Anda di halaman 1dari 21

HIPERSENSITIVITAS PADA SCABIES

MEKANISME REAKSI HIPERSENSITIVITAS PADA INFEKSI SCABIES

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Imunologi

Oleh :

Ayu Zahra 6511418065

Rombel 4B

Dosen Pengampu :

dr. Ngakan Putu D.S., M.Kes.

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI GIZI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejatinya, fungsi sistem kekebalan tubuh adalah untuk melindungi tubuh dari penyakit
dan unsur-unsur yang berpotensi berbahaya untuk tubuh. Namun ada juga kondisi di mana
sistem kekebalan tubuh keliru atau bereaksi berlebihan sehingga menimbulkan efek yang
tidak diinginkan. Kondisi ini yang disebut hipersensitivitas. Reaksi yang tidak dikehendaki
tersebut bisa saja merusak tubuh, membuat tak nyaman, bahkan berakibat fatal.
Hipersensitivitas meliputi alergi ringan, anafilaksis, hingga penyakit autoimun. Saat
hipersensitivitas terjadi, tubuh pertama akan terpapar unsur penyebab reaksi tersebut, atau
yang dikenal dengan istilah antigen. Setelah terjadi kontak antara tubuh dan antigen, sistem
kekebalan tubuh kemudian bereaksi terhadap antigen tersebut, namun secara berlebihan
(Adrian, 2018).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud hipersensivitas?
2. Apa saja tipe-tipe hipersentivitas?
3. Apa macam-macam penyakit yang termasuk hipersensivitas?
4. Apa macam-macam penyakit autoimun?
5. Apa yang dimaksud scabies?
6. Bagaimana mekanisme hipersentivitas pada scabies?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud hipersensitivitas
2. Untuk mengetahui tipe-tipe hipersensitivitas
3. Untuk mengetahui macam-macam penyakit yang termasuk hipersensitivitas
4. Untuk mengetahui macam-macam penyakit autoimun
5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud scabies
6. Untuk mengetahui mekanisme hipersensitivitas pada scabies
BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Hipersensitivitas
Reaksi Alergi (Reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi dari sistem kekebalan
yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami cedera/terluka (Hikmah and
Dewanti, 2010). Reaksi berlebihan, tidak diinginkan karena terlalu senisitifnya respon
imun (merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat fatal) yang
dihasilkan oleh sistem imun (Pratama, 2017).

2.1.1 Etiologi
Istilah reaksi alergi digunakan untuk menunjukkan adanya reaksi yang melibatkan
antibodi IgE (immunoglobulin E). Ig E terikat pada sel khusus, termasuk basofil yang
berada di dalam sirkulasi darah dan juga sel mast yang ditemukan di dalam jaringan.
Jika antibodi IgE yang terikat dengan sel-sel tersebut berhadapan dengan antigen
(dalam hal ini disebut alergen), maka sel-sel tersebut didorong untuk melepaskan zat-
zat atau mediator kimia yang dapat merusak atau melukai jaringan di sekitarnya.
Alergen bisa berupa partikel debu, serbuk tanaman, obat atau makanan, yang bertindak
sebagai antigen yang merangsang terajdinya respon kekebalan. Kadang istilah penyakit
atopik digunakan untuk menggambarkan sekumpulan penyakit keturunan yang
berhubungan dengan IgE, seperti rinitis alergika dan asma alergika. Penyakit atopik
ditandai dengan kecenderungan untuk menghasilkan antibodi IgE terhadap inhalan
(benda-benda yang terhirup, seperti serbuk bunga, bulu binatang dan partikel-partikel
debu) yang tidak berbahaya bagi tubuh. Eksim (dermatitis atopik) juga merupakan
suatu penyakit atopik meskipun sampai saat ini peran IgE dalam penyakit ini masih
belum diketahui atau tidak begitu jelas. Meskipun demikian, seseorang yang menderita
penyakit atopik tidak memiliki resiko membentuk antibodi IgE terhadap alergen yang
disuntikkan (misalnya obat atau racun serangga).

2.1.2 Gejala
Reaksi alergi bisa bersifat ringan atau berat. Kebanyakan reaksi terdiri dari mata
berair,mata terasa gatal dan kadang bersin. Pada reaksi yang esktrim bisa terjadi
gangguan pernafasan, kelainan fungsi jantung dan tekanan darah yang sangat rendah,
yang menyebabkan syok. Reaksi jenis ini disebut anafilaksis, yang bisa terjadi pada
orang-orang yang sangat sensitif, misalnya segera setelah makan makanan atau obat-
obatan tertentu atau setelah disengat lebah, dengan segera menimbulkan gejala.

