Anda di halaman 1dari 83

i

ANALISA KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK


BERDASARKAN KRITERIA GYSSENS PADA
PNEUMONIA DI RSU TANGERANG SELATAN
PERIODE JANUARI - DESEMBER TAHUN 2020

SKRIPSI

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Oleh
RAHMAYANTI
201751261

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI AL-KAMAL
JAKARTA
2022

i
ANALISA KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
BERDASARKAN KRITERIA GYSSENS PADA
PNEUMONIA DI RSU TANGERANG SELATAN
PERIODE JANUARI - DESEMBER TAHUN 2020

ABSTRAK

Pneumonia merupakan infeksi yang menyebabkan terjadinya peradangan pada jaringan


paru sehingga kantung paru berisi infeksius atau eksudat. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisa rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di RSU
Tangerang Selatan berdasarkan kategori gyssens periode Januari – Desember 2020.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang dilakukan secara retrospektif yaitu
mengumpulkan data sekunder berupa rekam medik pasien pneumonia,dengan total
sampel 110 yang telah memenuhi kriteria inklusi. Hasil penelitian menunjukan bahwa
laki laki lebih banyak terinfeksi pneumonia dengan kelompok usia terbanyak pada
manula usia ≥ 65 tahun dengan 39 pasien (35,4%). Hasil rasionalitas penggunaan
antibiotik menggunakan metode gyssens diperoleh beberapa kategori. Pada kategori 0
didapatkan 88% atau sebanyak 133 penggunaan antibiotik. Sedangkan yang tidak sesuai
yaitu Kategori yang pertama yaitu IIIb yaitu dimana ada 6% (9 penggunaan) antibiotik
yang terlalu singkat, kategori IVa, dimana pada kategori ini terdapat 2,6% (4
penggunaan), antibiotik dan kategori IIIa yaitu 2% (3 penggunaan) dimana kategori ini
antibiotik yang penggunaan nya terlalu lama,sesuai dengan standar pemberian
antibiotik. Pada penelitian ini dari kategori yang dinilai bahwa penggunaan antibiotik
pada pasien pneumonia di RSU Tangerang Selatan sudah rasioanal sesuai pendoman
pemberian antibiotik.

Kata kunci: Pneumonia, antibiotik, kategori Gyssens.

i
QUALITATIVE ANALYSIS OF ANTIBIOTIC USE BASED
ON THE GYSSENS CRITERIA PNEUMONIA IN
TANGERANG SELATAN RSU PERIOD
JANUARY - DECEMBER 2020

ABSTRACT

Pneumonia is an infection that causes inflammation of the lung tissue so that the lung
sacs contain infectious or exudate. This study aims to analyze the rationality of the use
of antibiotics in pneumonia patients at South Tangerang General Hospital based on the
Gyssens category for the period January - December 2020. This type of research is a
descriptive study that was carried out retrospectively, namely collecting secondary data
in the form of medical records of pneumonia patients, with a total sample of 110 who
had been tested. meet the inclusion criteria. The results showed that men were more
infected with pneumonia with the highest age group in the elderly aged 65 years with 39
patients (35.4%). The results of the rationality of using antibiotics using the Gyssens
method were obtained in several categories. In category 0 obtained 88% or as many as
133 use of antibiotics. While the inappropriate ones are the first category, namely IIIb,
which is where there are 6% (9 uses) of antibiotics that are too short, category IVa,
where in this category there are 2.6% (4 uses), antibiotics and category IIIa, which is
2% (3 use) where this category is antibiotics whose use is too long, in accordance with
the standard of antibiotic administration. In this study, from the category it was
assessed that the use of antibiotics in pneumonia patients at South Tangerang General
Hospital was rational according to the guidelines for giving antibiotics.

Keywords: Pneumonia, antibiotics, Gyssens category.

ii
PERNYATAAN SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul
“ANALISA KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK BERDASARKAN
KRITERIA GYSSENS PADA PNEUMONIA DI RSU TANGERANG
SELATAN PERIODE JANUARI - DESEMBER TAHUN 2020” adalah karya saya sendiri
dan dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik,
baik di Institut Sains dan Teknologi Al-Kamal maupun di Perguruan Tinggi lain.
Informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah dicantumkan dalam daftar rujukan yang dituliskan
dalam skripsi ini.

Jakarta, Juni 2022

Materai Rp 10.000

Rahmayanti
NIM : 201751261

iii
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI AL-KAMAL

PERSETUJUAN SKRIPSI

NAMA : Rahmayanti

NIM : 201751261

JUDUL SKRIPSI : ANALISA KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

BERDASARKAN KRITERIA GYSSENS PADA PNEUMONIA

DI RSU TANGERANG SELATAN PERIODE JANUARI -

DESEMBER TAHUN 2020

DISETUJUI OLEH

Pembimbing I Pembimbing II

( apt. In Rahmi Fatria Fajar, M.Farm. ) ( apt. Febri Hidayat, S.Si., M.B.A. )

iv
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI AL-KAMAL

PENGESAHAN SKRIPSI

ANALISA KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK


BERDASARKAN KRITERIA GYSSENS PADA
PNEUMONIA DI RSU TANGERANG SELATAN
PERIODE JANUARI - DESEMBER TAHUN 2020

OLEH
Rahmayanti
201751261

Dipertahankan Dihadapan Penguji Skripsi


Program Studi Farmasi Institut Sains dan Teknologi Al-Kamal
Pada Tanggal Juni 2022

Mengesahkan,
Ketua Program Studi Farmasi

(Dr. apt. Delina Hasan, M.Kes.)

Penguji Skripsi:

1. 1. ..….....……………

2. 2. .....………..…........

3. 3. ...............................

v
PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI

Skripsi Sarjana Farmasi tidak dipublikasikan, namun terdaftar dan tersedia di


perpustakaan Institut Sains dan Teknologi Al-Kamal, Jakarta, dan terbuka untuk umum
dengan ketentuan bahwa hak cipta ada pada pengarang. Referensi kepustakaan
diperkenankan dicatat, tetapi pengutip atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin
pengarang dan harus disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.

Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh isi skripsi haruslah seizin
Rektor Institut Sains dan Teknologi AL-KAMAL.

Perpustakaan yang meminjam skripsi ini untuk keperluan anggotanya harus mengisi
nama dan tanda tangan peminjam dan tanggal peminjaman.

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat, berkat serta hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Analisa Kualitatif
Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Kriteria Gyssens pada Pneumonia Di RSU
Tangerang Selatan Periode Januari - Desember Tahun 2020” dapat diselesaikan
dengan baik. Dalam penyusunan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Dede Rukmayadi, S.T., M.Si. selaku Rektor Institut Sains dan Teknologi Al-
Kamal Jakarta.
2. apt. Drs. R. Muhammad Sadikin, M.M. selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi Al- Kamal Jakarta.
3. Dr. apt. Delina Hasan, M.Kes. selaku Ketua Program Studi Farmasi Institut Sains
dan Teknologi Al-Kamal Jakarta.
4. apt. In Rahmi Fatria Fajar, M.Farm. selaku Dosen Pembimbing I yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan arahan di setiap
kesulitan.
5. apt. Febri Hidayat, S.Si., M.B.A. selaku Dosen Pembimbing II yang selalu siap
dalam meluangkan waktunya untuk memberikan masukan serta arahan selama
proses pembuatan skripsi.
6. apt. Dewi Rahma Fitri, M.Farm. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan arahan dan bimbingan akademik.
7. Seluruh Dosen dan Staff Institut Sains dan Teknologi Al-Kamal Jakarta yang
telah membantu terselesaikannya skripsi ini.
8. Keluarga yang selalu memberikan doa, nasihat, semangat dan semua perhatian.
9. Teman-teman saya yang turut memberikan dorongan dan dukungannya selama ini
serta teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya akan adanya kekurangan dalam penyusunan skripsi
ini, sebagaimana keterbatasan yang dimiliki penulis. Dengan segala kerendahan hati
penulis senantiasa mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan penulis.

vii
Jakarta, Juni 2021

Penulis

viii
DAFTAR ISI

ABSTRAK.........................................................................................................................i
ABSTRACT……………………………………………………………………………..ii
PENGGUNAAN SKRIPSI…………………………………………………………......iii
PERSETUJUAN SKRIPSI…………………………………………………………......iv
PENGESAHAN SKRIPSI………………………………………………………………v
PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI………………………………………………..vi
KATA PENGANTAR.....................................................................................................vii
DAFTAR ISI....................................................................................................................ix
DAFTAR TABEL............................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR......................................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………………..xiii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................1
A. LATAR BELAKANG....................................................................................1
B. PERUMUSAN MASALAH...........................................................................3
C. TUJUAN PENELITIAN................................................................................3
D. MANFAAT PENELITIAN............................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................5
A. PNEUMONIA................................................................................................5
1. Definisi.......................................................................................................5
2. Epidemiologi..............................................................................................7
3. Patogenesis.................................................................................................7
4. Etiologi.......................................................................................................8
5. Klasifikasi..................................................................................................9
B. DIAGNOSIS.................................................................................................10
1. Penegakan Diagnosis...............................................................................10
2. Anamnesis................................................................................................10
3. Pemeriksaan Fisis.....................................................................................11
4. Pemeriksaan Penunjang...........................................................................11
C. PENATALAKSANAAN..............................................................................12
D. PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI RUMAH SAKIT.................................14
E. ANTIBIOTIKA............................................................................................17
1. Definisi.....................................................................................................17
2. Penggolongan Antibiotika........................................................................18
3. Prinsip Penggunaan Antibiotika...............................................................22
F. RUMAH SAKIT...........................................................................................26
BAB III METODE PENELITIAN..................................................................................29
A. JENIS PENELITIAN....................................................................................29
B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN....................................................29
C. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN................................................29
1. Populasi....................................................................................................29
2. Sampel......................................................................................................29
3. Perhitungan Sampel Minimun.................................................................29
D. KRITERIA SAMPEL...................................................................................30
E. METODE PENGUMPULAN DATA..........................................................31
F. JENIS VARIABEL.......................................................................................31

ix
G. KERANGKA KONSEP...............................................................................32
H. DEFINISI OPERASIONAL.........................................................................32
I. ANALISA DATA.........................................................................................35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................36
A.DEMOGRAFI SAMPEL ..............................................................................36
1. Distribusi Pasien Pneumonia Berdasarkan Jenis Kelamin......................36
2. Distrisbusi Pasen Pneumonia Berdasarkan Usia.....................................37
3. Distribusi Paisen Pneumonia Berdasarkan Gejala Penyakit Penumonia 38
4. Distribusi Pasien Pneumonia Berdasarkan Lama Rawat.........................39
5. Pemeriksaan Mikrobiologi.......................................................................40
B.PROFIL PENGGUNAAN ANTIBIOTIK.....................................................42
1. Jenis dan Golongan Antibiotik yang Banyak Diresepkan........................42
2. Distibusi Berdasarkan Lama Pemberian Antibiotika...............................43
3. Efektifitas ObatAntibotik Setelah Pemberian...........................................44
C. ANALISA KUALITATIF BERDASARKAN METODE GYSSENS.........45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................................49
A.KESIMPULAN.............................................................................................49
B.SARAN..........................................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................51
LAMPIRAN……………………………………………………………………………52

x
DAFTAR TABEL

Tabel II.1. Cefalosporin...................................................................................................19


Tabel II.2. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Empiris....................................................24
Tabel III.1 Definisi Operasional......................................................................................33
Tabel IV.1 Distribusi Pasien Pneumonia Berdasarkan Jenis Kelamin............................36
Tabel IV.2 Hasil Kultur Sputum......................................................................................40
Tabel IV.3 Golongan Antibiotik Yang Banyak Diresepkan............................................42
Tabel IV.4 Distribusi Lama Pengobatan Antibiotik........................................................43
Tabel IV.5 Hasil Laboratorium Awal dan Akhir Pengobatan Antibiotik........................44

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1. Penilaian Kualitas Penggunaan Antibiotik (Gyssens Flowchart)..............17


Gambar II.1. Kerangka Konsep.......................................................................................32
Gambar IV.1 Distribusi Pasien Pneumonia Berdasarkan Usia........................................37
Gambar IV.2 Distribusi Pasien Pneumonia Berdasarkan Gejala ....................................38
Gambar IV.3 Distribusi Pasien Pneumonia Berdasarkan Lama Rawat..........................39
Gambar IV.4 Evaluasi Kualitatif Antibiotik...................................................................40

xii
DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. SURAT PENGANTAR PENELITIAN.................................................57


LAMPIRAN 2. SURAT IZIN PENGAMBILAN DATA...............................................58
LAMPIRAN 3. SURAT KODE ETIK PENELITIAN....................................................59
LAMPIRAN 4. PENGAMBILAN DATA DI RS...........................................................60

xiii
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) yang
dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus, jamur dan bakteri.
Angka kejadian pneumonia lebih sering terjadi di negara berkembang. Pneumonia
menyerang sekitar 450 juta orang setiap tahunnya. Separuh dari kematian balita
tertinggi akibat pneumonia tersebut terjadi di lima negara, meliputi: Nigeria
(162.000), India (127.000), Pakistan (58.000), Republik Demokratik Kongo
(40.000), dan Ethiopia (32.000). Pneumonia juga merupakan penyebab kematian
Balita terbesar di Indonesia yaitu menda patkan peringkat ke tujuh di seluruh
dunia. Pada tahun 2018, diperkirakan sekitar 19.000 anak meninggal dunia akibat
pneumonia. Estimasi global menunjukkan bahwa setiap satu jam ada 71 anak di
Indonesia yang tertular pneumonia (1).
Pada tahun 2018 prevalensi pneumonia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
mengalami peningkatan yaitu sekitar 2% dibandingkan prevalensi pneumonia pada
tahun 2013 yaitu 1,8%. Berdasarkan data laporan ruin Subdit ISPA Tahun 2018,
didapatkan insiden (per 1000 balita) di Indonesia sebesar 20,06%. Angka kematian
akibat pneumonia pada balita sebesar 0,08 %. Angka kematian akibat Pneumonia
pada kelompok bayi lebih tinggi yaitu sebesar 0,16 % dibandingkan pada kelompok
anak umur 1 – 4 tahun sebesar 0,05% (2). Penemuan dan penanganan penderita
pneumonia pada balita di Provinsi Banten tahun 2016 sebesar 35,08 persen,
meningkat cukup signifikan dibandingkan capaian tahun 2015 yaitu 29,04
persen (3).
Tingginya angka prevalensi pneumonia menyebabkan pemerintah Indonesia
membuat program pengendalian penyakit pneumonia dengan salah satu kegiatan
inti dari program pengendalian penyakit pneumonia yaitu praktik penemuan kasus
pneumonia. Berdasarkan data riskesdas tahun 2018, target nasional cakupan
penemuan kasus pneumonia yaitu sebesar 80% dan untuk Provinsi Bali cakupan
pneumonia sesebar 58,35%. Hal ini menunjukkan bahwa angka cakupan yang
dicapai provinsi Bali masih dibawah target nasional (3).

