Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH IMUNOLOGI

“REAKSI HIPERSENSITIF”

DOSEN: Dra. Refdanita. M.Si., Apt.

DISUSUN OLEH:
 Yonathan Tri Atmodjo Reubun 13330096

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas rahmat-Nya maka kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah Imunologi yang berjudul “Reaksi Hipersensitif”

Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata
kuliah Imunologi di Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta. Dalam penulisan makalah ini kami
menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam
menyelesaikan pembuatan makalah ini, khususnya kepada :
1. Ibu Dra. Refdanita, M.Si., Apt. selaku dosen mata kuliah Imunologi.
2. Rekan-rekan..
3. Semua pihak yang tak dapat di sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan
dalam penulisan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari
semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Jakarta, September 2016


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada dasarnya, tubuh kita mempunyai imunitas alamiah yang bersifat non spesifik dan imunitas
spesifik. Imunitas spesifik adalah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit
B, yang memproduksi 5 Imunoglobulin (IgG, IgA, IgE, IgM, IgD) dan sistem imunitas seluler yang
dihantarkan oleh sel limfosit T,yang bilamana bertemu dengan antigen akan mengadakan diferensiasidan
menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu allergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana allergen
tersebut hancur, maka ini merupakan suatu hal yang menguntungkan sehingga yang terjadi adalah keadaan
imun. Tetapi, bilamana merugikan maka terjadilah reaksi hipersensitifitas atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasarkan pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya respon
IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai allergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai
mediator penyebab reaksi alergi.walaupun pada orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi
ini berlangsung sangat berlebihan maka dapat timbul syok anafilaktis.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga
menimbulkan bintul-bintul berwarna kemerahan di permukaan kulit. Sementara rasa gatal akan timbul
akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamine. Kemudian kerusakan jaringan yang
terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat
perubahan fungsi. Efek lain histamine, yaitu kontraksi otot polos dan perangsangan sekresi asam lambung,
menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.
Selain itu sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja maksimal
sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada alergi yang dapat
membaik, karena maturitas enzim dan barrier yang berjalan seiring bertambahnya umur. Hal ini dapat
terjadi akibat factor polimorfisme genetic antibody yang aktif pada waktu tertentu sehingga menentukan
kepekaan terhadap allergen tertentu.
Secara umum hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinophilia relative, karena disertai
dengan penurunan basophil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinophil sendiri menghasilkan
histamine dan aril sulfatase. Histamine yang dihasilkan berperan dalam mekanisme pembatasan atau
regulasi histamine, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinophil akan sangat
meningkat melebihi normal.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka berikut beberapa masalah diantaranya adalah:
1. Apa definisi penyakit hipersensitivitas?
2. Bagaimana Etiologi penyakit hipersensitivitas?
3. Bagaimana pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi?
4. Bagaimana Patofisiologi dari penyakit hipersensitivitas?
5. Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas?
6. Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?
7. Bagaimana cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas?
8. Bagaimana diagnosa hipersensitivitas?
9. Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas?

C. TUJUAN MASALAH
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka mahasiswa mampu memahami dengan baik:
1. Definisi penyakit hipersensitivitas.
2. Etiologi penyakit hipersensitivitas.
3. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi.
4. Patofisiologi dari penyakit hipersensitivitas.
5. Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas.
6. Tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas.
7. Cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas.
8. Diagnosa hipersensitivitas.
9. Penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas.
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI HIPERSENSITIVITAS
Hipersensitivitas atau Alergi merupakan suatu kondisi respon imunitas yang
menimbulkan reaksi yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, yang berbahaya bagi penjamu.
Pada individu yang rentan, reaksi tersebut secara khas terjadi setelah kontak yang kedua dengan
antigen spesifik (alergen). Kontak yang pertama kali merupakan kejadian yang diperlukan untuk
menginduksi sensitisasi terhadap alergen tersebut.

B. ETIOLOGI
Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :
1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung,
enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA
sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi
kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai
masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan
setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen
bertambah.
2. Fator Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan),
faktor psikis (sedih, stress) atau
beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya:
ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan
reaksi alergi.
C. PEMBAGIAN REAKSI HIPERSENSITIVITAS MENURUT WAKTU TIMBULNYA REAKSI.
A. Reaksi Cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan beberapa detik dan menghilang dalam 2 jam. Ikatan
silang antara allergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi penglepasan mediator
vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis local.

