Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)

FARMASI RUMAH SAKIT

DI RUMAH SAKIT SILOAM MAKASSAR

ASUHAN KEFARMASIAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS


DEMAM TIFOID DAN FIBROSIS PARU

PERIODE 01 AGUSTUS – 30 AGUSTUS 2022

O L E H:

MUSTAWIA
N014212105

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)
FARMASI RUMAH SAKIT
DI RUMAH SAKIT SILOAM MAKASSAR

ASUHAN KEFARMASIAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS


DEMAM TIFOID DAN FIBROSIS PARU

PERIODE 01 AGUSTUS – 30 AGUSTUS 2022

DISUSUN OLEH:
MUSTAWIA
N014212105

Menyetujui,
Pembimbing PKPA Farmasi Rumah Sakit Pembimbing PKPA Farmasi Rumah Sakit
Program Studi Profesi Apoteker Rumah Sakit Siloam Makassar
Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. Elly Wahyuddin, DEA, Apt Nurdaya, S.Si., M.Si, Apt
NIP. 19560114198601 2 001 NIP. 19840707200902 2 011

Mengetahui,

Koordinator PKPA Farmasi Rumah Sakit Kepala Instalasi Farmasi


Program Studi Profesi Apoteker Rumah Sakit Siloam Makassar
Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. Elly Wahyuddin, DEA, Apt Dra. Hj. Nurdjihadi Arsyad, Apt.
NIP. 19560114198601 2 001 NIP. 19600610198803 2 005
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas berkat dan anugrah Tuhan Yang Maha kuasa karena
atas pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktik Kerja Profesi
Apoteker dan menyelesaikan karya tulis ini, yang merupakan salah satu
persyaratan dalam menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar profesi apoteker
pada program studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
Dalam penyusunan karya tulis ini sangat banyak kendala yang penulis
hadapi, namun karena pertolongan Tuhan dan dukungan serta bantuan dari
beberapa pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikan kendala-kendala tersebut.
Oleh karena itu perkenankan penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
tulus kepada Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt, selaku pembimbing PKPA
Farmasi Rumah Sakit sekaligus Koordinator PKPA Farmasi Rumah Sakit yang
telah membimbing, memberikan motivasi dan meluangkan waktu untuk
berdiskusi bersama penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Ibu Prof……., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin beserta
jajarannya atas ilmu, arahan dan dukungan yang telah diberikan kepada para
mahasiswa, khususnya kepada penulis.
2. Bapak Abdul Rahim, S.Si., M.Si., Ph.D., Apt., selaku Ketua Program Studi
Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
3. Ibu apt. Dra. Hj. Nurdjihadi Arsyad, selaku Kepala Instalasi Farmasi Rumah
Sakit Umum Andi Makkasau, Kota Parepare, yang telah membimbing selama
melakukan kegiatan PKPA.
4. Ibu apt. Nurdaya, S.Si., M.Si. selaku Pembimbing PKPA Rumah Sakit di
RSUD A. Makkasau Kota Parepare, yang telah membimbing dan memberi
banyak ilmu dan pengetahuan selama melakukan kegiatan PKPA.
5. Seluruh pegawai RSUD Andi Makkasau Kota Parepare terkhsusus bagian
instalasai Faramsi yang telah banyak membantu dan memberi banyak
pengalaman selama pelaksanaan PKPA.
6. Orang tua dan keluarga yang selalu mendoakan, mencurahkan kasih sayang
dan memberikan bantuan secara finansial maupun semangat yang tiada henti-
hentinya.
7. Teman-teman Program Studi Profesi Apoteker angkatan Gasal 2021/2022 yang
selalu memberikan bantuan dan semangat tersendiri bagi penulis serta seluruh
pihak yang telah membantu, yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu
yang selalu membantu dan memberikan motivasi kepada penulis utamanya
rekan-rekan peserta PKPA Rumah Sakit.
Penulis berharap semoga Allah AWT membalas segala kebaikan yang
telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saran, tanggapan dan kritik yang
sifatnya membangun sangat diharapkan oleh penulis agar dapat menjadi lebih baik
lagi di kemudian hari.
Penulis berharap kiranya karya tulis ini bermanfaat bagi penulis dan semua
pihak khususnya dalam pengembangan ilmu kefarmasian. Akhirnya dengan
segala kerendahan hati, semoga apa yang tersirat dalam tulisan ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak, Terima kasih.

Makassar, 2022
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I.1 Demam Tifoid


