Anda di halaman 1dari 87

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


RUMAH SAKIT
DI SILOAM HOSPITAL MAKASSAR
GELOMBANG I PERIODE 01 AGUSTUS – 31 AGUSTUS 2022

“ASUHAN KEFARMASIAN PADA PASIEN


KOLIK BILIER ET CAUSA BATU CBD, POST SYOK SEPSIS, DENGAN
RIWAYAT DM TIPE 2 DAN HIPERTENSI”

DISUSUN OLEH :
MEGI SELLA LINDANG
N014212050

Menyetujui,
Pembimbing PKPA Rumah Sakit Pembimbing PKPA Rumah Sakit
Program Studi Profesi Apoteker Siloam Hospital Makassar
Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin

Muh. Akbar Bahar, S.Si., M.Pharm.Sc., Ph.D., Apt apt. Alfons Yahya Indra P., S.Si.
NIP. 19860516 200912 1 005 NIP. 1800000200
Mengetahui,
Koordinator PKPA Rumah Sakit Kepala Instalasi Farmasi
Program Studi Profesi Apoteker Siloam Hospital Makassar
Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt. apt. Lidia Alto Topayung, S.Si.
NIP. 19560114 198601 2 001 NIK. 1041500039
Makassar, 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas limpahan rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kemampuan,
kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktik
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Rumah Sakit, guna memenuhi salah satu
persyaratan dalam menyelesaikan Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) di
Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin Makassar.
Laporan ini disusun sebagai bagian dari Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Penulis menyadari bahwa proses
pembuatan laporan ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin meyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Bapak apt. Muh. Akbar Bahar. S.Si., M.Pharm.Sc selaku pembimbing PKPA
Farmasi Rumah Sakit yang dengan ikhlas membimbing dan meluangkan
waktu, kesabaran dan kepedulian dalammemberikan arahan selama
penyusunan laporan hingga selesai
2. Bapakapt. Alfons Yahya Indra P., S.Si., selaku pembimbing teknisSiloam
Hospital Makassar yang membimbing dan mengarahkan penulis selama proses
PKPA dan proses penulisan laporan ini
3. Bapak Prof. Subehan, S.Si., M.Pharm. Sc., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas
Farmasi Universitas Hasanuddin
4. Bapak Usmar, S.Si., M.Si., Apt. selaku ketua Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
5. Ibu Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt. selaku Koordinator Praktik Kerja
Profesi Apoteker Rumah Sakit di Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
6. Ibu apt. Lidia Alto Topayung, S.Si., selaku Kepala Instalasi Farmasi Siloam
Hospital Makassar
7. Teman-teman Program Studi Profesi Apoteker angkatan ganjil 2021/2022
yang selalu memberikan bantuan dan semangat tersendiri bagi penulis serta
seluruh pihak yang telah membantu, yang tidak bisa disebutkan namanya satu
per satu yang selalu membantu dan memberikan motivasi kepada penulis
8. Kepada kedua orang tua penulis yang terkasih, Bapak Ipda. F.E. Fredy Nalle
dan Ibu Dina Irana yang senantiasa selalu memberikan dukungan,
memberikan restu, doa dan dukungan material kepada penulis sehingga dapat
dijalankan sebagaimana mestinya
Permohonan maaf penulis sampaikan yang sebesar-besarnya kepada
seluruh pihak yang mungkin pernah merasa dirugikan atau disakiti oleh penulis
baik sengaja maupun tidak disengaja. Semoga Tuhan yang Maha Esa membalas
semua kebaikan yang telah diberikan dan semoga karya ini dapat memberikan
manfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan Ilmu pengetahuan dalam bidang
Farmasi Rumah Sakit. Amin

Makassar, Oktober 2022

Megi Sella Lindang


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat (PerMenkes RI No 3, 2020). Standar
pelayanan kefarmasian adalah suatu tolok ukur pedoman bagi tenaga kefarmasian
dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian berupa suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab pada pasien yang berkaitan dengan perbekalan
sediaan farmasi untuk mencapai hasil yang pasti dan peningkatan mutu kehidupan
pasien. Pelayanan kefarmasian di rumah sakit merupakan bagian yang tak dapat
dipisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit dengan berorientasi pada
pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai yang bermutu dan dapat dijangkau (BPOM,2016).
Sepsis, sepsis berat dan renjatan septik menjadi masalah kesehatan utama
di seluruh dunia. Hal ini terlihat dari tingginya angka kejadian, kematian, biaya
kesehatan yang diperlukan untuk menata laksana seorang pasien dengan sepsis
berat dan renjatan septik, serta peningkatan menetap kejadian tersebut dari tahun
ke tahun (Menkes,2017)
Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai dengan demam,
ikterus, dan nyeri perut kanan atas yang berkembang sebagai akibat dari sumbatan
dan infeksi di saluran empedu. Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi
saluran bilier dan pertumbuhan bakteri dalam empedu. Penyebab paling sering
obstruksi bilier adalah koledokolitiasis. Penyakit ini perlu diwaspadai karena
insiden batu empedu di Asia Tenggara cukup tinggi, serta kecenderungan penyakit
ini untuk terjadi pada pasien berusia lanjut, yang biasanya memiliki penyakit
penyerta yang lain yang dapat memperburuk kondisi dan mempersulit terapi.
Penyakit batu empedu ditandai dengan deposit kristal di kantong empedu,
mempengaruhi sekitar 5-25% dari populasi orang dewasa secara global (Chen et
al., 2018). Insiden kolelitiasis mencapai 10-15% pada populasi Eropa dan 3-5%
pada populasi Asia dan Afrika. Insiden kolelitiasis pada populasi Indian Amerika
mencapai hingga 73% pada wanita dewasa. Angka kematian sekitar
0,6%.Kejadian kolelitiasis di Indonesia diperkirakan tidak ada bedanya dengan
insiden kolelitiasis di Asia (Putri & Indrasari, 2017).
Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) adalah salah satu penyakit yang paling
umum di dunia. DMT2 merupakan faktor risiko tinggi untuk pengembangan
pathogenesis kolelitiasis melalui penurunan sekresi garam empedu dan gangguan
pengosongan kandung empedu (Chen et al., 2018). Pasien diabetes dengan
komplikasi kolelitiasis seperti kolesistitis dan kolangitis akut lebih rentan terhadap
morbiditas pascabedah. Dalam keadaan yang sangat membutuhkan tindakan
bedah maka laparaskopik kolestektomi mejadi pilihan teraman dengan tindakan
perioperasi yang sangat hati-hati dan kontrol glikemik yang ketat untuk mencegah
terjadinya komplikasi (Serban et al., 2021; Tazuma et al., 2017).
Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko komplikasi baik dengan atau tanpa
tindakan bedah, maka diperlukan terapi yang tepat dalam penanganannya,
meliputi ketepatan indikasi, efektifitas, keamanan dan kesesuaian obat serta
bertujuan mengurangi keluhan, meminimalkan efek samping penggunaan obat,
serta meningkatkan kualitas hidup pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Sepsis dan Syok Sepsis


II.1.1 Definisi
Sepsis merupakan respons sistemik pejamu terhadap infeksi, saat patogen
atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses
inflamasi. Rangkaian patofisiologi sepsis didasari terjadinya inflamasi sistemik
yang melibatkan berbagai mediator inflamasi. Terjadinya gangguan pada sistem
koaglukosasi juga sangat berperan dalam timbulnya berbagai komplikasi yang
disebabkan oleh sepsis. Komplikasi yang ditimbulkan oleh sepsis dapat berupa
systemic inflammatory response syndrome (SIRS), disseminated intravascular
coaglukosation (DIC), renjatan septik dan gagal multi organ (Menkes,2017).
Sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi
respons tubuh terhadap infeksi. Sepsis dan syok sepsis merupakan penyakit kritis
yang memerlukan resusitasi yang adekuat. Prinsip resusitasi pada pasien
hipoperfusi yang diinduksi oleh sepsis seharusnya mengacu pada target yang jelas
dan dilakukan sedini mungkin ketika diagnosis ditegakkan. Penundaan dalam
melakukan resusitasi awal serta keterlambatan dalam mencapai target terapi akan
berdampak pada luaran klinis (Rhodes A,et al.,2016; Dellinger,et al., 2017)
II.1.2 Etiologi
Penyebab terbesar sepsis adalah bakteri Gram negatif (60-70% kasus).
Staphylococci, pneumococci, streptococci, dan bakteri Gram positif lain lebih
jarang menimbulkan sepsis dengan angka kejadian antara 20-40% dari seluruh
angka kejadian sepsis. Jamur oportunistik, virus, atau protozoa juga dilaporkan
dapat menimbulkan sepsis dengan kekerapan lebih jarang. Terdapatnya
lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein yang merupakan komponen
utama dari membran terluar bakteri gram negatif berpengaruh terhadap stimulasi
pengeluaran mediator proinflamasi, kemudian menyebabkan terjadi inflamasi
sistemik dan jaringan. Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel kuman
dilaporkan juga dapat menstimulasi pelepasan sitokin, juga berperan penting
dalam proses agregasi trombosit (Menkes,2017)
II.1.3 Kriteria Diagnosis Sepsis dan Sepsis Berat
Tabel 1. Kriteria diagnosis sepsis
Infeksi, diidentifikasi atau dicurigai dan beberapa (2 atau lebih) hal
berikut:
Variabel umum
 Demam (> 38.30C)
 Hipotermia (suhu inti tubuh < 360C)
 Laju jantung > 90/ menit atau lebih dari dua SD di atas nilai normal untuk
usia tersebut
 Takipnea
 perubahan status mental
 edema signifikan atau keseimbangan cairan positif (> 20 mL/kg dalam 24
jam)
 Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dL atau 7.7 mmol/L) tanpa ada
diabetes
Takipnea didefinisikan sebagai laju napas > 20x/menit atau PCO2 32 mmHg.
khusus pada populasi luka bakar, takipnea didefinisikan sebagai laju panas >
24x/menit. Yang dimaksud dengan perubahan status mental adalah perubahan
status mental yang terjadi secara akut, data berupa peningkatan (gaduh, gelisah)
atau penurunan kesadaran. pada pasien luka bakar, edema tidak digunakan
sebagai variabel umum sepsis.
Variabel inflamasi
 leukositosis (hitung leukosit > 12.000/ μL)
 leukopenia (hitung leukosit < 4000/ μL)
 hitung leukosit normal dengan lebih dari 10% bentuk imatur
 C-reactive protein plasma lebih dari dua SD di atas nilai normal
 Prokalsitonin plasma lebih dari dua SD di atas nilai normal

Variabel hemodinamik
Hipotensi arterial (TDS < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg atau penurunan TDS >
40 mmHg pada orang dewasa, atau kurang dari dua SD di bawah nilai normal
usia tersebut)
Variabel disfungsi organ
 Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 < 300 mmHg)
 Oliguria akut (produksi urin < 0.5 mL/kg/jam selama paling tidak 2 jam
meskipun mendapat resusitasi cairan adekuat)
 Peningkatan kreatinin > 0.5 mg/dL atau 44.2 μmol/L
 Kelainan koaglukosasi (INR > 1.5 atau Aptt > 60 detik)
 Ilius (tidak adanya bising usus)
 Trombositopenia (hitung trombosit < 100.000/ μL)
 Hiperbilirubinemia (bilirubin total plasma > 4 mg/dL atau 70 μmol/L)
Kondisi yang telah ada sebelum episode sepsis ini tidak termasuk dalam
kriteria. Bila pemeriksaan bilirubin tidak dikerjakan, penilaian ikterus secara
klinis dapat digunakan sebagai pengganti

Variabel perfusi jaringan


 Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L)
 perlambatan pengisian kapiler kulit atau kulit berbercak-bercak (mottle)

beberapa laboratorium menggunakan standar > 2 mmol/L sebagai batasan


penilaian hiperlaktatemia
TDS = Tekanan darah sistolik; INR = International normalized ratio; aPTT =
Activated partial thromboplastin time; SD = Standar deviasi; MAP = Mean
arterial pressure.
II.1.4 Penatalaksanaan
II.1.4.1 Terapi Farmakologi
1. Terapi Antibiotik
Pemberian antibiotik merupakan salah satu terapi utama yang harus
diberikan pada kasus infeksi bakteri. Antibiotik didefinisikan sebagai suatu
substansi yang dihasilkan dari berbagai jenis mikroorganisme seperti jamur dan
bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Terapi
antibiotik perlu diberikan segera setelah diagnosis sepsis ditegakkan dengan
menggunakan strategi deeskalasi, yaitu dimulai dengan pemberian antibiotik
empiris kemudian disesuaikan atau dihentikan sesuai dengan respons klinis atau
hasil kultur.
Terapi antibiotik empiris yakni pemberian antibiotik spektrum luas dapat
diberikan baik secara tunggal maupun kombinasi, dapat memiliki spektrum
terhadap berbagai kemungkinan kuman penyebab berdasarkan sindrom klinis dan
pola kuman yang telah dikumpulkan sebelumnya (antibiogram). Contoh antibiotik
spektrum luas untuk terapi empiris adalah golongan karbapenem, sefalosporin
generasi 4, piperacilin tazobactam. Obat-obat tersebut dapat diberikan secara
tunggal atau dikombinasikan dengan golongan kuinolon anti-pseudomonas
(siprofloksasin, levofloksasin) atau aminoglikosida. Antibiotik yang bersifat
bakterisiostatik tetap dapat digunakan, tergantung pada infeksi penyebab sepsis.

II.2 Kolik Bilier et causa batu CBD


II.2.1 Definisi
Kolik bilier merupakan gejala klinis spesifik untuk mendiagnosis batu CBD
(kolelitiasis). kolelitiasis merupakan Endapan satu atau lebih komponen empedu
yaitu kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan
fosfolipid. Tiga tahapan, yakni asimtomatik, simtomatik, dan kolelitiasis dengan
komplikasi (Rizky,dkk., 2019). Kolik bilier adalah manifestasi paling umum dari
kolelitiasis (batu empedu), adanya obstruksi akut pada kandung empedu
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal, distensi kandung empedu dan
edema yang memicu respon inflamasi akut yang biasanya timbul di kuadran kanan
atas atau daerah epigastrium dan dapat menjalar ke punggung atas, bahu kanan,
atau daerah midscapular (Carvalho, 2018).
Nyeri perut kanan atas disebabkan oleh penekanan batu pada lumen duktus
sehingga menyebabkan tekanan intralumen meningkat dan distensi saluran
empedu yang pada akhirnya akan merangsang dan mengaktivasi neuron sensori
yang menyebabkan terjadinya nyeri kolik. Gagalnya cairan empedu yang masuk
menuju usus halus untuk ekskresi menyebakan terlalu banyak bilirubin masuk
kedalam kandung kemih sehingga urin berwarna gelap tua. Tinja sering berwarna
pucat karena lebih sedikt cairan empedu yang bisa mencapai saluran cerna usus
halus (Sulaiman, 2014).
Kolelitiasis adalah batu padat yang terbentuk akibat pengendapan empedu
jenuh yang terdiri dari kristal kolesterol monohidrat atau oleh ''pigmen hitam''
kalsium bilirubinat terpolimerisasi (Abraham et al., 2014). Peradangan akut atau
kronis pada kantong empedu dikenal sebagai kolesistitisdan paling sering
diakibatkan oleh kolelitiasis (batu empedu). Batu bersarang di duktus sistikus,
menghambat pelepasan empedu, yang menyebabkan kantong empedu menjadi
buncit dan meradang (Lanzenby, 2011).
II.2.2 Patofisiologi
Batu CBD (kolelitiasis) berasal dari multifaktorial. Namun, pembentukan
batu empedu kolesterol biasanya membutuhkan pembentukan empedu yang
konsentrasi kolesterolnya lebih besar dari persentase kelarutannya. Proses normal
yang mencegah pembentukan batu empedu mungkin termasuk fakta bahwa
empedu biasanya tidak tinggal di kantong empedu cukup lama untuk menjadi
litogenik (rentan terhadap pembentukan batu). Dengan demikian, hilangnya
motilitas dinding otot kandung empedu (akibat penyakit intrinsik dinding otot,
perubahan kadar hormon seperti kolesistokinin, atau perubahan kontrol saraf) dan
kontraksi sfingterik yang berlebihan, yang mengganggu pengosongan, merupakan
faktor predisposisi yang penting. Salah satu konsekuensi dari penurunan
pengosongan kandung empedu adalah konsentrasi empedu yang berlebihan, yang
menyebabkan peningkatan litogenisitas. Hal ini dapat terjadi dari penurunan
penyerapan air atau komposisi empedu yang berubah akibat peningkatan
kandungan atau saturasi kolesterol.
Faktor lain dapat menyebabkan peningkatan kecenderungan untuk
membentuk batu pada tingkat konsentrasi dan saturasi tertentu, termasuk adanya
faktor nukleasi versus antinukleasi dalam empedu dan ukuran serta komposisi
kumpulan asam empedu. Gambar 1 merangkum faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan batu empedu, termasuk estrogen, prostaglandin, peningkatan
produksi mukus dan glikoprotein oleh epitel kandung empedu, dan kolonisasi atau
infeksi bakteri kronis. Estrogen dapat memainkan banyak peran, pertama
mempengaruhi komposisi empedu (meningkatkan kolesterol dan saturasinya
dalam empedu) tetapi juga mengurangi motilitas kandung empedu (karenanya
merupakan predisposisi stasis, pembentukan sludge, dan litogenisitas).
Prostaglandin, yang bersifat protektif di lambung dengan meningkatkan produksi
mukus, sebenarnya dapat berkontribusi pada litogenisitas dengan mekanisme yang
sama. Dengan demikian, OAINS yang menghambat produksi prostaglandin sering
bermanfaat untuk pencegahan batu empedu pada pasien yang memiliki
kecenderungan demikian, mungkin dengan mengurangi produksi lendir (Gary D.
Hammer & McPhee, 2018).
Gambar 1. Patofisiologi Kolelistiasis (Batu CBD)
Sumber : (Gary D. Hammer & McPhee, 2018)

