Oleh :
Rombel 4B
Dosen Pengampu :
2020
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud hipersensitivitas
2. Untuk mengetahui tipe-tipe hipersensitivitas
3. Untuk mengetahui macam-macam penyakit yang termasuk hipersensitivitas
4. Untuk mengetahui macam-macam penyakit autoimun
5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud scabies
6. Untuk mengetahui mekanisme hipersensitivitas pada scabies
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Hipersensitivitas
Reaksi Alergi (Reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi dari sistem kekebalan
yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami cedera/terluka (Hikmah and
Dewanti, 2010). Reaksi berlebihan, tidak diinginkan karena terlalu senisitifnya respon
imun (merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat fatal) yang
dihasilkan oleh sistem imun (Pratama, 2017).
2.1.1 Etiologi
Istilah reaksi alergi digunakan untuk menunjukkan adanya reaksi yang melibatkan
antibodi IgE (immunoglobulin E). Ig E terikat pada sel khusus, termasuk basofil yang
berada di dalam sirkulasi darah dan juga sel mast yang ditemukan di dalam jaringan.
Jika antibodi IgE yang terikat dengan sel-sel tersebut berhadapan dengan antigen
(dalam hal ini disebut alergen), maka sel-sel tersebut didorong untuk melepaskan zat-
zat atau mediator kimia yang dapat merusak atau melukai jaringan di sekitarnya.
Alergen bisa berupa partikel debu, serbuk tanaman, obat atau makanan, yang bertindak
sebagai antigen yang merangsang terajdinya respon kekebalan. Kadang istilah penyakit
atopik digunakan untuk menggambarkan sekumpulan penyakit keturunan yang
berhubungan dengan IgE, seperti rinitis alergika dan asma alergika. Penyakit atopik
ditandai dengan kecenderungan untuk menghasilkan antibodi IgE terhadap inhalan
(benda-benda yang terhirup, seperti serbuk bunga, bulu binatang dan partikel-partikel
debu) yang tidak berbahaya bagi tubuh. Eksim (dermatitis atopik) juga merupakan
suatu penyakit atopik meskipun sampai saat ini peran IgE dalam penyakit ini masih
belum diketahui atau tidak begitu jelas. Meskipun demikian, seseorang yang menderita
penyakit atopik tidak memiliki resiko membentuk antibodi IgE terhadap alergen yang
disuntikkan (misalnya obat atau racun serangga).
2.1.2 Gejala
Reaksi alergi bisa bersifat ringan atau berat. Kebanyakan reaksi terdiri dari mata
berair,mata terasa gatal dan kadang bersin. Pada reaksi yang esktrim bisa terjadi
gangguan pernafasan, kelainan fungsi jantung dan tekanan darah yang sangat rendah,
yang menyebabkan syok. Reaksi jenis ini disebut anafilaksis, yang bisa terjadi pada
orang-orang yang sangat sensitif, misalnya segera setelah makan makanan atau obat-
obatan tertentu atau setelah disengat lebah, dengan segera menimbulkan gejala.
Tipe ini melibatkan K cell atau makrofag. Alergen akan diikat antibody yang berada
di permukaan sel makrofag/K cell membentuk antigen antibody kompleks. Kompleks
ini menyebabkan aktifnya komplemen (C2 –C9) yang berakibat kerusakan. Alergen
(makanan) akan diikat antibody yang berada dipermukaan K cell, dan akan melekat
pada permukaan sel darah merah. Kompleks ini mengaktifkan komplemen, yang
berakibat hancurnya sel darah merah.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen
kronis akan menimbulkan penyakit serum (serum sickness) yang dapat memicu
terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi
disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis
rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan
kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora
Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja
lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.
Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag.
Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T,
sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah
yang terkena paparan.
Penyakit autoimun bisa berdampak pada banyak bagian tubuh. Ada lebih dari 100
jenis penyakit autoimun mulai dari yang ringan sampai berat. Dari sekian banyaknya
jenis penyakit autoimun, beberapa penyakit autoimun di bawah ini merupakan yang
sering sekali ditemui, diantaranya:
Rematik
Rematik atau radang sendi adalah penyakit autoimun yang menyerang sendi.
Sistem kekebalan tubuh memproduksi antibodi yang menyerang pelapis sendi.
Akibat dari serangan antibodi ini adalah peradangan, pembengkakan dan nyeri
pada sendi.
Orang dengan rematik biasanya merasakan gejala seperti sendi sakit, kaku, dan
bengkak sehingga dapat mengurangi geraknya. Jika tidak diobati, rematik dapat
menyebabkan kerusakan sendi permanen secara bertahap.
