Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

FARMASI RUMAH SAKIT


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ANDI MAKKASAU
KOTA PARE PARE

GELOMBANG I
(PERIODE 1 – 30 SEPTEMBER 2021)

PEMANTAUAN TERAPI OBAT TERHADAP PASIEN


“ KEJANG DEMAM”

OLEH :
NURFADILLAH ALFIAH JS
N014202112

Disusun sebagai salah satu syarat dalam


menyelesaikan program studi profesi apoteker

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER


FARMASI RUMAH SAKIT
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ANDI MAKKASAU
KOTA PAREPARE
PERIODE 1 September – 30 September 2021

PEMANTAUAN TERAPI OBAT TERHADAP PASIEN


” KEJANG DEMAM”

DISUSUN OLEH:

NURFADILLAH ALFIAH JS
N014202112

MENYETUJUI :

Pembimbing PKPA Farmasi Rumah Sakit Pembimbing PKPA Farmasi


Program Studi Profesi Apoteker RSUD Andi Makkasau Parepare
Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin

A.Anggriani,S.Si,M.Clin.Pharm.,Apt Nurdaya,S.Si,M.Si.,Apt
NIP: 19930506 202005 4 001 NIP : 19840707 2009022011

MENGETAHUI,
Koordinator PKPA Farmasi Rumah Sakit Kepala Instalasi Farmasi
Program Studi Profesi Apoteker RSUD Andi Makkasau Parepare
Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt Dra. Hj. Nurdjihadi Arsyad., Apt.
NIP: 19560114 198601 2 001 NIP : 1960610 198803 2 005

2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh kegiatan
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit
Andi Makkasau pada periode September 2021 dengan baik dan lancar dan telah
menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker sebagai salah satu syarat
dalam menyelesaikan Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin Makassar.
Dalam penyusunan laporan ini tidak sedikit hambatan yang telah dilalui
oleh penulis, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada semua pihak yang berperan dalam memberikan dukungan dan
bantuan sehingga laporan ini dapat terselesaikan dengan baik. Maka dari itu,
penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Prof. Subehan, S.Si., M.Pharm.Sc., Ph.D., Apt. Selaku Dekan Fakultas
Farmasi Universitas Hasanuddin; Ibu Prof. Dr.rer.nat. Marianti A. Manggau,
Apt. selaku Wakil Dekan I; Ibu Dr. Sartini, M.Si., Apt. selaku Wakil Dekan
II; dan Ibu Yulia Yusriani Djabir, S.Si., MBM Sc., M.Si., PhD., Apt. selaku
Wakil Dekan III Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
2. Bapak Usmar, S.Si., M.Si., Apt. selaku Ketua Program Studi Profesi
Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin, sekaligus selaku
Pembimbing PKPA Rumah Sakit Program Studi Profesi Apoteker Fakultas
Farmasi Universitas Hasanuddin.
3. Ibu Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt. selaku Koordinator Praktik Kerja
Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Rumah Sakit.
4. Ibu A. Anggriani, S.Si., M.Clin.Pharm., Apt selaku pembimbing Praktik
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Rumah Sakit.
5. Ibu Nurdaya, S.Si., M,Si, Apt. selaku pembimbing teknis beserta seluruh
apoteker di Instalasi Farmasi RSUD Andi Makkasau Kota Pare-pare yang
telah membimbing, memeberikan saran, petujuk serta nasehat selama penulis

3
melakukan Praktek Kerja Profesi Apoteker di RSUD Andi Makkasau Kota
Pare-pare
6. Ibu Dra. Hj. Nurdjihadi Arsyad., Apt selaku kepala Instalasi Farmasi RSUD
Andi Makkasau Kota Pare-pare dan seluruh jajarannya yang telah
membagikan banyak ilmu pengetahuan dalam pelayanan kefarmasian di
rumah sakit
7. Ibu dr.A. Rismawati.Sp.A selaku dokter yang telah membimbing, memberi
saran, petunjuk serta nasehat selama penulis melakukan Praktek Kerja Profesi
Apoteker di RSUD Andi Makkasau
7. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Andi Makkasau Kota Pare-pare dan
seluruh jajarannya yang telah membantu penulis dalam menjalankan Praktek
Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Penulis menyadari bahwa masih terdapat berbagai kekurangan pada
penyusunan laporan ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan demi penyempurnaan laporan ini kedepannya. Semoga laporan ini
dapat bermanfaat untuk kita semua.

Makassar, September 2021

Nurfadilllah alfiah JS

4
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR........................................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................................v
DAFTAR TABEL...............................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................vii
DAFTAR SINGKATAN..................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
I.1 Latar Belakang…………………………………………………………….1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………5
II.1. Demam....................................................................................................5
II.2. Kejang Demam.........................................................................................6
II.3. Anemia Pada Anak................................................................................14
II.4. Interaksi Obat-obat Antikonvulsan.......................................................20
II.5. Penggunaan Antibiotik Pada Anak.......................................................21
BAB III STUDI KASUS………………………………………………………..23
III.1. Profil Penderita………………………………………………………..24
III.2. Profil Penyakit…………………………………………………………24
III.3. Data Klinik…………………………………………………………….25
III.4. Data Laboratorium…………………………………………………….25
III.5. Profil Pengobatan……………………………………………………...26
III.6. Analisis SOAP Pengobatan Paien…………………………………….28
BAB IV PEMBAHASAN………………………………………………………31
IV.1. Analisis DRP.........................................................................................42
IV.2. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) Obat...................................42
IV.3. Uraian Bahan Obat................................................................................45
BAB V PENUTUP………………………………………………………………56
V.1 Kesimpulan …………………………………………………………...56
V.2 Saran…………………………………………………………………..56
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...58

