkan beberapa hari
untuk mendapatkan hasilnya. Bahan yang paling sering digunakan adalah isolasi
dari cairan vesikuler. VZV PCR adalah metode pilihan untuk diagnosis klinis yang
cepat. Real-time PCR metode tersedia secara luas dan merupakan metode yang
paling sensitif dan spesifik dari tes yang tersedia. Hasil tersedia dalam beberapa
jam. Jika real-time PCR tidak tersedia, antibodi langsung metode (DFA) neon dapat
digunakan, meskipun kurang sensitif dibanding PCR dan membutuhkan
pengambilan spesimen yang lebih teliti (White & Fenner, 1994), (Straus, et al.,
2008).
Tes serologi terutama digunakan untuk mengkonfirmasi infeksi masa lalu
untuk menilai status kerentanan pasien. Ini membantu menentukan persyaratan
perawatan preventif untuk remaja atau orang dewasa yang telah terpapar varicella
(Bechtel, 2018).
Di antara banyak penelitian serologis, yang paling sensitif adalah indirect
flourescent antibody (IFA), flourescent antibody to membrane antigen (FAMA),
neutralization test (NT), dan radioimmunoassay (RIA). Tes yang memakan waktu
ini membutuhkan peralatan khusus yang membuatnya tidak cocok untuk
penggunaan rutin (Bechtel, 2018).
Berbagai tes serologi untuk antibodi terhadap varicella yang tersedia secara
komersial termasuk uji aglutinasi lateks (LA) dan sejumlah enzyme-linked
immunosorbent test (ELISA). Saat ini tersedia metode ELISA, dan temyata tidak
cukup sensitif untuk mampu mendeteksi serokonversi terhadap vaksin, tetapi cukup
kuat untuk mendeteksi orang yang memiliki kerentanan terhadap VZV. ELISA
sensitif dan spesifik, sederhana untuk melakukan, dan banyak tersedia secara
komersial. Di samping itu LA juga tersedia secara sensitif, sederhana, dan cepat
untuk dilakukan. LA agak lebih sensitif dibandingkan ELISA komersial, meskipun
dapat menghasilkan hasil yang positif palsu, dan dapat menyebabkan kegagalan
untuk mengidentifikasi orang-orang yang tidak terbukti memiliki imunitas terhadap
varicella. Dimana salah satu dari tes ini akan berguna untuk skrining kekebalan
terhadap varicella (White & Fenner, 1994).
Gambar 7.1 Sel raksasa berinti banyak

Sumber : Straus, Stephen E. Oxman, Michael N. Schmader, Kenneth E. Varicella. In: Fitzpatrick’s Dermatology in

General Medicine; seventh edition, vol 1 and 2. 2008. P.1885-1895.