II.2.3 Manifestasi Klinis


Banyak orang dengan batu empedu tidak memiliki gejala, ditemukan secara
kebetulan pada otopsi atau selama operasi untuk kondisi yang tidak terkait. Batu
empedu menyebabkan gejala ketika mereka menghalangi aliran empedu. Batu
kecil (diameter <8 mm) masuk ke saluran umum, menghasilkan gejala gangguan
pencernaan dan kolik bilier. Batu yang lebih besar lebih cenderung menghalangi
aliran empedu dan menyebabkan obstructive jaundice. Nyeri kolik bilier biasanya
terletak di kuadran kanan atas atau daerah epigastrium dan dapat menjalar ke
punggung atas, bahu kanan, atau daerah midscapular. Biasanya nyeri timbul
secara tiba-tiba, intensitasnya terus meningkat, berlangsung selama 2 sampai 8
jam, dan diikuti oleh nyeri di kuadran kanan atas (Porth, 2015).
Gejala yang timbul dari batu empedu adalah nyeri kolik atau kolik bilier .
Nyeri terjadi karena terdapat obstruksi intermitten di abdomen kuadran kanan atas
atau epigastrium dan dapat menyebar ke punggung yaitu di region interskapular
dan skapula kanan. Nyeri ini ditandai dengan nyeri yang mengakibatkan perut
mules , bersifat konstan atau stabil (persisten), derajat berat, durasi nyerinya
bersifat lama yaitu sekitar 15-30 menit hingga beberapa jam, dan nyeri dimulai
tiba tiba serta berhenti atau mereda secara bertahap/cepat . Kolik bilier ini dapat
dipicu oleh makan makanan berlemak, bisa saat konsumsi besar setelah periode
puasa yang lama atau bisa saat konsumsi normal. Nyeri kolik bilier ini disebabkan
karena batu yang menyumbat duktus sistikus atau duktas biliaris komunis.
Dimana sumbatan ini akan mengakibatkan peningkatan tekanan intraluminal, dan
juga peningkatan kontraksi peristaltik dari saluran empedu . Dua hal inilah yang
akan menstimulasi persarafan sehingga menyebabkan nyeri visceral di daerah
yang dihambat oleh batu empedu ini . Selain itu, kontraksi peristaltik dari saluran
empedu ini akan bersifat berulang, dimana empedu akan terus merespon saluran
empedu untuk terus melakukan kontraksi peristaltik dengan guna mengeluarkan
batu itu dari saluran empedu. Kontraksi yang berulang ini bisa mengakibatkan
distensi viskus saluran empedu yang bahkan bisa mengakibatkan overdistensi, hal
inilah yang akan menstimulasi nervus vagal sehingga pada pasien batu empedu
ditemukan gejala mual dan muntah (Wang dan Afdhal, 2012)
Pasien yang memiliki gejala yang merujuk pada kolelitiasis, presentasinya
berkisar dari mual ringan atau ketidaknyamanan perut setelah makan-makanan
berlemak atau gorengan hingga nyeri perut kuadran kanan atas atau midepigastrik
yang parah dan penyakit kuning (jaundice). Munculnya gejala ringan batu empedu
saat menjalani diet tinggi lemak biasanya mendahului munculnya nyeri akut perut.
Pasien khas dengan batu empedu adalah perempuan, memiliki riwayat asupan
lemak makanan yang tinggi, sudah pernah hamil sebelumnya (mencerminkan
peran estrogen dalam patogenesis batu empedu), dan berusia 40-an
(mencerminkan waktu yang diperlukan untuk berkembang menjadi penyakit
simtomatik) (Gary D. Hammer & McPhee, 2018).
II.2.4 Etiologi
Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi saluran bilier dan
pertumbuhan bakteri dalam empedu (infeksi empedu). Kolangitis akut
membutuhkan kehadiran dua faktor yaitu obstruksi bilier dan pertumbuhan bakteri
dalam empedu (bakterobilia) (Fauzi,2011).
Cairan empedu biasanya normal pada individu yang sehat dengan anatomi
bilier yang normal. Bakteri dapat menginfeksi sistem saluran bilier yang steril
melalui ampula vateri (karena adanya batu yang melewati ampula), sfingterotomi
atau pemasangan sten (yang disebut kolangitis asending) atau bacterial portal,
yaitu terjadinya translokasi bakteri melalui sinusoid-sinusoid hepatik dan celah
disse. Bakterobilia tidak dengan sendirinya menyebabkan kolangitis pada individu
yang sehat karena efek bilasan mekanik aliran empedu, kandungan antibakteri
garam empedu, dan produksi IgA. Namun demikian, obstruksi bilier dapat
mengakibatkan kolangitis akut karena berkurangnya aliran empedu dan produksi
IgA, menyebabkan gangguan fungsi sel kupffer dan rusaknya celah membran sel
sehingga menimbulkan refluks kolangiovena (Fauzi,2011).
Penyebab paling sering obstruksi bilier adalah koledokolitiasis, stenosis
bilier jinak, striktur anastomosis empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas.
Koledokolitiasis digunakan untuk menjadi penyebab paling sering, tetapi barubaru
ini kejadian kolangitis akut yang disebabkan oleh penyakit ganas, sklerosis
kolangitis, dan instrumentasi non-bedah saluran empedu telah meningkat. Hal ini
dilaporkan bahwa penyakit ganas sekitar 10-30% menyebabkan kasus akut
kolangitis (Tusiantari dan Dwipayana, 2016)
II.2.5 Pemeriksaan Penunjang
II.2.5.1 Pemeriksaan Laboratorium
Kriteria untuk diagnosis definitif kolangitis akut adalah sebagai berikut:
adanya trias Charcot atau bila tidak lengkap, adanya 2 unsur trias Charcot
ditambah adanya bukti laboratorium terjadinya respons inflamasi (leukosit yang
abnormal, meningkatnya CRP atau perubahan-perubahan lain yang
mengindikasikan adanya inflamasi), test fungsi hati abnormal (Alkaline
Phosphatase/ALP, Gamma Glutamil Transpeptidase/GGT, Aspartate
Transaminase. AST/SGOT, Alanine Transaminase/ALT/SGPT) dan
temuantemuan pencitraan dilatasi bilier atau bukti etiologi (misalnya adanya batu,
striktur atau stenosis). TG13 mendefinisikan suatu diagnosis suspek kolangitis
akut bila terdapat 2 atau lebih dari salah satu kriteria berikut: riwayat penyakit
bilier, demam dan/atau menggigil, ikterik dan nyeri abdomen bagian atas atau
kanan atas. Pedoman tersebut menunjukkan adanya kemajuan dan suatu upaya
yang jarang dalam standarisasi definisi kolangitis kaut, namun pedoman tersebut
dirasakan kurang teliti. Misalnya tidak definiskannya berapa tingkat demam atau
ikterik, begitu juga nyeri abdomen kuadran kanan atas (Okamoto,et al., 2013).
Pada TG13 mendefinisikan kolangitis akut dalam kategori ringan (merespon
terhadap terapi suportif dan antibiotik), sedang (tidak merespon terhadap terapi
medikal namun tidak terjadi disfungsi organ), atau berat (adanya paling tidak 1
tanda disfungsi organ). Tanda tanda disfungsi organ meliputi hipotensi, sehingga
memerlukan pemberian dobutamin atau dopamine, delirium, rasio PaO2/FiO2
1,5mg/dl, INR >1.5 atau kadar trombosit (Okamoto,et al., 2013; Takada, et
al.,2013)
Berdasarkan Tokyo Guideline 2018 (TG18), mengkategorikan kolesistitis dan
kolangitis akut ke dalam 3 tingkat keparahan (derajat) berdasarkan kriteria dalam
tabel 1 dan 2 (Kiriyama et al., 2018; Yokoe et al., 2018).
Tabel 2. Tingkat keparahan untuk kolesistitis akut
Kolesistitis akut derajat III (berat)
Kolesistitis akut “derajat III” dikaitkan dengan disfungsi salah satu organ/sistem berikut:
1. Disfungsi kardiovaskular: hipotensi yang memerlukan pengobatan dengan dopamin 5
µg/kgBB/menit, atau dosis norepinefrin apa pun
2. Disfungsi neurologis: penurunan tingkat kesadaran
3. Disfungsi pernapasan: rasio PaO2/FiO2<300
4. Disfungsi ginjal: oliguria, kreatinin >2,0 mg/dl
5. Disfungsi hati: PT-INR >1,5
6. Disfungsi hematologi: jumlah trombosit <100.000/mm3
Kolesistitis akut derajat II (sedang)
Kolesistitis akut “derajat II” dikaitkan dengan salah satu dari kondisi berikut:
1. Peningkatan jumlah WBC (>18.000/mm3)
2. Massa lunak yang teraba di kuadran kanan atas perut
3. Durasi pengaduan >72 jam
4. Peradangan lokal yang nyata (kolesistitis gangren, abses perikolesistik, abses hati, peritonitis
bilier, kolesistitis emfisematous)
Kolesistitis akut derajat I (ringan)
Kolesistitis akut “derajat I” tidak memenuhi kriteria kolesistitis akut “derajat III” atau “derajat II”.
Ini juga dapat didefinisikan sebagai kolesistitis akut pada pasien sehat tanpa disfungsi organ dan
perubahan inflamasi ringan pada kantong empedu, menjadikan kolesistektomi sebagai prosedur
operasi yang aman dan berisiko rendah.
Sumber : (Yokoe et al., 2018)

Tabel 3. Tingkat keparahan untuk kolangitis akut


Kolangitis akut derajat III (berat)
Kolangitis akut “derajat III” didefinisikan sebagai kolangitis akut yang berhubungan dengan onset
disfungsi setidaknya pada salah satu organ/sistem berikut:
1. Disfungsi kardiovaskular: hipotensi yang membutuhkan dopamin 5 µg/kgBB/menit, atau dosis
norepinefrin apa pun
2. Disfungsi neurologis: gangguan kesadaran
3. Disfungsi pernapasan: rasio PaO2/FiO2<300
4. Disfungsi ginjal: oliguria, kreatinin serum >2,0 mg/dl
5. Disfungsi hati: PT-INR >1,5
6. Disfungsi hematologi: jumlah trombosit <100.000/mm3
Kolangitis akut derajat II (sedang)
Kolangitis akut “derajat II” dikaitkan dengan dua kondisi berikut:
1. Jumlah WBC abnormal (>12.000/mm3, <4.000/mm3)
2. Demam tinggi (≥39°C)
3. Usia (≥75 tahun)
4. Hiperbilirubinemia (bilirubin total 5 mg/dl)
5. Hipoalbuminemia (<STDa90.7)
Kolangitis akut derajat I (ringan)
Kolangitis akut derajat I tidak memenuhi kriteria kolangitis akut derajat III (berat) atau derajat II
(sedang) pada diagnosis awal.
Sumber : (Kiriyama et al., 2018)
II.1.4.2 Pemeriksaan penunjang Lainnya
Pemeriksaan penunjang untuk diagnostik kolangitis akut dapat dilakukan
dengan mendeteksi dilatasi bilier dan pemeriksaan penyebab kolangitis akut
adalah EUS (endoscopic ultrasonography), MRCP (magnetic resonance
cholangiopancreotography) dan ERCP (endoscopic retrograde
cholangiopancreotography). Diantara semuanya hanya MRCP yang tidak bersifat
invasif, namun tidak praktis hanya dapat digunakan pada pasien yang dapat
dibawa keruang radiologi, umumnya studi menunjukkan sensivitas >90% untuk
MRCP dalam mendeteksi batu di CBD dan sensivitasnya makin berkurang untuk
batu yang kecil. ERCP selain memiliki sensivitas untuk mendeteksi juga memiliki
potensi untuk terapeutik, dalam mendiagnosis batu CBD, EUS lebih baik dari
ERCP, dalam hal keganasan EUS sama dengan ERCP. Dilatasi intrahepatik tanpa
adanya dilatasi CBD, menunjukkan kesan suatu striktur jinak, sindrom mirri atau
lesi di daerah hilus duktus biliaris seperti tumor ganas (Okamoto,et al., 2013;
Kiriyama,et al., 2013)
Sebaliknya dilatasi CBD dengan atau tanpa dilatasi intrahepatik konsisten
dengan obstruksi distal seperti batu CBD atau kanker pancreas. Mengetahui
penyebab dilatasi meminimalisai kebutuhan injeksi kontras yang dapat
meningkatkan tekanan bilier cukup kuat untuk menimbulkan refluks cairan bilier
kedalam sirkulasi sistemik dan menghindarkan resiko injeksi yang tidak
diinginkan kedalam segmen yang tidak terdrainase (misalnya pasien dengan
striktur daerah hilus yang kompleks) yang secara potensial dapat menyebabkan
terjadinya kolangitis berat. MRCP dapat meberikan informasi serupa dengan EUS
dan ERCP, namun kurang akurat untuk mendeteksi batu ukuran kecil dan harus
dilakukan sebagai prosedur terpisah. Meskipun USG transabdominal relatif tidak
sensitif untuk mendeteksi batu CBD (biasanya <30%) namun tersedia mudah dan
dapat membantu bila batu atau tumor ditemukan. CT scan lebih sensitif dari USG
transabdominal untuk mendeteksi batu CBD, dan sensitivitas helical CT
tampaknya sebanding dengan MRCP atau EUS pada beberapa studi. Namun EUS
lebih sensitif dari CT dan MRCP untuk mendiagnosis batu dengan diameter.
<1cm (Takada, et al.,2013; Kiriyama,et al., 2013)
II.1.5 Penatalaksanaan
II.1.5.1 Terapi Farmakologi
Meskipun gejala alami batu empedu umumnya jinak, Dokter harus
memutuskan apakah pengobatan diperlukan. Saat mempertimbangkan batu
empedu, sangat membantu untuk mengkategorikan pasien ke dalam kelompok
berikut: mereka yang terdeteksi secara tidak sengaja, batu empedu asimtomatik;
dengan batu empedu simtomatik; dengan gejala atipikal dan batu empedu pada
pencitraan; dan dengan gejala khas tetapi tidak ada batu empedu pada pencitraan.
Pengobatan profilaksis, biasanya dengan laparoskopikkolesistektomi, harus
direkomendasikan untuk pasien dengan gejala kolik bilier atau mereka dengan
komplikasi batu empedu, karena pasien ini cenderung memiliki gejala berulang
dan lebih parah. Untuk pasien dengan batu empedu pada pencitraan tetapi gejala
atipikal, diagnosis gastrointestinal umum lainnya harus dipertimbangkan,seperti
penyakit ulkus peptikum, penyakit refluks gastroesofagus, atau sindrom iritasi
usus besar. Sedangkan, untuk pasien dengan gejala yang sangat sugestif dari batu
empedu, namun tanpa batu empedu pada pencitraan, scancholecystokinin-HIDA
harus dipertimbangkan. Pada hingga 20% pasien dengan gejala khas kolik bilier,
tidak ada batu empedu yang terlihat pada pencitraan, mungkin karena ukuran kecil
atau komposisi batu. Meskipun pasien tersebut dapat dirawat dengan penuh
harapan, penelitian menunjukkan bahwa laparoskopi kolesistektomi mungkin
bermanfaat pada mereka yang memiliki gejala kolik bilier yang sudah
berlangsung lama tanpa adanya batu empedu yang teridentifikasi yang memiliki
fraksi ejeksi kandung empedu yang berkurang dan gejala yang dapat direproduksi
dengan injeksi kolesistokinin.

Gambar 2. Algoritma batu empedu.


(ERCP = EndoscopicRetrograde Cholangio-Pancreatography; LC = Laparoscopic
Cholecystectomy.)
Sumber : (Abraham et al., 2014)

1. Terapi Kolik Bilier


Kolik bilier harus diobati dengan anti inflamasi non-steroid (AINS) seperti
diklofenak (50- 75 mg IM), ketoprofen (200 mg IV) atau indometasin (50 mg IV
atau 2 x 75 mg supositoria) karena dapat mengurangi risiko mengembangkan
kolesistitis akut. Untuk beberapa kondisi seperti gangguan fungsi ginjal dan
komplikasi gastrointestinal dianjurkan penggunaan paracetamol atau metamizol.
Selain itu, kolik bilier yang disebabkan oleh batu kandung empedu juga dapat
diobati dengan nitrogliserin. Untuk gejala yang parah, opioid aktif analgesik yang
lebih kuat diberikan seperti buprenorfin.
2. Terapi Antibiotik
Terapi antibiotik intravena harus diberikan sesegera mungkin. Pedoman
pemberian antibiotik sebaiknya berdasarkan pola infeksi spesifik dan resistensi
lokal rumah sakit. Tujuan utama terapi antimikroba pada kolangitis akut dan
kolesistitis adalah untuk membatasi respon septik sistemik dan inflamasi lokal,
untuk mencegah infeksi tempat pembedahan pada luka superfisial, dan untuk
mencegah pembentukan abses intrahepatik. Beberapa panduan menyarankan pada
kolangitis akut ringan sebaiknya pemberian jangka pendek 2-3 hari dengan
sefalosporin generasi pertama atau kedua, penisilin dan penghambat β laktam.
Sedangkan kolangitis sedang sampai berat sebaiknya pemberian antibiotik
minimal 5-7 hari dengan sefalosporin generasi ketiga atau keempat, non baktam
dengan atau tanpa metronidazol untuk kuman anaerob, atau karbapenem
(Okamoto,et al., 2013; Takada, et al.,2013; Kiriyama,et al., 2013).
Rekomendasi lain menyarankan regimen berikut pada pasien kolangitis akut
ringan sampai sedang atau community acquired: (misalnya Ampisilin sulbactam
iv 3 gram setiap 6 jam, atau ertepenem 1gram sekali sehari, atau ampisilin iv 2
gram setiap 6 jam plus gentamicin iv 1.7 mg/kgbb setiap 8 jam atau golongan
fluorokuinolon (misalnya siprofloksasin iv 400 mg setiap 12 jam, levofloksasin iv
500 mg sekali sehari, atau moxiflokasain iv atau oral 400 mg sekali sehari)
ditambah metronidazol iv 500mg setiap 6-8 jam untuk bakteri anaerob. Untuk
pasien kolangitis akut berat atau nosokomial (hospital acquired),
direkomendasikan pemberian antibiotik sebagai berikut: piparisilin-tazobaktam
(3.375 gr iv stiap 6 jamatau 4.5 gr iv setiap 8 jam), stau 3.1 gr iv tikarsilin-
klavulanat setiap 6 jam, atau tigesilin (100 mg iv bolus, diteruskan 50 mg iv sekali
sehari) atau sefalosporin generasi ketiga (misalnya seftriakson 1-2 gr sekali sehari
atau cefepim 1-2 gr setiap 12 jam) dengan metronidazol iv 500 mg setiap 6-8 jam
untuk bakteri anaerob (Okamoto,et al., 2013; Takada, et al.,2013; Kiriyama,et al.,
2013).
3. Terapi Bedah batu kandung empedu
A. Pasien dengan simtomatik
Kolesistektomi merupakan pilihan yang banyak digunakan untuk pengobatan
batu kandung empedu simtomatik.
3.2 Pasien dengan Asimtomatik
Perawatan (laparoskopik kolesistektomi atau kolestektomi terbuka) dari
pasien tanpa gejala dengan batu kandung empedu tidak meningkatkan harapan
hidup mereka, karena risiko operasi (mortalitas dan morbiditas) lebih besar
daripada kemungkinannya komplikasi. Selain itu, biaya lebih rendah untuk pasien
dengan batu empedu asimtomatik.
II.1.5.2 Terapi Non-Farmakologi
Gaya hidup dan makanan sehat, aktivitas fisik secara teratur dan
mempertahankan berat badan ideal dapat mencegah terjadinya kolelitiasis
(Lammert et al., 2016).