2.2 Tipe-tipe Hipersensitivitas


Mekanisme dimana sistem kekebalan melindungi tubuh dan mekanisme dimana
reaksi hipersensitivitas bisa melukai tubuh adalah sama. Karena itu reaksi alergi juga
melibatkan antibodi, limfosit dan sel-sel lainnya yang merupakan komponen dalam
sistem imun yang berfungsi sebagai pelindung yang normal pada sistem kekebalan.
Reaksi ini terbagi menjadi empat kelas (tipe I – IV) berdasarkan mekanisme yang ikut
serta dan lama waktu reaksi hipersensitif.

2.2.1 Tipe I (Alergi (Reaksi Cepat))


Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari,
dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam,
mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30
menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan
awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E
(IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah sel mast atau basofil. Reaksi ini
diperkuat dan dipengaruhi oleh trombosit, neutrofil, dan eosinofil.

Alergi adalah kegagalan kekebalan tubuh dimana tubuh seseorang menjadi


hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya
imunogenik (antigenik) atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik.
Dengan kata lain, tubuh manusia berkasi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-
bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk
orang-orang yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan
hipersensitivitas tersebut disebut alergen. Terdapat 2 kemungkinan yang terjadi pada
mekanisme reaksi alergi tipe I, yaitu :
A. Alergen langsung melekat/terikat pada Ig E yang berada dipermukaan sel mast
atau basofil, dimana penderita telah terpapar allergen sebelumnya, sehingga Ig E
telah terbentuk. Ikatan antara allergen dengan Ig E akan menyebabkan
keluarnya mediatormediator kimia seperti histamine dan leukotrine.
B. Alergen langsung melekat/terikat pada Ig E yang berada dipermukaan sel mast
atau basofil, dimana sebelumnya penderita telah terpapar allergen sebelumnya,
sehingga Ig E telah terbentuk. Ikatan antara allergen dengan IgE akan
menyebabkan keluarnya mediator-mediator kimia seperti histamine dan
leukotrine.

Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah


menggunakan antihistamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization
(imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.

2.2.2 Tipe II (Antibody-Mediated Cytotoxicity (Ig G))


Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan
imunoglobulin M (IgM) terhadap antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang secara langsung
berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung
berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan
kerusakan pada target sel.

Tipe ini melibatkan K cell atau makrofag. Alergen akan diikat antibody yang berada
di permukaan sel makrofag/K cell membentuk antigen antibody kompleks. Kompleks
ini menyebabkan aktifnya komplemen (C2 –C9) yang berakibat kerusakan. Alergen
(makanan) akan diikat antibody yang berada dipermukaan K cell, dan akan melekat
pada permukaan sel darah merah. Kompleks ini mengaktifkan komplemen, yang
berakibat hancurnya sel darah merah.

2.2.3 Tipe III (Immune Complex Disorders)


Reaksi alergi yang dapat terjadi karena deposit yang berasal dari kompleks antigen
antibody berada di jaringan. Adanya antigen antibody kompleks di jaringan,
menyebabkan aktifnya komplemen. Kompleks ini mengatifkan basofil sel mast aktif
dan merelease histamine, leukotrines dan menyebabkan inflamasi. Alergen (makanan)
yang terikat pada antibody pada netrofil (yang berada dalam darah) dan antibody yang
berada pada jaringan, mengaktifkan komplemen. Kompleks tersebut menyebabkan
kerusakan pada jaringan.

Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora


fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis
memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan
kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita
penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar
pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi
beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus
otak.

Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen
kronis akan menimbulkan penyakit serum (serum sickness) yang dapat memicu
terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi
disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis
rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan
kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora
Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja
lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.

2.2.4 Tipe IV (Cell-Mediated Hypersensitivities (tipe lambat))


Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau
tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini dapat disebabkan oleh antigen ekstrinsik dan
intrinsic/internal (“self”). Reaksi ini melibatkan sel-sel imunokompeten, seperti
makrofag dan sel T. Makrofag (APC) mengikat allergen pada permukaan sel dan akan
mentransfer allergen pada sel T, sehingga sel T merelease interleukin (mediator kimia)
yang akan menyebabkan berbagai gejala.

Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag.
Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T,
sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah
yang terkena paparan.

Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan


waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis.

2.3 Macam-macam Penyakit Yang Termasuk Hipersensitivitas


2.3.1 Pada Tipe I
 Urtikaria atau biduran, yaitu ruam gatal pada kulit
 Rhinitis atau reaksi alergi pada saluran pernapasan yang menyebabkan bersin,
hidung tersumbat atau berair, dan gatal.
 Asma, di mana terjadi penyempitan saluran napas, produksi lendir, dan peradangan
saluran pernapasan, sehingga mengakibatkan sesak napas.
 Anafilaksis adalah reaksi alergi yang berdampak pada seluruh tubuh dan dapat
menyebabkan kematian. Reaksi anafilaksis bisa meliputi kesulitan bernapas,
tekanan darah menurun drastis (syok), dan tenggorokan serta wajah membengkak
sehingga dapat berakibat fatal. Jika terjadi, penderita perlu segera mendapat
pertolongan medis.

2.3.2 Pada Tipe II


 Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal)
 Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah)
 Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal)
 Penyakit Hashimoto atau Hashimoto’s disease adalah penyakit peradangan pada
kelenjar tiroid akibat sistem kekebalan tubuh (sistem imun) menyerang sel-sel dan
jaringan tiroid. Penyakit Hashimoto merupakan penyebab tersering dari kondisi
hipotiroidisme.

2.3.3 Pada Tipe III


 Lupus adalah penyakit peradangan (inflamasi) kronis yang disebabkan oleh
sistem imun atau kekebalan tubuh yang menyerang sel, jaringan, dan organ tubuh
sendiri. Lupus dapat menyerang berbagai bagian dan organ tubuh seperti kulit,
sendi, sel darah, ginjal, paru-paru, jantung, otak, dan sumsum tulang belakang.
 Rheumatoid arthritis menimbulkan gejala nyeri sendi, radang sendi, dan
pembengkakan.
2.3.4 Pada Tipe IV
 Hipersensitivitas pneumonitisi adalah suatu peradangan paru yang terjadi akibat
reaksi alergi terhadap alergen (bahan asing) yang terhirup. Alergen bisa berupa
debu organik atau bahan kimia (lebih jarang).
 Hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis) adalah peradangan berupa ruam gatal
kemerahan pada kulit yang muncul akibat kontak langsung dengan zat tertentu
dan mengiritasi kulit, atau merupakan reaksi alergi terhadap zat tertentu. Ruam
yang muncul akibat peradangan ini tidak menular atau berbahaya, tapi bisa
menyebabkan rasa tidak nyaman bagi penderita.
 Hipersensitivitas tipe lambat kronis atau Delayed Type Hipersensitivity (DTH)
terjadi karena reaksi membutuhkan waktu beberapa hari untuk berkembang.
Berbeda dengan jenis lain, itu bukan dimediasi antibodi tetapi lebih merupakan
jenis respon yang dimediasi sel. Respons ini melibatkan interaksi sel-T, monosit,
dan makrofag.

2.4 Macam-macam Penyakit Autoimun


Penyakit autoimun adalah respon imun yang mengakibatkan kerusakan pada
jaringan tubuh sendiri serta mengganggu fungsi fisiologis tubuh. Penyakit autoimun
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor genetik, infeksi, lingkungan,
hormonal, daerah/suku, diet dan toksik/obat. Patogenesis autoimun terdiri atas gangguan
aktivitas selular dan protein regulator. Gangguan aktivitas selular dapat terjadi apabila
tubuh gagal mempertahankan toleransi akan self-antigen dan terjadi aktivasi autoreaktif
sel imun terhadap self-antigen tersebut. Mekanisme kegagalan toleransi tersebut
diperankan oleh sel T perifer dalam berbagai proses (Khasanah, 2015).