5
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Pemeriksaan Tanda-tanda Vital………………………………………24
Tabel 2 : Pemeriksaan Data Klinik……………………………………………...24
Tabel 3 : Data Laboratorium Hematologi……………………………………….25
Tabel 4 : Profil Pengobatan Pasien……..……………………………………….25
Tabel 5 : Analisis SOAP Pengobatan Pasien….………………………………...26
Tabel 6 : Hasil Pemeriksaan Data Penunjang…………………………………...25
Tabel 7 : Analisis Rasionalitas Obat……………………………………………..27

6
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Clinical Pathway Kejang Demam Pada anak ………………………..13

Gambar 2. Clinical Pathway Anemia...........................................................…….19

Gambar 3. Clinical Pathway Penggunaan Antibiotik Pada Anak................……..21

7
DAFTAR SINGKATAN
WBC : White Blood Cell Count
NEU : Neutrophil
LYM : Lymphocyte
MON : Monosit
EOS : Eosinophil
BAS : Basofil
RBC : Red Blood Cell Count
HGB/ : Hemoglobin
Hb
HCT : Hematokrit
MCV : Mean Corpuscular Volume
MCH : Mean Corpuscular Hemoglobin
MCHC : Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration
RDW : Red Distribution Width
PLT : Platelet
MPV : Mean Platelet Volume
PDW : Platelet Distribution Width
PCT : Procalcitonin
P-LCR : Platelet Large Cell Ratio
AAP : Academy Of Pediatrics
ILAE : International League Against Epilepsy
ADB : Anemia Defisiensi Besi
GABA : Gamma Amino Butyric Acid
ACTH : Adrenokortikotropik

8
BAB I

PENDAHULUAN

Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan yang

dilakukan di rumah sakit dalam menunjang pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Hal tersebut diperjelas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun

2016 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit, yang menyebutkan bahwa

pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem

pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien,

penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang

terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Tuntutan pasien dan masyarakat akan

kualitas pelayanan farmasi, mengharuskan terjadinya perubahan bentuk pelayanan

dari paradigma lama yang awalnya hanya berorientasi pada obat/produk menjadi

paradigma baru yang berorientasi pada pasien dengan filosofi Pharmaceutical

Care (asuhan kefarmasian). Praktek pelayanan kefarmasian bertujuan untuk

mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang

berhubungan dengan kesehatan masyarakat (Kemenkes No 72, 2016).

Saat ini kenyataannya sebagian besar rumah sakit di Indonesia belum

melakukan praktek pelayanan kefarmasian seperti yang diharapkan, mengingat

beberapa kendala antara lain kemampuan tenaga farmasi, terbatasnya pengetahuan

manajemen rumah sakit akan fungsi farmasi rumah sakit, kebijakan manajemen

rumah sakit, terbatasnya pengetahuan pihak-pihak terkait tentang pelayanan

farmasi rumah sakit. Akibat kondisi ini maka pelayanan farmasi rumah sakit

masih bersifat konvensional yang hanya berorientasi pada produk yaitu sebatas

penyediaan dan pendistribusian. Sedangkan menurut Keputusan Menteri

Kesehatan Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit

1
2

menyebutkan bahwa salah satu standar yang harus dipenuhi adalah terlaksananya

pelayanan farmasi klinik yang terstandar (Kemenkes No 72, 2016).

Pelayanan farmasi klinik merupakan aspek yang penting dan perlu

dilakukan dalam pelayanan kefarmasian dan merupakan bentuk pelayanan yang

diterima secara langsung oleh pasien oleh apoteker dalam rangka meningkatkan

outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek yang tidak di inginkan

dari pengobatan yang diberikan, dengan tujuan keselamatan pasien (patient safety)

sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin dan pasien tidak lagi

mengeluhkan masalah gangguan kesehatan (Kemenkes No 72, 2016).

Seseorang didefinisikan memiliki keluhan kesehatan apabila mengalami

gangguan kesehatan atau kejiwaan, baik karena penyakit akut, penyakit kronis,

kecelakaan, kriminal atau hal lain. Seorang dikatakan sakit apabila memiliki

keluhan kesehatan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Salah satu kategori

masyarakat yang termasuk rentang dan perluh perhatian khusus dalam

penanganan penyakitnya adalah anak-anak. Berdasarkan hasil sensus profil anak

Indonesia tahun 2019, menyebutkan anak usia 0-17 tahun yang mengalami

keluhan kesehatan mencapai 59%.

Pada beberapa kasus, keluhan kesehatan yang dialami oleh anak

memerlukan penanganan yang lebih dari sekedar berobat jalan. Tentunya tenaga

kesehatan akan memberi arahan untuk rawat inap di fasilitas kesehatan.

Pengawasan lebih intensif oleh tenaga kesehatan pada fasilitas kesehatan yang

menyediakan rawat inap sangat diperlukan untuk proses penyembuhan. Pasien

anak yang menjalani rawat inap akan memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih

menyeluruh, termasuk observasi, diagnosis, terapi, dan tindakan yang lebih tepat.

Selain itu, mereka akan mendapatkan berbagai jenis pemeriksaan

penunjang yang diperlukan untuk mempercepat penyembuhan penyakit pasien.


3

Sebesar 49% anak mengalami keluhan kesehatan dan rawat inap dalam setahun

terakhir (Resti, 2020).