II.2 Diabetes Melitus


II.2.1 Definisi
Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai kondisi kronik dimana terjadi
penurunan sekresi dan fungsi dari hormon insulin relatif atau absolut yang
mengakibatkan intoleransi terhadap glukosa sehingga kadarnya meningkat dalam
darah [5]. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya (Perkeni,2021).
International Diabetes Federation (2019) mendefinisikan diabetes sebagai
kondisi yang terjadi ketika tubuh tidak dapat atau tidak cukup menghasilkan
insulin dan/atau tidak dapat menggunakan insulin yang dihasilkannya secara
efektif. Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya (ADA,2019). Berdasarkan pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa diabetes melitus merupakan keadaan kronik dimana terjadi
gangguan metabolisme yang disebabkan oleh penurunan sekresi dan sensitifitas
insulin secara relatif maupun absolut sehingga terjadi kondisi hiperglikemia serta
gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak
II.3.2 Klasifikasi DM
American Diabetes Association (2020) mengklasifikasikan penyakit DM
menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan DM tipe lain, dimana
sebagian besar penderita DM dikategorikan ke dalam DM tipe 1 dan DM tipe 2.
Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi empat tipe. Klasifikasi DM dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6.Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi Deskripsi
DM Tipe 1 Diabetes yang disebabkan kenaikan kadar gula darah karena
destruksi atau kerusakan sel β-pankreas, umumnya berhubungan
pada defisiensi insulin absolut
- Autoimun
- Idiopatik
DM Tipe 2 Diabetes yang disebabkan kenaikan gula darah karena
penurunan sekresi inlusin. Penyebabnya bervariasi, mulai yang
dominan resisitensi insulin disertai defisiensi relatif sampai yang
dominan defek sekresi inlusin disertai resistensi insulin

DM Gestasional Diabetes yang didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga


kehamilan tidak didapatkan diabetes. Gangguan ini biasanya
terjadi pada minggu ke-24 kehamilan dan kadar gula darah akan
Kembali normal setelah persalinan.

Tipe spesifik yang berkaitan - Sindroma diabetes monogenic (diabetes neonatal, maturity-
dengan penyebab lain onset diabetes of the young [MODY])
- Penyakit eksokrin pancreas (fibrosis kistik, pankreatitis)
- Disebabkan oleh obat atau zat kimia (misalnya penggunaan
glukokortikoid pada terapi HIV/AIDS atau setelah
transplantasi organ)

Sumber :(Perkeni, 2019)


1. Diabetes Melitus Tipe 1
Penyakit DM tipe 1 disebut juga Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM), terjadi karena autoimun yang mengakibatkan destruksi sel-ß pankreas
yang mengarah pada defisiensi insulin secara absolut
A. Patogenesis
Penyakit DM tipe 1 terjadi karena kondisi autoimun yang mengakibatkan
penghancuran sel-sel β pankreas. Kondisi autoimun terjadi pada individu yang
rentan secara genetik dan dipicu oleh salah satu atau lebih eksogen dan biasanya
berlangsung selama beberapa bulan hingga bertahun-tahun. Pada periode tersebut
individu mungkin tidak menunjukkan gejala hiperglikemia namun positif
memiliki autoantibodi yang relevan. Hiperglikemia simtomatik dan gejala lain
timbul setelah periode latensi yang panjang, dimana mencerminkan banyaknya
persentase sel-β yang telah dihancurkan (Paschou, et al., 2018). Beberapa pemicu
terjadinya DM tipe 1 pada individu yang rentan diantaranya; konsumsi susu sapi,
kurangnya pemberian ASI, bakteri pada usus, dan virus tertentu (enterovirus dan
rotavirus). Proses autoimun dimediasi oleh makrofag dan sel T limfosit dengan
autoantibodi yang tersirkulasi pada bagian antigen sel-ß pankreas. Antibodi yang
paling umum dijumpai pada penderita DM tipe 1 adalah Islet Cell Autoantibody
(ICAs). Keberadaan antibodi tersebut menjadi penanda untuk mengidentifikasi
individu yang memiliki risiko tinggi terkena DM tipe 1. Hiperglikemia mulai
terjadi ketika 60 – 90% sel-ß pankreas sudah mengalami destruksi. Berkurangnya
sekresi hormon amilin pada sel-ß pankreas juga terjadi pada pasien DM tipe 1,
dimana hormon ini berfungsi untuk mengurangi sekresi glukagon serta
menurunkan waktu pengosongan lambung (Dipiro, et al., 2020)
2. Diabetes Melitus Tipe 2
Penyakit DM tipe 2 disebut juga Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) atau Adult Onset Diabetes, terjadi karena berkurangnya fungsi sekretori
dari sel-ß pankreas secara progresif dan sering kali disertai dengan resistensi
insulin.
A. Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2
Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Hasil
penelitian terbaru telah diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan
lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ lain yang juga terlibat pada
DM tipe 2 adalah jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi inkretin), sel alfa pankreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan
absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), yang ikut berperan menyebabkan
gangguan toleransi glukosa. Saat ini sudah ditemukan tiga jalur patogenesis baru
dari ominous octet yang memperantarai terjadinya hiperglikemia pada DM tipe 2.
Sebelas organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (egregious eleven)
perlu dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep (Perkeni,2016):
1. Pengobatan harus ditujukan untuk memperbaiki gangguan patogenesis, bukan
hanya untuk menurunkan HbA1c saja.
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasarkan pada kinerja obat
sesuai dengan patofisiologi DM tipe 2.
3 Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat
progresivitas kerusakan sel beta yang sudah terjadi pada pasien gangguan
toleransi glukosa.
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, hepar,
dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis pasien DM
tipe 2 tetapi terdapat delapan organ lain yang berperan, disebut sebagai the
egregious eleven. Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh
sebelas hal (egregious eleven) yaitu:
1. Kegagalan sel beta pankreas
Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,
meglitinid, agonis glucagon-like peptide (GLP-1) dan penghambat dipeptidil
peptidase-4 (DPP-4).
2. Disfungsi sel alfa pankreas
Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi pada sintesis glukagon yang
dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan produksi glukosa hati (hepatic glucose production) dalam keadaan
basal meningkat secara bermakna dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-
1 receptor agonist (GLP-1 RA), penghambat DPP-4 dan amilin.
3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (free fatty acid/FFA)
dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi
insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas.
Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidinedion.
4. Otot
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multipel di
intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi tirosin, sehingga
terjadi gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen,
dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin
dan tiazolidinedion.
5. Hepar
Pada pasien DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh hepar
(hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses glukoneogenesis.
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obese baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang
merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini
asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga
terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 RA, amilin dan
bromokriptin.
7. Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan
hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe
2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat badan
berlebih akan berkembang menjadi DM. Probiotik dan prebiotik diperkirakan
sebagai mediator untuk menangani keadaan hiperglikemia.
8. Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar dibanding
bilar diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek inkretin ini
diperankan oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan
glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory
polypeptide (GIP). Pada pasien DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan
resisten terhadap hormon GIP. Hormon inkretin juga segera dipecah oleh
keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat
yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah penghambat DPP-4. Saluran
pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja
enzim alfa glukosidase yang akan memecah polisakarida menjadi monosakarida,
dan kemudian diserap oleh usus sehingga berakibat meningkatkan glukosa darah
setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa
glukosidase adalah acarbosa.
9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe
2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran enzim sodium glucose
co-transporter -2 (SGLT-2) pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10%
sisanya akan diabsorbsi melalui peran sodium glucose co-transporter - 1 (SGLT-
1) pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam
urin. Pada pasien DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2, sehingga terjadi
peningkatan reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan
peningkatan kadar glukosa darah. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini
akan menghambat reabsorbsi kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa
akan dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja di jalur ini adalah penghambar
SGLT-2 seperti Dapaglifozin, empaglifozin dan canaglifozin adalah contoh
obatnya.
10. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi kerusakan
sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan percepatan pengosongan
lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan
dengan peningkatan kadar glukosa postprandial.
11. Sistem Imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut (disebut sebagai
inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari aktivasi sistem imun
bawaan/innate) yang berhubungan erat dengan patogenesis DM tipe 2 dan
berkaitan dengan komplikasi seperti dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi
sistemik derajat rendah berperan dalam induksi stres pada endoplasma akibat
peningkatan kebutuhan metabolisme untuk insulin.
II.3.4 Manifestasi Klinis dan Diagnosis
II3.4.1 Gejala Klinis
Pasien DM tipe 1 umumnya didiagnosis sebelum usia 20 tahun, dengan
beberapa karakteristik saat diagnosa yaitu; bertubuh ramping; rentan terhadap
ketoasidosis; sering berkemih (poliuria); sering merasa haus (polidipsia);
peningkatan nafsu makan (polifagia); lelah dan lesu; dan penurunan berat badan.
Secara kontras, pasien dengan DM tipe 2 sering kali tidak bergejala dan hanya
terdeteksi pada saat pemeriksaan laboratorium berkala dengan melihat nilai
HbA1C. Karakteristik hiperglikemia umumnya muncul beberapa tahun setelah
penegakan diagnosis. Pasien dengan DM tipe 2 sering kali mengalami obesitas
(Dipiro, et al., 2020).
II.3.4.2. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah dan
HbA1c. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan
dapat dilakukan dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar
adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien DM.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Tabel 3. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus


Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.(B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik atau
krisis hiperglikemia.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP) dan Diabetes
Control and Complications Trial assay (DCCT) . (B)
Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP, sehingga
harus hati- hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi
tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2 - 3 bulan terakhir, kondisi-
kondisi yang memengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat
dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100 − 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam
< 140 mg/dL;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -
jam setelah TTGO antara 140 − 199 mg/dL dan glukosa plasma puasa < 100
mg/dL
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 − 6,4%.
Tabel 4 . Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan Prediabetes.

HbA1c Glukosa Glukosa plasma 2 jam


(%) darah setelah
puasa TTGO (mg/dL)
(mg/dL)
Diabetes  6,5  126  200
Pre- 5,7 − 100 − 125 140 – 199
Diabetes 6,4
Normal < 5,7 70 − 99 70 – 139

 Cara Pelaksanaan TTGO (WHO,1994)


1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan karbohidrat yang
cukup) dan melakukan kegiatan jasmani seperti kebiasaan sehari – hari
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa glukosa tetap diperbolehkan
3. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 g/kgBB (anak - anak),
dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
6. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok
II.3.5 Penatalaksanaan
II.3.5.1 Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral (lampiran 1)
dan bentuk suntikan.
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat anti-hiperglikemia oral dibagi menjadi 6
golongan:
1.1 Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
a) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan
berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan fungsi hati dan ginjal). Contoh obat dalam
golongan ini adalah glibenclamide, glipizide, glimepiride, gliquidone dan
gliclazide.
b) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya mirip dengan sulfonilurea, namun
berbeda lokasi reseptor, dengan hasil akhir berupa penekanan pada peningkatan
sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek
samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia. Obat golongan glinid sudah
tidak tersedia di Indonesia.
c) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin (Insulin Sensitizers)
Obat DM yang berperan dalam peningkatan sensitivitas terhadap insulin
contohnya ialah metformin. Metformin mempunyai efek utama mengurangi
produksi glukosa hati (glukoneogenesis) dan memperbaiki ambilan glukosa di
jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus
DM tipe 2.
Dosis metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(LFG 30 − 60 ml/menit/1,73 m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa
keadaan seperti LFG < 30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta
pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik), gagal
jantung NYHA (New York Heart Association) fungsional kelas III-IV. Efek
samping yang mungkin terjadi adalah gangguan saluran pencernaan seperti
dispepsia, diare, dan lain-lain.
d) Tiazolidinedion (TZD)
Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di
sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidinedion menyebabkan
retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung (NYHA fungsional kelas III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi
cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan
faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah pioglitazone.
e) Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase di saluran
pencernaan sehingga menghambat absorpsi glukosa dalam usus halus.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan LFG ≤ 30
ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome (IBS).
Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam
usus) sehingga sering menimbulkan flatus Guna mengurangi efek samping pada
awalnya dapat diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah
acarbose.
f) Penghambat enzim Dipeptidil Peptidase-4
Dipeptidil peptidase-4 (DPP-4) adalah suatu serin protease, yang
didistribusikan secara luas dalam tubuh. Enzim ini memecah dua asam amino dari
peptida yang mengandung alanin atau prolin di posisi kedua peptida N-terminal.
Enzim DPP-4 terekspresikan di berbagai organ tubuh, termasuk di usus dan
membran brush border ginjal, di hepatosit, endotelium vaskuler dari kapiler villi,
dan dalam bentuk larut dalam plasma. Penghambat DPP-4 akan menghambat
lokasi pengikatan pada DPP-4 sehingga akan mencegah inaktivasi dari glucagon-
like peptide (GLP)-1. Proses inhibisi ini akan mempertahankan kadar GLP-1 dan
glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dalam bentuk aktif di
sirkulasi darah, sehingga dapat memperbaiki toleransi glukosa, meningkatkan
respons insulin, dan mengurangi sekresi glukagon. Penghambat DPP-4
merupakan agen oral, dan yang termasuk dalam golongan ini adalah vildagliptin,
linagliptin, sitagliptin, saxagliptin dan alogliptin.
g) Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter 2
Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus
proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin. Obat golongan ini
mempunyai manfaat untuk menurunkan berat badan dan tekanan darah. Efek
samping yang dapat terjadi akibat pemberian obat ini adalah infeksi saluran
kencing dan genital. Pada pasien DM dengan gangguan fungsi ginjal perlu
dilakukan penyesuaian dosis, dan tidak diperkenankan menggunakan obat ini bila
LFG kurang dari 45 ml/menit. Hati-hati karena obat ini juga dapat mencetuskan
ketoasidosis
Tabel 5. Profil Obat Antihiperglikemia Oral yang Tersedia di Indonesia
Efek Samping Penurunan
Golongan obat Mekanisme Kerja
Utama HbA1c
Metformin Menurunkan produksi Dispepsia, diare, 1,0-1,3%
glukosa hati dan asidosis laktat
meningkatkan
sensitifitas terhadap
insulin
Thiazolidinedi Meningkatkan Edema 0,5-1,4%
one sensitifitas terhadap
insulin
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi BB naik, 0,4-1,2%
insulin hipoglikemia
Glinid Meningkatkan sekresi BB naik, 0,5-1,0%
insulin hipoglikemia
Penghamb Menghambat absorpsi Flatulen, tinja 0,5-0,8%
at Alfa- glukosa lembek
Glukosida
se
Pengha Meningkatkan Sebah, muntah 0,5-0,9%
mbat sekresi insulin
DPP-4 dan menghambat
sekresi glukagon
Penghambat Menghambat Infeksi saluran 0,5-0,9%
SGLT-2 reabsorbsi kemih dan
glukosa di genital
tubulus distal
2. Obat Antihiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, GLP-1 RA dan kombinasi
insulin dan GLP-1 RA.
a) Insulin
 Insulin digunakan pada keadaan :
 HbA1c saat diperiksa  7.5% dan sudah menggunakan satu atau dua
obat antidiabetes
 HbA1c saat diperiksa > 9%
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
 Jenis dan Lama Kerja Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 6 jenis :
 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
 Insulin kerja menengah (Intermediate-acting insulin)
 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (Ultra long-acting insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat
dengan menengah (Premixed insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja ultra panjang dengan kerja cepat
 Efek samping terapi insulin :
 Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
 Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian komplikasi akut
DM.
 Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin

II.3.5.2 Terapi Non-Farmakologi

II.4 Hipertensi
III.4.1 Definisi
Hipertensi merupakan penyakit umum yang didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan darah arterial secara presisten. Hipertensi sistolik ditandai
dengan peningkatan tekanan darah sistolik hingga ≥140 mmHg, dan tekanan
darah diastolik ≤90 mmHg. Krisis hipertensi dapat dikategorikan sebagai
hipertensi emergency dimana tekanan darah ≥ 180/120 mmHg dengan kerusakan
organ (Dipiro, et al., 2020). Menurut American Society of Hypertension (ASH)
hipertensi merupakan suatu sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler yang
progresif sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan.
Berdasarkan JNC VIII, hipertensi adalah peningkatan tekanan darah diatas 140/90
mmHg. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hipertensi merupakan
peningkatan tekanan darah sistolik yang persisten diatas 140 mmHg sebagai
akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan.
II.4.2 Klasifikasi
American College of Cardiology/ American Heart Ascociation (ACC/AHA)
mengkategorikan hipertensi pada usia dewasa (≥ 18 tahun) berasarkan dua atau
lebih nilai dari hasil pengukuran tekanan darah dari waktu yang berbeda. Terdapat
empat kategori tekanan darah antara lain (Dipiro, et al., 2020)
Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik
Klasifikasi
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 < 80
Tinggi 120 – 129 < 80
Hipertensi stage 1 130 – 139 80 – 90
Hipertensi stage 2 ≥140 ≥90
Berdasarkan Kementrian Kesehatan, klasifikasi hipertensi dapat dibedakan
berdasarkan penyebab dan berdasarkan bentuk hipertensi. Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi terdiri atas hipertensi primer atau hipertensi esensial dan
hipertensi sekunder atau hipertensi non-esensial. Hipertensi esensial merupakan
hipertensi yang tidak diketahui peyebabnya walaupun dikaitkan dengan
kombinasi. faktor gaya hidup seperti kurang bergerak ataupun karna pola makan.
Hipertensi jenis ini terjadi pada sekitar 90% pada semua kasus hipertensi. Pada
hipertensi non-esensial, merupakan hipertensi yang diketahui penyebabnya. Jenis
hipertensi ini terjadi sekitar 5 – 10% pada penderita hipertensi yang penyebabnya
bisa dikarenakan adanya penyakit ginjal dan sekitar 1 – 2% disebabkan karena
kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (Kemenkes RI. 2014).
Berdasarkan bentuknya, hipertensi dibedakan menjadi hipertensi pulmonal
dan hipertensi pada kehamilan. Hipertensi pulmonal ditandai dengan peningkatan
tekanan darah pada pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak
nafas, pusing, dan pingsan pada saat melakukan aktivitas. Hipertensi pada
kehamilan terdiri atas empat klasifikasi yaitu preeklampsia, hipertensi kronik
yaitu hipertensi yang sudah ada sejak sebelum ibu mengandung janin, hipertensi
preeklampsia pada hipertensi kronik yang merupakan gabungan preeklampsia
dengan hipertensi kronik, dan terkahir adalah hipertensi gestasional atau hipertesi
yang sesaat (Kemenkes RI, 2014).
II.4.3 Epidemiologi
Hipertensi adalah penyakit medis umum, terjadi pada sekitar sepertiga orang
dewasa muda, hampir dua pertiga individu di atas usia 60, dan pada sekitar 75%
individu yang lebih tua dari 70 tahun. Hipertensi dapat menyebabkan banyak
komplikasi, termasuk infark miokard (IM), penyakit ginjal kronis (CKD),
penyakit serebrovaskular, retinopati, dan gagal jantung, dan merupakan faktor
pencetus penting dalam sindrom metabolik. Pada pasien dengan diabetes mellitus
tipe 2 yang berusia 45 tahun atau lebih sekitar 40-60% menderita hipertensi
dimana hanya 60% yang mampu mempertahankan tekanan darah sistolik di
bawah 140 mmHg. Hal ini sering disebut sebagai silent killer dan tetap menjadi
salah satu kontributor paling signifikan untuk penyakit kronis dan kematian
(Abel, et al., 2015)
II.4.4 Etiologi
Pada sebagian besar pasien, hipertensi muncul melalui proses patofisiologi
yang tidak diketahui (hipertensi esensial atau primer). Hipertensi jenis ini tidak
dapat disembuhkan, namun dapat dikendalikan. Sebagian kecil pennderita
hipertensi memiliki penyebab spesifik dari kondisi yang dalami (hipertensi
sekunder). Terdapat banyak penyebab untuk keadaan hipertensi sekunder dimana
jika diketahui secara pasti maka kondisi hipertensi dikurangi bahkan disembuhkan
(Dipiro, et al., 2020)
a. Hipertensi primer
Sebagian besar individu demham tekanan darah tinggi (>90%) termasuk
dalam kelompok hipertensi primer atau esensial. Berbagai mekanisme potensial
diperkirakan menjadi penyebab terjadinya kondisi hipertensi, sehingga
mengidentifikasi satu abnormalitas spesifik tidak dapat dilakukan. Faktor genetik
dapat memegang peranan dalam perkembangan hipertensi dengan mempengaruhi
keseimbangan garam atau dengan jalur lainnya
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder dimana penyebabnya adalah komorbid atau penggunaan
obat (atau produk lain) yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah
menyumbang hingga 10% dari kasus hipertensi. Pada sebagian besar kasus, CKD
atau penyakit renovaskular menjadi penyebab paling umum dijumpai. Obat
tertentu seperti amphetamine, kortikosteroid, dekongestan, dan lain sebagainya
juga dapat memengaruhi tekanan darah baik secara langsung maupun tidak
langsung. Konsumsi berlebihan dari komponen seperti garam dan etanol juga
dapat mengganggu keseimbangan tekanan darah
II.4.5 Patofisiologi
Beberapa faktor fisiologis berpran dalam regulasi tekanan darah, dimana
kelaian pada faktor tersebut dapat mengakibatkan terbentuknya hipertensi
esensial. Kelainan yang terjadi dapat bersifat humoral (contoh: renin-angiotensin-
aldosterone system/ RAAS) atau melalui mekanisme vasdepresor, mekanisme
abnormal neuronal, gangguan pada autoregulasi periferal, dan gangguan pada
hormon pengatur keseimbangan elektrolit tubuh. Tekanan darah arterial adalah
tekanan darah uamh diukur dalam satuan milimeter merkuri (mm Hg). Tekanan
darah arterial terbagi menjadi sistolik dan diastolik. Tekanan darah sistolik
menggambarkan nilai maksimum yang didapatkan saat jantung berkontraksi,
sementara tekanan darah diastolik diperoleh setelah konraksi, saat rongga jantung
terisi. Mean arterial pressure (MAP) merupakan rata-rata tekanan selama siklus
kontraksi jantung. Sebanyak dua per tiga dari waktu siklus jantung berada pada
periode diastol dan satu per tiga pada periode sistol. Tekanan darah arterial secara
haemodinamik diatur oleh aliran darah dan resistensi terhadap aliran darah. Secara
matematik tekanan darah didefinisikan sebagai produk dari cardiac ouput (CO)
dan total resistensi perifer. CO merupakan faktor penting yang mempengaruhi
tekanan darah sistolik, sementara total resistensi perifer umumnya lebih banyak
mempengaruhi tekanan darah diastolik (Dipiro,et al., 2020).
Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan total peripheral resistance.
Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang tidak
terkompensasi maka dapat menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh memiliki
sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang
disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan stabilitas tekanan darah
dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah sangat kompleks.
Pengendalian dimulai dari sistem reaksi cepat seperti reflex kardiovaskuler
melalui sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat
yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos. Sedangkan sistem
pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler
dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon angiotensin dan vasopresin.
Kemudian dilanjutkan sistem poten dan berlangsung dalam jangka panjang yang
dipertahankan oleh sistem pengaturan jumlah cairan tubuh yang melibatkan
berbagai organ.
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang
peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung
angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin
(diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang
terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II
inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua
aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik
(ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan
bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang
pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi
sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid
yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan
ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara
mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan
kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada
gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
Manifestasi klinis yang dapat muncul akibat hipertensi menurut Elizabeth J.
Corwin ialah bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami
hipertensi bertahun-tahun. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa nyeri
kepala saat terjaga yang kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat
peningkatan tekanan darah intrakranium, penglihatan kabur akibat kerusakan
retina, ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan saraf, nokturia
(peningkatan urinasi pada malam hari) karena peningkatan aliran darah ginjal dan
filtrasi glomerolus, edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.
Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan
iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi
atau hemiplegia atau gangguan tajam pada penglihatan. Gejala lain yang sering
ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di
tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang (Nuraini,2015).
II.4.6 Penatalaksanaan Hipertensi
II.4.6.1 Terapi Farmakologi
Evidence-baseed medicine adalah pengobatan yang didasarkan atas bukti
terbaik dalam mengambil keputusan saat memilih obat secara sadar, jelas, dan
bijak terhadap msing-masing pasien. Pasien mungkin saja memerlukan dua atau
lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan.
Penambahan kedua obat dari kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian obat
tunggal dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Terdapat
beberapa obat antihipertensi seperti golongan diuretik, ACEi, penyekat reseptor
angiotensin II (ARB), penyekat beta, antagonis kalsium (CCB), penyekat alfa, dan
reserpin (Depkes RI, 2006).
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endotel arteri
dan mempercepat aterosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya
organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah. Hipertensi
adalah faktor risiko utama untuk penyakit serebrovaskular seperti stroke.
Berdasarkan Join National Committee (JNC) 8, rekomendasi pemberian obat
antihipertensi pada penderita yang memiliki riwayat stroke yaitu golongan ACEi
atau ARB (Dennison-himmelfarb C., et al., 2014). Penatalaksanaan pemberian
obat antihipertensi terhadap pencegahan sukender stroke dapat dilihat pada
Gambar 3

Gambar 3. ISH 2020 Optimal Recommendations (evidence-based standards of


care) (Sumber : Unger, T., et al. Clinical Practice Guidelines: 2020
International Society of Hypertension Global Hypertension Practice
Guidelines. American Heart Association Inc. 2020; 75:1334-1357).

BAB III
STUDI KASUS
III.1 Profil Pasien
Nama pasien : Ny. A
Umur : 61 tahun
Berat badan : 43 kg
Tinggi badan : 152 cm
Jenis kelamin : Perempuan
No. RM : SHMK.00-xxxxx
Rawat inap : 5007-BED 5-DECAPOLIS
Tanggal masuk RS : 23 April 2022
Tanggal keluar RS : 28 April 2022
III.2 Profil Penyakit
Keluhan utama : Nyeri perut terutama ulu hati sejak 6 bulan terakhit
dan memberat ± 1 hari sebelum masuk RS, mual
muntah, demam, nyeri kepala, lemas
Riwayat penyakit : DM, Hipertensi, Batu empedu
Diagnosis : Kolik bilier ed causa batu CBD, Kolelitiasis
Riwayat pengobatan : Glimepirid, Candesartan, Atorvastatin, Amlodipin
riwayat Alergi : Tidak ada
III.3 Data Klinik Pasien Selama Perawatan
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinik pada pasien Ny. A, maka diperoleh
data klinik pasien sebagai berikut:
Tabel 6. Data Hasil Pemeriksaan Klinik Pasien
Hari Pemeriksaan dan Hasil Pemeriksaan
No Pemeriksaan Nilai Normal
23/4 24/4 25/4 26/4 27/4 28/4

Tekanan darah
1 120/80 mmHg 151/79 140/80 83/55 120/70 110/80 120/70
(mm Hg)
Nadi
2
(kali per menit)
60-100x/menit 96 89 110 100 89 81
3 Suhu badan (°C) 36 -37.5 37.5 36.5 36 36.2 35.5 36
Respirasi
4
(kali per menit)
12-20x/menit 20 20 22 17 20 20
5 Demam + ↓ - - - -
6 Mual + + - - + -
7 Muntah + + - - - -
8 Nyeri + + ↓ ↓ ↓ ↓
9 Lemas + + + ↓ - -
10 Sesak - - - - - -
11 Nyeri + + + ↓ ↓ ↓
Keterangan :
+ : Dialami pasien
- : Tidak dialami pasien
↓ : Menurun
Merah : Diatas nilai normal
III.4 Data Pemeriksaan Laboratorium
Berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratorium pada pasien Ny. A, maka
diperoleh data Laboratorium pasien sebagai berikut:
Tabel 7. DataPemeriksaan Kimia Darah Pasien
Test Unit Rujukan Hasil
23/4 24/4 25/4 26/4 27/4 28/4
Hematologi
Hemoglobin g/dL 12.0 - 16.0 12.0 - 11,9 - - -
Jumlah Leukosit 103/µL 4.0 – 10.0 17.5 - 42.1 - - -
Basofil % 0–1 0.2 - 0.4 - - -
Eosinofil % 0–4 0.0 - 0.2 - - -
Neutrofil % 50 – 70 94.1 - 93.0 - - -
Limfosit % 20 – 40 2.7 - 4.1 - - -
Monosit % 2–8 3.0 - 2.3 - - -
Hematokrit % 34.0 - 45.0 35.6 - 33.6 - - -
Jumlah Eritrosit 106/µL 4.20 - 5.40 4.33 - 4.12 - - -
MCV fL 80.0 - 95.0 82.2 - 81.6 - - -
MCH Pg 25.6 - 32.2 27.7 - 28.9 - - -
MCHC g/L 32.2 - 35.5 33.7 - 35.4 - - -
Jumlah 150 - 400 342 - 110 -
103/µL
Trombosit
Kimia Darah
HbA1c % 4.8 - 5.9 - 7.8 - - - -
Bilirubin Total mg/dL < 1.1 1.87 - - 0.93 - -
Bilirubin Direk mg/dL < 0.3 1.78 - - 0.81 - -
Bilirubin mg/dL 0.0 - 0.70 0.09 - - 0.12 - -
Indirek
SGPT U/L < 34 237 - - - - -
SGOT U/L < 27 458 - - - - -
Glukosa mg/dL < 140 226 - - - - -
sewaktu
Ureum Darah mg/Dl 16 – 48 17 - - - - -
Kreatinin Darah mg/Dl 0.51 – 0.95 0.81 - 1.46 - - -
Kalium Darah mmol/L 3.5 – 5.1 3.0 - 2.9 - - -
Natrium Darah mmol/L 136 – 145 140 - - - - -
Koagulasi
Masa Menit 1.0 – 3.0 - 2.0 - - - -
Perdarahan
Masa Menit 8.0 – 15.0 - 12.0 - - - -
Pembekuan
keterangan :
Merah : di atas nilai normal
Biru : di bawah nilai normal
- : tidak dilakukan pemeriksaan
III.5 Data Pemeriksaan Penunjang
III.5.1 Hasil CT scan abdomen dan pelvis tanpa kontras (CT Whole ABD
Non-CNTRS)
Pemeriksaan CT Whole ABD Non-CNTRS dilakukan pada tanggal 23 April
2022 dengan hasil:Sistem bilier intrahepatik dan ekstrahepatik dilatasi lanjut
sampai ke batu distal CBD. Tampak batu distal CBD multiple ukuran
subcentimeter yang kesan impacted.
III.6 Profil Pengobatan
Berdasarkan terapi pengobatan yang diterima pasien Ny. A, maka diperoleh
profil pengobatan pasien pada tanggal 24 – 28 April 2022. Adapun profil
pengobatan yang diterima Ny.A dapat dilihat pada tabel 8.

No. Nama obat Kekuatan Dosis Rute Tanggal


sediaan pemberian/ 1 2 3 4 5
Aturan pakai 24/4 25/5 26/4 27/4 28/4
Jam Jam Jam Jam Jam
1. Vitamin K 10 mg/mL 10 mg IV/12 jam 08.00 08.00 08.00 08.00 08.00

2. Ceftriaxon 1 1g IV/8 jam 08.00 08.00 - - -


14.00 14.00
20.00 20.00
2. Ketorolak 30 mg/mL 30 mg IV/8 jam 08.00 08.00 08.00 08.00 08.00
14.00 14.00 14.00 14.00
20.00 20.00 20.00 20.00
4. Omeprazole 20 mg 20 mg PO/12jam 08.00 08.00 08.00 08.00 -
14.00 14.00 14.00 14.00
5. Paracetamol 1g 1g PO/8 jam 08.00 08.00 08.00 08.00 08.00
14.00 14.00 14.00 14.00
20.00 20.00 20.00 20.00
6. Amlodipin 10 mg 10 mg PO/24 jam 20.00 - - - -
7. Apidra 4 unit 12.00 08.00 - - -
20.00 - - - -
8. Lantus 6 unit 08.00 -- -
9. Domperidon 10 mg 10 mg PO/8 jam 12.00 08.00 08.00 08.00 08.00
08.00 14.00 14.00 14.00
20.00 20.00 20.00
10. KSR 600 mg 600 mg PO/8 jam - - 08.00 08.00 08.00
14.00 14.00
20.00 20.00

Tabel 8. Profil Pengobatan Pasien

11. Levofloxacin 500 mg 500 mg PO/12 jam - - 12.00


08.00
12. Ceftriaxone 1g 1g IV/12 jam - - -
13. NaCl 0,9% 1000 mL IV/24 jam 09.00
14. RL 500 mL 500 mL IV/12 jam 02.00
14.00
15. Levofloxacin 500 mg 500 mg PO/12 jam
16 Dexametason 0,5 mg 0,5 mg PO/8 jam
17. Asam Mefenamat 500 mg 500 mg PO/8 jam OBAT PULAN
18. Lansoprazole 30 mg 30 mg PO/12 jam
19 Cefixime 200 mg 200 mg PO/12 jam
III.7 Analisis Rasionalitas
Berdasarkan hasil analisis pengobatan pasien Ny. A, maka diperoleh data
analisis rasionalitas pengobatan pasien dari tanggal 24 – 28 April 2022. Adapun
data analisis rasionalitas pengobatan dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9. Data Analisis Rasionalitas Pengobatan Pasien Selama Dirawat di rumah sakit
Rasionalitas
No Nama Obat Aturan Cara
Indikasi Obat Dosis Pasien
Pakai Pemberian
Vitamin K
1 R R R R R R
10 mg/12 jam/IV
Ceftriaxone
2 R R IR R R R
1 g/12 jam/IV
Ketorolak
3 R R R R R R
30 mg/8 jam/IV
Omeprazole
4 R R R R R R
20 mg/12 jam/ PO
Paracetamol
5 R R R R R R
1 g/8 jam/PO
Amlodipin
6 R R R R R R
10 mg/24 jam/ PO
Apidra
7 R R R R R R
4 unit/IV
Lantus
8 R R R R R R
6 unit/IV
Domperidon
9 R R R R R R
10 mg/8 jam/ PO
KSR R R R R R
10 R
600 mg/8 jam/ PO
Levofloxacin
11 R R R R R R
500 mg/12 jam/ PO
NaCl 0,9%
12 R R R R R R
1000 mL/24 jam/IV
RL IR IR R R IR R
13
500mL/12 jam/IV
Dexametason
14 R R R R R R
0.5 mg/8 jam/PO
Asam Mefenamat
15 R R R R R R
500 mg/8 jam/PO
Lansoprazole
16 R R R R R R
30 mg/12 jam/PO
Cefixime
17 R R R R R R
200 mg/12 jam/PO

