Disusun oleh:
1102015040
Pembimbing:
2. 2 Epidemiologi
Varicella tersebar kosmopolit (di seluruh dunia), dapat mengenai semua
golongan umur, termasuk neonates (varicella kongenital). Tetapi tersering
menyerang terutama anak-anak, tetapi dapat juga menyerang orang dewasa. Bila
terjadi pada orang dewasa, umumnya gejala konstitusi lebih berat (Adhi Djuanda,
2017).
Epidemiologi cacar air (varicella) lebih tinggi pada negara tropis dan
subtropis, seperti Indonesia. Varisela dapat mengenai semua kelompok umur
termasuk neonatus, tetapi hampir 90% kasus mengenai anak dibawah umur 10
tahun dan terbanyak pada umur 5-9 tahun (Theresia, 2010). Epidemiologi varicella
berbeda antara negara-negara dengan iklim sedang dan negara-negara dengan iklim
tropis. Di sebagian besar negara dengan iklim sedang, lebih dari 90% orang
terinfeksi oleh remaja tetapi di negara-negara dengan iklim tropis, proporsi infeksi
yang lebih tinggi diperoleh pada usia yang lebih tua, yang menghasilkan kerentanan
yang lebih tinggi di antara orang dewasa (Bechtel, 2018).
Di Amerika Serikat, sebelum diperkenalkan vaksin varisela terjadi epidemi
varisela tahunan setiap musim dingin dan musim semi, tercatat sekitar 4 juta kasus.
Pada tahun 2000, angka kejadian varisela menurun 71%-84% sejak
diperkenalkannya vaksin varisela. Angka kesakitan dan kematian menurun
terutama pada kelompok umur 1-4 tahun. Angka kejadian varisela di Indonesia
belum pemah diteliti sedangkan berdasarkan data dari poliklinik umum Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (IKA-RSCM) dalam lima
tahun terakhir tercatat 77 kasus varisela tanpa penyulit (Theresia, 2010).
Kejadian maksimum varisela pada populasi yang tidak divaksinasi adalah
pada anak-anak berusia 1-6 tahun. Orang yang lebih tua dari 14 tahun merupakan
10% dari kasus varicella. Di Amerika Serikat, usia puncaknya sekarang 9-11 tahun
(Bechtel, 2018).
Di daerah beriklim tropis, varicella lebih sering terjadi pada anak yang lebih
besar. Sebagian besar kasus di Jepang terjadi pada anak-anak di bawah 6 tahun.
Sekitar 9,6% kasus melibatkan anak-anak di bawah 1 tahun, dan hampir sepertiga
di antaranya adalah bayi di bawah 5 bulan (Bechtel, 2018).
Varicella tidak memiliki kecenderungan ras atau kecenderungan jenis
kelamin (Bechtel, 2018).
2.3 Etiologi
Varicella disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV). Penamaan virus
ini memberi pengertian bahwa infeksi primer virus ini meyebabkan penyakit
varicella, sedangkan reaktivasi menyebabkan herpes zoster. Varicella Zoster Virus
(VZV) termasuk kelompok virus herpes dengan ukuran diameter kira-kira 140–200
nm (Adhi Djuanda, 2017).
Varicella-Zooster virus diklasifikasikan sebagai herpes virus alfa karena
kesamaannya dengan prototipe kelompok ini yaitu virus herpes simpleks. Inti virus
disebut Capsid, terdiri dari protein dan DNA dengan rantai ganda, yaitu rantai
pendek (S) dan rantai panjang (L) dan membentuk suatu garis dengan berat molekul
100 juta yang disusun dari 162 capsomer dan sangat infeksius. Genom virus
mengkode lebih dari 70 protein, termasuk protein yang merupakan sasaran imunitas
dan timidin kinase virus, yang membuat virus sensitif terhadap hambatan oleh
asiklovir dan dihubungkan dengan agen antivirus (Lichenstein, 2002).
VZV dapat pula menyebabkan Herpes Zoster. Kedua penyakit ini
mempunyai manifestasi klinis yang berbeda. Kontak pertama dengan virus ini akan
menyebabkan varicella, oleh karena itu varicella dikatakan infeksi akut primer,
kemudian setelah penderita varicella tersebut sembuh, mungkin virus itu tetap ada
di akar ganglia dorsal dalam bentuk laten (tanpa ada manifestasi klinis) dan
kemudian VZV diaktivasi oleh trauma sehingga menyebabkan Herpes Zoster
(Lichenstein, 2002).
