Anda di halaman 1dari 21

HIPERSENSITIVITAS

DISUSUN OLEH :

1. ANANDA INDAH NUR SAFITRI (202006050056)


2. ADAM PRADANA WIDIANTO (202006050061)
3. MUSHOLLIFAH ARDIANTI (202006050070)
4. YANUARIA ALIDA PAULINA S (202006050085)

PROGRAM STUDI S 1 FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KADIRI
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan semua rahmatnya, kami akhirnya bisa menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pak Elfred Rinaldo Kasimo
yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Ada banyak hal yang bisa kami
pelajari melalui makalah ini.
Makalah berjudul “Hipersensitivitas” disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Imunologi. Melalui tugas ini, penulis mendapatkan banyak ilmu baru
tentang hipersensitivitas
Tentu penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Meskipun
begitu, penulis berharap bahwa makalah ini bisa bermanfaat untuk orang lain.
Apabila ada kritik dan saran yang ingin disampaikan, penulis sangat terbuka dan
dengan senang hati menerimanya.

Kediri, 3 Mei 2022

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Sistem imun merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh terhadap
penyakit, namun mekanisme pertahanan tubuh yang secara normal dapat
bereaksi secara terbalik atau dengan kata lain dapat merusak tubuhnya sendiri.
Reaksi ini dikenal dengan reaksi hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitas
adalah reaksi abnormal dari sistem imun yang terjadi sebagai respon akibat
terpapar dengan substansi yang membahayakan sehingga tingkat respon
reaksinya bervariasi dari yang ringan sampai mematikan. Reaksi
hipersensitivitas dapat mencangkup kelainan autoimun dan alergi, seperti yang
diketahui kondisi autoimun merupakan suatu respon imunologis abnormal yang
menyerang yang menyerang bagian tubuhnya sendiri, sedangkan alergi adalah
respon imunologis abnormal yang timbul karena adanya stimulus dari
lingkungan diluar tubuh ( substansi eksogen)
Reaksi hipersensitivitas terdiri dari beberapa tipe yaitu tipe 1 yang
dimediasi oleh IgE (reaksi anafilaktik), tipe 2 yang dimediasi oleh antibodi,
tipe 3 yang dimediasi oleh kompleks imun, dan tipe 4 yang dimediasi oleh sel
(delayed hypersensitivity). Reaksi hipersensitivitas tipe 1 bersifat cepat dan
akut seperti alergi terhadap penisilin, latex, kacang dan lainnya. Reaksi alergi
ini dapat berdampak baik secara sistemik maupun lokal, dan reaksinya
merupakan hasil ikatan silang antara antigen dan antibodi IgE yang berasal dari
sel mast atau basofil. Mediator yang berperan pada saat reaksi anafilaktik
antara lain histamin, serotonin, bradikinin, dan lipid sehingga berpotensi
merusak jaringan. Reaksi hipersentivitas tipe 2 merupakan suatu reaksi
sitotoksik, yang dimediasi oleh Immunoglobulin G (IgG) dan Immunoglobulin
(IgM), antibodi bereaksi secara langsung terhadap antigen yang melekat pada
membran sel sehingga menginduksi lisis pada sel, antigen ini dapat berasal dari
instrinsik maupun ekstrinsik. Reaksi hipersensitivitas tipe 3 merupakan suatu
reaksi kompleks imun contohnya seperti dapat terlihat pada infeksi virus
herpes simpleks tipe 1 yang dapat berkembang menjadi eritema multiform.
Pada reaksi hipersentivitias tipe 3, IgG dan IgM yang berikatan dengan antigen
akan membentuk kompleks antigen-antobodi sehingga akan menghasilkan
polymorphonuclear neutrophilic leukocyte (PMN) yang akan mengeluarkan
enzim perusak jaringan. Reaksi hipersensitivitas tipe 4 atau delayed
hypersensitivity dimediasi sel atau kontak alergi, sering terjadi ketika berkontak
dengan bahan di kedokteran gigi dan ditemukan pada rongga mulut dengan
restorasi amalgam atau logam mulia yang berkontak dengan mukosa mulut.
Reaksi dimediasi oleh sel T dan diinisiasi oleh sel T-limfosit. Respon ini akan
membentuk interaksi dari antigen pada permukaan limfosit, sehingga limfosit
akan memproduksi sitokin yang akan mempengaruhi fungsi dari sel lainnya.
Reaksi ini terjadi 48-72 jam setelah kontak dengan antigen.
Reaksi hipersensitivitas umumnya akan menimbulkan manifestasi pada
tubuh sehingga sebagai praktisi wajib untuk mengetahui tanda dan gejala
klinisnya dan mampu memberikan penanganan yang benar. Praktik di
kedokteran gigi menggunakan berbagai bahan dental dan obat-obatan yang
bervariasi seperti penggunaan antibiotik, hipnotik, dan anastetik. Ketika dokter
gigi menggunakan medikasi maka harus mengetahui cara menangani reaksi
hipersensitivitas yang mungkin dapat ditimbulkannya.Tinjauan ini akan
membahas manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas yang terjadi di rongga
mulut serta penatalaksanaannya.

b. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Hipersensitivitas ?
2. Bagaimana patofisiologi penyakit hipersensitivitas?
3. Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?
4. Bagaimana klasifikasi hipersensitivitas?
5. Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersesnsitivitas:
c. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan
pengetahuan lebih dalam mengenai malfungsi sistem imun pada gangguan
imunologi khususnya penyakit hipersensitivitas ( alergi) serta untuk
memenuhi tugas mata kuliah imunologi.

2. Tujuan Khusus
Agar dapat mengetahui dan memahami tentang:
a. Untuk mengetahui apa yang disebut hipersensitivitas
b. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit hipersensitivitas
c. Untuk mengetahui tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas
d. Untuk mengetahui klasifikasi hipersensitivitas
e. Untuk mengetahui penanganan atau terapi penyakit hipersesnsitivitas
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi abnormal dari sistem imun
yang terjadi sebagai respon akibat terpapar dengan substansi yang
membahayakan sehingga tingkat respon reaksinya bervariasi dari yang
ringan sampai mematikan. Reaksi hipersensitivitas dapat mencangkup
kelainan autoimun dan alergi, seperti yang diketahui kondisi autoimun
merupakan suatu respon imunologis abnormal yang menyerang yang
menyerang bagian tubuhnya sendiri, sedangkan alergi adalah respon
imunologis abnormal yang timbul karena adanya stimulus dari lingkungan
diluar tubuh ( substansi eksogen). Reaksi alergi adalah reaksi imun,
umumnya dipicu oleh limfosit.
Reaksi alergi ( reaksi hipersensitivitas ) adalah reaksi- reaksi dari
sistem kekbalan yang terjadi Ketika jaringan tubuh yang normal mengalami
cedera/ terluka. Mekanisme dimana sitem kekebalan melindungi tubuh dan
mekanisme dimana reaksi hipersensitivitas bisa melukai tubuh adalah sama.
Karena itu reaksi alergi juga melibatkan antibody, limfosit dan sel- sel lainnya
yang merupakan komponen dalam sistem imun yang berfungsi sebagai
pelindung yang normal pada sistem kekebalan.