Lupus
Penyakit ini terjadi saat antibodi yang dihasilkan tubuh justru menyerang
hampir seluruh jaringan tubuh penderitanya. Beberapa bagian tubuh yang paling
sering diserang adalah sendi, paru-paru, ginjal, kulit, jaringan penyambung
tubuh, pembuluh darah, sumsum tulang, dan jaringan saraf.
Diabetes Tipe I
Penyakit diabetes tipe 1 disebabkan oleh serangan
sistem kekebalan tubuh pada sel-sel pankreas yang memiliki tugas
memproduksi insulin.
Hal ini menyebabkan terganggunya produksi insulin sehingga tubuh tidak
mampu mengontrol kadar gula darah.
Multiple Sclerosis (MS)
Pada saat sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang sel-sel saraf sendiri,
beberapa gejala yang mengerikan berisiko muncul sebagai akibatnya. Kondisi
ini biasa disebut dengan Multiple Sclerosis alias MS. Beberapa gejala yang bisa
timbul adalah nyeri, kebutaan, gangguan koordinasi tubuh, dan spasme otot.
Gejala lainnya yang mungkin timbul adalah tremor, mati rasa di area tungkai,
kelumpuhan, susah bicara, atau susah berjalan. Fisioterapi dan terapi okupasi
dapat dilakukan untuk membantu pasien MS dalam melakukan kegiatan sehari-
hari.
Penyakit Graves
Penyakit autoimun yang menyebabkan kelenjar tiroid menjadi terlalu aktif.
Orang yang menderita penyakit ini kemungkinan akan mengalami beragam
gejala yang bisa mengganggu kegiatan sehari-harinya.
Kesulitan tidur, mudah tersulut emosi, berat badan turun tanpa sebab dan mata
menonjol adalah sebagian gejalanya. Gejala lain yang mungkin timbul adalah
terlalu peka pada hawa panas, otot lemah, tremor (tangan bergetar), dan
gangguan menstruasi. Untuk mengobati penyakit Graves, penderita
kemungkinan akan diberikan pil radioaktif iodium.
Psoriasis
Kondisi terlalu aktifnya sistem kekebalan tubuh sehingga menyebabkan kulit
mengalami kondisi kronis. Kondisi ini disebabkan oleh salah satu sel darah
dalam sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif, yaitu sel-T.
Berkumpulnya sel-T di kulit merangsang kulit untuk tumbuh lebih cepat dari
seharusnya. Gejala psoriasis yaitu muncul bercak di kulit yang bersisik dan
pengelupasan kulit yang meninggalkan lapisan berwarna putih mengkilap.
Untuk menanganinya, dokter akan memberikan obat penekan sistem kekebalan
tubuh seperti kortikosteroid juga terapi cahaya.
2.5 Scabies
Skabies adalah erupsi kulit yang disebabkan infestasi dan sensitisasi oleh kutu
Sarcoptes scabiei var. hominis dan bermanifestasi sebagai lesi papular, pustul, vesikel,
kadang-kadang erosi serta krusta, dan terowongan berwarna abu-abu yang disertai
keluhan subyektif sangat gatal; ditemukan terutama pada daerah celah dan lipatan. Di
beberapa negara sinonim penyakit skabies adalah the itch (Inggris), gale (Perancis),
Kratze (Jerman) mite infestation, gudik, budukan dan gatal agogo. Penyakit ini pertama
kali diuraikan oleh dokter Abumezzan Abdel Malek bin Zohar dengan menggunakan
istilah soab sebagai sesuatu yang hidup pada kulit dan menyebabkan gatal. Pada tahun
1687 Giovan Cosino Bonomo menemukan kutu skabies pertama kali sebagai little
bladder of water dan lesi skabies pada anak seorang perempuan miskin. Skabies disebut
juga sebagai a great immitator karena memberikan gambaran klinis yang sangat
bervariasi, sulit dibedakan dengan beberapa penyakit kulit yang disertai gatal
(Nurainiwati, 2011)
Sarcoptes scabiei var.hominis termasuk famili Sarcoptiase dan kelas Arachniada,
berbentuk lonjong, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Besar tungau ini
sangat bervariasi. yang betina berukuran kira-kira 0,4 mm x 0,3 mm sedangkan yang
jantan ukurannya lebih kecil 0,2 mm x 0,15 mm. Tungau ini translusen dan berwarna
putih kotor,pada bagian dorsal terdapat bulu-bulu dan duriserta mempunyai pasang kaki,
bagian anterior 2 pasang sebagai alat untuk melekat sedangkan 2 pasang kaki terakhir
pada betina berakhir dengan rambut. Pada yang jantan pasangan kaki yang ketiga
berakhir dengan rambut dan yang keempat berakhir dengan alat perekat.