Keterangan: R, Rasional;IR, Irrasional


III.8 Analisis Subjective, Objective, Assesment dan Plan (SOAP)
Berdasarkan analisis pengobatan pasien Ny. A, maka diperoleh data SOAP pasien dari tanggal 24 – 28 April 2021. Adapun
hasil analisis SOAP pasien dapat dilihat pada tabel 10.
Kondisi Klinis Assesment -Drug Related Problem
Tanggal Plan
Subjek Objek (DRP)
Tgl 24/04/22 Nyeri perut, TD : 140/80  Pemberian RL inkompatibel dengan  disarankan untuk menghentikan
mual, lemas, N : 89x/menit ceftriaxone sehingga perlu terapi infus RL dan tetap dilanjutkan
RR : 20x/menit diperhatikan pemberian bersama dengan infus NaCl 0,9%
demam naik
Suhu : 36.5 0C dengan ceftriaxone
turun HbA1c : 7.8%  Disarankan peningkatan dosis
Kalium darah : 3.0 mmol/L  Ceftriaxone (1g/12 jam/IV) Ceftriaxone menjadi :
Efek terapi obat tidak optimal Ceftriaxone 2g/12 jam. Injeksi
Dosis terlalu rendah Ceftriaxone 1-2 g setiap 12-24 jam di
indikasikan untuk kolesistitis dan
kolengitis (Vinet & Zhedanov, 2021)
III.5 Uraian Obat
III.5.1 Vitamin K Injeksi (Gray et al., 2011; Rofifah, 2020)
Indikasi : Di indikasikan untuk pengobatan pendarahan yang
terkait dengan penurunan kadar darah protrombin
selain itu bisa digunakan untuk membalikkan
peningkatan INR dan pendarahan yang disebabkan
terapi fenindion dan warfarin
Sediaan/komposisi : Vitamin K adalah sediaan larutan steril yang di kemas
dalam ampul berisi 0,2 mL atau 1 mL, dengan
konsentrasi 10 mg/mL
Dosis dan aturan : Diberikan 10 mg secara IV
pakai
Farmakokinetik : Senyawa vitamin K larut lemak fitomenadion dan
menadion, membutuhkan adanya empedu untuk
absorpsi nya dalam saluran pencernaan. Turunan yang
larut air, dapat terabsorpsi tanpa adanya empedu.
Vitamin K terakumulasi terutama dalam hati, tapi
tersimpan dalam tubuh dalam jangka yang pendek.
Vitamin K tidak muncul untuk melewati plasenta
dengan segera dan distribusi nya bervariasi kedalam
ASI. Fitomenadion termetabolisme dengan cepat
menjadi metabolit polar dan terekresi dalam empedu
dan urin dalam bentuk glukuronid dan sulfat.
Efek samping : Pemberian fitomenadion secara IV dapat
menyebabkan beberapa reaksi seperti hipersensitivitas
atau anafilaksis, gejala nya meliputi; muka merah,
berkeringat, nyeri dada, dyspnea, kolaps
kardiovaskular dan sianosis.
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap injeksi vitamin K.
Interaksi obat : Vitamin K menurunkan efek antikoagulan oral seperti
aspirin (asam asetilsalisilat) dan digunakan untuk
menetralkan kelebihan dari obat ini. Vitamin K dapat
menurunkan respon untuk terapi lanjutan
antikoagulan untuk satu minggu atau lebih
III.5.2 Ceftriaxone Injeksi (Snoke, 2012; Vinet & Zhedanov, 2021)
Indikasi : Pengobatan infeksi saluran pernapasan bawah, otitis
media bakteri akut, infeksi kulit dan struktur kulit,
infeksi tulang dan sendi, infeksi intra-abdominal dan
saluran kemih, penyakit radang panggul, gonore tanpa
komplikasi, septikemia bakteri, dan meningitis;
digunakan dalam profilaksis bedah.
Sediaan/komposisi : Vitamin K adalah sediaan larutan steril yang di kemas
dalam ampul berisi 0,2 mL atau 1 mL, dengan
konsentrasi 10 mg/mL
Dosis dan aturan : Kolesistitis, ringan sampai sedang: 1-2g setiap 12-24
pakai jam selama 4-7 hari (asalkan sumber terkontrol).
Infeksi intra-abdomen, rumit, community-acquired,
ringan sampai sedang (dalam kombinasi dengan
metronidazol): 1-2 g setiap 12-24 jam selama 4-7 hari
(dengan sumber yang terkontrol)

Mekanisme kerja : Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan


mengikat satu atau lebih protein pengikat penisilin
(PBPs) yang pada gilirannya menghambat langkah
transpeptidasi akhir sintesis peptidoglikan di dinding
sel bakteri, sehingga menghambat biosintesis dinding
sel. Bakteri akhirnya lisis karena aktivitas
berkelanjutan dari enzim autolitik dinding sel
(autolisin dan murein hidrolase) sementara perakitan
dinding sel terhenti.
Farmakokinetik : Penyerapan: IM: Diserap dengan baik
Distribusi: V d: 6-14 L ; luas di seluruh tubuh
termasuk kantong empedu, paru-paru, tulang,
empedu, CSF (konsentrasi lebih tinggi dicapai ketika
meninges meradang)
Pengikatan protein: 85% hingga 95%
Eliminasi waktu paruh: Fungsi ginjal dan hati normal:
5-9 jam; Gangguan ginjal (ringan hingga berat): 12-
16 jam
Waktu puncak, serum : IM: 2-3 jam
Ekskresi: Urine (33% sampai 67% sebagai obat yang
tidak berubah); kotoran (sebagai obat tidak aktif).
Efek samping : Lokal: Indurasi (IM 5% hingga 17%), kehangatan
(IM),sesak (IM). Dermatologis: Ruam (2%)
Gastrointestinal: Diare (3%) Hematologi: Eosinofilia
(6%), trombositosis (5%), leukopenia (2%) Hati:
Transaminase meningkat (3%)
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap ceftriaxone sodium, setiap
komponen formulasi, atau sefalosporin lainnya;
jangan gunakan pada neonatushiperbilirubinemia,
terutama mereka yang lahir prematur karena
ceftriaxone dilaporkan menggantikan bilirubin dari
tempat pengikatan albumin; penggunaan bersamaan
dengan larutan/produk yang mengandung kalsium
intravena pada neonatus (528 hari), infus ringer laktat
Interaksi obat : Ceftriaxone dapat meningkatkan kadar/efek dari:
Aminoglikosida; Antagonis Vitamin K. Tingkat/efek
Ceftriaxone dapat ditingkatkan dengan: Garam
Kalsium (Intravena); Probenesid; Injeksi Ringer
Laktat
Perhatian dan : Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat
peringatan alergi penisilin, terutama reaksi yang diperantarai Ig
E (misalnya, anafilaksis, urtikaria). Sonogram
kandung empedu yang abnormal telah
dilaporkan,kemungkinan karena endapan cetriakson-
kalsium; hentikan pada pasien yang mengembangkan
tanda dan gejala penyakit kandung empedu. Sekunder
untuk obstruksi bilier, pankreatitis jarang dilaporkan.
Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat
penyakit GI, terutama kolitis. Kasus berat (termasuk
beberapa kematian) anemia hemolitik terkait imun
telah dilaporkan pada pasien yang menerima
sefalosporin, termasuk seftriakson. Penggunaan
jangka panjang dapat menyebabkan superinfeksi
jamur atau bakteri, termasuk C. difficile-
associateddiare (CDAD) dan kolitis pseudomembran;
CDAD telah diamati >2 bulan setelah pengobatan
antibiotik

III.5.3 Ketorolak (Gray et al., 2011; Katzung, 2018)


Indikasi : Ketorolak digunakan untuk pengobatan jangka
pendek nyeri sedang hingga berat pada orang dewasa.
Biasanya digunakan sebelum atau sesudah prosedur
medis atau setelah operasi. Mengurangi rasa sakit
membantu Anda pulih dengan lebih nyaman sehingga
Anda dapat kembali ke aktivitas normal sehari-hari.
Obat ini adalah obat anti inflamasi nonsteroid
(OAINS). Ia bekerja dengan menghalangi produksi
tubuh Anda dari zat alami tertentu yang menyebabkan
peradangan. Efek ini membantu mengurangi
pembengkakan, nyeri, atau demam. Ketorolak tidak
boleh digunakan untuk kondisi nyeri ringan atau
jangka panjang (seperti radang sendi).
Sediaan/komposisi : Vitamin K adalah sediaan larutan steril yang di kemas
dalam ampul berisi 0,2 mL atau 1 mL, dengan
konsentrasi 10 mg/mL
Dosis dan aturan : Dosis awal, 10 mg, kemudian 10-30 mg setiap 4-6
pakai jam apabila diperlukan. Dosis maksimum 90 mg
sehari (Pasien lansia, gangguan fungsi ginjal dan
berat badan kurang dari 50 kg dosis maksimum 50
kg)
Mekanisme kerja : Ketorolak adalah turunan asam propionat yang
menghambat baik COX (nonselektif) dan
lipoxygenase.
Farmakokinetik : Ketorolak diserap dengan baik, dan makanan tidak
secara substansial mengubah bioavailabilitasnya.
Dimetabolisme melalui fase I diikuti oleh mekanisme
fase II dan lainnya melalui glukuronidasi langsung
(fase II) saja. Metabolisme berlangsung pada enzim
P450 CYP3A atau CYP2C di hati. Sementara
ekskresi ginjal adalah rute yang paling penting untuk
eliminasi akhir. Sebagian besar OAINS sangat terikat
protein (~ 98%), biasanya dengan albumin. .
Efek samping : Efek samping utamanya adalah pada saluran
gastrointestinal (GI) dan sistem saraf pusat. Memiliki
derajat iritasi saluran GI bagian bawah berkorelasi
dengan jumlah sirkulasi enterohepatik

Kontraindikasi : Anak usia di bawah 16 tahun; gangguan fungsi ginjal


sedang sampai berat (kreatinin serum < 160µmol/L).
Interaksi obat : Ketorolak (Sistemik) dapat meningkatkan kadar/efek:
Aliskiren; Aminoglikosida; Antikoagulan; Agen
Antiplatelet; Aspirin/; Derivatif Bifosfonat;
Kolagenase (Sistemik); Cysiosporin ; Cyciosporine
(Sistemik); Deferasirox; Desmopresin; Digoksin;
Drotrecogin Alfa (Diaktifkan); Eplerenon;
Haloperidol; Ibritumomab; Litium; Metotreksat;
Agen Penghambat Neuromuskular (Nondepolarisasi);
Agen Anti-Inflamasi Nonsteroid; Pemetrex;
Pentoxifylline; Diuretik Hemat Kalium; Pralatreksat;
Antibiotik Kuinolon; Rivaroxaban; Salisilat; Agen
Trombolitik; Tositumomab Dan Yodium I 131
Tositumomab; Vankomisin; Antagonis Vitamin K.
Perhatian dan : Hindari penggunaan Ketorolak (Sistemik) bersamaan
peringatan dengan salah satu dari berikut ini: Aspirin;
Floktafenin; OAINS; Pentoxifylline; Probenesid.

III.5.4 Omeprazole (TMMN, 2019)


Indikasi : Tukak lambung, tukak duodenum, GERD,
hipersekresi patologis (sindroma Zollinger
Ellison).
Sediaan/komposisi : Satu kapsul mengandung omeprazole 20 mg
Dosis dan aturan pakai : - Tukak lambung dan duodenum: Dosis awal 1x20
mg/ hari selama 4-8 minggu, dapat ditingkatkan
menjadi 40 mg/ hari pada kasus berat atau
kambuh. Dosis pemeliharaan 1x20 mg/ hari.
- Eradikasi H. Pylori: dosis 2x1 kapsul sehari
(umumnya dikombinasi dengan beberapa obat
lain selama 7-14 hari).
- Refluks gastroesofageal: dosis 1x20 mg sehari
selama 4-8 minggu.
- Sindroma Zollinger Ellison: dosis 1x60 mg
sehari.
Mekanisme kerja : Omeprazole merupakan obat golongan Proton
Pump Inhibitor (PPI). PPI dapat menghambat asam
lambung dengan menghambat kerja enzim (K+H+
ATPase) yang akan memecah K+H+ ATP
menghasilkan energi yang digunakan untuk
mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel parietal
ke dalam lumen lambung.
Efek samping : Urtikaria, mual dan muntah, konstipasi, kembung,
nyeri abdomen, lesu, paraestesia, nyeri otot dan
sendi, pandangan kabur, edema perifer, perubahan
hematologik (termasuk eosinophilia,
trombositopenia, leukopenia), perubahan enzim
hati dan gangguan fungsi hati, depresi, mulut
kering.
Kontraindikasi : Pasien yang hipersensitif terhadap omeprazole.
Interaksi obat : Menghambat absorpsi ketoconazole dan
itraconazole. Meningkatkan kadar warfarin,
diazepam, siklosporin dan phenytoin. Menurunkan
kadar imipramine, beberapa antipsikotik, teofilin.
Perhatian dan : Pasien dengan penyakit hati, kehamilan, menyusui.
peringatan Singkirkan kemungkinan kanker lambung sebelum
pemberian omeprazole.
III.5.5 Paracetamol (TMMN, 2019; Farmakope, 1979)
Indikasi : Nyeri ringan sampai sedang, demam
Sediaan/ komposisi : Satu tablet mengandung paracetamol 500 mg

Satu vial 100 mL mengandung paracetamol 10 mg/


mL
Satu botol sirup 60 mL mengandung paracetamol
120 mg/ 5 mL
Dosis dan aturan pakai : Dosis lazim
- Dewasa: 500 mg per kali atau 500 mg-2 g per
hari, diberikan tiap 4-6 jam. Maksimum 4 g per
hari.
- Anak <12 tahun: 10 mg/ kgBB/ kali (bila ikterik:
5 mg/ kgBB/ kali), doiberikan tiap 4-6 jam.
Maksimum 4 dosis sehari.
Dapat diberikan dengan atau tanpa makanan.
Mekanisme kerja : Paracetamol bekerja pada pusat pengatur suhu di
hipotalamus untuk menurunkan suhu tubuh
(antipiretik); paracetamol bekerja menghambat
sintesis prostaglandin sehingga dapat mengurangi
nyeri ringan hingga sedang.
Efek samping : Reaksi alergi, ruam kulit berupa eritema atau
urtikaria, kelainan darah, hipotensi, kerusakan hati.
Kontraindikasi : Hipersensitif, gangguan hati
Interaksi obat : - Kolestiramin menurunkan absorpsi
paracetamol;
- Metoclopramide dan domperidone
meningkatkan efek paracetamol;
- Paracetamol meningkatkan kadar warfarin
Perhatian dan : Gangguan fungsi hati, ginjal, dan ketergantungan
peringatan alkohol.
III.5.6 Amlodipine (TMMN, 2019; MIMS, 2022)
Indikasi : Hipertensi, profilkasis angina
Sediaan/ komposisi : Satu tablet mengandung amlodipine besylate 10
mg
Dosis dan aturan pakai : - Hipertensi: dosis awal 1x5 mg/ hari; dosis
maksimal 10 mg/ hari.
- Terapi pada infark miokard akut: dosis 5-10 mg/
hari.
Dapat diberikan dengan atau tanpa makanan.
Mekanisme kerja : Amlodipin bekerja dengan memblokade kanal
kalsium pada membrane sehingga menghambat
kalsium ke dalam sel, dan menyebabkan
vasodilatasi, memperlambat laju jantung, dan
menurunkan kontraktilitas miokard sehingga
menurunkan tekanan darah.
Efek samping : Edema pretibial, gangguan tidur, sakit kepala,
letih, hipotensi, tremor, aritmia, takikardi, mual,
nyeri perut, ruam kulit, wajah memerah.
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap calcium channel blockers
dihidropiridin, syok kardiogenik, angina pectoris
tidak stabil, stenosis aorta yang signifikan.
Interaksi obat : - Meningkatkan konsentrasi plasma sistemik
dengan imunosupresan seperti siklosporin,
tacrolimus;
- Meningkatkan konsentrasi serum dengan
simvastatin;
- Meningkatkan konsentrasi amlodipine dengan
inhibitor enzim CYP3A4 seperti inhibitor
protease, antijamur azole, eritromisin, diltiazem;
- Menurunkan konsentrasi plasma amlodipine
dengan penginduksi enzim CYP3A4 seperti
rifampisin.
Perhatian dan : Gangguan fungsi hati, hamil, laktasi.
peringatan
III.5.7 Apidra® SoloStar® (MIMS, 2022)
Indikasi : Pengobatan orang dewasa, remaja dan anak-anak,
8 tahun atau lebih dengan diabetes mellitus,
dimana pengobatan insulin diperlukan.
Sediaan/komposisi : Tiap 1 mL larutan injeksi mengandung 100 IU
insulin glulisine
Dosis dan aturan pakai : Dosis insulin disesuaikan dengan individu.
Diinjeksikan secara subkutan, 15 menit sebelum
makan.
Mekanisme kerja : Apidra® berperan dalam regulasi metabolisme
glukosa sehingga menurunkan kadar glukosa darah
dengan merangsang pengambilan glukosa perifer,
terutama oleh otot rangka, melalui penghambatan
produksi glukosa hepatik. Insulin tersebut juga
menghambat lipolisis di adiposit, menghambat
proteolisis, dan meningkatkan sintesis protein.
Efek samping : Hipoglikemia, hipersensitivitas lokal di tempat
penyuntikan.
Kontraindikasi : Hipersensitivitas, hipoglikemia
Interaksi obat : - Dapat menyebabkan retensi cairan dan
memperburuk gagal jantung dengan agonis
PPAR, termasuk thiazolidinedione;
- Dapat meningkatkan risiko hipoglikemia dengan
agen antidiabetes lainnya, ACE inhibitor, ARB,
MAO inhibitor, fibrat, fluoksetin, salisilat,
sulfonamide;
- Efek hipoglikemik insulin dapat diturunkan oleh
glucagon, kortikosteroid, diuretik, danazol,
isoniazid, olanzapine, turunan fenotiazine, agen
simpatomimetik (salbutamol, epinephrine,
terbutalin, inhibitor protease, estrogen,
kontrasepsi oral, dan hormon tiroid.
Perhatian dan : Pasien dengan faktor hipoglikemia. Penyakit
peringatan jantung. Faktor risiko gterjadinya gagal jantung,
dan hipokalemia, Gangguan ginjal dan hati. Anak-
anak. Kehamilan dan menyusui.
III.5.8 Lantus® SoloStar® (MIMS, 2022, IAI, 2017)
Indikasi : Pengobatan IDDM pada orang dewasa, remaja, dan
anak-anak usia 6 tahun ke atas.
Sediaan/komposisi : Tiap 1 mL larutan injeksi mengandung 100 IU
insulin glargine
Dosis dan aturan pakai : Dosis insulin disesuaikan dengan individu.
Diinjeksikan secara subkutan, sekali sehari pada
waktu yang sama setiap hari.
Mekanisme kerja : Insulin glargine merupakan analog insulin kerja
panjang, yang merangsang pengambilan glukosa
perifer terutama oleh otot rangka, dan menghambat
produksi glukosa hati sehingga mengurangi kadar
glukosa darah. Ini mencegah lipolisis di adiposity,
menghambat proteolisis, dan meningkatkan
sintesis protein.
Efek samping : Hipoglikemia, gangguan penglihatan sementara,
lipodistrofi dan amiloidosis kulit, reaksi alergi
pada tempat penyuntikan.
Kontraindikasi : Hipersensitivitas
Interaksi obat : - Antidiabetik oral, ACE inhibitor, disopiramid,
fibrat, fluoxetine, MAO inhibitor,
pentoxifylline, propoxyphene, salisilat dan
antibiotik sulfonamid dapat meningkatkan efek
penurunan glukosa dan meningkatkan
kerentanan terhadap hipoglikemia.
- Kortikosteroid, danazol, diazoksida, diuretic,
glucagon, isoniazide, estrogen, progesterone,
turunan fenotiazin, somatropin,
simpatomimetik, hormone tiroid, clozapine
dapat mengurangi efek penutrun glukosa darah.
Perhatian dan : Hati-hati penggunaannya pada pasien dengan
peringatan kondisi yang dapat mengubah kebutuhan insulin.
Tidak diindikasikan untuk pengobatan ketoasidosis
diabetikum. Tidak untuk diberikan melalui
intravena, intramuskular, atau pompa infus insulin.
III.5.9 Domperidone (TMMN, 2019; MIMS, 2022)
Indikasi : Terapi mual muntah (akibat terapi levodopa atau
bromokriptin, kemoterapi atau radioterapi kanker),
dispepsia fungsional
Sediaan/komposisi : Satu tablet mengandung domperidone 10 mg.