Salah satu penyakit yang sering dilaporkan terjadi pada anak yang di rawat

inap yaitu kejang demam. Angka kejadian kejang demam di Asia dilaporkan lebih

tinggi, sekitar 8,3-9,9%. Angka kejadian kejang demam di Indonesia pada tahun

2012-2013 berjumlah 3-4% pada anak yang berusia 6 bulan-5 tahun (Resti, 2020).

Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai di

bidang neurologi khususnya anak. Kejang selalu menjadi peristiwa yang

menakutkan bagi orang tua, sehingga sebagai dokter kita wajib mengatasi kejang

dengan tepat dan cepat. Penanganan kejang demam sampai saat ini masih terjadi

kontroversi terutama mengenai pengobatannya yaitu perlu tidaknya penggunaan

obat untuk profilaksis (Pusponegoro, 2016).

Kejang demam merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan

penanganan pertama, diikuti kondisi kegawatdaruratan lain yang terjadi pada anak

adalah sesak nafas, kenaikan suhu yang terus menerus, dan cedera fisik.

Kebanyakan ibu tidak menyadari akan bahaya yang ditimbulkan dari kejang

demam. Setiap kejang yang lama (lebih dari 5 menit) berdampak membahayakan

karena dapat menyebabkan kerusakan sel-sel otak akibat kekurangan oksigen,

semakin lama dan semakin sering kejang maka sel-sel otak yang rusak akan

semakin banyak. Kejang demam juga bisa meningkatkan resiko terjadinya

epilepsi sebesar 57% jika terjadi berulang dan berkepanjangan. Keterlambatan dan

kesalahan dalam penanganan pertama kejang demam juga dapat meningkatkan

gejala sisa pada anak dan bisa menyebabkan kematian (Resti, 2020). Sehingga

perlunya penanganan medis yang tepat dalam menangani kasus kejang demam

pada anak-anak termasuk dalam pemilihan terapi yang tepat pada pasien tersebut.

Pada laporan ini akan diuraikan penanganan terkait kejang demam yang di bahas
4

berdasarkan kasus yang di ambil di RSUD Andi Makkasau pada saat PKPA di

kota Pare-pare.
BABA II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1.Demam

II.1.1 Definisi Demam

Demam adalah keadaan suhu tubuh di atas suhu normal, yaitu suhu tubuh

di atas 38º Celsius. Demam dapat terjadi akibat kenaikan set point karena infeksi

atau oleh adanya ketidak seimbangan antara produksi panas dan pengeluarannya

(Ismoedijanto, 2016).

Demam pada infeksi terjadi akibat mikro organisme merangsang makrofag

atau PMN membentuk PE (faktor pirogen endogenik) seperti IL-1, IL-6, TNF

(tumuor necrosis factor), dan IFN (interferon). Zat ini bekerja pada hipotalamus

dengan bantuan enzim cyclooxygenase pembentuk prostaglandin.

Prostaglandinlah yang meningkatkan set point hipotalamus. Pada keadaan lain,

misalnya pada tumor, penyakit darah, penyakit metabolik, dan sumber pelepasan

PE bukan dari PMN tapi dari tempat lain. Kemampuan anak untuk bereaksi

terhadap infeksi dengan timbulnya manifestasi klinis demam sangat tergantung

pada umur. Semakin muda usia bayi, semakin kecil kemampuan untuk merubah

set point dan memproduksi panas. Bayi kecil sering terkena infeksi berat tanpa

disertai dengan gejala demam (Ismoedijanto, 2016).

II.1.2. Klasifikasi Demam

Klasifikasi berdasarkan lama demam pada anak, dibagi menjadi:

1. Demam kurang 7 hari (demam pendek) dengan tanda lokal yang jelas,

diagnosis etiologik dapat ditegakkan secara anamnestik, pemeriksaan fisis,

dengan atau tanpa bantuan laboratorium, misalnya tonsilitis akut.

5
6

2. Demam lebih dari 7 hari, tanpa tanda lokal, diagnosis etiologik tidak dapat

ditegakkan dengan amannesis, pemeriksaan fisis, namun dapat ditelusuri

dengan tes laboratorium, misalnya demam tifoid.

3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya, sebagian terbesar adalah sindrom

virus (Ismoedijanto, 2016).

II.2 Kejang Demam

II.2.1. Definisi Kejang Demam

Kejang demam umumnya didefinisikan sebagai kejang yang terjadi pada

anak-anak yang biasanya berusia 6 bulan sampai 5 tahun yang berhubungan

dengan demam lebih dari 380C (100,40F) yang disebabkan oleh suatu proses

ekstrakranium, tanpa infeksi sistem saraf pusat (SSP) (Natsume, 2017; Leung,

2018).

Kejang demam telah didefinisikan secara berbeda oleh National Institutes

of Health (NIH), International League against Epilepsy (ILAE), dan the American

Academy of Pediatrics (AAP). NIH (1980) mendefinisikan kejang demam sebagai

keadaan abnormal, dan terjadi pelepasan listrik yang berlebihan dari neuron yang

menyebar ke bawah proses saraf untuk mempengaruhi organ akhir yang dapat

diukur secara klinis, terjadi pada masa bayi atau masa kanak-kanak, biasanya

antara usia 3 bulan dan 5 tahun. Kondisi ini berhubungan dengan demam, tetapi

tanpa bukti infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Baru-baru ini, AAP (2008)

mendefinisikan kejang demam sebagai kejang yang terjadi pada demam anak-

anak antara usia 6 dan 60 bulan yang tidak memiliki infeksi intrakranial,

gangguan metabolisme, atau riwayat kejang tanpa demam (Chung, 2014).

Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang

demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam

pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila
7

anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang

didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi

yang kebetulan terjadi bersama demam (Pusponegoro, 2016).

II.2.2. Epidemiologi

Kejang demam adalah kejadian yang paling sering terjadi pada anak-anak.

Sekitar 2% sampai 5% terjadi pada anak-anak dibawah 60 bulan (Chung, 2014).

Kejang demam di klasifikasikan menjadi kejang demam sederhana yang terjadi

kejang kurang dari 15 menit dan kejang demam kompleks terjadi kejang lebih dari

15 menit, berhubungan dengan temuan neurologik fokal dan kekambuhan dalam

24 jam. Insiden puncak terjadi pada usia sekitar 18 bulan dan sebelum 6 bulan

atau setelah 3 tahun. Umumnya, insiden kejang demam menurun tajam setelah

usia 4 tahun atau kondisi ini jarang terjadi pada anak-anak yang berusia lebih dari

7 tahun. Kejang demam lebih sering terjadi pada populasi Asia, mempengaruhi

3,4%–9,3% anak-anak Jepang dan 5%–10% anak-anak India, tetapi hanya 2%–

5% anak-anak di Amerika Serikat (AS) dan Eropa Barat (Chung, 2014).

II.2.3. Patofisiologi Kejang Demam

Patofisiologi kejang demam biasa dimulai dari kondisi demam, disaat

peningkatan suhu otak mempengaruhi fungsi saraf, termasuk beberapa suhu

sensitif saluran ion yang akan mempengaruhi neuron dan meningkatkan

kemungkinan menghasilkan aktivitas kejang. Untuk proses inflamasi termasuk

sekresi setokin di tepi dan di otak dikenal sebagai bagian dari mekanisme kejang

demam. Saat itu pirogen interleukin-1 yang meningkatkan demam berkontribusi

terhadap demam dan sebaliknya, demam menyebabkan sintesis sitokin di

hipotalamus. Selain itu, interleukin-β1 dapat meningkatkan rangsangan saraf,

melalui reseptor GABA (Chung, 2014).


8

II.2.4. Klasifikasi Kejang Demam

Kejang demam sederhana didefinisikan sebagai kejang umum primer

yang berlangsung kurang dari 15 menit dan tidak berulang dalam 24 jam. Kejang

demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan

berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan

fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana

merupakan 80% di antara seluruh kejang demam (Pusponegoro, 2016).

Kejang demam kompleks berlangsung > 15 menit atau kejang fokal atau

parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Biasanya

berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam atau kejang berulang lebih dari 2 kali

dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang kompleks terjadi pada 8%

kejang demam anak (Pusponegoro, 2016).

II.2.5. Faktor resiko Kejang Demam

Faktor risiko Penyebab kejang demam kemungkinan multifaktorial.

Penyakit virus, vaksinasi tertentu, dan predisposisi genetik adalah faktor risiko

umum yang dapat memengaruhi saraf yang rentan dan demam. Faktor risiko lain

termasuk paparan dalam rahim, seperti ibu, merokok dan stres ibu, berada di unit

perawatan intensif neonatal selama lebih dari 28 hari (Dustin, 2019).

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko

berulangnya kejang demam adalah :

1. Riwayat kejang demam dalam keluarga

2. Usia kurang dari 12 bulan

3. Temperatur yang rendah saat kejang

4. Cepatnya kejang setelah demam

Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam

adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan


9

berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang

demam paling besar pada tahun pertama (Pusponegoro, 2016).

Faktor risiko menjadi epilepsi yaitu :

1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam

pertama.

2. Kejang demam kompleks

3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung

Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi

sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan

epilepsi menjadi 10%-49% (Level II-2). Kemungkinan menjadi epilepsi tidak

dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam (Pusponegoro,

2016).

II.2.6. Pemeriksaan Penunjang

Secara umum, kejang demam sederhana biasanya tidak memerlukan

evaluasi lebih lanjut, khususnya EKG, pemeriksaan darah, atau neuroimaging

(Duffner, 2011). Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada

kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi

penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai

demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer,

elektrolit dan gula darah (Natsume, 2017). Pemeriksaan darah tidak diperlukan

secara rutin untuk anak-anak. Pemeriksaan darah dipertimbangkan dalam kasus

kondisi umum yang buruk, perubahan kesadaran yang berkepanjangan

(Pusponegoro, 2016).

Tes darah biasanya tidak diperlukan jika anamnesis dan pemeriksaan fisik

pemeriksaan yang khas dari kejang demam. Hitung sel darah lengkap dan tes

darah untuk glukosa, elektrolit, urea nitrogen, kreatinin, kalsium, fosfor, dan
10

magnesium biasanya tidak membantu dalam mengevaluasi anak dengan kejang

demam. Anak-anak dengan bakteremia memiliki tingkat kejang demam yang

lebih tinggi. Penentuan glukosa serum, elektrolit, kreatinin, dan nitrogen urea

harus dipertimbangkan jika ada riwayat kekurangan cairan asupan, muntah, atau

diare atau jika ada tanda-tanda fisik dehidrasi atau edema (Leung, 2018).

American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan untuk anak-

anak dengan kejang demam pertama kali melakukan tes pungsi lumbal, kriteria

yang direkomendasikan adalah:

1. Pada bayi di bawah 12 bulan, sangat disarankan pungsi lumbal, karena tanda

dan gejala klinis terkait dengan meningitis mungkin minimal atau tidak

terdeteksi awal pada usia di bawah 12 bulan.