BAB 3
PEMBAHASAN
Pada suhu kamar (21oC dengan kelembaban relatif 40-80%) tungau masih dapat
hidup di luar pejamu selama 24-36 jam. Penelitian tahun 1997 menemukan rata-rata 11
tungau betina pada seorang pasien scabies. Masuknya S. scabiei ke dalam epidermis
tidak segera memberikan gejala pruritus. Rasa gatal timbul 1 bulan setelah infestasi
primer serta adanya infestasi kedua sebagai manifestasi respon imun terhadap tungau
maupun sekret yang dihasilkannya di terowongan bawah kulit. Sekret dan ekskreta yang
dikeluarkan tungau betina bersifat toksik atau antigenik. Diduga bahwa terdapat infiltrasi
sel dan deposit IgE di sekitar lesi kulit yang timbul. Pelepasan IgE akan memicu
terjadinya reaksi hipersensitivitas, meskipun hal ini masih belum jelas. Pada bayi dan
anak sebagai kelompok yang paling banyak mengalami skabies, selain faktor imunitas
yang belum memadai faktor penularan dan orangtua, terutama ibu, serta faktor anak yang
sudah mulai beraktivitas di luar rumah dan di sekolah juga ikut berperan terhadap
timbulnya skabies.
Gejala klinis utama pada skabies adalah rasa gatal, terutama dirasakan pada malam
hari (pruritus nokturnal) atau bila cuaca panas serta pasien berkeringat, oleh karena
meningkatnya aktivitas tungau saat suhu tubuh meningkat. Rasa gatal disertai gejala
lainnya, biasanya timbul 3 - 4 minggu setelah tersensitisasi oleh produk tungau di bawah
kulit. Lesi yang timbul di kulit pada umumnya simetris tempat predileksi utama adalah
sela jari tangan fleksor siku dan lutut, pergelangan tangan, areola mammae, umbilikus,
penis aksila, abdomen bagian bawah dan bokong. Pada anak-anak usia kurang dan 2
tahun, lesi cenderung di seluruh tubuh terutama kepala, leher, telapak tangan dan kaki,
sedangkan pada anak yang lebih besar predileksi lesi menyerupai orang dewasa. Pada
bayi lesi dapat ditemukan di muka dan kulit kepala, terutama yang minum air susu ibu
(ASI) dan ibu yang menderita skabies.
B. Pada Tipe IV
Reaksi hipersensitivitas tipe IV terjadi 3-6 minggu setelah infeksi primer dari S.
scabiei. Mekanisme terjadinya kerusakan dalam reaksi hipersensitivitas tipe IV
dimediasi oleh sel T CD4+ dan sel T CD8+ serta berjalan secara kronis akibat
terjadinya infeksi yang berulang. Hipersensitifitas yang dimediasi oleh sel tipe ini
disebabkan oleh sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh Sel T CD4+ dan
pembunuhan sel oleh sel T CD8+. Sel T CD8+ akan mengenal antigen yang
dipresentasikan oleh APC dan molekul MHC kelas I. Sedangkan, sel T CD4+
mengenal antigen yang dipresentasikan APC dan molekul MHC kelas II.
Hipersensitifitas yang dimediasi oleh sel T CD4+ diinduksi oleh lingkungan dan
antigen. Hal tersebut merupakan penyebab utama penyakit inflamasi kronis,
termasuk penyakit autoimun.
Sel T CD4+ yang berasal dari diferensiasi sel T naive mengenali peptida yang
ditampilkan oleh sel dendritik dan mensekresi IL-2, yang berfungsi sebagai faktor
pertumbuhan autokrin untuk merangsang proliferasi sel T yang responsif terhadap
antigen. Diferensiasi selanjutnya dari sel T yang distimulasi antigen menjadi sel Th1
atau Th17 diatur oleh sitokin yang dihasilkan oleh APC pada saat aktivasi sel T.