VZV dapat ditemukan dalam cairan vesikel dan dalam darah penderita
varicella sehingga mudah dibiakan dalam media yang terdiri dari fibroblast paru
embrio manusia.4
Faktor risiko untuk varisela berat pada remaja dan dewasa adalah sebagai berikut:
Terapi steroid: Dosis tinggi (yaitu, dosis setara dengan 1-2 mg / kg / d
prednisolon) selama 2 minggu atau lebih adalah faktor risiko yang pasti
untuk penyakit parah. Bahkan terapi jangka pendek pada dosis ini segera
sebelum atau selama masa inkubasi varicella dapat menyebabkan varicella
yang parah atau fatal.
Keganasan: Semua anak dengan kanker memiliki peningkatan risiko
varisela yang parah. Risiko tertinggi untuk anak-anak dengan leukemia.
Hampir 30% dari pasien yang immunocompromised dan yang memiliki
leukemia memiliki penyebaran viscela viscera; 7% bisa mati.
Keadaan immunocompromised (misalnya, keganasan, obat antimalignansi,
human immunodeficiency virus [HIV], kondisi imunodefisiensi bawaan
atau didapat lainnya): Cacat seluler tetapi tidak immunodefisiensi humoral
diyakini membuat seseorang rentan terhadap varicella parah.
Kehamilan: Wanita hamil memiliki risiko tinggi varicella yang parah,
terutama pneumonia.
2.4 Patofisiologi
Organisme penyebab, virus varicella-zoster, adalah anggota dari subfamili
herpes virus manusia Alphaherpesvirinae dan, seperti semua virus herpes, adalah
virus DNA. Virus masuk melalui sistem pemapasan (mukosa konjungtiva atau
pemapasan atas) dan menjajah saluran pemapasan atas. Replikasi virus terjadi di
kelenjar getah bening regional selama 2-4 hari ke depan; 4-6 hari kemudian, viremia
primer menyebarkan virus ke sel retikuloendotelial di limpa, hati, dan di tempat lain
(Bechtel, 2018). Pada kebanyakan kasus, virus dapat mengatasi pertahanan non-
spesifik seperti interferon dan respons imun. Satu minggu kemudian atau 14-16 hari
setelah terinfeksi, virus kembali menyebar melalui pembuluh darah (viremia
sekunder) dan pada saat ini timbul demam dan malaise. Penyebaran ke seluruh
tubuh terutama kulit dan mukosa. Lesi kulit muncul tidak bersamaan, sesuai
dengan siklus viremia, menimbulkan lesi kulit yang khas (Soedarmo, et al., 2008).
Viremia ini juga menyebarkan virus ke situs pemapasan dan bertanggung jawab
atas penularan varicella sebelum munculnya ruam. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)
atau hati juga terjadi pada saat ini, seperti halnya ensefalitis, hepatitis, atau
pneumonia (Bechtel, 2018). Pada keadaan normal, siklus ini berakhir setelah 3
hari akibat adanya kekebalan humoral dan selular spesifik. Timbulnya pneumonia
varisela dan penyulit lainnya disebabkan kegagalan respons imun mengatasi
replikasi dan penyebaran virus (Papadopoulos, 2018).
Setelah infeksi primer, VZV diduga bersembunyi dalam fase latennya di
ganglion dorsalis neuron sensoris. Reaktivasi virus VZV menimbulkan sekumpulan
gejala yang disebut herpes zoster atau ruam saraf (shingles), yaitu berupa : lesi
vesikuler pada kulit yang terdistribusi hanya pada dermatom neuron sensoris
tertentu. Reaktivasi virus VZV biasanya terjadi pada usia dewasa dan bertahun-
tahun setelah infeksi pertama cacar air. Penderita herpes zoster juga dapat
menularkan cacar air kepada orang lain, khususnya yang belum pemah menderita
cacar air (Papadopoulos, 2018).
Masa inkubasi yang biasa adalah 10-21 hari. Pasien menular dari 1-2 hari
sebelum munculnya ruam sampai lesi mengeras, biasanya 5-6 hari setelah ruam
pertama kali muncul (Bechtel, 2018).
Paparan VZV pada individu dengan sistem imunitas yang baik
menghasilkan kekebalan tubuh berupa antibodi immunoglobulin G (IgG),
immunoglobulin M (IgM) dan immunoglobulin A (IgA) yang memberikan efek
proteksi seumur hidup. Pada umumnya individu yang imunokompeten hanya
mengalami satu kali infeksi varicella sepanjang hidupnya. Jika terjadi infeksi VZV
kembali mungkin berupa penyebaran ke kulit pada herpes zoster (Bechtel, 2018),
(Papadopoulos, 2018).