Satu botol sirup 60 mL mengandung domperidone


5 mg/ 5 mL.
Dosis dan aturan pakai : - Dispepsia fungsional: dewasa 3x10 mg sehari.
- Mual dan muntah akut (termasuk mual muntah
karena levodopa dan bromokriptin): dewasa 3-
4x10-20 mg sehari.
- Anak, mual dan muntah akibat kemoterapi dan
radioterapi: 0,2 mg/ kgBB, diberikan setiap 8
jam.
Harus diberikan dengan perut kosong (diberikan
15-30 menit sebelum makan.
Mekanisme kerja : Domperidone bekerja pada chemoreseptor trigger
zone. Domperidone meningkatkan peristaltic
esofagus, tekanan pada sfingter esofagus bagian
bawah, motilitas dan peristaltik lambung, dan
meningkatkan koordinasi gastroduodenal, sehingga
memfasilitasi pengosongan lambung dan
mengurangi waktu transit usus halus.
Efek samping : Kadar prolaktin naik (kemungkinan galaktorea dan
ginekomasti), penurunan libido, ruam dan reaksi
alergi lain, reaksi distonia akut.
Kontraindikasi : Jika stimulasi terhadap motilitas lambung dianggap
membahayakan, tumor hipofisis, prolaktinoma.
Interaksi obat : - Pemberian obat antikolinergik seperti
dekstrometorfan, difenhidrinate, secara
bersamaan mengantagonisasi efek domperidone;
- Obat antasida dan obat antisekresi jika diberikan
bersamaan dapat menurunkan bioavailabilitas
domperidone.
Perhatian dan : Gangguan ginjal, hamil dan menyusui. Tidak
peringatan dianjurkan untuk profilaksis rutin pada muntah
pasca bedah atau untuk pemberian kronik. Bayi <1
tahun.
III.5.10 KSR® (MIMS, 2022; IAI, 2017)
Indikasi : Pengobatan dan pencegahan hipokalemia.
Sediaan/komposisi : Satu tablet salut selaput SR mengandung potasium
klorida 600 mg.
Dosis dan aturan pakai : 1-2 tablet, 2-3 kali sehari dengan sedikit air dan
sebaiknya saat makan.
Mekanisme kerja : Potasium klorida adalah kation utama cairan
intraseluler. Hal ini penting dalam proses fisiologis,
termasuk konduksi impuls saraf di jantung, otak,
dan otot rangka; kontraksi otot jantung, otot rangka,
dan otot polos; berperan dalam pemeliharaan fungsi
ginjal normal, metabolisme karbohidrat,
keseimbangan asam-basa, dan sekresi lambung.
Melalui pelepasan lambat dan berkelanjutan selama
periode 6 jam, menghalangi konsentrasi tinggi
potassium klorida terhadap area dinding usus yang
dapat mengiritasi atau merusak mukosa. Pelepasan
berkelanjutan memberikan kondisi toleransi
lambung maksimum sehingga penyerapannya
efektif untuk pengobatan hipokalemia.
Efek samping : Mual, muntah, sakit perut, diare.
Kontraindikasi : Gagal ginjal akut, hiperkalemia, penyakit Addison
yang tidak diobati, dehidrasi akut, gangguan saluran
cerna.
Interaksi obat : KSR® dapat meningkatkan risiko hiperkalemia jika
dikonsumsi bersamaan dengan ACE inhibitor,
siklosporin, diuretik hemat kalium misalnya
spirinolakton, triamteren atau amiloride.
Perhatian dan : Pasien dengan gagal ginjal harus mendapatkan
peringatan perhatian khusus, oleh karena risiko hiperkalemia;
Jika pasien menjalani pengobatan dengan KSR®
mengalami muntah parah, sakit perut parah, atau
perut kembung, ataupun perdarahan gastrointestinal,
maka penggunaan harus dihentikan.
III.5.11 Levofloxacin (TMMN, 2019; MIMS, 2022)
Indikasi : Infeksi sinusitis maksilaris akut, eksaserbasi bakterial
akut pada bronkitis kronik, community acquired
pneumonia (CAP), infeksi kulit dan struktur kulit tak
terkomplikasi, dan pielonefritis akut karena
mikroorganisme yang sensitif
Sediaan/komposisi : Satu tablet mengandung levofloxacin 500 mg
Dosis dan aturan : Dewasa
pakai - Dosis lazim: 250-500 mg/hari. Diberikan 1 kali
sehari secara oral atau intravena.
- Sinusitis maksilaris akut: 500 mg/ hari selama 10-
14 hari (per oral).
- Eksaserbasi akut dari bronkitis kronik: 500 mg/
hari selama 7 hari.
- CAP: 500 mg/hari selama 7-14 hari (per oral).
- Infeksi saluran kemih terkomplikasi: 250 mg/ hari
selama 10 hari (selama 3 hari untuk ISK tanpa
komplikasi).
- Infeksi kulit dan struktur kulit tak terkomplikasi:
500 mg/ hari selama 7-10 hari.
Mekanisme kerja : Levofloxacin menghambat topoisomerase IV dan
DNA-girase, enzim yang diperlukan untuk replikasi
DNA, transkripsi, perbaikan, rekombinasi dan
transposisi, sehingga menghambat relaksasi superkoil
DNA dan mempromosikan kerusakan untai DNA
bakteri.
Efek samping : Diare, mual, vaginitis, flatulens, pruritus, ruam, nyeri
abdomen, genital moniliasis, pusing, dispepsia,
insomnia, gangguan pengecapan, muntah, anoreksia,
ansietas, konstipasi, edema bebas, lelah, sakit kepala,
palpitasi, parestesia, sindrom Stevens-Johnson.
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap levofloxacin dan golongan
quinolone, epilepsi, riwayat gangguan tendon terkait
pemberian fluoroquinolone, anak atau remaja,
kehamilan, menyusui.
Interaksi obat : - Penurunan penyerapan dengan garam Fe,
multivitamin yang mengandung Zn, antasida yang
mengandung Mg atau Al, didanosin;
- Penurunan bioavailabilitas dengan sukralfat;
- Peningkatan risiko stimulasi sistem saraf pusat
dan kejang dengan obat-obatan yang dapat
mempengaruhi ambang kejang (misalnya, teofilin,
AINS);
- Penurunan klirens ginjal dengan simetidin dan
probenesid karena penyumbatan sekresi
levofloxacin dari tubulus ginjal;
- Dapat meningkatkan waktu paruh siklosporin;
- Peningkatan INR dan/ atau perdarahan dengan
antagonis vitamin K (misalnya warfarin);
- Peningkatan risiko gangguan tendon parah dengan
kortikosteroid;
- Peningkatan risiko perpanjangan interval QT
dengan antiaritmia kelas IA dan III, TCA,
makrolida dan agen antipsikotik;
- Dapat menyebabkan perubahan kadar glukosa
darah dengan obat antidiabetik (misalnya insulin,
glibenklamid).
Perhatian dan : Gangguan ginjal, gangguan sistem saraf pusat yang
peringatan dapat menimbulkan kejang atau memiliki ambang
kejang rendah, diabetes melitus, hindari paparan
belebihan terhadap sinar matahari.
III.5.12 Natrium Klorida (NaCl) 0,9% (IAI, 2017; Tonog & Lakhkar, 2022)
Indikasi : Mengganti cairan plasma isotonik yang hilang,
penggantian cairan pada kondisi asidosis,
hipokalemia.
Sediaan/komposisi : Satu botol infus NaCl berisi larutan sebanyak 500 mL,
dengan komposisi:
- Natrium klorida 4,5 g;
- Air untuk injeksi ad. 500 mL.
Dosis dan aturan : Dosis disesuaikan dengan kondisi penderita
pakai
Mekanisme kerja : Ion natrium merupakan elektrolit utama cairan
ekstraseluler. Selain itu ion klorida berfungsi sebagai
zat penyangga di dalam paru-paru dan jaringan. Dalam
hal ini klorida membantu memfasilitasi pengikatan
antara oksigen dan karbon dioksida ke hemoglobin.
Ion natrium dan klorida bekerja dibawah regulasi
ginjal, yang mengontrol homeostasis dengan absorpsi
atau ekskresi dalam tubulus. Distribusi air utamanya
tergantung pada konsentrasi elektrolit tersebut dalam
berbagai kompartemen. Natrium berperan penting
dalam mempertahankan konsentrasi homeostatik dan
distribusi air.
Efek samping : Panas, iritasi atau infeksi pada tempat penyuntikan,
trombosis vena atau flebitis yang meluas dari tempat
penyuntikan.
Kontraindikasi : Jika pemberian infus Natrium klorida dapat
mengakibatkan gangguan konsentrasi elektrolit serum,
over hidrasi, keadaan kongesti, atau edema paru, maka
penggunaannya sangat tidak dianjurkan.
Interaksi obat : Dapat mempengaruhi konsentrasi lithium serum.
Perhatian dan : Gagal jantung kongestif, gangguan fungsi ginjal,
peringatan hipoproteinemia, udem perifer, toksemia gravidarum.
Lakukan tes serum ionogram, keseimbangan asam
basa dan cairan pada terapi jangka panjang.
III.5.13 Ringer Laktat (RL) (IAI, 2017; Christensen et al., 2021; Singh, et al.,
2022)
Indikasi : Mengembalikan keseimbangan elektrolit pada
dehidrasi
Sediaan/komposisi : Satu botol infus RL berisi larutan sebanyak 500 mL,
dengan komposisi:
- Natrium klorida 3 g;
- Natrium laktat 1,55 g;
- Kalium klorida 0,15 g;
- Kalsium klorida dihidrat 0,1 g;
- Air untuk injeksi ad. 500 mL
Dosis dan aturan : Infus intravena dosis sesuai dengan kondisi penderita
pakai
Mekanisme kerja : Laktat akan bertindak sebagai sistem buffer untuk
menjaga keseimbangan rasio NADH/NAD+ dengan
mengambil proton (H+) dan membentuk asam laktat
yang selanjutnya akan dimetabolisme menjadi piruvat
dengan bantuan enzim laktat dehidrogenase (LDH)
dan melalui respirasi sel akan membentuk ATP, air
(H2O), dan karbon dioksida (CO2) sebagai produk
akhir.
Efek samping : Panas, infeksi pada tempat penyuntikan, trombosis
vena atau flebitiss yang meluas dari tempat
penyuntikan, ekstravasasi.
Kontraindikasi : Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati,
asidosis laktat.
Interaksi obat : Larutan yang mengandung fosfat. Dapat
meningkatkan risiko presipitasi yang tidak larut
dengan Seftriakson (terutama pada neonatus 28 hari).
Perhatian dan : Payah jantung, udem dengan retensi natrium, sepsis
peringatan parah, kondisi pra dan paska trauma. Kerusakan hati,
hiperkalemia, kondisi retensi kalium. Pantau kadar
elektrolit serum (misalnya Na+, K+).
III.5.14 Dexamethasone (TMMN, 2019; MIMS, 2022)
Indikasi : Inflamasi dan alergi, syok septik, diagnosis sindroma
Chusing, hipeplasia adrenal kongenital, edema serebral.
Sediaan/komposisi : Satu ampul 1 mL mengandung dexamethasone sodium
phosphate 5 mg/ mL
Satu tablet mengandung dexamethasone 0,5 mg.
Dosis dan aturan : Dosis lazim pada dewasa
pakai - Oral: 0,5-10 mg/ hari, dalam dosis terbagi;
- Injeksi: 0,5-24 mg/ hari dalam dosis terbagi. Dosis
disesuaikan dengan beratnya penyakit.
Anak
Antiinflamasi (oral, i.m., i.v.): 0,08-0,3 mg/ kgBB/
hari, dalam dosis terbagi setiap 6-12 jam.
Harus diberikan dengan makanan.
Mekanisme kerja : Dexamethasone merupakan glukokortikoid yang
sangat kuat dan bekerja lama yang bertindak sebagai
agen antiinflamasi dengan menekan migrasi neutrofil,
menurunkan produksi mediator inflamasi,
mengembalikan peningkatan permeabilitas kapiler,
dan menekan respon imun. Memiliki efek minimal
sebagai penahan Na+ sehingga dapat digunakan untuk
mengobatio kondisi retensi air yang tidak
menguntungkan.
Efek samping : Efek samping dapat timbul akibat penghentian
pemberian obat secara tiba-tiba, atau pemberian obat
secara terus-menerus terutama pada dosis besar.
- Penghentian obat secara tiba-tiba setelah
penggunaan yang lama dapat menyebabkan
insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam,
mialgia, atralgia, dan malaise.
- Komplikasi yang dapat timbul akibat penggunaan
lama adalah gangguan cairan dan elektrolit,
hiperglikemia, glikosuria, mudah mendapat
infeksi, pasien tukak peptic dapat mengalami
perdarahan atau perforasi, osteoporosis, miopati,
psikosis, hiperkoagulabilitas darah, moon face,
buffalo hump, obesitas sentral, akne.
Kontraindikasi : Diabetes melitus, tukak peptik/ duodenum, infeksi
berat, hipertensi, atau gangguan system
kardiovaskular lainnya (namun pemberian dosis
tunggal besar bila diperlukan dapat dibenarkan,
keadaan yang mungkin merupakan kontraindikasi
dengan dexamethasone dapat diabaikan, tertama pada
keadaan yang mengancam jiwa pasien.
Interaksi obat : - Penurunan konsentrasi plasma dengan penginduksi
CYP3A4 seperti barbiturate, karbamazepin, efedrin,
fenitoin, rifabutin, rifampisin;
- Peningkatan konsentrasi plasma dengan inhibitor
CYP3A4 seperti eritromisin, ketoconazole,
ritonavir);
- Dapat meningkatkan efek antikoagulan warfarin;
- Dapat meningkatkan klirens renal dari salisilat;
- Dapat meningkatkan efek hipokalemia dari diuretik
(seperti acetazolamide, loop, tiazid), injeksi
amfoterisin B, kortikosteroid.
- Dapat mengurangi efek dari vaksin virus hidup.
Perhatian dan : - Pantau pertumbuhan (untuk anak-anak), tekanan
peringatan intraokular.
- Hati-hati pengguaannya pada gangguan ginjal dan
hati. Kehamilan dan menyusui. Osteoporosis,
riwayat ganguan kejang, penyakit tiroid, pasien
dengan hipertensi, diabretes melitus, gagal jantung,
infark miokard akut, penyakit ganstrointestinal.
Dapat menyebabkan penglihatan kabur sehingga jika
terpengaruh jangan mengemudi atau
mengoperasikan mesin.
- Hindari penghentian mendadak atau pengurangan
dosis secara cepat.