I.1.1 Pengertian demam tifoid
Demam tifoid (selanjutnya disebut tifoid/ paratifoid) adalah penyakit infeksi
akut saluran pencernaan (usus halus) yang disebabkan oleh Salmonella typhi atau
Salmonella enterica serovar paratyphi A, B dan C (S. paratyphi) (Purba, dkk.,
2016; Nurfadly, dkk., 2021). Penyakit ini ditandai dengan demam yang
berlangsung lebih dari satu minggu, gangguan pencernaan dan bisa sampai terjadi
gangguan kesadaran (Arfiana & Arum, 2016). Menurut Widoyono (2011) demam
tifoid dapat menular melalui fecal dan oral yang masuk ke dalam tubuh manusia
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mustofa, dkk., 2020)
Demam tifoid adalah demam enterik yang ditandai dengan penyakit sistemik
disertai nyeri perut dan demam dengan pola "step-ladder". Organisme penyebab
demam enterik adalah Salmonella typhi. Serotipe lain, Salmonella paratyphi (A,
B, C), juga menyebabkan sindrom serupa tetapi dengan penyakit yang kurang
signifikan secara klinis (Bhandari J, et.al. 2022)
I.1.2 Epidemiologi
Tifoid terdapat diseluruh dunia, terutama di negara-negara yang sedang
berkembang di dareah tropis. Penyakit ini sudah ada sejak beberapa abad yang
lalu. World Health Organisation (WHO) menyatakan bahwa, penyakit demam
tifoid di dunia mencapai 11-20 juta kasus per tahun yang mengakibatkan sekitar
128.000 - 161.000 kematian setiap tahunnya (WHO, 2018). Demam tifoid
biasanya lebih banyak menyerang anak-anak dan remaja. Demam tifoid ini
banyak terjadi terutama di negara berkembang dengan sanitasi rendah seperti
Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika selatan. Di Afrika kejadian demam tifoid
mencapai 13 hingga 845 kasus per 100.000 populasi. Terdapat sekitar 1% kasus
kematian dengan penanganan dan 30%-40% kasus setelah perforasi usus.
Sedangkan di negara maju, kasus lebih banyak berasal dari wisatawan luar negeri
dan imigran (Virdania, dkk. 2018).
Indonesia dikenal sebagai negara tropis yang juga salah satu negara endemik
demam tifoid dengan angka kejadian demam tifoid mencapai 350-810 kasus per
100.000 populasi. Penyakit ini sempat menempati urutan kedua dari 10 penyakit
terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia pada tahun 2008.
Dikatakan, terdapat 60,5% pasien demam tifoid yang lama dirawat (Virdania, dkk.
2018).
Pada laporan lainnya, kasus demam tifoid di Indonesia dilaporkan dalam
surveilans tifoid dan paratifoid Nasional. Penyakit ini mencapai tingkat prevalensi
358-810/100.000 penduduk di Indonesia. Kasus demam tifoid ditemukan di
Jakarta sekitar 182,5 kasus setiap hari. Diantaranya, sebanyak 64% infeksi demam
tifoid terjadi pada penderita berusia 3-19 tahun. Namun, rawat inap lebih sering
terjadi pada orang dewasa (32% dibanding anak 10%) dan lebih parah. Kematian
akibat infeksi demam tifoid di antara pasien rawat inap bervariasi antara 3,1-
10,4% (sekitar 5-19 kematian sehari) (Typhoid Fever: Indonesia’s Favorite
Disease, 2016).
Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010, demam tifoid
menduduki peringkat ke-3 dengan jumlah penderita sebanyak 41.081 orang yaitu
19.706 laki-laki dan 21.375 perempuan. Sebanyak 274 penderita meninggal dunia
I.1.3 Patofisiologi
Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella thypi atau Salmonella
parathypi. Penularan ke manusia melalui makanan atau minuman yang tercemar
dengan feses manusia. Setelah melewati lambung kuman mencapai usus halus dan
invasi ke jaringan limfoid (plak peyer) yang merupakan tempat predileksi untuk
berkembang bia. Melalui saluran limfe mesenterik kuman masuk aliran darah
sistemik (bakterimia I) dan mencapai sel-sel retikulo endotelial dari hati dan
limfa. Fase ini dianggap masa inkubsai (7-14 hari). Kemudian dari jaringan ini
kuman dilepas ke sirkulasi sitemik (bakterimia II) melalui duktus torasikus dan
mencapai organ-organ tubuh terutama limfa, usus halus, dan kandung empedu
(MenKes, No. 364, 2006)
Kuman Salmonella menghasilakan endotoksin yang merupakan kompleks
lipolisakarida dan dianggap berperan penting pada patogenesis demam tifoid.
Endotoksin bersifat pirogenik dan memperbesar reaksi peradangan dimana kuman
Salmonella berkembang biak. Disamping itu merupakan stimulator yang kuat
untuk memperoduksi sitokin oleh sel-sel makrofag dan sel leukosit di jaringan
yang meradang. Sitokin ini merupakan mediator-mediator untuk timbulnya
demam dan gejala toksemia (proinflamatory). Oleh karena hasil Salmonella
bersifat intraseluler maka hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang-
kadang pada jaringan yang terinvasi dapat timbul fokal-fokal infeksi (MenKes,
364, 2006).
Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus terutama diileum
bagian distal dimana terdapat kelenjar plak peyer. Pada minggu pertama, pada
plak peyer terjadi hiperpelasia berlanjut menjadi nekrosis pada minggu ke 2 dan
ulserasi pada minggu ke 3, akhirnya terbentuk ulkus. Ulkus ini mudah
menimbulkan perdarahan dan perforasi yang merupakan komplikasi yang
berbahaya. Hati membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuklear
lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan
retikuloendotelial lain seperti limfa dan kelenjar mesentrika. Kelainan-kelainan
patologis yang sama juga dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang,
usus, paru, ginjal, jantung dan selaput otak. Pada pemeriksaan klinis, sering
ditemukan proses radang dan abses-abses pada banyak organ, sehingga dapat
ditemukan bronkhitis, arthritis septik, pielonefritis, meningitis, dll. Kandung
empedu merupakan tempat yang disenangi basil Salmonella. Bila penyembuhan
tidak sempurna, basil tetap tahan di kandung empedu ini, mengalir ke dalam usus,
sehingga menjadi karier intestinal (MenKes, No. 364, 2006).
Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama sehingga
juga menjadi karier (Urinary Carrier). Adapun tempat-tempat yang menyimpan
basil ini, memungkinkan penderita mengalami kekambuhan (relaps) (MenKes,
No. 364, 2006).
I.1.4 Cara penularan dan faktor-faktor yang berperan
Basil Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman. Jadi
makanan atau minuman yang dikomsumsi manusia telah tercemar oleh komponen
feses atau urin dari pengidap tifoid. Beberapa kondisi kehidupan manusia yang
sangat berperan, pada penularan adalah: (MenKes, No. 364, 2006).
1. Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa.
Hal ini jelas pada anak - anak, penyaji makanan serta pengasuh anak.
2. Higiene makanan dan minuman yang rendah. Faktor ini paling berperan pada
penularan tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini diantaranya: makanan yang
dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-
buahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar
dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak dimasak, dan
sebagainya.
3. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran dan
sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
4. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai
5. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat
6. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna
7. Belum membudayakan program imunisasi untuk tifoid
I.1.5 Gejala Klinis
Demam tifoid adalah salah satu penyakit demam paling sering dijumpai di
negara berkembang. Setelah menjalani masa inkubasi selama 7 sampai 14 hari,
maka akan timbul beberapa gejala klinis yang sering pada tifoid, diantaranya:
(MenKes, No. 364, 2006; Nurfadly, dkk., 2021).
1. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama tifoid. Pada awal sakit, demamnya
kebanyakan samar samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi
lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi (demam intermitten).
Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala
lain seperti sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan diarea frontal,
nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu
ke 2 intensitas demam makin tinggi, kadang-kadang terus menerus (demam
kontinyu). Bila pasien membaik maka pada minggu ke 3 suhu badan berangsur
turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke 3. Perlu diperhatikan
terhadap laporan, bahwa demam yang khas tifoid tersebut tidak selalu ada.
Tipe demam menjadi tidak beraturan. Hal ini mungkin karena intervensi
pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada anak
khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang.
2. Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.
Bibir kering dan kadang kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan
ditutupi selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated
tongue atau selaput putih), dan pada penderita anak jarang ditemukan. Pada
umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrik
(nyeri ulu hati), disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal sakit sering
meteorismus dan kontipasi. Pada minggu selanjutnya kadang- kadang timbul
diare.
3. Gangguan Kesadaraan Umumnya
Terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan
kesadaran ringan Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti
berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan
koma atau dengan gejala - gejala psychosis (Organic Brain Syndrome). Pada
penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.
4. Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan
nyeri tekan.
5. Bradikardia relatif dan gejala lain
Bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis
pemeriksaan yang sulit dilakukan Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu
tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi Patokan yang sering
dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1 ° C tidak diikuti peningkatan
frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala - gejala lain yang dapat
ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot yang biasanya ditemukan
diregio abdomen atas, serta sudamina, serta gejala gejala klinis yang
berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak sangat
jarang ditemukan malahan lebih sering epitaksis.
I.1.6 Penatalaksanaan tifoid
Kebijakan dasar pemberian antimikroba sebagai berikut: (MenKes, 364,
2006)
1. Antimikroba segera diberikan bila diagnosis klinis demam tifoid telah dapat
ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, probable, maupun
suspek.
2. Seblum antimikroba diberikan, harus diambil spesimen darah atau sumsum
tulang lebih dulu untuk pemeriksaan biakan kuman Salmonella (biakan gaal),
kecuali fasilitas ini betul-betul tidak ada dan tidak bisa dilaksanakan
3. Antimikroba yang dipilih harus mempertimbangkan:
a. Telah dikenal sensitif dan potensial untuk tifoid
b. Mempunyai sifat farmakokinetik yang dapat berpenetrasi dengan baik ke
jaringan serta mempunyai afinitas yang tinggi menuju organ sasaran.
c. Berspektrum sempit
d. Cara pemberian yang mudah dan dapat ditoleransi dengan baik oleh
penderita termasuk anak dan wanita hamil
e. Efek samping yang minimal
f. Tidak mudah resisten dan efektif mencegah karier
pilihan antimikroba (antibiotik) menurut MenKes nomor 364 (2006), untuk
demam tifoid yang dikemukakan dalam tabel di bawah adalah yang telah dikenal
sensitif dan efektif untuk demam tifoid serta merupakan pilihan dan dipilih dari
hasil uji kepekaan. Berikut ini tabel antimikroba untuk penderita demam tifoid
Tabel 2.1 antimikroba untuk penderita demam tifoid
(MenKes, No. 364, 2006)
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan
gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah
penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan
carrier. Pilihan utama antibiotik tergantung pola kerentanan kuman S. typhi dan
S. paratyphi di area tertentu. Terapi first-line original adalah kloramfenikol,
ampisilin, dan trimethropim-sulfametoksazol (Nelwan, 2012; Hartanto, 2021).
Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan
bahwa pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan
chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan. Namun, fluoroquinolone tidak
diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan
dan kerusakan sendi (Nelwan, 2012). Efikasi, ketersediaan, dan biaya merupakan
kriteria penting dalam pemilihan antibiotik lini pertama yang akan digunakan di
negara berkembang. Kloramfenikol, terlepas dari risiko agranulositosis pada 1 per
10.000 pasien, masih banyak diresepkan di negara berkembang untuk pengobatan
demam tifoid (Nurfadly, dkk., 2021)
Strain S. typhi dari banyak wilayah di dunia, misalnya sebagian besar negara
di Afrika dan Asia, tetap sensitif terhadap obat ini dan tersedia secara luas di
sebagian besar fasilitas kesehatan primer di negara berkembang untuk pengobatan
demam tifoid. Ampisilin dan amoksisilin diberikan pada dosis 50 sampai 100 mg
per kg berat badan per hari secara oral, i.m. atau i.v., dibagi menjadi tiga atau
empat dosis. Tidak ada manfaat yang dilaporkan dengan penambahan asam
klavulanat ke amoksisilin. Sefalosporin generasi ketiga, sefiksim oral (15-20 mg
per kg berat badan per hari untuk orang dewasa, 100-200 mg dua kali sehari) telah
banyak digunakan pada baik pada dewasa maupun anak-anak dan terbukti
memuaskan. Azitromisin dalam dosis 500 mg (10 mg / kg) yang diberikan sekali
sehari selama tujuh hari telah terbukti efektif dalam pengobatan demam tifoid
pada orang dewasa dan anak-anak dengan waktu penurunan suhu badan sampai yg
normal serupa dengan yang dilaporkan untuk kloramfenikol. Dosis 1 gram per
hari
selama lima hari juga efektif pada orang dewasa (World Health Organization.
2003). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel 2.1.
Tabel 2.2 Pilihan antibiotik untuk demam tifoid
(Pegues & Miller, 2015)
Diantara banyaknya pilihan antibiotik yang dapat dipilih berdasarkan tabel
2.1. Terdapat pilihan antibiotik yang lebih disukai (preferable), seperti:
Ceftriaxone, Ciprofloxacin, azitrhomisin, dan cefixim-ofloxasin. Lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 2.2