Vesikel juga dapat timbul pada mukosa mulut terutama pada palatum.
Vesikel ini dengan cepat pecah sehingga luput dari pemeriksaan, bekasnya
masih dapat terlihat berupa ulkus dangkal dengan diameter 2-3 mm. Lesi kulit
terbatas terjadi pada lapisan epidermis sehingga tidak menembus membran
basal kulit, sehingga tidak menimbulkan bekas. Jaringan parut yang menetap te
rjadi sebagai akibat infeksi sekunder (lesi menembus membran basalis kulit).
Vesikel juga dapat timbul pada mukosa hidung, faring, laring, trakea, saluran
cema, saluran kemih, vagina dan konjungtiva. Gambaran lain dari lesi varisela
adalah terdapatnya semua tingkatan lesi kulit dalam waktu bersamaan pada
satu area. Pada kasus yang khas dan berat suhu badan dapat mencapai 39-
40,5OC. Apabila demam berlanjut mungkin telah terjadi infeksi bakteri sekunder
atau penyulit lain. Keluhan yang paling menonjol adalah perasaan gatal selama
fase erupsi, sehingga dapat dijumpai lesi bekas garukan (Soedarmo, et al., 2008).
2.6 Diagnosis
Diagnosis varisela dapat ditegakkan secara klinis dengan gambaran dan
perkembangan lesi kulit yang khas, terutama apabila diketahui ada kontak 2-3
minggu sebelumnya. Gambaran khas termasuk (1). Muncul setelah masa
prodromal yang singkat dan ringan, (2) Lesi berkelompok terutama di bagian
sentral, (3) Perubahan lesi yang cepat dari makula, vesikula, pustula sampai krusta,
(4) Terdapatnya semua tingkat lesi kulit dalam waktu bersamaan pada daerah
yang sama, (5) Terdapat lesi mukosa mulut. Diagnosis banding dapat berupa
sindrom Stevens Johnson, herpes zoster generalisata atau herpes simpleks.
Umumnya pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan lagi. Pada tiga hari pertama
dapat terjadi leukopenia yang diikuti dengan leukositosis. Serum antibody IgA dan
IgM dapat terdeteksi pada hari pertama dan kedua pasca ruam. Untuk
mengkonfirmasi diagnosis varisela dapat dengan pewamaan imunohistokimiawi
dari lesi kulit. Prosedur ini umumnya dilakukan pada pasien risiko tinggi yang
memerlukan konfirmasi cepat. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan di
antaranya isolasi virus (3-5 hari), PCR, ELISA, tehnik imunofluoresensi
Fluorosecent Antibody to Membrane Antigen (FAMA), yang merupakan baku
emasnya (Soedarmo, et al., 2008).
Diagnosis banding yang harus dipertimbangkan dalam diagnosis varisela pediatrik
meliputi: (Bechtel, 2018)
- Urtikaria akut
- Enchephalitis
- Penyakit Hand-foot-and-mouth Disease dalam Pengobatan Darurat
- Henoch-Schonlein Purpura
- Herpes Simplex Virus (HSV) dalam Pengobatan Darurat
- Herpes Zoster
- Impetigo
- Dermatitis Kontak Anak
- Infeksi Enteroviral Pediatrik
- Infeksi Virus Herpes Simpleks Anak
- Kudis
- Sindrom Stevens-Johnson
- Sindrom Syok Beracun
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Gambaran histopatologi yaitu vesikula terdapat dalam epidermis, terbentuk
akibat ‘degenerasi balon’, sangat sukar dibedakan dari kelainan pada herpes zoster
dan herpes simpleks (White & Fenner, 1994), (Siregar, 2004).
Lesi pada varicella dan herpes zoster tidak dapat dibedakan secara
histopatologi. Pada pemeriksaan menunjukkan sel raksasa berinti banyak dan sel
epitel yang mengandung badan inklusi intranuklear yang asidofilik (Straus, et al.,
2008).
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan percobaan Tzanck dengan cara
membuat sediaan hapus yang diwamai, dimana bahan pemeriksaan diambil dari
kerokan dari dasar vesikel yang muncul lebih awal, kemudian diletakkan di atas
object glass, dan difiksasi dengan ethanol atau methanol, dan diwamai dengan
pewamaan hematoxylin-eosin, Giemsa, Papanicolaou, atau pewamaan Paragon.