Pada pemeriksaan darah, sebagian besar anak-anak dengan varisela


memiliki leukopenia dalam 3 hari pertama, diikuti oleh leukositosis. Leukositosis
yang ditandai dapat mengindikasikan infeksi bakteri sekunder tetapi bukan
merupakan tanda yang dapat diandalkan. Sebagian besar anak-anak dengan infeksi
bakteri sekunder yang signifikan tidak memiliki leukositosis; leukositosis
neutrofilik dan neutrofilia hanya terjadi pada beberapa kasus yang melibatkan
infeksi bakteri serius (Bechtel, 2018).
Pemeriksaan Rontgen thoraks dilakukan untuk mengkonfirmasi ataupun
untuk mengeksklusi pneumonia. Gambaran nodul infiltrat difus bilateral umumnya
terjadi pada pneumonia varisela primer sedangkan infiltrat fokal mengindikasikan
pneumonia bacterial sekunder. Pungsi lumbal dapat dilakukan pada anak dengan
kelainan neurologis (Soedarmo, et al., 2008).
Pemeriksaan lumbal pungsi pada anak-anak dengan tanda-tanda neurologis
harus diperiksa cairan serebrospinal (CSF) mereka. CSF pasien dengan varicella
encephalitis mungkin memiliki sedikit atau sebanyak 100 sel yang bersifat
polimorfonuklear atau mononuklear, tergantung pada waktu pungsi lumbal. Level
glukosa berada dalam kisaran referensi. Tingkat protein berada dalam kisaran
referensi atau sedikit meningkat (Bechtel, 2018).
2.8 Tatalaksana
Pada anak sehat, varisela umumnya ringan dan sembuh sendiri, cukup
diberikan pengobatan simtomatik, antara lain dengan menggunakan lotion calamine
untuk mengurangi gatal dan asetaminofen untuk demam dan rasa sakit. Pengobatan
asiklovir untuk varisela pada pasien sehat berdasarkan kelompok umur, karena
derajat keparahan varisela berbeda sesuai dengan umur. Dari hasil penelusuran,
asiklovir terbukti aman serta dapat mengurangi lamanya demam dan jumlah lesi
yang timbul. Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
merekomendasikan agar anak-anak dengan varisela tetap tinggal di rumah selama
6 hari setelah onset ruam (Theresia, 2010). Pada lesi kulit lokal dapat diberikan
lotio calamine. Untuk mengurangi rasa gatal dapat dengan kompres dingin,
mandi secara teratur ataupun dengan pemberian antihistauin. Antipiretik jarang
diperlukan. Salisilat tidak dianjurkan karena berhubungan dengan timbulnya
sindrom Reye, sedangkan asetaminofen cenderung memberikan efek yang
berlawanan, tidak meringankan gejala malahan mungkin memperpanjang masa
sakit (Soedarmo, et al., 2008).
Pisahkan pasien dengan varisela karena penyakit ini sangat menular dan
penyebaran melalui udara dapat terjadi. Isolasi sangat penting jika rumah sakit juga
menerima pasien yang immunocompromised karena paparan mereka terhadap
penyakit ini bisa serius dan bahkan fatal (Bechtel, 2018).
Pengobatan pruritus pada pasien dengan varisela dengan kompres dingin
dan mandi teratur. Mencegah goresan untuk menghindari jaringan parut. Memotong
kuku anak dan membiarkan anak mengenakan sarung tangan saat tidur dapat
mengurangi goresan (Bechtel, 2018).
Rendam hangat dan mandi oatmeal atau tepung maizena dapat mengurangi
rasa gatal dan memberikan kenyamanan. Lotion kalamin topikal dapat
menyebabkan lesi dan pengeringan kulit yang berlebihan, menyebabkan anak
menggaruk. Antihistamin oral, seperti diphenhydramine dan hydroxyzine,
digunakan untuk pruritus parah. Harus diperhatikan dengan penggunaan
difenhidramin topikal; toksisitas dapat terjadi dari penyerapan sistemik jika
diterapkan ke seluruh tubuh (Bechtel, 2018).
Karena hubungan terapi varicella dan aspirin yang mengarah ke sindrom
Reye, acetaminophen direkomendasikan untuk digunakan untuk mengurangi
demam. Penelitian juga mencoba menemukan hubungan antara ibuprofen dan
risiko fasciitis; hasilnya belum dapat disimpulkan (Bechtel, 2018).
Sindrom Reye dicurigai apabila muncul gejala letargi, muntah yang
menetap dana anak tampak bingung. Diagnosis dini serta penanganan yang baik
terhadap peninggiaan tekanan intrakranial dan hipoglikemia dapat menurunkan
angka kesakitan dan kematian. Pasien dengan penyulit neurologiss seperti ataksia
seleberal, ensefalitis, meningoensefalitis, dan mielitis diberikan obat antivirus
(Bechtel, 2018).
Penggunaan acyclovir pada anak-anak yang sehat direkomendasikan oleh
American Academy of Pediatrics (AAP) jika dapat diberikan dalam waktu 24 jam
setelah ruam pertama kali muncul, pada anak-anak yang lebih tua dari 12 tahun,
mereka yang memiliki kelainan kulit atau paru kronis, mereka yang menggunakan
terapi salisilat jangka panjang, dan anak-anak yang menerima kortikosteroid.
Asiklovir intravena direkomendasikan hanya untuk pengobatan varicella pada
anak-anak yang immunocompromised atau pada anak-anak yang sehat dengan
varicella pneumonia atau ensefalitis. Asilklovir terbukti efektif menurunkan
morbiditas dan mortalitas varisela pada pasien imunokompromais apabila
diberikan dalarn 24 jam sejak onset ruam. Pada pasien yang sehat, asilklovir
terbukti mampu mengurangi lama demam dan mengurangi jumlah maksimum
lesi yang tirnbul, namun tidak mempengaruhi lama berkurangnya lesi ataupun
mengurangi rasa gatal yang timbul. Dalam beberapa kasus, asiklovir dapat
dipertimbangkan untuk remaja dan orang dewasa dengan varisela yang tidak rumit.
Selain itu, terapi antivirus harus dipertimbangkan untuk pasien dengan penggunaan
steroid baru-baru ini atau mereka dengan eksim yang luas (Bechtel, 2018),
(Soedarmo, et al., 2008).
Dosis asiklovir per oral adalah 20 mg/kg per kali (dosis maksimum 800 mg)
empat kali sehari selama lima hari dan dimulai dalam 24 jam setelah onset ruam,
sedangkan asiklovir intravena pada umumnya diberikan dengan dosis 500 mg/m2
setiap 8 jam selama 7-10 hari. (Theresia, 2010). Anak yang mendapat terapi
asilklovir disarankan harus mendapat cukup hidrasi karena asilklovir dapat
mengkristal pada tubulus renal bila diberikan pada individu yang dehidrasi
(Soedarmo, et al., 2008).
Penyulit perdarahan hendaknya diatasi sesuai dengan hasil pemeriksaan
sistem pembekuan dan pemeriksaan sumsum tulang, akan tetapi karena VZV dapat
menyebabkan kerusakan langsung pada endotel pembuluh darah maka pada
varicella fulmian terutama apabila vesikel baru timbul maka dapat diberikan obat
antivirus.
Varicella-Zoster Immune Globulin (VariZIG) ini diindikasikan untuk
individu yang berisiko tinggi dalam 10 hari (idealnya dalam 4 hari) dari paparan
cacar air. Agen ini mengurangi komplikasi dan tingkat kematian varicella, bukan
kejadiannya. Ini digunakan sebagai profilaksis pascapajanan pada individu berisiko
tinggi; untuk pasien yang secara imunologis normal, profilaksis pascapajanan
menggunakan vaksin varicella lebih disukai (Marin & Bialek, 2013). Kelompok
berisiko tinggi meliputi:
- Anak-anak dan orang dewasa yang tidak terkompromikan kekebalan
- Bayi baru lahir dari ibu dengan varisela sesaat sebelum atau setelah
melahirkan
- Bayi prematur
- Bayi berusia kurang dari satu tahun
- Orang dewasa tanpa bukti kekebalan
- Wanita hamil
VariZIG diberikan secara intramuskular, tidak pernah intravena. Dosisnya
adalah 125 U / 10 kg berat badan. Pemberian sesegera mungkin setelah paparan
adalah yang terbaik, tetapi dapat mencegah atau melemahkan varicella jika
diberikan dalam 10 hari (idealnya dalam 96 jam) dari kontak. Durasi perlindungan
yang diharapkan adalah sekitar 3 minggu (Bechtel, 2018).
Ketika varicella ibu telah berkembang dalam 5 hari sebelum atau 2 hari
setelah melahirkan, varicella neonatal cenderung parah dan menyebar. Profilaksis
atau pengobatan diperlukan dengan VZIG dan asiklovir. Tanpa obat-obatan ini,
angka kematian mungkin setinggi 30%. Penyebab utama kematian adalah
pneumonia berat dan hepatitis fulminan (Bechtel, 2018).
Jika timbulnya varicella ibu lebih dari 5 hari sebelum partum, neonatus
jangka penuh biasanya hanya memiliki varicella ringan. Pengobatan dengan VZIG
tidak dianjurkan dalam kasus tersebut, tetapi asiklovir dapat digunakan, tergantung
pada keadaan masing-masing (Bechtel, 2018).
Imunoglobulin intravena (IVIG) telah digunakan untuk mencegah varicella
setelah terpapar ketika VariZIG tidak tersedia. Kemanjuran klinis tidak diketahui
secara pasti. Pasien yang sudah menggunakan IVIG pengganti tidak perlu VariZIG
jika infus IVIG terbaru mereka dalam 3 minggu.
Tingkat kecurigaan yang tinggi diperlukan untuk pengenalan dini dan
perawatan infeksi sekunder yang tepat waktu. Dugaan infeksi sekunder jika
manifestasi sistemik tidak membaik dalam 3-4 hari, demam kembali atau
memburuk, atau kondisi anak memburuk setelah perbaikan awal. Kecurigaan
infeksi bakteri sekunder harus mendorong institusi awal terapi antibiotik empiris
sampai hasil studi kultur menjadi tersedia (Bechtel, 2018).
Anak-anak yang mengalami komplikasi varisela yang parah dan
mengancam jiwa mungkin memerlukan rawat inap di unit perawatan intensif (ICU).
Temuan-temuan berikut adalah indikasi untuk masuk ke ICU:
- Kesadaran yang berubah
- Kejang
- Kesulitan berjalan
- Gangguan pernapasan
- Sianosis
- Saturasi oksigen rendah
Rawat inap dan rawat semua bayi baru lahir yang ibunya menderita varisela
kurang dari 5 hari sebelum atau dalam 2 hari setelah melahirkan. Rawat inap
varicella membutuhkan isolasi ketat dari pasien lain dan petugas kesehatan yang
rentan. Ruang tekanan negatif sangat ideal (Bechtel, 2018).
Disarankan orang tua untuk memberikan makanan lengkap dan tidak terbatas
kepada anak. Beberapa anak-anak dengan varicella telah mengurangi nafsu makan
dan harus didorong untuk mengkonsumsi cairan yang cukup untuk menjaga hidrasi.
Hidrasi yang adekuat sangat penting jika anak menerima asiklovir karena obat
tersebut dapat mengkristal dalam tubulus ginjal jika diberikan pada individu yang
mengalami dehidrasi (Bechtel, 2018).

2.9 Komplikasi
Pada anak sehat, varisela merupakan penyakit ringan dan jarang
menimbulkan penyulit yang serius. Angka mortalitas pada anak usia 1-14
tahun tahun diperkirakan 2/100.000 kasus, namun pada neonatus dapat
mencapai hingga 30%. Penyulit tersering adalah infeksi sekunder bakteri pada lesi
kulit yang disebabkan oleh Staphyilococcus aureus dan Streptococcus beta
hemolitikus grup A yang menimbulkan impetigo, furunkel, selulitis, erisipelas
dan jarang ganggren. Infeksi lokal ini sering menimbulkan jaringan parut.
Pneumonia primer akibat varisela 90% terjadi pada orang dewasa dan jarang
terjadi pada anak normal. Gejala muncul 1-6 hari setelah lesi kulit, beratnya
kelainan paru mempunyai kolerasi dengan beratnya erupsi kulit. Infeksi dapat
pula bersifat invasif seperti pneumonia, arthritis, osteomielitis, fascilitis bahkan
sepsis. Komplikasi lain dapat pula menyerang susunan saraf pusat, berupa ataksia
serebelar (1/4000 kasus) sampai dengan meningoensefalitis, meningitis, vaskulitis.
Remaja dan dewasa mempunyai risiko lebih tinggi 25 kali untuk terjadinya
komplikasi. Penyebab komplikasi terbanyak pada dewasa adalah pneumonia.
Muncul pada hari ke-1 sampai hari ke-6 setelah timbulnya ruam dengan gejala
sesak, takipneu dan demam. Kadang dapat pula gejala dan tanda respiratorik yang
muncul sebelum timbulnya ruam. Mekanisme dasar terjadinya pneumonia masih
belum jelas. Tetapi diduga akibat rendahnya paparan terhadap virus varisela
(seperti di Negara iklim tropis), jumlah individu pada setiap keluarga yang sedikit,
ataupun tingginya virulensi virus. Faktor lain yang merupakan factor risiko
terjadinya pneumonia, antara-lain: jumlah lesi >l00, perokok, riwayat kontak,
kehamilan trimester ketiga.
Varisela pada kehamilan merupakan ancaman bagi ibu maupun janin.
Pada janin dapat terjadi infeksi VZV intrauterin, sehingga terjadi infeksi
kongenital. Apabila terjadi pada permulaan kehamilan (20 minggu pertama
kehamilan) dapat menimbulkan kira-kira 5% malformasi kongenital seperti
hipoplasia salah satu ekstremitas, parut pada kulit, katarak, korioretinitis,
mikrosefali, atrofi korteks serebri dan bayi berat badan lahir rendah. Jika ibu
menderita varisela berat pada periode perinatal (terutama 0-4 hari pra-persalinan),
infeksi dapat mengenai bayi baru lahir dan menimbulkan gejala klinis berat
bahkan dapat terjadi kematian bayi sekitar 26-30%. Saat berbahaya adalah lima
hari sebelum dan dua hari setelah melahirkan, pada saat ini bayi belum
mendapat kekebalan pasif transplasenta dari ibu.
Kesakitan dan kematian jelas meningkat pada kasus imunokompromais
termasuk leukemia, penyakit keganasan yang mendapat pengobatan kortikosteroid,
kemoterapi dan terapi sinar. Begitu juga pada penderita demam reumatik dan
sindrom nefrotik yang mendapat kortikosteroid, atau kasus defisiensi imun
kongenital. Viremia yang hebat dapat menyerang berbagai organ seperti hati,
saraf pusat dan paru.
Kasus dengan gangguan imun atau yang mendapatkan kortikosteroid dapat
menimbulkan gejala perdarahan ringan sampai berat dan fatal (purpura maligns).
Penyebab perdarahan mungkin tidak sama pada setiap kasus. Trombositopenia
dapat disebabkan sebagai akibat penyakit dasar, akibat pengobatan, efek
langsung VZV pada sumsum tulang, atau dekstrusi trombosit akibat proses
imunologik. Pada kasus varisela fulminan dan purpura maligna kemungkinan
infeksi sel endotel kapiler menjadi faktor utama. Kerusakan sel endotel ini
menyebabkan koagulasi intravaskular diseminata (disseminated intravascular
coagulation = DIC) dan purpura trombotik. Penyulit dari infeksi varisela primer
yang baru muncul kemudian adalah herpes zoster. Setelah infeksi primer varisela,
VZV dapat menjadi laten dan berdiam diganglia saraf sensorik tanpa menimbulkan
manifestasi klinis, hingga bila tereaktivasi akan menyebabkan herpes zoster.
Walaupun kejadian herpes zoster terbanyak terjadi pada orang dewasa, terdapat
kemungkinan seorang anak akan menderita herpes zoster di kemudian hari.
Penelitian di Amerika melaporkan 20,30,59, dan 63 kasus zoster per 100.000 anak
per tahun, berturut- turut pada kelompok umur 0-4, 5-9, 10-14, dan 15-19 tahun.
Risiko menderita zoster meningkat pada kasus imunokompromais dan pada anak
yang menderita varisela pada umur <1tahun. Kemungkinan peningkatan risiko
terjadinya herpes zoster pada kelompok tersebut disebabkan karena
ketidakmampuan sistem imun mempertahankan periode laten dari virus varisela.