Tabel 2.3 Pilihan antibiotik yang lebih disukai (preferable)


(Veeraraghavan, et.al., 2018)
I.1.7 Pencegahan
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan
dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama
menyangkut
kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih
sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan munculnya
kasus resistensi (Nelwan, 2012). Selain itu, dikembangkan juga vaksin untuk
tindakan pencegahan tehadap demam tifoid. Ada tiga jenis vaksin tifoid yang
telah beredar luas dan dapat digunakan:

Tabel 2.4 Pilihan antibiotik yang lebih disukai (preferable)


(Harris & Brooks., 2013)
Dikutip pada Continuing Medical Education yang ditulis oleh Hartanto
(2021). Selain kedua vaksian pada tabel 2.4. vaksin yang dapat digunakan juga
yaitu vaksin konjugat tifoid generasi terbaru (TCV), dengan produk berlisensi saat
ini yang terdiri dari antigen polisakarida Vi yang terkait dengan protein tetanus
toksoid.
Pada tahun 2018, WHO merekomendasikan TCV untuk pemberian
intramuskular dosis tunggal (0,5 mL) pada anakanak usia ≥ 6 bulan dan pada
orang dewasa hingga usia 45 tahun. Vaksin ViPS direkomendasikan untuk
pemberian intramuskular atau subkutan pada individu berusia 2 tahun ke atas.
Vaksin Ty21a tersedia dalam kapsul berlapis enterik yang direkomendasikan
untuk pemberian oral pada hari-hari alternatif dalam rejimen tiga dosis pada orang
di atas usia 6 tahun. Vaksinasi berulang direkomendasikan untuk ViPS setiap tiga
tahun, dan untuk Ty21a setiap tiga hingga tujuh tahun di sebagian besar daerah
endemik atau setiap satu hingga tujuh tahun untuk pelancong dari daerah non-
endemik ke daerah endemik (World Health Organization, 2018)
I.2 Fibrosis Paru Idiopatik
I.2.1 Pengertian fibrosis paru idipatik
Fibrosis paru idiopatik (IPF) didefinisikan sebagai sesuatu yang tidak dapat
diprediksi, tidak dapat diubah, penyakit paru-paru progresif dan fatal yang
berkembang dari penyebab yang tidak diketahui yang mempengaruhi jaringan di
sekitar kantung udara atau alveolus (Terrie, 2021).
Fibrosis paru adalah penyakit paru interstisial. Penyakit paru interstisial
adalah sekelompok kondisi yang menyebabkan peradangan dan jaringan parut di
sekitar kantung udara kecil (alveoli) di paru-paru. Menghirup bahan kimia
berbahaya bisa menjadi salah satu penyebab fibrosis paru. PF juga dapat
disebabkan oleh penyakit tertentu, obat-obatan dan genetika. Paling sering
penyebabnya tidak diketahui. Ini disebut fibrosis paru idiopatik (IPF) (American
Lung Association, 2018).
I.2.2 Epidemiologi
IPF lebih sering terjadi pada pria daripada wanita dan biasanya hadir dalam
dekade keenam atau ketujuh. Mirip dengan PPOK, sekitar 70% pasien dengan
fibrosis paru idiopatik memiliki riwayat merokok. Insiden dan prevalensi fibrosis
paru idipatik yang dilaporkan sangat bervariasi tergantung pada kepastian dan
metode pelaporan. Berdasarkan algoritma berbasis klaim, kejadian fibrosis paru di
Amerika Serikat baru-baru ini diperkirakan 5,6 per 100.000 orang/ tahun
(Pleasants & Robert, 2019)
Menurut American Lung Association (2018), menentukan epidemiologi IPF
adalah tugas yang sulit. Fibrosis paru idiopatik berbagi masalah dan keterbatasan
dengan penyakit pernapasan kronis lainnya, semua menderita definisi kabur,
mengubah panduan pengkodean dan konsensus ahli, rendahnya diagnosis yang
sering terjadi sangat terlambat riwayat alami mereka, serta status kejadian
penyakit langka. Secara keseluruhan, itu membuat penentuan dan
mengkuantifikasi distribusi IPF (dan determinannya) dalam ruang dan waktu
merupakan masalah yang kompleks.
I.2.3 Patofisiologi
Fibrosis paru terjadi ketika jaringan paru normal diganti dengan jaringan
parut, yang menyebabkan gangguan gas pertukaran dan pengurangan oksigenasi
darah (Gambar 2.1). Ciri histopatologis fibrosis paru adalah penampilan
heterogen secara temporal dan spasial dengan area fokus fibrosis dan sarang lebah
berubah secara bergantian dengan area parenkim yang kurang terpengaruh atau
normal. Fokus fibroblastik kumpulan yang tidak teratur pada alveolus tipe II sel
epitel yang berhubungan dengan fibroblas dianggap sebagai lesi patologis utama
pada fibrosis paru (Pleasants & Robert, 2019).

Gambar 2.1 Paru-paru yang sehat (A) dan kerusakan paru-paru pada fibrosis paru (B)
(Pleasants & Robert, 2019).

I.2.4 Faktor penyebab fibrosis paru idiopatik


Fibrosis paru idiopatik adalah penyakit yang tidak diketahui penyebabnya,
tetapi ada interaksi antara faktor risiko genetik dan lingkungan. Perubahan genetik
yang berbeda telah dikaitkan dengan peningkatan risiko fibrosis paru idiopatik,
seperti pemendekan telomer, cedera oksidatif, disfungsi surfaktan (SFTPC,
SFTPA2), disregulasi proteostatik, stres retikulum endoplasma, disfungsi
mitokondria menyebabkan penurunan epitel alveolar proliferasi sel, dan sekresi
mediator profibrotik (Sauleda, et.al., 2018).
Etiologi fibrosis paru idiopatik tidak diketahui, tetapi faktor risiko yang
berbeda telah diidentifikasi seperti usia yang lebih tua, jenis kelamin laki-laki, dan
merokok (Sauleda, et.al., 2018).
1. Merokok
Merokok, terutama lebih dari 20 bungkus per tahun adalah yang paling
kuat terkait faktor risiko lingkungan. Ini berlaku untuk fibrosis paru keluarga
maupun sporadis. Emfisema dan fibrosis paru keduanya terkait dengan
merokok dan mereka bahkan mungkin hidup berdampingan dalam kerentanan
yang sama individu. Namun, persentase yang signifikan dari pasien dengan
fibrosis paru tidak pernah menjadi perokok dan model hewan dari induksi
cedera paru-paru oleh asap tembakau mengaktifkan respons emfisematous dari
paru-paru dan non-fibrosing; dengan demikian, tembakau masih dianggap
sebagai faktor terkait dan bukan faktor yang jelas penyebab penyakit (Sauleda,
et.al., 2018)
2. Paparan Lingkungan
Peningkatan risiko fibrosis paru telah dikaitkan dengan beberapa paparan
lingkungan (debu logam, emisi mobil, dan debu kayu). Kegiatan seperti
bekerja dengan ternak dan pertanian juga telah dikaitkan dengan penyebab
fibrosis paru (Sauleda, et.al., 2018)
3. Agen Infeksi
Beberapa penelitian telah menyelidiki kemungkinan peran infeksi virus
kronis dalam etiologi fibrosis paru (virus Epstein-Barr, hepatitis C, adenovirus,
virus herpes). Saat ini, kesimpulan definitif tentang peran infeksi di fibrosis
paru tidak dapat dibuat, meskipun sejumlah besar penelitian terkait (Sauleda,
et.al., 2018)
4. Refluks Gastroesofageal
Gastroesophageal reflux (GER) mungkin memiliki peran dalam
patogenesis fibrosis paru dan riwayat alamiahnya karena kecenderungan
aspirasi atau mikroaspirasi dari isi gastroesofageal dapat merupakan faktor
yang memicu kerusakan epitel alveolar, yang menjadi ciri fibrosis paru.
Abnormal GER sering terjadi pada pasien dengan fibrosis paru dan, biasanya,
secara klinis diam. Selain itu, kasus eksaserbasi penyakit telah dijelaskan
dalam konteks aspirasi. Di sisi lain, penurunan batuk telah diamati dalam
beberapa kasus fibrosis paru di mana tindakan anti-refluks ditetapkan (Sauleda,
et.al., 2018)
5. Autoimunitas
Beberapa fenomena autoimunitas (agregat limfosit besar yang terdiri dari
sel T CD3 + dan Sel CD20+ B serta adanya autoantibodi) telah dijelaskan pada
pasien dengan fibrosis paru, menunjukkan gangguan dalam toleransi
imunologis (Sauleda, et.al., 2018)
I.2.4 Penatalaksanaan fibrosis paru
Fibrosis paru memiliki sejarah panjang mencoba dan gagal pilihan
pengobatan. American Thoracic Society (ATS), bersama dengan organisasi
profesi lainnya, telah menerbitkan pedoman dan rekomendasi komprehensif yang
berkaitan dengan penggunaan obat farmakologis untuk mengontrol perkembangan
penyakit. Warfarin dan antikoagulan lainnya telah dipelajari, berdasarkan
pengamatan bahwa keadaan prokoagulan mendorong perubahan fibrotik pada
jaringan paru. Namun,
penggunaan antikoagulan tidak dianjurkan pada pasien dengan fibrosis paru
karena kurangnya kemanjuran dan potensi bahaya yang tinggi (Dunn, 2018).
Imunosupresan juga telah masuk sorotan sebagai pengobatan yang mungkin
untuk fibrosis paru, tetapi sebuah studi klinis yang menyelidiki kemanjurannya
dari rejimen tiga obat termasuk prednison, azathioprine, dan N-acetylcysteine
dihentikan lebih awal karena peningkatan risiko untuk menyakiti. Antagonis
endotelin dan poten inhibitor tirosin kinase juga tidak direkomendasikan dalam
edisi terbaru pedoman fibrosis paru, karena kurang bermanfaat (Dunn, 2018).
Pengembangan obat untuk fibrosis paru difokuskan pada senyawa diyakini
menargetkan jalur dasar fibrosis. Setelah uji klinis yang gagal selama beberapa
dekade, 2 obat nintedanib dan pirfenidone, ditunjukkan dalam uji coba terkontrol
plasebo acak besar untuk memperlambat penurunan fungsi paru-paru, dengan
profil keamanan dan tolerabilitas yang dapat diterima, dan telah disetujui oleh
Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat pada tahun 2014.
Pedoman praktik klinis terbaru untuk pengobatan fibrosis paru, yang dikeluarkan
pada Juli 2015, memberi persyaratan rekomendasi untuk penggunaan nintedanib
dan pirfenidone, menunjukkan bahwa mereka akan menjadi pilihan yang tepat
untuk sebagian besar pasien, sambil mengakui bahwa pilihan yang berbeda akan
sesuai untuk masing-masing pasien, dan bahwa nilai dan preferensi pasien harus
dipertimbangkan ketika membuat keputusan tentang perawatan mereka (Pleasants
& Robert, 2019).
Pedoman tersebut berisi rekomendasi kuat atau bersyarat terhadap beberapa
farmakoterapi yang telah terbukti tidak efektif seperti: terapi untuk fibrosis paru,
termasuk obat yang disetujui untuk digunakan di indikasi seperti bosentan,
ambrisentan, sildenafil, dan warfarin. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
penggolongan terapi pada tabel 2.5 berikut ini