1
2

Angka kematian (mortalitas) akibat pneumonia pada balita tahun 2018 sebesar
0,08% (3). Pada tahun 2018 capaian terendah di provinsi Kalimantan Tengah
5,35% dan tertinggi di Sulawesi Tengah 95,53%. Indikator Renstra yang digunakan
sejak tahun 2015 adalah persentase Kabupaten/Kota yang 50% puskesmasnya
melakukan pemeriksaan dan tatalaksana standar pneumonia baik melalui
pendekatan MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit), maupun program P2 ISPA.
Hasil pada tahun 2015 tercapai 14,62% sedangkan target sebesar 20%, tahun 2016
tercapai 28,07% dari target 30%, tahun 2017 tercapai 42,6% dari target 40%. Tahun
2018 tercapai sebesar 43% dari target 50%. Pada tahun 2018 tidak mencapai target,
namun bila dilihat capaiannya meningkat dari tahun sebelumnya (3).
Tanda serta gejala yang lazim dijumpai pada pneumonia adalah demam,
tachypnea, takikardia, batuk yang produktif, serta perubahan sputum baik dari
jumlah maupun karakteristiknya. Selain itu pasien akan merasa nyeri dada seperti
ditusuk pisau, inspirasi yang tertinggal pada pengamatan naik-turunnya dada
sebelah kanan pada saat bernafas. Penatalaksaan pasien pneumonia pada awalnya
diberikan terapi empirik yang ditujukan pada patogen yang paling mungkin menjadi
penyebabnya. Bila telah ada hasil kultur dilakukan penyesuaian obat. Pada pasien
rawat inap Antibiotika harus diberikan dalam 8 jam pertama di rawat di RS. Pada
prinsipnya terapi utama pneumonia adalah pemberian Antibiotika tertentu terhadap
kuman tertentu pada suatu tipe dari Infeksi Saluran Nafas Bawah Akut (ISNBA)
baik pneumonia ataupun bentuk lain, dan antibiotika ini dimaksudkan sebagai
terapi kausal penyebab kuman yang dimaksud (4).
Antibiotika merupakan terapi utama pneumonia yang disebabkan bakteri.
Antibiotika yang disarankan sebagai terapi empirik pneumonia rawat inap antara
lain sefalosporin generasi ketiga dikombinasi dengan makrolida, florokuinolon
monoterapi dan tigesiklin untuk pasien yang intoleran sefalosporin dan
florokuinolon. Pemilihan penggunaan Antibiotika pada pasien bersifat individual
baik dengan pengobatan tunggal maupun dengan pengobatan kombinasi. Di
Indonesia, penelitian pada RSUD Dr. Soetomo dan RSUD Dr. Kariadi tahun 2008
menunjukkan bahwa 84% pasien di rumah sakit mendapatkan resep antibiotik, 53%
sebagai terapi, 15% sebagai profilaksis, dan 32% untuk indikasi yang tidak
diketahui. Selain itu telah ditemukan beberapa kuman patogen yang telah resisten
3

terhadap antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat mengakibatkan


terjadinya penurunan mutu pelayanan kesehatan dan keamanan pasien. Rasionalitas
Antibiotika dalam penggunaan Antibiotika diperlukan yang berdasarkan atas asas
tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, serta waspada terhadap efek
samping dan interaksi obat yang mungkin timbul dari pemberian Antibiotika secara
rasional. Penggunaan obat yang rasional lebih diarahkan pada pasien agar
didapatkan hasil yang aman, efektif dan efisien (5).

Penggunaan Antibiotika secara luas tanpa dosis regimen yang benar akan
menimbulkan resisten kuman terhadap Antibiotika atau bahkan terjadi superinfeksi,
meningkatkan toksisitas, dan efek samping obat, menurunkan efektivitas dan biaya
pelayanan kesehatan menjadi lebih tinggi, hal ini tentu merugikan penderita
khususnya dan masyarakat pada umumnya (6).

Oleh karena itu untuk menghindari akibat merugikan dari ketidakrasionalan


pengobatan, perlu dilakukan penelitian penggunaan obat Antibiotika dalam
pengobatan pneumonia berdasarkan asas tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan
obat, tepat dosis, tepat rute pemberian, tepat waktu pemberian dan tepat lama
pemberian obat.

B. PERUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana karakteristik usia dan jenis kelamin pasien pneumonia rawat inap di
RSU Tangerang Selatan periode Januari - Desember tahun 2020 ?
2. Bagaimana gambaran pemilihan antibiotik pada pasien pneumonia rawat inap di
RSU Tangerang Selatan periode Januari - Desember tahun 2020 ?
3. Bagaimana evaluasi penggunaan antibotik secara kualitatif pada pneumonia
berdasarkan kriteria Gyssens di RSU Tangerang Selatan periode Januari -
Desember tahun 2020 ?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui karakteristik pasien pneumonia rawat inap di RSU Tangerang
Selatan periode Januari - Desember tahun 2020.
2. Mengetahui gambaran pemilihan antibiotik pada pasien pneumonia rawat inap di
Rumah Sakit Umum Tangerang Selatan periode Januari - Desember tahun 2020.
4

3. Mengetahui evaluasi penggunaan antibotik secara kualitatif pada pneumonia


berdasarkan kriteria Gyssens di RSU Tangerang Selatan periode Januari -
Desember tahun 2020.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Sebagai bahan evaluasi terhadap penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia
di RSU Tangerang Selatan.
2. Memberikan informasi mengenai penggunaan antibiotik pada penatalaksanaan
pasien pneumonia.
3. Sebagai salah satu pertimbangan dalam upaya peningkatan rasionalitas
penggunaan Antibiotika yang tepat pada pasien pneumonia.
4. Menambah wawasan pembaca mengenai penggunan antibiotik yang tepat pada
pasien pneumonia.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PNEUMONIA
1. Anatomi Fisiologi Saluran Nafas
Respirasi secara fisiologis adalah peristiwa menghirup udara yang mengandung
oksigen dan menghembuskan udara yang banyak mengandung CO 2 sebagai sisa
dari oksidasi keluar tubuh. Adapun guna dari pernafasan yaitu mengambil O 2
yang dibawa oleh darah ke seluruh tubuh untuk pembakaran, mengeluarkan CO 2
sebagai sisa dari pembakaran yang di bawa oleh darah ke paru-paru untuk
dibuang, menghangatkan dan melembabkan udara. Pada dasarnya sistem
pernafasan terdiri dari suatu rangkaian saluran uadara yang mengahangatkan
udara luar agar besentuhan dengan membaran kapiler alveoli. Terdapat beberap
mekanisme yang berperan memasukkan undara ke dalam paru-paru sehingga
pertukaran gas dapat berlangsung. Fungsi mekanisme pergerakan uadar amasuk
dan keluar paru-paru di sebut sebagai ventilasi atau bernafas. Kemudian adanya
pemindahan O2 dan CO2 yang melintasi membaran alveolus-kapiler yang disebut
dengan difusi sendangkan pemindahan oksigen dan karbondiaksisa antara
kapiler-kapiler dan sel-sel tubuh di sebut dengan perfusi atau pernafasn internal
(7).

Gambar II.1 Anatomi Saluran Pernafasan (7).

5
6

2. Definisi
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari

bronkiolus terminalis yang mencangkup bronkiolus respiratorius, dan alveoli,

serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas

setempat. Pada pemeriksaan histologis terdapat pneumonitis atau reaksi

inflamasi berupa alveolitis dan pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan

oleh berbagai penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi
(4).

Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang


disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia
yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan
peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia,
radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis (8).
Pneumonia ialah peradangan pada parenkim paru, distal dari bronkiolus
respiratorius, dan alveoli, yang dapat menimbulkan konsolidasi jaringan paru
dan gangguan pertukaran gas setempat (8). Pada pasien yang dirawat dengan
pneumonia komuniti atau pneumonia yang didapat di masyarakat, didapatkan
bakteri patogen yang sering ditemukan ialah Streptococcus pneumoniae,
Haemophylus influenzae, Chlamydia pneumoniae, Legionella pneumoniae, dan
Mycoplasma pneumoniae. Bakteri penyebab pneumonia nosocomial yaitu
disebabkan oleh bakteri enteric gram- negatif dan Pseudomonas aeruginosa (8).
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolis respiratorus dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat
(4). 12 dari 1000 orang dewasa terkena pneumonia yang didapat di masyarakat
(community acquired) setiap tahunnya. Satu dari 1000 orang perlu perawatan
rumah sakit dan tingkat mortalitas sekitar 10% (8). Di Provinsi Jawa Tengah,
seluruh kasus kematian ISPA yang disebabkan oleh pneumonia sebesar 80-90%.
Prevalensi penderita pneumonia di Jawa Tengah pada tahun 2010 mencapai
26,76% (4). Sedangkan pada tahun 2011 penderita pneumonia pada balita di
Sukoharjo, Jawa Tengah mencapai 2.2% (8).
7

3. Gambaran Klinis
Gejala khas pada pneumonia yaitu demam, menggigil berkeringat, batuk
(produktif maupun non produktif dan sputum berlendir maupun purulent), sakit
dada karena pleuritic dan sesak. Adapun Gejala umum lainnya seperti pasien
lebih menyukai berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri
dada (9). Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada
bagian bawah saat bernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus,
perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan
pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub (9).

4. Epidemiologi
Penyakit saluran nafas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang
tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum
berhubungan dengan infeksi saluran nafas yang terjadi di masyarakat
(Pneumonia Komunitas) atau di dalam rumah sakit/pusat perawatan (pneumonia
nosokomial/PN atau pneumonia di pusat perawatan/PPP). Pneumonia yang
merupakan bentuk infeksi saluran nafas bawah akut di parenkim paru yang
serius dijumpai sekitar 15-20%.

Anamnesis epidemiologi haruslah mencangkup keadaan lingkungan pasien,


tempat yang dikunjungi dan kontak dengan orang atau binatang yang menderita
penyakit serupa. Pneumonnia diharapkan akan sembuh setelah terapi 2-3
minggu. Bila lebih lama perlu dicurigai adanya infeksi kronik oleh bakteri
anaerob atau non bakteri seperti jamur, mikobakterium atau parasit (10).

5. Patogenesis
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan 3 faktor yaitu keadaan (imunitas)
inang, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang
berinteraksi satu sama lain. Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan bentuk
manifestasi dari pneumonia, berat ringannya penyakit, diagnosis empirik,
rencana terapi secara empiris serta prognosis dari pasien (11).
Cara terjadinya penularan berkaitan dengan jenis kuman, misalnya infeksi
melalui droplet sering disebabkan Streptococcus pneumoniae, melalui selang
8

infus oleh Staphylococcus aureus sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator


oleh P. aeruginosa dan Enterobacter. Pada masa kini terlihat pola
mikroorganisme penyebab pneumoni akibat adanya perubahan keadaan pasien
seperti gangguan kekebalan dan penyakit kronik, polusi lingkungan, dan
penggunaan Antibiotika yang tidak tepat yang menimbulkan perubahan
karakteristik kuman. Dijumpai peningkatan patogenitas/jenis kuman akibat
adanya berbagai mekanisme, terutama oleh S.aureus, B. catarrhalis, H.
influenzae, dan Enterobacteriacae. Juga oleh berbagai bakteri enterik gram
negatif (4).
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang
biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada
kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel
saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan yaitu
inokulasi langsung, penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol,
kolonisasi dipermukaan mukosa.
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal,
mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui
udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi
proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring)
kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar
infeksi paru. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi
atau aspirasi (11).

6. Etiologi
Mikroorganisme penyebab yang tersering adalah bakteri, yang jenisnya berbeda
antar negara, antar satu daerah dengan daerah lain, di luar Rumah sakit dan di
dalam Rumah Sakit, antara Rumah Sakit besar/tersier dengan Rumah Sakit yang
lebih kecil. Karena itu perlu diketahui dengan baik pola kuman di suatu tempat.
9

Pada etiologi pneumonia komunitas diketahui berbagai patogen yang


cenderung dijumpai pada faktor resiko tertentu misalnya H. influenza pada
pasien perokok, patogen atipikal pada lansia, gram negatif pada pasien dari
rumah jompo, dengan adanya Penyakit Paru Obstruktif Kronis/PPOK, penyakit
penyerta kardiopulmonal/jamak, atau pasca terapi Antibiotika spektrim luas Ps.
aeruginosa pada pasien dengan bronkiektasis, terapi steroid (>10mg/hari),
malnutrisi dan imunosupresi dengan disertai leucopenia (12).

7. Klasifikasi
Community Acquired Pneumonia (CAP) merupakan pneumonia yang didapat di
luar rumah sakit atau panti jompo. Patogen umum yang biasa menginfeksi
adalah Streptococcus pneumoniae, H.influenzae, bakteri atypical, virus
influenza, respiratory syncytical virus (RSV). Pada anak-anak patogen yang
biasa dijumpai sedikit berbeda yaitu adanya keterlibatan Mycoplasma
pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, di samping bakteri pada pasien dewasa.
Nosokomial pneumonia merupakan pneumonia yang didapat selama pasien di
rawat di rumah sakit. Patogen yang umum terlibat adalah bakteri nosokomial
yang resisten terhadap Antibiotika yang beredar di rumah sakit.
Biasanya adalah bakteri enterik golongan gram negatif batang seperti E.coli,
Klebsiella sp., Proteus sp. Pada pasien yang lebih dulu mendapat terapi
cefalosporin generasi ke-3, biasanya dijumpai bakteri enterik yang lebih bandel
seperti citrobacter sp., Serratia sp, khususnya yang resisten terhadap methicilin.
Seringkali dijumpai pada pasien yang di rawat di ICU (13).
Terdapat 3 klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya atau cara
didapatnya, yaitu (14):
a) Community Acquired Pneumonia
Pneumonia komunitas atau yang lebih dikenal sebagai Community Acquired
Pneumonia merupakan suatu penyakit yang awalnya dimulai dari luar rumah
sakit atau didiagnosa dalam 48 jam setelah masuk rumah sakit. CAP biasa
disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza
dan Moraxella catarrhalis. Ketiga bakteri tersebut dijumpai hampir 85%
10

kasus CAP. CAP biasanya menular karena masuk melalui inhalasi atau
aspirasi organisme patogen ke segmen paru atau lobus paru-paru.
b) Hospital Acquired Pneumonia
Pneumonia Nosokomial atau yang lebih dikenal sebagai Hospital Acquired
Pneumonia ialah suatu penyakit yang dimulai 48 jam pertama setelah pasien
dirawat di rumah sakit, dan tidak sedang mengalami inkubasi suatu infeksi
saat masuk rumah sakit. Bakteri yang berperan dalam pneumonia nosokomial
adalah P. Aeruginosa, Klebsiella sp, S. Aureus, S. pneumonia.
c) Ventilator Acquired Pneumonia
Pneumonia berhubungan dengan ventilator ialah pneumonia yang terjadi
setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi trakea.

B. DIAGNOSIS
1. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis dibuat dengan maksud pengarahan kepada pemberian
terapi yaitu dengan cara mencangkup bentuk dan luas penyakit, tingkat berat
penyakit, dan perkiraan jenis kuman penyebab penyakit. Dugaan
mikroorganisme penyebab infeksi akan mengarah kepada pemilihan terapi
empiris Antibiotika yang tepat. Seringkali bentuk pneumonia mirip meskipun
disebabkan oleh kuman yang berbeda. Diagnosis pneumonia didasarkan kepada
riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis yang teliti dan pemeriksaan
penunjang (15).

2. Anamnesis
Ditujukkan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang berhubungan
dengan faktor infeksi:
a. Evaluasi faktor pasien/predisposisi: PPOK /Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(H. influenza), penyakit kronik (kuman jamak), kejang/tidak sadar (aspirasi
gram negatif, anaerob), penurunan imunitas (kuman gram negatif),
Pneumocystic carinii, CMV, Legionella, jamur, kecanduan obat bius
(Staphylococcus).
11

b. Bedakan lokasi infeksi: PK/Pneumonia Komunitas (Streptococcus


pneumoniae, H. influenza, M. pneumoniae), rumah jompo, PN/Pneumonia
Nosokomial (Staphylococcus aureus), gram negatif.
c. Usia pasien: bayi (virus), muda (M.pneumoniae), dewasa (S. pneumoniae).
d. awitan: cepat, akut dengan rusty coloured sputum (S. pneumoniae); perlahan,
dengan batuk, dahak sedikit (M.pneumoniae) (15).

3. Pemeriksaan Fisis
Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia dan keadaan klinis. Perhatikan
gejala klinis yang mengarah pada tipe kuman penyebab/patogenitas kuman dan
tingkat berat penyakit (16):
a. Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti S.pneumoniae,
Streptococcus spp, Staphylococcus. Pneumonia virus ditandai dengan
mialgia, malaise, batuk kering dan nonproduktif.
b. Awitan lebih insidious dan ringan pada orang tua/imunitas menurun akibat
kuman yang kurang patogen/oportunistik, misalnya; Klebsiella,
Pseudomonas, Enterobacteriaceae, kuman anaerob, jamur.
c. Tanda-tanda fisis pada tipe pneumonia klasik dapat didapatkan berupa
demam, sesak nafas, tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang pekak,
ronki nyaring, suara pernafasan bronkial). Bentuk klasik pada PK/Pneumonia
Komunitas primer berupa bronkopneumonia, pneumonia lobaris atau
pleuropneumonia. Gejala atau bentuk yang tidak khas dijumpai pada
PK/Pneumonia Komunitas yang sekunder (didahului dasar penyakit paru),
ataupun PN/Pneumonia Nosokomial. Dapat diperoleh bentuk manifestasi oleh
infeksi paru seperti efusi pleura, pneumotoraks/ hidropneumo toraks. Pada
pasien PN/Pneumonia Nosokomial atau dengan gangguan imun dapat
dijumpai gangguan kesadaran oleh hipoksia.
d. warna, konsistensi dan jumlah sputum penting untuk diperhatikan (16).

4. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan radiologis.
Pola radiologis dapat berupa pneumonia laveolar dengan gambaran air
bronkhogram (airspace disease) misalnya oleh Streptococcus pneumoniae,
12

bronkopneumonia (segmental disease) oleh antara lain Staphylococcus, virus


atau mikoplasma; dan pneumonia interstisial (intersitial disease ) oleh virus
dan mikoplasma. Distribusi infiltrasi pada segmen apikal lobus bawah atau
inferior lobus atas sugestif untuk kuman aspirasi. Tetapi pada pasien yang
tidak sadar, lokasi ini bisa dimana saja. Infiltrasi di lobus atau sering
ditimbulkan Klebsiella spp, tuberkulosis atau amiloidosis. Pada lobus bawah
dapat terjadi infiltrat akibat Staphylocccus atau bakteriemia. Ulangan foto
perlu dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya infeksi
sekunder/tambahan, efusi pleura penyerta yang terinfeksi atau pembentukan
abses. Pada pasien yang mengalami perbaikan klinis ulangan foto dada dapat
ditunda karena resolusi pneumonia berlangsung 4-12 minggu (17).
b) Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri; leukosit
normal/rendah dapat disebabkan oleh infeksi virus/mikoplasma atau pada
infeksi yang berat sehingga tidak terjadi respons leukosit, orang tua atau
lemah.
c) Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal, aspirasi
jarum transtorakal, torakosentesis, bronkoskopi atau biopsi. Kultur kuman
merupakan pemeriksaan utama pra terapi dan bermanfaat untuk evaluasi
terapi berikutnya (17).

C. PENATALAKSANAAN
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya.
Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga
diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen yang spesifik
misalnya S. Pneumoniae yang resisten penisilin (18).
Penderita rawat jalan dengan pengobatan suportif/simptomatik yaitu istirahat di
tempat tidur, minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi, bila panas tinggi perlu
dikompres atau minum obat penurun panas, bila perlu dapat diberikan mukolitik
dan ekspektoran, dan pemberian antibiotik harus diberikan kurang dari 8 jam.
13

Penderita rawat inap di ruang rawat biasa dengan pengobatan suportif/


simptomatik yaitu pemberian terapi oksigen, pemasangan infus untuk rehidrasi
dan koreksi kalori dan elektrolit, pemberian obat simptomatik antara lain
antipiretik, mukolitik dan pengobatan antibiotik harus diberikan kurang dari 8 jam
(19).
Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif dengan pengobatan
suportif/simptomatik yaitu pemberian terapi oksigen, pemasangan infus untuk
rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit. Pemberian obat simptomatik antara lain
antipiretik, mukolitik dan pengobatan antibiotik kurang dari 8 jam, bila ada indikasi
penderita dipasang ventilator mekanik. Penderita pneumonia berat yang datang ke
UGD diobservasi tingkat kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita
dirawat di ruang rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita
dirawat di Ruang Rawat Intensif. Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada
perbaikan/ memburuk maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan
uji sensitiviti.
Pada pengobatan pneumonia atipik, antibiotik masih tetap merupakan
pengobatan utama. Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh
M.pneumoniae, C.pneumoniae dan Legionella adalah golongan Makrolid baru
(azitromisin, klaritromisin, roksitromisin), Fluorokuinolon respiness, dan
Doksisiklin (19).
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat
suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya
perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Hal ini dinamakan terapi sulih
(switch therapy). Perubahan obat suntik ke oral harus memperhatikan ketersediaan
antibiotik yang diberikan secara iv dan antibiotik oral yang efektivitinya mampu
mengimbangi efektiviti antibiotik iv yang telah digunakan. Perubahan ini dapat
diberikan secara sequential (obat sama, potensi sama) contoh terapinya yaitu
levofioksasin, moksifloksasin, gatifloksasin. Switch over (obat berbeda, potensi
sama) contoh switch over : seftasidin iv ke siprofloksasin oral. Step down (obat
sama atau berbeda, potensi lebih rendah) contoh terapi step down yaitu
amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim oral. Obat suntik dapat
14

diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada hari ke 4 diganti obat oral
dan penderita dapat berobat jalan.
Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia komuniti yaitu
tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi, tidak ada kelainan pada
penyerapan saluran cerna, penderita sudah tidak panas ± 8 jam, gejala klinik
membaik seperti frekuensi pernapasan, batuk, dan Leukosit menuju normal/normal.
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24-72 jam tidak ada
perbaikan, kita harus meninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor penderita, obat-
obat yang telah diberikan dan bakteri penyebabnya (20).

D. PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI RUMAH SAKIT


Muncul dan berkembangnya mikroba resisten dapat dikendalikan melalui dua
kegiatan utama, yaitu penerapan penggunaan antibiotik secara bijak (prudent use of
antibiotics), dan penerapan prinsip pencegahan penyebaran mikroba resisten
melalui kewaspadaan standar (21).
Penggunaan antibiotik secara bijak ialah penggunaan antibiotik yang sesuai
dengan penyebab infeksi dengan rejimen dosis optimal, lama pemberian optimal,
efek samping minimal, dan dampak minimal terhadap munculnya mikroba resisten.
Oleh sebab itu pemberian antibiotik harus disertai dengan upaya menemukan
penyebab infeksi dan pola kepekaannya. Penggunaan antibiotik secara bijak
memerlukan kebijakan pembatasan dalam penerapannya. Antibiotik dibedakan
dalam kelompok antibiotik yang bebas digunakan oleh semua klinisi (non-
restricted) dan antibiotik yang dihemat dan penggunaannya memerlukan
persetujuan tim ahli (restricted dan reserved) (21).
Peresepan antibiotik bertujuan mengatasi penyakit infeksi (terapi) dan
mencegah infeksi pada pasien yang berisiko tinggi untuk mengalami infeksi bekteri
pada tindakan pembedahan (profilaksis bedah) dan beberapa kondisi medis tertentu
(profilaksis medik). Antibiotik tidak diberikan pada penyakit non-infeksi dan
penyakit infeksi yang dapat sembuh sendiri (self-limited) seperti infeksi virus.
Pemilihan jenis antibiotik harus berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi atau
berdasarkan pola mikroba dan pola kepekaan antibiotik, dan diarahkan pada
antibiotik berspektrum sempit untuk mengurangi tekanan seleksi (selection
pressure). Penggunaan antibiotik empiris berspektrum luas masih dibenarkan pada
15

keadaan tertentu, selanjutnya dilakukan penyesuaian dan evaluasi setelah ada hasil
pemeriksaan mikrobiologi (streamlining atau de-eskalasi). Beberapa masalah
dalam pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit perlu diatasi. Misalnya,
tersedianya laboratorium mikrobiologi yang memadai, komunikasi antara berbagai
pihak yang terlibat dalam kegiatan perlu ditingkatkan. Selain itu, diperlukan jalur
resmi. Semua obat produsen di Indonesia harus dan telah menerapkan CPOB.
dukungan kebijakan pembiayaan dan pengadaan antibiotik yang mendukung
pelaksanaan penggunaan antibiotik secara bijak di rumah sakit. Untuk menjamin
berlangsungnya program ini perlu dibentuk Tim Pelaksana Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba (Tim PPRA) di rumah sakit (22).
Kebijakan penggunaan antibiotik di rumah sakit, berisi hal berikut ini:
1. Kebijakan Umum
a. Kebijakan penanganan kasus infeksi secara multidisiplin.
b. Kebijakan pemberian antibiotik terapi meliputi antibiotik empirik dan
definitif Terapi antibiotik empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus
infeksi atau diduga infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebab dan
pola kepekaannya. Terapi antibiotik definitif adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
kepekaannya.
c. Kebijakan pemberian antibiotik profilaksis bedah meliputi antibiotik
profilaksis atas indikasi operasi bersih dan bersih terkontaminasi sebagaimana
tercantum dalam ketentuan yang berlaku. Antibiotik Profilaksis Bedah adalah
penggunaan antibiotik sebelum, selama, dan paling lama 24 jam pascaoperasi
pada kasus yang secara klinis tidak memperlihatkan tanda infeksi dengan
tujuan mencegah terjadinya infeksi luka daerah operasi.
d. Pemberian antibiotik pada prosedur operasi terkontaminasi dan kotor
tergolong dalam pemberian antibiotik terapi sehingga tidak perlu
ditambahkan antibiotik profilaksis.

2. Kebijakan Khusus
Pasien yang secara klinis diduga atau diidentifikasi mengalami infeksi bakteri
diberi antibiotik empirik selama 48-72 jam. Pemberian antibiotik lanjutan harus
16

didukung data hasil pemeriksaan laboratorium dan mikrobiologi. Sebelum


pemberian antibiotik dilakukan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan
mikrobiologi. Antibiotik empirik ditetapkan berdasarkan pola mikroba dan
kepekaan antibiotik setempat.
Prinsip pemilihan antibiotik.
a. Pilihan pertama (first choice).
b. Pembatasan antibiotik (restricted/reserved).
c. Kelompok antibiotik profilaksis dan terapi.
Kualitas penggunaan antibiotik dapat dinilai dengan melihat data dari form
penggunaan antibiotik dan rekam medik pasien untuk melihat perjalanan
penyakit. Setiap kasus dipelajari dengan mempertimbangkan gejala klinis dan
melihat hasil laboratorium apakah sesuai dengan indikasi antibiotik. Kategori
hasil penilaian (Gyssens flowchart):
a. Kategori 0 : Penggunaan antibiotik tepat dan rasional
b. Kategori I : tidak tepat saat (timing) pemberian antibiotik
c. Kategori II A : tidak tepat dosis pemberian antibiotik
d. Kategori II B : tidak tepat interval pemberian antibiotik
e. Kategori II C : tidak tepat rute pemberian antibiotik
f. Kategori III A : pemberian antibiotik terlalu lama
g. Kategori III B : pemberian antibiotik terlalu singkat
h. Kategori IV A : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik lain yang
lebih efektif
i. Kategori IV B : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik lain yang
lebih aman
j. Kategori IV C : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik lain yang
lebih murah
k. Kategori IV D : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik lain
dengan spektrum lebih sempit
l. Kategori V : tidak ada indikasi pemberian antibiotik
m. Kategori VI : data tidak lengkap sehingga penggunaan antibiotik tidak dapat
dinilai (10).
17

Gambar II.1. Penilaian Kualitas Penggunaan Antibiotik


(Gyssens Flowchart) (10).

E. ANTIBIOTIK
1. Definisi
Antibiotika adalah obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri.
Antibiotika bisa bersifat bakterisid (membunuh bakteri) atau bakteriostatik
(mencegah berkembangbiaknya bakteri) (23).
Antibiotika adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang
mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu proses biokimia
mikroorganisme lain. Istilah “antibiotika” sekarang meliputi senyawa sintetik
seperti sulfonamida dan kuinolon yang bukan merupakan produk mikroba. Sifat
antibiotika adalah harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin,
artinya obat tersebut harus bersifat sangat toksik untuk mikroba tetapi relatif
tidak toksik untuk hospes (24).
18

2. Penggolongan Antibiotika
Berikut ini rangkuman tentang mekanisme kerja, spektrum aktivitas, prinsip
dasar farmakokinetik pada beberapa Antibiotika yang banyak digunakan dalam
terapi infeksi saluran pernapasan (25).
a. Penicilin
Penicilin merupakan derifat β-laktam tertua yang memiliki aksi bakterisidal
dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri. Masalah
resistensi akibat penicilinase mendorong lahirnya terobosan dengan
ditemukannya derivat penicilin seperti methicilin, fenoksimetil penicilin yang
dapat diberikan oral, karboksipenicilin yang memiliki aksi terhadap
Pseudomonas sp. Namun hanya Fenoksimetilpenicilin yang dijumpai di
Indonesia yang lebih dikenal dengan nama Penicilin V (26).
Spektrum aktivitas dari fenoksimetilpenicilin meliputi terhadap
Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae serta aksi yang kurang
kuat terhadap Enterococcus faecalis. Aktivitas terhadap bakteri Gram negatif
sama sekali tidak dimiliki. Antibiotika ini memiliki waktu paruh 30 menit,
namun memanjang pada pasien dengan gagal ginjal berat maupun terminal,
sehingga interval pemberian 250 mg setiap 6 jam (27).
Terobosan lain terhadap penicilin adalah dengan lahirnya derivat
penicilin yang berspektrum luas seperti golongan aminopenicilin
(amoksisilin) yang mencakup E. Coli, Streptococcus pyogenes, Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, Neisseria gonorrhoeae. Penambahan
gugus β-laktamase inhibitor seperti klavulanat memperluas cakupan hingga
Staphylococcus aureus, Bacteroides catarrhalis. Sehingga saat ini
amoksisilinklavulanat merupakan alternatif bagi pasien yang tidak dapat
mentoleransi alternatif lain setelah resisten dengan amoksisilin (28).
Profil farmakokinetik dari amoksisilin-klavulanat antara lain bahwa
absorpsi hampir komplit tidak dipengaruhi makanan. Obat ini terdistribusi
baik ke seluruh cairan tubuh dan tulang bahkan dapat menembus blood brain
barrier, namun penetrasinya ke dalam sel mata sangat kurang. Metabolisme
obat ini terjadi di liver secara parsial. Waktu paruh sangat bervariasi antara
lain pada bayi normal 3,7 jam, pada anak 1-2 jam, sedangkan pada dewasa
19

dengan ginjal normal 07-1,4 jam. Pada pasien dengan gagal ginjal berat
waktu paruh memanjang hingga 21 jam. Untuk itu perlu penyesuaian dosis,
khususnya pada pasien dengan klirens kreatinin < 10 ml/menit menjadi 1 x 24
jam (29).
b. Cephalosporin
Merupakan derivat β-laktam yang memiliki spektrum aktivitas bervariasi
tergantung generasinya. Saat ini ada empat generasi cefalosporin, seperti
tertera pada tabel berikut:
Tabel II.1. Golongan Cephalosporin (30).

Rute Pemberian
Generasi Spektrum Aktivitas
Peroral Parenteral
Pertama Cefaleksin Cefaleksin Stapylococcus aureus,
Cefradin Cefazolin Streptococcus pyogenes,
Streptococcus pneumoniae,
Cefadroksil Haemophilus influenzae, E.
Coli, Klebsiella sp.
Kedua Cefaklor Cefamandole s.d.a. kecuali Cefuroksim
Cefprozil Cefmetazole memiliki aktivitas tambahan
terhadap Neisseria
Cefuroksim Cefuroksim gonorrhoeae
Cefonicid
Ketiga Cefiksim Cefiksim Stapylococcus aureus (paling
Cefpodoksim Cefotaksim kuat pada cefotaksim bila
dibanding preparat lain
Cefditoren Ceftriakson pada generasi ini),
Ceftazidime Streptococcus pyogenes,
Streptococcus pneumoniae,
Cefoperazone
Haemophilus influenzae, E.
Ceftizoxime Coli, Klebsiella spp.
Enterobacter spp, Serratia
marcescens.
Keempat Cefepime Stapylococcus aureus,
Cefpirome Streptococcus pyogenes,
Streptococcus pneumoniae,
Cefclidin Haemophilus influenzae, E.
Coli, Klebsiella spp.
Enterobacter spp, Serratia
marcescens.