Hasilnya akan didapati sel datia raksasa berinti banyak. Kehadiran sel raksasa
berinti banyak menunjukkan infeksi virus herpes tetapi tidak spesifik untuk virus
varicella-zoster. Infeksi dengan virus herpes lainnya, seperti herpesvirus 1 dan 2,
juga menampilkan sel raksasa berinti banyak yang serupa. Dengan demikian,
temuan ini tidak cukup sensitif atau spesifik untuk varisela dan harus diganti dengan
pewamaan imunohistokimia yang lebih spesifik dari kerokan tersebut, jika tersedia
(Bechtel, 2018).
Pewamaan imunohistokimia dari kerokan lesi kulit dapat mengkonfirmasi
varisela. Prosedur ini berguna untuk pasien berisiko tinggi yang memerlukan
konfirmasi cepat (Bechtel, 2018).
Di samping itu Varicella zoster virus (VZV) polymerase chain reaction
(PCR) adalah metode pilihan untuk diagnosis varicella. VZV juga dapat diisolasi
dari kultur jaringan, meskipun kurang sensitif dan membutuhkan beberapa hari
untuk mendapatkan hasilnya. Bahan yang paling sering digunakan adalah isolasi
dari cairan vesikuler. VZV PCR adalah metode pilihan untuk diagnosis klinis yang
cepat. Real-time PCR metode tersedia secara luas dan merupakan metode yang
paling sensitif dan spesifik dari tes yang tersedia. Hasil tersedia dalam beberapa
jam. Jika real-time PCR tidak tersedia, antibodi langsung metode (DFA) neon dapat
digunakan, meskipun kurang sensitif dibanding PCR dan membutuhkan
pengambilan spesimen yang lebih teliti (White & Fenner, 1994), (Straus, et al.,
2008).
Tes serologi terutama digunakan untuk mengkonfirmasi infeksi masa lalu
untuk menilai status kerentanan pasien. Ini membantu menentukan persyaratan
perawatan preventif untuk remaja atau orang dewasa yang telah terpapar varicella
(Bechtel, 2018).
Di antara banyak penelitian serologis, yang paling sensitif adalah indirect
flourescent antibody (IFA), flourescent antibody to membrane antigen (FAMA),
neutralization test (NT), dan radioimmunoassay (RIA). Tes yang memakan waktu
ini membutuhkan peralatan khusus yang membuatnya tidak cocok untuk
penggunaan rutin (Bechtel, 2018).
Berbagai tes serologi untuk antibodi terhadap varicella yang tersedia secara
komersial termasuk uji aglutinasi lateks (LA) dan sejumlah enzyme-linked
immunosorbent test (ELISA). Saat ini tersedia metode ELISA, dan temyata tidak
cukup sensitif untuk mampu mendeteksi serokonversi terhadap vaksin, tetapi cukup
kuat untuk mendeteksi orang yang memiliki kerentanan terhadap VZV. ELISA
sensitif dan spesifik, sederhana untuk melakukan, dan banyak tersedia secara
komersial. Di samping itu LA juga tersedia secara sensitif, sederhana, dan cepat
untuk dilakukan. LA agak lebih sensitif dibandingkan ELISA komersial, meskipun
dapat menghasilkan hasil yang positif palsu, dan dapat menyebabkan kegagalan
untuk mengidentifikasi orang-orang yang tidak terbukti memiliki imunitas terhadap
varicella. Dimana salah satu dari tes ini akan berguna untuk skrining kekebalan
terhadap varicella (White & Fenner, 1994).
Gambar 7.1 Sel raksasa berinti banyak
Sumber : Straus, Stephen E. Oxman, Michael N. Schmader, Kenneth E. Varicella. In: Fitzpatrick’s Dermatology in
2.9 Komplikasi
Pada anak sehat, varisela merupakan penyakit ringan dan jarang
menimbulkan penyulit yang serius. Angka mortalitas pada anak usia 1-14
tahun tahun diperkirakan 2/100.000 kasus, namun pada neonatus dapat
mencapai hingga 30%. Penyulit tersering adalah infeksi sekunder bakteri pada lesi
kulit yang disebabkan oleh Staphyilococcus aureus dan Streptococcus beta
hemolitikus grup A yang menimbulkan impetigo, furunkel, selulitis, erisipelas
dan jarang ganggren. Infeksi lokal ini sering menimbulkan jaringan parut.