B. PENYEBAB HIPERSENSITIVITAS
Istilah reaksi alergi / hipersensitivitas digunakan untuk menunjukkan
adanya reaksi yang melibatkan antibodi IgE (immunoglobulin E ). Ig E
terikat pada sel khusus, termasuk basophil yang berada di dalam
sirkulasi darah dan juga sel mast yang ditemukan di dalam jaringan. Jika
antibodi IgE yang terikat dengan sel-sel tersebut berhadapan dengan
antigen (dalam hal ini disebut alergen ), maka sel-sel tersebut didorong untuk
melepaskan zat-zat atau mediator kimia yang dapat merusak atau melukai
jaringan di sekitarnya. Alergen bisa berupa partikel debu, serbuk tanaman,
obat atau makanan, yang bertindak sebagai antigen yang merangsang
terajdinya respon kekebalan. Kadang istilah penyakit atopik digunakan
untuk menggambarkan sekumpulan penyakit keturunan yang berhubungan
dengan IgE, seperti rinitis alergika dan asma alergika . Penyakit atopik
ditandai dengan kecenderungan untuk menghasilkan antibodi IgE
terhadap inhalan (benda-benda yang terhirup, seperti serbuk bunga, bulu
binatang dan partikel-partikel debu) yang tid ak berbahaya bagi tubuh.
Eksim (dermatitis atopik ) juga merupakan suatu penyakit atopik
meskipun sampai saat ini peran IgE dalam penyakit ini masih belum
diketahui atau tid ak begitu jelas. Meskipun demikian, seseorang yang
menderita penyakit atopic tidak memiliki resiko membentuk antibodi
IgE terhadap alergen yang disuntikkan (misalnya obat atau racun
serangga).

C. KLASIFIKASI HIPERSENSITIVITAS

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan reaksi hipersensitivitas


terhadap obat dapat dinilai menurut kriteria dari pelaporan reaksi obat dari
program sistem Kesehatan dari Universitas Virginia, sebagai berikut.

1. Ringan
Reaksi yang tidak memerlukan perawatan atau rawat inap di
rumah sakit
2. Sedang
Reaksi yang membutuhkan perawatan atau rawat inap setidaknya
satu hari
3. Berat
Suatau reaksi yang berpotensi mengancam jiwa atau yang
berkontribusi dapat melumpuhkan secara permanen yang
membutuhkan perawatan medis secara intensif ( termasuk rawat
inap yang lama ) atau yang mengakibatkan anomaly konginetal,
kanker, atau overdosis.
D. PATOFISIOLOGI HIPERSENSITIVITAS
Beberapa Patofisiologi terjadinya reaksi hipersensitifitas obat pada kulit
1. Erupsi maculopapular yang diinduksi obat Eksantema yang diinduksi
obat sering disebut sebagai hipersensitivitas yang dimediasi oleh
reaksi imunologis, walaupun mekanisme yang terjadi hanya
ditemukan pada beberapa kasus. Mekanisme patofisiologi yang
mendasarinya bermacam – macam. Menurut Coombs dan Gell, pada
banyak kasus pada reaksi imunologi hipersensitivitas tipe IV
merupakan patomekanisme yang mendasari. Baru – baru ini,
subklasifikasi dari reaksi hipersensitivitas tipe IV menjadi reaksi
hipersensitivitas tipe Iva ke IVd telah diusulkan.
2. Sindrom Stevans Johnson dan nekrolisis epidermal toksik : suatu
penyakit kulit yang parah akibat reaksi obat.
Sampai saat ini, patomekanisme molekuler dan seluler yang tepat
mengarah pada SSJ dan NET hanya sebagaian dimengerti.
Patofisiologi diperantarai oleh respon imun terhadap kompleks
jaringan obat antigenik. Saat ini, ada tiga konsep berbeda yang
berkaitan dengan pembentukan kompleks antigenic :
A. pengikatan kovalen obat dengan peptide seluler (konsep
hapten/pro-hapten)
B. interaksi obat yang non-kovalen, langsung dengan allotype MHC
I (konsep p-i)
C. presentasi dari reptoar yang diubah oleh interaksi langsung obat-
interaksi MHC I (konsep peptide yang diubah). Menurut konsep –
konsep ini, agen farmakologis alergi akan langsung berikatan
dengan molekul HLA spesifik atau reseptor sel T tanpa diproses
terlebih dahulu oleh antigen-presenting-cell (APC).