Penyakit autoimun bisa berdampak pada banyak bagian tubuh. Ada lebih dari 100
jenis penyakit autoimun mulai dari yang ringan sampai berat. Dari sekian banyaknya
jenis penyakit autoimun, beberapa penyakit autoimun di bawah ini merupakan yang
sering sekali ditemui, diantaranya:
 Rematik
Rematik atau radang sendi adalah penyakit autoimun yang menyerang sendi.
Sistem kekebalan tubuh memproduksi antibodi yang menyerang pelapis sendi.
Akibat dari serangan antibodi ini adalah peradangan, pembengkakan dan nyeri
pada sendi.
Orang dengan rematik biasanya merasakan gejala seperti sendi sakit, kaku, dan
bengkak sehingga dapat mengurangi geraknya. Jika tidak diobati, rematik dapat
menyebabkan kerusakan sendi permanen secara bertahap.
 Lupus
Penyakit ini terjadi saat antibodi yang dihasilkan tubuh justru menyerang
hampir seluruh jaringan tubuh penderitanya. Beberapa bagian tubuh yang paling
sering diserang adalah sendi, paru-paru, ginjal, kulit, jaringan penyambung
tubuh, pembuluh darah, sumsum tulang, dan jaringan saraf.
 Diabetes Tipe I
Penyakit diabetes tipe 1 disebabkan oleh serangan
sistem kekebalan tubuh pada sel-sel pankreas yang memiliki tugas
memproduksi insulin.
Hal ini menyebabkan terganggunya produksi insulin sehingga tubuh tidak
mampu mengontrol kadar gula darah.
 Multiple Sclerosis (MS)
Pada saat sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang sel-sel saraf sendiri,
beberapa gejala yang mengerikan berisiko muncul sebagai akibatnya. Kondisi
ini biasa disebut dengan Multiple Sclerosis alias MS. Beberapa gejala yang bisa
timbul adalah nyeri, kebutaan, gangguan koordinasi tubuh, dan spasme otot.
Gejala lainnya yang mungkin timbul adalah tremor, mati rasa di area tungkai,
kelumpuhan, susah bicara, atau susah berjalan. Fisioterapi dan terapi okupasi
dapat dilakukan untuk membantu pasien MS dalam melakukan kegiatan sehari-
hari.
 Penyakit Graves
Penyakit autoimun yang menyebabkan kelenjar tiroid menjadi terlalu aktif.
Orang yang menderita penyakit ini kemungkinan akan mengalami beragam
gejala yang bisa mengganggu kegiatan sehari-harinya.
Kesulitan tidur, mudah tersulut emosi, berat badan turun tanpa sebab dan mata
menonjol adalah sebagian gejalanya. Gejala lain yang mungkin timbul adalah
terlalu peka pada hawa panas, otot lemah, tremor (tangan bergetar), dan
gangguan menstruasi. Untuk mengobati penyakit Graves, penderita
kemungkinan akan diberikan pil radioaktif iodium.
 Psoriasis
Kondisi terlalu aktifnya sistem kekebalan tubuh sehingga menyebabkan kulit
mengalami kondisi kronis. Kondisi ini disebabkan oleh salah satu sel darah
dalam sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif, yaitu sel-T.
Berkumpulnya sel-T di kulit merangsang kulit untuk tumbuh lebih cepat dari
seharusnya. Gejala psoriasis yaitu muncul bercak di kulit yang bersisik dan
pengelupasan kulit yang meninggalkan lapisan berwarna putih mengkilap.
Untuk menanganinya, dokter akan memberikan obat penekan sistem kekebalan
tubuh seperti kortikosteroid juga terapi cahaya.

2.5 Scabies
Skabies adalah erupsi kulit yang disebabkan infestasi dan sensitisasi oleh kutu
Sarcoptes scabiei var. hominis dan bermanifestasi sebagai lesi papular, pustul, vesikel,
kadang-kadang erosi serta krusta, dan terowongan berwarna abu-abu yang disertai
keluhan subyektif sangat gatal; ditemukan terutama pada daerah celah dan lipatan. Di
beberapa negara sinonim penyakit skabies adalah the itch (Inggris), gale (Perancis),
Kratze (Jerman) mite infestation, gudik, budukan dan gatal agogo. Penyakit ini pertama
kali diuraikan oleh dokter Abumezzan Abdel Malek bin Zohar dengan menggunakan
istilah soab sebagai sesuatu yang hidup pada kulit dan menyebabkan gatal. Pada tahun
1687 Giovan Cosino Bonomo menemukan kutu skabies pertama kali sebagai little
bladder of water dan lesi skabies pada anak seorang perempuan miskin. Skabies disebut
juga sebagai a great immitator karena memberikan gambaran klinis yang sangat
bervariasi, sulit dibedakan dengan beberapa penyakit kulit yang disertai gatal
(Nurainiwati, 2011)
Sarcoptes scabiei var.hominis termasuk famili Sarcoptiase dan kelas Arachniada,
berbentuk lonjong, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Besar tungau ini
sangat bervariasi. yang betina berukuran kira-kira 0,4 mm x 0,3 mm sedangkan yang
jantan ukurannya lebih kecil 0,2 mm x 0,15 mm. Tungau ini translusen dan berwarna
putih kotor,pada bagian dorsal terdapat bulu-bulu dan duriserta mempunyai pasang kaki,
bagian anterior 2 pasang sebagai alat untuk melekat sedangkan 2 pasang kaki terakhir
pada betina berakhir dengan rambut. Pada yang jantan pasangan kaki yang ketiga
berakhir dengan rambut dan yang keempat berakhir dengan alat perekat.
BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Analisis Masalah