Tabel 2.5 Karakteristik pemilihan terapi fibrosis paru


(Dunn, 2018).
Menurut Ragu, et.al. (2022), Terapi fibrosis paru seperti pada gambar
dibawah ini:

Gambar 2.2 penatalaksanaan fibrosis paru


(Ragu, et.al., 2022)
Jalur skematis untuk manajemen klinis pasien dengan fibrosis paru idiopatik
(IPF), dikembangkan menggunakan konsensus oleh dari diskusi. Pertimbangan
pengobatan harus mencakup baik farmakologis (nintedanib dan pirfenidone) dan
nonfarmakologis (oksigen suplementasi dan/ atau rehabilitasi paru) terapi. Pasien
harus dievaluasi dan diobati untuk komorbiditas yang ada, termasuk: hipertensi
pulmonal, refluks gastroesofageal, apnea tidur obstruktif, dan kanker paru-paru.
Pasien mungkin mendapat manfaat dari keterlibatan perawatan paliatif untuk
membantu manajemen gejala (batuk, dispnea, dan/atau kecemasan). Nilai dan
preferensi pasien harus dieksplorasi. Pasien dengan peningkatan risiko kematian
harus dirujuk untuk transplantasi paru-paru saat diagnosis. Pasien harus dievaluasi
setiap 3-6 bulan atau lebih sering untuk perkembangan penyakit. Eksaserbasi akut
dapat diobati dengan kortikosteroid. Ventilasi mekanis tidak direkomendasikan
untuk sebagian besar pasien dengan gagal napas. Diadaptasi dari Referensi 1. CT
= computed tomography; HRCT = computed tomography resolusi tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Nelwan, R.H.H., 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. CDK-192; 39 (4),
247-250

Harris JB, Brooks WA. Typhoid and paratyphoid (enteric) fever. In: Magil AJ,
Solomon, T, Ryan ET, eds. Hunter’s tropical medicine and emerging
infectious disease 9th ed. London: Saunders Elsevier; 2013. p. 568-76

Hartanto, D., 2021. Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid pada Dewasa.
CDK- 292; 48 (1), 5-7

Pegues DA, Miller SI. Salmonellosis. In: Kasper DL, et al. (2015). Harrison
principles of internal medicine 19th ed. USA: Mc Graw Hill; p. 1049-53.

Nurfadly, dkk., 2021. 14 Bekal Dasar Dokter Puskesmas. UMSU Press: Medan

Terrie, Y.C., 2021. A Review of the Treatment and Management of Idiopathic


Pulmonary Fibrosis

Purba, I.E., Toni, W., Naning., Stephen, N., Nyoman, K., 2016. Program
Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia: tantangan dan peluang. Media
Litbangkes. Vol. 6, No. 2: hal. 99 – 108.

Arfiana & Lusiana, A., 2016. Asuhan Neonatus Bayi Balita dan Anak Pra
Sekolah. Yogyakarta: Trans Medika.

Mustofa, F.L., Rakhmi, R., Ghina, S., 2020. Karakteristik Pasien Demam Tifoid
pada Anak dan Remaja di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin
Lampung. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada. Vol. 9, No. 2: hal. 625-
633.

Bhandari, J., Thada, P.K., DeVos, E., 2020. Typhoid Fever, in: StatPearls.
StatPearls Publishing, Treasure Island (FL).

Virdania, K.V., Dewa, A.A.S.L., Putu, A.A.D., 2018., Hubungan Umur Dengan
Jenis Rawat Dan Lama Hari Rawat Inap Pasien Demam Tifoid di Rsup
Sanglah Denpasar Tahun 2014.

Menkes No. 364 tahun 2006 tentang pedoman pengendalian demam tifoid.
Menkes: Jakarta

Terrie, Y.C., 2021. A Review of the Treatment and Management of


Idiopathic Pulmonary Fibrosis. U.S Pharmacist. 46. (7): 1-12
American Lung Association. 2018. Pulmonary Fibrosis. https://www.lung.org/
lung-health-diseases/lung-disease-lookup/pulmonary-fibrosis/introduction

Pleasants, R., & Robert, M., 2019. Management of Idiopathic Pulmonary Fibrosis.
Annals of pharmacotherapy. 53. (12): 1238-1248

Dunn, K., 2018. Pharmacologic Treatments for Idiopathic Pulmonary Fibrosis.


Clinician Review. P. 16-21

Sauleda, J., Belen, N., Ernest, S., Joan, B.S., 2018. Review
Idiopathic Pulmonary Fibrosis: Epidemiology, Natural History,
Phenotypes. Medical Sciences. 6 (10): 1-14

http://klikpdpi.com/index.php?mod=article&sel=7849 TIDAK TERMASUK DAPUS


BAB III
STUDI KASUS
III.1 Profil Pasien
Nama pasien : Tn. IK
Umur : 38 tahun
Berat badan : 61
Tinggi badan : 167 cm
Jenis kelamin : Laki-laki
No. RM : 00xxxx
Rawat inap : Executive Suite New
Tanggal masuk RS : 4 Mei 2022
Tanggal keluar RS : 13 Mei 2022
III.2 Profil Penyakit
Keluhan utama : Demam sejak 3 hari, batuk berdahak (+), flu (+),
nyeri tenggorokan (+), mual (+), muntah (-),
Nyeri sendi (+), badan pegal (+), BAB dan BAK
baik
Riwayat penyakit : Covid-19 dua kali.
Riwayat sosial :
Diagnosa awal : ISPA + Susp. Dengue Fever
Diagnosis akhir : Infeksi demam tifoid aktif dan ISPA.
Riwayat pengobatan : Tidak ada
III.3 Data Klinik Pasien
Berdasarkan hasil pemeriksaan pasien oleh dokter maka diperoleh data klinik
pasien dari tanggal 4 Mei 2022 – 12 Mei 2022. Data tersebut dapat dilihat seperti
pada tabel di bawah ini:

Tabel 3. 1. Data Klinik Pasien Selama Perawatan


Pemeriksaan Nilai 4/5/22 5/5/22 6/5/22 7/5/22 8/5/22 9/5/22 10/5/2 11/5/2 12/5/22
Normal 2 2
Tekanan <140/80 133/ 120/ 120/ 120/ 110/ 120/ 140/ 153/ 140/
darah 78 69 80 68 72 80 80 92 68
(mmHg)
Pernapasan 16-24 20 20 20 18 18 20 20 20 20
(kali/menit)
Denyut nadi 80-100 95 82 80 70 71 79 84 80 82
(kali/menit)
Suhu (oC) 36-37,5 37 36,5 37,2 37,4 37,9 37,2 37 36,3 36,2
Nyeri ulu hati + + + +/- + + + +/- +/-
Sesak - - - - - - - - -
Batuk + + +/- +/- +/- +/- +/- +/- +/-
Mual + + - - - - - - -
Muntah + - - - - - - - -
Lemah + + + - - - - - -
Sulit BAK - - - - - - - - -
Sulit BAB - + - - - - - - -
Nyeri kepala + + + +/- +/- - - - -
Nyeri sendi + + +/- - - - - - -
Pusing + + + - - - - - -
Ket.
+ : Ada gejala
- : Tidak ada gejala
+/- : Gejala berkurang
Biru : Rendah
III.4 Data Laboratorium
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap pasien, maka diperoleh
data klinik seperti pada tabel 3.2 dan tabel 3.3
Tabel 3. 2. Data Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Nilai Normal Satuan 04/5/22 06/5/22
WBC 4,0-10,0 103/uL 9,2 8,2
Neu. 36-73 % 61,1 49,9
Lym. 20-40 % 26 33,8
Mon. 0-11 % 10,5 12,4
Eos. 0-4 % 1,9 3,4
Bas. 0-1 % 0,5 0,5
RBC 4,5 – 6,2 106/uL 4,26 4,84
HGB 13,0 – 17,0 g/dL 13,5 12,0
HCT 40,1 – 51,0 % 37,6 33,9
MCV 79,0-92,2 fL 88,3 88,3
MCH 25,6-32,2 Pg 31,7 31,3
MCHC 32,2-36,5 g/dL 35,9 35,4
PLT 150-400 103/uL 297 276
LED 0-15 mm - 25
SGOT <27 U/L 22 -
SGPT <55 U/L 28 -
GDS ≤ 140 mg/dl 126 -
Na+ 136-145 mmol/L 136 -
K+ 3.5-5.1 mmol/L 3.6 -
Ureum 16-48 mg/dL 14 -
Kreatinin 0.67-1.17 mg/dL 0.95 -
eGFR - ml/min/1.73 101 -
Ket.
Merah : Tinggi
Biru : Rendah
Tabel 3. 3. Data Hasil Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan Nilai Rujukan Satuan 06/5/22
Sars-Cov Negatif - Negatif
S. tiphi O Negatif - Pos 1/320
S. tiphi H Negatif - Pos 160
S. paratphi AO Negatif - Pos 1/80
S. paratiphi AH Negatif - Pos 1/80
S. paratiphi BO Negatif - `Pos 1/80
S. paratiphi BH Negatif - Pos 1/160
S. paratiphi CO Negatif - Negatif
S. paratiphi CH Negatif - Pos 1/80
Malaria rapid Negatif - Negatif
III.5 Pemeriksaan radiologi
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap pasien, maka diperoleh data
pemeriksaan radiologi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Hasil temuan Paru: Fibrosis Parahiler kiri
Mediastrum: Normal
Trakea dan bronkus: Normal
Hilus: Normal
Pleura: Normal
Diafragma; Normal
Jantung: Normal
Aorta: Normal
Vertebra thorakal dan tulang-tulang lain: Normal
Jaringan lunak: Normal
Abdomen yang tervisualisasi: Normal
Leher yang tervisualisasi: Normal
Kesan Thoraks Fibrosis Parahiler kiri
Untuk lembar hasil pemeriksaan radiologi CT scan kepala pasien dapat
dilihat pada lampiran 1.
III.6 Profil Pengobatan
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan gejala penyakit dari kondisi pasien selama dirawat di rumah sakit diberikan terapi
pengobatan seperti pada tabel 3.4.
Tabel 3. 3. Profil Pengobatan Pasien Selama Perawatan

Obat
Kemasan/ Aturan pakai Tanggal pemerian
No Nama obat Pulang
kekuatan dan rute
4/5 5/5 6/5 7/5 8/5 9/5 10/5 11/5 12/5 13/5
Botol @500
1 Tutosol 18 tpm/infus/iv       Stop
ml
Sanmol Botol
2 1 g/8jam /inf          Stop
(Paracetamol) @1g/100 ml
Cefratam
3 (Cefoperazone Vial @1 g 1 g/12jam/inj    Stop
sulbactam)
Pranza 40mg
4 Vial @40 mg          Stop
(Pantoprazole) /12jam/inj
Remopain Syringe @30
5 30mg/8jam/inj          Stop
(ketorolac) mg/ml
6 Narfoz Ampul @ 4 4mg/8jam/inj          Stop
(Ondansetron) mg
Rhinoz SR
Kapsul 1 caps/12jam/
7 (Pseudoefedrin     Stop
@120+5mg oral
+ Loratadin)
Resfar Botol
8 5 g/24jam/inf       Stop
(Acetylcysteine) @5g/25ml
Botol
Cravit 750mg 24
9 @750mg/ - - -       Stop
(Levofloxacin) jam/inf
150 ml
Imbost force Tablet 660mg/
10 - -        
(Multi vitamin) @660mg 12jam/Oral
Dulkolax 5mg/24jam
11 Tablet @5mg -  Stop - -
(Bisacodyl) /oral
Sanmol Tablet 500 mg/
12 - - - - - - - - - 10 Tab
(Paracetamol) @500mg 12jam/Oral
Orinox Tablet 90mg/24jam
13 - - - - - - - - - 5 Tab
(Etoricoxib) @90mg /oral
14 Cravit Tablet @500 500mg/12jam - - - - - - - - - 5 Tab
(Levofloxacin) mg
/oral
Prosogan FD Tablet 30mg/12jam
15 - - - - - - - - - 10 Tab
(Lansoprazole) @30mg /oral
Vometa FT Tablet 10mg/8jam/
16 - - - - - - - - - 15 Tab
(Domperidone) @10mg oral

( ) : Diberikan

Stop : Pemerian obat dihentikan

(-) : tidak diberikan


III.7 Analisis Rasionalitas
Berdasarkan data pemberian obat kepada pasien tersebut maka diperoleh
analisis rasionalitas terhadap pemakaian obat-obat pasien. Data tersebut dapat
dilihat pada tabel 3.5.
Tabel 3. 5. Data Analisis Rasionalitas Pengobatan Pasien Selama Dirawat di
Rumah Sakit Siloam Makassar

Rasionalitas

NO Nama Obat Auran Cara Lama


Indikasi Obat Dosis Pasien
pakai Pemberian Pemberian

1 Tutosol

2 Sanmol

3 Cefratam

4 Pranza

5 Remopain

6 Narfoz

7 Rhinoz SR

8 Resfar

9 Cravit

10 Imbost force

11 Dulkolax

12 Sanmol

13 Orinox

14 Cravit Tab
15 Prosogan FD

16 Vometa FT

Link ispa https://www.slideshare.net/PikaLubis/penatalaksanaan-ispa?from_action=save


III.8 Analisis SOAP
Kondisis Klinis
Tangga
DRP (Assesment) Rekomendasi (Plan)
l
Subjek Objek

4-5-22 Pasien mengatakan HCT: 37,6% Cefratam (Cefoperazone Disarankan menggunakan


demam sejak 3 hari, VAS: 3 sulbactam) bukan merupakan Nintedanib atau
nyeri ulu hati, batuk Terapi: pilihan utama untuk terapi Pirfenidone sebagai obat
berdahak, flu, nyeri Cefratam pengobatan fibrosis paru. lini pertama pada penyakit
tenggorokan, nyeri Remopain fibrosis paru (USP, 2021).
sendi, nyeri kepala, Diagnosis: Dengue Fever Terapi Remopain (ketorolac) Disarankan remopain
pusing, mual, muntah dan Fibrosis Paru. kurang tepat untuk score nyeri disubtitusi dengan
dan badan pegal. skala 3 (kategori ringan). celecoxib dengan dosis
Selain itu efek samping dari awal 400 mg dan dosis
penggunaan ketorolac pemeliharaan 200 mg
berpotensi memperparah nyeri setiap 8 jam (Dipiro, et al.,
ulu hati pasien (Kemenkes RI, 2017).
2017).
5-5-22 Pasien mengatakan VAS: 3
demam, nyeri ulu hati, Terapi:
batuk berdahak, nyeri Cefratam
sendi, pusing, nyeri Remopain *Sda *Sda
kepala, mual, badan Diagnosis: Demam
pegal, sulit BAB dan Dengue dan Fibrosis Paru.
nyeri tenggorokan.
6-5-22 Pasien mengatakan Mon: 12,4% Terjadi penurunan hemoglobin Disarankan penggunaan
nyeri uluhati, batuk HGB: 12,0% dan hematokrit kemungkinkan cefratam dihentikan untuk
berdahak mulai HCT: 33,9% disebabkan oleh efek samping mencegah terjadinya
berkurang, nyeri sendi LED: 25 mm penggunaan Cefratam penurunan kadar
berkurang, nyeri VAS: 3 (Cefoperazone sulbactam) hemoglobin dan hematorit.
III.10 Uraian Obat
1. Tutosol (MIMS,2022; Singh, et.al., 2020)
a. Kemasan/ Komposisi
Larutan Tutosol adalah larutan steril isotonik yang mengandung
Natrium klorida 1,812 g/L, Kalium klorida 0,671 g/L, Calsium klorida 0,147
g/L, Magnesium klorida 0,305 g/L, Sorbitol 25 g/L dan Natrium asetat
2.586 g/L dicampur ke dalam larutan dengan osmolaritas 500 mOsm/L dan
pH sekitar 6,5.
b. Indikasi
Larutan Tutosol diindikasikan untuk memenuhi kebutuhan air dan
elektrolit pada masa preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif, untuk
memenuhi sebagian kebutuhan karbohidrat, dehidrasi isotonik,kehilangan
cairan ekstrasel, dan sebagai larutan pembawa.
c. Kontraindikasi
Tutosol dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan ginjal,
intoleransi terhadap fruktosa, atau sorbitol, defisiensi fruktosa-1-6-difosfat,
keracunan metil alkohol.
d. Efek samping
Reaksi yang dapat terjadi disebabkan karena larutan tempat suntikan
atau teknik pemberian, termasuk respon demam, infeksi pada suntikan,
trombosis vena atau plebitis pada tempat suntikan ekstravasasi dan
hipervolemia.
e. Dosis dan aturan pakai
Dosis berdasarkan kebutuhan individual atau 30 mL/KgBB/hari (setara
dengan 1,5 g sorbitol/KgBB/hari). Pada pasien berat badan 70 Kg 2 liter per
hari dengan kecepatan infus sampai 6 mL/menit (120 tetes/menit)
f. Perhatian dan peringatan
- Pastikan fungsi ginjal adekuat.
- Hati-hati pada pasien dengan hiperkalemia dan hiperhidrasi.
- Tidak digunakan untuk terapi syok. Larutan yang mengandung ion
natrium harus digunakan dengan hati-hati terutama pada pasien dengan
gagal jantung kongestif , gangguan ginjal berat dan pada keadaan klinis
dimana terdapat edema dengan retensi natrium.
- Pemberian larutan intravena dapat menyebabkan overload larutan /
pelarut yang menyebabkan dilusi konsentrasi elektrolit serum,
overhidrasi, keadaan kongesti atau edema paru. Risiko keadaan dilusi
secara proporsional berbanding terbalik dengan konsentrasi elektrolit dari
larutan yang diberikan secara parenteral. Keadaan edema perifer dan paru
secara proporsional berbanding lurus dengan konsentrasi elektrolit dari
larutan tersebut .
g. Interaksi obat
Larutan Tutosol mengandung ion Ca++; penambahan fosfat anorganik
dapat menyebabkan pembentukan endapan.
2. Sanmol (MIMS, 2022)
a. Kemasan/ Komposisi
Tersedia dalam sediaan botol 100 ml dengan kandungan paracetamol
1g dan tersdia dalam bentuk tablet yang mengandung paracetamol 500 mg.
b. Indikasi
Paracetamol merupakan obat yang dapat digunakan untuk mengatasi
demam dan nyeri ringan sampai sedang.
c. Mekanisme Kerja
Parasetamol menunjukkan tindakan analgesik dengan penyumbatan
perifer dari generasi impuls nyeri. Ini menghasilkan antipiresis dengan
menghambat pusat pengatur panas hipotalamus. Aktivitas anti-inflamasinya
yang lemah terkait dengan penghambatan sintesis prostaglandin di Sistem
Saraf Pusat (SSP).
d. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa: 33-50 kg: 15 mg/kg setiap 4-6 jam jika diperlukan. Maksimal
3g setiap hari. >50 kg: 1 g setiap 4-6 jam jika diperlukan. Maksimal 4g
setiap hari. Berikan melalui infus selama 15 menit.
Anak: Neonatus cukup bulan dan anak <10 kg: 7,5 mg/kg sebagai
dosis tunggal, minimal 4 jam. Maks: 30mg/kg/hari; 10-33 kg: 15 mg/kg
sebagai dosis tunggal, minimal 4 jam. Maks: 2g setiap hari; 33-50 kg: 15
mg/kg sebagai dosis tunggal, minimal 4 jam. Maks: 3g setiap hari; >50 kg:
Sama seperti dosis dewasa.
e. Kontraindikasi
Dikontraindikasikan terhadap pasien hipersensitivitas dan gangguan
hati berat atau penyakit hati aktif (IV).
f. Efek samping
Efek samping dari penggunaan paracetamol adalah trombositopenia,
leukopenia, neutropenia, pansitopenia, methaemoglobinaemia,
agranulositosis, angioedema, nyeri dan sensasi terbakar di tempat suntikan.
Gangguan gastrointestinal juga kadang terjadi seperti mual, muntah,
konstipasi. Berpotensi fatal dapat mengakibatkan hepatotoksisitas, nekrosis
tubulus ginjal akut
g. Interaksi obat
Penurunan penyerapan dengan Kolesteramin. Penurunan konsentrasi
serum dengan rifampisin dan beberapa antikonvulsan (misalnya fenitoin,
fenobarbital, karbamazepin, primidon). Meningkatkan efek antikoagulan
warfarin dan kumarin lainnya dengan penggunaan jangka panjang.
Peningkatan penyerapan dengan metoclopramide dan domperidone.
Peningkatan konsentrasi serum dengan probenesid. Dapat meningkatkan
konsentrasi serum kloranfenikol.
h. Perhatian dan peringatan
Paracetamol harus digunakan dengan hati-hati pada kasus
1) Infusiensi hepatoseluler
2) Infusiensi ginjal berat (bersihan kreatinin <30 mL/ menit)
3) Alkoholisme kronis
4) Malnutrisi kronis
5) Dehidrasi.
3. Cefratam (MIMS, 2022)
a. Kemasan/ Komposisi
Tersedia dalam sediaan vial dengan kandungan cefoperazone 1 g dan
sulbactam 500 mg.
b. Indikasi
Cefoperazone sulbactam merupakan antibitik yang dapat digunakan
untuk infeksi tulang dan sendi, ginfeksi ginekologi, infeksi intra-abdominal,
meningitis, infeksi saluran pernapasan, septikemia, infeksi kulit dan jaringan
lunak, infeksi saluran kemih.
c. Mekanisme Kerja
Cefoperazone adalah sefaloforin generasi ke-3 yang menghambat tahap
akhir sintesis dinding sel bakteri dari sel yang aktif membelah dengan
mengikat protein pengikat penisilin (PBPs) spesifik. Hal ini rentan terhadap
degradasi oleh -laktamase yang diproduksi oleh bakteri resisten tertentu.
Sulbactam, sulfon asam penisilanat, menghambat aktivitas -laktamase,
sehingga mencegah inaktivasi cefoperazone dan meningkatkan spektrum
aktivitas cefoperazone. Itu tidak memberikan efek antibakteri yang
signifikan secara klinis saja, kecuali terhadap Neisseriaceae dan
Actinobacter.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa: Dosis yang dianjurkan: 1 g/1 g hingga 2 g/2 g (rasio 1:1).
Pada infeksi berat atau refrakter, dosis dapat ditingkatkan hingga 4 g/4 g
(rasio 1:1). Semua dosis diberikan setiap 12 jam dalam dosis terbagi sama
melalui injeksi IV selama 3 menit, infus IV selama 15-60 menit atau IM.
Pemberian tambahan cefoperazone (tanpa sulbaktam) mungkin diperlukan
pada pasien yang menerima rasio dosis 1:1. Dosis maksimum sulbaktam: 4
g setiap hari. Dosis bersifat individual berdasarkan patogen rentan yang
diharapkan, tingkat keparahan dan tempat infeksi.
Anak: Dosis yang direkomendasikan: 0,02 g/0,02 g/kg hingga 0,04
g/0,04 g/kg setiap hari (rasio 1:1). Pada infeksi serius atau refrakter, dosis
dapat ditingkatkan menjadi 0,08 g/0,08 g/kg setiap hari (rasio 1:1). Semua
dosis diberikan setiap 6-12 jam dalam dosis terbagi sama melalui injeksi IV
selama 3 menit, infus IV selama 15-60 menit, atau IM. Pada neonatus, dosis
diberikan setiap 12 jam. Dosis maksimum sulbaktam: 0,08 g/kg/hari.

e. Kontraindikasi
Dikontraindikasikan terhadap pasien hipersensitivitas terhadap
cefoperazone, sulbactam, atau antibakteri β-laktam lainnya (misalnya
sefalosporin, penisilin).
f. Efek samping
Efek samping dari penggunaan cefoperazone sulbactam adalah
efisiensi vitamin K yang menyebabkan koagulopati, pertumbuhan berlebih
organisme yang tidak peka (penggunaan jangka panjang), neutropenia,
leukopenia, eosinofilia, trombositopenia, hipoprotrombinaemia, penyakit
kuning, Penurunan hemoglobin, hematokrit; peningkatan AST, ALT, alkali
fosfatase darah, bilirubin darah, sakit kepala, hematuria, pruritus, urtikaria,
ruam makulopapular, hipotensi, vaskulitis. Berpotensi Fatal: Diare terkait
Clostridium-difficile, reaksi hipersensitivitas termasuk anafilaktoid dan
reaksi merugikan kulit yang parah (misalnya nekrolisis epidermal toksik,
sindrom Stevens-Johnson, dermatitis eksfoliatif); perdarahan serius.
g. Interaksi obat
Dapat meningkatkan INR dengan antikoagulan (misalnya warfarin)
sehingga meningkatkan risiko perdarahan.
h. Perhatian dan peringatan
4. Pranza (MIMS, 2022)
a. Kemasan/ Komposisi
Tersedia dalam sediaan vial dengan kandungan pantoprazole 40mg.
b. Indikasi
Pantoprazole merupakan pengobatan penyakit refluks gastroesofageal
yang berhubungan dengan riwayat esofagitis erosif, profilaksis tukak yang
diinduksi NSAID dan penyakit Zollinger-Ellison.
c. Mekanisme Kerja
Pantoprazole adalah agen antisekresi lambung benzimidazole
tersubstitusi dan juga dikenal sebagai inhibitor pompa proton (PPI). Ini
memblokir langkah terakhir dalam sekresi asam lambung dengan
penghambatan spesifik sistem enzim adenosin trifosfatase (ATPase) H+/K+
yang ada pada permukaan sekretori sel parietal lambung. Asam basal dan
asam terstimulasi keduanya dihambat.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa: Zollinger-Ellison; 80 mg sekali atau dua kali sehari sebagai
injeksi lambat atau infus jangka pendek selama 2-15 menit. Penyakit refluks
gastro-esofagus, tukak lambung; 40 mg setiap hari sebagai injeksi lambat atau
infus jangka pendek selama 2-15 menit. Profilaksis tukak yang diinduksi
NSAID 20 mg sekali sehari.
Anak: 5 tahun 15–40 kg: 20 mg sekali sehari hingga 8 minggu; >40 kg: 40
mg sekali sehari hingga 8 minggu.
e. Kontraindikasi
Dikontraindikasikan untuk penggunaan bersamaan dengan rilpivirine dan
atazanavir
f. Efek samping
Hipomagnesemia, lupus eritematosus kulit, SLE, fraktur terkait
osteoporosis, polip kelenjar fundus, karsinoma, diare terkait Clostridium
difficile, nefritis interstisial, Defisiensi vitamin B12 (terapi jangka panjang),
infeksi saluran cerna (mis. salmonella, Campylobacter), mual, muntah, diare,
konstipasi, perut kembung, sakit perut, dispepsia, mulut kering, asthenia,
kelelahan, malaise,
g. Interaksi obat
Dapat menurunkan konsentrasi plasma rilpivirine dan atazanavir.
Peningkatan risiko hipomagnesemia dengan diuretik. Peningkatan risiko efek
kardiotoksik yang diinduksi digoxin. Dapat meningkatkan INR dan waktu
protrombin warfarin. Dapat meningkatkan konsentrasi plasma metotreksat.
Dapat menurunkan absorpsi itrakonazol, ketokonazol, posakonazol, erlotinib.
Dapat mengurangi efek terapeutik clopidogrel.
h. Perhatian dan peringatan
5. Remopain (MIMS, 2022)
a. Kemasan/ Komposisi
Tersedia dalam sediaan syringe dengan kandungan ketorolac
thrometamine 30mg/ml
b. Indikasi
Pantoprazole merupakan pengobatan penyakit refluks gastroesofageal
yang berhubungan dengan riwayat esofagitis erosif, profilaksis tukak yang
diinduksi NSAID dan penyakit Zollinger-Ellison.
c. Mekanisme Kerja
Pantoprazole adalah agen antisekresi lambung benzimidazole
tersubstitusi dan juga dikenal sebagai inhibitor pompa proton (PPI). Ini
memblokir langkah terakhir dalam sekresi asam lambung dengan
penghambatan spesifik sistem enzim adenosin trifosfatase (ATPase) H+/K+
yang ada pada permukaan sekretori sel parietal lambung. Asam basal dan
asam terstimulasi keduanya dihambat.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa: Zollinger-Ellison; 80 mg sekali atau dua kali sehari sebagai
injeksi lambat atau infus jangka pendek selama 2-15 menit. Penyakit refluks
gastro-esofagus, tukak lambung; 40 mg setiap hari sebagai injeksi lambat atau
infus jangka pendek selama 2-15 menit. Profilaksis tukak yang diinduksi
NSAID 20 mg sekali sehari.
Anak: 5 tahun 15–40 kg: 20 mg sekali sehari hingga 8 minggu; >40 kg: 40
mg sekali sehari hingga 8 minggu.
e. Kontraindikasi
Dikontraindikasikan untuk penggunaan bersamaan dengan rilpivirine dan
atazanavir
f. Efek samping
Hipomagnesemia, lupus eritematosus kulit, SLE, fraktur terkait
osteoporosis, polip kelenjar fundus, karsinoma, diare terkait Clostridium
difficile, nefritis interstisial, Defisiensi vitamin B12 (terapi jangka panjang),
infeksi saluran cerna (mis. salmonella, Campylobacter), mual, muntah, diare,
konstipasi, perut kembung, sakit perut, dispepsia, mulut kering, asthenia,
kelelahan, malaise,
g. Interaksi obat
Dapat menurunkan konsentrasi plasma rilpivirine dan atazanavir.
Peningkatan risiko hipomagnesemia dengan diuretik. Peningkatan risiko efek
kardiotoksik yang diinduksi digoxin. Dapat meningkatkan INR dan waktu
protrombin warfarin. Dapat meningkatkan konsentrasi plasma metotreksat.
Dapat menurunkan absorpsi itrakonazol, ketokonazol, posakonazol, erlotinib.
Dapat mengurangi efek terapeutik clopidogrel.
h. Perhatian dan peringatan
BAB IV
PEMBAHASAN