2. Pada anak berusia antara 12 dan 18 bulan, harus dipertimbangkan, karena

tanda dan gejala klinis meningitis juga bisa tidak nampak

3. Pada anak yang lebih tua dari 18 bulan, meskipun pungsi lumbal tidak secara

rutin dijamin, direkomendasikan dalam adanya tanda dan gejala meningeal

(yaitu, leher kaku)

4. Pada bayi dan anak-anak yang memiliki kejng demam dan telah menerima

pengobatan antibiotik sebelumnya, dokter harus menyadari bahwa

pengobatan mungkin menutupi tanda dan gejala meningitis. Oleh karena itu,

pungsi lumbal harus dipertimbangkan secara serius (Chung, 2014).

II.2.7. Manajemen Penanganan Kejang Demam

Sebagian besar kasus kejang deman jinak dan sembuh sendiri, dan secara

umum, pengobatan tidak direkomendasikan. Pilihan pengobatan untuk kejang

demam harus mencakup pengobatan yang segera dapat mengatasi ketika kejang

demam berlangsung lebih dari 5 menit dan ketika pemberian intravena tidak

memungkinkan. Obat-obatan akut seperti diazepam rektal (0,5 mg / kg) atau bukal
11

(0,4-0,5 mg/kg) atau pemberian midazolam intranasal (0,2 mg/kg) efektif dalam

menghentikan kejang yang sedang berlangsung, pilihan terapi ini diberikan

apabila saat itu tidak tersedianya terapi melalui intravena, dan juga dapat

disediakan untuk digunakan di rumah pada pasien dengan kejang demam

berkepanjangan dan memiliki resiko kekambuhan saat di rumah (Husna, 2016).

Beberapa penelitian menyebutkan midazolam memiliki kemanjuran yang

lebih baik daripada diazepam. Dalam penanganan akut, diazepam intravena dan

lorazepam adalah obat pilihan untuk menggugurkan kejang atau menghentikan

kejang demam atau tidak demam terus menerus. Diazepam adalah benzodiazepin

yang bekerja paling cepat dan dengan cepat melintasi biologis membran, termasuk

mukosa rektum dan sawar darah otak. Kelemahan penting dari diazepam adalah

durasinya yang singkat sehingga obat menghilang dengan cepat dari otak.

Lorazepam memiliki aksi antikonvulsan yang lebih lama. Lorazepam adalah

banyak digunakan di banyak negara karena durasi aksi yang lebih lama dan efek

samping yang lebih sedikit, tetapi tindakan antikonvulsan akut kurang cepat

dibandingkan dengan diazepam. Lorazepam (Ativan) intravena dalam dosis 0,1

mg/kg adalah pilihan pengobatan untuk kejang pediatrik tonik-klonik akut.

American Academy of Pediatrics (AAP) tidak merekomendasikan penggunaan

antikonvulsan digunakan terus menerus sebagai profilaksis atau mencegah ke

kambuhan (Chung, 2014).


12

Adapun penatalaksanaan penanganan kejang demam berdasarkan

Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam Oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia

2016:

Gambar.1 Clinical Pathaway Kejang Demam Anak


13

Edukasi pada orang tua Kejang selalu merupakan peristiwa yang

menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua

beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi

dengan cara yang diantaranya:

1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.

2. Memberitahukan cara penanganan kejang

3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

4. Pemberian obat untuk mencegah frekurensi kejang demam

II.3 Anemia Pada Anak

Anemia didefinisikan sebagai nilai Hb yang rendah atau massa sel darah

merah yang rendah sehingga dapat mengakibatkan penurunan kapasitas

pembawa oksigen. Hb dinyatakan sebagai gram per desiliter (g/dL) atau

milimol/liter (mmol/L) dan massa sel darah merah sebagai hematokrit (HCT).

Meskipun kisaran normal Hb bervariasi dengan usia, jenis kelamin, dan ras,

tingkat Hb di bawah 10 g/dL dianggap sebagai anemia sedang dan di bawah 8

g/dL sebagai anemia berat, sedangkan pada anak-anak di bawah usia 5 tahun dan

wanita hamil, jika kadar Hb di bawah 7 g/dL dianggap sebagai anemia berat

(Goyal, 2020).

Anemia dapat menyebabkan berbagai gejala bergantung pada tingkat

keparahan penurunan nilai Hb dan kondisi komorbiditas. Penurunan akut Hb

secara tiba-tiba dapat menyebabkan hipoksia dan secara signifikan mempengaruhi

sistem peredaran darah dan kardiovaskular (Goyal, 2020).

Sebagian besar anak dengan anemia tidak menunjukkan gejala, dan

kondisi ini terdeteksi pada evaluasi laboratorium skrining. Skrining dianjurkan

hanya untuk anak-anak berisiko tinggi.


14

Anemia diklasifikasikan sebagai mikrositik, normositik, atau makrositik,

berdasarkan volume sel darah rata-rata. Anemia mikrositik ringan dapat diobati

dengan terapi zat besi oral pada anak usia enam sampai 36 bulan yang memiliki

faktor risiko anemia defisiensi besi (Goyal, 2020).

Batasan anemia berdasarkan umur dan jenis kelamin (Katsogiannou,

2018).