Skabies telah menyebar ke seluruh dunia, terutama pada daerah beriklim tropis dan
subtropis. Perkembangan penyakit ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
keadaan sosial-ekonomi yang rendah, kondisi perang, kepadatan penghuni yang tinggi,
tingkat higiene yang buruk, kurangnya pengetahuan, dan kesalahan dalam diagnosis serta
penatalaksanaan skabies. Pada umumnya tidak ada perbedaan jenis kelamin. Transmisi
atau perpindahan skabies antar penderita dapat berlangsung melalui kontak langsung dan
orang ke orang dengan akrab dan erat serta kontak kulit yang cukup lama. Hal ini dapat
terjadi bila hidup dan tidur bersama, terutama anak-anak yang mendapat infestasi tungau
dari ibunya, hidup dalam satu asrama, atau para perawat. Selain itu juga dapat melalui
kontak tidak langsung, yaitu melalui pakaian yang digunakan bersama atau alat mandi
yang tidak terpisah.

Tungau betina yang telah dibuahi mempunyai kemampuan untuk membuat


terowongan pada kulit sampai di perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum
dengan kecepatan 0,5-5 mm per hari. Di dalam terowongan ini tungau betina akan
bertelur sebanyak 2 - 3 butir setiap hari. Seekor tungau betina dapat bertelur sebanyak
40-50 butir semasa siklus hidupnya yang berlangsung kurang lebih 30 hari. Telur akan
menetas dalam waktu 3-4 hari dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Setelah
3 hari larva kemudian berubah menjadi nimfa dengan 4 pasang kaki dan selanjutnya
menjadi tungau dewasa. Siklus hidup tungau mulai dan telur sampai dewasa memerlukan
waktu selama 10-14 hari.

Pada suhu kamar (21oC dengan kelembaban relatif 40-80%) tungau masih dapat
hidup di luar pejamu selama 24-36 jam. Penelitian tahun 1997 menemukan rata-rata 11
tungau betina pada seorang pasien scabies. Masuknya S. scabiei ke dalam epidermis
tidak segera memberikan gejala pruritus. Rasa gatal timbul 1 bulan setelah infestasi
primer serta adanya infestasi kedua sebagai manifestasi respon imun terhadap tungau
maupun sekret yang dihasilkannya di terowongan bawah kulit. Sekret dan ekskreta yang
dikeluarkan tungau betina bersifat toksik atau antigenik. Diduga bahwa terdapat infiltrasi
sel dan deposit IgE di sekitar lesi kulit yang timbul. Pelepasan IgE akan memicu
terjadinya reaksi hipersensitivitas, meskipun hal ini masih belum jelas. Pada bayi dan
anak sebagai kelompok yang paling banyak mengalami skabies, selain faktor imunitas
yang belum memadai faktor penularan dan orangtua, terutama ibu, serta faktor anak yang
sudah mulai beraktivitas di luar rumah dan di sekolah juga ikut berperan terhadap
timbulnya skabies.