3. Pustulosis eksantematosa generalisata akut.


Sejauh ini, sebagaian besar patofisiologis tidak jelas. Proses
neutrofilik dapat diatur oleh sel T yang melepaskan CXCL8 ( IL-8)
atau IL-17. Temuan terbaru menejlaskan adanya keterlibatan IL-36.
Kerusakan pada IL36Ra dikaitkan dengan bentuk psoriasis pustular.
Selanjutnya, pada penelitian kohort yang dilakukan oleh Navarini et
al. menunjukkan bahwa pad 96 pasien yang mengalami AGEP,4
mengalami mutase pada gen yang mengkode IL-36. Mutasi pada
IL36RN dapat menyebabkan pensinyalan IL-36 yang tidak terkendali
peningkatan produksi IL-6, IL-8, dan IL-1 yang mendorong infiltrasi
neutrofilik dari karakteristik kulit akibat erupsi pustular. Dalam kasus
yang jarang terjadi, bentuk AGEP yang terlokalisasi dapat terjadi.

4. Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Synptomps ( DRESS)


Sejauh ini, patogensisnya belum sepenuhnya di klarifikasi. Sudah
lama diketahui bahwa sel T teraktivasi memainkan peran penting.
Mekanisme patofisiologi kedua melibatkan reaktivitas virus.
Penelitian yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir telah
menunjukkan bahwa manifestasi sistemik terkait dengan reaktivitas
human herpes virus (HHV) dan untuk menjaga respon imun terhadap
virus. Di Jepang, sindrom ini dikenal sebagai sindrom hipersensitivitas
akibat obat atau DIHS. Penelitian lebih lanjut telah menunjukkan
bahwa reaktivitas virus herpes lain, yaitu EBV, CMV, dan HHV-7
dikaitkan dengan manifestasi sistemik dan kekambuhan.

E. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Reaksi alergi bisa bersifat ringan atau berat. Kebanyakan reaksi terdiri dari
mata berair, mata terasa gatal dan kadang bersin. Pada reaksi yang ekstrim
bisa terjadi gangguan pernafasan, kelainan fungsi jantung dan tekanan
darah yang sangat rendah, yang menyebabkan syok. Reaksi jenis ini
disebut anafilaksis.
Reaksi obat yang merugikan telah didefinisikan oleh World Health
Organitazion (WHO) sebagai setiap respon terhadap obat berbahaya dan
tidak diinginkan, terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada
manusia untuk profilaksis, diagnosis, terapi penyakit atau untuk modifikasi
fungsi fisiologis. Reaksi hipersensitivitas obat pada kulit adalah setiap
perubahan yang tidak diinginkan dalam struktur atau fungsi kulit,
pelengkap atau membran mukosa dan mencakup semua efek samping yang
terkait dengan erupsi obat, terlepas dari etiologinya. Reaksi
hipersensitivitas obat pada kulit diakui sebagai masalah kesehatan utama
diseluruh dunia yang memiliki insiden 1-3% di negara maju dan 2-5% di
negara berkembang. Reaksi hipersensitivitas obat pada kulit mencakup
spektrum yang luas, mulai dari erupsi maculopapular transien hingga
reaksi yang fatal yaitu nekrolisis epidermal toksik. Berdasarkan
mekanisme, dari reaksi hipersensitivitas, terdapat bebebrapa tipe reaksi,
yaitu :
1. Reaksi Tipe I ( dimediasi IgE )
Alergi/ hipersensitivitas tipe 1 adalah kegagalan kekebalan tubuh
dimana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara
imunologi terhadap bahan- bahan yang umumnya imunogenik
( antigenic) atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopic.
Dengan kata lain tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap
lingkungan atau bahan- bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan
berbahaya, padalhal sebenarnya tidak untuk orang- orang yang tidak
bersifat atopic. Bahan- bahan yg menyebabkan hipersensitivitas tersebut
disebut allergen. Terdapat 2 kemunkinan yang terjadi pada mekanisme
reaksi alergi tipe 1, yaitu :
Gambar 1 A Gambar 1 B
Gambar 1A :Alergen langsung melekat / terikat pada Ig E yang berada
dipermukaan sel mast atau basophil, dimana sebelumnya penderita telah
terpapar allergen sebelumnya, sehingga Ig E telah terbentuk. Ikatan
antara allergen dengan Ig E akan menyebabkan keluarnya mediator-
mediator kimia seperti histamine dan leukotriene.
Gambar 1 B : respon ini dapat terjadi jika tubuh belum pernah terpapar
dengan allergen penyebab sebelumnya. Allergen yang masuk kedalam
tubuh akan berikatan dengan sel B, sehingga menyebabkan sel B
berubah menjadi sel plasma dan memproduksi Ig E. Ig E kemudian
melekat pada permukaan sel mast dan akan mengikat allergen. Ikatan
sel mast, Ig E dan allergen akan menyebabkan pecahnya sel mast dan
mengeluarkan mediator kimia. Efek mediator kimia ini menyebabkan
terjadinya vasodilatasi, hipersekresi, oedem, spasme pada otot polos.
Oleh karena itu gejala klinis yang dapat ditemukan pada alergi tipe ini
antara lain : rhinitis ( bersin- bersin, pilek), sesak nafas ( hipersekresi
secret), odema dan kemerahan ( menyebabkan inflamasi), kejang
( spasme otot polos yang ditemukan pada anafilactic schock)
Alergen / Eksogen nonspesifik seperti asap, sulfurdioksida, obat
yang masuk melalui jalan nafas akan menyebabkan saluran bronkus
yang sebelumnya masih baik menjadi meradang. Alergen diikat Ig E
pada sel mast dan menyebabkan sel yang berada di bronkus
mengeluarkan mediator kimia (sitokin) sebagai respons terhadap
alergen. Sitokin ini mengakibatkan sekresi mucus, sehingga sesak
nafas.
Adapun penyakit – penyakit yang disebabkan oleh reaksi alergi
tipe I adalah :
 Konjungtivitis
 Asma
 Rinitis
 Anafilaktik shock