Umur Hemoglobin Hematokrit % MCV (µm3)

(tahun) (g/dL)

Mean Batas Mean Batas Mean Batas

bawah bawah bawah

0,5-1,9 12,5 11 37 33 77 70

2-4 12,5 11 38 34 79 73

5-7 13 11,5 39 35 81 75

8-11 13,5 12 40 36 83 76

12-14

Wanita 13,5 12 41 36 85 78

Pria 14 12,5 43 37 84 77

15-17

Wanita 14 12 41 36 87 79

Pria 15 13 46 38 86 78

18-49

Wanita 14 12 42 37 90 80

Pria 16 14 47 40 90 80
15

Jika anemia berat atau tidak responsif terhadap terapi zat besi, pasien harus

dievaluasi pada gastrointestinalnya sebab bisa jadi terjadi pendarahan di dalam.

Tes lain yang digunakan dalam evaluasi anemia mikrositik termasuk studi besi

serum, kadar timbal, dan elektroforesis hemoglobin. Anemia normositik dapat

disebabkan oleh penyakit kronis, hemolisis, atau gangguan sumsum tulang.

Pemeriksaan anemia normositik didasarkan pada fungsi sumsum tulang yang

ditentukan oleh jumlah retikulosit. Jika jumlah retikulosit meningkat, pasien harus

dievaluasi untuk kehilangan darah atau hemolisis. Jumlah retikulosit yang rendah

menunjukkan aplasia atau gangguan sumsum tulang. Tes umum yang digunakan

dalam evaluasi anemia makrositik termasuk kadar vitamin B12 dan folat, dan tes

fungsi tiroid (Goyal, 2020).

Parameter untuk skrining dan pemeriksaan laboratorium untuk ADB

(anemia defisiensi besi) dapat dilakukan pemeriksaan tes hematologi (Hb, Ht,

RDW, MCV,CHr). Pemeriksaan hematologi untuk diagnosis anemia defisiensi

besi:

a. Hemoglobin dan Hematokrit

Menurut WHO definisi anemia adalah Hb kurang dari 13 g/dL untuk laki-

laki usia > 15 tahun, kurang dari 12 g/dL untuk perempuan usia > 15 tahun dan

kurang dari 11 g/dL untuk perempuan hamil. Nilai hematokrit dalam persen lebih

kurang 3 kali kadar Hb bila ukuran eritrosit dalam batas normal. Bila nilai Hct

menurun merupakan indikasi anemia. Pada tahap ini kandungan hemoglobin (Hb)

pada retikulosit mulai menurun, hal ini merefleksikan omset dari eritropoiesis

yang kekurangan besi. Tetapi karena sebagian besar eritrosit yang bersirkulasi

merupakan eritrosit yang diproduksi saat ketersediaan besi masih adekuat, maka

total pengukuran Hb masih dalam batas normal, sehingga anemia masih belum

tampak. Akan tetapi Hb akan terus mengalami penurunan, Red Blood Cell
16

distribution Widths (RDW) akan meningkat karena mulai ada eritrosit yang

ukurannya lebih kecil dikeluarkan oleh sumsum tulang (Kurniati, 2020).

b. Indeks Eritrosit

Mean corpuscular volume (MCV), mean cell hemoglobin (MCH) dan

mean cell hemoglobin concentration (MCHC) memberikan informasi tentang

karakter dari eritrosit. Mean corpuscular volume merupakan rasio dari hematokrit

dibagi eritrosit, MCH merupakan rasio dari Hb dengan eritrosit dan MCHC

merupakan rasio dari Hb dengan Ht. Parameter ini digunakan untuk menilai

ketegori anemia mikrositik, makrositik dan normositik. Mean cell hemoglobin

menggambarkan rata-rata berat dari Hb per eritrosit

c. Red blood cell distribution widths (RDW)

Dalam suatu penelitian pada orang dewasa ditemukan peningkatan RDW

>15% mempunyai sensitivitas antara 71-100% dan spesifitas 50% dalam

mendiagnosis anemia defisiensi besi (ADB). Penelitian lain pada bayi berusia 12

bulan peningkatan RDW diatas 14% mempunyai sensitivitas 100% dan

spesifisitas 82%. Karena RDW spesifisitasnya tidak dapat digunakan secara

tunggal untuk skrining anemia defisiensi besi (ADB) akan tetapi harus

digabungkan MCV untuk dapat membedakan berbagai jenis anemia (Kurniati,

2020).

d. Hubungan anemia defisiensi zat besi pada kejang demam anak.

Besi memiliki peran penting dalam fungsi neurologi. Zat besi dibutuhkan

dalam metabolisme neurotransmiter, dan metabolisme energi otak. Rendahnya

kadar serum ferritin dapat menunjukkan penurunan kadar Gamma aminobutyric

acid (GABA) dengan jelas, yaitu suatu neurotransmiter inhibitori. Peningkatan

relatif neurotransmiter bersifat eksitasi dibandingkan dengan neurotransmiter


17

inhibisi seperti GABA dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.

Ketidakseimbangan tersebut akan menimbulkan kejang (Putri, 2017)

Beberapa penelitian menunjukan terdapat hubungan anemia defisiensi besi

(ADB) dengan kejang demam. Pada demam tinggi (>380C) yang diikuti kondisi

anemia yang ditunjukkan dengan kadar hemoglobin yang rendah menyebabkan

kemampuan sel darah merah pengikat oksigen menurun. Oksigen dibutuhkan

dalam proses transport aktif ion Na, K yang berguna untuk menstabilkan

membran sel saraf. Kestabilan membran sel saraf yang terganggu dapat

mengakibatkan konsentrasi ion Na intrasel meningkat dan terjadi perubahan

permeabilitas sel saraf sehingga terjadi depolarisasi yang berlebihan. Pada

keadaan kejang, depolarisasi yang berlebihan terjadi akibat peningkatan relatif

neurotransmiter eksitasi dibandingkan neurotransmiter inhibisi. Penurunan

neurotransmiter inhibisi tersebut dapat disebabkan oleh penurunan kadar besi

yang berperan dalam sintesis GABA sebagai neurotransmiter inhibisi pada

keadaan kejang demam (Putri, 2017).