Studi kasus pasien atas nama Tn. IK, berusia 38 tahun dengan riwayat
penyakit pernah mengalami Covid-19 datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Rumah Sakit Siloam Makassar dengan keluhan demam sejak tiga hari yang lalu,
batuk berdahak, flu, nyeri pada tenggorokan, mual, muntah, nyeri sendi dan badan
pegal-pegal. Pasien berada di rumah sakit sejak tanggal 4 Mei 2022 sampai 13
Mei 2022.
Pada saat pasien masuk rumah sakit tanggal 4 Mei 2022, pasien didiagnosa
demam dengue dan Fibrosis Paru. Diagnosis dokter berdasarkan pada riwayat
penyakit pasien dan gejala-gejala yang dialaminya serta didasarkan pada hasil
pemeriksaan foto thorax. Hasil pemeriksaan menunjukkan kesan adanya fibrosis
pada parahiler pulmonari sebelah kiri pasien. Selain itu dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan darah dan kimia. Hasil pemeriksaan darah dihari
pertama menunjukkan terjadinya penurunan kadar hematokrit sebesar 37,6%.
Setelah pasien di observasi, pasien dipindahkan ke ruang perawatan Executive
Suite New dan diberi terapi Tutosol, Sanmol, Cefratam, Pranza, Remopain,
Narfoz, Rhinos dan Resfar.
Pada hari ke-3 pasien dirawat di rumah sakit, tidak terdapat adanya tanda-
tanda perubahan yang lebih baik sehingga di hari yang bersamaan dilakukan
pemeriksaan serologi pada sampel darah pasien. Berdasarkan hasil uji serologi
tersebut pasien di diagnosa menderita demam tifoid dengan adanya hasil
pemeriksaan S.tiphi O positif 1/320, S.tiphi H positif 160, S. paratphi AO positif
1/80, S. paratphi AH positif 1/80, S. paratphi BO positif 1/80, S. paratphi BH
positif 1/160 dan S. paratphi CH positif 1/80. Menurut KEMENKES tahun (2006)
menyebutkan bahwa interpretasi reaksi widal pada titer O 1/320 sudah
menyokong kuat diagnosis demam tifoid. Salah satu pemeriksaan yang dilakukan
pada penderita demam tifoid adalah pemeriksaan Laju Endap Darah (LED). LED
adalah nilai pemeriksaan laboratorium untuk evaluasi infeksi, inflamasi dan
penyakit ganas. Hasil pemeriksaan LED yang diperoleh yaitu 25 mm dari nilai
normal 0-15 mm, berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya tanda-
tanda infeksi, inflamasi ataupun penyakit ganas (Yuswardi D.W pada tahun
2021).
Pemberian Infus Tutosol 18 tpm sebagai terapi rumatan atau terapi
pemeliharaan dengan tujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tubuh dan
nutrisi yang diperlukan oleh tubuh. Keuntungan. Sedangkan kekurangan cairan
Pemberian cairan Tutosol ini sudah tepat untuk mengatasi lemas yang dirasakan
pasien dan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi pasien
Pemberian Cefratam diindikasikan sebagai penanganan pada fibrosis paru
yang dialami oleh pasien. Cefratam mengandung Cefoperazone dan sulbactam
yang merupakan antibotik untuk infeksi saluran pernapasan, infeksi tulang dan
sendi, infeksi ginekologi, infeksi intra-abdominal, meningitis, septikemia, infeksi
kulit dan jaringan lunak, infeksi saluran kemih (MIMS, 2022). Menurut USP
(2021) penatalaksanaan pada pasien fibrosis paru diberikan obat Nintedanib atau
Pirfenidone sebagai pilihan terapi pertama. Namun dalam kasus ini pasien
diberikan Cefratam sebagai penanganan fibrosis paru. Penurunan kadar
hemoglobin dan hematokrit pada hari ketiga kemungkinan juga disebabkan oleh
penggunaan Cefoperazone yang berpotensi menyebabkan penurunan hemoglobin
dan hematokrit (Drug.com, 2022). Dalam hal ini penggunaan cefoperazone
dikatakan tidak rasional karena tidak tepat indikasi dan menimbulkan efek
samping yang justru memperburuk kondisi pasien.
Pemberian Samol diindikasikan untuk penanganan keluhan demam yang
dialami oleh pasien. Sanmol mengandung paracetamol 1g/500ml yang di berikan
secara intravena tiga kali sehari. Menurut KEMENKES RI tahun (2017), terapi
utama pada pasien demam dengue yaitu dengan pemberian paracetamol. Namun
berdasarkan diagnosa demam tifoid pasien dan data pemeriksaan tanda vital
selama perawatan didapatkan nilai yang normal untuk suhu tubuh pasien dan
hanya terjadi kenaikan sebesar 37,9 oC pada hari kelima perawatan. Pada kasus
demam tifoid paracetamol hanya sebagai terapi simptomatik dari pasien. Untuk
terapi ini sebaiknya hanya diberikan pada saat pasien mengalami kenaikan suhu
tubuh saja (Putri dan Sibuea, 2020).
Pemberian remopain sebagai terapi analgetik berdasarkan keluhan nyeri
kepala dan dan nyeri sendi yang dialami. Remopain mengandung ketorolak
30mg/ml yang diberikan secara intravena tiga kali sehari. Ketorolak adalah obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan memiliki sifat antipiretik, analgesik, dan
antiinflamasi yang bekerja dengan cara menghambat jalur kunci dalam sintesis
prostaglandin. Ketorolak bersifat non-selektif yang menghambat enzim COX-1
dan COX-2 (Drugbank, 2022). Menurut World Health Organization (WHO)
terdapat lima prinsip penggunaan analgesik yang tepat dalam penanganan rasa
nyeri yaitu, segera mengganti pemberian analgesik melalui oral setelah nyeri skor
nyeri <4, analgesik harus diberikan dengan interval yang sama, pemberian
analgesik harus sesuai dengan derajat nyeri yang dievaluasi menggunakan skala
nyeri, dosis analgesik disesuaikan untuk tiap-tiap individu dan pemberian resep
analgesik harus diperhatikan secara rinci (Prabandari et.al, 2018 Ketorolak 1).
Pada kasus ini penggunakan ketorolak dikatakan kurang rasional karena
penggunaannya untuk nyeri skala 3 yang masih termasuk kategori ringan.
Menurut Arisetijono, dkk., (2015) rasa nyeri pada seseorang dapat dibedakan atas
tiga tingkat nyeri yaitu dengan skor nyeri 1-3 masuk kedalam kategori ringan (low
pain), skor nyeri 4-6 kategori sedang (moderate pain), dan skor nyeri 7-10
kategori berat (woerst possible pain). Pemilihan ketorolak sebagai terapi nyeri
secara parenteral hanya di berikan untuk pasien dengan nyeri kategori sedang
hingga berat (Melzack et al., 2003). Selain itu interval pemberian ketorolak secara
intravena hanya dapat diberikan maksimal dua hari, secara oral tujuh hari dan
apabila dikombinasi per oral dan intravena maka penggunaanya maksimal lima
hari (Sweetman, 2009; Ihsan, et al., 2019 Ketorolak 1). Penggunaan ketorolak
sebaiknya perlu diperhatikan dengan pertimbangkan efek samping yang akan
ditimbulkan berpotensi memperparah nyeri ulu hati dan menyebabkan pendarahan
lambung (KEMENKES RI, 2017; MIMS, 2022).
Pemberian Cravit merupakan terapi untuk diagnosa demam tifoid akibat
infeksi bakteri yang dialami oleh pasien. Cravit mengandung levofloxacin 750
mg yang di berikan secara intravena dua kali sehari. Levofloxacin adalah
antibiotik fluoroquinolone yang digunakan untuk mengobati infeksi yang
disebabkan oleh bakteri yang rentan pada saluran pernapasan bagian atas, serta
untuk pengobatan wabah (Drugbank, 2022). Pemilihan obat antibiotik lini
pertama pengobatan demam tifoid pada anak di negara berkembang didasarkan
pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut,
kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada
anak. Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat antibiotik lini pertamanya
adalah golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin
atau gatifloksasin (PKB LXIII, 2012). Menurut Veeraraghavan et al (2018) obat
golongan fluoroquinolon seperti levofloxacin merupakan pilihan terapi optimal
dan lebih disukai (preferable) dalam penanganan demam tifoid khususnya pada
orang dewasa. Tingkat efikasinya yang tinggi serta efek sampingnya yang rendah,
membuat obat ini banyak digunakan secara luas di beberapa wilayah di dunia
(PKB LXIII, 2012).
Pemberian Narfoz merupakan terapi untuk penanganan mual dan muntah
yang dialami oleh pasien. Nafroz mengandung ondansetron 4 mg yang di berikan
secara intravena tiga kali sehari. Ondansetron adalah antagonis reseptor serotonin
5-HT3 yang digunakan untuk mencegah mual dan muntah pada kemoterapi
kanker dan pasca operasi (Drugbank, 2022). Meskipun begitu pemilihan
ondansetron pada kasus ini sudah tepat. Menurut FDA pada tahun 2006
menyebutkan bahwa mengingat kemanjuran ondansetron yang sebanding dan
relatif kurangnya efek samping, itu dapat dianggap sebagai agen antiemetik lini
pertama.
Pemberian Pranza merupakan terapi nyeri uluhati yang dialami oleh pasien.
Pranza mengandung pantoprazole 40 mg yang di berikan secara intravena dua
kali sehari. Pantoprazole merupakan pengobatan penyakit refluks gastroesofageal
yang berhubungan dengan riwayat esofagitis erosif, profilaksis tukak yang
diinduksi NSAID dan penyakit Zollinger-Ellison (MIMS, 2022). Dalam kasus ini
penggunaan pantoprazole sudah rasional untuk profilaksis dan pengobatan induksi
nyeri ulu hati akibat penggunaan NSAID, hanya saja untuk rute pemberian dan
dosis 80 mg perhari dikatakan kurang tepat. Pada rute pemberian secara hanya
diindikasikan untuk pasien yang terdiagnosa ulkus peptikum atau penyakit refluks
gastro-esofagus dan sindrom Zollinger-Ellison dengan dosis 40mg sehari.
Sedangkan untuk pasien yang memerlukan profilaksis NSAID terkait ulserasi
dosis yang dianjurkan adalah 20 mg setiap hari yang diberikan peroral
(Sweetman, 2009).
Pemberian Rhinos SR merupakan terapi pada batuk pilek yang dialami oleh
pasien. Pranza mengandung pantoprazole 40 mg yang di berikan secara intravena
dua kali sehari. Pantoprazole merupakan pengobatan penyakit refluks
gastroesofageal yang berhubungan dengan riwayat esofagitis erosif, profilaksis
tukak yang diinduksi NSAID dan penyakit Zollinger-Ellison (MIMS, 2022)

Anda mungkin juga menyukai