2. Reaksi Tipe II ( dimediasei antibodi )


Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan kerusakan
pada sel tubuh oleh karena antibody melawan / menyerang secara
langsung antigen yang berada pada permukaan sel. Antibody yang
berperan biasanya Ig G. berikut mekanisme terjadinya reaksi alergi tipe
II.

Gambar 2. Reaksi Alergi tipe II


Keterangan : Tipe ini melibatkan K cell atau makrofag. Alergen akan
diikat antibody yang berada di permukaan sel makrofag/K cell
membentuk antigen antibody kompleks. Kompleks ini menyebabkan
aktifnya komplemen (C2-C9) yang berakibat kerusakan.
Gambar 3. Mekanisme respon alergi pada anemia hemolitik

Keterangan : Alergen ( makanan) akan diikat antibody yang berada di


permukaan K cell, dan akan melekat pada permukaan sel darah merah.
Kompleks ini mengkaitkan komplemen, yang berakibat hancurnya sel
darah merah.
Contoh penyakit – penyakit :
1. Goodpasture ( perdarahan paru, anemia )
2. Myasthenia gravis (MG)
3. Immune hemolytic (anemia hemolitik)
4. Immune thrombocytopenia purpura
5. Thyrotoxicosis (Graves disease)
Terapi yang dapat diberikan pade alergi tipe II : immunosupresant
corticosteroid – prednisolone

3. Reaksi Tipe III (dimediasi kompleks imun )


Merupakan reaksi alergi yang dapat terjadi karena deposit yang
berasal dari kompleks antigen antibody berada di jaringan. Gambar
berikut ini menunjukkan mekanisme respon alergi tipe III.
Gambar 4. Mekanisme reaksi alergi tipe III
Keterangan :
Adanya antigen antibody kompleks di jaringan, menyebabkan aktifnya
komplemen, kompleksi ini mengaktifkan basophil sel mast aktif dan
merelasase histamine. Leukotrienes dan menyebabkan inflamasi.