Cefotaksim pada generasi tiga memiliki aktivitas yang paling luas di antara
generasinya yaitu mencakup pula Pseudominas aeruginosa, B. Fragilis
meskipun lemah. Cefalosporin yang memiliki aktivitas yang kuat terhadap
Pseudomonas aeruginosa adalah ceftazidime setara dengan cefalosporin
generasi keempat, namun aksinya terhadap bakteri Gram positif lemah,
20

sehingga sebaiknya agen ini disimpan untuk mengatasi infeksi nosokomial


yang melibatkan pseudomonas. Spektrum aktivitas generasi keempat sangat
kuat terhadap bakteri Gram positif maupun negatif, bahkan terhadap
Pseudominas aeruginosa sekalipun, namun tidak terhadap B. Fragilis (30).
Mekanisme kerja golongan cefalosporin sama seperti β-laktam lain yaitu
berikatan dengan penicilin protein binding (PBP) yang terletak di dalam
maupun permukaan membran sel sehingga dinding sel bakteri tidak terbentuk
yang berdampak pada kematian bakteri.
b. Makrolida
Eritromisina merupakan prototipe golongan ini sejak ditemukan pertama kali
tahun 1952. Komponen lain golongan makrolida merupakan derivat sintetik
dari eritromisin yang struktur tambahannya bervariasi antara 14-16 cincin
lakton. Derivat makrolida tersebut terdiri dari spiramysin, midekamisin,
roksitromisin, azitromisin dan klaritromisin. Aktivitas antimikroba golongan
makrolida secara umum meliputi Gram positif coccus seperti Staphylococcus
aureus, coagulase-negatif staphylococci, streptococci β-hemolitik dan
Streptococcus spp. lain,enterococci, H. Influenzae, Neisseria spp, Bordetella
spp, Corynebacterium spp, Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia dan
Legionella spp. Azitromisin memiliki aktivitas yang lebih poten terhadap
Gram negatif, volume distribusi yang lebih luas serta waktu paruh yang lebih
panjang. Klaritromisin memiliki fitur farmakokinetika yang meningkat
(waktu paruh plasma lebih panjang, penetrasi ke jaringan lebih besar) serta
peningkatan aktivitas terhadap H. Influenzae, Legionella pneumophila.
Sedangkan roksitromisin memiliki aktivitas setara dengan eritromisin, namun
profil farmakokinetiknya mengalami peningkatan sehingga lebih dipilih
untuk infeksi saluran pernapasan. Hampir semua komponen baru golongan
makrolida memiliki tolerabilitas, profil keamanan lebih baik dibandingkan
dengan eritromisin. Lebih jauh lagi derivat baru tersebut bisa diberikan satu
atau dua kali sehari, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien (31).
c. Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan agen antimikrobial hasil biosintesis yang memiliki
spektrum aktivitas luas. Mekanisme kerjanya yaitu blokade terikatnya asam
21

amino ke ribosom bakteri (sub unit 30S). Aksi yang ditimbulkannya adalah
bakteriostatik yang luas terhadap gram positif, gram negatif, chlamydia,
mycoplasma, bahkan rickettsia. Generasi pertama meliputi tetrasiklin,
oksitetrasiklin, klortetrasiklin. Generasi kedua merupakan penyempurnaan
dari sebelumnya yaitu terdiri dari doksisiklin, minosiklin. Generasi kedua
memilki karakteristik farmakokinetik yang lebih baik yaitu antara lain
memiliki volume distribusi yang lebih luas karena profil lipofiliknya. Selain
itu bioavailabilitas lebih besar, demikian pula waktu paruh eliminasi lebih
panjang (> 15 jam). Doksisiklin dan minosiklin tetap aktif terhadap
stafilokokus yang resisten terhadap tetrasiklin, bahkan terhadap bakteri
anaerob seperti Acinetobacter spp, Enterococcus yang resisten terhadap
Vankomisin sekalipun tetap efektif (32).
d. Quinolon
Golongan quinolon merupakan antimikrobial oral memberikan pengaruh
yang dramatis dalam terapi infeksi. Dari prototipe awal yaitu asam nalidiksat
berkembang menjadi asam pipemidat, asam oksolinat, cinoksacin,
norfloksacin. Generasi awal mempunyai peran dalam terapi gram-negatif
infeksi saluran kencing. Generasi berikutnya yaitu generasi kedua terdiri dari
pefloksasin, enoksasin, ciprofloksasin, sparfloksasin, lomefloksasin,
fleroksasin dengan spektrum aktivitas yang lebih luas untuk terapi infeksi
community-acquired maupun infeksi nosokomial. Lebih jauh lagi
ciprofloksasin, ofloksasin, peflokasin tersedia sebagai preparat parenteral
yang memungkinkan penggunaannya secara luas baik tunggal maupun
kombinasi dengan agen lain. Mekanisme kerja golongan quinolon secara
umum adalah dengan menghambat DNA-gyrase. Aktivitas antimikroba
secara umum meliputi, Enterobacteriaceae, P. aeruginosa, srtaphylococci,
enterococci, streptococci. Aktivitas terhadap bakteri anaerob pada generasi
kedua tidak dimiliki. Demikian pula dengan generasi ketiga quinolon seperti
levofloksasin,gatifloksasin, moksifloksasin. Aktivitas terhadap anaerob
seperti B. fragilis, anaerob lain dan Gram-positif baru muncul pada generasi
keempat yaitu trovafloksacin. Modifikasi struktur quinolon menghasilkan
aktivitas terhadap mycobacteria sehingga digunakan untuk terapi TB yang
22

resisten, lepra, prostatitis kronik, infeksi kutaneus kronik pada pasien


diabetes. Profil farmakokinetik quinolon sangat mengesankan terutama
bioavailabilitas yang tinggi, waktu paruh eliminasi yang panjang. Sebagai
contoh ciprofloksasin memiliki bioavailabilitas berkisar 50-70%, waktu paruh
3-4 jam, serta konsentrasi puncak sebesar 1,51-2,91 mg/L setelah pemberian
dosis 500mg. Sedangkan Ofloksasin memiliki bioavailabilitas 95-100%,
dengan waktu paruh 5-8 jam, serta konsentrasi puncak 2-3mg/L paska
pemberian dosis 400mg. Perbedaan di antara quinolon di samping pada
spektrum aktivitasnya, juga pada profil tolerabilitas, interaksinya dengan
teofilin, antasida, H2-Bloker, antikolinergik, serta profil keamanan secara
umum (33).
Resistensi merupakan masalah yang menghadang golongan quinolon di
seluruh dunia karena penggunaan yang luas. Spesies yang dilaporkan banyak
yang resisten adalah P. aeruginosa, beberapa streptococci, Acinetobacter spp,
Proteus vulgaris, Serratia spp.
e. Sulfonamida
Preparat sulfonamida yang paling banyak digunakan adalah Sulfametoksazol
yang dikombinasikan dengan trimetoprim yang lebih dikenal dengan nama
Kotrimoksazol. Mekanisme kerja sulfametoksazol adalah dengan
menghambat sintesis asam folat, sedangkan trimetoprim menghambat reduksi
asam dihydrofolat menjadi tetrahydrofolat sehingga menghambat enzim pada
alur sintesis asam folat. Kombinasi yang bersifat sinergis ini menyebabkan
pemakaian yang luas pada terapi infeksi community-acquired seperti sinusitis,
otitis media akut, infeksi saluran kencing. Aktivitas antimikroba yang
dimiliki kotrimoksazol meliputi kuman gramnegatif seperti e. coli, klebsiella,
enterobacter sp, M morganii, P. mirabilis, P. vulgaris, H. Influenza,
salmonella serta gram-positif seperti S. Pneumoniae, Pneumocystis carinii.,
serta parasit seperti Nocardia sp (35).

3. Prinsip Penggunaan Antibiotik


Penggunaan antibiotik yang rasional disasrkan pada pemahaman dari banyak
aspek penyakit infeksi. Faktor yang berhubungan dengna pertahanan tubuh
23

pasien, identitas, virulensi dan kepeaan mikroorganisme, farmakokinetika dan


farmakodinamika dari antibiotik perlu di perhatikan (36).
Terapi dengan antibiotik memnggunakan antibiotik berbeda dengan
farmakoterapi lainnya. Terapi ini berdasrkan tidak hanyak karakterisik pasien
dan obat, namun juga jenis infeksi dan mikrooorganisme penyabab infeksi. Ada
hubungan yang rumit antara pasien, patogen dan antibiotika. Memilih antibiotika
untuk mengobati infeksi lebih rumit dari pada memilih obat untuk pagtogen yang
sidah diketahui (37).
Pada umumnya terapi empiris untuk pneumonia yang digunakan adalah
agen antibiotik (37). Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi
dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan
kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (37).Pemilihan dan
penggunaan terapi antibiotika yang tepat dan rasional akan menentukan
keberhasilan pengobatan untuk menghindari terjadinya resistensi bakteri. Selain
itu tidak tertutup kemungkinan penggunaan obat-obat yang lain dapat
meningkatkan peluang terjadinya Drug Related Problems (DRP) (37).
Prinsip penggunaan antibiotik untuk terapi empiris dan definitif yaitu:
a. Antibiotik Terapi Empiris
Penggunaan Antibiotika untuk terapi empiris adalah penggunaan Antibiotika
pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan
pemberian Antibiotika untuk terapi empiris adalah eradikasi atau
penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi,
sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi ditemukan
sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri tertentu yang paling
sering menjadi penyebab infeksi yaitu dasar pemilihan jenis dan dosis
Antibiotika data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia di
komunitas atau di rumah sakit setempat, kondisi klinis pasien, ketersediaan
Antibiotika, kemampuan Antibiotika untuk menembus ke dalam
jaringan/organ yang terinfeksi dan untuk infeksi berat yang diduga
disebabkan oleh polimikroba dapat digunakan Antibiotika kombinasi. Rute
pemberian Antibiotika oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi
infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan
24

menggunakan Antibiotika parenteral. Lama pemberian Antibiotika empiris


diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam. Selanjutnya harus dilakukan
evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data
penunjang lainnya. Evaluasi penggunaan Antibiotika empiris dapat dilakukan
seperti pada tabel berikut:
Tabel II.2. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Empiris (37).
Hasil Kultur Klinis Sensitivitas Tindak Lanjut
+ Membaik Sesuai Lakukan sesuai prinsip de-
eskalasi
+ Membaik Tidak sesuai Evaluasi diagnosis dan Terapi
+ Tetap Sesuai Evaluasi diagnosis dan Terapi
memburuk
+ Tetap Tidak sesuai Evaluasi diagnosis dan Terapi
memburuk
- Membaik 0 Evaluasi diagnosis dan Terapi
- Tetap 0 Evaluasi diagnosis dan Terapi
memburuk

b. Antibiotika untuk Terapi Definitif


Penggunaan Antibiotika untuk terapi definitif adalah penggunaan Antibiotika
pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
resistensinya. Tujuan pemberian Antibiotika untuk terapi definitif adalah
eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab
infeksi, berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi sesuai dengan
hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi. Dasar pemilihan jenis dan
dosis Antibiotika yaitu efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji
klinik, sensitivitas, biaya, kondisi klinis pasien, diutamakan Antibiotika lini
pertama/spektrum sempit, ketersediaan Antibiotika (sesuai formularium
rumah sakit), sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat
yang terkini, dan paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.
Rute pemberian: Antibiotika oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk
terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan
menggunakan Antibiotika parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan,
pemberian Antibiotika parenteral harus segera diganti dengan Antibiotika per
oral. Lama pemberian Antibiotika definitif berdasarkan pada efikasi klinis
untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi.
25

Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan


kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (9).

4. Evaluasi Penggunaan Antibiotik


1) Evaluasi antibiotik secara kuantitatif
Evaluasi antibiotik secara kuantitaif dilakukan dengan menilai jumlah
antibiotik yang digunakan dan dinyatakan dengan DDD/100 pastient-day.
DDD (definef daily dose) adalah dosis rata-rata per hari untuk indikasi
terrtentu pada orang dewasa (berat badan 70 Kg). evaluvasi ini dapdat
dilakukan secara retrospektif maupun prospektif. Evaluasi antibiotik
kuantitatif secara retropsektif dilakukan dengan cara melihat jumlah
penggunaan dosis antibiotik melalui rekam medis setalah apoteker pulang,
sedangkan secara prospektif dilakukan wawancara pada pasien. Investigator
mengevaluasi dosis antibiotik dari peresepan dokter dan catatan peraat untuk
mengathui dosis obat yang sebernarnya yang sudah diterima pasien (38).
2) Evaluasi antibiotik secara kualitiatif
Pada fasilitas pelayanan kesehatan, antibiotik digunakan pada tiga jenis
situasi:
a. Terapi empiris: pemberian antibiotika untuk mengaobati infeksi aktif pada
pendekatan buda (blind) sebelum mikroorganisme penyebab diidentifikasi
dan antibioitk yang sensitif ditentukan.
b. Terapi definitif: pemberian antibiotika untuk mikroorganisme spesifik
yang menyebabkan nfeksi aktif atai laten.
c. Profilaksis: pemberian antibioitk untuk mencegah timbulnya infeksi
Kualitas penggunaan antibiotika untuk terapi empiris dan profilaksis
umumnya di nilai dari data yang tersedia pada penelitianlokal dan resistensi
mikroba serta dari informasi yang didapat pada epidemiologi infeksi dan
organisme penyebab secara lokal/laboratorium mikrobiologi berperan penting
pada pengumpulan data, analisis ada pelaporan data surveilant dan
menyedeiakan informasi yang gigunakan untuk terapi empiris (perkiraan
berdasarkan data) atau profilaksis. Pedoman terapi empiris dan profilaksis
26

berdasarkan surveilans ini seharusnya ada pada fasilitas pelayanan kesehatan


(38).
Akses terhadap fasilitas laboratorium maikrobiologi sangat penting untuk
mengidentifikasi patogen dan obat yang sensitif agar dapat dilakukan terapi
definitif dengan spektrum aktivitas yang lebih sempit dibandingkan terapi
empiris (38).
Audit penggunaan antibiotik didefinisikan sebagai analisa kesesuian
peresepan individual. Audit merupakan metode lengkap untuk menilai
seluruh aspek terapi. Proses evaluasi dapat dilakukan dengan alat evaluvasi
yang dideain oleh peneliti sendiri atau dengan alat evaluvasi yang sudah baku
seperti Metode Kunin (39).
Metode Gyssens berbentuk diagram alir yang diadaptasi dari kriteria
Kunin metode ini mengevaluasi seluruh aspek peresepan antibiotika, seperti:
penilaian peresepan, alternatif yang lebih efektif, lebih toksis, lebih murah,
spektrum lebih sempit. Selain itu juga dievaluvasi lama pengobatan dan dosis,
interval dan rute pemberian serta waktu pemberian (10).
Diagram alir ini merupakan alat yang penting untuk menilai kualitas
penggunaan antibiotika. Pengobatan dapat tidak sesuai dengan alasan yang
berbeda pada saat yang sama dan dapat ditempatkan dalam lebih dari satu
kategori. Dengan alat ini, terapi empiris dan dinilai, demikian juga terapi
definitif setelah hasil pmeriksaan mikrobioologi diketahui (10).

F. RUMAH SAKIT
1. Definisi
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan peiayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Berdasarkan jenis pelayanan dan
kelasnya, rumah sakit dibedakan menjadi 4 yaitu (40) :
a) Rumah Sakit Kelas A, yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik spesialistik luas dan subspesialistik luas.
b) Rumah Sakit Kelas B, yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik sekurang-kurangnya 11 spesialistik dan subspesialistik terbatas.
27

c) Rumah Sakit Kelas C, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik


spesialistik dasar.
d) Rumah Sakit Kelas D, yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik dasar.
2. Rumah Sakit Umum Tangerang Selatan
Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan mempunyai tugas melaksanakan
upaya kesehatan secara berdayaguna dan berhasilguna dengan mengutamakan
upaya penyembuhan, pemulihan yang dilaksanakan secara serasi, terpadu
dengan upaya peningkatan serta pencegahan dan melaksanakan upaya rujukan,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumah Sakit Umum
Kota Tangerang Selatan adalah Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan
dengan klasifikasi Rumah Sakit Umum Kelas C.
Rumah Sakit Umum Kota Tangerang berlokasi di Jl. Pajajaran, Pamulang
Bar., Kec. Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten. Memiliki visi
terwujudnya Tangsel kota cerdas, berkualitas, dan berdaya saing barbasis
teknologi dan inovasi. Dan memiliki misi untuk mengembangkan SDM yang
handal dan berdaya saing, meningkatkan infrastruktur kota yang fungsional,
menciptakan kota layak huni yang berwawasan lingkungan, mengembangkan
ekonomi kerakyatan bebasis inovasi produk unggulan, dan meningkatkan tata
kelola pemerintahan yang baik berbasis teknologi informasi (40).
Tahun 2015 Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan melakukan proses
persiapan Akreditasi sesuai dengan standar Akreditasi Versi Tahun 2012.
Tanggal 15 Mei 2015 Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan ditetapkan
sebagai Rumah Sakit tipe C melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK.02.03/I/1319/2015 tentang Penetapan Kelas Rumah Sakit
Umum Kota Tangerang Selatan. Tanggal 12 Juni 2015 Rumah Sakit Umum
Kota Tangerang Selatan ditetapkan menjadi SKPD yang menerapkan PPK-
BLUD melalui Keputusan Walikota Tangerang Selatan Nomor 445.1/Kep.112-
Huk/2015 tentang Penetapan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum Daerah pada Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan.
Tanggal 08 Juli 2015 Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan mendapatkan
izin Operasional sesuai Keputusan Walikota Tangerang Selatan Nomor
28

445/Kep.130-Huk/2015 tentang Izin Operasional Rumah Sakit Umum Kota


Tangerang Selatan. Tanggal 03 Agustus 2015 yaitu Sosialisasi Sistem SMS
Gateway pada warga masyarakat yang datang ke RSU Kota Tangerang Selatan,
dengan tujuan agar masyarakat yang akan berobat mendapatkan kemudahan
untuk daftar ke poliklinik yang dituju. Tanggal 15 Agustus 2016 RSU Kota
Tangerang Selatan meluncurkan Aplikasi SiFak-SPGDT dengan harapan dapat
membantu masyarakat untuk lebih mudah mengakses informasi jenis pelayanan
yang tersedia di RSU Kota Tangerang Selatan secara real time. Pada September
2016 menghadirkan Sistem Integrasi Program & Kegiatan (SIP). Tanggal 14
Desember 2016 RSU Kota Tangerang Selatan menghadirkan Pelayanan Sistem
Si Jari Emas (Sistem Informasi Jejaring Rujukan Maternal dan Neonatal) untuk
penanggulangan kegawatdaruratan ibu melahirkan dan bayi baru lahir.
Penggunaan E-KTP Reader RSU Kota Tangerang Selatan untuk optimalisasi
layanan administrasi pemerintahan dan layanan publik secara elektronik. Setelah
adanya sistem SMS Gateway, Pada Tanggal 25 Juli 2017 menghadirkan Sistem
Pendaftaran Online (SIPOLIN) (11).
29

BAB III
METODE PENELITIAN

A. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian bersifat deskriptif retrospektif non
eksperimental. Pengambilan data dilakukan berdasarkan riwayat pengobatan dari
data rekam medis pasien pneumonia di Rawat Inap di Rumah Sakit Umum
Tangerang Selatan periode tahun 2020.

B. JENIS PENELITIAN
Penelitian Deskriptif Retrospektif merupakan suatu metode penelitian yang
dilakukan dengan tujuan utama membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu
keadaan secara objektif dengan melihat ke belakang.

C. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN


1. Tempat Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Instalasi Rumah Sakit Umum Tangerang Selatan.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini di mulai dari bulan Januari – Juli 2022.

D. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN


1. Populasi
Populasi penelitian adalah semua pasien pneumonia di Rumah Sakit Umum
Tangerang Selatan periode tahun 2020.

2. Sampel
Sampel adalah semua populasi pasien pneumonia Rawat Inap di Rumah Sakit
Umum Tangerang Selatan yang menggunakan obat antibiotik periode tahun
2020.
Perhitungan Sampel Minimun
Teknik pengambilan jumlah sampel atau ukuran sampel yang diambil dengan
menggunakan rumus. Kriteria inklusi untuk menghitung besar sampel yang

29
30

digunakan pada penelitian ini dihitung menggunakan rumus untuk menentukan


jumlah sampel minimum (12).
Rumus Slovin :

Keterangan :
n = ukuran sampel
N = ukuran populasi
e = nilai margin of error (besar kesalahan) dari ukuran populasi (0.05%)
Perhitungannya adalah:
n = N / (1 + (N x e²))
Oleh karena itu: n = 150 / (1 + (150 x 0,05²))
n = 150 / (1 + (150 x 0,0025))
n = 150 / (1 + 2,5)
n = 150 / 3,5
n = 109,9
n = 110 Sampel

E. KRITERIA SAMPEL
1. Kriteria Inklusi
a) Pasien Rawat Inap di ruang rawat.
b) Pasien pneumonia yang menggunakan obat antibiotik.
c) Pasien dengan data Medical Record (MR) yang lengkap.

2. Kriteria Eksklusi
a) Pasien yang pindah ke Rumah Sakit lain sebelum terapi selesai dilaksanakan.
b) Pasien Rawat Inap di HCU, ICU, NICU, dan PICU.
c) Pasien dengan data Medical Record (MR) yang tidak lengkap.
31

F. METODE PENGUMPULAN DATA


Pengumpulan data dimulai dengan pengelompokkan pasien pneumonia periode
tahun 2020. Dari data rekam medik kemudian diambil data yang memenuhi kriteria
inklusi penelitian yaitu sebanyak 110 rekam medik.
Data yang diambil dari Medical Record (MR) yaitu data pasien pneumonia
rawat inap yang mendapatkan penatalaksanaan terapi antibiotik. Karakteristik
pasien yang dicatat meliputi jenis kelamin dan usia. Sedangkan yang dicatat sebagai
penatalaksanaan terapi meliputi obat antibiotik yang digunakan, dosis, frekuensi
pemberian, rute pemberian, lama pemberian, efek samping, interaksi obat, data
laboratorium, hasil radiologi foto thorax dan kondisi klinis pasien. Dari 107 rekam
medik yang memenuhi kriteria inklusi kemudian dianalisis.

G. JENIS VARIABEL
1. Variabel Bebas (X)
Pasien terdiagnosis Pneumonia dengan penatalaksanaan terapi antibiotik
meliputi dosis, frekuensi pemberian, rute pemberian, lama pemberian, efek
samping, interaksi obat dan kondisi klinis pasien.

2. Vaeriabel Terikat (Y)


Kerasionalan penggunaan antibiotik.
32

H. KERANGKA KONSEP

Gambar III.1. Kerangka Konsep


33

I. DEFINISI OPERASIONAL
Data variabel adalah sebuah tolak ukur yang dibuat oleh peneliti dari data yang
diambil melalui sampel yang diteliti sehingga diperoleh sebuah data yang baik.
Sedangkan definisi operasional adalah sebuah makna atau maksud dari data
variabel yang telah diambil.
Tabel III.1. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional Pengamatan Skala
1. Pneumonia Penyakit peradangan paru-paru Simptom, hasil foto Nominal
yang disebabkan oleh infeksi thorax dan
Laboratorium
2. Usia Definisi kelompok Usia (pediatrict Bayi : umur 1 bulan Interval
Dosage Handbook edisi 9 2002- – 1 tahun
2003) Tingkat hidup pasien yang
dihitung dari lahir sampai sampel Anak-anak : umur
diambil. 1- 12 tahun

Remaja : umur 13-


18 tahun

Dewasa : umur> 18
tahun
1. Obat Jenis zat-zat kimia yang dihasilkan -Beta- Laktam Nominal
antibiotik oleh fungi dan bakteri, yang -Basitrasin
memiliki khasiat mematikan atau -Vankomisin
menghambat pertumbuhan kuman. -Aminoglikosid
-Kloramfenikol
-Tetrasiklin
-Makrolida
-Sefalosporin
-Kuinolon
-Antifungi
-Anti amoeba
-Sulfa+TMP
2. Dosis Jumlah zat berkhasiat yang -(...mg/hari) Ratio
dipergunakan pasien pada satu kali -(...mg/hari)
pemberian dan atau dalam sehari
3. Frekuensi Jumlah pemakaian dosis tertentu hari Ratio
Pemberian dalam sehari
4. Rute Bagaimana cara obat diberikan -intravena Nominal
Pemberian pada pasien -intramuscular
5. Lama Berapa lama pemberian obat hari Ratio
pemberian

6. Efek samping Efek tidak diinginkan yang timbul -Alergi Nominal


pada pemberian obat dengan dosis -reaksi iritasi dan
terapi. toksik
-perubahan
biologik.

7. Kondisi klinis Kondisi pasien sebelum dan -hasil foto torax Ratio
pasien setelah diberikan terapi -hasil Lab
34

No. Variabel Definisi Operasional Pengamatan Skala


8. Kerasionalan Menurut Kementrian Kesehatan Jumlah Ratio
penggunaan RI 2011. Modul Penggunaan kerasionalan
antibiotik Obat Rasional. Secara praktis, penggunaan obat
penggunaan obat dikatakan yang terjadi
rasional jika memenuhi kriteria:

a. Tepat indikasi
b. Tepat dosis dan frekuensi
pemberian
c. Tepat rute pemberian
d. Tepat lama pemberian
e. Waspada Efek samping
f. Waspada interaksi obat (...%)
g. Tepat kondisi klinis
pasien

9. Evaluasi Menurut Kemenkes RI no 8 Jumlah kategori Ratio


kualitas tahun 2015. Kategori hasil penggunaan
penggunaan penilaian Gyssens flowchart antibiotik
antibiotik berdasarkan
menggunaka a. Kategori 0 : Penggunaan metode gyssens
n kriteria antibiotik tepat dan
Gyssens rasional
b. Kategori I : tidak tepat
saat (timing) pemberian
antibiotic
c. Kategori II A : tidak tepat
dosis pemberian
antibiotic
d. Kategori II B : tidak tepat (...%)
interval pemberian
antibiotic
e. Kategori II C : tidak tepat
rute pemberian antibiotik
f. Kategori III A :
pemberian antibiotik
terlalu lama
g. Kategori III B :
pemberian antibiotik
terlalu singkat
h. Kategori IV A : tidak
tepat pilihan antibiotik
karena ada antibiotik lain
yang lebih efektif
i. Kategori IV B : tidak
tepat pilihan antibiotik
karena ada antibiotik lain
yang lebih aman
j. Kategori IV C : tidak
tepat pilihan antibiotik
karena ada antibiotik lain
yang lebih murah
k. Kategori IV D : tidak
tepat pilihan antibiotik
karena ada antibiotik lain
dengan spektrum lebih
35

No. Variabel Definisi Operasional Pengamatan Skala


sempit
l. Kategori V : tidak ada
indikasi pemberian
antibiotik
m. Kategori VI : data tidak
lengkap sehingga
penggunaan antibiotik
tidak dapat dinilai

J. ANALISA DATA
Metode analisis deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data
dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul
sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk
umum atau generalisasi.
1. Analisa Univariat
Analisa deskriptif digunakan untuk memperolah gambaran distribusi frekuensi
serta porposi dari variabel yang diteliti seperti:
a) Karakteristik pasien yang menerima antibiotik seperti usia dan jenis kelamin
b) Karakteristik antibiotika yang dievalvuasi berdasarkan jenis antibiotik
c) Kategori Gyssens.

2. Analisa Bivariat
a) Uji Chi-square digunakan untuk menguji apakah ada hubungan antara jenis
antibiotik, jenis terapi antibiotik, jumlah antibiotik yang digunakan pasien,
jumlah obat ynag digunakan pasien, dokter. Selanjutnya uji Spearman
dilakukan untuk mengetahui variabel mana yang paling dominan yang
berhubungan dengan kualitas penggunaan antibiotik.
b) Uji wilcoxon digunakan untuk menguji perubahan hasil penilaian kategori
Gyssens sebelum dan sesudah intervensi.
c) Uji Kruskal Wallis digunkan untuk mengetahui apakah ada perbedaan
pengaruh diantara kualitas penggunaan antibiotik rasional dan tidak rasional
36

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. DEMOGRAFI SAMPEL
Hasil penelitian ini diperoleh data rekam medis pasien pneumonia yang menjalani
perawatan di rawat inap RSU Tangerang Selatan seluruhnya mencapai 504 pasien
dengan diagnosa pneumonia, namun yang sesuai dengan kriteria inklusi didapatkan
110 sampel rekam medis selama periode Januari – Desember 2020. Data tersebut
diambil dari bagian rekam medis RSU Tangerang Selatan. Data demografi pasien
terdiri atas usia pasien dan jenis kelamin (41).
1. Distribusi Pasien Pneumonia Berdasarkan Jenis Kelamin
Data demografi pasien terdiri dari penelitian yang dilakukan di RSU Tangerang
Selatan pada pasien pneumonia rawat inap yang menjalani antibiotik adalah 110
pasien. Distribusi pasien dengan diagnosa pneumonia berdasarkan jenis kelamin
dapat dilihat pada Tabel IV.1
Tabel IV.1. Distribusi Pasien Pneumonia
Berdasarkan Jenis Kelamin Pasien
Data Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin N %
Laki-laki 59 53.64
Perempuan 51 46.36
Total 110 100

Dilihat dari Tabel di atas dapat disimpulkan bahwa presentase pasien pneumonia
rawat inap di RSU Tangerang Selatan yang paling banyak adalah laki-laki yang
berjumlah 59 orang (53,64%) sedangkan pada pasien perempuan adalah 51
orang (46,36%).
Pada dasarnya jenis kelamin bukanlah faktor resiko terjadinya pneumonia
akan tetapi banyak di pengaruhi oleh sistem kekebalan tubuh. Namun denagn
data yang menunjukan lebih banyaknya pasien laki-laki hal ini dipengaruhi oleh
lingkungan yaitu sebagian besar perokok adalah laki-laki, paparan asap rokok
yang terus menerus dapat menyerang paru paru sehingga terjadinya bronchitis
dan pneumonia (41).

36
37

2. Distribusi Pasien Pneumonia Berdasarkan Usia


Berdasarkan Usia yang di peroleh presentase pasien pneumonia yang di rawat
inap di RSU Tangerang Selatan terbanyak adalah usia manula sebanyak 39
pasien (35,4%). Berturut-turut selanjutnya adalah pada pasein anak sebanyak 26
pasien (23,37%), pada lansia akhir sebanyak 20 pasien (18,1%), pada lansia awal
sebanyak 16 pasien (14,6%), pada dewasa akhir 4 (3,7%), pada dewasa awal 2
pasien (1,8%), pada remaja awal 1 pasien (0,9%), dan balita 2 pasien (1,8%).

Manula : ≥ 65 tahun
Lansia Akhir: 56 - 65 tahun
Lansia Awal: 46 - 55 tahun
Dewasa Akhir: 36 - 45 tahun
Dewasa Awal: 26 - 35 tahun
Remaja Akhir: 17 - 25 tahun
Remaja Awal: 12 - 16 tahun
Anak: 6 - 11 tahun
Balita: 0 - 5 tahun
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

DATA BERDASARKAN USIA JUMLAH % DATA BERDASARKAN USIA JUMLAH N

Gambar IV.1. Distribusi Pasien Penuminia Berdasarkan Usia

Distribusi berdasarkan usia diketahui pada pasien dengan usia ≥ 65 tahun telah
menunjukan jumlah terbesar pada penyakit pneumonia di RSU Tangerang
Selatan. Hal ini disebabkan karena pada usia lanjut terjadinya perubahan
anatomi fisologi dan fungsional anggota tubuh penuruna komplian paru dan
peningkatan resistensi saluran napas terhadap infeksi dan menurunnya daya
tahan tubuh. Pasien geriatri lebih mudah terinfeksi pneumonia karena adanya
gangguan reflek muntah, melemah imunitas, gangguan respon pengaturan suhu
dan sebagai derajat kelainan kardio pulmoner (41).

3. Distribusi Pasien Pneumonia Berdasarkan Gejala Penyakit Pneumonia


Melalui hasil pengamatan dari data rekam medis RSU Tangerang Selatan gejala
penyakit pneumonia periode Januari 2020 – Desember 2020 keluhan terbanyak
adalah sesak yaitu 31 pasien (28,2%), diikuti dengan batuk sebanyak 28 pasien
(25,4% ) dan nyeri dada sebanyak 19 pasien (17,27%) .
38

GEJALA PNEUMONIA
120

100

80

60

40

20

0
Sesak Batuk Demam Nyeri dada Dahak

Data Gejala Pneumonia di RSU Tangsel Gejala

Gambar IV.2. Distribusi Pasien Pneumonia


Berdasarkan Gejala Pasien Pneumonia

Sesak napas merupakan gejala keluhan pasien terbanyak sebesar 97 pasien


karena pada penderita pneumonia terjadi penebalam dinding paru paru, hampir
semua pasien yang di rawat mengeluhkan sesak napas sedangkan pada pasien
usia lanjut biasanya akibat berkurangnya sensitifitas dari pusat pernapasan
terhadap hipoksia atau hiperkapnia pada pasien yang mengakibatkan hilangnya
respon (42).
Batuk, pada keluhan ini terdapat 88 pasien mengalami gejala batuk.
Mekanisme batuk yang terjadi pada pneumonia dimulai dari iritasi dari ujung
saraf laring dan trakea dari post nasal drop. Pelepasan mediator pro inflamasi
dilokasi replikasi bakteri. Paparan dari ujung saraf sekunder untuk kerusaan
epitel saluran napas. Hal tersebut meningkatkan efek neuropeptida seperti
subtansi P sekunder menurun di endopeptidase netral pada permukaan sel epitel.
Deformasi reseptor iritan oleh akumulasi sekresi dan debris menyebabkan
saluran napas mengalami hiperesponsif dan bronkospasme (42).
Demam, tidak didapat sesering pada pasien dewasa awal. Hal ini disebabkan
terdapat penurunan nilai dasar suhu tubuh pada pasien usia lanjut yang dikenal
istilah older the colder. Selain itu, terdapat respon yang tumpul terhadap demam
akibat gangguan kapasitas termoregulator untuk memproduksi dan berespon
terhadap pirogen endogen (42).
39

4. Distribusi Pasien Pneumonia Lama Rawat


Hasil penelitian data rekam medis tentang lama rawat pasien pneumonia yang
menjalani rawat inap di RSU Tangerang Selatan periode Januari - Desember
2020 lama rawat terbanyak adalah 7-14 hari 55 pasien (50%), berturut turut
selanjutnya < 7 hari sebanyak 42 pasien (39%) pada 15-21 hari sebanyak 22
pasien (20%) dan > 21 hari sebanyak 6 pasien (5%).

lama rawat jumlah pasien


60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
< 7hari 7-14hari 15-21hari >21hari

Gambar IV.3. Distribusi Pasien Lama Rawat Pasien Pneumonia

Lamanya rawat pasien pneumonia beragam karena bersifat individual


berdasarkan respon pengobatan dan komorbid (43). Lama rawat pada pasien
pneumonia di RSU Tangerang Selatan terbanyaj pada lama rawat 7-14 hari. Hal
ini sesuai dengan berdasarkan PDPI lama perwatan 7-10 hari, pada pasien yang
menunjukan respon dalam 72 jam pertama.
Pada pasien dengan lama rawat kurang dari 7 hari memberikan kecepatan
respon perbaikan kondisi. Biasanya pasien dengan lama rawat kurang dari 14
hari sudah memberikan respon perbaikan kondisi, namun pada pasien yang lama
rawatnya ≥ 14 hari ada beberapa faktor yang menyebabkan pasien tersebut harus
lebih lama seperti karena sesak yang tidak mereda dan usia lanjut ≥ 65 tahun
(43).

5. Pemeriksaan Mikrobiologi
Berdasarkan hasil penelitian dari seluruh populasi pasien dengan diagnosa
pneumonia di rawat inap RSU Tangerang Selatan periode Januari – Desember
40

2020 didapatkan hasil dari 110 pasien yang melakukan pemeriksaan kultur dan
memberikan hasil adanya pertumbuhan mikroorganisme. Penelitian ini
menunujukkan 69 pasien terdapat pertumbuhan kuman spesifik dan 41 pasien
tidak diketahui secara spesifik.
Tabel IV.2. Hasil Kultur Sputum Pasien Pneumonia
Hasil Kultur Sputum Pasien Pneumonia
Jumlah
No Hasil Kultur Pasien
N %
1. Pseudomonas aeruginosa 40 20
2. Klebsiela Pneumonia 28 25,4
3. Escherichia coli 10 9
Total 62 100

Pada pemeriksaan kultur dahak di dapatkan seluruh hasil kultur bakteri adalah
gram negatif. Jenis bakteri terbanyak yaitu Pseudomas Aeruginosa sebanyak 48
pasien (43,6%), berturut–turut selanjutnya Klebsiela Pneumonia sebanyak 28
pasien (25,4%) pada Esherichia choli sebanyak 10 pasien (9%) kemudian ada
beberapa pasien yang tidak diketahui secara spesifik jenis bakteri grsam positif
dan negatif yaitu sebanyak 20 pasien (18%) selanjutnya, 10 pasien (9%) dengan
jenis bakteri aerob gram negatif dan 8 pasien (7,3%) bakteri gram positif .
Kultur bakteri dilakukan untuk mengetahui etiologi penyebab pneumonia.
Secara keseluruhan pasien yang berada di rawat inap RSU Tangerang selatan
hanya Sebagian kecil yang melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Berdasarkan
hasil kultur terbanyak sesuai dengan data pada PDPI tahun 2014 data dari
beberapa rumah sakit di Indonesia tahun 2012 menunjukkan bahwa penyebab
terbanyak penyakit pneumonia di rawat inap adalah Pseudomonas aeruginosa
dan Klebsiela Pneumonia sedangkan gram positif seperti Streptococus
pneumoniae lebih sedikit. Patogenesis bakteri Pseudomonas aeruginosa bersifat
multifactorial dan kompleks dimana bakteri ini bersifst invasive dan toksigenik.
Bakteri ini juga menyebabkan infeksi pada individu dengan imunitas yang
menurun, sedangkan bakteri Klebsiela Pneumonia merupakan bakteri yang
berada di saluran pernapasan bawah pada lebih dari 5% individu normal. Dalam
pelayanan Kesehatan bakteri ini dapat menyebar melalui kontak langsung
misalnya dari pasien ke pasien melalui tangan yang terkontaminasi personil
41

kesehatan atau orang lain. Tidak hanya itu penderita juga dapat terkena infeksi
dari alat-alat kesehatan seperti ketika mereka menggunakan alat bantu napas,
infus intravena, kateter atau luka dari pembedahan (43).

B. PROFIL PENGGUNAAN ANTIBIOTIK


Profil penggunaan antibiotik ini menjelaskan tentang jenis terapi dan gambaran
penggunaan antiotika pada pasien pneumonia di instalasi rawat inap RSU
Tangerang Selatan Periode Januari – Desember 2020.
1. Jenis dan Golongan Antibiotik yang Banyak diresepkan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pasien pneumonia di RSU
Tangerang Selatan periode Januari – Desember 2020 jumlah peresepan
antibiotik sebanyak 126 antibiotik.
Tabel IV.3. Golongan Antibiotik yang Banyak diresepkan
Golongan Antibiotik yang Banyak Diresepkan
Jumlah
No. Golongan Antibiotik
N %
Sefalosporin 73 66
Cefotaxim 23 21
1. Ceftriaxon 30 27,2
Ceftazidim 19 17,2
Cefoperazon 1 0,9
Fluirokuinolon 33 30
2. Ciprofloxacin 2 1,8
Levofloxacin 32 29,09
Aminoglikosida 4 3,6
3. Gentamicin 3 2,72
Amikasin 1 0,9
Makrolida 3 2,7
4.
Azitromisin 3 2,27
Karbapenem 9 8
5.
Meropenem 9 8,18
Penisilin 2 1,8
6.
Ampicilin 2 1,8
Linkomicin 1 0,9
7.
Klindamicin 1 0,9
42

Berdasarkan jenis antibiotik yang paling bayak digunakan adalah Levofloxacin


sebanyak 32 pasien hampir 29%. Mekanisme kerja Levofloxacin yaitu
menghambat DNA-Girase pada organisme yang rentan sehingga menghambat
relaksasi DNA supercoil dan mengkatkan kerusakan DNA. Levolfloxacin aktif
terhadap bakteri gram positif dan negatif memiliki aktifitas yang lebih besar
terhadap pneumokokus dibanding Ciprofloxacin (44). Begitu juga dengan
Ceftriaxon dan Ceftazidim kedua nya dari golongan antibiotik sefalosporin,
Ceftazidim dan Ceftriaxon memiliki mekanisme kerja yang sama yaitu
menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat sastu atau lebih
Penicilin-binding protein (PBPs) yang menghambat langkah akhir
transpeptidase dari sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri, kemudian
menghambat dinding sel bakteri. Ceftriaxon merupakan antibitoik berspektrum
luas yang efektif terhadap Sebagian besar bakteri aerob, baik positif atau
negative (44).

2. Lama Pemberian Antibiotik pada Pasien Pneumonia


Tabel IV.4. Distribusi lama pemberian antibiotik
Data Berdasarkan
Lama Pemberian Antibiotik

Lama Rawat Jumlah Pasien %

3 hari 25 20,80%
4 hari 12 11,20%
5 hari 35 36,80%
6 hari 15 12%
7 hari 11 8,80%
8 hari 4 4%
9 hari 1 0,80%
10 hari 3 2,40%
11 hari 3 2,40%
12 hari 1 0,80%
43

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik rawat inap RSU Tangerang
selatan didapatlah hasil terbesar pada pasien dengan lama rawat 5 hari sebesar
36,80% kemudian secara berturut turut diikuti dengan 3 hari sebesarnya 20,80%,
6 hari 12% kemudian 5 hari.

3. Efektifitas Obat Antibiotika Setelah Pengobatan


Efektifitas terapi antibiotik dapat di katakan berhasil bisa dilihat dari perbaikan
hasil leukosit pada pasien pneumonia. Berdasarkan hasil penelitian terhadap
pemeriksaan klinis pada periode Januari – Desember 2020 dengan pasien yang
di berikan antibiotik, maka dengan ini ditambahkan data dari hasil leukosit
pasien pneumonia di RSU Tangerang Selatan sesudah mendapat kan terapi
antibiotik. Pasien yang pulang atau sudah selesai melakukan terapi antibiotik
tidak melakukan thorax lagi hal ini karena keadaan pasien yang sudah membaik
sehingga tidak diperlukan thorax lagi (44).
Tabel IV.5. Hasil Laboratorium Awal dan Akhir
Pengobatan Antibiotik
Hasil Laboratorium Awal dan Akhir
Pengobatan Antibiotik
Leukosit Jumlah Rata - rata
Sebelum terapi 110 14,79 10^3/µL
Sesudah terapi 110 10,97 10^3/µL

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Rawat inap RSU Tangerang


Selatan diperolah hasil rata-rata leukosit 10,97 10^3/µL. Hal ini menunjukkan ha
sil yang berbeda dengan jumah leukosist normal,yaitu 4,810 10^3/µL ≤ 10,8 10^
3/µL. Hal ini dikarenakan ada beberapa pasien yang pulang dalam keadaan leuk
osit masih ≥ 10,810^3/µL dan dapat di sebabkan karena keparahan tingkatan sua
tu penyakit yang di derita. Dari rata yang didapatkan menunjukan adanya pengur
angan leukosit yang menandakan terdapatnya respon terapi pada pasien pneumo
nia walaupun tidak mencapai range yang ada. Pada beberapa pasien mengalami
peningkatan leukosit tetapi tetap diperbolehkan pulang, pasien yang pulang dise
babkan karena keluhan fisik sudah membaik, dan rata-rata pasien yang memiliki
leukosit masih diatas standar normal adalah pasien dengan usia ≤ 65 tahun. Selai
n itu, kondisi tersebeut belum diketahui apakah cukup sensitif atau spsesifikuntu
44

k membantu memutuskan pilihan terapi pada pasien tertentu. Pemeriksaan labor


atorium memiliki keterbatasan untuk menegakkan diagnosis dan dan penyebab
spesifik pneumonia (44).

C. ANALISIS KUALITATIF ANTIBIOTIK BERDASARKAN METODE


GYSSENS
Analisa rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di penelitian ini
menggunakan metode gyssens. Dimana metode ini yang termasuk dalam
pengobatan rasional jika terdapat pada kategori 0, dan tidak rasional jika terdapat
pada kategori I – IV.
1. Kategori 0 (penggunaan antibiotik telah sesuai)
2. Kategori I (tidak tepat waktu pemberian)
3. Kategori IIa (tidak tepat dosis penggunaan)
4. Kategori IIb (tidak tepat interval pemberian antibiotik)
5. Kategori IIc (tidak tepat cara atau rute penggunaan)
6. Kategori IIIa (penggunaan yang terlalu lama)
7. Kategori IIIb (penggunaan yang terlalu singkat)
8. Kategori IVa (terdapat antibiotic yang lebih efektif)
9. Kategori IVb (terdapat antibiotik yang kurang toksik)
10. Kategori IVc (terdapat antibiotik yang lebih murah)
11. Kategori IVd (terdapat antibiotik yang spektrumnya lebih sempit)
12. Kategori V (antibiotik tidak ada indikasi)
13. Kategori VI (rekam medik yang tidak lengkap, tidak dapat dilakukan evaluasi.

EVALUASI KUALITATIF ANTIBIOTIK


140
120
100
80
60
40
20
0

JUMLAH %

Gambar IV.4. Evaluasi Kualitatif Antibiotik


45

Berdasarkan pengamatan dari penilaian alur gyssens yang dilakukan di RSU


Tangerang Selatan di dapat lah hasil bahwa kerasioanalan antibiotik mencapai 80
persen lebih ini sesuai dengan Fornas Rumah sakit atau buku panduan antibiotik
yang menjadi acuan dokter di setiap Rumah Sakit. Dimana hasilnya yaitu ada 149
antibiotik yang digunakan yaitu dengan hasil 133 dari 149 antibiotik yang
digunakan (88%) yang masuk kategori 0 atau sesuai dengan panduan antibiotik
RSU Tangerang Selatan.
Penggunaan antibiotik tidak rasional diantaranya adalah pada kategori IIIb 9
antibiotik (6%), dimana pemberian antibiotik yang terlalu singkat. Penyebab lain
ketidakrasionalan penggunaan antibiotik lainnya adalah kategori IVa 4 antibiotik
(2,6%) dimana ada antibiotik lain yang lebih efektif sesuai dengan panduan
antibiotik yang ada. Kemudian ketidakrasionalan lainnya adalah IIIa 3 antibiotik
(2%) dimana kategori ini menunjukkan pemberian antibiotik yang terlalu lama
dikarekan hasil kultur yang lambat kemudian hasil leukosit pasien yang meningkat
atau resistensi pasien terhadap antibiotik.
Kategori yang pertama yaitu IIIb yaitu dimana ada 6% (9 penggunaan)
antibiotik yang terlalu singkat. American thoracic Society tahun 2019, bahwa durasi
pemberian antibiotik pada dewasa adalah 5 hari, bahkan jika pasien telah
mencapai klinis sebelum 5 hari. Karena kebanyakan paien akan mencapai klinis
stabilitas dalam 48 sampai 2 jam pertama, total durasi 5 hari akan menjadi tepat
uantuk sebgaian besar pasien.
Kategori yang kedua adalah kategori IVa, dimana pada kategori ini terdapat
2,6% (4 penggunaan), antibiotik yang digunakan adalah kombinasi ciprofloxacin
dan amikacin yang digunakan pada pasien dewasa. Menurut American Thoracic
Society tahun 2019 menyebutkan bahwa first line pengobatan pneumonia dengan
antibiotik dapat diberikan antibiotik β lactam yaitu amoxicillin, ampicillin,
cefotaxime, ceftriaxon dan makrolida. Kategori yang ketiga kategori IIIa yaitu 2%
(3 penggunaan) dimana kategori ini antibiotik yang penggunaannya terlalu lama,
sesuai dengan standar pemberian antibiotik sebaiknya dilakukan kultur kembali
agar dilakukan eskalasi antibiotic. Kategori yang ke empat yaitu kategori IVd yaitu
1,3% (2 penggunaan) dimana terdapat antibiotik yang spektrum nya lebih sempit.
46

Pada kasus ini dimana pasien sudah diketahui diagnosanya, tapi pemberian
antibiotiknya yang kurang tepat.
Menurut data analisa di RSU Tangerang Selatan periode Januari – Desember
2020 pada pasien pneumonia didapatkan data 88% atau sebanyak 131 penggunaan
antibiotik yang termasuk ke dalam kategori 0. Pada kategori ini penggunaan
antibiotik dinilai baik atau sesuai dengan pedoman ataupun literature yang ada.
Penggunaan antibiotik dengan baik dan memenuhi standar kerasionalan obat akan
mengurangi infeksi sehingga memberikan efek terapi yang tepat bagi pasien.
Namun pemberian antibiotik yang tidak rasional dapat memperluas tingginya
resistensi antibiotik, hal tersebut dapat meningkatkan biaya kesehatan yang
digunakan oleh pasien.dengan demikian hasil dari penelitian di RSU Tangerang
Selatan periode Januari - Desember 2020 termasuk rasional karena hampir 80%
lebih keberhasilan terapi antibiotik pada pasien rawat inap di RSU Tangerang
Selatan (45).
47

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
1. Presentase pasien pneumonia rawat inap di RSU Tangerang Selatan yang paling
banyak adalah laki-laki yang berjumlah 59 orang (53,64%), sedangkan pada
pasien perempuan adalah 51 orang (46,36%).
2. Terapi jenis antibiotik tunggal yang paling banyak digunakan adalah
Levofloxacin sebanyak 32 pasien (29%), dan ceftriaxone 30 pasien (27,2%)
kemudian ceftazidime sebanyak 19 pasien (17,3%).
3. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di RSU Tangerang Selatan dapat
disimpulkan bahwa dari 110 pasien yang di jadikan sampel penelitian
menunjukan hasil evaluasi rasionalitas 149 penggunaan antibiotik menggunakan
metode gyssens dengan diperoleh beberapa kategori. Pada kategori 0 ada 133
antibiotik (88%) dimana kategori ini sesuai penggunaannya, sedangkan kategori
yang tidak rasional hanya beberapa persen saja yaitu kategori yang pertama
yaitu IIIb yaitu dimana ada 6% (9 penggunaan) antibiotik yang terlalu singkat,
kategori IVa, dimana pada kategori ini terdapat 2,6% (4 penggunaan), antibiotik
dan kategori IIIa yaitu 2% (3 penggunaan) dimana kategori ini antibiotik yang
penggunaan nya terlalu lama, sesuai dengan standar pemberian antibiotik, untuk
itu dapat disimpulkan bahwa kerasionalitasan antibiotik di RSU Tangerang
Selatan hampir 80% ini menunjukkan angka yang baik dan sesuai standar
pedoman penggunaan antibiotik Rumah Sakit.

B. SARAN
1. Perlu dilakukan uji kultur bakteri yang lebih spesifik pada pasien pneumonia
sehingga dapat menggunakan terapi definitive dan penggunaan tercapai yang
diberikan menjadi lebih tepar dan bijak.
2. Perlu dilakukan penelitian penggunaan obat secara prospektif sehingga
perkembangan kondisi pasien dapat di monitor secara langsung dan didapatkan
data hasil yang lebih akurat.