Antigen yang telah di tangkap oleh APC akan mengaktifkan beberapa sitokin seperti
IL-12, yang menginduksi diferensiasi sel T CD4+ ke subset Th1. Aktivasi IL-1, IL-
6, IL-23 akan menginduksi diferensiasi sel T CD4+ ke subset Th17. Th1 akan
mengaktifkan IFN-γ dan IL-2, sedangkan Th17 akan mengaktifkan TGF-β. TGF-β
dan IL-2 menginduksi Tregs, namun disisi lain Tregs juga memproduksi IL-10 dan
TGF-β yang kemungkinan berperan pada delayed inflammatory respon pada skabies
dan menekan peradangan. Disamping itu interleukin yang diproduksi oleh sel Th1
dan Th2 mempunyai efek yang berlawanan pada sel Th. IFN-γ yang diproduksi oleh
Th1 akan menghambat proliferasi sel Th2, sebaliknya IL-10 yang dikeluarkan oleh
Th2 akan menghambat produksi IL-2 dan IFN γ oleh Th1. Aktivasi beberapa sitokin
dan sel T tersebut akan merekrut neutrofil, monosit dan makrofag untuk bereaksi
melawan antigen, dengan demikian akan mempromosikan reaksi peradangan.
Setelahnya, terjadi paparan yang berulang terhadap suatu antigen, sel Th1
mengeluarkan sitokin terutama IFN-γ dan IL-2, yang bertanggung jawab pada
manifestasi hipersensitivitas tipe delayed. IFN-γ dan IL-2 akan mengaktifkan
makrofag untuk fagositosis terhadap suatu antigen sehingga aktivitas tersebut akan
mengekspresikan lebih banyak molekul MHC kelas II. Aktivasi IFN-γ dan IL-2 yang
dominan akan mensekresikan TNF, IL-1, kemokin, serta akan mengaktifkan lebih
banyak sitokin IL-12. Sehingga, hal ini akan memperkuat respons Th1. Apabila
aktivitas tersebut terus berlanjut dan berulang maka akan semakin mempromosikan
reaksi inflamasi dan kerusakan jaringan semakin parah. Sel Th1 dan Th17 keduanya
berkontribusi pada penyakit organ spesifik dimana inflamasi merupakan aspek yang
paling menonjol. Reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sel Th1 didominasi
oleh makrofag. Sedangkan, Reaksi inflamasi yang berhubungan sel Th17 didominasi
oleh neutrofil.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Hipersensitivitas adalah reaksi berlebihan, tidak diinginkan karena terlalu
senisitifnya respon imun (merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang
berakibat fatal) yang dihasilkan oleh sistem imun Reaksi alergi disebabkan allergen
yang mempunyai manifestasi bervariasi dan terbagi menjadi reaksi cepat (tipe I),
tipe II, tipe III dan tipe IV.
2. Penyakit autoimun bisa berdampak pada banyak bagian tubuh. Ada lebih dari 100
jenis penyakit autoimun mulai dari yang ringan sampai berat. Patogenesis autoimun
terdiri atas gangguan aktivitas selular dan protein regulator. Gangguan aktivitas
selular dapat terjadi apabila tubuh gagal mempertahankan toleransi akan self-antigen
dan terjadi aktivasi autoreaktif sel imun terhadap self-antigen tersebut.
3. Skabies adalah infeksi kulit pada manusia yang disebabkan infestasi dan sensitisasi
parasit Sarcoptes scabiei var. hominis. Terdapat beberapa jenis manifestasi klinis
yang berbeda-beda. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat gatal pada
malam hari, distribusi lesi yang khas, riwayat keluhan yang sama pada anggota
keluarga lain. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya tungau pada
pemeriksaan mikroskopis.
4. Skabies merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh S. scabiei yang
berkembang biak pada permukaan kulit. Sarcoptes scabiei mengakibatkan
keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe I dan tipe IV.
4.2 Saran
Hipersensitivitas merupakan perlawanan lebih yang dilakukan sistem imun sehingga
kurang bisa membaca sinyal baik atau buruk bagi tubuh. Maka dari itu, diperlukan pola hidup
seimbang guna mengatasi ketimpangan pada kesehatan tubuh.
Scabies merupakan penyakit yang dibawa oleh hewan semacam tungau, ini berarti sudah
seharusnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan tempat tinggal untuk mengantisipasi
penyakit scabies mengingat bahwa scabies bisa menjangkit kapan saja.
DAFTAR PUSTAKA
Khasanah, Y. C. (2015) ‘Potensi Koekspresi Chimeric Antigen Receptor (Car) Dan Gen
Foxp3 Pada Sel T Regulators Sebagai Modalitas Terapi Penatalaksanaan Autoimun’, Essence
Of Scientific Medical Journal, (vbbgn), pp. 1–12.
Pratama, Y. (2017) Apa yang dimaksud dengan Hipersensivitas?, DICTIO. Available at:
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-hipersensitivitas/5987 (Accessed: 17
April 2020).