III.5.15 Asam Mefenamat (Rofifah, 2020; Vinet & Zhedanov, 2021)


Indikasi : Nyeri ringan sampai sedang, artritis reumatoid,
osteoartritis, inflamasi
Sediaan/komposisi : Tablet
Dosis dan aturan : Nyeri dan peradangan pada rheumatoid arthritis dan
pakai osteoarthritis Nyeri pascabedah Nyeri ringan sampai
sedang (Dewasa: 500 mg 3 kali sehari)
Nyeri akut termasuk dismenore Menoragia (Anak 12-
17 tahun: 500 mg 3 kali sehari; Dewasa: 500 mg 3
kali sehari)
Mekanisme kerja : Asam mefenamat mengikat reseptor prostaglandin
sintetase COX-1 dan COX-2, menghambat aksi
sistesis prostaglandin. Karena reseptor ini memiliki
peran sebagai mediator utama peradangan dan/atau
peran pensinyalan prostanoid dalam plastisitas yang
bergantung pada aktivitas, gejala nyeri berkurang
untuk sementara.
Efek samping : Anoreksia, diare, mual, pirosis, gastritis, perut
kembung, sembelit, Ulkus, perdarahan/perforasi berat
saluran gastrointestinal.
Kontraindikasi : Perdarahan gastro-intestinal aktif, ulserasi gastro-
intestinal aktif, setelah Coronary Artery Bypass Graft
(CABG), riwayat perdarahan gastrointestinal terkait
dengan terapi OAINS sebelumnya, riwayat perforasi
gastrointestinal terkait dengan terapi OAINS
sebelumnya, riwayat gastro-intestinal berulang
perdarahan (dua atau lebih episode berbeda), riwayat
ulserasi gastrointestinal berulang (dua atau lebih
episode berbeda), penyakit radang usus, gagal jantung
berat.
Interaksi obat : Asam mefenamat dimetabolisme di hati terutama
melalui isoenzim sitokrom P450 CYP2C9. Akibatnya,
penggunaan dengan obat lain yang menginduksi atau
III.5.16 Lansoprazole (Vinet & Zhedanov, 2021)
Indikasi : Gastroesofageal refluks, ulkus peptikum dan ulkus
karena OAINS
Sediaan/komposisi : Tersedia dalam sediaan kapsul dengan kekuatan
sediaan 30 mg
Dosis dan aturan :  Infeksi H. Pylori:
pakai Dewasa: 30 mg dua kali sehari selama 7 hari
untuk terapi eradikasi lini pertama dan kedua; 10
hari untuk terapi eradikasi lini ketiga
 Ulkus lambung jinak
Dewasa: 30 mg sekali sehari selama 8 minggu,
dosis diminum pagi hari
 Ulkus duodenum
Dewasa: 30 mg sekali sehari selama 4 minggu,
dosis diminum pagi hari; pemeliharaan 15 mg
sekali sehari
 Ulkus duodenum terkait OAINS, tukak lambung
terkait OAINS
Dewasa: 30 mg sekali sehari selama 4 minggu,
dilanjutkan selama 4 minggu berikutnya jika tidak
sepenuhnya sembuh
 Profilaksis tukak duodenum terkait OAINS,
profilaksis tukak lambung terkait OAINS
Dewasa: 15–30 mg sekali sehari
 Sindrom Zollinger-Ellison (dan hipersekresi
lainnya)
Dewasa: Awalnya 60 mg sekali sehari,
disesuaikan dengan respons, dosis harian
Mekanisme kerja : Lansoprazole adalah penghambat pompa proton yang
menekan sekresi asam lambung dengan menghambat
sistem enzim hidrogen/kalium adenosin trifosfatase
(H+/K+ ATPase)
Farmakokinetik : Lansoprazole cepat diserap setelah dosis oral dan
konsentrasi plasma puncak terjadi setelah sekitar 1,5
sampai 2 jam. Bioavailabilitas dilaporkan 80% atau
lebih bahkan dengan dosis pertama, meskipun obat
harus diberikan dalam bentuk salut enteric karena
lansoprazole tidak stabil pada pH asam. Makanan
memperlambat penyerapan lansoprazole dan
mengurangi bioavailabilitas sekitar 50%.
Lansoprazole sekitar 97% terikat pada protein plasma.
Ini dimetabolisme secara ekstensif di hati, terutama
oleh isoenzim sitokrom P450 CYP2CI9 untuk
membentuk 5-hidroksil-lansoprazole dan oleh
CYP3A4 untuk membentuk lansoprazole sulfon.
Metabolit diekskresikan terutama dalam tinja melalui
empedu; hanya sekitar 15 sampai 30% dari dosis
diekskresikan dalam urin. Waktu paruh eliminasi
plasma sekitar 1 sampai 2 jam tetapi durasi kerjanya
lebih lama. Klirens menurun pada pasien usia lanjut,
dan pada gangguan hati.
Efek samping : Efek samping yang paling sering dilaporkan yaitu
sakit kepala, gangguan gastrointestinal, dan ruam.
Efek lain termasuk pruritus, pusing, kelelahan, batuk,
sakit punggung atau perut, artralgia dan mialgia,
urtikaria, dan mulut kering.
Kontraindikasi : Hipersensitvitas terhadap lansoprazole
Interaksi obat : Antasida dan sukralfat dapat mengurangi
bioavailabilitas lansoprazole, dan tidak boleh
dikonsumsi dalam waktu 1 jam setelah dosis
lansoprazole. Lansoprazole dapat memperpanjang
eliminasi diazepam, fenitoin, dan warfarin.
Lansoprazole juga dapat mengurangi penyerapan
obat-obatan seperti dasatinib, ketokonazole, dan
itrakonazole, yang penyerapannya bergantung pada
pH asam lambung.
Perhatian dan : Lansoprazole harus digunakan dengan hati-hati pada
peringatan gangguan hati dan penyesuaian dosis mungkin
diperlukan.

III.5.17 Cefixime (Snoke, 2012; Vinet & Zhedanov, 2021)


Indikasi : Pengobatan infeksi saluran kemih, otitis media,
infeksi pernapasan karena organisme yang rentan
termasuk S. pneumoniae dan S. pyogenes, H.
influenzae, danbanyak Enterobacteriaceae; gonore
serviks/uretra tanpa komplikasi karena N.
gonorrhoeae
Sediaan/komposisi : -
Dosis dan aturan : Infeksi akut karena bakteri Gram-positif dan Gram-
pakai negatif yang sensitif
Oral:
 Anak 6-11 bulan: 75 mg setiap hari
 Anak 1-4 tahun: 100 mg setiap hari
 Anak 5-9 tahun: 200 mg setiap hari
 Anak 10-17 tahun: 200-400 mg setiap hari,
sebagai alternatif 100-200 mg dua kali sehari
 Dewasa: 200-400 mg setiap hari dalam 1-2 dosis
terbagi
Gonore tanpa komplikasi
Oral:
 Dewasa: 400 mg untuk 1 dosis
Mekanisme kerja : Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan
mengikat satu atau lebih protein pengikat penisilin
(PBPs); yang pada gilirannya menghambat langkah
transpeptidasi akhir dari sintesis peptidoglikan di
dinding sel bakteri, sehingga menghambat biosintesis
dinding sel. Bakteri akhirnya lisis karena aktivitas
berkelanjutan dari enzim autolitik dinding sel
(autolisin dan murein hidrolase) sementara perakitan
dinding sel terhenti.
Farmakokinetik : Absorpsi: 40% sampai 50%
Distribusi: Secara luas ke seluruh tubuh dan mencapai
konsentrasi terapeutik di sebagian besar jaringan dan
cairan tubuh, termasuk sinovial, perikardial, pleura,
peritoneum; empedu, dahak, dan urin; tulang,
miokardium, kandung empedu, dan kulit serta
jaringan lunak; Ikatan protein: 65%
Eliminasi waktu paruh: Fungsi ginjal normal: 3-4
jam; Gagal ginjal : Hingga 11,5 jam; Waktu puncak,
serum: 2-6 jam ; tertunda dengan makanan
Ekskresi: Urin (50% dari dosis yang diserap sebagai
obat aktif); feses (10%).
Efek samping : >10%: Gastrointestinal: Diare (16%), 2% sampai
10%: Gastrointestinal : Sakit perut, mual, dispepsia,
perut kembung, mencret, <2% (Terbatas pada yang
penting atau mengancam jiwa): Gagal ginjal akut,
reaksi anafilaksis/anafilaktoid, angioedema, BUN
meningkat, kandidiasis, peningkatan kreatinin,
pusing, demam obat, eosinofilia, eritema multiforme,
edema wajah, demam, sakit kepala, hepatitis,
hiperbilirubinemia, jaundice, leukopenia, neutropenia,
pruritus, kolitis pseudomembran, PT berkepanjangan,
ruam, kejang, reaksi seperti penyakit serum, sindrom
Stevens-Johnson, trombositopenia, nekrolisis
epidermal toksik, peningkatan transaminase, urtikaria,
vaginitis, muntah
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap cefixime, komponen formulasi
apapun, atau sefalosporin lainnya.
Interaksi obat :  Cefixime dapat meningkatkan /kadar/efek dari:
Aminoglikosida
 Tingkat/efek Cefixime dapat ditingkatkan dengan:
Probenesid
Perhatian dan : .
peringatan

