DISUSUN OLEH :
MEGI SELLA LINDANG
N014212050
Menyetujui,
Pembimbing PKPA Rumah Sakit Pembimbing PKPA Rumah Sakit
Program Studi Profesi Apoteker Siloam Hospital Makassar
Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin
Muh. Akbar Bahar, S.Si., M.Pharm.Sc., Ph.D., Apt apt. Alfons Yahya Indra P., S.Si.
NIP. 19860516 200912 1 005 NIP. 1800000200
Mengetahui,
Koordinator PKPA Rumah Sakit Kepala Instalasi Farmasi
Program Studi Profesi Apoteker Siloam Hospital Makassar
Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin
Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt. apt. Lidia Alto Topayung, S.Si.
NIP. 19560114 198601 2 001 NIK. 1041500039
Makassar, 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas limpahan rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kemampuan,
kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktik
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Rumah Sakit, guna memenuhi salah satu
persyaratan dalam menyelesaikan Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) di
Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin Makassar.
Laporan ini disusun sebagai bagian dari Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Penulis menyadari bahwa proses
pembuatan laporan ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin meyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Bapak apt. Muh. Akbar Bahar. S.Si., M.Pharm.Sc selaku pembimbing PKPA
Farmasi Rumah Sakit yang dengan ikhlas membimbing dan meluangkan
waktu, kesabaran dan kepedulian dalammemberikan arahan selama
penyusunan laporan hingga selesai
2. Bapakapt. Alfons Yahya Indra P., S.Si., selaku pembimbing teknisSiloam
Hospital Makassar yang membimbing dan mengarahkan penulis selama proses
PKPA dan proses penulisan laporan ini
3. Bapak Prof. Subehan, S.Si., M.Pharm. Sc., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas
Farmasi Universitas Hasanuddin
4. Bapak Usmar, S.Si., M.Si., Apt. selaku ketua Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
5. Ibu Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt. selaku Koordinator Praktik Kerja
Profesi Apoteker Rumah Sakit di Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
6. Ibu apt. Lidia Alto Topayung, S.Si., selaku Kepala Instalasi Farmasi Siloam
Hospital Makassar
7. Teman-teman Program Studi Profesi Apoteker angkatan ganjil 2021/2022
yang selalu memberikan bantuan dan semangat tersendiri bagi penulis serta
seluruh pihak yang telah membantu, yang tidak bisa disebutkan namanya satu
per satu yang selalu membantu dan memberikan motivasi kepada penulis
8. Kepada kedua orang tua penulis yang terkasih, Bapak Ipda. F.E. Fredy Nalle
dan Ibu Dina Irana yang senantiasa selalu memberikan dukungan,
memberikan restu, doa dan dukungan material kepada penulis sehingga dapat
dijalankan sebagaimana mestinya
Permohonan maaf penulis sampaikan yang sebesar-besarnya kepada
seluruh pihak yang mungkin pernah merasa dirugikan atau disakiti oleh penulis
baik sengaja maupun tidak disengaja. Semoga Tuhan yang Maha Esa membalas
semua kebaikan yang telah diberikan dan semoga karya ini dapat memberikan
manfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan Ilmu pengetahuan dalam bidang
Farmasi Rumah Sakit. Amin
Variabel hemodinamik
Hipotensi arterial (TDS < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg atau penurunan TDS >
40 mmHg pada orang dewasa, atau kurang dari dua SD di bawah nilai normal
usia tersebut)
Variabel disfungsi organ
Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 < 300 mmHg)
Oliguria akut (produksi urin < 0.5 mL/kg/jam selama paling tidak 2 jam
meskipun mendapat resusitasi cairan adekuat)
Peningkatan kreatinin > 0.5 mg/dL atau 44.2 μmol/L
Kelainan koaglukosasi (INR > 1.5 atau Aptt > 60 detik)
Ilius (tidak adanya bising usus)
Trombositopenia (hitung trombosit < 100.000/ μL)
Hiperbilirubinemia (bilirubin total plasma > 4 mg/dL atau 70 μmol/L)
Kondisi yang telah ada sebelum episode sepsis ini tidak termasuk dalam
kriteria. Bila pemeriksaan bilirubin tidak dikerjakan, penilaian ikterus secara
klinis dapat digunakan sebagai pengganti
Tipe spesifik yang berkaitan - Sindroma diabetes monogenic (diabetes neonatal, maturity-
dengan penyebab lain onset diabetes of the young [MODY])
- Penyakit eksokrin pancreas (fibrosis kistik, pankreatitis)
- Disebabkan oleh obat atau zat kimia (misalnya penggunaan
glukokortikoid pada terapi HIV/AIDS atau setelah
transplantasi organ)
II.4 Hipertensi
III.4.1 Definisi
Hipertensi merupakan penyakit umum yang didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan darah arterial secara presisten. Hipertensi sistolik ditandai
dengan peningkatan tekanan darah sistolik hingga ≥140 mmHg, dan tekanan
darah diastolik ≤90 mmHg. Krisis hipertensi dapat dikategorikan sebagai
hipertensi emergency dimana tekanan darah ≥ 180/120 mmHg dengan kerusakan
organ (Dipiro, et al., 2020). Menurut American Society of Hypertension (ASH)
hipertensi merupakan suatu sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler yang
progresif sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan.
Berdasarkan JNC VIII, hipertensi adalah peningkatan tekanan darah diatas 140/90
mmHg. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hipertensi merupakan
peningkatan tekanan darah sistolik yang persisten diatas 140 mmHg sebagai
akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan.
II.4.2 Klasifikasi
American College of Cardiology/ American Heart Ascociation (ACC/AHA)
mengkategorikan hipertensi pada usia dewasa (≥ 18 tahun) berasarkan dua atau
lebih nilai dari hasil pengukuran tekanan darah dari waktu yang berbeda. Terdapat
empat kategori tekanan darah antara lain (Dipiro, et al., 2020)
Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik
Klasifikasi
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 < 80
Tinggi 120 – 129 < 80
Hipertensi stage 1 130 – 139 80 – 90
Hipertensi stage 2 ≥140 ≥90
Berdasarkan Kementrian Kesehatan, klasifikasi hipertensi dapat dibedakan
berdasarkan penyebab dan berdasarkan bentuk hipertensi. Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi terdiri atas hipertensi primer atau hipertensi esensial dan
hipertensi sekunder atau hipertensi non-esensial. Hipertensi esensial merupakan
hipertensi yang tidak diketahui peyebabnya walaupun dikaitkan dengan
kombinasi. faktor gaya hidup seperti kurang bergerak ataupun karna pola makan.
Hipertensi jenis ini terjadi pada sekitar 90% pada semua kasus hipertensi. Pada
hipertensi non-esensial, merupakan hipertensi yang diketahui penyebabnya. Jenis
hipertensi ini terjadi sekitar 5 – 10% pada penderita hipertensi yang penyebabnya
bisa dikarenakan adanya penyakit ginjal dan sekitar 1 – 2% disebabkan karena
kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (Kemenkes RI. 2014).
Berdasarkan bentuknya, hipertensi dibedakan menjadi hipertensi pulmonal
dan hipertensi pada kehamilan. Hipertensi pulmonal ditandai dengan peningkatan
tekanan darah pada pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak
nafas, pusing, dan pingsan pada saat melakukan aktivitas. Hipertensi pada
kehamilan terdiri atas empat klasifikasi yaitu preeklampsia, hipertensi kronik
yaitu hipertensi yang sudah ada sejak sebelum ibu mengandung janin, hipertensi
preeklampsia pada hipertensi kronik yang merupakan gabungan preeklampsia
dengan hipertensi kronik, dan terkahir adalah hipertensi gestasional atau hipertesi
yang sesaat (Kemenkes RI, 2014).
II.4.3 Epidemiologi
Hipertensi adalah penyakit medis umum, terjadi pada sekitar sepertiga orang
dewasa muda, hampir dua pertiga individu di atas usia 60, dan pada sekitar 75%
individu yang lebih tua dari 70 tahun. Hipertensi dapat menyebabkan banyak
komplikasi, termasuk infark miokard (IM), penyakit ginjal kronis (CKD),
penyakit serebrovaskular, retinopati, dan gagal jantung, dan merupakan faktor
pencetus penting dalam sindrom metabolik. Pada pasien dengan diabetes mellitus
tipe 2 yang berusia 45 tahun atau lebih sekitar 40-60% menderita hipertensi
dimana hanya 60% yang mampu mempertahankan tekanan darah sistolik di
bawah 140 mmHg. Hal ini sering disebut sebagai silent killer dan tetap menjadi
salah satu kontributor paling signifikan untuk penyakit kronis dan kematian
(Abel, et al., 2015)
II.4.4 Etiologi
Pada sebagian besar pasien, hipertensi muncul melalui proses patofisiologi
yang tidak diketahui (hipertensi esensial atau primer). Hipertensi jenis ini tidak
dapat disembuhkan, namun dapat dikendalikan. Sebagian kecil pennderita
hipertensi memiliki penyebab spesifik dari kondisi yang dalami (hipertensi
sekunder). Terdapat banyak penyebab untuk keadaan hipertensi sekunder dimana
jika diketahui secara pasti maka kondisi hipertensi dikurangi bahkan disembuhkan
(Dipiro, et al., 2020)
a. Hipertensi primer
Sebagian besar individu demham tekanan darah tinggi (>90%) termasuk
dalam kelompok hipertensi primer atau esensial. Berbagai mekanisme potensial
diperkirakan menjadi penyebab terjadinya kondisi hipertensi, sehingga
mengidentifikasi satu abnormalitas spesifik tidak dapat dilakukan. Faktor genetik
dapat memegang peranan dalam perkembangan hipertensi dengan mempengaruhi
keseimbangan garam atau dengan jalur lainnya
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder dimana penyebabnya adalah komorbid atau penggunaan
obat (atau produk lain) yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah
menyumbang hingga 10% dari kasus hipertensi. Pada sebagian besar kasus, CKD
atau penyakit renovaskular menjadi penyebab paling umum dijumpai. Obat
tertentu seperti amphetamine, kortikosteroid, dekongestan, dan lain sebagainya
juga dapat memengaruhi tekanan darah baik secara langsung maupun tidak
langsung. Konsumsi berlebihan dari komponen seperti garam dan etanol juga
dapat mengganggu keseimbangan tekanan darah
II.4.5 Patofisiologi
Beberapa faktor fisiologis berpran dalam regulasi tekanan darah, dimana
kelaian pada faktor tersebut dapat mengakibatkan terbentuknya hipertensi
esensial. Kelainan yang terjadi dapat bersifat humoral (contoh: renin-angiotensin-
aldosterone system/ RAAS) atau melalui mekanisme vasdepresor, mekanisme
abnormal neuronal, gangguan pada autoregulasi periferal, dan gangguan pada
hormon pengatur keseimbangan elektrolit tubuh. Tekanan darah arterial adalah
tekanan darah uamh diukur dalam satuan milimeter merkuri (mm Hg). Tekanan
darah arterial terbagi menjadi sistolik dan diastolik. Tekanan darah sistolik
menggambarkan nilai maksimum yang didapatkan saat jantung berkontraksi,
sementara tekanan darah diastolik diperoleh setelah konraksi, saat rongga jantung
terisi. Mean arterial pressure (MAP) merupakan rata-rata tekanan selama siklus
kontraksi jantung. Sebanyak dua per tiga dari waktu siklus jantung berada pada
periode diastol dan satu per tiga pada periode sistol. Tekanan darah arterial secara
haemodinamik diatur oleh aliran darah dan resistensi terhadap aliran darah. Secara
matematik tekanan darah didefinisikan sebagai produk dari cardiac ouput (CO)
dan total resistensi perifer. CO merupakan faktor penting yang mempengaruhi
tekanan darah sistolik, sementara total resistensi perifer umumnya lebih banyak
mempengaruhi tekanan darah diastolik (Dipiro,et al., 2020).
Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan total peripheral resistance.
Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang tidak
terkompensasi maka dapat menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh memiliki
sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang
disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan stabilitas tekanan darah
dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah sangat kompleks.
Pengendalian dimulai dari sistem reaksi cepat seperti reflex kardiovaskuler
melalui sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat
yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos. Sedangkan sistem
pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler
dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon angiotensin dan vasopresin.
Kemudian dilanjutkan sistem poten dan berlangsung dalam jangka panjang yang
dipertahankan oleh sistem pengaturan jumlah cairan tubuh yang melibatkan
berbagai organ.
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang
peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung
angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin
(diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang
terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II
inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua
aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik
(ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan
bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang
pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi
sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid
yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan
ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara
mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan
kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada
gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
Manifestasi klinis yang dapat muncul akibat hipertensi menurut Elizabeth J.
Corwin ialah bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami
hipertensi bertahun-tahun. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa nyeri
kepala saat terjaga yang kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat
peningkatan tekanan darah intrakranium, penglihatan kabur akibat kerusakan
retina, ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan saraf, nokturia
(peningkatan urinasi pada malam hari) karena peningkatan aliran darah ginjal dan
filtrasi glomerolus, edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.
Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan
iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi
atau hemiplegia atau gangguan tajam pada penglihatan. Gejala lain yang sering
ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di
tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang (Nuraini,2015).
II.4.6 Penatalaksanaan Hipertensi
II.4.6.1 Terapi Farmakologi
Evidence-baseed medicine adalah pengobatan yang didasarkan atas bukti
terbaik dalam mengambil keputusan saat memilih obat secara sadar, jelas, dan
bijak terhadap msing-masing pasien. Pasien mungkin saja memerlukan dua atau
lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan.
Penambahan kedua obat dari kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian obat
tunggal dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Terdapat
beberapa obat antihipertensi seperti golongan diuretik, ACEi, penyekat reseptor
angiotensin II (ARB), penyekat beta, antagonis kalsium (CCB), penyekat alfa, dan
reserpin (Depkes RI, 2006).
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endotel arteri
dan mempercepat aterosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya
organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah. Hipertensi
adalah faktor risiko utama untuk penyakit serebrovaskular seperti stroke.
Berdasarkan Join National Committee (JNC) 8, rekomendasi pemberian obat
antihipertensi pada penderita yang memiliki riwayat stroke yaitu golongan ACEi
atau ARB (Dennison-himmelfarb C., et al., 2014). Penatalaksanaan pemberian
obat antihipertensi terhadap pencegahan sukender stroke dapat dilihat pada
Gambar 3
BAB III
STUDI KASUS
III.1 Profil Pasien
Nama pasien : Ny. A
Umur : 61 tahun
Berat badan : 43 kg
Tinggi badan : 152 cm
Jenis kelamin : Perempuan
No. RM : SHMK.00-xxxxx
Rawat inap : 5007-BED 5-DECAPOLIS
Tanggal masuk RS : 23 April 2022
Tanggal keluar RS : 28 April 2022
III.2 Profil Penyakit
Keluhan utama : Nyeri perut terutama ulu hati sejak 6 bulan terakhit
dan memberat ± 1 hari sebelum masuk RS, mual
muntah, demam, nyeri kepala, lemas
Riwayat penyakit : DM, Hipertensi, Batu empedu
Diagnosis : Kolik bilier ed causa batu CBD, Kolelitiasis
Riwayat pengobatan : Glimepirid, Candesartan, Atorvastatin, Amlodipin
riwayat Alergi : Tidak ada
III.3 Data Klinik Pasien Selama Perawatan
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinik pada pasien Ny. A, maka diperoleh
data klinik pasien sebagai berikut:
Tabel 6. Data Hasil Pemeriksaan Klinik Pasien
Hari Pemeriksaan dan Hasil Pemeriksaan
No Pemeriksaan Nilai Normal
23/4 24/4 25/4 26/4 27/4 28/4
Tekanan darah
1 120/80 mmHg 151/79 140/80 83/55 120/70 110/80 120/70
(mm Hg)
Nadi
2
(kali per menit)
60-100x/menit 96 89 110 100 89 81
3 Suhu badan (°C) 36 -37.5 37.5 36.5 36 36.2 35.5 36
Respirasi
4
(kali per menit)
12-20x/menit 20 20 22 17 20 20
5 Demam + ↓ - - - -
6 Mual + + - - + -
7 Muntah + + - - - -
8 Nyeri + + ↓ ↓ ↓ ↓
9 Lemas + + + ↓ - -
10 Sesak - - - - - -
11 Nyeri + + + ↓ ↓ ↓
Keterangan :
+ : Dialami pasien
- : Tidak dialami pasien
↓ : Menurun
Merah : Diatas nilai normal
III.4 Data Pemeriksaan Laboratorium
Berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratorium pada pasien Ny. A, maka
diperoleh data Laboratorium pasien sebagai berikut:
Tabel 7. DataPemeriksaan Kimia Darah Pasien
Test Unit Rujukan Hasil
23/4 24/4 25/4 26/4 27/4 28/4
Hematologi
Hemoglobin g/dL 12.0 - 16.0 12.0 - 11,9 - - -
Jumlah Leukosit 103/µL 4.0 – 10.0 17.5 - 42.1 - - -
Basofil % 0–1 0.2 - 0.4 - - -
Eosinofil % 0–4 0.0 - 0.2 - - -
Neutrofil % 50 – 70 94.1 - 93.0 - - -
Limfosit % 20 – 40 2.7 - 4.1 - - -
Monosit % 2–8 3.0 - 2.3 - - -
Hematokrit % 34.0 - 45.0 35.6 - 33.6 - - -
Jumlah Eritrosit 106/µL 4.20 - 5.40 4.33 - 4.12 - - -
MCV fL 80.0 - 95.0 82.2 - 81.6 - - -
MCH Pg 25.6 - 32.2 27.7 - 28.9 - - -
MCHC g/L 32.2 - 35.5 33.7 - 35.4 - - -
Jumlah 150 - 400 342 - 110 -
103/µL
Trombosit
Kimia Darah
HbA1c % 4.8 - 5.9 - 7.8 - - - -
Bilirubin Total mg/dL < 1.1 1.87 - - 0.93 - -
Bilirubin Direk mg/dL < 0.3 1.78 - - 0.81 - -
Bilirubin mg/dL 0.0 - 0.70 0.09 - - 0.12 - -
Indirek
SGPT U/L < 34 237 - - - - -
SGOT U/L < 27 458 - - - - -
Glukosa mg/dL < 140 226 - - - - -
sewaktu
Ureum Darah mg/Dl 16 – 48 17 - - - - -
Kreatinin Darah mg/Dl 0.51 – 0.95 0.81 - 1.46 - - -
Kalium Darah mmol/L 3.5 – 5.1 3.0 - 2.9 - - -
Natrium Darah mmol/L 136 – 145 140 - - - - -
Koagulasi
Masa Menit 1.0 – 3.0 - 2.0 - - - -
Perdarahan
Masa Menit 8.0 – 15.0 - 12.0 - - - -
Pembekuan
keterangan :
Merah : di atas nilai normal
Biru : di bawah nilai normal
- : tidak dilakukan pemeriksaan
III.5 Data Pemeriksaan Penunjang
III.5.1 Hasil CT scan abdomen dan pelvis tanpa kontras (CT Whole ABD
Non-CNTRS)
Pemeriksaan CT Whole ABD Non-CNTRS dilakukan pada tanggal 23 April
2022 dengan hasil:Sistem bilier intrahepatik dan ekstrahepatik dilatasi lanjut
sampai ke batu distal CBD. Tampak batu distal CBD multiple ukuran
subcentimeter yang kesan impacted.
III.6 Profil Pengobatan
Berdasarkan terapi pengobatan yang diterima pasien Ny. A, maka diperoleh
profil pengobatan pasien pada tanggal 24 – 28 April 2022. Adapun profil
pengobatan yang diterima Ny.A dapat dilihat pada tabel 8.
BAB IV
PEMBAHASAN
Studi kasus pasien dengan diagnosis utama post syok sepsis, kolik bilier et
causa Batu CBD dengan riwayat penyakit DM tipe II dan Hipertensi, data
perawatan pasien ini diambil dari data rekam medik pasien di Rumah Sakit
Siloam pada tanggal 24 April 2022 sampai 28 April 2022. Selanjutnya dilakukan
analisa rasionalitas terhadap terapi pengobatan yang diberikan pada pasien dan
diberikan rekomendasi atau solusi dari permasalahan yang diperoleh. Pasien
perempuan, berusia 58 tahun, datang ke instalasi gawat darurat Siloam Hospital
Makassar dengan keluhan utama Nyeri perut terutama ulu hati sejak 6 bulan
terakhit dan memberat ± 1 hari sebelum masuk RS, mual muntah, demam, nyeri
kepala, lemas. Pasien memiliki riwayat penyakit DM dan hipertensi.
Dari segi epidemiologi, insiden batu empedu lebih banyak diderita oleh
wanita daripada pria. Insiden meningkat dengan pertambahan usia, biasanya
terjadi pada usia di atas 40 tahun hingga pada usia 70 tahun insiden meningkat
sampai 50%. Setelah masuk rumah sakit dan dilakukan pemeriksaan, pasien di
diagnosis kolik bilier akibat batu CBD (koledokolitiasis) dan kolelitiasis. Pada
pasien ini ditemukan batu di sepanjang common bile duct (CBD). Dicurigai batu
tersebut adalah batu sekunder yang terbantuk di kandung empedu yang kemudian
mengalami migrasi ke saluran empedu. Batu CBD ini dapat menyumbat aliran
empedu sehingga mengakibatkan ikterus dan bisa berkomplikasi menyebabkan
kolangitis dan pankreatitis yang berpotensi mengancam jiwa. Adanya batu CBD
baik simtomatik atau asimtomatik merupakan indikasi dilakukannya tindakan
pembersihan CBD atau kolesistektomi.
Kolik bilier adalah manifestasi paling umum dari kolelitiasis, adanya
obstruksi akut pada kandung empedu menyebabkan peningkatan tekanan
intraluminal, distensi kandung empedu dan edema yang memicu respon inflamasi
akut yang biasanya timbul di kuadran kanan atas atau daerah epigastrium dan
dapat menjalar ke punggung atas, bahu kanan, atau daerah midscapular (Carvalho,
2018). Kolik bilier biasanya timbul secara tiba-tiba, intensitasnya terus meningkat,
berlangsung selama 2 sampai 8 jam, dan diikuti oleh nyeri di kuadran kanan atas,
seperti yang dirasakan oleh Ny. A (Fraquelli et al., 2016; Porth, 2015).
Pada hari pertama (23/4) dilakukan prosedur CT Whole ABD Non-CNTRS
(CT scan abdomen dan pelvis tanpa kontras IV potongan axial dari puncak
diafragma sampai simfisis pubis pada pasien. Berdasarkan hasil CT – Abdomen
and Pelvis without contrast, temuan yang tidak normal ialah pada sistem bilier dan
kantung empedu. Sistem bilier intrahepatik dan ekstrahepatik dilatasi lanjut
sampai ke batu distal CBD. Tampak batu distal CBD multiple ukuran
subcentimeter yang kesan impacted. Dari hasil laboratorium, diusulkan juga untuk
dilakukan MRCP (magnetic resonance cholangiopancreatography) adalah
prosedur pemeriksaan pencitraan untuk mengetahui kondisi hati, kantung dan
saluran empedu, pankreas dan saluran pankreas secara mendetail. CT scan lebih
sensitif dari USG transabdominal untuk mendeteksi batu CBD, dan sensitivitas
helical CT tampaknya sebanding dengan MRCP atau EUS pada beberapa studi.
Pada hari pertama (23/4) telah dilakukan pemeriksaan laboratorium kepada pasien
yang meliputi pemeriksaan hematologi dan kimia darah. dari hasil pemeriksaan,
diketahui nilai pemeriksaan diatas nilai rujukan ialah jumlah leukosit, neutrofil,
bilirubin total, bilirubin direk, SGPT, SGOT, glukosa sewaktu, ureum darah.
Sedangkan, nilai pemeriksaan yang dibawah nilai rujukan ialah limfosit dan
kalium darah. Data pemeriksaan tersebut menunjukkan bahwa pasien juga
memerlukan pengobatan untuk penyakit bawaannya yaitu hipertensi dan DM tipe
2 yang disertai juga dengan diagnosa selama perawatan yaitu kolik bilier yang
disebabkan karena batu CBD yang tergolong kolangitis akut sedang (derajat II)
diagnosa tersebut ditegakkan melalui hasil pemeriksaan CT Scan, dimana
keseluruhan diagnosa membutuhkan tindakan bedah darurat berupa
kolesistektomi untuk menangani kolik bilier yang timbul dan mencegah
komplikasi lebih lanjut, dengan demikian terapi antibiotik empiris dengan
spektrum luas yang dapat mencakup bakteri gram negatif dan bakteri anaerob
serta memiliki penetrasi yang baik ke dalam empedu sangat dibutuhkan.
Pasien diketahui tidak memiliki alergi terhadap antibiotik golongan beta-
laktam dan kultur empedu atau darah pasien juga belum ada. Namun, dalam kasus
ini terjadi subsitusi regimen Cephalosporin-based therapy menjadi
flouroquinolone-based therapy. Subsitusi regimen ini dilakukan atas dasar
pertimbangan kondisi klinis pasien serta kemampuan penetrasi Lefo ke dalam
empedu (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Oleh karena itu,
pasien diberikan Levofloxacin yang merupakan antibiotik spektrum luas serta
memiliki penetrasi yang baik ke dalam empedu (Dipiro et al., 2020; Lammert et
al., 2016)
Berdasarkan Tokyo Guideline 2018 (TG18), kolangitis sedang sampai berat
sebaiknya pemberian antibiotik minimal 5-7 hari dengan sefalosporin generasi
ketiga atau keempat, non baktam dengan atau tanpa metronidazol untuk kuman
anaerob, atau karbapenem. Rekomendasi lain menyarankan regimen berikut pada
pasien kolangitis akut ringan sampai sedang atau community acquired: (misalnya
Ampisilin sulbactam iv 3 gram setiap 6 jam, atau ertepenem 1gram sekali sehari,
atau ampisilin iv 2 gram setiap 6 jam plus gentamicin iv 1.7 mg/kgbb setiap 8 jam
atau golongan fluorokuinolon (misalnya siprofloksasin iv 400 mg setiap 12 jam,
levofloksasin iv 500 mg sekali sehari, atau moxiflokasain iv atau oral 400 mg
sekali sehari). Berdasarkan profil pengobatannya, untuk terapi antibiotik pasien
diberikan sefalosporin generasi ketiga yaitu ceftriaxone 1 g IV/8 jam pada hari
pertama hingga kedua pengobatan (24/4 - 24/5) dan diturunkan menjadi 1 g IV/12
jam. Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan sefalosforin generasi ke-3 yang
digunakan sebagai pilihan utama dalam regimen Cephalosporin-based therapy
baik dalam penggunaan tunggal atau kombinasi terutama pada pasien dengan
kolesistitis dan kolangitis derajat II dengan dosis 1-2 g/12-24 jam dengan dosis
maksimal 4 g/hari selama 4-7 hari, 2 g digunakan dalam infeksi berat. (Gomi et
al., 2018; Lammert et al., 2016; Snoke, 2012). Kondisi pasien yang termasuk ke
dalam kolangitis derajat II dinilai perlu untuk mendapatkan terapi antibiotik
empiris secara maksimal, sehingga diperlukan peningkatan dosis ceftriaxone dari
1 g/12 jam menjadi 2 g/12 jam untuk mencegah kemungkinan terjadinya infeksi
sekunder dan komplikasi lainnya seperti pankreatitis, bacteremia atau sepsis.
Dilakukan juga pemberian kombinasi antibiotik dengan golongan fluorokuinolon
yaitu levofloxacin 500 mg PO/12 jam pada hari ketiga (26/4) dan PO/24 jam pada
hari keempat hingga kelima pengobatan (27/7 – 28/4). Levofloxacin yang
merupakan antibiotik spektrum luas serta memiliki penetrasi yang baik ke dalam
empedu (Dipiro et al., 2020; Lammert et al., 2016). Hal tersebut telah sesuai
dengan literatur, namun pada pemeriksaan laboratorium pasien di hari ketiga
perawatan (25/4), nilai leukosit pasien meningkat menjadi 42,1 103/µL. Pasien
batu saluran empedu mengalami leukositosis, hal ini disebabkan oleh sumbatan
batu yang terjadi dapat mencetuskan kerusakan jaringan sekitarnya dan
menyebabkan respon inflamasi sehingga kadar leukosit pun meningkat selain itu,
peningkatan leukosit dapat juga disebabkan karena adanya infeksi mauapun
radang/inflamasi (Giyartika dan Keman, 2020).
Berdasarkan diagnosanya, pasien juga mengalami syok sepsis. syok sepsis
didefinisikan sebagai keadaan sepsis dimana abnormalitas sirkulasi dan selular/
metabolik yang terjadi dapat menyebabkan kematian secara signifikan. Kriteria
klinis untuk mengidentifikasi septik syok adalah adanya sepsis dengan hipotensi
persisten. syok sepsis dapat terjadi akibat reaksi inflamasi, stress oksidatif,
apoptosis sehingga terjadi disfungsi mikrosirkulasi (Irvan,dkk., 2018). Nilai hasil
pemeriksaan tekanan darah di hari ketiga (25/4) yaitu 85/55 mmHg, hal ini
menunjukkan pada tangga tersebut pasien mengalami syok sepsis sehingga kadar
leukosit pasien meningkat karena adanya respon inflamasi. Namun setelah
pemberian kombinasi antibiotik ceftriaxon dan levofloxacin mulai dari hari ketiga
hingga kelima terapi pengobatan (26/4 – 28/4) tekanan darah pasien mulai stabil
dinilai normal yaitu 120/70 mmHg. Hal tersebut menunjukkan pasien berada di
fase post syok sepsis dan tidak adanya respon inflamasi. Sehingga pemberian
antibiotik ceftriaxon dan levofloxacin dinilai telah rasional.
Obstruksi pada saluran empedu menyebabkan terganggunya sirkulasi
enterohepatik sehingga terjadi malabsorbsi lemak, vitamin larut lemak termasuk
vitamin K (Wang & Yu, 2014). Kemungkinan defisiensi vitamin K yang
mengarah pada hipoprotrombinemia (kadar protrombin menurun) pada kasus Ny.
A harus diwaspadai ketika ada rencana atau indikasi akan dilakukannya tindakan
medik/bedah yang akan dijalani pasien karena akan berisiko tinggi terjadinya
perdarahan yang mengakibatkan kehilangan darah yang tidak perlu selama
periode perioperasi. Sehingga dalam kondisi ini, tindakan profilaksis dengan
injeksi vitamin K 10 mg harus diterapkan (Gray et al., 2011; Wang & Yu, 2014).
Namun, penggunaan injeksi vitamin K harus berdasarkan penilaian pada hasil
Liver Function Test (LFTs) dan nilai protrombin time (PT) atau INR. Sehingga,
disarankan untuk mengukur LFT dan PT/INR segera dan terus memonitor INR
serta nilai AST dan ALT untuk menilai kebutuhan dosis lebih lanjut pada pasien
(Gray et al., 2011).
Skala nyeri yang dirasakan pasien berdasarkan Numeric Rating Scale (NRS)
yaitu 5/3 (moderate) yang diterapi dengan pemberian injeksi ketorolak 30 mg/8
jam yang diberikan selama 5 hari. pemberian ketorolac telah tepat indikasi
dimana, ketorolak merupakan OAINS kuat yang digunakan terutama sebagai
analgesik dan hanya diindikasikan untuk manajemen nyeri jangka pendek, nyeri
sedang sampai berat dan tidak untuk kondisi nyeri ringan atau kronis (Rofifah,
2020). Berdasarkan guideline EASL (Lammert et al., 2016), manajemen nyeri
kolik bilier dapat diatasi dengan penggunaan OAINS, analgesik opioid atau
agenantispasmodik (seperti scopolamine). Sejak pemberian injeksi ketorolak,
keluhan nyeri yang dirasakan oleh Ny. A perlahan membaik dengan NRS 3/1
pada hari kedua (24/4) dan menurun 2/1 hingga 0/0 pada hari ketiga sampai
keenam (25/4 – 28/4). Pemberian injeksi ketorolak telah tepat indikasi namun
tidak tepat lama interval pemberian karena dilihat dari NRS pasien di hari ketiga
sampai keenam (25/4 – 28/4) menunjukkan NRS ringan. Berdasarkan ASO,
pemberian ketorolak maksimal 5 hari, lebih dari itu maka apoteker perlu
mengkonfirmasi ke dokter pembuat resep namun biasanya hal tersebut
dikarenakan tindakan operasi yang diberikan ke pasien.
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinik pasien Ny. A dihari pertama masuk RS
(23/4), diketahui data klinik yang abnormal ialah tekanan darah pasien yang
mencapai 151/79 mmHg pada hari pertama dirawat di RS (23/4), hal ini
menunjukkan bahwa pasien mengalami hipertensi. Terapi yang diberikan untuk
pengobatan hipertensi pada Ny.A ialah Amlodipin. Pemberian amlodipin dinilai
rasional dan tepat indikasi, berdasarkan JNC 8 Guidelines for the Management of
Hypertension in Adults (2014), penatalaksanaan hipertensi yang disertai dengan
DM dapat menggunakan obat golongan diuretik thiazide, ACEI, ARB, atau CCB
tunggal maupun kombinasi. Evaluasi keberhasilan terapi obat antihipertensi pada
pasien dengan DM adalah dari nilai tekanan darah yaitu <140/80 mmHg pada hari
kedua perawatan (24/4). Amlodipine merupakan obat antihipertensi golongan
CCB dihidripiridin dengan mekanisme aksi intervensi perpindahan ion kalsium ke
dalam sel melalui kanal pada membran sel. Berkurangnya kalsium dalam sel akan
mengganggu proses kontraksi khususnya pada sel kontraktil seperti miokard, dan
sel otot polos pembuluh darah dengan demikian kontraktilitas miokard berkurang,
pembentukan impuls pada jantung ditekan, dan tekanan darah dapat berkurang.
Pasien Ny.A diberikan Amlodipin pada hari pertama pengobatan (24/4) dengan
tekanan darah 140/80 lalu pada hari kedua sampai hari kelima perawatan (28/4)
dihentikan karena mengalami penurunan tekanan darah hingga 120/70 mmHg.
Berdasarkan ESC (2018) target tekanan darah untuk pasien <65 tahun ialah
sistolik 120 sampai <130 mmHg dan diastolik <80 mmHg.
Pada hari pertama pengobatan (24/4) pasien juga diberikan infus NaCl 0,9%
1000 mL IV/24 jam dan RL 500 mL IV/12 jam. Menurut IDG (2011) penggunaan
NaCl 0,9% dan RL perlu diperhatikan untuk pasien dengan tekanan darah tinggi.
pemberian NaCl 0,9% 1000 mL telah tepat untuk terapi elektrolit pasien karena
diketahui kadar kalium darah dan bikarbonat pasien dibawah nilai rujukan
sehingga perlu pengisian elektrolit. pemberian NaCl juga kompatibel dengan
ceftriaxone dan obat lainnya sehingga baik untuk diberikan, sedangkan untuk
pemberian RL inkompatibel dengan ceftriaxone sehingga perlu diperhatikan
pemberian bersama dengan ceftriaxone (Gray,et al., 2011).
Pasien juga diberikan terapi domperidon 10 mg 3x1 untuk mengatasi gejala
dan keluhan mual muntah yang berkaitan dengan adanya nyeri kolik bilier yang
disebabkan karena batu yang menyumbat duktus sistikus atau duktas biliaris
komunis. Dimana sumbatan ini akan mengakibatkan peningkatan tekanan
intraluminal, dan juga peningkatan kontraksi peristaltik dari saluran empedu
secara berulang, hal inilah yang akan menstimulasi nervus vagal sehingga pada
pasien batu empedu ditemukan gejala mual dan muntah (Wang dan Afdhal, 2012)
sehingga terapi domperidon telah rasional untuk diberikan pada pasien.
Penanganan kolelitiasis dan komplikasisnya dibedakan menjadi dua yaitu
penatalaksanaan non bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada
tidaknya gejala yang menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaanpada kolelitiasis
simtomatik dan kolelitiasis asimtomatik (Gomi et al., 2018; Lammert et al., 2016;
Tazuma et al., 2017). Kolesistektomi sampai saat ini masih merupakan pilihan
utama dalam penanganan kolelitiasis simtomatik, terutama pada kasus yang sudah
mengalami komplikasi seperti kolangitis (Dasari et al., 2013; Lammert et al.,
2016) seperti yang dialami Ny. A. Saat ini, laparoskopik kolesistektomi juga
menjadi prosedur yang paling aman untuk pasien diabetes, yang dapat
memberikan hasil terbaik, dengan mengurangi risiko luka bedah. Perawatan
perioperatif yang penuh perhatian dan kontrol glikemik yang baik harus diberikan
untuk meminimalkan risiko komplikasi (Serban et al., 2021).