47
48

DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar A. and Dharmayanti I., Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional, 2014. h. 8, 360.

2. Kurniawan J., Erly and Semiarty R., Pola Kepekaan Bakteri Penyebab Pneumonia
terhadap Antibiotika di Laboratorium Mikrobiologi RSUP Dr. M. Djamil Padang
Periode Januari sampai Desember 2011, Jurnal Kesehatan Andalas, h. 4, 562-566.

3. UNICEF/WHO. Pneumonia : The Forgotten Killer of Children. Geneva : United


Nations Children's Fund/World Health Organization; 2016. [11 Oktober 2018].

4. UNICEF/WHO. Pneumonia is The Leading Cause of Death in Children. Geneva:


United Nations Children's Fund/World Health Organization; 2016 [11 Oktober
2018].

5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pneumonia Balita. Bulletin Jurnal


Epidemiologi. 2010;3: h. 1-36.

6. Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, Mulholland K, Campbell H. Epidemiology


and Etiology of Chilhood Pneumonia. Bull World Health Organ. 2008;86(5): h.
408-16.

7. Antara News. Kemenkes : 800.000 Anak Indonesia Terkena Pneumonia. Jakarta :


2016. [12 Oktober 2018].

8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. IDAI Memperingati Hari Pneumonia Dunia. 2016.
[12 Oktober 2018].

9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun


2017. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2017.

10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta :


Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia; 2013.

11. Anwar A, Dharmayanti I. Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia. Jurnal


Kesehatan Masyarakat. 2014;8(8): h. 359-65.

12. Hartati S, Nurhaeni N, Gayatri D. Faktor Risiko Terjadinya Pneumonia pada Anak
Balita. Jurnal Keperawatan Indonesia. 2012;15(1): h. 13-20.

13. Rasyid Z. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia Anak


Balita di RSUD Bangkinang Kabupaten Kampar. Jurnal Kesehatan Komunitas.
2013;2(3): h. 136-40.

48
49

14. Syani FE, Budiyono, Raharjo M. Hubungan Faktor Risiko Lingkungan terhadap
Kejadian Penyakit Pneumonia Balita dengan Pendekatan Analisis Spasial
diKecamatan Semarang Utara. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Jurnal). 2015;3(3):
h. 732-44.

15. Azizah M, Fahrurazi, Qoriaty NI. Tingkat Pengetahuan dan Pendidikan Ibu Balita
dengan Kejadian Penyakit Pneumonia pada Balita di Kelurahan Keraton
Kecamatan Martapura Kabupaten Banjar. Jurnal An-Nadaa. 2014;1(1): h. 1-4.

16. Machmud R. Pengaruh Kemiskinan Keluarga pada Kejadian Pneumonia Balita di


Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2009. 4(1): h. 36-41.

17. Sinaga LAFS, Suhartono, D YH. Analisis Kondisi Rumah Sebagai Faktor Risiko
Kejadian Pneumonia Pada Balita di Wilayah Puskesmas Sentosa Baru Kota
Medan Tahun 2008. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. 2009;8(1): h. 26-34.

18. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. Jumlah Kasus Wabah/Endemi pada
Manusia. Padang : Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat; 2017.

19. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. Profil Kesehatan Sumatera Barat Tahun
2017. Padang : Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat; 2017.

20. Badan Pusat Statistik Sumatera Barat. Persentase Penduduk Miskin Sumatera
Barat Tahun 2000-2017 Padang : Badan Pusat Statistik Sumatera Barat; 2017.

21. Rahmanti AR, Prasetyo AKN. Sistem Informasi Geografis: Trend Pemanfaatan
Teknologi Informasi untuk Bidang Terkait Kesehatan. Seminar Nasional
Informatika Medis III (SNIMed III). 2012: h. 6-12.

22. Hutahaean S. Sistem Informasi Geografis Pemetaan Penyebaran Penyakit Berbasis


Web. 2016. [17 Desember 2018].

23. Widyawati, Nitya IF, Syaukat S, Tambunan RP, Soesilo TEB. Penggunaan Sistem
Informasi Geografi Efektif Memprediksi Potensi Demam Berdarah di Kelurahan
Endemik. Makara Kesehatan. 2011;15(1): h. 21-30.

24. Masriadi. Epidemiologi Penyakit Menular. Depok: PT Rajagrafindo persada;


2014.

25. Najmah. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: CV Trans Info Media; 2016.

26. WHO. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi
dan pandemi. Jenewa: WHO, 2008.

27. Hospital Care for Children. Pneumonia. 2018. Dari : http://www.ichrc.org/42-


pneumonia [7 Nov 2018]
50

28. Regasa B., Yilma D., Sewunet T. and Beyene G., 2015, Antimicrobial
susceptibility pattern of bacterial isolates from community-acquired pneumonia
patients in Jimma University Specialized Hospital, Jimma, Ethiopia, Saudi Journal
for Health Sciences, h. 4, 59-64.

29. Setyati A. and Murni I.K., 2012, Pola Kuman Pasien Pneumonia di Instalasi
Rawat Intensif Anak (IRIA) RSUP Dr. Sardjito, Media Medika Indonesiana, 46, h.
195- 200.

30. Haeili M., Ghodousi A., Nomanpour B., Omrani M. and Feizabadi M.M., 2013,
Drug resistance patterns of bacteria isolated from patients with nosocomial
pneumonia at Tehran hospitals during 2009-2011, Journal of Infection in
Developing Countries, h. 7, 312-317.

31. Kemenkes. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Pedoman Umum Pengguna


Antibiot. 2011;4. Available from: farmalkes.kemkes.go.id.

32. Sastroasmoro. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis ed 4. 2011. h.361.

33. Setiabudy, R. Pengantar Antimikroba. Dalam Buku: Farmakologi dan Terapi.


Edisi Kelima. Editor: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. Jakarta:
balai penerbit FKUI. 2007. h. 585-588.

34. Gaash,B. Irrational use of antibiotic, Indian Jurnal for the {ractising Doctor,
Vol.5,No.1 (2008-03-2008-01).

35. Gyseens IC, Smits-Caris C,M.V. Stolk-Engelaar, T.J.J.H. Slooff,J.A.A. Hoogkap-


Korstanje, An audit og micribiology laboratory utilization: the diagnosis og
infekction in orthopedic sugery. Article forsth published online: 27 OCT 2008.

36. Gyseens,IC,et,al., Optimising antimicrobial drug use in suegery: An intervension


stufy in a Ducth university hospital. Journal of antimikcrobial Chemotherapy
38,1001-1012,1996.

37. Hartati S. Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia
pada Anak Balita di RSUP Pasar Rebo Jakarta. Tesis. Depok: Fakultas Ilmu
Keperawatan, 2011: 31-38.

38. Sugihartono, Nurajzuli. Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia. April 2012; h. 11: 82-86.

39. Gaston B. Pneumonia. Infectious Disease. Charlottesville: Department of


Pediatrics, Respiratory Division: h. 132-140.

40. Durbin WJ, Stille C. Pneumonia. Pediatric in Review. Worcester: Associate


Professor of Pediatrics, University of Massachusetts Medical. May 2008; h.
29:147-158.
51

41. Paraby R, Ian MBL. Complicated Pneumonia in Children. London: Paediatric


Respiratory Medicine. Maret 2013; 9: h. 211-222.

42. Nurjannah, Nora S, Sidqi A. Profil pneumonia pada anak di RSUD Dr. Zainoel
Abidin, studi retrospektif. Sari Pediatri. Februari 2012; 13: h. 324-328.

43. Pamela, Dina Sintia. "Evaluasi kualitatif Penggunaan Antibiotika Dengan Metode
Gyssens di Ruang Kelas 3 Infeksi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM
secara prospektif". Fakultas MIPA Program Pascasarjana Program studi Ilmu
Kefarmasian. Depok, 2011.

44. Novi Tunggal. "Kajian Penggunaan Antibiotik pada Pasien Pneumonia Dengan
Metode Gyssens di Balai Kesehatan X Surakarta Tahun 2012-2013". Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014.

45. Gyssens IC, Broek PJ, Kullberg BJ, Hekster YA, Meer JW. Optimizing
antimicrobial therapy: a method for antimicrobial drug use evaluation. Antimicr
Chemother. 1992; 30: h. 724-7.
52

LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. SURAT PENGANTAR PENELITIAN

52
53

LAMPIRAN 2. SURAT IZIN PENGAMBILAN DATA


54

LAMPIRAN 3. SURAT KODE ETIK PENELITIAN


55

LAMPIRAN 4. PENGAMBILAN DATA DI RS


T U
No J NO NAMA LAMA FREKUENSI Hasil kultur HASIL
G M RUTE Kategori/ Grup
. K MR ANTIBIOTIK PEMBERIAN DAN DOSIS Bakteri LEUKOSIT
L R NAMA
DTG PLG LOS 0 I II III IV V VI

A B C A B A B C D

01/
01/ MIATI, (-) TIDAK
1 20 57 P 209275 LEVOFLOXACIN 3 HARI 1 X 750 MG IV 14,7 9,1 I
Ny. ADA KULTUR
20

02/ MUHAM BAKTERI


01/ AD EL GRAM
2 10 L 259904 CEFTRIAXON 5 HARI 2 X 500 MG IV 12,2 8,4 I
20 FATAN, POSITIF DAN
20 An. NEGATIF
02/ ESAN BAKTERI
01/ AL GRAM
3 20 13 L 259910 CEFTRIAXON 3 HARI 2 X 650 MG IV 16,1 9,3 I
TAHIR, POSITIF DAN
20 An. NEGATIF
02/
AWAN
01/ KLEBSIELA
4 45 L 142760 SETIAW LEVOFLOXACIN 5 HARI 1 X 750 MG IV 12,2 6,5 I
20 PNEUMONIA
AN, Tn.
20
03/
01/ NURTIN
20 A KLEBSIELA
5 46 P 081283 LEVOFLOXACIN 11 HARI 1 X 750 MG IV 14,3 9,4 I
20 ZEBUA, PNEUMONIA
Ny.
03/
01/ SITI STREPTOCOC
6 20 65 P 260035 ROMASI CEFTAZIDIM 5 HARI 3 X 1 GR IV CUS 15,6 11,9 I
20 H, Ny. PNEUMONIA

04/
01/ PSEUDOMON
ABDUL
20 AS
7 66 L 260066 SOMAD, CEFTAZIDIM 7 HARI 3 X 1 GR IV 13 10,4 I
20 AERUGINOSA
Tn.
E

04/ Kocuria
01/ SAMUD, Kristinae
8 20 66 L 259062 LEVOFLOXACIN 5 HARI 1 X 750 MG IV 14,1 9 I
Tn. ( Kokus Gram
20 Positif )
56

04/ MUHAM
01/ MAD
KLEBSIELA
9 20 45 L 260072 REZA CEFTAZIDIM 3 HARI 3 X 1 GR IV 10,8 8 I
PNEUMONIA
20 FAIZAL,
SE., Tn.
04/
01/ TIURMA PSEUDOMON
20 PANJAI AS
10 67 P 155483 CEFTAZIDIM 3 HARI 3 X 1 GR IV 12,5 10 I
20 TAN, AERUGINOSA
Ny. E

05/ MOHAM
01/ MAD (-) TIDAK
11 20 8 L 260082 CEFTRIAXON 4 HARI 2 X 600 MG IV 13 10 I
IBROHI ADA KULTUR
20 M, An.
05/ M.SHAK
01/ EENLA
20 (-) TIDAK
12 7 L 260099 NO CEFTRIAXON 3 HARI 2 X 550 MG IV 11 8 I
20 ADA KULTUR
MUTAQ
I, An.
05/
01/ EMAN
KLEBSIELA
13 20 54 L 093665 SULAIM LEVOFLOXACIN 5 HARI 1 X 750 MG IV 14 9 I
PNEUMONIA
20 AN, Tn.
06/
BAKTERI
01/
JAENAL GRAM
14 20 55 L 260123 CEFTRIAXON 5 HARI 1 X2 GR IV 16,9 9,1 I
, Tn. POSITIF DAN
20
NEGATIF
06/
01/ MUHAM
20 MAD AL (-) TIDAK
15 8 L 260241 CEFOTAXIM 3 HARI 2 X 500 MG IV I
20 GHIFAR ADA KULTUR
I, An.

06/ RAINA
01/ SYABIL
20 (-) TIDAK
16 7 P 260129 A CEFOTAXIM 4 HARI 2 X 400 MG IV I
20 ADA KULTUR
YUMNA
, An.
17 07/ 9 P 219424 SHERIN AMPICILLIN 5 HARI 4 X 450 MG IV BAKTERI I
01/ A GRAM
20 AZKAY POSITIF DAN
20 RA NEGATIF
JASMIN
E, An.
57

GENTAMICIN 5 HARI 1 X 60 MG IV

07/
01/ KEIRON
20 MATTH
(-) TIDAK
18 20 9 P 235160 EW CEFOTAXIM 3 HARI 2 X 500 MG IV I
ADA KULTUR
MANAL
U, An.

SUNGG
08/ UL CEFTAZIDIM 5 HARI 3 X 1 GR IV
01/ LUMBA KLEBSIELA
19 76 L 260350 I
20 N PNEUMONIA
20 TORUA
N, Tn. LEVOFLOXACIN 11 HARI 1 X 750 MG IV

08/
01/ PSEUDOMON
20 ASMADI AS
20 54 L 260341 LEVOFLOXACIN 5 HARI 1 X 750 MG IV I
20 , Tn. AERUGINOSA
E

08/
01/
20 ODIH
ESCHERICHIA
21 20 56 L 260356 MUCHSI CEFTAZIDIM 3 HARI 3 X 1 GR IV I
COLI
N, Tn.

08/
01/
20 MAHDI, ESCHERICHIA
22 20 65 L 140381 CEFTAZIDIM 3 HARI 3 X 1 GR IV I
Tn. COLI

08/
01/ PSEUDOMON
20 SARINA AS
23 20 65 P 260419 CEFTAZIDIM 6 HARI 3 X 1 GR IV I
H, Ny. AERUGINOSA
E

24 10/ 66 P 212953 IYONG LEVOFLOXACIN 5 HARI 1 X 750 MG IV STREPTOCOC I


01/ SYAIYA CUS
20 H, Ny. PNEUMONIA
20
CEFTRIAXON 5 HARI 1 X 2 GR IV
58

LEVOFLOXACIN 10 HARI 1 X 750 MG IV


SRI
11/ PSEUDOMON
PRIHATI
01/ AS
25 55 P 131201 NI I
20 AERUGINOSA
WIDAY CIPROFLOXACIN 5 HARI 2 X 400 MG IV
20 E
ATI, Ny.

AMIKASIN 5 HARI 3 X 250 MG IV

12/
01/ ASLIND STREPTOCOC
27 20 45 P 150626 A ROSA, CEFTRIAXON 5 HARI 2 X 2 GR IV CUS I
20 Ny. PNEUMONIA

12/ CEFTRIAXON 5 HARI 2 X 2 GR IV BAKTERI


01/ MURSIN GRAM
28 34 P 260631 I
20 AH, Ny. POSITIF DAN
20 NEGATIF
AZITROMISIN 5 HARI 1 X 500 MG ORAL

13/
01/ EMMY
20 KLEBSIELA
29 56 P 260751 HELMIN CEFTAZIDIM 5 HARI 2 X 1 GR IV I
20 PNEUMONIA
A, Ny.

NUR
14/ MUHAI LEVOFLOXACIN 7 HARI 1 X 750 MG IV
01/ MIN KLEBSIELA
30 77 P 100462 I
20 FERDIA PNEUMONIA
20 NSYAH, MEROPENEM 5 HARI 3 X 1 GR IV
Tn.
14/ MUHAM
01/ MAD BAKTERI
31 20 9 L 225666 BILAL CEFTRIAXON 6 HARI 2 X 500 MG IV GRAM I
20 ARRAS POSITIF
YID, An.
14/
01/ STAPILOCOC
ISMAN,
32 20 56 L 242036 CEFTRIAXON 7 HARI 1 X 2 GR IV OUS I
Tn.
20 AEUREUS

14/ NURSY ESCHERICHIA


33 76 L 152966 CEFTAZIDIM 6 HARI 3 X 1 GR IV I
01/ AMSI, COLI
59

20
Tn. LEVOFLOXACIN 6 HARI 1 X 750 MG IV
20
15/
01/ GLENC
BAKTERI
20 A
34 9 P 260767 CEFOTAXIM 3 HARI 2 X 500 MG IV GRAM I
20 KYRA,
POSITIF
An.
16/
01/ MANSU PSEUDOMON
20 R BIN AS
35 54 L 129383 MEROPENEM 4 HARI 3 X 1 GR IV I
20 SANIM, AERUGINOSA
Tn. E

16/
01/
20 ATHAF
BAKTERI
20 ARIZ
GRAM
36 8 L 261002 ALTHAF CEFOTAXIM 5 HARI 2 X 550 MG IV I
POSITIF DAN
FIRAZ,
NEGATIF
An.

16/
01/
BAKTERI
20 KAMIL
37 55 P 030100 CEFTRIAXON 4 HARI 1 X 2 GR IV GRAM I
20 AH, Ny.
POSITIF

16/
01/
20 BAKTERI
20 FAIZ AL
GRAM
38 9 L 242368 RAMAD CEFOTAXIM 3 HARI 2 X 600 MG IV I
POSITIF DAN
AN, An.
NEGATIF

CEFTRIAXON 6 HARI 1 X 2 GR IV
16/ BAKTERI
DEDE
01/ GRAM
39 76 L 090190 SUHEN I
20 POSITIF DAN
DI, Tn.
20 NEGATIF

LEVOFLOXACIN 6 HARI 1 X 750 MG IV


60

17/
01/
20 STAPILOCOC
PERGIW
40 20 54 P 261046 AZITROMISIN 5 HARI 1 X 500 MG ORAL OUS I
ATI, Ny.
AEUREUS

41 LEVOFLOXACIN 5 HARI I X 750 MG IV


17/ NURTA
01/ M ESCHERICHIA
56 L 261034 I
20 SAMAU COLI
20 N, Tn.
CEFTAZIDIM 5 HARI 3 X 1 GR IV

17/
01/
20
20 SRIWID
ODO KLEBSIELA
42 55 L 261042 LEVOFLOXACIN 8 HARI 1 X 750 MG IV I
MARJU PNEUMONIA
KI, Tn.

CEFOTAXIM 4 HARI 2 X 1 GR IV
AHMAD
18/ BAKTERI
DZAKIA
01/ GRAM
43 9 L 209213 NDRA I
20 POSITIF DAN
ARZAN,
20 NEGATIF
An.

GENTAMICIN 4 HARI 1 X 80 MG IV

18/
01/ PSEUDOMON
20 S A N I, AS
44 65 P 260997 LEVOFLOXACIN 8 HARI 1 X 750 MG IV I
20 Ny. AERUGINOSA
E
61

18/
01/
20 NURIYA KLEBSIELA
45 67 P 261135 LEVOFLOXACIN 12 HARI 1 X 500 MG IV I
20 H, Ny. PNEUMONIA

19/
01/ PSEUDOMON
20 NAMIN
AS
46 20 54 L 261141 SUMAN LEVOFLOXACIN 10 HARI 1 X 500 MG IV I
AERUGINOSA
TRI, Tn.
E

19/
01/ BAKTERI
SUKRI
20 GRAM
47 67 L 095109 DAYAT, CEFOTAXIM 7 HARI 3 X 1 GR IV I
20 POSITIF DAN
Tn.
NEGATIF

19/
01/ BAKTERI
ARZAQ
20 GRAM
48 7 L 261154 RAMAD CEFOTAXIM 3 HARI 2 X450 MG IV I
20 POSITIF DAN
AN, An.
NEGATIF

19/ AHMAD CEFOTAXIM 5 HARI 2 X 400 MG IV BAKTERI


01/ AULIA GRAM
49 6 P 261133 I
20 CAHYO POSITIF DAN
20 NO, An. NEGATIF

GENTAMICIN 5 HARI 2 X 40 MG IV

19/
AISYAH BAKTERI
01/
AZ- GRAM
50 20 8 P 261163 CEFOTAXIM 4 HARI 2 X 500 MG IV I
ZAHRA, POSITIF DAN
20
An. NEGATIF
20/ BAKTERI
01/ ENDAN GRAM
51 20 65 L 242577 CEFTRIAXON 7 HARI 2 X 2000 MG IV I
G, Tn. POSITIF DAN
20 NEGATIF
20/ ABDUL
01/ LATIF ESCHERICHIA
52 20 65 L 251732 CEFTAZIDIM 5 HARI 3 X 1 GR IV I
MUSTA COLI
20 WA, Tn.
62

NAZAR
UDDIN, LEVOFLOXACIN 4 HARI 1 X 500 MG IV
20/ Tn.
01/ ESCHERICHIA
53 76 L 255625 I
20 COLI
20
CEFTAZIDIM 5 HARI 3 X1 GR IV

20/ APTHA
01/ FATTIA STAPILOCOC
54 20 9 L 261202 N CEFOTAXIM 6 HARI 2 X 500 MG IV OUS I
20 REKSA, AEUREUS
An.
20/
01/ BAKTERI
BUDI
20 GRAM
55 65 L 261256 SANTOS CEFTRIAXON 4 HARI 2 X 1 GR IV I
20 POSITIF DAN
O, Tn.
NEGATIF

21/
01/ BAKTERI
YASMA
20 GRAM
56 76 P 190376 SARI, CEFTRIAXON 5 HARI 2 X 1 GR IV I
20 POSITIF DAN
Ny.
NEGATIF
21/
01/ BAKTERI
20 UCIH, GRAM
57 76 P 255896 CEFOTAXIM 4 HARI 2 X 1 GR IV I
20 Ny. POSITIF DAN
NEGATIF

21/
01/
20
20 SAMAH, (-) TIDAK
58 54 P 260719 CIPROFLOXACIN 4 HARI 2 X 400 MG IV I
Ny. ADA KULTUR

21/ SYAFA
01/ ANISA
20 (-) TIDAK
59 9 P 234259 FUTRI CEFOTAXIM 3 HARI 2 X 450 MG IV I
20 ADA KULTUR
KAEMA
NA, An.
22/ BAKTERI
02/ ETI
GRAM
60 20 76 P 261333 RESTIA CEFOTAXIM 6 HARI 2 X 1 GR IV I
POSITIF DAN
20 NA, Ny.
NEGATIF
63

22/ PSEUDOMON
02/ WATI, AS
61 20 67 P 029977 LEVOFLOXACIN 7 HARI 1 X 750 MG IV I
Ny. AERUGINOSA
20 E
22/
03/ BAKTERI
H. AMIN
20 GRAM
62 87 L 253395 DJAMB CEFOPERAZON 4 HARI 3 X 1 GR IV I
20 NEGATIF
EK, Tn.
AEROB

08/
04/ NUR BAKTERI
20 AFLAH GRAM
63 7 P 261410 CEFOTAXIM 6 HARI 2 X 400 MG IV I
20 FADILA POSITIF DAN
H, An. NEGATIF

10/
04/ SUHAIL, KLEBSIELA
64 20 77 L 128909 CEFTAZIDIM 5 HARI 3 X 1 GR IV I
Tn. PNEUMONIA
20
13/
04/ PSEUDOMON
20 PURWA AS
65 76 P 201264 LEVOFLOXACIN 8 HARI 1 X 750 MG IV I
20 TI, Ny. AERUGINOSA
E

23/
05/ PSEUDOMON
20 HARYA AS
66 76 P 261409 LEVOFLOXACIN 11 HARI 1 X 500 MG IV I
20 NTI, Ny. AERUGINOSA
E

23/
05/ ABDUL
20 LAH STAPILOCOC
67 20 56 L 057927 AZITROMISIN 3 HARI 1 X 500 MG IV I
SAAT, CUS AUREUS
Tn.

13/
06/ PSEUDOMON
MURSA
20 AS
68 76 P 261428 NAH, LEVOFLOXACIN 9 HARI 1 X 750 MG IV I
20 AERUGINOSA
Ny.
E

20/ SUHA LEVOFLOXACIN 7 HARI 1 X 750 MG IV


06/ BIN KLEBSIELA
69 67 L 132861 I
20 BUJEL, PNEUMONIA
20 Tn. MEROPENEM 5 HARI 3 X 1 GR IV
64

24/
06/
20 TABAH, ESCHERICHIA
70 66 L 261517 CEFTAZIDIM 6 HARI 3 X 1 GR IV I
20 Tn. COLI

04/
07/
20 PSEUDOMON
ARSIH,
71 20 54 P 201415 MEROPENEM 4 HARI 3 X 1 GR IV AS I
Ny.
AERUGINOSA

13/
07/ BAKTERI
20 TOMI
GRAM
72 20 65 L 084585 HARDI, CEFTRIAXON 5 HARI 1 X 2 GR IV I
NEGATIF
Tn.
AEROB

15/
07/ BAKTERI
20 BARIYA GRAM
73 76 P 090164 CEFTRIAXON 7 HARI 2 X 2 GR IV I
20 H, Ny. NEGATIF
AEROB

LEVOFLOXACIN 5 HARI 1 X 750 MG IV


25/
07/ AMINA ESCHERICHIA
74 86 P 261512 I
20 H, Ny. COLI
20
CEFTAZIDIM 5 HARI 3 X 1 GR IV

25/
08/ PSEUDOMON
HERUW
20 AS
75 34 P 261610 ASIH, LEVOFLOXACIN 10 HARI 1 X 750 MG IV I
20 AERUGINOSA
Ny.
E

MEROPENEM 8 HARI 3 X 1 GR IV
25/ DJUSLA PSEUDOMON
08/ INI AS
76 56 P 261590 I
20 MUSLI AERUGINOSA
20 M, Ny. E
KLINDAMISIN 3 HARI 4 X 150 MG ORAL
65

09/
09/
20 J. ALEX, (-) TIDAK
77 77 L 261607 LEVOFLOXACIN 3 HARI 1 X 750 MG IV I
20 ST, Tn. ADA KULTUR

16/
09/ ENDAN BAKTERI
20 G GRAM
78 20 65 P 150146 CEFTRIAXON 5 HARI 1 X 2 GR IV I
HARTA NEGATIF
TI, Ny. AEROB

26/
09/ MANIL, ESCHERICHIA
79 20 76 P 097440 CEFTAZIDIM 4 HARI 3 X 1 GR IV I
Ny. COLI
20
26/
09/ WIDYA BAKTERI
20 NUR GRAM
80 20 9 P 252202 CEFOTAXIM 6 HARI 2 X 500 MG IV I
AFIAH, NEGATIF
An. AEROB

27/
09/ RAFKA
20 RAMAD (-) TIDAK
81 5 L 261674 CEFTRIAXON 3 HARI 2 X 300 MG IV I
20 HAN, ADA KULTUR
An.

04/ MUHAM BAKTERI


10/ MAD GRAM
82 20 67 L 261649 CEFTRIAXON 5 HARI 2 X 2 GR IV I
DEVAN, POSITIF DAN
20 An. NEGATIF
07/
10/
PSEUDOMON
20 UCI
AS
83 20 76 L 258513 SANUSI, LEVOFLOXACIN 5 HARI 1 X 500 MG IV I
AERUGINOSA
Tn.
E

08/ REGAN
10/ DESWA
(-) TIDAK
84 20 8 L 261758 RA CEFOTAXIM 3 HARI 2 X 450 MG IV I
ADA KULTUR
20 PUTRA,
An.
66

AMPICIILIN 6 HARI 4 X 1 GR IV I
14/ PSEUDOMON
10/ ASMAN, AS
85 76 L 261761
20 Tn. AERUGINOSA
20 E
MEROPENEM 6 HARI 3 X1 GR IV I

25/
10/
20 EMMY
(-) TIDAK
86 20 54 P 260751 HELMIN CEFTRIAXON 3 HARI 1 X 2 GR IV I
ADA KULTUR
A, Ny.

28/
BAKTERI
10/ SIUN
GRAM
87 20 54 L 261767 SIMIN, CEFTRIAXON 3 HARI 2 X 2 GR IV I
POSITIF DAN
20 Tn.
NEGATIF
09/
11/ BAKTERI
20 M.
GRAM
88 20 43 L 259715 SHODIK LEVOFLOXACIN 3 HARI 1 X 500 MG IV I
POSITIF DAN
, Tn.
NEGATIF

10/
11/ ARSHA
20 KA
20 JAVIER (-) TIDAK
89 6 L 261857 CEFTRIAXON 3 HARI 2 X 400 MG IV I
FIRMAN ADA KULTUR
SYAH,
An.

15/
11/ BAKTERI
20 AWIH, GRAM
90 20 76 L 261503 CEFTRIAXON 7 HARI 1 X 2 GR IV I
Tn. POSITIF DAN
NEGATIF
67

19/ MUHAM
11/
MAD
20 HIZAM (-) TIDAK
91 20 7 L 261802 CEFOTAXIM 3 HARI 2 X 550 MG IV I
AL ADA KULTUR
GHIFAR
I, An.
20/
11/ WILDA BAKTERI
20 N AL GRAM
92 20 5 L 261853 CEFTRIAXON 5 HARI 2 X 350 MG IV I
GHIFAR POSITIF DAN
I, An. NEGATIF

20/
11/ KHOUM BAKTERI
20 ARO GRAM
93 20 7 L 261695 CEFOTAXIM 5 HARI 2 X 550 MG IV I
ZAMAN, POSITIF DAN
An. NEGATIF

22/
11/
20 BAKTERI
20 HUJAIN GRAM
94 76 P 131813 CEFTRIAXON 5 HARI 2 X 2 GR IV I
AH, Ny. POSITIF DAN
NEGATIF

22/
DITYA PSEUDOMON
11/
GHEAM AS
95 20 77 P 262036 LEVOFLOXACIN 5 HARI 1 X 750 MG IV I
ERANI, AERUGINOSA
20
Ny. E
23/
11/
20 BAKTERI
20 SUKIMI GRAM
96 67 L 262017 CEFTRIAXON 5 HARI 2 X2 GR IV I
N, Tn. POSITIF DAN
NEGATIF

23/
11/ AMSAH, ESCHERICHIA
97 20 55 P 262019 CEFTAZIDIM 5 HARI 3 X 1 GR IV I
Ny. COLI
20
68

25/
PSEUDOMON
11/ NANI
AS
98 20 76 P 262081 RESTINI MEROPENEM 4 HARI 3X1 GR IV I
AERUGINOSA
20 , Ny.
E
25/
BAKTERI
11/ MIMIN
GRAM
99 20 65 P 224518 SUMINT CEFTRIAXON 6 HARI 2 X 2 GR IV I
POSITIF DAN
20 EN, Ny.
NEGATIF
26/ MUHAM
11/ MAD BAKTERI
10
20 8 L 262032 KAFI CEFOTAXIM 6 HARI 2 X 600 MG IV GRAM I
0
20 MAMDU NEGATIF
H, An.
27/ MUHAM
11/ MAD
10 20 (-) TIDAK
6 L 262034 RASYA CEFOTAXIM 3 HARI 2 X 450 MG IV I
1 20 ADA KULTUR
SETIAW
AN, An.
28/
PSEUDOMON
11/
10 RAUF, AS
20 76 L 262053 LEVOFLOXACIN 5 HARI 1 X 500 MG IV I
2 Tn. AERUGINOSA
20
E
29/
11/ ENDAN
20 PSEUDOMON
G
10 20 AS
46 P 262165 SUSILA CEFTAZIDIM 5 HARI 3 X 1 GR IV I
3 AERUGINOSA
WATI,
E
Ny.

01/ PSEUDOMON
10 12/ SUMIRA AS
20 65 P 262170 LEVOFLOXACIN 7 HARI 1 X 750 MG IV I
4 H, Ny. AERUGINOSA
20 E
01/
12/
20 IDA
10 KLEBSIELA
20 64 P 210745 JUBAED MEROPENEM 5 HARI 3 X 1 GR IV I
5 PNEUMONIA
AH, Ny.
69

02/
12/ BAKTERI
10 20 MARSU
76 L 238638 CEFTRIAXON 7 HARI 3 X1 GR IV GRAM I
6 20 M, Tn.
NEGATIF

02/
12/
20 BAKTERI
10 20 GRAM
64 P 262175 SINI, Ny. LEVOFLOXACIN 5 HARI 1 X 500 MG IV I
7 NEGATIF
AEROB

02/
12/ AFZAN
20 KHOLI
10 20 (-) TIDAK
8 L 104280 MATUL CEFTRIAXON 3 HARI 3 X 250 MG IV I
8 ADA KULTUR
HUSNI,
An.

03/
12/
20
20 BAKTERI
SYAFIA
10 GRAM
9 P 220406 RAHMA CEFOTAXIM 5 HARI 2 X 500 MG IV I
9 NEGATIF
H, An.
AEROB

03/
12/
SUGEN
20
11 G KLEBSIELA
20 87 L 262202 MEROPENEM 8 HARI 3 X 1 GR IV I
0 RIYANT PNEUMONIA
O, Tn.

Anda mungkin juga menyukai