B. Reaksi Intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini
melibatkan pembentukan kompleks imu IgG dan kerusakan melalui aktivasi komplemen dan atau
sel NK/ADCC. Manifestasi reaksi intermediet dapat berupa:
i. Reaksi transfuse darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun.
ii. Reaksi Arthus local dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrotis,
glomerulonephritis, artritis rheumatoid, dan LES.
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan
oleh sel NK

C. Reaksi Lambat
Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang
terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor
makrofage yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adlah dermatitis kontak,
reaksi M, tuberculosis dan reaksi penolakan tandur.

D. PATOFISIOLOGI DARI PENYAKIT HIPERSENSITIVITAS


Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua
kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan
mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang
akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan
melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami
paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,
sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel
mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin
tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit,
alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan
pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat
mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan
nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun,
kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian.

E. KLASIFIKASI PENYAKIT HIPERSENSITIVITAS.


Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell diklasifikasikan menjadi 4 tipe reaksi
berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian
Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.

1. Hipersensitivitas Tipe I
Hipersensitivitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik.
Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari
ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah
terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam.
Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada
reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah,
neutrofil, dan eosinofil.
Mekanisme umum dari hipersensitivitas tipe I ini meliputi langkah-langkah berikut ini.
Antigen menginduksi pembentukan antibody IgE, yang terikat kuat dengan reseptor pada sel
basofil dan sel mast melalui bagian Fc antibody tersebut. Beberapa saat kemudian, kontak yang
kedua dengan antigen yang sama mengakibatkan fiksasi antigen ke IgE yang terikat ke sel dan
pelepasan mediator yang aktif secara farmakologis dari sel tersebut dalam waktu beberapa menit.
Nukleotida siklik dan kalsium diperlukan dalam pelepasan mediator tersebut.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes
kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik
untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE
merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak
terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa
penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk
mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor
histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau
desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.

2. Hipersensitivitas Tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan
imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan
antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan
sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan
dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel
pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi
kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel
darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal).
3. Hipersensitivitas Tipe III
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan
adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini
ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-
antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya
fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi,
bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi
antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-
antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun.
Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan
di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-
paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan
menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau
glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus,
diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga
menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang
diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan
sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru
pembuat keju.

4. Hipersensitivitas Tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe
lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan
makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T,
sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang
terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas
pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
“Klasifikasi Gell dan Coombs yang dimodifikasi (tipe I - VII)”
Mekanisme Gejala Contoh
Tipe 1 : IgE Anafilaksis,uritkaria, Penisilin dan B-Lactam lain,
angioedema, mengi, hipotensi, enzim, antiserum, protamine,
nausea, muntah, sakit abdomen, heparin antibody, monoclonal,
diare. ekstrak allergen, insulin
Metamizol, fenotiazin.
Tipe 2 : sitotoksin (IgG dan IgM) Agranulositosis Metamizol, fenotiazin
Anemia Hemolitik Penisilin, sefalosporin,B-
Lactam, kinidin, metildopa.
Trombositopenia Karbamazepin, fenotiazin,
tiourasil, sulfonamide,
antikonvulsan, kinin, kinidin,
parasetol, sulfonamide,
propiltiourasil, preparat emas.
Tipe 3 : Komplex imun (IgG dan Panas, uritkaria, atralgia, B-lactam, sulfonamide, fenitoin,
IgM) limfadenopati. streptomisin.
Serum sickness Serum xenogenik, penisilin,
globulin anti-timosit.
Tipe 4 : Hipersensitivitas Seluler Eksim (juga sistemik), eritema, Penisilin, anestesi local,
lepuh, pruritus. antihistamin topical, neomisin,
pengawet, eksipien (lanolin,
paraben), desinfeksi.
Fotoalergi Salisilanilid, asam nalidilik.
Fixed drug eruption Barbiturat, Kinin.
Lesi makulopapular Penisilin, emas, barbiturate, B-
Blocker
Tipe 5 : Reaksi granuloma Granuloma Ekstrak allergen, kolagen larut.
Tipe 6 : Hipersensitivitas (LE yang diinduksi obat) Hidralazin, prokainamid
stimulasi Resisten insulins Antibodi pada insulin (IgG)
F. TANDA DAN GEJALA PENYAKIT HIPERSENSITIVITAS.
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis
sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul
rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas
berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus.
Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan
bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan
vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok
anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa
menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,
menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.

Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:


1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain.
gejala sering disertai pruritis.
2. Demam.
3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi.
4. Limfadenopati
a. kejang perut, mual
b. neuritis optic
c. glomerulonefritis
d. sindrom lupus eritematosus sistemik
e. gejala vaskulitis lain
Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti demam,
sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin,
nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
1. Pada saluran pernafasan : asma
2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

G. CARA PEMERIKSAAN FISIK HIPERSENSITIVITAS.


1. Inspeksi: apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya urtikaria,
angioderma, pruritus dan pembengkakan pada bibir.
2. Palpasi: ada nyeri tekan pada kemerahan.
3. Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan.
4. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang
menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)

H. DIAGNOSA HIPERSENSITIVITAS.
Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah
pertama yang harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu apakah pasien benar-benar
menderita penyakit alergi. Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan untuk mencari alergen
penyebab, selain juga faktor-faktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa tahapan berikut.
1. Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya keterkaitan
penyakit dengan alergi.
2. Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian
ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva,
nasofaring, dan paru. Pemeriksaan difokuskan pada manifestasi yang
timbul.
3. Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, namun
tidak untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan laboaratorium dapat
berupa hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel, serta penghitungan
serum IgE total dan IgE spesifik.
4. Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya
dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab
keluhan pasien.
5. Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung kepada
pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan
diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes
provokasi dapat berupa tes provokasi nasal dan tes provokasi bronkial

I. PENANGANAN ATAU TERAPI PENYAKIT HIPERSENSITIVITAS.


Penanganan gangguan alergi dapat dilakukan dengan cara:
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin (epinefrin, isoetarin,
isoproterenol, bitolterol) dan nonkatelomin (efedrin, albuterol, metaproterenol,
salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis
tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam,
menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan
menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di
berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif
mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini
merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot
polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak
efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma
alergika atau ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi.
Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau
intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal
mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema,
produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E
atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari
basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati
memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya
melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum
terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah
mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada
tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat,
sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Hipersensitivitas atau Alergi merupakan suatu kondisi respon imunitas yang menimbulkan reaksi
yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, yang berbahaya bagi penjamu. Factor yang berperan
menimbulkan reaksi hipersensitiv berasal dari internal yaitu Imaturitas usus secara fungsional, genetic, dan
mukosa dinding saluran cerna yang belum matang. Maupun factor eksternal yaitu factor pencetus (fisik,
psikis, beban latihan) dan makanan pemicu alergi.
Patofisiologi terjadi Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur) ke dalam
tubuh seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika
untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali
alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang
akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E).
Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell diklasifikasikan menjadi 4 tipe reaksi
berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway
dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.
Cara pemeriksaan pada reaksi hipersensitiv adalah dengan inspeksi apakah ada kemerahan, bentol-
bentol dan terdapat gejala adanya urtikaria, angioderma, pruritus dan pembengkakan pada bibir. Palpasi
yaitu adanya nyeri tekan pada kemerahan, Perkusi yaitu dengan mengetahui apakah diperut terdapat udara
atau cairan, dan Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada orang yang
menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)
Diagnosa terhadap hipersensitivitas dapat dilakukan dengan memperhatikan riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, tes kulit dan tes provokasi. Selain itu penanganan yang
dilakukan untuk reaksi hipersensitivitas adalah dengan menghindari allergen, terapi farmakologis (yaitu
dengan pemberian anti histamine, adrenergic, kromolin sodium, dan kortikosteroid.), imunoterapi, dan
profilaksis
B. SARAN
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan nya, kerena terbatas nya pengetahuan dan
kurang nya rujukan atau referensi yang ada hubungan nya dengan judul makalah ini.

Penulis banyak berharap para pembaca yang memberikan kritik dan saran yang membangun
kepada penulis demi sempurna nya makalah ini dan dan penulisan makalah dikesempatan-kesempatan
berikut nya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khusus nya juga para pembaca pada umum
nya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Stiehm ER. Immunologic disorders in infants and children. Edisi ke-3. Philadelphia: WB
Saunders, 1989.
2. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Disease caused by humoral and cell-mediated immune
reactions. Dalam: Cellular and molecular immunology. Philadelphia: WB Saunders, 1991; 353-
76.
3. Bellanti JA. Mechanism of tissue injury produced by immunologic reactions. Dalam: Bellanti
JA, penyunting. Immunology III. Philadelphia: WB Saunders, 1985; 218-60.
4. Roitt IM. Essential immunology; edisi ke-6. Oxford: Blackwell Scioentific, 1988; 233-67.
5. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders, 2004.
6. Buku Imunologi Dasar, reaksi hipersensitivitas, 369-397.
7. Baratawidjaja, Karnen G., 2006, Imunologi Dasar, Edisi Ke Tujuh, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
8. Brooks G. F., Butel J. S., dan Morse S. A., 2005, Mikrobiologi Kedoteran, Edisi Pertama, Salemba
Medika, Jakarta.
9. Price & Wilson, 2003, Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Vol 2, Edisi 6, EGC,
Jakarta.
10. Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, M., Setiati, S., 2007, Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai