Anda di halaman 1dari 71

SKRIPSI

KARAKTERISTIK INFEKSI METHICILIN


RESISTANT STAPHYLOCOCCUS AUREUS (MRSA)
PADA PASIEN RAWAT INAP RUMAH SAKIT BALI
MANDARA TAHUN 2018 - 2019

I MADE YOGISWARA KARANG

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
SKRIPSI

KARAKTERISTIK INFEKSI METHICILIN


RESISTANT STAPHYLOCOCCUS AUREUS (MRSA)
PADA PASIEN RAWAT INAP RUMAH SAKIT BALI
MANDARA TAHUN 2018 - 2019

I MADE YOGISWARA KARANG


NIM 1702511140

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR

2020
i
KARAKTERISTIK INFEKSI METHICILIN
RESISTANT STAPHYLOCOCCUS AUREUS (MRSA)
PADA PASIEN RAWAT INAP RUMAH SAKIT BALI
MANDARA TAHUN 2018 - 2019

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI


PADA TANGGAL 24 NOVEMBER 2020

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. dr. Komang Januartha Putra Pinatih, M.Kes Dr. dr. Ni Nyoman SriBudayanti,Sp.MK
NIP. 196701221996011001 NIP. 196810231998022001

Mengetahui,
Ketua Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,

Dr. dr. Komang Januartha Putra Pinatih, M.Kes.


NIP. 19670221996011001

Halaman Penetapan Panitia Penguji Usulan Penelitian

ii
Halaman Penetapan Panitia Penguji Usulan Penelitian

Usulan Penelitian Ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji
pada Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter Pendidikan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana
pada Tanggal 26 November 2020

Panitia Penguji Usulan Penelitian Skripsi adalah:


Ketua : dr. Ni Nengah Dwi Fatmawati, S. Ked, Sp.MK.,Ph.D.
Anggota :
1. Dr. dr. Komang Januartha Putra Pinatih, M.Kes
2. Dr. dr. Ni Nyoman Sri Budayanti,Sp.MK

iii
KATA PENGANTAR

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan

Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat-Nya, laporan skripsi yang berjudul

“Karakteristik Infeksi Methicilin Resistant Staphylococcus aureus Pada Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Bali Mandara Tahun 2018-2019” ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada Dr. dr. Komang Januartha Putra Pinatih, M.Kes

sebagai pembimbing I dan Dr. dr. Ni Nyoman Sri Budayanti,Sp.MK sebagai

pembimbing II yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan dan

saran selama penyelesaian kajian pustaka ini. Ucapan terima kasih juga penulis

sampaikan kepada dr. Ni Nengah Dwi Fatmawati, S. Ked, Sp.MK.,Ph.D. sebagai

penguji yang telah menguji dengan memberikan kritik dan saran. Terima kasih

kepada rekan mahasiswa dan keluarga penulis yang telah memberikan semangat

dan dorongan selama menyelesaikan kajian pustaka ini. Tanpa semua pihak yang

telah membantu, maka kajian pustaka ini tidak akan terselesaikan dengan baik.

Harapan penulis semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya

kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian kajian pustaka ini.

Akhir kata, semoga usulan penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam

perkembangan pendidikan kedokteran di bidang mikrobiologi dan meningkatkan

pengetahuan bagi pembaca.

Denpasar, November 2020

Penulis

iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
tulis yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan
tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila kemudian hari terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin


atau meniru tulisan orang lain sebagai pemikiran saya sendiri, maka gelar dan ijazah
yang telah diberikan oleh universitas batal saya terima.

Denpasar, 23 November 2020


Yang menyatakan

I Made Yogiswara Karang


NIM 1702511140

v
KARAKTERISTIK INFEKSI METHICILIN RESISANT
STAPHYLOCOCCUS AUREUS (MRSA) PADA PASIEN RAWAT INAP
RUMAH SAKIT BALI MANDARA TAHUN 2018 - 2019
I Made Yogiswara Karang1, Komang Januartha Putra Pinatih2, Ni Nyoman Sri
Budayanti2
1. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
2. Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
e-mail: karang.suara@me.com

ABSTRAK

Pendahuluan : Seiring perkembangan ilmu mengenai pengelolaan lingkungan


rumah sakit, angka kasus infeksi mrsa justru mengalami kenaikan. Terlepas dari
apakah infeksi tersebut merupakan infeksi mrsa nosokomial (HA-MRSA) atau
infeksi dapatan komunitas (CA-MRSA). Namun, HA-MRSA telah dilaporkan
memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan CA-MRSA. Oleh sebab itu,
saya bertujuan untuk menggambarkan karakteristik pasien infeksi MRSA,
berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat penyakit, lama rawat inap,
pemberian antibiotik, dan tindakan invasif di Rumah Sakit Bali Mandara, sehingga
kedepannya diharapkan dapat membantu petugas kesehatan masyarakat dalam
pengelolaan pasien dengan infeksi MRSA khususnya di Denpasar.

Metode : Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mendapatkan 12 data rekam


medis pasien infeksi MRSA di Rumah Sakit Bali Mandara. Metode pengumpulan
sampel ini adalah menggunakan metode total sampling dimana seluruh populasi
sampel diambil dan dimasukan kriteria inklusi dan eksklusi.

Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang dirawat di Ruang Rawat
Inap RSUD Bali Mandara didominasi oleh perempuan dengan proporsi sebesar
58,3% dan 41,7% berjenis kelamin laki-laki. Pasien dengan usia diatas 64 tahun
memiliki proporsi yang paling tinggi (33,3%). Pasien dengan penyakit penyerta
diabetes mellitus ditemukan paling banyak (50%). Sebanyak 83,3% dari 12 sampel
memiliki rentang lama perawatan lebih dari 2 hari dengan rata rata sebesar 8 hari.
Antibiotik golongan sefalosporin adalah antibiotik yang digunakan paling sering
pada kasus MRSA di RSUD Bali Mandara. Seluruh sampel (100%) menggunakan
antibiotik golongan ini. Tindakan invasif terapeutik lebih sering ditemukan pada
kasus infeksi MRSA dengan proporsi (83,3%) dan (50,0%) dengan tindakan invasif
diagnostik.
Simpulan : Kasus infeksi mrsa di Rumah Sakit Bali Mandara pada tahun 2018-
2019 paling banyak merupakan perempuan dengan rentang umur diatas 64 tahun
memiliki penyakit komorbid diabetes melitus.

Kata kunci: Staphylococcus aureus, MRSA, Methicillin Resistant


Staphylococcus aureus, HA-MRSA,

vi
ABSTRACT
Introduction: Along with the development of science regarding the management
of hospital environments, the number of cases of mrsa infection has actually
increased. Regardless of whether the infection is a nosocomial mass infection (HA-
MRSA) or community acquired infection (CA-MRSA). However, HA-MRSA has
been reported to have a worse prognosis than CA-MRSA. Therefore, I aim to
describe the characteristics of MRSA infection patients, based on age, sex,
occupation, history of disease, length of stay, antibiotics, and invasive measures at
Bali Mandara Hospital, so that in the future it is hoped that it can help public health
workers in managing patients with MRSA infection especially in Denpasar.

Methods: In conducting this study, researchers obtained 12 medical records of


MRSA infection patients at Bali Mandara Hospital. The sample collection method
used in this research is a total sampling method in which the entire sample
population is taken and entered into inclusion and exclusion criteria.

Results: The results showed that the patients treated in the Inpatient Room at the
Bali Mandara Hospital were dominated by women with the proportion of 58.3%
and 41.7% male. Patients over 64 years of age had the highest proportion (33.3%).
Patients with comorbidities diabetes mellitus were found to be the most (50%). As
many as 83.3% of the 12 samples had a length of treatment of more than 2 days
with an average of 8 days. Cephalosporin antibiotics are the antibiotics used most
often in cases of MRSA at Bali Mandara Hospital. All samples (100%) used this
class of antibiotics. Therapeutic invasive measures were more frequently found in
cases of MRSA infection with a proportion (83.3%) and (50.0%) with diagnostic
invasive measures.

Conclusion: Most cases of mrsa infection at Bali Mandara Hospital in 2018-2019


were women with an age range over 64 years who had comorbid diabetes mellitus.

Keyword: Staphylococcus aureus, MRSA, Methicillin Resistant


Staphylococcus aureus, HA-MRSA,

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. ii


PENETAPAN PANITIA PENGUJI .................................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI .................................... v
ABSTRAK ......................................................................................................... vi
ABSTRACT ...................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ......................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG .................................................................. 1
1.2 RUMUSAN MASALAH .............................................................. 3
1.3 TUJUAN PENELITIAN ............................................................... 3
1.3.1 TUJUAN UMUM ............................................................. 3
1.3.2 TUJUAN KHUSUS .......................................................... 3
1.4 MANFAAT PENELITIAN ........................................................... 3
1.4.1 MANFAAT BAGI PENELITI .......................................... 3
1.4.2 MANFAAT BAGI PENELITI SELANJUTNYA .............. 3
1.4.3 MANFAAT BAGI MASYARAKAT ................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 5


2.1 STAPHYLOCOCCUS AUREUS .................................................... 5
2.1.1 DEFINISI STAPHYLOCOCCUS AUREUS ..................... 5
2.1.2 EPIDEMIOLOGI STAPHYLOCOCCUS AUREUS ......... 6
2.1.3 PATOFISIOLOGI STAPHYLOCCUS AUREUS ............. 7
2.2 RESISTENSI ANTIBIOTIKA .................................................... 10
2.2.1 DEFINISI RESISTENSI ANTIBIOTIKA ....................... 10
2.2.2 MEKANISME RESISTENSI ANTIBIOTIKA ............... 13
2.3 METHICILLIN RESISTANT STAPHYLOCOCCU AUREUS ....... 15
2.3.1 DEFINISI MRSA ............................................................ 15

viii
2.3.2 MEKANISME MRSA .................................................... 17
2.3.2.1 STAPHYLOCOCCAL CASSETE
CHROMOSOME ................................................. 17
2.3.2.2 mecA.................................................................... 18
2.3.3 IDENTIFIKASI .............................................................. 19
2.4 HOSPITAL ACQUIRED INFECTION ........................................ 20
2.4.1 DEFINISI HOSPITAL ACQUIRED INFECTION .......... 20
2.4.2 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ............................ 21
BAB III KERANGKA DAN KONSEP PENELITIAN ...................................... 18
3.1 KERANGKA BERFIKIR ........................................................... 24
3.2 KONSEP PENELITIAN ............................................................. 25
BAB IV METODE PENELITIAN ..................................................................... 26
4.1 RANCANGAN PENELITIAN ................................................... 26
4.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN ..................................... 26
4.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN ................................ 26
4.3.1 POPULASI TARGET ..................................................... 26
4.3.2 POPULASI TERJANGKAU ........................................... 26
4.4 SAMPEL PENELITIAN............................................................. 27
4.4.1 KRITERIA INKLUSI ..................................................... 27
4.4.2 KRITERIA EKSLUSI ..................................................... 27
4.5 TEKNIK PENGUMPULAN SAMPEL PENELITIAN ............... 27
4.6 VARIABEL PENELITIAN ........................................................ 27
4.7 DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL ................................... 27
4.8 INSTRUMEN PENELITIAN ..................................................... 31
4.9 CARA PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA ...................... 31
4.10 ALUR PENELITIAN ................................................................. 32
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 27
5.1 HASIL PENELITIAN ................................................................ 33
5.1.1 KARAKTERISTIK SAMPEL ......................................... 33
5.1.2 KARAKTERISTIK PASIEN INFEKSI MRSA
BERDASARKAN JENIS KELAMIN ............................. 35

ix
5.1.3 KARAKTERISTIK PASIEN INFEKSI MRSA
BERDASARKAN USIA ................................................. 36
5.1.4 KARAKTERISTIK PASIEN INFEKSI MRSA
BERDASARKAN PEKERJAAN .................................... 36
5.1.5 KARAKTERISTIK PASIEN INFEKSI MRSA
BERDASARKAN RIWAYAT PENYAKIT ................... 37
5.1.6 KARAKTERISTIK PASIEN INFEKSI MRSA
BERDASARKAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK ........ 37
5.1.7 KARAKTERISTIK PASIEN INFEKSI MRSA
BERDASARKAN TINDAKAN INVASIF ..................... 38
5.1.8 KARAKTERISTIK PASIEN INFEKSI MRSA
BERDASARKAN LAMA RAWAT INAP ..................... 39
5.2 PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ..................................... 39
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 44
6.1 SIMPULAN ............................................................................... 44
6.2 SARAN ...................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 46
LAMPIRAN

x
DAFTAR GAMBAR

2.1 GRAFIK KASUS INFEKSI DAN KEMATIAN MRSA DI AS............. 16


3.1 KERANGKA KONSEP PENELITIAN .................................................. 25
4.1 SKEMA ALUR PENELITIAN .............................................................. 32
5.1 KARAKTERISTIK PASIEN INFEKSI MRSA BERDASARKAN JENIS
KELAMIN ............................................................................................. 35
5.2 KARAKTERISTIK PASIEN INFEKSI MRSA BERDASARKAN
USIA ...................................................................................................... 36
5.3 KARAKTERISTIK PASIEN INFEKSI MRSA BERDASARKAN
PEKERJAAN ........................................................................................ .36
5.4 KARAKTERISTIK PASIEN INFEKSI MRSA BERDASARKAN
RIWAYAT PENYAKIT ........................................................................ 37
5.5 KARAKTERISTIK PASIEN INFEKSI MRSA BERDASARKAN
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK ............................................................. 38

5.6 KARAKTERISTIK PASIEN INFEKSI MRSA BERDASARKAN


RIWAYAT TINDAKAN INVASIF ....................................................... 38
5.5 KARAKTERISTIK PASIEN INFEKSI MRSA BERDASARKAN LAMA
RAWAT INAP....................................................................................... 39

xi
DAFTAR TABEL

2.1 TABEL PERBEDAAN HA-MRSA DENGAN CA-MRSA .................... 20


2.2 TABEL DISTRIBUSI FREKUENSI KARAKTERISTIK PASIEN
DENGAN INFEKSI MRSA DI RUMAH SAKIT BALI MANDARA .... 33

xii
DAFTAR SINGKATAN

MRSA : Methicillin Resistant Staphylococcus aureus

HA-MRSA : Hospital Acquired Methicilin Resistant Staphylococcus

aureus

CA-MRSA : Community Acquired Methicillin Resistant

Staphylococcus aureus

PBP : Penicilin Binding Protein

SCC : Staphylococcal Cassete Chromosome

AIDS : Acquired Immuno-deficiency Syndrome

WHO : World Health Organisation

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak ditemukan pada tahun 1910 oleh Paul Enrich, antibiotik menjadi obat

yang diketahui telah menyelamatkan jutaan umat di dunia. Antibiotik terbukti

memberi kontribusi yang signifikan dalam membatasi jumlah mortalitas dan

morbiditas yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Infeksi yang disebabkan oleh

bakteri seperti mikobakterium, stafilokokus, streptokokus, enterokokus dan

sebagainya dapat diatas dengan mudah karena antibiotik. Tidak hanya untuk

mengobati, antibiotik juga dapat dipakai sebagai profilaksis guna mencegah

munculnya infeksi bakteri yang ditimbulkan oleh luka pasca operasi. Oleh karena

kemampuannya yang dapat mencegah dan mengobati infeksi, antibiotik mengalami

peningkatan luar biasa dalam hal penggunaan (Frieri, 2011).

Namun, penggunaan antibiotik seringkali disalahgunakan. Hal ini menjadikan

pengunaan antibiotik ke arah yang tidak tepat ataupun tidak rasional untuk penyakit

yang tidak memerlukan penanganan antibiotik. Akibatnya, telah terjadi

perkembangan bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Infeksi oleh bakteri yang

resisten terhadap antibiotik akan sangat membahayakan nyawa pasien. Karenanya,

penanganan infeksi tersebut menjadi sulit diobati dan berpengaruh terhadap biaya

pelayanan kesehatan (Frieri, 2011; Sakoulas-Mollering, 2008).

Kemampuan bakteri untuk menjadi kebal terhadap antibiotik disebut dengan

Resistensi Antibiotik. Resistensi antibiotik telah menjadi salah satu permasalahan

besar dalam dunia kesehatan. Resistensi antibiotik ini dipengaruhi oleh beberapa

1
faktor, diantaranya adalah meningkatnya frekuensi penggunaan antibiotik dalam

pengobatan penyakit. Faktor lainnya adalah pengembangan golongan antibiotik,

yang akan menyebabkan bakteri semakin mudah resisten terhadap penggunaan

antibiotik di waktu yang akan datang. Salah satu bentuk dari resistensi antibiotik

yang cukup meresahkan adalah munculnya resistensi bakteri Staphylococcus

aureus terhadap antibiotik golongan penisilin atau biasa disebut dengan bakteri

Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (Frieri, 2011; Sakoulas-Mollering,

2008; Gould, 2009)

Pada tahun 1940-an dan 1950-an, infeksi Staphylococcus aureus, yang pada

awal ditemukan diakibatkan oleh infeksi nosoklomial pada luka operasi superficial,

dapat diobati dengan sukses hanya dengan menggunakan penisilin. Namun saat ini,

karena pemberian antibiotik untuk treatment infeksi Staphylococcus aureus seperti

penisilin yang berlebihan dan tidak rasional, hampir semua galur telah resisten

terhadap penisilin, dan banyak yang resisten terhadap nafsilin, hanya menyisakan

pilihan antibiotik spektrum sempit, seperti vankomisin, yang masih berguna untuk

pengobatan (Laura, 2009)

MRSA adalah bakteri Staphylococcus aureus yang menjadi kebal atau

resisten terhadap antibiotik jenis metisilin. MRSA mengalami resistensi karena

perubahan genetik yang disebabkan oleh paparan terapi antibiotik yang tidak

rasional. Oleh sebab itu sangat penting untuk mempelajari faktor predisposisi yang

terkait dengan infeksi MRSA baik itu MRSA nosokomial maupun MRSA

komunitas. (Laura, 2009)

2
1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah distribusi frekuensi pasien MRSA berdasarkan usia, jenis kelamin,

pekerjaan, riwayat penyakit, lama rawat inap, pemberian antibiotik, dan tindakan

invasif, berdasarkan pemeriksaan di RSUD Bali Mandara periode 2018 – 2019?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui profil pasien MRSA di RSUD Bali Mandara periode

2018 – 2019.

1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui distribusi pasien MRSA menurut faktor predisposisi

yang berupa usia, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat penyakit, lama rawat inap,

pemberian antibiotik, dan tindakan invasif, di RSUD Bali Mandara periode 2018 –

2019

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberikan pengetahuan dan wawasan mengenai gambaran

karakteristik infeksi MRSA di RSUD Bali Mandara, berdasarkan usia, jenis

kelamin, pekerjaan, riwayat penyakit, lama rawat inap, pemberian antibiotik, dan

tindakan invasif, periode 2018 – 2019

2. Memberikan informasi kepada petugas bidang kesehatan masyarakat

yang dapat digunakan untuk merencanakan program ataupun strategi dalam upaya

peningkatan pelayanan kesehatan bagi pasien MRSA.

3
3. Mendorong untuk diadakannya penelitian lebih lanjut mengenai infeksi

MRSA dan memberikan informasi untuk pengembangan pengetahuan dan acuan

kepustakaan, serta dapat menjadi dasar untuk pengembangan penelitian analitik

selanjutnya.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Staphylococcus aureus

A. Definisi

Bakteri Staphylococcus aureus berasal dari kata Staphylo (buah

anggur) dan coccus (bulat). Bakteri sering ditemukan sebagai flora normal

di kulit dan selaput lendir pada manusia. Beberapa jenis bakteri ini dapat

membuat enderotoksin yang menyebabkan keracunan.

Bakteri Staphylococcus aureus adalah bakteri patogen, penyebab penyakit

radang di kulit dan menimbulkan bisul yang bernanah disebut

abses (Jawetz, 2012; Dellinger, 2016).

Bakteri ini sering ditemukan pada makanan-makanan yang

mengandung protein. Enterotoksin yang diproduksi oleh Staphylococcus

aureus bersifat tahan panas dan masih aktif setelah dipanaskan pada suhu

100°C selama 30 menit (Jawetz, 2012).

S. aureus adalah bakteri patogen manusia yang dapat menyebabkan

berbagai masalah klinis. Infeksi umumnya terjadi baik di komunitas

ataupun di rumah sakit. Penanganan infeksi Staphylococcus aureus tetap

menjadi tantangan karena munculnya galur resisten antibiotika seperti

MRSA. S.aureus pada umumnya ditemukan di lingkungan dan dapat juga

ditemukan sebagai bakteri flora normal manusia, yang terletak di kulit dan

selaput lendir terutama pada mukosa hidung. Staphylococcus aureus

biasanya tidak menyebabkan infeksi pada kulit yang sehat, namun jika

5
dibiarkan memasuki aliran darah atau jaringan internal, bakteri ini dapat

menyebabkan berbagai infeksi yang berpotensi serius. Penyebaran biasanya

berasal dari kontak langsung. Namun, beberapa infeksi melibatkan metode

transmisi lain (Rasigade, 2014).

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram-positif (berwarna

ungu dengan pewarnaan Gram) yang berbentuk cocci dan digolongkan

dalam kelompok yang berbentuk "seperti anggur." Pada media agar, koloni

ini sering berwarna keemasan atau kuning (aureus berarti emas atau

kuning). Organisme ini dapat tumbuh secara aerobik dan anaerob

(fakultatif) dan pada suhu antara 18 C atau 40 C. Tes identifikasi biokimia

yang khas termasuk koagulase positif (untuk membedakan S. aureus dari

spesies S. aureus lainnya), novobiocin sensitif (untuk membedakan dari

Staphylococcus saprophyticus), dan manitol fermentasi positif (untuk

membedakan dari Staphylococcus epidermidis) (Taylor, 2017).

B. Epidemiologi

Staphylococcus aureus sering ditemukan pada kulit dan selaput

lendir. Diperkirakan bahwa setengah dari semua orang dewasa

terkolonisasi, dan sekitar 15% dari populasi membawa Staphylococcus

aureus di nares anterior. Beberapa populasi cenderung memiliki tingkat

kolonisasi Staphylococcus aureus yang lebih tinggi hingga 80%, seperti

pekerja perawatan kesehatan, orang-orang yang menggunakan jarum secara

teratur, pasien rawat inap, dan individu immunocompromised. S. aureus

6
dapat ditularkan dari individu ke individu melalui kontak langsung atau

dengan fomites (Tong et al., 2015).

C. Patofisiologi

Staphylococcus aureus adalah salah satu infeksi bakteri yang paling

umum pada manusia. Bakteri ini merupakan agen penyebab beberapa

infeksi manusia. Infeksi ini termasuk bakteremia, infeksi endokarditis,

infeksi kulit dan jaringan lunak seperti, impetigo, folikulitis, furunkel, bisul,

selulitis, sindrom kulit tersiram air, dan lainnya. Hal ini bergantung pada

galur yang terlibat dan tempat infeksi. Bakteri ini dapat menyebabkan

infeksi invasif dan penyakit yang diperantarai oleh toksin. Patofisiologi

sangat bervariasi tergantung pada jenis infeksi Staphylococcus aureus.

Mekanisme untuk penghindaran respon imun pejamu meliputi produksi

kapsul antiphagocytic, sekuestrasi dari antibodi inang atau masking antigen

oleh Protein A, pembentukan biofilm, kelangsungan hidup intraseluler, dan

pemblokiran chemotaxis dari leukosit. Pengikatan bakteri untuk protein

matriks ekstraseluler dan fibronektin pada endokarditis infeksius

diperantarai oleh protein yang terkait dengan dinding sel bakteri seperti

protein pengikat fibrinogen, faktor penggumpalan, dan asam teikoat. Selain

itu, Toxic Shock Syndrome Toxin -1 (TSST-1) superantigen Staphylococcal

yang merupakan faktor virulensi penting dalam endokarditis infeksiosa,

sepsis, serta sindrom syok toksik. Infeksi pneumonia berhubungan dengan

produksi bakteri Panton-Valentine leukocidin (PVL), Protein A, dan alpha-

7
hemolysin, dan infeksi lebih umum terjadi setelah infeksi virus influenza

serta diagnosis Cystic Fibrosis (Taylor, 2017).

Staphylococcus aureus dapat menimbulkan penyakit melalui

kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan

berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor

virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin, contohnya :

1. Katalase 


Salah satu dari enzim yang dihasilkan, adalah katalase yang sangat berguna

dalam membedakan staphylococci dari streptococci. Katalase berada di

antara beberapa organisme yang dapat tumbuh dengan oksigen. Hal ini

mendorong konversi hidrogen peroksida, agen pengoksidasi kuat dan

berpotensi membahayakan, air dan molekul oksigen. Sehingga fungsi utama

katalase dalam sel adalah untuk mencegah akumulasi tingkat toksik

hidrogen peroksida yang terbentuk sebagai produk sampingan dari proses

metabolisme — terutama dari jalur transpor elektron. (Mustafa, 2014)

2. Koagulase


Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena

adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim

tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas

penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel

bakteri yang dapat menghambat fagositosis (Mc Adow et al., 2012).

3. Hemolisin

Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis

di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa

8
hemolisin, beta hemolisin, dan delta hemolisin. Alfa hemolisin adalah toksin

yang bertanggung jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar

koloni S. aureus pada medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan

nekrosis pada kulit hewan dan manusia. Beta hemolisin adalah toksin yang

terutama dihasilkan Stafilokokus yang diisolasi dari hewan, yang

menyebabkan lisis pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta

hemolisin adalah toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan

kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba

(Vandenesch et al., 2012).

4. Panton Valentine leukocidin (PVL)


Studi klinis mengusulkan eksotoksin Panton-Valentine leukocidin (PVL)

sebagai faktor virulensi penting dalam nekrosis penyakit. PVL adalah dua

komponen racun pembentuk pori, yang bekerja terutama pada neutrofil. Hal

ini diungkapkan oleh hanya sebagian kecil dari S. aureus tipe liar isolat (2-

3%), tetapi sangat lazim di S. aureus yang diisolasi dari infeksi nekrosis.

Namun, beberapa studi yang menggunakan keragaman model hewan telah

menciptakan hasil yang bertentangan mengenai peran PVL. Satu studi,

menerapkan model radang paru akut tikus, menunjukkan PVL sebagai

faktor virulensi utama (Loffler, 2010).

5. Toksin eksfoliatif


Toksin eksfoliatif, juga dikenal sebagai racun "epidermolitik", adalah faktor

virulensi yang sangat menarik dari S. aureus. Protein serin yang sangat

spesifik ini mengenali dan membelah kadaster desmosomal hanya di lapisan

permukaan kulit, yang secara langsung bertanggung jawab untuk

9
manifestasi klinis dari Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS).

Terdapat dua serotipe dari Toksin Eksofoliatif yaitu ETA dan ETB. ETA

lebih sering ditemukan, dan dinyatakan oleh lebih dari 80% dari galur

penghasil racun. Hanya di Jepang, galur produksi ETB lebih umum daripada

yang mengekspresikan ETA (Bukowski et al., 2010)

6. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST) 


Toxic shock syndrome Toxin (TSST) adalah penyakit akut, multi-sistem,

dimediasi oleh toksin dan seringkali menyebabkan kegagalan multi-organ.

Ini merupakan ekspresi yang paling fulminan dari spektrum penyakit yang

disebabkan oleh strain penghasil racun dari Staphylococcus aureus dan

Streptococcus pyogenes (kelompok A streptokokus) (Stingley, 2014). 


7. Enterotoksin Stafilokokus

Enterotoksin stafilokokus adalah anggota keluarga dari lebih dari 20

eksotoksin stafilokokus dan streptokokus berbeda yang secara fungsional

terkait dan berbagi urutan homologi. Protein ini diketahui bersifat pirogenik

dan memiliki hubungan yang signifikan dengan berbagai macam penyakit

yang menyerang manusia seperti, keracunan makanan dan sindrom shock

toksik. Sebagian besar, toksin ini diproduksi oleh S. aureus meskipun

spesies lain juga terbukti enterotoxigenic (Pinchuk, 2010). 


2.2 Resistensi Antibiotika

A. Definisi

Antibiotika, yang pertama kali ditemukan oleh Paul Ehlrich pada 1910,

sampai saat ini masih menjadi obat andalan dalam penanganan kasus-kasus

penyakit infeksi. Pemakaiannya selama 5 dekade terakhir mengalami

10
peningkatan yang luar biasa, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi

juga menjadi masalah di negara maju seperti Amerika Serikat. The Center

for Disease Control and Prevention in USA menyebutkan terdapat 50 juta

peresepan antibiotik yang tidak diperlukan (unnescecery prescribing) dari

150 juta peresepan setiap tahun. Menurut Menteri Kesehatan Endang

Rahayu Sedyaningsih, sekitar 92 persen masyarakat di Indonesia tidak

menggunakan antibiotika secara tepat. Ketika digunakan secara tepat,

antibiotik memberikan manfaat yang tidak perlu diragukan lagi. Namun bila

dipakai atau diresepkan secara tidak tepat (irrational prescribing) dapat

menimbulkan kerugian yang luas dari segi kesehatan, ekonomi bahkan

untuk generasi mendatang (Dellinger, 2016; Frieri, 2011; Bhatia, 2010).

Munculnya kuman-kuman patogen yang kebal terhadap satu atau

beberapa jenis antibiotika tertentu sangat menyulitkan proses pengobatan.

Pemakaian antibiotika lini pertama yang sudah tidak bermanfaat harus

diganti dengan obat-obatan lini kedua atau bahkan lini ketiga. Hal ini jelas

akan merugikan pasien, karena antibiotika lini kedua maupun lini ketiga

masih sangat mahal harganya. Sayangnya, tidak tertutup kemungkinan juga

terjadi kekebalan kuman terhadap antibiotika lini kedua dan ketiga. Disisi

lain, banyak penyakit infeksi yang merebak karena pengaruh komunitas,

baik berupa epidemi yang berdiri sendiri di masyarakat (independent

epidemic) maupun sebagai sumber utama penularan di rumah sakit

(nosocomial infection). Apabila resistensi terhadap pengobatan terus

berlanjut tersebar luas, dunia yang sangat telah maju dan canggih ini akan

11
kembali ke masa-masa kegelapan kedokteran seperti sebelum ditemukannya

antibiotika (Frieri, 2011).

Hal-hal diatas telah menjadi permasalahan kesehatan di seluruh dunia.

Hingga akhirnya pada peringatan Hari Kesehatan Internasional tahun 2011,

WHO menetapkan tema Antimicrobacterial Resistance and its Global

Spread. Sejalan dengan tema WHO, Indonesia mengangkat tema “Gunakan

Antibiotik Secara Tepat untuk Mencegah Kekebalan Kuman”. Resistensi

kuman terhadap antibiotika berkembang jauh lebih cepat daripada penelitian

dan penemuan antibiotika baru. Saat ini sedang digalakkan kampanye dan

sosialisasi pengobatan secara rasional yang meliputi pengobatan tepat, dosis

tepat, lama penggunaan yang tepat serta biaya yang tepat (Frieri, 2011).

Mikroba yang pada awalnya sensitif terhadap antimikroba atau

antibiotik dapat berubah sifat genetiknya menjadi kurang ataupun tidak

peka. Kejadian tersebut disebabkan karena mikroba memperoleh elemen

genetik yang membawa sifat resisten (Aquired Resistance). Rangsangan

antimikroba dapat pula menyebabkan peristiwa tersebut, di samping akibat

mutasi genetik spontan (Frieri, 2011).

Proses resistensi dapat terjadi secara transduksi, konjugasi dan

transformasi. Proses tranduksi yaitu faktor kekebalan dipindahkan dari

mikroba resisten ke sensitif dengan perantara bakteriofaga. Dalam proses

ini yang dipindahkan ialah komponen DNA dari kromosom yang

mengandung faktor resistensi tersebut. Peristiwa yang serupa dengan

kopulasi yang terjadi dalam proses konjugasi (Frieri, 2011).

12
Plasmid dan episom adalah bentuk faktor kekebalan yang dipindahkan.

Plasmid merupakan elemen genetik atau DNA-plasmid, yang terpisah dari

kromosom DNA, sehingga disebut DNA non kromosom. Bagian yang dapat

dipindahkan hanya plasmid penular atau infectious plasmid (plasmid faktor

R) (Frieri, 2011; Green, 2012).

Unit segmen RTF (resistance transfer factor) dan Determinant-r ialah

unit unit faktor R. Segmen RTF menyebabkan perpindahan faktor R,

sedangkan unit r membawa sifat resistensi. Berbagai unit-r pada satu

plasmid faktor-R membawa sifat kekebalan terhadap beberapa antibitoik,

misalnya golongan penisilin, sefalosporin, amoniglikosida, glikopeptida,

quinolon, kloramfenikol, tetrasiklin dan sulfa (Frieri, 2011).

B. Mekanisme

Untuk mendapatkan efek terapi, antibiotika pertama kali harus

mencapai target kedalam sel bakteri. Bakteri gram negatif mempunyai outer

membrane yang sedikit menghambat antibiotika masuk kedalam sitoplasma.

Selanjutnya apabila terjadi mutasi dari lubang pori outer membrane

berakibat antibiotika menjadi lebih sulit masuk kedalam sitoplasma atau

menurunnya permeabilitas membrane terhadap antibiotika,oleh karena

lubang pori dari outer membrane tersebut tidak bersifat selektif maka satu

mutasi dari pori tersebut dapat menghambat masuknya lebih dari satu jenis

antibiotika (Kapoor et al., 2017).

13
Ada berbagai mekanisme yang menyebabkan suatu populasi bakteri

mejadi resisten terhadap antibiotika, mekanisme itu antara lain :

1. Mikroorganisme memproduksi enzym yang merusak daya kerja obat,

contohnya adalah stafilokokus yang resisten terhadap penisilin disebabkan

karena stafilokokus memproduksi enzym beta laktam yang memecah cincin

beta laktam dari penisilin sehingga penisilin tidak aktif lagi bekerja. (Kapoor

et al., 2017; Frieri, 2011).

2. Terjadinya perubahan permeabilitas bakteri terhadap obat tertentu,

contohnya adalah streptokokus yang mempunyai barier alami terhadap obat

golongan aminoglikosida (Kapoor et al., 2017; Frieri 2011).

3. Terjadinya perubahan pada tempat tertentu dalam sel sekelompok

mikroorganisme yang menjadi target obat, misalnya obat golongan

aminoglikosida yang memecah atau membunuh bakteri karena obat ini

merusak sistem ribosom sub unit 30S. Bila oleh suatu hal,tempat/lokus kerja

obat pada ribosom sub unit 30S berubah, maka bakteri tidak lagi sensitif

terhadap golongan obat ini (Kapoor et al., 2017; Frieri, 2011).

4 Terjadinya perubahan pada metabolic pathway yang menjadi target

obat,misalnya bakteri yang resisten terhadap obat golongan sulfonamida,

tidak memerlukan PABA dari luar sel, tapi dapat menggunakan asam folat,

sehingga sulfonamida yang berkompetisi dengan PABA tidak berpengaruh

pada metabolisme sel (Kapoor et al., 2017; Frieri, 2011).

5 Terjadi perubahan enzymatik sehingga bakteri meskipun masih dapat hidup

dengan baik, tapi kurang sensitif terhadap antibiotik, contohnya adalah

bakteri yang sensitif terhadap sulfonamida yang mempunyai affinitas yang

14
lebih besar terhadap sulfonamida dibandingkan dengan PABA sehingga

bakteri akan mati (Kapoor et al., 2017; Frieri, 2011).

2.3 Methicillin Resistant Staphylococcs Aureus (MRSA)

A. Definisi

MRSA adalah masalah kesehatan masyarakat yang saat ini telah

mendunia, yang menyebabkan kenaikan morbiditas dan mortalitas serta

peningkatan biaya kesehatan. Terdapat sekitar 94 360 infeksi MRSA invasif

di Amerika Serikat pada tahun 2005, menyebabkan lebih dari 18.000

kematian per tahun. Prevalensi terhadap MRSA mengalami peningkatan

yang signifikan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini. Infeksi MRSA

kerap dihubungkan dengan waktu rawat inap yang lebih lama, yang dapat

merugikan baik pasien maupun rumah sakit. Dampak peningkatan

morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan MRSA dapat dilihat ketika

membandingkan tingkat infeksi tahunan dan tingkat kematian di Amerika

Serikat untuk MRSA, AIDS, hepatitis virus, dan tuberkulosis. Bahkan,

MRSA diperkirakan menyebabkan lebih banyak infeksi daripada penyakit

lainnya (Gambar 1A) dan lebih banyak kematian per tahun daripada AIDS

(Green, 2012).

15
Gambar 1A. Grafik A menunjukan kasus infeksi di Amerika Serikat, Grafik B menunjukan kasus kematian di Amerika Serika
(Green, 2012)t

MRSA adalah masalah umum di fasilitas perawatan kesehatan, fasilitas

olahraga, klinik, dan masyarakat. Galur MRSA yang terkait dengan rumah

sakit disebut sebagai Hospital Acquired-MRSA (HA-MRSA) dan

merupakan penyebab paling umum infeksi yang didapat di rumah sakit.

Kondisi terkait MRSA invasif yang paling sering dilaporkan termasuk syok

septik (56%), pneumonia (32%), endokarditis (19%), bakteremia (10%),

dan selulitis (6%). Galur yang terkait dengan masyarakat disebut sebagai

Community Acquired-MRSA (CA-MRSA) dan terdapat juga pada manusia

yang bersifat sebagai carrier asimtomatik (Green, 2012).

Penggunaan penicillin untuk terapi infeksi berat Staphylococcus aureus

awalnya memberikan hasil yang memuaskan. Namun pada saat bersamaan

dengan keberhasilan penggunaan penicillin, S. aureus juga menghasilkan

enzim penicillinase kemudian dikenal sebagai β-laktamase. Enzim ini

menyebabkan kegagalan pengobatan yang timbul segera setelah

16
penggunaan penicillin. Awal tahun 1950, dikembangkan satu jenis pencillin

semi sintetik yang tahan terhadap destruksi enzim β-laktamase, yaitu

methicillin dan mulai digunakan pada tahun 1959. Satu tahun setelah itu,

MRSA pertama kali dideteksi dan terjadi kegagalan terapi pertama dari

methicillin (Taylor, 2017).

B. Mekanisme

Mekanisme resistensi MRSA pertama kali ditemukan pada tahun 1981.

Karakteristik resistensi MRSA, adalah kemampuannya untuk berkembang

diantara antibiotik seperti penisilin, yang biasanya mencegah pertumbuhan

bakteri dengan menghambat sintesis dinidng sel. Hal ini disebabkan oleh

gen resistensi, mecA, yang menghentikan antibiotik β-laktam dari

menginaktivasi enzim (transpeptidases) yang penting untuk sintesis dinding

sel (Jensen, 2009; Stryjewski, 2014)

Staphylococcal Cassete Chromosome (SCCmec)

Perbedaan Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA)

dengan MRSA terdapat pada ada tidaknya Staphylococcal Cassete

Chromosome mec (SCCmec). SCCmec adalah genom yang mengkodekan

resistensi methicillin dan golongannya. Semua elemen SCCmec yang

dilaporkan hingga saat ini memiliki empat karakteristik umum; (1)

membawa kompleks gen mec (mec); (2) membawa kompleks gen ccr (ccr);

(3) diapit oleh urutan nukleotida karakteristik, pengulangan terbalik, dan

17
pengulangan langsung, di kedua ujungnya; dan (4) diintegrasikan pada

integration site sequence (ISS) untuk SCC (Ito et al., 2014).

mecA

Galur MRSA membawa gen mecA pada kromosom bakteri, yang

merupakan komponen dari SCCmec yang lebih besar, memberikan

resistensi terhadap beberapa antibiotik tergantung pada jenis SCCmec. Gen

mecA mengkodekan protein protein penicillin-binding 2a (PBP-2a). PBP-

2a adalah protein pengikat penisilin (PBP), atau enzim dinding sel bakteri

penting yang mengkatalisis produksi peptidoglikan pada dinding sel bakteri.

PBP-2A memiliki afinitas yang lebih rendah untuk mengikat beta-laktam

(dan antibiotik lain yang berasal dari penisilin) bila dibandingkan dengan

PBP lain, sehingga PBP-2A terus mengkatalisasi sintesis dinding sel bakteri

bahkan diantara antibiotik. Akibatnya, Staphylococcus aureus yang

mensintesis PBP-2A dapat tumbuh di hadapan antibiotik jenis β-laktam.

Galur MRSA cenderung resisten terhadap methicillin, nafcillin, oxacillin,

dan sefalosporin (Taylor, 2017).

Dalam kasus klinis, umumnya, resisten MRSA terhadap antibiotik

golongan beta-laktam, diekspresikan dengan cara yang tidak biasa yaitu

heterogen. MRSA hetero-resisten yang tumbuh dari inokulum sel tunggal

menghasilkan kultur di mana sebagian besar sel hanya memperlihatkan

tingkat resistensi antibiotik yang rendah atau sedang - kadang-kadang

hampir di atas ambang batas MIC dari strain yang rentan. Namun, sub-

populasi sel yang sangat resisten juga hadir dalam kultur ini dengan nilai-

18
nilai dan frekuensi MIC yang merupakan karakteristik dari strain MRSA

tertentu. Analisis kuantitatif kultur MRSA tersebut melalui metode analisis

populasi dapat memberikan profil fenotipik yang merupakan karakteristik

stabil dari strain MRSA tertentu. Isolat awal MRSA awal dari Inggris dan

dari Denmark semuanya menunjukkan profil analisis populasi

heteroresisten (PAPs) dan klon MRSA yang heteroresisten seringkali

diidentifikasi di antara isolasi kontemporer MRSA baik dari rumah sakit dan

juga dari masyarakat (Kim et al., 2013)

C. Identifikasi

Meskipun kemajuan dalam bidang teknologi farmasi, infeksi MRSA

tetap sulit untuk di diagnosis. Studi yang dilakukan oleh departemen

mikrobiologi, Government Medical College, India melibatkan pemeriksaan

200 isolat S. aureus oleh difusi cakram oxacillin, difusi cakram cefoxitin,

oxacillin screen agar test, uji aglutinasi lateks dan pertumbuhan pada

CHROMagar. PCR untuk deteksi gen mecA diambil sebagai gold standart.

Ditemukan bahwa 35% dari semua infeksi S. aureus disebabkan oleh

MRSA. Metode difusi cakram cefoxitin, seperti yang direkomendasikan

oleh Clinical and Laboratory Standards Institute, ditemukan sebagai

metode yang dapat diandalkan untuk deteksi MRSA tetapi harus dilengkapi

dengan beberapa metode lain seperti aglutinasi lateks, CHROMagar atau

oxacillin screen agar testing sehingga tidak ada MRSA yang terlewat (Datta

et al., 2011)

19
Tabel 2.1 Perbedaan HA-MRSA dengan CA-MRSA (Weigelt, 2010)

Faktor HA-MRSA CA-MRSA

Faktor Risiko dan Dapatan Rumah Sakit Dapatan komunitas

Populasi ber-risiko (Nosokomial

Tipe SCC Tipe II Tipe IV

Tipe PFGE US 100 US 300

Jumlah Toxin Lebih Sedikit Lebih Banyak

PVL Jarang Sering

Pola Resistensi Multiple Resistant Sensitif terhadap

Antibiotik banyak antibiotik

kecuali beta-laktam

Sindrom Klinis Bakterimia, Infeksi kulit dan

pneumonia jaringan lunak

2.4 Hospital Acquired Infection

A. Definisi

Infeksi nosokomial, juga disebut “Hospital-Acquired Infection”, adalah

infeksi yang didapat selama perawatan di rumah sakit yang tidak ada atau

diinkubasi saat masuk rumah sakit. Infeksi yang terjadi lebih dari 48 jam

setelah masuk biasanya dianggap nosokomial. Diagnosis ditegakan dengan

20
melakukan kultur dari mikro-organisme yang meng-infeksi tersebut.

(WHO, 2012)

Infeksi nosokomial terjadi di seluruh dunia dan mempengaruhi negara

maju dan negara yang miskin sumber daya. Infeksi yang diperoleh dalam

pengaturan perawatan kesehatan adalah di antara penyebab utama kematian

dan peningkatan morbiditas di antara pasien yang dirawat di rumah sakit.

Mereka adalah masalah yang signifikan baik untuk pasien dan untuk

kesehatan masyarakat. Sebuah survei prevalensi yang dilakukan di bawah

naungan WHO di 55 rumah sakit di 14 negara yang mewakili 4 Wilayah

WHO (Eropa, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat)

menunjukkan rata-rata 8,7% pasien rumah sakit mengalami infeksi

nosokomial. Saat ini, ebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita

komplikasi infeksi yang didapat di rumah sakit. Frekuensi tertinggi infeksi

nosokomial dilaporkan dari rumah sakit di Wilayah Mediterania Timur dan

Asia Tenggara (masing-masing 11,8 dan 10,0%), dengan prevalensi

masing-masing 7,7 dan 9,0% di Wilayah Eropa dan Pasifik Barat. (WHO,

2012)

Infeksi nosokomial yang paling sering adalah infeksi luka operasi,

infeksi saluran kemih, dan infeksi saluran pernapasan bawah. Studi WHO,

dan lainnya, juga menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi infeksi

nosokomial terjadi di unit perawatan intensif dan di bangsal bedah dan

ortopedi akut. (WHO, 2012)

B. Faktor yang Mempengaruhi

21
Microbial Agent

Saat pasien di rawat inap di rumah sakit, pasien mengalami kontak

dengan banyak jenis mikro-organisme. Kontak antara pasien dan

mikroorganisme tidak dengan sendirinya mengakibatkan perkembangan

penyakit klinis - faktor-faktor lain mempengaruhi sifat dan frekuensi infeksi

nosokomial. Kemungkinan paparan yang mengarah ke infeksi sebagian

tergantung pada karakteristik mikroorganisme, termasuk resistensi terhadap

agen antimikroba, virulensi intrinsik, dan jumlah (inokulum) dari bahan

infektif. (WHO,2012)

Daya Tahan Tubuh Pasien

Faktor-faktor penting yang mempengaruhi penularan infeksi termasuk

usia, status kekebalan, penyakit yang mendasari dan intervensi diagnostik

dan terapeutik. Pasien dengan penyakit kronis seperti tumor ganas,

leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, atau AIDS memiliki peningkatan

kerentanan terhadap infeksi dengan patogen oportunistik. Yang terakhir

adalah infeksi dengan organisme yang biasanya tidak berbahaya, misalnya

bagian dari flora bakteri normal pada manusia, tetapi dapat menjadi patogen

ketika pertahanan kekebalan tubuh terganggu. Obat imunosupresif atau

iradiasi dapat menurunkan resistensi terhadap infeksi. Cedera pada kulit

atau selaput lendir memotong mekanisme pertahanan alami. Banyak

prosedur diagnostik dan terapetik modern, seperti biopsi, pemeriksaan

endoskopi, kateterisasi, intubasi / ventilasi dan penyedotan dan prosedur

bedah meningkatkan risiko infeksi. Benda atau zat yang terkontaminasi

22
dapat dimasukkan secara langsung ke jaringan atau tempat yang biasanya

steril seperti saluran kemih dan saluran pernapasan bawah. (WHO, 2012)

Resistensi Antibiotik

Melalui seleksi dan pertukaran elemen-elemen resistensi genetik,

antibiotik mendorong munculnya bakteri-bakteri yang resistan terhadap

berbagai obat; mikroorganisme pada flora normal manusia yang peka

terhadap obat yang diberikan ditekan, sementara strain yang resisten

bertahan dan dapat menjadi endemik di rumah sakit. Penggunaan

antimikroba untuk terapi atau profilaksis (termasuk topikal) adalah penentu

utama resistensi. Agen antimikroba, dalam beberapa kasus, menjadi kurang

efektif karena resistensi. Ketika agen antimikroba menjadi banyak

digunakan, bakteri yang kebal terhadap obat ini akhirnya muncul dan dapat

menyebar dalam pengaturan perawatan kesehatan. Banyak jenis

pneumokokus, stafilokokus, enterokokus, dan TBC saat ini resisten

terhadap sebagian besar atau semua antimikroba yang dulunya efektif.

Klebsiella dan Pseu- domonas aeruginosa yang multiresisten banyak

ditemukan di banyak rumah sakit. Masalah ini sangat penting di negara-

negara berkembang di mana anti-biotik lini kedua yang lebih mahal

mungkin tidak tersedia atau terjangkau. (WHO, 2012)

23
BAB III
KERANGKA BERPIKIR DAN KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Berpikir

MRSA adalah bakteri Staphylococcus aureus yang menjadi kebal atau

resisten terhadap antibiotik jenis metisilin. MRSA mengalami resistensi karena

perubahan genetik yang disebabkan oleh paparan terapi antibiotik yang tidak

rasional. MRSA menjadi masalah umum di fasilitas perawatan kesehatan, fasilitas

olahraga, klinik, dan masyarakat. Staphylococcus aureus sangat mudah

menginfeksi apabila terjadi suatu kondisi dimana dunia luar yang tidak steril

berhubungan dengan jaringan dalam manusia karena bakteri tersebut merupakan

flora normal yang tinggal di bagian nasofaring manusia. (Green, 2012)

Galur MRSA yang terkait dengan rumah sakit disebut sebagai Hospital

Acquired-MRSA. HA-MRSA merupakan penyebab paling umum infeksi yang

didapat di rumah sakit. HA-MRSA dapat menyebabkan infeksi yang serius, seperti

infeksi pada aliran darah (bakteremia) dan paru-paru (pneumonia). Selain itu, HA-

MRSA memperpanjang waktu rawat inap dirumah sakit, meningkatkan biaya medis

dan meningkatkan mortalitas.

Faktor faktor yang berpengaruh dalam terjadinya infeksi MRSA di rumah

sakit meliputi waktu rawat inap di rumah sakit tersebut, penggunaan antibiotik, dan

tindakan invasif. Faktor predisposisi yang berpengaruh secara tidak langsung ialah

jenis usia, jenis kelamin, dan lingkungan. (WHO, 2012)

Oleh sebab itu, penulis merasa tertarik untuk mengetahui seberapa besar

prevalensi serta faktor predisposisi apa saja yang besar mempengaruhi jumlah kasus

24
infeksi MRSA pada instalasi rawat inap Rumah Sakit Bali Mandara yang baru

beroperasi selama 3 tahun ini.

3.2 Kerangka Konsep

Pasien MRS

Faktor Langsung Faktor Tidak


Langsung
- Lama Rawat
Inap - Usia
- Penggunaan - Jenis Kelamin
Antibiotik - Riwayat
- Tindakan Penyakit
Invasif - Pekerjaan

MRSA

25
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian

desktriptif dengan pendekatan restrospektif cross-sectional, dimana pengambilan

data hanya dilakukan satu kali pada tiap responden.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Instalasi Rekam Medis RSUD Bali Mandara

Denpasar dengan sumber data yang diambil dari bulan januari 2018 sampai dengan

desember 2019.

4.3 Populasi Penelitian

4.3.1 Populasi Target

Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang

terdiagnosis dengan infeksi MRSA.

4.3.2 Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah semua pasien

dengan infeksi MRSA yang tercatat di instalasi rekam medis di RSUD Bali

Mandara.

4.4 Sampel Penelitian

26
Sampel dalam penelitian ini adalah populasi terjangkau yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi yaitu

sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi

Data rekam medis pasien RSUD Bali Mandara yang terdiagnosis

infeksi MRSA pada tahun 2018 – 2019.

b. Kriteria Eksklusi

Data rekam medis pasien yang terdiagnosis infeksi MRSA di RSUD

Bali Mandara tahun 2018 – 2019 yang tidak lengkap.

4.5 Teknik Pengumpulan Sampel Penelitian.

Teknik pengumpulan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan total sampling. Total sampling merupakan cara dalam pengambilan sampel

dimana penentuan jumlah sampel menggunakan populasi yang ada dalam batas

waktu yang telah ditentukan. Data yang digunakan adalah data rekam medis pasien

dan sudah memenuhi kriteria inklusi.

4.6 Variabel Penelitian

Adapun variabel yang akan diukur yaitu usia, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat

penyakit, lama rawat inap, pemberian antibiotik, dan tindakan invasif,

4.7 Definisi Operational Variabel

1. Lama Rawat Inap

27
Definisi : Durasi rawat inap pasien terhitung dari hari pertama rawat inap

sampai terdiagnosis MRSA yang tercatat pada rekam medis. Waktu rawat

inap sepenuhnya memiliki faktor yang besar dalam infeksi MRSA. Ini

dikarenakan semakin lama waktu rawat inap pasien tersebut maka semakin

besar kemungkinan pasien tersebut terkena HA-MRSA atau Hospital

Acquired MRSA.

Hasil ukur : a. < 2 hari

b. ≥ 
2 hari

2. Penggunaan Antibiotik

Definisi : Riwayat penggunaan antibiotik selama fase pengobatan MRSA

yang tercatat pada rekam medis pasien.

Hasil ukur : a. Penicilin

b. Sefalosporin

c. Glikopeptida

d. Fluorokuinolon

e. Aminoglikosida

f. Meropenem

4. Tindakan Invasif

Definisi : Tindakan invasif adalah tindakan invasif yang dilakukan langsung

dilakukan di ruangan rawat inap pasien. Dapat berupa diagnostik maupun

terapeutik.

Hasil Ukur : 1. Diagnostik

2. Terapeutik

28
5. Usia

Definisi : Usia yang tercatat pada rekam medis pasien, dimana pembagian

kategori usia yang digunakan yaitu berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Salukanan dkk ( 2018 ).

Hasil ukur : a. 17 – 25 tahun

b. 26 – 35 tahun

c. 36 – 45 tahun

d. 46 – 55 tahun

e. 56 – 64 tahun

f. ≥ 65 tahun

6. Jenis Kelamin

Definisi : Identitas yang tercatat pada rekam medis pasien.

Hasil ukur : a. Laki – laki

b. Perempuan

7. Riwayat Penyakit

Definisi : Riwayat penyakit lain yang menyertai selain dari penyakit utama

yang tercatat pada rekam medis pasien.

Hasil ukur : a. Hipertensi

b. Diabetes melitus

c. Infeksi Luka Operasi

d. Sepsis

29
e. Infeksi HIV

f. Pneumonia

g. Selain Penyakit Diatas

8. Pekerjaan

Definisi : Mata pencaharian pasien dalam kehidupan sehari hari sebagai apa.

Apabila pasien bekerja di Rumah Sakit, tentu akan menambah faktor resiko.

Hasil Ukur : a. Tenaga medis

b. Guru

c. PNS

d. Nelayan

e. Buruh

f. Wiraswasta

e. Selain pekerjaan diatas

9. MRSA

Definisi : Pasien dinyatakan positif infeksi MRSA apabila dalam rekam

medis tersebut disertai hasil kultur. Apabila dalam rekam medis tersebut

tidak disertai hasil kultur positif MRSA, data rekam medis dianggap tidak

lengkap dan tidak dimasukan ke dalam kriteria inklusi dan eksklusi.

10. Rekam Medis

30
Definisi : Merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang

identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain

yang telah diberikan kepada pasien.

Hasil ukur : a. Rekam medis yang lengkap yaitu rekam medis pasien MRSA

di Rumah Sakit Bali Mandara tahun 2018 - 2019 yang berisikan data

mengenai usia, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat penyakit, lama rawat inap,

pemberian antibiotik, dan tindakan invasif,

4.8 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan berupa rekam medis yang berisikan

tentang informasi responden seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat

penyakit, lama rawat inap, pemberian antibiotik, dan tindakan invasif,

4.9 Cara Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan akan dilakukan analisis univariat dengan

menggunakan perangkat lunak SPSS 22. Data yang sudah terkumpul akan diolah

dan disajikan dalam bentuk tabel yaitu tabel distribusi pasien dengan infeksi MRSA

berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat penyakit, lama rawat inap,

pemberian antibiotik, dan tindakan invasif,

31
4.10 Alur Penelitian

Penyusunan Proposal

Perijinan Tempat Pengambilan Sampel

Kriteria Inkulsi dan Eksklusi

Pengumpulan Data Berdasarkan Rekam Medis

Analisis dan Penyajian Data

Penyusunan Laporan Penelitian

32
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

Total pasien yang tercatat dalam rekam medis RSUD Bali Mandara yang

mengalami infeksi MRSA pada periode 2018-2019 serta telah memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi adalah sebanyak 12 orang. Pengambilan data pasien dicatat

dalam kertas instrumen penelitian kemudian diolah dengan menggunakan software

SPSS ver. 23 untuk mengetahui karakteristik pasien infeksi MRSA di RSUD Bali

Mandara.

5.1.1 Karakteristik Pasien

Tabel 5.1

Variabel Frekuensi (%)

Jenis Kelamin

Laki-Laki 5 (41,7)

Perempuan 7 (58.3)

Usia

<17 1 (8,3)

26-35 1 (8,3)

36-45 2 (16,7)

46-55 2 (16,7)

56-64 2 (16,7)

64> 4 (33,3)

Pekerjaan

33
Wiraswasta 3 (25)

Tidak Bekerja 5 (41,7)

Selain Pekerjaan Diatas 4 (33,3)

Riwayat Penyakit

Hipertensi 2 (16,7)

Diabetes Mellitus 6 (50)

Infeksi Luka Operasi 5 (41,7)

Sepsis 3 (25)

Infeksi HIV 1 (8,3)

Pneumonia 3 (25)

Selain Penyakit Diatas 5 (41,7)

Lama Rawat Inap

<2 Hari 2 (16,7)

≥2 Hari 10 (83,3)

Riwayat Penggunaan Antibiotik

Penicilin 1 (8,3)

Sefalosporin 12 (100)

Glikopeptida 4 (33,3)

Fluorokuinolon 6 (50,0)

Glikopeptida 4 (33,3)

Meropenem 1 (8,3)

Riwayat Tindakan Invasif

Diagnostik 6 (50,0)

Terapeutik 10 (83,3)

34
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang dirawat di Ruang Rawat

Inap RSUD Bali Mandara didominasi oleh perempuan dengan proporsi sebesar

58,3% dan 41,7% berjenis kelamin laki-laki. Pasien dengan usia diatas 64 tahun

memiliki proporsi yang paling tinggi yaitu 4 orang (33,3%). Pasien dengan penyakit

penyerta diabetes mellitus ditemukan paling banyak yaitu 6 orang (50%). Sebanyak

10 orang (83,3%) dari 12 sampel memiliki rentang lama perawatan lebih dari 2 hari

dengan rata rata sebesar 8 hari. Antibiotik golongan sefalosporin adalah antibiotik

yang digunakan paling sering pada kasus MRSA di RSUD Bali Mandara. Seluruh

sampel yaitu 12 orang (100%) menggunakan antibiotik golongan ini. Tindakan

invasif terapeutik lebih sering ditemukan pada kasus infeksi MRSA dengan

proporsi 10 orang (83,3%) dan 6 orang (50,0%) dengan tindakan invasif diagnostik.

5.1.2 Karakteristik Pasien infeksi MRSA berdasarkan jenis kelamin

Didapatkan 12 orang dengan infeksi MRSA di Rumah Sakit Bali Mandara

khusunya di ruang instalasi rawat inap. Dari 12 sampel tersebut, didapatkan 5 orang

(42,7%) berjenis kelamin laki laki dan 7 (58,3%) orang berjenis kelamin

perempuan.

Grafik 5.1 2 Karakteristik Pasien infeksi MRSA berdasarkan jenis kelamin

Laki-Laki
5 Orang (42,7%)
Perempuan
7 Orang (58,3%

35
5.1.3 Karakteristik Infeksi MRSA Berdasarkan Usia

Berdasarkan data yang didapat, usia termuda pada pasien yang mengalami

infeksi MRSA adalah 8 bulan, sedangkan usia tertua adalah 78 tahun. Dari seluruh

data yang terkumpul, rata-rata terbanyak pasien yang mengalami infeksi MRSA

adalah usia 64 tahun keatas yaitu sebanyak 4 orang (33,3%).

Grafik 5.2 Karakteristik Infeksi MRSA Berdasarkan Usia

0
<17 26-35 36-45 46-55 56-64 64>
Kelompok Usia

5.14 Karakteristik Infeksi MRSA Berdasarkan Pekerjaan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebesar 3 orang (25%) bekerja

sebagai wiraswasta, 5 orang (41,7%) tidak bekerja dan 4 orang (33,3%) memiliki

pekerjaan selain variabel. Hal ini menunjukan bahwa dipopulasi tersebut, tidak

terdapat pasien dengan pekerjaan yang berisiko tinggi terpapar bakteri MRSA

Grafik 5.3. Karakteristik Infeksi MRSA Berdasarkan Pekerjaan

5
4
3
2
1
0
Wiraswasta Tidak Bekerja Selain Pekerjaan Diatas
Pekerjaan

36
5.1.5 Karakteristik Infeksi MRSA berdasarkan Riwayat Penyakit

Berdasarkan hasil penelitian di RSUD Bali Mandara, terdapat 6 orang

(50,0%) mengalami diabetes mellitus. Lalu diikuti oleh infeksi luka pasca operasi

yaitu sebanyak 5 orang (41,7%). Jumlah riwayat penyakit paling sedikit adalah

infeksi HIV dimana hanya terdapat 1 orang (8,3%) dari 12 sampel yang mengalami

infeksi MRSA.

Grafik 5.4 Karakteristik Infeksi MRSA berdasarkan Riwayat Penyakit

6
5
4
3
2
1
0
Hipertensi Diabetes Infeksi Luka Sepsis Infeksi HIV Pneumonia Selain
Melitus Pasca Komorbid
Tindakan Diatas

Riwayat Penyakit

5.1.6 Karakteristik Infeksi MRSA Berdasarkan Penggunaan Antibiotik

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 12 orang (100%) dari 12 sampel

menggunakan antibiotik golongan sefalosporin. Hal ini menunjukan bahwa pasien

diobati dengan menggunakan sefalosporin saja atau kombinasi sefalosporin dengan

antibiotik golongan lain. Penggunaan antibiotik paling sedikit yaitu golongan

penicilin dimana hanya 1 orang (8,3%) dari 12 sampel.

37
Grafik 5.5 Karakteristik Infeksi MRSA Berdasarkan Penggunaan Antibiotik

12
10
8
6
4
2
0

Golongan Antibiotik

5.1.7 Karakteristik Infeksi MRSA berdasarkan Tindakan Invasif

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 10 orang (83,3%) yang mendapatkan

penanganan yaitu berupa tindakan invasif terapeutik. Lalu, terdapat 6 orang (50%)

mendapatkan tindakan invasif diagnostik.

Grafik 5.6 Karakteristik Infeksi MRSA berdasarkan Tindakan Invasif

KARAKTERISTIK INFEKSI MRSA BERDASARKAN RIWAYAT


TINDAKAN INVASIF

Diagnostik
6 Orang (37,5%
Terapeutik
10 Orang (62,5%)

38
5.1.8 Karakteristik Infeksi MRSA Berdasarkan Lama Rawat Inap

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 10 orang (83,7%) dirawat selama

lebih dari sama dengan 2 hari. Sebanyak 2 orang (16,7%) dirawat kurang dari 2

hari. Hal ini menunjukan bahwa 10 orang (83,7%) tersebut memiliki risiko yang

lebih tinggi untuk memiliki infeksi MRSA nosocomial.

Grafik 5.7 Karakteristik Infeksi MRSA Berdasarkan Lama Rawat Inap

<2 Hari
2 Orang (16,7%

≥2 Hari
10 Orang (83,7%)

5.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil pola kumasn di RSUD Bali Mandara tahun 2018-2019

didapatkan 12 orang dengan infeksi MRSA di ruang instalasi rawat inap. Dari 12

sampel tersebut, didapatkan 5 orang (42,7%) berjenis kelamin laki laki dan 7

(58,3%) orang berjenis kelamin perempuan. Data yang didapatkan di Rumah Sakit

Bali Mandara, berbanding terbalik dengan data yang didapatkan oleh Pangestuti et

al, (2020) di RSUP dr, Sardjito Yogyakarta dimana didaptkan proporsi jenis

kelamin laki laki sebesar 57,3% dan 42,7% untuk perempuan. Namun Pangestuti et

al, (2020) tidak menyebutkan adanya hubungan yang kuat antara jenis kelamin dan

faktor risiko terjadinya infeksi MRSA. Hal ini juga berbanding terbalik dengan

penelitian yang dilakukan Kupfer et al, (2010) mengenai jenis kelamin laki laki

39
sebagai faktor risiko dari infeksi MRSA. Kupfer et al, (2010) menyebutkan, jenis

kelamin laki-laki secara signifikan berkorelasi dengan peningkatan faktor risiko

terjadinya infeksi MRSA (p<0,001).

Berdasarkan penelitian, kasus infeksi MRSA terbanyak terjadi pada umur

64 tahun keatas yaitu sebanyak 4 orang (33,3%). Meskipun pada penelitian yang

sebelumnya tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara umur dan faktor

risiko MRSA, namun menurut Siddiqui et al, (2020), umur lebih dari 65 tahun

memiliki risiko yang tinggi untuk dirawat di instalasi rawat inap karena penyakit

degeneratif. Hal ini tentu saja meningkatkan risiko untuk mendapatkan infeksi

MRSA dapatan rumah sakit (HA-MRSA). Oleh sebab itu, penelitian ini mendukung

teori yang disampaikan oleh Siddiqui et al, (2020).

Dalam penelitian ini ditemukan sebesar 3 orang (25%) bekerja sebagai

wiraswasta, 5 orang (41,7%) tidak bekerja dan 4 orang (33,3%) memiliki pekerjaan

selain variabel. Namun penelitian ini tidak menunjukan bahwa dipopulasi tersebut,

terdapat pasien dengan pekerjaan yang berisiko tinggi terpapar bakteri MRSA.

Menurut Popovich et al, (2020), tenaga medis adalah salah satu pekerjaan dengan

risiko tinggi untuk terpapar MRSA. Hal ini dikarenakan, tenaga medis seringkali

berinteraksi ataupun melakukan kontak secara langsung dengan pasien dengan

infeksi MRSA. Dari penelitian Popovich et al, (2020), dari 66 tenaga medis yang

bekerja di ICU Rush Medical Center di Chicago, Amerika serikat yang diteliti, 6

orang menunjukan positif MRSA. Namun karena jumlah sampel yang sedikit,

penelitian ini belum dapat mendukung teori Popovich et al, (2020).

Berdasarkan hasil penelitian di RSUD Bali Mandara, terdapat 6 orang

(50,0%) mengalami diabetes mellitus. Dari 6 orang tersebut, terdapat 3 orang yang

40
disertai dengan diabetic foot. Menurut penelitian yang dilakukan Akhi et al, (2016)

secara keseluruhan, sebesar 15% pasien dengan diabetes mellitus memiliki risiko

tinggi untuk mengalami ulkus pada bagian kaki yang dimana hal tersebut sangat

rentan untuk mengalami infeksi. Menurutnya, bakteri Staphylococcus aureus

adalah patogen yang sering ditemukan pada pasien diabetes dengan diabetic foot.

Apabila hal ini ditemani dengan penggunaan antibiotik yang tidak rasional, risiko

untuk bakteri tersebut menjadi resisten terhadap antibiotik sangatlah tinggg. Dari

penelitiannya, frekuensi ditemukannya galur MRSA pada pasien diabetic foot

dengan infeksi Staphylococcus aureus adalah sebesar 28,6%. Kasus riwayat

penyakit kedua terbanyak setelah diabetes mellitus adalah infeksi luka pasca

operasi. Dari 12 sampel, terdapat 5 orang (41,7%) mengalami infeksi MRSA pada

luka pasca operasi. Hal ini terjadi karena kebiasaan rawat luka yang tergolong tidak

baik dan tidak higienis sehingga bakteri seperti MRSA akan sangat mudah

menginfeksi. Menurut Abdalla et al, (2019), infeksi luka pasca operasi adalah salah

satu kasus infeksi nosokomial yang paling sering terjadi di rumah sakit. Menurut

penelitiannya, dari 94 infeksi Staphylococcus aureus pada luka pasca operasi,

terdapat 42 sampel merupakan galur MRSA. Hal ini menunjukan bahwa infeksi

MRSA pada luka pasca operasi sering terjadi.

Dalam keseluruhan sampel yang diteliti antibiotik golongan sefalosporin

generasi ketiga ditemukan paling banyak. Ini berarti seluruh pasien dengan infeksi

MRSA di RSUD Bali Mandara dalam jangka waktu rawat inap, pernah mendapat

pengobatan antibiotik golongan sefalosporin saja atau kombinasi dari golongan

antibiotik tersebut. Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan landasan teori

dimana antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga, resisten terhadap bakteri

41
MRSA. Namun karena penelitian ini tidak menyelidiki waktu dan alasan pemberian

antibiotik tersebut, maka hipotesis ini dapat ditolak. Kombinasi dengan penggunaan

sefalosporin paling banyak adalah antibiotik golongan fluorokuinolon. Terdapat

sebanyak 6 orang (50,0%) mendapatkan pengobatan kombinasi dua antibiotik

tersebut. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gao et al, (2018), antibiotik

golongan kuinolon (termasuk flourokuinolon) dan turunannya sering digunakan

dalam pengobatan berbagai jenis infeksi bakteri. Menurut penelitiannya, kuinolon

memiliki potensi yang baik dalam melawan bakteri MRSA baik secara in vitro

maupun in vivo. Penelitian ini membuktikan bahwa teori yang disebutkan oleh Gao

et al, (2018) benar adanya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUD Bali

Mandara, terdapat 4 orang (33,3%) menggunakan kombinasi sefalosporin dan

glikopeptida. Menurut penelitian yang dilakukan Teng et al, (2017), kombinasi

sefalosporin dan glikopeptida pada dosis yang sesuai, dapat memiliki karakteristik

antimikroba secara in vitro dan dapat melawan bakteri seperti MRSA. Lalu juga

menurut guideline oleh CDC, pemberian antibiotik untuk MRSA yang memberikan

angka kesembuhan yang tinggi adalah vancomycin yang masuk kedalam golongan

antibiotik jenis Glikopeptida. Berdasarkan penelitian di RSUD Bali Mandara,

antibiotik golongan ini diberikan kepada 4 orang (33,3%).

Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 10 orang (42,7%) menjalani

Tindakan invasif terapeutik. Tindakan invasif ini berisiko tinggi untuk menularkan

bakteri MRSA nosokomial. Menurut Siddiqui et al, (2020), tindakan invasif

terapeutik ini adalah faktor risiko yang sering dihubungkan dengan kasus kejadian

infeksi MRSA khususnya infeksi HA-MRSA.

42
Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 10 orang (83,3%) menjalani rawat

inap selama lebih dari atau sama dengan 2 hari. Rawat inap yang diperpanjang dapat

meningkatkan faktor risiko infeksi MRSA nosokomial. Menurut penelitian oleh

Andreassen et al, (2017), pasien dengan infeksi MRSA memiliki waktu rawat inap

yang lebih lama dibandingkan pasien tanpa infeksi MRSA. Selain itu, pasien infeksi

MRSA memerlukan biaya yang lebih tinggi.

43
BAB VI

Simpulan dan Saran

6.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut:

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang dirawat di Ruang Rawat Inap

RSUD Bali Mandara didominasi oleh perempuan dengan proporsi sebesar 58,3%

dan 41,7% berjenis kelamin laki-laki. Pasien dengan usia diatas 64 tahun memiliki

proporsi yang paling tinggi yaitu 4 orang (33,3%). Pasien dengan penyakit penyerta

diabetes mellitus ditemukan paling banyak yaitu 6 orang (50%). Sebanyak 10 orang

(83,3%) dari 12 sampel memiliki rentang lama perawatan lebih dari 2 hari dengan

rata rata sebesar 8 hari. Antibiotik golongan sefalosporin adalah antibiotik yang

digunakan paling sering pada kasus MRSA di RSUD Bali Mandara. Seluruh sampel

yaitu 12 orang (100%) menggunakan antibiotik golongan ini. Tindakan invasif

terapeutik lebih sering ditemukan pada kasus infeksi MRSA dengan proporsi 10

orang (83,3%) dan 6 orang (50,0%) dengan tindakan invasif diagnostik.

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian dengan sampel yang lebih besar dan beragam.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pola resistensi antibiotik dan

waktu serta alasan pemberian antibiotik

44
1

DAFTAR PUSTAKA

Ako-Nai II, AD. Roberts GLS, E. Shankar VM, M. Zubair AM, R. Gadepalli BD,
MT. Akhi RG, et al. Frequency of MRSA in diabetic foot infections
[Internet]. International Journal of Diabetes in Developing Countries.
Springer India; 2016 [cited 2020Jan13]. Available from:
https://link.springer.com/article/10.1007%2Fs13410-016-0492-7
Abdalla AE, Kabashi AB, Elobaid ME, et al. Methicillin and Inducible
Clindamycin-Resistant Staphylococcus aureus Isolated from Postoperative
Wound Samples [Internet]. JPAM. 2019 [cited 2020]. Available from:
https://www.researchgate.net/profile/Hasan_Ejaz2/publication/336204437_
Methicillin_and_Inducible_Clindamycin-
Resistant_Staphylococcus_aureus_Isolated_from_Postoperative_Wound_Sa
mples/links/5d973a3c92851c2f70e9f80d/Methicillin-and-Inducible-
Clindamycin-Resistant-Staphylococcus-aureus-Isolated-from-Postoperative-
Wound-Samples.pdf
Andreassen AES, Jacobsen CM, de Blasio BF, White R, Kristiansen IS, Elstrøm P.
The impact of methicillin-resistant S. aureus on length of stay, readmissions
and costs: a register based case-control study of patients hospitalized in
Norway [Internet]. Antimicrobial resistance and infection control. BioMed
Central; 2017 [cited 2021Jan13]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5501579/?report=reader
Balaban NQ, Helaine S, Lewis K, Ackermann M, Aldridge B, Andersson DI, et al.
Definitions and guidelines for research on antibiotic persistence [Internet].
Nature News. Nature Publishing Group; 2019 [cited 2021Jan13]. Available
from: https://www.nature.com/articles/s41579-019-0196-3
Bhatia R, Narain JP. The growing challenge of antimicrobial resistance in the
South-East Asia Region--are we losing the battle? [Internet]. The Indian
journal of medical research. Medknow Publications; 2010 [cited 2021Jan13].
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3028949/
Bukowski M, Wladyka B, Dubin G. Exfoliative Toxins of Staphylococcus aureus
[Internet]. MDPI. Molecular Diversity Preservation International; 2010 [cited
2021Jan13]. Available from: https://www.mdpi.com/2072-6651/2/5/1148
Bukowski M, Wladyka B, Dubin G. Exfoliative Toxins of Staphylococcus aureus
[Internet]. MDPI. Molecular Diversity Preservation International; 2010 [cited
2021Jan13]. Available from: https://www.mdpi.com/2072-6651/2/5/1148
Cuervo G, Camoez M, Shaw E, Dominguez MÁ, Gasch O, Padilla B, et al.
Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) catheter-related
bacteraemia in haemodialysis patients [Internet]. BMC infectious diseases.
2

BioMed Central; 2015 [cited 2021Jan13]. Available from:


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4628295/#
Datta P, Gulati N, Singla N, Vasdeva HR, Bala K, Chander J, et al. Evaluation of
various methods for the detection of meticillin-resistant Staphylococcus
aureus strains and susceptibility patterns [Internet]. Journal of Medical
Microbiology. Microbiology Society; 2011 [cited 2020Jan13]. Available
from:
https://www.microbiologyresearch.org/content/journal/jmm/10.1099/jmm.0.
032219-0
Dellinger EP, Ladhani HA, Gómez-López R, Dellinger. EP. Prevention of Hospital-
Acquired Infections [Internet]. Mary Ann Liebert, Inc., publishers. 2016
[cited 2021Jan13]. Available from:
https://www.liebertpub.com/doi/abs/10.1089/sur.2016.048?journalCode=sur
Erikawati D, Santosaningsih D, Santoso S. Tingginya Prevalensi MRSA pada Isolat
Klinik Periode 2010- 2014 di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang, Indonesia
[Internet]. Jurnal Kedokteran Brawijaya. [cited 2021Jan13]. Available from:
https://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/view/1200
Frieri M, Kumar K, Boutin A. Antibiotic resistance [Internet]. Journal of Infection
and Public Health. Elsevier; 2016 [cited 2021Jan13]. Available from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1876034116301277
Gao C, Fan Y-L, Zhao F, Ren Q-C, Wu X, Chang L, et al. Quinolone derivatives
and their activities against methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) [Internet]. European Journal of Medicinal Chemistry. Elsevier
Masson; 2018 [cited 2021Jan13]. Available from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0223523418307311
Gould FK, Brindle R, Chadwick PR, Fraise AP, Hill S, Nathwani D, et al.
Guidelines (2008) for the prophylaxis and treatment of methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) infections in the United Kingdom [Internet].
OUP Academic. Oxford University Press; 2009 [cited 2021Jan13]. Available
from: https://academic.oup.com/jac/article/63/5/849/714401?login=true
Green BN, Johnson CD, Egan JT, Rosenthal M, Griffith EA, Evans MW.
Methicillin-resistant Staphylococcus aureus: an overview for manual
therapists [Internet]. Journal of Chiropractic Medicine. Elsevier; 2012 [cited
2021Jan13]. Available from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1556370712000090
Ito T, Kuwahara-Arai K, Katayama Y, Uehara Y, Han X, Kondo Y, et al.
Staphylococcal Cassette Chromosome mec (SCC mec) Analysis of MRSA
[Internet]. SpringerLink. Humana Press, Totowa, NJ; 1970 [cited
2021Jan13]. Available from: https://link.springer.com/protocol/10.1007/978-
1-62703-664-1_8
Ju J, ET J, et al. Control of a methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
outbreak in a day-care institution [Internet]. The Journal of hospital infection.
3

U.S. National Library of Medicine; [cited 2021Jan13]. Available from:


https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16542758/
Kapoor G, Saigal S, Elongavan A. Action and resistance mechanisms of antibiotics:
A guide for clinicians [Internet]. Journal of anaesthesiology, clinical
pharmacology. Medknow Publications & Media Pvt Ltd; 2017 [cited
2021Jan13]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5672523/
Kim CK, Milheiriço C, Lencastre Hde, Tomasz A. Antibiotic Resistance as a Stress
Response: Recovery of High-Level Oxacillin Resistance in Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus "Auxiliary" (fem) Mutants by Induction of
the Stringent Stress Response [Internet]. Antimicrobial Agents and
Chemotherapy. American Society for Microbiology Journals; 2017 [cited
2021Jan13]. Available from: https://aac.asm.org/content/61/8/e00313-
17.short
Kupfer M, Jatzwauk L, Monecke S, Möbius J, Weusten A. MRSA in a large
German University Hospital: Male gender is a significant risk factor for
MRSA acquisition [Internet]. GMS Krankenhaushygiene interdisziplinar.
German Medical Science; 2010 [cited 2021Jan13]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2951106/
Lowy FD, J. Kluytmans AB, P. Elstrøm OK, J. Li KU, Nguyen TC, M. Charlson
MTW, et al. The impact of methicillin-resistant S. aureus on length of stay,
readmissions and costs: a register based case-control study of patients
hospitalized in Norway [Internet]. Antimicrobial Resistance & Infection
Control. BioMed Central; 1998 [cited 2021Jan13]. Available from:
https://link.springer.com/article/10.1186/s13756-017-0232-x
Löffler B, Hussain M, Grundmeier M, Brück M, Holzinger D, Varga G, et al.
Staphylococcus aureus Panton-Valentine Leukocidin Is a Very Potent
Cytotoxic Factor for Human Neutrophils [Internet]. PLOS Pathogens. Public
Library of Science; [cited 2021Jan13]. Available from:
https://journals.plos.org/plospathogens/article?id=10.1371%2Fjournal.ppat.
1000715
McAdow M, Missiakas DM, Schneewind O. Staphylococcus aureus Secretes
Coagulase and von Willebrand Factor Binding Protein to Modify the
Coagulation Cascade and Establish Host Infections [Internet]. Journal of
Innate Immunity. Karger Publishers; 2012 [cited 2021Jan13]. Available
from: https://www.karger.com/Article/Abstract/333447
Nurkusuma DD. Faktor Yang Berpangruh Terhadap Kejadian MEthicillin Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) Pada kasus Infeksi Luka Pasca Operasi Di
Ruang Perawatan Bedah Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang [Internet].
http://eprints.undip.ac.id/28863/. 2011 [cited 2021Jan13]. Available from:
http://eprints.undip.ac.id/28863/
4

Pangestuti TI, Wahyono D, Nuryastuti T. Hubungan Antara Kesesuaian Pemberian


Antibiotik Berdasarkan Guideline Terhadap Clinical Outcome pada Pasien
Dewasa Dengan Infeksi Mrsa (Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus)
di Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta [Internet]. Majalah
Farmaseutik. 2020 [cited 2021Jan13]. Available from:
https://journal.ugm.ac.id/majalahfarmaseutik/article/view/48051
Pinchuk IV, Beswick EJ, Reyes VE. Staphylococcal Enterotoxins [Internet]. MDPI.
Molecular Diversity Preservation International; 2010 [cited 2021Jan13].
Available from: https://www.mdpi.com/2072-6651/2/8/2177
Popovich KJ, Green SJ, Okamoto K, Rhee Y, Hayden MK, Schoeny M, et al.
MRSA Transmission in Intensive Care Units: Genomic Analysis of Patients,
Their Environments, and Healthcare Workers [Internet]. OUP Academic.
Oxford University Press; 2020 [cited 2021Jan13]. Available from:
https://academic.oup.com/cid/advance-article-
abstract/doi/10.1093/cid/ciaa731/5854313
Ray P, Gautam V, Singh R. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
in ... [Internet]. World Health Organization. [cited 2021Jan13]. Available
from:
http://origin.searo.who.int/publications/journals/regional_health_forum/med
ia/2011/V15n1/rhfv15n1p74.pdf
Sakoulas G, Moellering RC. Increasing Antibiotic Resistance among Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus Strains [Internet]. OUP Academic. Oxford
University Press; 2008 [cited 2021Jan13]. Available from:
https://academic.oup.com/cid/article/46/Supplement_5/S360/473109?login=
true
Siddiqui AH. Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus [Internet]. StatPearls
[Internet]. U.S. National Library of Medicine; 2020 [cited 2021Jan13].
Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482221/#_ncbi_dlg_citbx_NBK4
82221
Stingley RL, Liu H, Mullis LB, Elkins CA, Hart ME. Staphylococcus aureus toxic
shock syndrome toxin-1 (TSST-1) production and Lactobacillus species
growth in a defined medium simulating vaginal secretions [Internet]. Journal
of Microbiological Methods. Elsevier; 2014 [cited 2021Jan13]. Available
from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S016770121400236X
Stryjewski ME, Corey GR. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus: An
Evolving Pathogen [Internet]. OUP Academic. Oxford University Press;
2014 [cited 2021Jan13]. Available from:
https://academic.oup.com/cid/article/58/suppl_1/S10/507083?login=true
Tang H-J, Lai C-C, Chen C-C, Zhang C-C, Weng T-C, Yu W-L, et al.
Cephalosporin-Glycopeptide Combinations for Use against Clinical
5

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Isolates: Enhanced In vitro


Antibacterial Activity [Internet]. Frontiers. Frontiers; 2017 [cited
2021Jan13]. Available from:
https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fmicb.2017.00884/full
Tong SYC, Davis JS, Eichenberger E, Holland TL, Fowler VG. Staphylococcus
aureus Infections: Epidemiology, Pathophysiology, Clinical Manifestations,
and Management [Internet]. Clinical Microbiology Reviews. American
Society for Microbiology Journals; 2015 [cited 2021Jan13]. Available from:
https://cmr.asm.org/content/28/3/603.short
Turner NA, Sharma-Kuinkel BK, Maskarinec SA, Eichenberger EM, Shah PP,
Carugati M, et al. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus : an overview
of basic and clinical research [Internet]. Nature News. Nature Publishing
Group; 2019 [cited 2021Jan13]. Available from:
https://www.nature.com/articles/s41579-018-0147-4
6

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Frequencies

Statistics
Jen P Hi Dia
is ek pe bet
U Kel erj rte es
si ami aa ns Mel
a n n i itus
N V 1 12 12 11 12
al 2
id
M 0 0 0 1 0
is
si
n
g

Frequency Table

Usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid <17 1 8.3 8.3 8.3
26-35 1 8.3 8.3 16.7
36-45 2 16.7 16.7 33.3
46-55 2 16.7 16.7 50.0
56-64 2 16.7 16.7 66.7
64> 4 33.3 33.3 100.0
Total 12 100.0 100.0
7

Jenis Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-Laki 5 41.7 41.7 41.7
Perempuan 7 58.3 58.3 100.0
Total 12 100.0 100.0

Pekerjaan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Wiraswasta 3 25.0 25.0 25.0
Tidak Bekerja 5 41.7 41.7 66.7
Selain Pekerjaan Diatas 4 33.3 33.3 100.0
Total 12 100.0 100.0

Hipertensi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 9 75.0 81.8 81.8
Ya 2 16.7 18.2 100.0
Total 11 91.7 100.0
Missing System 1 8.3
Total 12 100.0

Diabetes Melitus
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 6 50.0 50.0 50.0
Ya 6 50.0 50.0 100.0
Total 12 100.0 100.0

Infeksi Luka Pasca Tindakan


8

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 7 58.3 58.3 58.3
Ya 5 41.7 41.7 100.0
Total 12 100.0 100.0

Sepsis
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 9 75.0 75.0 75.0
Ya 3 25.0 25.0 100.0
Total 12 100.0 100.0

Infeksi HIV
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 11 91.7 91.7 91.7
Ya 1 8.3 8.3 100.0
Total 12 100.0 100.0

Pneumonia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 9 75.0 75.0 75.0
Ya 3 25.0 25.0 100.0
Total 12 100.0 100.0

Selain Komorbid Diatas


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 7 58.3 58.3 58.3
Ya 5 41.7 41.7 100.0
Total 12 100.0 100.0
9

Lama Rawat Inap


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid <2 Hari 2 16.7 16.7 16.7
>=2 Hari 10 83.3 83.3 100.0
Total 12 100.0 100.0

Penicilin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 11 91.7 91.7 91.7
Ya 1 8.3 8.3 100.0
Total 12 100.0 100.0

Sefalosporin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ya 12 100.0 100.0 100.0

Glikopeptida
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 8 66.7 66.7 66.7
Ya 4 33.3 33.3 100.0
Total 12 100.0 100.0

Fluorokuinolon
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 6 50.0 50.0 50.0
Ya 6 50.0 50.0 100.0
Total 12 100.0 100.0
10

Aminoglikosida
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 8 66.7 66.7 66.7
Ya 4 33.3 33.3 100.0
Total 12 100.0 100.0

Meropenem
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 11 91.7 91.7 91.7
Ya 1 8.3 8.3 100.0
Total 12 100.0 100.0

Diagnostik
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 5 41.7 45.5 45.5
Ya 6 50.0 54.5 100.0
Total 11 91.7 100.0
Missing System 1 8.3
Total 12 100.0

Terapeutik
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak 2 16.7 16.7 16.7
Ya 10 83.3 83.3 100.0
Total 12 100.0 100.0

MULT RESPONSE GROUPS=$Riwayat_Penyakit (riwayat_hipertensi


riwayat_diabetes riwayat_infeksiluka
riwayat_sepsis riwayat_hiv riwayat_pneumonia riwayat_selainkomorbid (1))
$Penggunaan_Antibiotik
11

(antibiotik_penicilin antibiotik_sefalosporin antibiotik_makrolid


antibiotik_fluorokuinolon
antibiotik_aminoglikpsida antibiotik_meropenem (1)) $Tindakan_Invasif
(tindakaninvasif_diagnostik
tindakaninvasif_terapeutik (1))
/FREQUENCIES=$Riwayat_Penyakit $Penggunaan_Antibiotik
$Tindakan_Invasif.

Multiple Response

Case Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
$Riwayat_Penyakita 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%
$Penggunaan_Antibiotika 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%
a
$Tindakan_Invasif 11 91.7% 1 8.3% 12 100.0%

a. Dichotomy group tabulated at value 1.

$Riwayat_Penyakit Frequencies
Responses Percent of
N Percent Cases
a
$Riwayat_Penyakit Hipertensi 2 8.0% 16.7%
Diabetes Melitus 6 24.0% 50.0%
Infeksi Luka Pasca Tindakan 5 20.0% 41.7%
Sepsis 3 12.0% 25.0%
Infeksi HIV 1 4.0% 8.3%
Pneumonia 3 12.0% 25.0%
Selain Komorbid Diatas 5 20.0% 41.7%
Total 25 100.0% 208.3%

a. Dichotomy group tabulated at value 1.


12

$Penggunaan_Antibiotik Frequencies
Responses Percent of
N Percent Cases
$Penggunaan_Antibiotika Penicilin 1 3.6% 8.3%
Sefalosporin 12 42.9% 100.0%
Glikopeptida 4 14.3% 33.3%
Fluorokuinolon 6 21.4% 50.0%
Aminoglikosida 4 14.3% 33.3%
Meropenem 1 3.6% 8.3%
Total 28 100.0% 233.3%

a. Dichotomy group tabulated at value 1.

$Tindakan_Invasif Frequencies
Responses Percent of
N Percent Cases
a
$Tindakan_Invasif Diagnostik 6 37.5% 54.5%
Terapeutik 10 62.5% 90.9%
Total 16 100.0% 145.5%

a. Dichotomy group tabulated at value 1.

Anda mungkin juga menyukai