Pneumonia primer akibat varisela 90% terjadi pada orang dewasa dan jarang
terjadi pada anak normal. Gejala muncul 1-6 hari setelah lesi kulit, beratnya
kelainan paru mempunyai kolerasi dengan beratnya erupsi kulit. Infeksi dapat
pula bersifat invasif seperti pneumonia, arthritis, osteomielitis, fascilitis bahkan
sepsis. Komplikasi lain dapat pula menyerang susunan saraf pusat, berupa ataksia
serebelar (1/4000 kasus) sampai dengan meningoensefalitis, meningitis, vaskulitis.
Remaja dan dewasa mempunyai risiko lebih tinggi 25 kali untuk terjadinya
komplikasi. Penyebab komplikasi terbanyak pada dewasa adalah pneumonia.
Muncul pada hari ke-1 sampai hari ke-6 setelah timbulnya ruam dengan gejala
sesak, takipneu dan demam. Kadang dapat pula gejala dan tanda respiratorik yang
muncul sebelum timbulnya ruam. Mekanisme dasar terjadinya pneumonia masih
belum jelas. Tetapi diduga akibat rendahnya paparan terhadap virus varisela
(seperti di Negara iklim tropis), jumlah individu pada setiap keluarga yang sedikit,
ataupun tingginya virulensi virus. Faktor lain yang merupakan factor risiko
terjadinya pneumonia, antara-lain: jumlah lesi >l00, perokok, riwayat kontak,
kehamilan trimester ketiga.
Varisela pada kehamilan merupakan ancaman bagi ibu maupun janin.
Pada janin dapat terjadi infeksi VZV intrauterin, sehingga terjadi infeksi
kongenital. Apabila terjadi pada permulaan kehamilan (20 minggu pertama
kehamilan) dapat menimbulkan kira-kira 5% malformasi kongenital seperti
hipoplasia salah satu ekstremitas, parut pada kulit, katarak, korioretinitis,
mikrosefali, atrofi korteks serebri dan bayi berat badan lahir rendah. Jika ibu
menderita varisela berat pada periode perinatal (terutama 0-4 hari pra-persalinan),
infeksi dapat mengenai bayi baru lahir dan menimbulkan gejala klinis berat
bahkan dapat terjadi kematian bayi sekitar 26-30%. Saat berbahaya adalah lima
hari sebelum dan dua hari setelah melahirkan, pada saat ini bayi belum
mendapat kekebalan pasif transplasenta dari ibu.
Kesakitan dan kematian jelas meningkat pada kasus imunokompromais
termasuk leukemia, penyakit keganasan yang mendapat pengobatan kortikosteroid,
kemoterapi dan terapi sinar. Begitu juga pada penderita demam reumatik dan
sindrom nefrotik yang mendapat kortikosteroid, atau kasus defisiensi imun
kongenital. Viremia yang hebat dapat menyerang berbagai organ seperti hati,
saraf pusat dan paru.
Kasus dengan gangguan imun atau yang mendapatkan kortikosteroid dapat
menimbulkan gejala perdarahan ringan sampai berat dan fatal (purpura maligns).
Penyebab perdarahan mungkin tidak sama pada setiap kasus. Trombositopenia
dapat disebabkan sebagai akibat penyakit dasar, akibat pengobatan, efek
langsung VZV pada sumsum tulang, atau dekstrusi trombosit akibat proses
imunologik. Pada kasus varisela fulminan dan purpura maligna kemungkinan
infeksi sel endotel kapiler menjadi faktor utama. Kerusakan sel endotel ini
menyebabkan koagulasi intravaskular diseminata (disseminated intravascular
coagulation = DIC) dan purpura trombotik. Penyulit dari infeksi varisela primer
yang baru muncul kemudian adalah herpes zoster. Setelah infeksi primer varisela,
VZV dapat menjadi laten dan berdiam diganglia saraf sensorik tanpa menimbulkan
manifestasi klinis, hingga bila tereaktivasi akan menyebabkan herpes zoster.
Walaupun kejadian herpes zoster terbanyak terjadi pada orang dewasa, terdapat
kemungkinan seorang anak akan menderita herpes zoster di kemudian hari.
Penelitian di Amerika melaporkan 20,30,59, dan 63 kasus zoster per 100.000 anak
per tahun, berturut- turut pada kelompok umur 0-4, 5-9, 10-14, dan 15-19 tahun.
Risiko menderita zoster meningkat pada kasus imunokompromais dan pada anak
yang menderita varisela pada umur <1tahun. Kemungkinan peningkatan risiko
terjadinya herpes zoster pada kelompok tersebut disebabkan karena
ketidakmampuan sistem imun mempertahankan periode laten dari virus varisela.
2.10 Pencegahan
Semula vaksin varisela yang merupakan vaksin virus hidup yang telah
dilemahkan (live attenuated) hanya diberikan pada anak dengan risiko terjadi
penyulit berat, yaitu anak yang menderita penyakit keganasan, mereka yang sedang
mendapat pengobatan imunosupresif, atau menderita defisiensi imun; tetapi dalam
perkembangannya vaksin ini juga diberikan pada anak sehat. Imunisasi aktif ini
dilakukan dengan menggunakan vaksin single live-attenuated strain OKA yang
sudah terbukti aman, ditoleransi baik dengan efek samping yang minimal (demam
dan ruam minimal) dan mempunyai tingkat perlindungan yang tinggi pada anak
usia 1-12 tahun (dengan angka serokonversi positif sebesar 99,3%), sedangkan di
negara maju tersedia sediaan kombinasi dengan vaksin lain, seperti MMR-V.
Immunisasi pasif dapat diberikan pada kelompok risiko tinggi, sedang pada pasca
paparan varisela harus diberikan dalam 96 jam pertama. Berdasarkan guidelines
terbaru dari Advlsoy Committee on immunization Practices (ACLP) of the Centers
for Disease Control and Prevention (CDC), pemberian vaksin varisela dosis
tunggal belum mampu mencegah wabah varisela sepenuhnya. Sehingga kini
direkomendasikan pemberian vaksin varisela dua kali (masing-masing 0,5 mL)
subkutan pada anak-anak berusia diantara 12 bulan - 12 tahun, dengan interval
minimum 3 bulan. Sedangkan pemberian pada pasien yang telah berusia lebih dari
12 tahun, interval yang direkomendasikan adalah empat minggu. Serokonversi
terjadi pada 78% kasus setelah dosis pertama dan 99% terjadi setelah dosis kedua.
Vaksin varisela ini terbukti mampu memberikan perlindungan hingga 10 tahun
kemudian. Rekomendasi ACIP selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 3. Pengurus
Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP-IDAI) sampai saat ini masih
merekomendasikan vaksinasi pada anak di atas 5 tahun, satu kali pemberian,
dengan mengingat masih tingginya kemungkinan untuk mendapat kekebalan secara
alamiah.
2.11 Prognosis
Anak-anak yang sehat dengan varisela memiliki prognosis yang sangat baik.
Pada anak sehat yang berusia 1-14 tahun, angka kematian diperkirakan 2 kematian
per 100.000 kasus. Tingkat fatalitas kasus pada populasi umum adalah 6,7 kasus
per 100.000 populasi. Namun, anak-anak dengan keadaan immunocompromised
beresiko untuk penyakit parah dan kematian. Tingkat kematian pada anak-anak
yang immunocompromised jauh lebih tinggi daripada pada anak-anak yang sehat.
Di antara anak-anak dengan leukemia, angka kematian varicella adalah 7% (Bechtel,
2018).
Penyakit ini bisa serius pada neonatus, tergantung pada waktu infeksi pada ibu.
Varicella selama kehamilan dapat menyebabkan berbagai hasil yang merugikan
bagi ibu dan bayi, tergantung pada tahap kehamilan. Angka kematian varicella
neonatal dapat mencapai 30% (Bechtel, 2018).
DAFTAR PUSTAKA
Adhi Djuanda, D., 2017. Varisela. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp. 115-116.
Bechtel, K. A., 2018. Pediatric Chickenpox. Medscape, 30 november.
Lichenstein, R., 2002. Pediatric: Chickenpox or Varicella. Medscape.
Marin, M. & Bialek, S. R., 2013. Updated Recommendations for Use of VariZIG.
Morbidity and Mortality Weekly Report, CDC, 62(28), pp. 574-576.
Papadopoulos, A. J., 2018. Chickenpox. Medscape.
Siregar, R., 2004. Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit. 2nd penyunt. Jakarta:
EGC.
Soedarmo, S. S. P., Garna, H., Hadinegoro, S. R. S. & Satari, H. I., 2008. Buku
Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Theresia, S. R. S. H., 2010. Terapi Asiklovir pada Anak dengan Varisela.
Saripediatri, pp. 440-447.
White, D. & Fenner, F., 1994. Varicella Zoster Virus. 4th penyunt. United
Kingdom: Academic Press.
White, D. & Fenner, F., t.thn.