Anda di halaman 1dari 20

EVALUASI ADVERSE DRUG REACTIONS (ADRs)

OBAT ANTITUBERKULOSIS PRIMER PADA PASIEN TB PARU


KASUS BARU DI RS X DI KARAWANG
NASKAH PUBLIKASI

Disusun sebagai salah satu syarat


Menyelesaikan Program Studi Strata I Farmasi
Universitas Buana Perjuangan Karawang

Oleh :
ANTON CAHYADI
NIM : 16416248201018

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS BUANA PERJUANGAN KARAWANG
HALAMAN PERSETUJUAN

EVALUASI ADVERSE DRUG REACTIONS (ADRs)


OBAT ANTITUBERKULOSIS PRIMER PADA PASIEN TB PARU
KASUS BARU DI RS X DI KARAWANG

EVALUATION OF ADVERSE DRUG REACTIONS (ADRs)


PRIMARY ANTITUBERCULOSIS DRUG IN NEW CASES LUNG TB
PATIENTS IN KARAWANG PRIVATE HOSPITALS

NASKAH PUBLIKASI ILMIAH

Oleh :
ANTON CAHYADI
NIM. 16416248201018

Karawang, November 2020


Telah diperiksa dan disetujui oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

apt. Surya Amal, M.Si apt. Himyatul Hidayah, M.Farm


NIDN : 0422048502 NIDN : 0708047005
Koordinator Tugas Akhir
apt. Himyatul Hidayah, M.Farm
NIDN : 0708047005
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa naskah publikasi ilmiah ini ditulis
berdasarkan hasil penelitian Tugas Akhir saya dibawah bimbingan dosen
pembimbing apt. Surya Amal, M.Si selaku pembimbing ke I dan apt. Himyatul
Hidayah, M.Farm selaku pembimbing ke II. Naskah ilmiah ini merupakan karya
ilmiah yang tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan
dalam Daftar Pustaka.
Untuk mendukung kepentingan publikasi ilmiah, saya tidak berkeberatan
apabila dikemudian hari dosen pembimbing saya mengembangkan naskah
publikasi ini dan secara bersama-sama menerbitkannya dijurnal ilmiah yang
relevan. Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya diatas,
maka akan saya pertanggung jawabkan sepenuhnya.

Karawang, November 2020

Penulis

Eriyanti Julyana
16416248201083
ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN TUBERKULOSIS DI
PUSKESMAS PANGKALAN KABUPATEN KARAWANG

₁ Julyana Eriyanti
₂ Arfania Maya
₃ Hidayah Himyatul

₁ Prodi Farmasi Universitas Buana Perjuangan Karawang


Fm16.eriyantijulyana@mhs.ubpkarawang.co.id

₂ Prodi Farmasi Universitas Buana Perjuangan Karawang

Maya.arfania@ubpkarawang.ac.id

₃ Prodi Farmasi Universitas Buana Perjuangan Karawang


Himyatul.hidayah@ubpkarawang.ac.id

ABSTRACT

Background: Tuberculosis is an infectious disease caused by the bacterium


Mycobacterium Tuberculosis. These bacteria are rod-shaped and are acid-resistant
so they are known as Acid Resistant Bacteria (BTA). Objective: To determine
whether there is a relationship between age, sex, education, and occupation with
the incidence of pulmonary tuberculosis in Public healht center Pangkalan,
Karawang district. Methods: This research is a quantitative study with an analytic
observational method using a correlation approach, namely to compare between
age, gender, education, and occupation. Data obtained from medical records of
Pangkalan, Karawang Regency, 2020. Data processing used the SPSS 24
program. Results: Risk factors for pulmonary tuberculosis include age, gender,
education, and occupation. The results of the bivariate analysis with the Chi
Square statistical test showed that the risk factor for pulmonary tuberculosis in the
Pangkalan Karawang district was education P Value (0.015). Conclusion:
education has a significant relationship with the incidence of pulmonary
tuberculosis in the Pangkalan Public health center Karawang district.
ABSTRAK

Latar Belakang : Penyakit Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang


disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri ini berbentuk
batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam
(BTA). Tujuan : Mengetahui adakah hubungan antara Usia, Jenis Kelamin,
Pendidikan, dan Pekerjaan dengan kejadian TB Paru di Pukesmas Pangkalan Kab
Karawang. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
metode observasional analitik menggunakan pendekatan kolerasi yaitu untuk
membandingkan antara Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, dan Pekerjaan. Data
yang diperoleh dari rekam medik Puskesmas Pangkalan Kab Karawang Tahun
2020. Pengolahan data menggunakan program SPSS 24. Hasil : Faktor risiko
kejadian TB Paru meliputi Usia, Jenis Kelamin, Pendidikan, dan Pekerjaan. Hasil
analisis bivariat dengan uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa faktor risiko
TB paru di puskesmas pangkalan kab karawang adalah pendidikan P Value
(0,015). Kesimpulan : Pendidikan memiliki hubungan yang bermakna dengan
Kejadian Tuberkulosi Paru Di Puskesmas Pangkalan Kabupaten Karawang.
LATAR BELAKANG
Penyakit Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan
bersifat tahan asam sehingga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA)
(Sari, dkk., 2014). Penyakit ini merupakan penyebab kecacatan dan kematian
hampir di sebagian besar negara di seluruh dunia (Widyono, 2011).

Tuberkulosis biasanya menyerang pari-paru, namun juga bisa berdampak


pada bagian tubuh lainnya. Tuberkulosis menyebar melalui udara ketika
seseorang dengan infeksi TB aktif batuk, besin, atau menyebarkan butiran
ludah mereka melalui udara. Infeksi TB pada umumnya bersifat asimtomatik
dan laten. Namun hanya satu dari sepuluh kasus infeksi laten yang
berkembang menjadi penyakit aktif. Bila tuberkulosis tidak diobati maka lebih
dari 50% orang yang terinfeksi bisa meninggal (Andareto, 2015).

Penyakit ini ditularkan melalui udara yaitu lewat percikan ludah, bersin
dan batuk yang mengandung basil tuberkulosis paru. Penyakit Tuberkulosis
Paru pada saat penderita batuk, butiran air ludah berterbangan di udara dan
terhirup oleh orang sehat, sehingga masuk ke dalam paru-parunya, yang
kemudian menyebabkan tuberkulosis paru. Sumber penularan utamanya
adalah pasien TB BTA positif sendiri. Pada waktu batuk atau bersin, pasien
menyebarkan kuman keudara dalam bentuk percikan dahak (Tony, 2009).

Bakteri akan berkembang biak dalam paru-paru terutama pada orang


yang memiliki daya tahan tubuh rendah. TBC dapat menyebar melalui
pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC
dapat menginfeksi hampir keseluruh organ tubuh lain, seperti paru-paru, otak
ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening. Meski demikian,
organ tubuh yang paling sering terkena ialah paru-paru (Sari, dkk., 2014).

Prevalensi kejadian Tuberkulosis berdasarkan diagnosis menunjukkan


angka 4% dari jumlah penduduk, hal ini memperlihatkan bahwa dari 100.000
penduduk yang ada di indonesia ternyata terdapat 400 orang yang telah di
diagnosis menderita Tuberkulosis oleh tenaga kesehatan. Salah satu upaya
yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI untuk mengendalikan penyakit
Tuberkulosis yaitu dengan melakukan pengobatan namun berdasarkan data
Kemenkes RI tahun 2013 menunjukkan bahwa dari sebanyak 194,853 orang
menderita Tuberkulosis paru di Indonesia dan tingkat kesembuhan untuk
pasien TB Paru hanya sebanyak 161,365 orang (82,80%) dengan pengobatan
lengkap hanya sebanyak 14, 964 kasus (7,70%) (Kemenkes RI, 2013).

Berdasarkan Global Report Tuberculosis 2013, terdapat 8,6 juta kasus


baru tuberkulosis pada tahun 2012, yang setara dengan 122 kasus per 100.000
penduduk. Sebagian besar kasus tersebut terdapat di Asia (58%) dan Afrika
(27%). Sedangkan yang lainnya berada di Mediterania Timur (8%), Eropa
(4%) dan Amerika (3%). Adapun 5 negara dengan insidensi kasus yang besar
adalah India (2 juta - 2,4 juta), China (0,9 juta - 1,1 juta), Afrika Selatan (0,4
juta - 0,6 juta), Indonesia (0,4 - 0,5 juta), dan Pakistan (0,3 - 0,5 juta).
Selama ini penyakit infeksi seperti TB diatasi dengan penggunaan
antibiotik. Rifampisin (RIF), Isoniazid (INH), Etambutol (EMB), streptomisin
dan pirazinamid (PZA) telah dimanfaatkan selama bertahun-tahun sebagai
anti-TB (Kemenkes RI, 2013).
Salah satu kunci dalam keberhasilan pengobatan TB yaitu kepatuhan
pasien. Penderita TB yang tidak patuh dalam pengobatan kemungkinan besar
disebabkan pemakaian obat jangka panjang, efek samping yang mungkin
timbul, dan kurangnya kesadaran penderita dan penyakitnya. Untuk
mendapatkan hasil pengobatan yang tepat perlu adanya pemantauan efek
samping obat. Semua pasien TB yang berobat seharusnya diberitahukan
tentang adanya efek samping obat anti tuberkulosis. Ini sangat penting
dilakukan agar pasien tidak salah paham yang bisa menimbulkan putus obat.
Sebagian besar penderita merasa tidak tahan terhadap efek samping OAT yang
dialami selama pengobatan.
Menurut Kemenkes RI bahwa pasien dapat saja mengalami efek
samping yang merugikan atau berat. Efek samping tersebut antara lain : tidak
ada nafsu makan, mual, muntah, sakit perut, pusing, sakit kepala, gatal-gatal,
nyeri sendi kesemutan, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, warna
kemerahan pada air seni (urine) (Kemenkes RI, 2014).
Menurut Ahmadi (2005) Faktor risiko yang berperan terhadap timbulnya
kejadian penyakit tuberkulosis paru dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu
faktor risiko kependudukan (jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, status
gizi) dan faktor risiko lingkungan (kepadatan hunian, ventilasi alamiah, suhu
dan kelembaban).
Umur penyakit Tuberkulosis Paru paling sering ditemukan pada usia
muda atau usia produktif, yaitu 15-50 tahun. Dewasa ini dengan terjadinya
transisi demografi, menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih
tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang
menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk
penyakit Tuberkulosis Paru (Naga, 2012).
Jenis kelamin pada laki-laki penyakit TB Paru lebih tinggi, karena rokok
dan minuman alkohol dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh. Sehingga
wajar jika perokok dan peminum beralkohol sering disebut sebagai agen dari
penyakit TB Paru (Naga, 2012).
Pendidikan merupakan segala upaya dan usaha yang dilakukan agar
masyarakat dapat mengembangkan segala potensi yang dimiliki baik dalam
bidang spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, serta
keterampilan atau skill agar siap terjun ke masyarakat (Rini, 2013). Tingkat
pendidikan seseorang akan mempengaruhi kejadian tuberkulosis. Semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan baik pula pengetahuan yang
didapat, khususnya dalam hal pencegahan atau preventif dalam bidang
kesehatan. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, akan aktif
dalam menyerap berbagai informasi yang akan menghasilkan keaktifan dalam
pemeliharaan kesehatan (Nurhanah, Amiruddin, & Abdullah, 2010). Seseorang
yang memiliki pengetahuan akan suatu topik ataupun hal, akan baik juga
dalam menyikapi hal tersebut. Pengetahuan dan sikap seseorang dalam
menyikapi hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti pengalaman,
fasilitas, dan pendidikan itu sendiri (Budi & Tuntun, 2013).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti melakukan penelitian mengenai
hubungan antara Usia, Jenis Kelamin, Pendidikan, dan Pekerjaan dengan
kejadian TB Paru di Puskesmas Pangkalan Kabupaten Karawang.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode
observasional analitik menggunakan pendekatan kolerasi yaitu untuk
membandingkan antara Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, dan Pekerjaan. Data
yang diperoleh dari rekam medik Puskesmas Pangkalan Kabupaten Karawang.

HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode
observasional analitik menggunakan pendekatan kolerasi yaitu untuk
membandingkan antara Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, dan Pekerjaan.
Pengolahan data dilakukan dengan menganalisa data menggunakan SPSS 24.
Diantaranya Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran
distribusi frekuensi dan proporsi dari variabel independent dan variabel
dependent. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua
variabel yaitu variabel independent dan variabel dependen dengan
menggunakan uji statistik yaitu ChiSquare dengan derajat kepercayaan 95% (α
= 5%) dan untuk mengetahui ada keeratan hubungan antara dua variabel
dengan melihat nilai Odd Ratio (OR). Besar kecilnya nilai OR menunjukkan
besarnya keeratan hubungan antara dua variabel yang diuji (Dahlan, 2011).

HASIL ANALISIS UNIVARIAT

Grafik 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Di Puskesmas Pangkalan


Kab Karawang Tahun 2020

Frequency

60

50

40
52
30
35
20
17
10

Berdasarkan data pada tabel diatas menunjukkan bahwa dari 52 responden


sebagian besar berumur dewasa berjumlah 35 orang (67,3%) sedangkan
Geriatri 17 orang (27,7%).

Grafik 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Di Puskesmas


Pangkalan Kab Karawang Tahun 2020
Frequency

60

50

40

30

20

10

Berdasarkan data pada tabel diatas menunjukkan bahwa dari 52 responden


sebagian besar berjenis kelamin laki-laki berjumlah 22 orang (42,3%)
sedangkan Perempuan 30 orang (57,7%).

Grafik 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan Di Puskesmas Pangkalan


Kab Karawang Tahun 2020

Frequency

60

50

40

30

20

10

Berdasarkan data pada tabel diatas menunjukkan bahwa dari 52 responden


sebagian besar berpendidikan SD berjumlah 28 orang (53,8%) SMP
berjumlah 11 orang (21,2%) sedangkan SMA 13 orang (25,0%).

Grafik 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan Di Puskesmas


Pangkalan Kab Karawang Tahun 2020
Frequency

60
50
40
52
30
33
20
19
10
0

Berdasarkan data pada tabel diatas menunjukkan bahwa dari 52 responden


sebagian besar bekerja berjumlah 19 orang (36,5%) sedangkan tidak bekerja
33 orang (63,5%).

HASIL ANALISIS BIVARIAT


Tabel 1.6 Hubungan Umur Dengan Kejadian TB Paru BTA+ di Puskesmas
Pangkalan Kabupaten Karawang Tahun 2020

TB PARU BTA+ Total  


(BTA +) (BTA -) P
Umur n % Valu
n % n %
e
Dewasa 15 78,9 4 21,1 19 100,0
0,175
Geriatri 20 60,6 13 39,4 33 100,0
Total 35 36,5 17 63,5 52 100,0  
Sumber : Data Primer, Tahun 2020
Berdasarkan tabel 1.6 menunjukkan bahwa terdapat 19 orang berada pada
usia Dewasa terdiri dari kasus sebanyak 15 orang (78,9%) dan kontrol sebanyak 4
orang (21,1%). Sedangkan pada usia Geriatri terdapat 33 orang terdiri dari kasus
sebanyak 20 orang (60,6%) dan kontrol sebanyak 13 orang (39,4%).
Berdasarkan hasil analisa tabel silang menggunakan chi square di dapatkan
nilai P value = 0,175 artinya P value > α (0,05), sehingga dengan α 5% dapat
disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara Umur dengan kejadian TB
Paru BTA +.
Namun penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan
oleh Versitaria (2011) yaitu terdapat hubungan antara umur dengan kejadian TB
Paru ( P = 0,025). Kelompok umur Menurut Tjandra Yoga dalam Manalu 2010
mengungkapkan bahwa indonesia sebagian besar penderita TB Paru sebesar 75%
adalah penduduk produktif yaitu antara 15-49 tahun.
Secara umum, diungkapkan oleh Naga (2012) bahwa tingkat atau derajat
penularan penyakit ini tergantung pada banyaknya basil tuberkulosis dalam
sputum, virulensi atas, basil dan peluang adanya pencemaran udara dari batuk,
bersin dan berbicara keras. Dan penyakit ini sangat peka dan tidak pandang bulu
pada segala lapisan umur baik bayi, balita, tua ataupun muda.

Tabel 1.7 Hubungan Jenis Kelamin Dengan Kejadian TB Paru BTA+ di


Puskesmas Pangkalan Kab Karawang Tahun 2020

TB PARU BTA+ Total  


(BTA +) (BTA -) P
Jenis Kelamin n % Valu
n % n % e
Laki-laki 9 47,4 13 39,4 22 100,0
0,575
Perempuan 10 39,4 20 60,6 30 100,0
Total 19 36,5 33 63,5 52 100,0  
Sumber : Data Primer, Tahun 2020
Berdasarkan tabel 1.7 menunjukkan bahwa terdapat 22 orang yang
berjanis kelamin Laki-laki terdiri dari kasus sebanyak 9 orang (47,4%) dan
kontrol sebanyak 13 orang (39,4%). Sedangkan yang berjenis kelamin Perempuan
terdapat 30 orang terdiri dari kasus sebanyak 10 orang (39,4%) dan kontrol
sebanyak 20 orang (60,6%).
“Berdasarkan hasil analisa tabel silang menggunakan chi square di dapatkan
nilai P value = 0,575 artinya P value > α (0,05), sehingga dengan α 5% dapat
disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara Jenis Kelamin dengan
kejadian TB Paru BTA +.”
Hal ini seperti yang ditemukan oleh Widjanarko dkk (2006) bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian TB paru (
P = 0,696). Hasil pengamatan yang ditemukan oleh Manalu (2010) penderita TB
paru mempunyai kebiasaan sering tidak menutup mulut pada saat batuk, yang
dapat membuat penularan TB pada orang-orang yang sehat disekitarnya serta
peningkatan kasus TB paru dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, status gizi,
kebersihan diri individu.
“Hasil penelitian ini seperti yang diungkapkan oleh Naga (2012) bahwa
pada laki-laki penyakit TB paru lebih tinggi dibandingkan pada perempuan karena
kebiasaan laki-laki yang sering merokok dan mengkonsumsi minuman yang
beralkohol yang dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh. Sehingga wajar bila
perokok dan peminum alkohol sering disebut sebagai agen dari penyakit TB Paru.
Perbedaan insiden penyakit menurut jenis kelamin seperti yang dikemukakan oleh
Noor (2008) dapat timbul karena bentuk anatomis, bentuk fisiologis dan sistem
hormonal yang berbeda. (Noor, 2008, Naga S, 2012).”

Tabel 1.8 Hubungan Pendidikan Dengan Kejadian TB Paru BTA+ di Puskesmas


Pangkalan Kab Karawang Tahun 2020

TB PARU BTA+ Total  


P
(BTA +) (BTA -) n %
Pendidikan Value
n % n %

SD 8 15,4 20 38,5 28 100,0


SMP 2 3,8 9 17,3 11 100,0 0,015

SMA 9 17,3 4 12,1 13 100,0

Total 19 36,5 33 63,5 52 100,0  


Sumber : Data Primer, Tahun 2020
Berdasarkan tabel 1.8 menunjukkan bahwa terdapat 28 orang SD terdiri
dari kasus sebanyak 8 orang (15,4%) dan kontrol sebanyak 20 orang (38,5%).
Sedangkan yang SMP terdapat 11 orang terdiri dari kasus sebanyak 2 orang
(3,8%) dan kontrol sebanyak 9orang (17,3%). Sedangkan yang SMA terdapat 13
orang terdiri dari kasus sebanyak 9 orang (17,3%) dan kontrol sebanyak 4 orang
(12,1%).
Berdasarkan hasil analisa tabel silang menggunakan chi square di dapatkan
nilai P value = 0,015 artinya P value < α (0,05), sehingga dengan α 5% dapat
disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara Pendidikan dengan kejadian TB
Paru BTA +.
“Menurut teori Lawrance Green, Tingkat Pendidikan merupakan salah satu
faktor predisposisi (faktor pemudah) dalam mewujudkan perilaku kesehatan
(Notoatmodjo S, 2012).”
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ridwan,
memiliki responden yang terdiri dari 83 orang berpendidikan rendah dan 33 orang
berpendidikan tinggi, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara tingkat pendidikan dengan kejadian TB di RSK Paru Palembang Periode
Januari-Desember 2010, dengan P Value sebesar 0,005, dan pasien memiliki
pendidikan rendah berisiko terkena penyakit TB 1,390 kali lebih besar
dibandingkan yang memiliki pendidikan tinggi. Hal ini membuktikan bahwa TB
tidak hanya menyerang kelompok usia produktif, namunjuga bisa menyerang
masyarakat yang memiliki pendidikan rendah, dan kelompok sosial ekonomi yang
rendah karena tingkat pendidikan itu sendiri dapat berpengaruh terhadap
pengetahuan terhadap tuberkulosis (Ridwan, Yanti & Sahfitri, 2012).
Pendidikan merupakan suatu proses pembelajaran yang bisa didapatkan
secara berkelanjutan, melalui pembelajaran dari lingkungan sekitar. Pendidikan
bisa dikatakan memadai jika seseorang atau pengajar menyampaikan pengetahuan
dari seseorang kepada orang lain, dengan penelitian yang dilakukan oleh Girsang
dan Tobing, didapatkan V Palue 0,000 yang berarti terdapat hubungan kejadian
penyakit tuberkulosis pada kelompok yang memiliki tingkat pendidikan rendah.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan bekembang pula pola
pikir seseorang, dan akan berujung kepada kesadaran dan kesehatan diri dan
keluarga (Girsang & Tobing, 2010). Melalui proses pendidikan, seseorang akan
mempelajari berbagai ilmu yang berujung akan menjadi tahu tentang banyak hal.
Masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, akan mudah menyerap
berbagai informasi dan juga mempengaruhi tingkat pendapatannya. Hal ini secara
tidak langsung akan mempengaruhi perbaikan status gizi maupun kesehatannya
sendiri (Nurhanah et al., 2010).
Berdasarkan penelitian Dyah Wulan, indikator pendidikan yang memiliki
nilai odds ratio (OR > 1) menyebutkan bahwa indikator pendidikan merupakan
faktor risiko terhadap kejadian TB. Hal ini didukung oleh penelitian lainnya yang
dilakukan di Afrika Selatan serta di reciffe, Brazil, membuktikan bahwa
pendidikan yang dilakukan kurang dari 9 tahun, tidak bisa membaca maupun
menulis merupakan salah satu dari faktor risiko sakit tuberkulosis itu sendiri
(Wardani, 2012). Hal ini dibuktikan oleh penelitian lainnya, yang menunjukkan
bahwa pasien TB dengan tingkat pendidikan dibawah 9 tahun memiliki hubungan
terhadap kejadian tuberkulosis, dan memiliki risiko 3,3 kali lebih besar (OR=3,33)
dibandingakan mereka yang berpendidikan lebih dari 9 tahun (Handriyo & Wulan,
2017). Upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan pendidikan pada
kelompok yang sudah memasuki usia wajib belajar ialah pendidikan nonformal.
Pendidikan nonformal adalah suatu kegiatan pembelajaran yang dilakukan diluar
sistem sekolah, dan dilakukan secara mandiri ataupun dalam kelompok besar.
Tujuan pendidikan nonformal itu sendiri adalah untuk meningkatkan keterampilan
dalam bidang tertentu, dan mengembangkan jiwa wirausaha yang mandiri
(Wardani, 2012).
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh oktavia, menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan kejadian
tuberkulosis paru dengan P Value 0,02. Tingkat pendidikan yang rendah berisiko
3,94 kali terkena penyakit tuberkulosis (OR=3,94). Hal ini menyebabkan tingkat
pendidikan juga akan mempengaruhi pengetahuan terhadap kondisi ataupun
syarat-syarat mengenai kriteria rumah sehat, pengetahuan terhadap penyakit
tuberkulosis, pencegahan, maupun pengobatan. Hal inilah yang akan
menyebabkan seseorang untuk mencoba mempunyai atau menerapkan perilaku
hidup bersih dan sehat (Oktavis, Mutahar, & Destriatania, 2016).

Tabel 1.9 Hubungan Pekerjaan Dengan Kejadian TB Paru BTA+ di Puskesmas


Pangkalan Kab Karawang Tahun 2020

TB PARU BTA+ Total  


P
(BTA +) (BTA -) n % Valu
Pekerjaan e
n % n %
Bekerja 10 52,6 9 47,4 19 100,0
0,067
Tidak Bekerja 9 27,3 24 72,7 33 100,0
Total 19 36,5 33 63,5 52 100,0  
Sumber : Data Primer, Tahun 2020
Berdasarkan tabel 1.9 menunjukkan bahwa terdapat 19 orang bekerja yang
terdiri dari kasus sebanyak 10 orang (52,6%) dan kontrol sebanyak 9 orang
(47,4%). Sedangkan yang Tidak Bekerja terdapat 33 orang terdiri dari kasus
sebanyak 9 orang (27,3%) dan kontrol sebanyak 24 orang (72,7%).
Berdasarkan hasil analisa tabel silang menggunakan chi square di dapatkan
nilai P value = 0,575 artinya P value > α (0,05), sehingga dengan α 5% dapat
disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara Pekerjaan dengan kejadian
TB Paru BTA +.
“Hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden ialah tidak bekerja.
Jika responden tidak bekerja maka akan mempengaruhi pemanfaatan pelayanan
kesehatan, pekerjaan seseorang juga akan dapat mencerminkan sedikit banyaknya
informasi yang diterima, informasi tersebut akan mempengaruhi seseorang dalam
mengambil keputusan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada,
penyediaan makanan bergizi, lingkungan rumah yang sehat serta pemeliharaan
status kesehatan. Hal ini dapat berpengaruh bagi jasmani, rohani, dan sosial
sehingga bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka dapat menurunkan status
kesehatan dimana daya tahan tubuh menurun sehingga mudah terserang
penyakit.”
“Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Arsin, dkk (2003), bahwa tidak
ada hubungan jenis pekerjaan responden dengan kejadian TB Paru di Makasar.”
“Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan
keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari
diantaranya konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan
mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga
yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan
dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota
keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan
untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru (Helda, 2009).”
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Bertin (2013) yang
menunjukkan Tidak didapatkan hubungan bermakna antara tingkat pendapatan,
jenis pekerjaan, terhadap kejadian TB Paru.
“Menurut Darmono (2007) faktor yang paling berpengaruh terhadap
kejadian TB Paru adalah sosial ekonomi. Sosial ekonomi yang rendah merupakan
keadaan yang mengarah pada kondisi rumah dan kodisi kerja yang buruk. Kondisi
ini dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena infeksi.”
“Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Rungu (2003). Sosial ekonomi
menduduki peringkat tertinggi faktor yang menyebabkan TB Paru. Pasien
Tuberculosis tidak mampu bekerja keras sehingga kehilangan penghasilanya.
Secara teratur ia harus pergi berobat sehingga membutuhkan biaya dan
menghabiskan waktu. Keluarganya turut menderita karena harus merawatnya dan
mungkin pula mengeluarkan uang lebih banyak dari biasanya. Keluarga penderita
tuberkulosis menghadapi resiko ketularan dan dengan demikian turut menderita
stress mental serta tersingkir dari kehidupan sosial. Karena penderita tuberkulosis
tidak lagi produktif, secara tidak langsung masyarakat harus menghasilkan
makanan serta uang untuk mempertahankan kehidupannya (Bennett, 2007).”
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Pangkalan Kabupaten
Karawang pada Bulan Juli-September 2020 tentang Faktor Risiko Kejadian
Tuberkulosis di Puskesmas Pangkalan dapat disimpulkan bahwa Pendidikan
memiliki hubungan yang bermakna dengan Kejadian Tuberkulosi Paru Di