18

Adapun penatalaksanaan penanganan anemia berdasarkan Chisholm-


Burns. Schinghammer. Malone. Kolesar. Bookstaver. and Lee,Kelly. 2019
Pharmacotherapy: Principles & Practice. New York: McGraw Hill.

Gambar. 2 Clinical Pathway Anemia


19

II.4. Interaksi obat-obat antikonvulsan (Drug Bank, 2021; Browicz. 2020;

Madscape, 2021)

a. Peningkatan efek sedasi atau pernapasan dan depresi kardiovaskular dapat

terjadi jika diazepam atau benzodiazepin lain diberikan dengan obat-obat

yang memiliki sifat depresan pada SSP diantaranya alkohol, antidepresan,

antihistamin sedatif, antipsikotik, anestesi umum, hipnotik lain atau obat

penenang, dan analgesik opioid.

b. Efek sedatif dari benzodiazepin juga dapat ditingkatkan dengan cisapride.

Dampak buruk juga dapat terjadi jika interaksi yang ditimbulkan dengan

mempengaruhi metabolisme dari benzodiazepin.

c. Acyclovir dengan antikonvulsan. Penggunaan fenitoin atau asam valproat

bersamaan dengan acyclovir dapat meningkatkan reaksi kejang

d. Antiepilepsi dengan Antineoplastik Sitotoksi. Interaksi yang terjadi yaitu

oksisitas fenitoin ketika diberikan fluorourasil dan prodrugs fluorouracil,

seperti capecitabin, doxifluridin dan tegafur.

e. Interaksi yang terjadi dengan golongan Quinolon. Pemberian

ciprofloxacin, clinafloxacin, dan enoxacin dapat mempengaruhi

metabolisme hati jika diberikan dengan oral sehingga menaikan atau

menurunkan kadar fenitoin

f. Antifungal dengan karbamazepin. Kadar karbamazepin diperkirakan

meningkat jika diberikan bersama antijamur azol karena dapat

menghambat isoenzim sitokrom P450 CYP3A4, yang berkaitan dengan

metabolisme karbamazepin.

g. Interaksi yang dapat terjadi dengan golongan Calcium channel blockers.

Pemberian diltiazem dan verapamil dapat meningkatkan kadar


20

karbamazepin menyebabkan toksisitas karena terganggunya metabolisme

oleh isoenzim sitokrom P450 CYP3A4.

h. Interaksi dapat terjadi dengan obat diuretik. Hiponatremia telah dilaporkan

pada pasien yang memakai bamazepin dengan furosemid, hidroklorotiazid,

atau hidroklorida rotiazid dan paroksetin.

i. Metylprednisolon berinteraksi dengan diazepam dengan cara menurunkan

kadar atau efek diazepam dengan mempengaruhi metabolisme CYP3A4

dihati/usus. Penggunaan bersamaan dapat meningkatkan risiko

hipokalemia. Hipokalemia dapat meningkatkan efek obat yang

memperpanjang interval QT

j. Aminofilin dengan obat antikonvulsif dari berbagai konvensional

(karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, valproat) atau yang lebih baru

(lamotrigin, topiramat) berkurang secara signifikan oleh gabapentin (obat

antiepilepsi yang lebih baru) resisten terhadap aminofilin (Borowicz,

2020).

II.5. Penggunaan Antibiotik Pada Anak-anak

Pada penggunaan antibiotik terhadap anak, hasil studi di Indonesia,

menunjukkan bahwa pada 25% responden memberikan antibiotik pada anak

dengan demam. Hal ini menunjukkan peningkatan penggunaan antibiotik secara

irasional juga terjadi pada anak. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dalam hal

indikasi, maupun cara pemberian dapat merugikan penderita dan dapat

memudahkan terjadinya resistensi terhadap antibiotik serta dapat menimbulkan

efek samping. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah dosis obat yang tepat bagi

anak-anak, cara pemberian, indikasi, kepatuhan, jangka waktu yang tepat dan

dengan memperhatikan keadaan patofisiologi pasien secara tepat, diharapkan

dapat memperkecil efek samping yang akan terjadi (Febiana, 2012).


21

Gambar 3. Clinical Pathway Penggunaan Antibiotik Pada Anak


BAB III

STUDI KASUS

III. 1. Profil Penderita

Nama : Anak H

Umur : 9 April 2020 (1 thn)

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jln. Bayam No. 37 Pare-Pare

Cara Bayar : BPJS

No. Rekam Medik : 194826

Masuk RS : 11/09/2021

Keluar RS : 14/09/2021 (Kondisi sehat dan sembuh)

III. 2. Profil Penyakit

Keluhan Utama : Demam disertai kejang sejak 2 hari (9/09/2021)

Anamnesa terpimpin : Pasien MRS dengan keluhan demam naik turun sejak

2 hari, riwayat kejang 1x ± 2menit, batuk (-), flu (-)

Diagnosa Awal : Kejang Demam dan hipertermia

Diagnosa Utama : Kejang Demam

Riwayat pengobatan : Sanmol® drops dan amoxicillin

22
23

III. 3 Data Klinik

III.3.1 Data Hasil Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital (Vital Sign)