Gejala klinis utama pada skabies adalah rasa gatal, terutama dirasakan pada malam
hari (pruritus nokturnal) atau bila cuaca panas serta pasien berkeringat, oleh karena
meningkatnya aktivitas tungau saat suhu tubuh meningkat. Rasa gatal disertai gejala
lainnya, biasanya timbul 3 - 4 minggu setelah tersensitisasi oleh produk tungau di bawah
kulit. Lesi yang timbul di kulit pada umumnya simetris tempat predileksi utama adalah
sela jari tangan fleksor siku dan lutut, pergelangan tangan, areola mammae, umbilikus,
penis aksila, abdomen bagian bawah dan bokong. Pada anak-anak usia kurang dan 2
tahun, lesi cenderung di seluruh tubuh terutama kepala, leher, telapak tangan dan kaki,
sedangkan pada anak yang lebih besar predileksi lesi menyerupai orang dewasa. Pada
bayi lesi dapat ditemukan di muka dan kulit kepala, terutama yang minum air susu ibu
(ASI) dan ibu yang menderita skabies.

Pada skabies yang kronik, terdapat gambaran likenifikasi dan hiperpigmentasi.


Selain bentuk klinis tersebut, pada bayi dan anak juga terdapat beberapa bentuk klinis
yang lain, yaitu:
1. Skabies pada orang bersih.
Gejala minimal dan terowongan nya sukar ditemukan. Terdapat pada orang
dengan tingkat kebersihan yang tinggi dan kutu dapat hilang akibat mandi yang
teratur.
2. Skabies inkognito.
Pemakaian kortikosteroid topikal atau sistemik dapat memperbaiki gejala dan
tanda klinis skabies, tetapi infestasi kutu dan kemungkinan penularan nya tetap
ada.
3. Skabies nodulanis.
Manifestasi yang unik pada bayi dan anak-anak. Lesi berupa nodus warna coklat
kemerahan dan gatal yang terdapat pada daerah tentutup, terutama genitalia laki--
laki, inguinal dan aksila. Tungau jarang ditemukan pada nodus.Nodulus dan
noduli mungkin timbul akibat reaksi hipersensitivitas, lesi ini dapat bertahan
beberapa bulan hingga satu tahun walaupun penderita telah diberikan obat
antiskabies.
4. Skabies dishidrosiform.
Ditandai kelompok vesikel dan pustul pada tangan dan kaki yang sering berulang
dan selalu sembuh dengan obat antiskabies topikal. Tidak dapat ditemukan
tungau pada lesi dan dapat sembuh sendiri secara bertahap dalam beberapa bulan
sampai lebih dan satu tahun. Skabies jenis ini umumnya ditemukan pada anak-
anak yang diadopsi di negara-negara Asia (Vietnam dan Korea).
5. Skabies krustosa (skabies Norwegia).
Pertama kali ditemukan di Norwegia pada tahun 1848. Kasus skabies jenis ini
jarang ditemukan. Biasanya terjadi pada mereka dengan respons imun abnormal
atau keadaan imunosupresi, kelainan atau gangguan susunan saraf pusat,
gangguan sensisitasi dan malnutrisi. Skabies Norwegia ditandai dengan lesi yang
luas, eritematosa, dengan krusta tebal disertai daerah hiperkeratotik pada skalp,
telinga, siku, lutut, telapak tangan dan kaki, serta bokong, dan benskuama. Dapat
disertai distrofi kuku dan menjadi genenalisata. Pruritus tidak menonjol tetapi
sangat menular karena populasi tungau pada kulit sangat banyak (ribuan), baik
dalam bentuk tungau dewasa, telur, maupun larva.Jumlah tungau yang terdapat di
dalam lesi dapat mencapai 2 juta pada seorang pasien (sangat kontagius dan
merupakan sumber epidemi). Jenis ini juga dapat ditemukan pada orang tua serta
pasien dengan sensasi kulit yang rendah, pasien imunokompromais, dan bayi,
yang menmpunyai respons imunologis tidak memadai.