2.10 Pencegahan
Semula vaksin varisela yang merupakan vaksin virus hidup yang telah
dilemahkan (live attenuated) hanya diberikan pada anak dengan risiko terjadi
penyulit berat, yaitu anak yang menderita penyakit keganasan, mereka yang sedang
mendapat pengobatan imunosupresif, atau menderita defisiensi imun; tetapi dalam
perkembangannya vaksin ini juga diberikan pada anak sehat. Imunisasi aktif ini
dilakukan dengan menggunakan vaksin single live-attenuated strain OKA yang
sudah terbukti aman, ditoleransi baik dengan efek samping yang minimal (demam
dan ruam minimal) dan mempunyai tingkat perlindungan yang tinggi pada anak
usia 1-12 tahun (dengan angka serokonversi positif sebesar 99,3%), sedangkan di
negara maju tersedia sediaan kombinasi dengan vaksin lain, seperti MMR-V.
Immunisasi pasif dapat diberikan pada kelompok risiko tinggi, sedang pada pasca
paparan varisela harus diberikan dalam 96 jam pertama. Berdasarkan guidelines
terbaru dari Advlsoy Committee on immunization Practices (ACLP) of the Centers
for Disease Control and Prevention (CDC), pemberian vaksin varisela dosis
tunggal belum mampu mencegah wabah varisela sepenuhnya. Sehingga kini
direkomendasikan pemberian vaksin varisela dua kali (masing-masing 0,5 mL)
subkutan pada anak-anak berusia diantara 12 bulan - 12 tahun, dengan interval
minimum 3 bulan. Sedangkan pemberian pada pasien yang telah berusia lebih dari
12 tahun, interval yang direkomendasikan adalah empat minggu. Serokonversi
terjadi pada 78% kasus setelah dosis pertama dan 99% terjadi setelah dosis kedua.
Vaksin varisela ini terbukti mampu memberikan perlindungan hingga 10 tahun
kemudian. Rekomendasi ACIP selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 3. Pengurus
Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP-IDAI) sampai saat ini masih
merekomendasikan vaksinasi pada anak di atas 5 tahun, satu kali pemberian,
dengan mengingat masih tingginya kemungkinan untuk mendapat kekebalan secara
alamiah.

2.11 Prognosis
Anak-anak yang sehat dengan varisela memiliki prognosis yang sangat baik.
Pada anak sehat yang berusia 1-14 tahun, angka kematian diperkirakan 2 kematian
per 100.000 kasus. Tingkat fatalitas kasus pada populasi umum adalah 6,7 kasus
per 100.000 populasi. Namun, anak-anak dengan keadaan immunocompromised
beresiko untuk penyakit parah dan kematian. Tingkat kematian pada anak-anak
yang immunocompromised jauh lebih tinggi daripada pada anak-anak yang sehat.
Di antara anak-anak dengan leukemia, angka kematian varicella adalah 7% (Bechtel,
2018).

Satu studi menunjukkan bahwa hampir 1:50 kasus varicella dikaitkan


dengan komplikasi. Di antara komplikasi yang paling serius adalah varicella
pneumonia dan ensefalitis; keduanya terkait dengan tingkat kematian yang tinggi.
Sebelum vaksinasi universal, sebagian besar kematian terkait varisela di Amerika
Serikat berasal dari ensefalitis, pneumonia, infeksi bakteri sekunder, dan sindrom
Reye. (Lihat Komplikasi.) Selain itu, kekhawatiran signifikan telah diajukan
tentang hubungan varicella dengan penyakit streptokokus grup A invasif berat
(Bechtel, 2018).

Penyakit ini bisa serius pada neonatus, tergantung pada waktu infeksi pada ibu.
Varicella selama kehamilan dapat menyebabkan berbagai hasil yang merugikan
bagi ibu dan bayi, tergantung pada tahap kehamilan. Angka kematian varicella
neonatal dapat mencapai 30% (Bechtel, 2018).

DAFTAR PUSTAKA
Adhi Djuanda, D., 2017. Varisela. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp. 115-116.
Bechtel, K. A., 2018. Pediatric Chickenpox. Medscape, 30 november.
Lichenstein, R., 2002. Pediatric: Chickenpox or Varicella. Medscape.
Marin, M. & Bialek, S. R., 2013. Updated Recommendations for Use of VariZIG.
Morbidity and Mortality Weekly Report, CDC, 62(28), pp. 574-576.
Papadopoulos, A. J., 2018. Chickenpox. Medscape.
Siregar, R., 2004. Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit. 2nd penyunt. Jakarta:
EGC.
Soedarmo, S. S. P., Garna, H., Hadinegoro, S. R. S. & Satari, H. I., 2008. Buku
Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Theresia, S. R. S. H., 2010. Terapi Asiklovir pada Anak dengan Varisela.
Saripediatri, pp. 440-447.
White, D. & Fenner, F., 1994. Varicella Zoster Virus. 4th penyunt. United
Kingdom: Academic Press.
White, D. & Fenner, F., t.thn.

Anda mungkin juga menyukai