Gambar 5. Reaksi alergi tipe III


Keterangan gambar : Alergen ( makanan ) yang terikat pada antibody
pada netrofil( yang berada dalam darah) dan antibody berada pada
jaringan, mengaktifkan komplemen kompleks tersebut. Menyebabkan
kerusakan pada jaringan.
Penyakit :
1. The protozoans that cause malaria.
2. The worms that cause schistosomiasis and filariasis.
3. The virus that causes hepatitis B, demam berdarah.
4. Systemic lupuseythematosus ( SLE)
5. Farmer’s lung ( batuk, sesak nafas)
Kasus lain dari reaksi alergi tipe III yang perlu diketahui menyebutkan
bahwa imunisasi / vaksinasi yang menyebabkan alergi sering
disebabkan serum (imunisasi) terhadapdipteri atau tetanus. Gejalanya
disebut dengan syndrome sickness, yaitu :
1. Fever
2. Hives / urticaria
3. Arthritis
4. Protein in the urine

4. Reaksi Tipe IV ( dimediasi sel, reaksi tipe lambat )


Reaksi ini dapat disebabkan oleh antigen ekstrinsik dan intrinsic /
internal ( self). Reaksi ini melibatkan sel – sel imunokompeten, seperti
makrofag dan sel T.
Ekstrinsik : nikel, bahan kimia
Instrinsik : Insulin dependent diabetes mellitus (IDDM or type I
diabetes), Multipe sclerosis ( MS), Rheumatoid arthritis, TBC.

Gambar 6. Mekanisme reaksi alergi tipe IV


Keterangan : Makrofag ( APC ) mengikat allergen pada permukaan sel
dan akan mentransfer allergen sel T, sehingga sel T merelease
interleukin ( mediator kimia) yang akan menyebabkan berbagai gejala.
5. Reaksi Tipe sitotoksik ( diperantarai sel )
6. Hipersensitivitas non alergi
7. Reaksi Farmakologis
8. Reaksi psikofisiologis

Penelitian yang dilakukan di Negara Amerika Latin mengenai


mekanisme reaksi hipersensitivitas dapat dilihat pada table 1 pada table
tersebut didapatkan bahwa jenis reaksi yang paling sering dilaporkan pada
penggunaan OAINS adalah reaksi hipersensitivitas non alergi yaitu
sebanyak 69,3%. Reaksi hipersensitivitas obat non alergi juga disebut
reaksi pseudoallergik atau idiosinkratik. Serupa dengan reaksi alergi obat,
reaksi hipersensitivitas obat non alergik dapat timbul dengan urtikaria,
angioedema, atau bronkospasme. Mekanisme pathogen dari reaksi non
alergi masih kurang dipahami. Beberapa hipotesis pathogen telah
dikemukakan yaitu pelepasan mediator inflamasi langsung dari sel mast
dan basophil, aktivasi jalur komplemen klasik dan atau alternatif dengan
pembentukan anafilotoksin ( C3a,C4a,C5a) serta ketidakseimbangan
sistem siklooksigenase dan lipooksigenase yang merupakan mekanisme
hipersensitivitas akibat OAINS.

Reaksi hipersensitivitas obat pada kulit bervariasi dalam pola


morfologi dan distribusinya sesuai dengan pola asupan obat di daerah
tersebut. Oleh karena itu, perbedaan dalam terjadinya reaksi
hipersensitivitas obat pada kulit bervariasi, tergantung pada frekuensi
asupan obat, genetika, penyakit yang terkait, dan dasar imunologi pasien.
Reaksi obat eksantematosa kulit paling sering timbul secara klinis
sebagai erupsi maculopapular.