3.2 Hipersensitivitas Terhadap Infeksi Scabies


Skabies merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh S. scabiei yang
berkembang biak pada permukaan kulit. Sarcoptes scabiei mengakibatkan keterlibatan
reaksi hipersensitivitas tipe I dan tipe IV (Azhimah, 2019).
A. Pada reaksi tipe I
Alergen tungau yang masuk ke dalam tubuh akan diproses oleh Antigen
Presenting Cell (APC) bersama MHC kelas II, kemudian APC akan menginduksi
aktivasi limfosit T. Limfosit T kemudian mengaktivasi Sel Th2 untuk menghasilkan
IL-4 dan IL-10 yang akan menginduksi limfosit B untuk menghasilkan IgE. IgE
yang terikat di permukaan sel mast dan akan menyebabkan sel mast teraktivasi. Sel
mast memiliki reseptor yang disebut FcεR1, yang speseifik terhadap IgE dan secara
aktif berikatan dengan IgE. Ikatan IgE dengan reseptor FcεR1 akan mengaktivasi
sinyal transduksi ke sitoplasma sel mast. Sinyal ini akan menyebabkan sel mast
berdegranulasi dan mengeluarkan mediator kimia. Salah satunya adalah histamin
yang menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan diikuti
dengan ekstravasasi cairan. Mediator inflamasi lainnya yang dihasilkan oleh sel mast
adalah sitokin (IL-5, IL-8, IL-4, Tumor Necrosis Factor) yang menyebabkan
infiltrasi sel-sel inflamasi berupa eosinofil, neutrofil, dan basofil pada jaringan kulit.
Selain itu, sel mast juga melepas faktor kemotaktik seperti Eosinophil Chemotactic
Factor (ECF) dan Neutrophil Chemotactic Factor (NCF) yang ikut menyebabkan
terjadinya infitrasi eosinofil dan neutrofil. Manifestasi klinis yang ditimbulkan
akibat reaksi hipersensitivitas tipe satu yaitu terbentuknya pruritus, papula, vesikula
pada permukaan kulit kelinci serta kerusakan jaringan kulit yang ditimbulkan akibat
infeksi skabies belum signifikan.

B. Pada Tipe IV
Reaksi hipersensitivitas tipe IV terjadi 3-6 minggu setelah infeksi primer dari S.
scabiei. Mekanisme terjadinya kerusakan dalam reaksi hipersensitivitas tipe IV
dimediasi oleh sel T CD4+ dan sel T CD8+ serta berjalan secara kronis akibat
terjadinya infeksi yang berulang. Hipersensitifitas yang dimediasi oleh sel tipe ini
disebabkan oleh sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh Sel T CD4+ dan
pembunuhan sel oleh sel T CD8+. Sel T CD8+ akan mengenal antigen yang
dipresentasikan oleh APC dan molekul MHC kelas I. Sedangkan, sel T CD4+
mengenal antigen yang dipresentasikan APC dan molekul MHC kelas II. 
Hipersensitifitas yang dimediasi oleh sel T CD4+ diinduksi oleh lingkungan dan
antigen. Hal tersebut merupakan penyebab utama penyakit inflamasi kronis,
termasuk penyakit autoimun.

Sel T CD4+ yang berasal dari diferensiasi sel T naive mengenali peptida yang
ditampilkan oleh sel dendritik dan mensekresi IL-2, yang berfungsi sebagai faktor
pertumbuhan autokrin untuk merangsang proliferasi sel T yang responsif terhadap
antigen. Diferensiasi selanjutnya dari sel T yang distimulasi antigen menjadi sel Th1
atau Th17 diatur oleh sitokin yang dihasilkan oleh APC pada saat aktivasi sel T.
Antigen yang telah di tangkap oleh APC akan mengaktifkan beberapa sitokin seperti
IL-12, yang menginduksi diferensiasi sel T CD4+ ke subset Th1. Aktivasi IL-1, IL-
6, IL-23 akan menginduksi diferensiasi sel T CD4+ ke subset Th17. Th1 akan
mengaktifkan IFN-γ dan IL-2, sedangkan Th17 akan mengaktifkan TGF-β. TGF-β
dan IL-2 menginduksi Tregs, namun disisi lain Tregs juga memproduksi IL-10 dan
TGF-β yang kemungkinan berperan pada delayed inflammatory respon pada skabies
dan menekan peradangan. Disamping itu interleukin yang diproduksi oleh sel Th1
dan Th2 mempunyai efek yang berlawanan pada sel Th. IFN-γ yang diproduksi oleh
Th1 akan menghambat proliferasi sel Th2, sebaliknya IL-10 yang dikeluarkan oleh
Th2 akan menghambat produksi IL-2 dan IFN γ oleh Th1. Aktivasi beberapa sitokin
dan sel T tersebut akan merekrut neutrofil, monosit dan makrofag untuk bereaksi
melawan antigen, dengan demikian akan mempromosikan reaksi peradangan.

Setelahnya, terjadi paparan yang berulang terhadap suatu antigen, sel Th1
mengeluarkan sitokin terutama IFN-γ dan IL-2, yang bertanggung jawab pada
manifestasi hipersensitivitas tipe delayed. IFN-γ dan IL-2 akan mengaktifkan
makrofag untuk fagositosis terhadap suatu antigen sehingga aktivitas tersebut akan
mengekspresikan lebih banyak molekul MHC kelas II. Aktivasi IFN-γ dan IL-2 yang
dominan akan mensekresikan TNF, IL-1, kemokin, serta akan mengaktifkan lebih
banyak sitokin IL-12. Sehingga, hal ini akan memperkuat respons Th1. Apabila
aktivitas tersebut terus berlanjut dan berulang maka akan semakin mempromosikan
reaksi inflamasi dan kerusakan jaringan semakin parah. Sel Th1 dan Th17 keduanya
berkontribusi pada penyakit organ spesifik dimana inflamasi merupakan aspek yang
paling menonjol. Reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sel Th1 didominasi
oleh makrofag. Sedangkan, Reaksi inflamasi yang berhubungan sel Th17 didominasi
oleh neutrofil.
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Hipersensitivitas adalah reaksi berlebihan, tidak diinginkan karena terlalu
senisitifnya respon imun (merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang
berakibat fatal) yang dihasilkan oleh sistem imun Reaksi alergi disebabkan allergen
yang mempunyai manifestasi bervariasi dan terbagi menjadi reaksi cepat (tipe I),
tipe II, tipe III dan tipe IV.
2. Penyakit autoimun bisa berdampak pada banyak bagian tubuh. Ada lebih dari 100
jenis penyakit autoimun mulai dari yang ringan sampai berat. Patogenesis autoimun
terdiri atas gangguan aktivitas selular dan protein regulator. Gangguan aktivitas
selular dapat terjadi apabila tubuh gagal mempertahankan toleransi akan self-antigen
dan terjadi aktivasi autoreaktif sel imun terhadap self-antigen tersebut.
3. Skabies adalah infeksi kulit pada manusia yang disebabkan infestasi dan sensitisasi
parasit Sarcoptes scabiei var. hominis. Terdapat beberapa jenis manifestasi klinis
yang berbeda-beda. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat gatal pada
malam hari, distribusi lesi yang khas, riwayat keluhan yang sama pada anggota
keluarga lain. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya tungau pada
pemeriksaan mikroskopis.
4. Skabies merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh S. scabiei yang
berkembang biak pada permukaan kulit. Sarcoptes scabiei mengakibatkan
keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe I dan tipe IV.

4.2 Saran
Hipersensitivitas merupakan perlawanan lebih yang dilakukan sistem imun sehingga
kurang bisa membaca sinyal baik atau buruk bagi tubuh. Maka dari itu, diperlukan pola hidup
seimbang guna mengatasi ketimpangan pada kesehatan tubuh.
Scabies merupakan penyakit yang dibawa oleh hewan semacam tungau, ini berarti sudah
seharusnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan tempat tinggal untuk mengantisipasi
penyakit scabies mengingat bahwa scabies bisa menjangkit kapan saja.
DAFTAR PUSTAKA

Adrian, K. (2018) Seperti Apa Kondisi Hipersensivitas?, Alodokter. Available at:


https://www.alodokter.com/seperti-apa-kondisi-hipersensitivitas (Accessed: 16 April 2020).

Azhimah, A. (2019) Hipersensitivitas Pada Scabies, UNAIR NEWS. Available at:


http://news.unair.ac.id/2019/12/23/mekanisme-reaksi-hipersensitivitas-terhadap-infeksi-
skabies/ (Accessed: 17 April 2020).

Hikmah, N. and Dewanti, I. D. A. R. (2010) ‘Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi)’,


Somatognatic (J.K.G Unej ), 7(2), pp. 108–119.

Khasanah, Y. C. (2015) ‘Potensi Koekspresi Chimeric Antigen Receptor (Car) Dan Gen
Foxp3 Pada Sel T Regulators Sebagai Modalitas Terapi Penatalaksanaan Autoimun’, Essence
Of Scientific Medical Journal, (vbbgn), pp. 1–12.

Nurainiwati, A. S. (2011) ‘SKABIES’, Staff Pengajar Pada Fakultas Kedokteran Universitas


Muhammadiyah Malang, 7(15), pp. 68–72.

Pratama, Y. (2017) Apa yang dimaksud dengan Hipersensivitas?, DICTIO. Available at:
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-hipersensitivitas/5987 (Accessed: 17
April 2020).

Anda mungkin juga menyukai