Puskesmas Pangkalan Kabupaten Karawang.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F., 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta :
Universitas Indonesia.
Arafah, E.H,. 2015. Analisis Faktor Kejadian Tuberkulosis Paru Di Kecamatan
Tempe Kabupaten Wajo.
Dahlan, S.M,. 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam
Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Jakarta : Salemba Medika.
Jawetz, E, J. L. Melnick, E.A. Adelberg,. 2013. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi
25 Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Kemenkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 2014.
Kemenkes,. 2017,. Profil Kesehatan Indonesia 2016. Jakarta : Lementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2017., 2016,. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Direktoral Jenderal Pengendalian
Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta : Kemenkes RI.
Maksalmina,. Z. 2013. Faktor-faktor yang menyebabkan kejadian TB
(Tuberkulosis) Paru pada laki-laki di Wilayah Kerja Kedungwuni I
Kabupaten Pekalongan. Skripsi : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Pekangan Pekalongan.
Manalu, H. 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kejadian TB Paru dan
Upaya Penanggulangannya, Jurnal Ekologi dan Status Kesehatan. Vol.
9 No. 4, Desember 2010 : 1340-1346
(http://bpk.litbangdepkes.go.id/index.php/jek/article/view/1598/pdf)
Diakses pada 25 November 2014.
Naga, S. 2012. Ilme Penyakit Dalam. Yogyakarta: DIVA press.
Nainggoalan, H.R.N., 2013. Faktor yang Berhubungan dengan Kegagalan
Konversi Pasien TB Paru Kategori I pada Akhir Pengobatan Fase Intensif
di Kota Medan. (Jurnal Elektronik) diakses 11 Desember 2017.
(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/37972).
Noor, N. 2008. Epidemologi Penyakit Menular. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Notoatmodjo Soekidjo. 2005. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta.
Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu & Seni. Jakarta : Rineka
Cipta.
Pertiwi., R.N. Wuryanto., M., dan Sutiningsih., D. 2012. Hubungan antara
Karakteristik Individu, Praktik Hygiene dan Sanitasi Lingkungan dengan
Kejadian Tuberkulosis di Kecamatan Semarang Utara Tahun 2011.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol 1, No. 2.
Rab, T., 2010. Ilmu Penyakit Paru Jakarta. Trans Info Media.
Retnaningsih, (2010). Model Prediksi Faktor Risiko TB Paru Kontak Serumah
untuk Perencanaan Program di Kabupaten OKU Provinsi Sumatera
Selatan tahun 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian
dalam negeri. Jakar.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sutiningsih, (2012). Hubungan Antara Karakteristik Individu. Praktik Hygiene
Dan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Tuberculosis Di Kecamatan
Semarang Utara Tahun 2011. JURNAL KESEHATAN
MASYARAKAT, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 435-445
Online di (http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm).
Versitaria, U. H., Kusnoputranto, H. 2011. Tuberkulosis Paru di Palembang
Sumatera Selatan. Jurnal kesehatan masyarakat nasional Volume 5
nomor 5.
WHO, 2004. Stopping tuberkulosis. WHO Region Office South of Asia. New
Delhi.
Widiyomo, 2008. Penyakit Tropis Epidemologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Surabaya: Airlangga University Press.
Word Health Organization (WHO),. Factsheets of Tuberkulosis. (Online) Diakses
30 September 2017.
(http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/).
Word Health Organization (WHO)., Global Tuberkulosis Report 2017.
(Elektronik). Diakses media 30 September 2017
(http://www.who.int/tb/publications/global.report/gtbr2017maintext.df).

Anda mungkin juga menyukai