Pada hari ketiga pengobatan (26/4) pasien juga diberikan terapi KSR sebagai
terapi pencegahan hipokalemia saat pasien berada pada skor nyeri 2/1 (nyeri
berkurang). Menurut MIMS (2022) jika pasien menjalani pengobatan dengan
KSR mengalami muntah parah, sakit perut parah, atau perut kembung, ataupun
perdarahan gastrointestinal, maka penggunaan harus dihentikan. Berdasarkan data
laboratorium kadar kalium pasien pada hari pertama perawatan (23/4) yaitu 3.0
mmol/L dan menurun pada hari kedua perawatan (25/4) menjadi 2.9 mmol/L,
sehingga pemberian KSR dinilai rasional sebagai terapi pencegahan hipokalemia
agar kadar kalium pasien tidak semakin menurun
Pada hari ketujuh (22/08), dilakukan monitoring terhadap kondisi klinis
pasien termasuk pemeriksaan tes fungsi hati dan profil bilirubin untuk
mengevaluasi tindakan bedah yang dijalani pasien. Dari hasil pemeriksaan terlihat
adanya penurunan yang signifikan dari nilai AST, ALT, bilirubin total dan
bilirubin langsung. Hal ini menunjukkan bahwa adanya perbaikan kondisi klinis
yang dialami secara konkrit. Nyeri pascabedah yang dialami pasien juga semakin
berkurang sehingga pasien diperbolehkan untuk pulang pada tanggal 28/4. Pasien
diberikan dexametasone 0.5 mg, asam mefenamat 500 mg, Lansoprazole 30 mg,
cefixime 200 mg sebagai obat pulang dengan masing-masing diberikan secara
oral. Asam mefenamat diberikan untuk mengatasi nyeri pascabedah yang masih
dirasakan dan lansoprasol untuk mencegah timbulnya efek samping dari asam
mefenamat. Sedangkan cefixime diberikan sebagai terapi antibiotik untuk
mencegah infeksi pada lokasi bedah, selain itu tidak terdapat interaksi obat dari
obat pulang yang diberikan. Oleh karena itu, obat pulang yang diberikan sudah
tepat dan rasional.
DAFTAR PUSTAKA
Dasari, B. V. M., Tan, C. J., Gurusamy, K. S., Martin, D. J., Kirk, G., Mckie, L.,
Diamond, T., & Taylor, M. A. (2013). Surgical versus endoscopic treatment
of bile duct stones. Cochrane Database of Systematic Reviews, 2013(9).
https://doi.org/10.1002/14651858.CD003327.pub3
Dellinger RP, Schorr CA, Levy MM. A user guide to the 2016 surviving sepsis
gudelines, society of critical care medicine. Intens Care Med. 2017; vol44(1–
2)
Dipiro, J. T., Yee, G. T., Posey, M. L., Haines, S. T., Nolin, T. D., and Ellingrod,
V., 2020, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, Eleventh Edition.
United States: McGrawHill
Fraquelli, M., Casazza, G., Conte, D., & Colli, A. (2016). Non-steroid anti-
inflammatory drugs for biliary colic. Cochrane Database of Systematic
Reviews, 2016(9). https://doi.org/10.1002/14651858.CD006390.pub2
Gomi, H., Solomkin, J. S., Schlossberg, D., Okamoto, K., Takada, T., Strasberg,
S. M., Ukai, T., Endo, I., Iwashita, Y., Hibi, T., Pitt, H. A., Matsunaga, N.,
Takamori, Y., Umezawa, A., Asai, K., Suzuki, K., Han, H. S., Hwang, T. L.,
Mori, Y., … Yamamoto, M. (2018). Tokyo Guidelines 2018: antimicrobial
therapy for acute cholangitis and cholecystitis. Journal of Hepato-Biliary-
Pancreatic Sciences, 25(1), 3–16. https://doi.org/10.1002/jhbp.518
Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), 2017, Informasi Spesialite Obat Indonesia, Vol.
51, ISFI Penerbitan: Jakarta.
Irvan, Febyan, Suparto, 2018, Sepsis dan Tata Laksana Berdasar Guideline
Terbaru, Jurnal Anestesiologi Indonesia, volume 10 (1)
Kiriyama S, Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Mayumi T, Pitt HA,et al.
TG13 Diagnostic criteria and severity grading of acute cholangitis. Tokyo
Guidline. J Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:24-34
Lammert, F., Acalovschi, M., Ercolani, G., van Erpecum, K. J., Gurusamy, K. S.,
van Laarhoven, C. J., & Portincasa, P. (2016). EASL Clinical Practice
Guidelines on the prevention, diagnosis and treatment of gallstones. Journal
of Hepatology, 65(1), 146–181. https://doi.org/10.1016/j.jhep.2016.03.005
Leung JW,et al. Bacteriologic Analysis of Bile and Brown Pigment Stones in
Patients with Acute Cholangitis. Gastrointest Endosc. 2001;54:340-5
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, “Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit,” 2016
Okamoto, K, Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Pitt HA, Garden OJ. TG13
management bundles for acute cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary
Pancreat Sci. 2013;20:55–59.
Rofifah, D., 2020, Martindale The Complete Drug Reference, 38th edition. Paper
Knowledge . Toward a Media History of Documents, 12–26.
Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Pitt HA, Gomi H, Yoshida M, Mayumi T.
TG13: Updated Tokyo Guidelines for the management of acute cholangitis and
cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:1–7
Tazuma, S., Unno, M., Igarashi, Y., Inui, K., Uchiyama, K., Kai, M., Tsuyuguchi,
T., Maguchi, H., Mori, T., Yamaguchi, K., Ryozawa, S., Nimura, Y., Fujita,
N., Kubota, K., Shoda, J., Tabata, M., Mine, T., Sugano, K., Watanabe, M.,
& Shimosegawa, T. (2017). Evidence-based clinical practice guidelines for
cholelithiasis 2016. Journal of Gastroenterology, 52(3), 276–300.
https://doi.org/10.1007/s00535-016-1289-7
Team Medical Mini Notes (TMMN), 2019, Basic Pharmacology & Drug Notes,
Edisi 2019, MMN Publishing: Makassar.
Vinet, L., & Zhedanov, A. (2021). BNF ed. 80. Journal of Physics A:
Mathematical and Theoretical, 44(8), 085201.