E. DIAGNOSA
Setiap reaksi alergi dipicu oleh suatu allergen tertentu, karena itu
tujuan utama dari diagnosi adalah mengenali allergen. Allergen bisa
berupa tumbuhan musim tertentu ( misalnya serbuk rumput atau rumput
liar ) atau bahan tertentu ( mislanya bulu kucing). Jika bersentuhan
dengan kulit atau masuk ke dalam mata, terhirup, termakan atau
disuntikkan ke tubuh, dengan segera allergen akan bisa menyebabkan
reaksi alergi. Pemeriksaan bisa membantu menentukan apakah gejalanya
berhubungan dengan allergen apa penyebabnya serta menentukan obat
apa yang harus diberikan. Pemeriksaan darah bisa menunjukkan banyak
eosinophil ( yang biasanya meningkat ). Tes RAS ( radioallergosorbent )
dilakukan untuk mengukur kadar antibody IgE dalam darah yang spesifik
untuk allergen individual. Hal ini bisa membantu mendiagnosis reaksi
alergi kulit. Rhinitis alergika musiman atau asma alergika. Tes kulit
sangat bermanfaat untuk menentukan allergen penyebab terjadinya reaksi
alergi. Larutan encer yang terbuat dari saripati pohon, rumput, rumput
liar, serbuk tanaman, debu, bulu binatang, racun serangga, makanan dan
beberapa jenis obat secara terpisah disuntikkan padakulit dalam jumlah
yang sangat kecil. Jika terdapat alergi tertentu satu atau beberapa bahan
tersebut, maka pada tempat penyuntikan akan terbentuk bentol dalam
waktu 15-20 menit. Jika tes kulit tidak dapat dilakukan atau
keamanannya diragukan, maka bisa digunakan tes RAS. Kedua tes ini
sangat spesifik dan akurat, tetapi tes kulit biasanya sedikit lebih akurat
dan lebih murah serta hasilnya bisa diperoleh dengan segera
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi abnormal dari sistem imun yang
terjadi sebagai respon akibat terpapar dengan substansi yang membahayakan
sehingga tingkat respon reaksinya bervariasi dari yang ringan sampai
mematikan.
Reaksi hipersensitivitas terdiri dari beberapa tipe yaitu tipe 1 yang
dimediasi oleh IgE (reaksi anafilaktik), tipe 2 yang dimediasi oleh antibodi,
tipe 3 yang dimediasi oleh kompleks imun, dan tipe 4 yang dimediasi oleh sel
(delayed hypersensitivity).
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 bersifat cepat dan akut seperti alergi
terhadap penisilin, latex, kacang dan lainnya. Reaksi alergi ini dapat
berdampak baik secara sistemik maupun lokal, dan reaksinya merupakan hasil
ikatan silang antara antigen dan antibodi IgE yang berasal dari sel mast atau
basofil. Mediator yang berperan pada saat reaksi anafilaktik antara lain
histamin, serotonin, bradikinin, dan lipid sehingga berpotensi merusak
jaringan.
Reaksi hipersentivitas tipe 2 merupakan suatu reaksi sitotoksik, yang
dimediasi oleh Immunoglobulin G (IgG) dan Immunoglobulin (IgM), antibodi
bereaksi secara langsung terhadap antigen yang melekat pada membran sel
sehingga menginduksi lisis pada sel, antigen ini dapat berasal dari instrinsik
maupun ekstrinsik.
Reaksi hipersensitivitas tipe 3 merupakan suatu reaksi kompleks imun
contohnya seperti dapat terlihat pada infeksi virus herpes simpleks tipe 1 yang
dapat berkembang menjadi eritema multiform. Pada reaksi hipersentivitias tipe
3, IgG dan IgM yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks
antigen-antobodi sehingga akan menghasilkan polymorphonuclear
neutrophilic leukocyte (PMN) yang akan mengeluarkan enzim perusak
jaringan.
Reaksi hipersensitivitas tipe 4 atau delayed hypersensitivity dimediasi sel
atau kontak alergi, sering terjadi ketika berkontak dengan bahan di kedokteran
gigi dan ditemukan pada rongga mulut dengan restorasi amalgam atau logam
mulia yang berkontak dengan mukosa mulut. Reaksi dimediasi oleh sel T dan
diinisiasi oleh sel T-limfosit. Respon ini akan membentuk interaksi dari antigen
pada permukaan limfosit, sehingga limfosit akan memproduksi sitokin yang
akan mempengaruhi fungsi dari sel lainnya. Reaksi ini terjadi 48-72 jam
setelah kontak dengan antigen.

B. SARAN
Kami merasa dalam penyajian makalah ini masih sangat banyak
kekurangan dan kelemahan maka dari itu sudi kiranya teman-teman
memberikan kritikan/saran, yang nantinya akan berguna untuk
memperbaiki hasil makalah ini dan bermanfaat bagi kita semua di masa yang
akan datang

Anda mungkin juga menyukai