BAB IV
PEMBAHASAN
Studi kasus pasien dengan diagnosis utama post syok sepsis, kolik bilier et
causa Batu CBD dengan riwayat penyakit DM tipe II dan Hipertensi, data
perawatan pasien ini diambil dari data rekam medik pasien di Rumah Sakit
Siloam pada tanggal 24 April 2022 sampai 28 April 2022. Selanjutnya dilakukan
analisa rasionalitas terhadap terapi pengobatan yang diberikan pada pasien dan
diberikan rekomendasi atau solusi dari permasalahan yang diperoleh. Pasien
perempuan, berusia 58 tahun, datang ke instalasi gawat darurat Siloam Hospital
Makassar dengan keluhan utama Nyeri perut terutama ulu hati sejak 6 bulan
terakhit dan memberat ± 1 hari sebelum masuk RS, mual muntah, demam, nyeri
kepala, lemas. Pasien memiliki riwayat penyakit DM dan hipertensi.
Dari segi epidemiologi, insiden batu empedu lebih banyak diderita oleh
wanita daripada pria. Insiden meningkat dengan pertambahan usia, biasanya
terjadi pada usia di atas 40 tahun hingga pada usia 70 tahun insiden meningkat
sampai 50%. Setelah masuk rumah sakit dan dilakukan pemeriksaan, pasien di
diagnosis kolik bilier akibat batu CBD (koledokolitiasis) dan kolelitiasis. Pada
pasien ini ditemukan batu di sepanjang common bile duct (CBD). Dicurigai batu
tersebut adalah batu sekunder yang terbantuk di kandung empedu yang kemudian
mengalami migrasi ke saluran empedu. Batu CBD ini dapat menyumbat aliran
empedu sehingga mengakibatkan ikterus dan bisa berkomplikasi menyebabkan
kolangitis dan pankreatitis yang berpotensi mengancam jiwa. Adanya batu CBD
baik simtomatik atau asimtomatik merupakan indikasi dilakukannya tindakan
pembersihan CBD atau kolesistektomi.
Kolik bilier adalah manifestasi paling umum dari kolelitiasis, adanya
obstruksi akut pada kandung empedu menyebabkan peningkatan tekanan
intraluminal, distensi kandung empedu dan edema yang memicu respon inflamasi
akut yang biasanya timbul di kuadran kanan atas atau daerah epigastrium dan
dapat menjalar ke punggung atas, bahu kanan, atau daerah midscapular (Carvalho,
2018). Kolik bilier biasanya timbul secara tiba-tiba, intensitasnya terus meningkat,
berlangsung selama 2 sampai 8 jam, dan diikuti oleh nyeri di kuadran kanan atas,
seperti yang dirasakan oleh Ny. A (Fraquelli et al., 2016; Porth, 2015).
Pada hari pertama (23/4) dilakukan prosedur CT Whole ABD Non-CNTRS
(CT scan abdomen dan pelvis tanpa kontras IV potongan axial dari puncak
diafragma sampai simfisis pubis pada pasien. Berdasarkan hasil CT – Abdomen
and Pelvis without contrast, temuan yang tidak normal ialah pada sistem bilier dan
kantung empedu. Sistem bilier intrahepatik dan ekstrahepatik dilatasi lanjut
sampai ke batu distal CBD. Tampak batu distal CBD multiple ukuran
subcentimeter yang kesan impacted. Dari hasil laboratorium, diusulkan juga untuk
dilakukan MRCP (magnetic resonance cholangiopancreatography) adalah
prosedur pemeriksaan pencitraan untuk mengetahui kondisi hati, kantung dan
saluran empedu, pankreas dan saluran pankreas secara mendetail. CT scan lebih
sensitif dari USG transabdominal untuk mendeteksi batu CBD, dan sensitivitas
helical CT tampaknya sebanding dengan MRCP atau EUS pada beberapa studi.
Pada hari pertama (23/4) telah dilakukan pemeriksaan laboratorium kepada pasien
yang meliputi pemeriksaan hematologi dan kimia darah. dari hasil pemeriksaan,
diketahui nilai pemeriksaan diatas nilai rujukan ialah jumlah leukosit, neutrofil,
bilirubin total, bilirubin direk, SGPT, SGOT, glukosa sewaktu, ureum darah.
Sedangkan, nilai pemeriksaan yang dibawah nilai rujukan ialah limfosit dan
kalium darah. Data pemeriksaan tersebut menunjukkan bahwa pasien juga
memerlukan pengobatan untuk penyakit bawaannya yaitu hipertensi dan DM tipe
2 yang disertai juga dengan diagnosa selama perawatan yaitu kolik bilier yang
disebabkan karena batu CBD yang tergolong kolangitis akut sedang (derajat II)
diagnosa tersebut ditegakkan melalui hasil pemeriksaan CT Scan, dimana
keseluruhan diagnosa membutuhkan tindakan bedah darurat berupa
kolesistektomi untuk menangani kolik bilier yang timbul dan mencegah
komplikasi lebih lanjut, dengan demikian terapi antibiotik empiris dengan
spektrum luas yang dapat mencakup bakteri gram negatif dan bakteri anaerob
serta memiliki penetrasi yang baik ke dalam empedu sangat dibutuhkan.
Pasien diketahui tidak memiliki alergi terhadap antibiotik golongan beta-
laktam dan kultur empedu atau darah pasien juga belum ada. Namun, dalam kasus
ini terjadi subsitusi regimen Cephalosporin-based therapy menjadi
flouroquinolone-based therapy. Subsitusi regimen ini dilakukan atas dasar
pertimbangan kondisi klinis pasien serta kemampuan penetrasi Lefo ke dalam
empedu (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Oleh karena itu,
pasien diberikan Levofloxacin yang merupakan antibiotik spektrum luas serta
memiliki penetrasi yang baik ke dalam empedu (Dipiro et al., 2020; Lammert et
al., 2016)
Berdasarkan Tokyo Guideline 2018 (TG18), kolangitis sedang sampai berat
sebaiknya pemberian antibiotik minimal 5-7 hari dengan sefalosporin generasi
ketiga atau keempat, non baktam dengan atau tanpa metronidazol untuk kuman
anaerob, atau karbapenem. Rekomendasi lain menyarankan regimen berikut pada
pasien kolangitis akut ringan sampai sedang atau community acquired: (misalnya
Ampisilin sulbactam iv 3 gram setiap 6 jam, atau ertepenem 1gram sekali sehari,
atau ampisilin iv 2 gram setiap 6 jam plus gentamicin iv 1.7 mg/kgbb setiap 8 jam
atau golongan fluorokuinolon (misalnya siprofloksasin iv 400 mg setiap 12 jam,
levofloksasin iv 500 mg sekali sehari, atau moxiflokasain iv atau oral 400 mg
sekali sehari). Berdasarkan profil pengobatannya, untuk terapi antibiotik pasien
diberikan sefalosporin generasi ketiga yaitu ceftriaxone 1 g IV/8 jam pada hari
pertama hingga kedua pengobatan (24/4 - 24/5) dan diturunkan menjadi 1 g IV/12
jam. Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan sefalosforin generasi ke-3 yang
digunakan sebagai pilihan utama dalam regimen Cephalosporin-based therapy
baik dalam penggunaan tunggal atau kombinasi terutama pada pasien dengan
kolesistitis dan kolangitis derajat II dengan dosis 1-2 g/12-24 jam dengan dosis
maksimal 4 g/hari selama 4-7 hari, 2 g digunakan dalam infeksi berat. (Gomi et
al., 2018; Lammert et al., 2016; Snoke, 2012). Kondisi pasien yang termasuk ke
dalam kolangitis derajat II dinilai perlu untuk mendapatkan terapi antibiotik
empiris secara maksimal, sehingga diperlukan peningkatan dosis ceftriaxone dari
1 g/12 jam menjadi 2 g/12 jam untuk mencegah kemungkinan terjadinya infeksi
sekunder dan komplikasi lainnya seperti pankreatitis, bacteremia atau sepsis.
Dilakukan juga pemberian kombinasi antibiotik dengan golongan fluorokuinolon
yaitu levofloxacin 500 mg PO/12 jam pada hari ketiga (26/4) dan PO/24 jam pada
hari keempat hingga kelima pengobatan (27/7 – 28/4). Levofloxacin yang
merupakan antibiotik spektrum luas serta memiliki penetrasi yang baik ke dalam
empedu (Dipiro et al., 2020; Lammert et al., 2016). Hal tersebut telah sesuai
dengan literatur, namun pada pemeriksaan laboratorium pasien di hari ketiga
perawatan (25/4), nilai leukosit pasien meningkat menjadi 42,1 103/µL. Pasien
batu saluran empedu mengalami leukositosis, hal ini disebabkan oleh sumbatan
batu yang terjadi dapat mencetuskan kerusakan jaringan sekitarnya dan
menyebabkan respon inflamasi sehingga kadar leukosit pun meningkat selain itu,
peningkatan leukosit dapat juga disebabkan karena adanya infeksi mauapun
radang/inflamasi (Giyartika dan Keman, 2020).
Berdasarkan diagnosanya, pasien juga mengalami syok sepsis. syok sepsis
didefinisikan sebagai keadaan sepsis dimana abnormalitas sirkulasi dan selular/
metabolik yang terjadi dapat menyebabkan kematian secara signifikan. Kriteria
klinis untuk mengidentifikasi septik syok adalah adanya sepsis dengan hipotensi
persisten. syok sepsis dapat terjadi akibat reaksi inflamasi, stress oksidatif,
apoptosis sehingga terjadi disfungsi mikrosirkulasi (Irvan,dkk., 2018). Nilai hasil
pemeriksaan tekanan darah di hari ketiga (25/4) yaitu 85/55 mmHg, hal ini
menunjukkan pada tangga tersebut pasien mengalami syok sepsis sehingga kadar
leukosit pasien meningkat karena adanya respon inflamasi. Namun setelah
pemberian kombinasi antibiotik ceftriaxon dan levofloxacin mulai dari hari ketiga
hingga kelima terapi pengobatan (26/4 – 28/4) tekanan darah pasien mulai stabil
dinilai normal yaitu 120/70 mmHg. Hal tersebut menunjukkan pasien berada di
fase post syok sepsis dan tidak adanya respon inflamasi. Sehingga pemberian
antibiotik ceftriaxon dan levofloxacin dinilai telah rasional.
Obstruksi pada saluran empedu menyebabkan terganggunya sirkulasi
enterohepatik sehingga terjadi malabsorbsi lemak, vitamin larut lemak termasuk
vitamin K (Wang & Yu, 2014). Kemungkinan defisiensi vitamin K yang
mengarah pada hipoprotrombinemia (kadar protrombin menurun) pada kasus Ny.
A harus diwaspadai ketika ada rencana atau indikasi akan dilakukannya tindakan
medik/bedah yang akan dijalani pasien karena akan berisiko tinggi terjadinya
perdarahan yang mengakibatkan kehilangan darah yang tidak perlu selama
periode perioperasi. Sehingga dalam kondisi ini, tindakan profilaksis dengan
injeksi vitamin K 10 mg harus diterapkan (Gray et al., 2011; Wang & Yu, 2014).
Namun, penggunaan injeksi vitamin K harus berdasarkan penilaian pada hasil
Liver Function Test (LFTs) dan nilai protrombin time (PT) atau INR. Sehingga,
disarankan untuk mengukur LFT dan PT/INR segera dan terus memonitor INR
serta nilai AST dan ALT untuk menilai kebutuhan dosis lebih lanjut pada pasien
(Gray et al., 2011).
Skala nyeri yang dirasakan pasien berdasarkan Numeric Rating Scale (NRS)
yaitu 5/3 (moderate) yang diterapi dengan pemberian injeksi ketorolak 30 mg/8
jam yang diberikan selama 5 hari. pemberian ketorolac telah tepat indikasi
dimana, ketorolak merupakan OAINS kuat yang digunakan terutama sebagai
analgesik dan hanya diindikasikan untuk manajemen nyeri jangka pendek, nyeri
sedang sampai berat dan tidak untuk kondisi nyeri ringan atau kronis (Rofifah,
2020). Berdasarkan guideline EASL (Lammert et al., 2016), manajemen nyeri
kolik bilier dapat diatasi dengan penggunaan OAINS, analgesik opioid atau
agenantispasmodik (seperti scopolamine). Sejak pemberian injeksi ketorolak,
keluhan nyeri yang dirasakan oleh Ny. A perlahan membaik dengan NRS 3/1
pada hari kedua (24/4) dan menurun 2/1 hingga 0/0 pada hari ketiga sampai
keenam (25/4 – 28/4). Pemberian injeksi ketorolak telah tepat indikasi namun
tidak tepat lama interval pemberian karena dilihat dari NRS pasien di hari ketiga
sampai keenam (25/4 – 28/4) menunjukkan NRS ringan. Berdasarkan ASO,
pemberian ketorolak maksimal 5 hari, lebih dari itu maka apoteker perlu
mengkonfirmasi ke dokter pembuat resep namun biasanya hal tersebut
dikarenakan tindakan operasi yang diberikan ke pasien.
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinik pasien Ny. A dihari pertama masuk RS
(23/4), diketahui data klinik yang abnormal ialah tekanan darah pasien yang
mencapai 151/79 mmHg pada hari pertama dirawat di RS (23/4), hal ini
menunjukkan bahwa pasien mengalami hipertensi. Terapi yang diberikan untuk
pengobatan hipertensi pada Ny.A ialah Amlodipin. Pemberian amlodipin dinilai
rasional dan tepat indikasi, berdasarkan JNC 8 Guidelines for the Management of
Hypertension in Adults (2014), penatalaksanaan hipertensi yang disertai dengan
DM dapat menggunakan obat golongan diuretik thiazide, ACEI, ARB, atau CCB
tunggal maupun kombinasi. Evaluasi keberhasilan terapi obat antihipertensi pada
pasien dengan DM adalah dari nilai tekanan darah yaitu <140/80 mmHg pada hari
kedua perawatan (24/4). Amlodipine merupakan obat antihipertensi golongan
CCB dihidripiridin dengan mekanisme aksi intervensi perpindahan ion kalsium ke
dalam sel melalui kanal pada membran sel. Berkurangnya kalsium dalam sel akan
mengganggu proses kontraksi khususnya pada sel kontraktil seperti miokard, dan
sel otot polos pembuluh darah dengan demikian kontraktilitas miokard berkurang,
pembentukan impuls pada jantung ditekan, dan tekanan darah dapat berkurang.
Pasien Ny.A diberikan Amlodipin pada hari pertama pengobatan (24/4) dengan
tekanan darah 140/80 lalu pada hari kedua sampai hari kelima perawatan (28/4)
dihentikan karena mengalami penurunan tekanan darah hingga 120/70 mmHg.
Berdasarkan ESC (2018) target tekanan darah untuk pasien <65 tahun ialah
sistolik 120 sampai <130 mmHg dan diastolik <80 mmHg.
Pada hari pertama pengobatan (24/4) pasien juga diberikan infus NaCl 0,9%
1000 mL IV/24 jam dan RL 500 mL IV/12 jam. Menurut IDG (2011) penggunaan
NaCl 0,9% dan RL perlu diperhatikan untuk pasien dengan tekanan darah tinggi.
pemberian NaCl 0,9% 1000 mL telah tepat untuk terapi elektrolit pasien karena
diketahui kadar kalium darah dan bikarbonat pasien dibawah nilai rujukan
sehingga perlu pengisian elektrolit. pemberian NaCl juga kompatibel dengan
ceftriaxone dan obat lainnya sehingga baik untuk diberikan, sedangkan untuk
pemberian RL inkompatibel dengan ceftriaxone sehingga perlu diperhatikan
pemberian bersama dengan ceftriaxone (Gray,et al., 2011).
Pasien juga diberikan terapi domperidon 10 mg 3x1 untuk mengatasi gejala
dan keluhan mual muntah yang berkaitan dengan adanya nyeri kolik bilier yang
disebabkan karena batu yang menyumbat duktus sistikus atau duktas biliaris
komunis. Dimana sumbatan ini akan mengakibatkan peningkatan tekanan
intraluminal, dan juga peningkatan kontraksi peristaltik dari saluran empedu
secara berulang, hal inilah yang akan menstimulasi nervus vagal sehingga pada
pasien batu empedu ditemukan gejala mual dan muntah (Wang dan Afdhal, 2012)
sehingga terapi domperidon telah rasional untuk diberikan pada pasien.
Penanganan kolelitiasis dan komplikasisnya dibedakan menjadi dua yaitu
penatalaksanaan non bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada
tidaknya gejala yang menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaanpada kolelitiasis
simtomatik dan kolelitiasis asimtomatik (Gomi et al., 2018; Lammert et al., 2016;
Tazuma et al., 2017). Kolesistektomi sampai saat ini masih merupakan pilihan
utama dalam penanganan kolelitiasis simtomatik, terutama pada kasus yang sudah
mengalami komplikasi seperti kolangitis (Dasari et al., 2013; Lammert et al.,
2016) seperti yang dialami Ny. A. Saat ini, laparoskopik kolesistektomi juga
menjadi prosedur yang paling aman untuk pasien diabetes, yang dapat
memberikan hasil terbaik, dengan mengurangi risiko luka bedah. Perawatan
perioperatif yang penuh perhatian dan kontrol glikemik yang baik harus diberikan
untuk meminimalkan risiko komplikasi (Serban et al., 2021).
Pada hari ketiga pengobatan (26/4) pasien juga diberikan terapi KSR sebagai
terapi pencegahan hipokalemia saat pasien berada pada skor nyeri 2/1 (nyeri
berkurang). Menurut MIMS (2022) jika pasien menjalani pengobatan dengan
KSR mengalami muntah parah, sakit perut parah, atau perut kembung, ataupun
perdarahan gastrointestinal, maka penggunaan harus dihentikan. Berdasarkan data
laboratorium kadar kalium pasien pada hari pertama perawatan (23/4) yaitu 3.0
mmol/L dan menurun pada hari kedua perawatan (25/4) menjadi 2.9 mmol/L,
sehingga pemberian KSR dinilai rasional sebagai terapi pencegahan hipokalemia
agar kadar kalium pasien tidak semakin menurun
Pada hari ketujuh (22/08), dilakukan monitoring terhadap kondisi klinis
pasien termasuk pemeriksaan tes fungsi hati dan profil bilirubin untuk
mengevaluasi tindakan bedah yang dijalani pasien. Dari hasil pemeriksaan terlihat
adanya penurunan yang signifikan dari nilai AST, ALT, bilirubin total dan
bilirubin langsung. Hal ini menunjukkan bahwa adanya perbaikan kondisi klinis
yang dialami secara konkrit. Nyeri pascabedah yang dialami pasien juga semakin
berkurang sehingga pasien diperbolehkan untuk pulang pada tanggal 28/4. Pasien
diberikan dexametasone 0.5 mg, asam mefenamat 500 mg, Lansoprazole 30 mg,
cefixime 200 mg sebagai obat pulang dengan masing-masing diberikan secara
oral. Asam mefenamat diberikan untuk mengatasi nyeri pascabedah yang masih
dirasakan dan lansoprasol untuk mencegah timbulnya efek samping dari asam
mefenamat. Sedangkan cefixime diberikan sebagai terapi antibiotik untuk
mencegah infeksi pada lokasi bedah, selain itu tidak terdapat interaksi obat dari
obat pulang yang diberikan. Oleh karena itu, obat pulang yang diberikan sudah
tepat dan rasional.
DAFTAR PUSTAKA

Abel,N., Contino,K., Jain,N., Grewal,N., Grand,E., Hagans,I., Hunter,K., and


Roy,S., “Eighth Joint National Committee (JNC-8) Guidelines and the
Outpatient Management of Hypertension in the African-American
Population,” North American Journal of Medical Sciences, vol. 7, no. 10, p.
438, Oct. 2015, doi: 10.4103/1947-2714.168669

American Diabetes Association, “Classification and diagnosis of diabetes:


Standards of Medical Care in Diabetes-2020,” in Diabetes Care, vol. 43,
American Diabetes Association Inc., 2020, pp. S14–S31. doi: 10.2337/dc20-
S002.
Barbara G. Wells, Joseph T. DiPiro, Terry L. Schwinghammer, and Cecily V.
DiPiro, Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edition. 2012.

Carvalho, C. S. N. and M. G. (2018). Applied Therapeutics The Clinical Use of


Drugs, eleventh Edition.

Dasari, B. V. M., Tan, C. J., Gurusamy, K. S., Martin, D. J., Kirk, G., Mckie, L.,
Diamond, T., & Taylor, M. A. (2013). Surgical versus endoscopic treatment
of bile duct stones. Cochrane Database of Systematic Reviews, 2013(9).
https://doi.org/10.1002/14651858.CD003327.pub3

Dellinger RP, Schorr CA, Levy MM. A user guide to the 2016 surviving sepsis
gudelines, society of critical care medicine. Intens Care Med. 2017; vol44(1–
2)

Dipiro, J. T., Yee, G. T., Posey, M. L., Haines, S. T., Nolin, T. D., and Ellingrod,
V., 2020, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, Eleventh Edition.
United States: McGrawHill

Fauzi A. Kolangitis Akut. Dalam: Rani A, Simadibrata M, Syam AF, Editor.


Buku ajar Gastroenterohepatologi. Edisi-1. Jakarta: Interna Publishing; 2011:579-
90. 2.

Fraquelli, M., Casazza, G., Conte, D., & Colli, A. (2016). Non-steroid anti-
inflammatory drugs for biliary colic. Cochrane Database of Systematic
Reviews, 2016(9). https://doi.org/10.1002/14651858.CD006390.pub2

Gary D. Hammer, & McPhee, S. J., 2018, Pathophysiology of Disease : An


Introduction to Clinical Medicine, Eighth Edition. In Mc Graw Hill
Wducation (pp. 763–777).

Gray,A., Wright,J., Goodey,V, Bruce,L., 2011, Injectable Drug Guide,


Pharmaceutical press

Gomi, H., Solomkin, J. S., Schlossberg, D., Okamoto, K., Takada, T., Strasberg,
S. M., Ukai, T., Endo, I., Iwashita, Y., Hibi, T., Pitt, H. A., Matsunaga, N.,
Takamori, Y., Umezawa, A., Asai, K., Suzuki, K., Han, H. S., Hwang, T. L.,
Mori, Y., … Yamamoto, M. (2018). Tokyo Guidelines 2018: antimicrobial
therapy for acute cholangitis and cholecystitis. Journal of Hepato-Biliary-
Pancreatic Sciences, 25(1), 3–16. https://doi.org/10.1002/jhbp.518

Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), 2017, Informasi Spesialite Obat Indonesia, Vol.
51, ISFI Penerbitan: Jakarta.

Irvan, Febyan, Suparto, 2018, Sepsis dan Tata Laksana Berdasar Guideline
Terbaru, Jurnal Anestesiologi Indonesia, volume 10 (1)

Kiriyama S, Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Mayumi T, Pitt HA,et al.
TG13 Diagnostic criteria and severity grading of acute cholangitis. Tokyo
Guidline. J Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:24-34

Lammert, F., Acalovschi, M., Ercolani, G., van Erpecum, K. J., Gurusamy, K. S.,
van Laarhoven, C. J., & Portincasa, P. (2016). EASL Clinical Practice
Guidelines on the prevention, diagnosis and treatment of gallstones. Journal
of Hepatology, 65(1), 146–181. https://doi.org/10.1016/j.jhep.2016.03.005

Leung JW,et al. Bacteriologic Analysis of Bile and Brown Pigment Stones in
Patients with Acute Cholangitis. Gastrointest Endosc. 2001;54:340-5
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, “Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit,” 2016

Monthly Index of Medical Specialities (MIMS) online, 2022,


https://www.mims.com

Okamoto, K, Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Pitt HA, Garden OJ. TG13
management bundles for acute cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary
Pancreat Sci. 2013;20:55–59.

Paschou, S. A., Papadopoulou-Marketou, N., Chrousos, G. P., and


KanakaGantenbein, C., “On type 1 diabetes mellitus pathogenesis,”
Endocrine Connections, vol. 7, no. 1, p. R38, Jan. 2018, doi: 10.1530/EC-17-
0347.

Perkeni, 2021, Pedoman Pengolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2


Dewasa di Indonesia, PB Perkeni: Jakarta

Porth, C. M. (2015). Essentials of Pathophysiology Concepts of Altered Health


States, Fourth Edition.

Rhodes A, Evans L, Alhazzani W, Levy M, Antonelli M, Ferrer R dkk. Surviving


sepsis campaign; international guidelines for management of sepsis and septic
shock 2016. Wolters Kluwer Health. 2017;45: 6–8.

Rofifah, D., 2020, Martindale The Complete Drug Reference, 38th edition. Paper
Knowledge . Toward a Media History of Documents, 12–26.

Snoke, W. J. D. M. A. F. M. P. G. J. A. G. J. P. G. J. F. L. J. (2012). Drug


Information Handbook with Internasional Trade Names Index, 21st Edition.

Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Pitt HA, Gomi H, Yoshida M, Mayumi T.
TG13: Updated Tokyo Guidelines for the management of acute cholangitis and
cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:1–7

Tazuma, S., Unno, M., Igarashi, Y., Inui, K., Uchiyama, K., Kai, M., Tsuyuguchi,
T., Maguchi, H., Mori, T., Yamaguchi, K., Ryozawa, S., Nimura, Y., Fujita,
N., Kubota, K., Shoda, J., Tabata, M., Mine, T., Sugano, K., Watanabe, M.,
& Shimosegawa, T. (2017). Evidence-based clinical practice guidelines for
cholelithiasis 2016. Journal of Gastroenterology, 52(3), 276–300.
https://doi.org/10.1007/s00535-016-1289-7

Team Medical Mini Notes (TMMN), 2019, Basic Pharmacology & Drug Notes,
Edisi 2019, MMN Publishing: Makassar.
Vinet, L., & Zhedanov, A. (2021). BNF ed. 80. Journal of Physics A:
Mathematical and Theoretical, 44(8), 085201.

Wang, L., & Yu, W. F. (2014). Obstructive jaundice and perioperative


management. Acta Anaesthesiologica Taiwanica, 52(1), 22–29.
https://doi.org/10.1016/j.aat.2014.03.002

Wang DQ, Afdhal NH., 2012, Gallstone disease, In Singapore: Elsevier

[3] Keputusan Menteri Keseatan Republik Indonesia, “Pedoman Nasional


Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa.” 2020.

[4] M. Bayu Zohari Hutagalung, D. Syaara Eljatin, V. Permana Sarie, G. Demitria


Agustina Sianturi, and G. R. Falinda Santika Royal Prima Jambi, “Diabetic Foot
Infection (Infeksi Kaki Diabetik): Diagnosis dan Tatalaksana,” 2019.

[5] T. E. Brian K Alldredge et al., “The Clinical Use of Drugs,” 2013.

Anda mungkin juga menyukai