Berdasarkan hasil pemeriksaan tanda-tanda vital (vital sign), maka

diperoleh data seperti pada tabel

Hasil Pengamatan

NO Data Klinik Nilai Rujukan September 2021

11/9 12/9 13/9

1 Tekanan Darah 120/80 mm/Hg

2 Pernapasan 20-50 kali/menit 30 32 32

3 Denyut Nadi 60-100 kali/menit 150 118 116

4 Suhu Badan 37,5 C 37,5 39,2 38

5 Sesak nafas - - - -

6 Mual - - - -

7 Muntah - - - -

8 Batuk - - - -

Keterangan (+) : ada keluhan, dan (-) : tidak ada keluhan

Cetak merah : Hasil di atas normal

Cetak biru : Hasil di bawah normal

`
24

III.3.2 Data Hasil Pemeriksaan Gula Darah

Berdasarkan hasil pemeriksaan gula darah pasien, maka diperoleh data

seperti pada tabel

NO Data Klinik Nilai Rujukan Hasil Pengamatan

Agustus dan September 2021

11/9 12/9 13/9 14/9

Gula darah <140 mg/dL 93 - -

Pulang
sewaktu

Hb 14-18 g/dL 10,3 - -

III.4. Data Laboratorium

III.4.2 Data Laboratoriu Hematologi

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium pasien, maka diperoleh data

pada tabel

NO Aspek Pemeriksaan Nilai Rujukan Hasil pemeriksaan

1 WBC 3,50 – 9,50 . 103/Ul 8,03

2 NEU 1,80 – 6,30 . 103/uL 5,42

3 LYM 1,10 – 3,20 . 103/uL 2,13

4 MON 0,10 – 0,60 . 103/uL 0,33

5 EOS 0,02 – 0,52 . 103/uL 0,09

6 BAS 0,00 – 0,06 . 103/uL 0,06

7 RBC 3,80 – 5,80 106/uL 4,54

8 HGB 12-16 g/dL 10,3

9 HCT 35,0 – 50,0 % 32,8

10 MCV 82,0 – 100,0 fL 72,2


25

NO Aspek Pemeriksaan Nilai Rujukan Hasil pemeriksaan

11 MCH 27,0 – 34,0 pg 22,7

12 MCHC 31,6 – 35,4 g/dL 31,5

13 RDW-CV 11,0 – 16,0 % 16,6

14 RDW-SD 35,0 – 56,0 fL 49,3

15 PLT 125 – 350 103/uL 245

16 MPV 6,5 – 12,0 fL 7,7

17 PDW 9,0 – 17,0 fL 9,6

18 PCT 0,108 – 0,282 % 0,188

19 P-LCR 11,0 – 45,0 % 21,4

20 P-LCC 30- 90 109/L 52

Keterangan: Merah = Meningkat; Biru = Menurun

III.5. Profil Pengobatan

Berdasarkan gejala dan kondisi pasien selama dirawat, diberikan berbagai

pengobatan seperti yang terdapat pada tabel

Nama

NO Obat Dosis Rute 11/9/21 12/9/21 13/9/21

1 Infus 12 tpm IV   

asering

2 Vicillin® 200 mg /6 jam iv   


PULANG

3. Sanmol® 80 mg /8 jam iv   

4 Diazepam 5 mg Suppo/rectal   

5 Metil 2 mg 2x1 Oral  

prednisolon

e
26

III.6. Analisis Rasionalitas

Berdasarkan hasil analisis pengobatan pasien An.H, maka diperoleh data

analisis rasionalitas pengobatan pasien dari tanggal 11-13 September 2021.

Adapun data analisis rasionalitas pengobatan dapat dilihat pada tabel 7 dibawah

ini:

No Nama obat Dosis Rasionalitas


Indikas Obat Dosi Aturan Pasien Cara Lama
i s pakai pemberia pemberian
n
1. Infus asering 12 tpm R R R IR R R R

2. Vicillin® 200 mg R R R R R R R

3. Sanmol® 80 mg R R R R R R R

4. Diazepam rektal 5 mg R IR R R R R R

5. Methylprednisolone 2 mg R R R R R R R

Keterangan : Cetak Merah = IR (Irrasional)

Cetak Hitam = R (Rasional)


27

III.6 Tabel Data Analisis SOAP Pengobatan Pasien

Hail
Kondisi Klinik Masalah Terkait Obat Rekomendasi Paraf Paraf
Tanggal Rekomendasi
(Subject/Object) (Assessment) (Plan) Apoteker Dokter
Dokter
11/9/21 Subjektif:  Diazepam iv lebih efektiv  Disarankan memantau efektivitas  Terapi  
 Demam terhadap kejang demam diazepam rektal tehadap kejang dilanjutkan
 Riwayat kejang 1 kali sederhana dibanding demam pasien  Rekomendasi
durasi 2 menit pemberian secara rektal (Koda,  Disarankan pemberian diazepam disetujui
 Riwayat pengobatan kimbel, 2018). iv 0,2-0,5 mg/kgBB  Data lab
sanmol & amoxicillin  Masalah anemia pasien belum  Disarankan Diazepam digunakan
®
belum cukup
Objektif : teratasi ketika datang kejang untuk
BB : 8 kg  Dosis tpm infus asering tidak  Disarankan untuk pemberian mengindikasi
Suhu: 37,5 C
o
sesuai dengan kebutuhan total Ferrum (Fe) 2,68 ml bentuk kan pasien
Nadi : 150x/mnt cairan pasien sedian sirup 1 kali sehari mengalami
RR : 30 x/mnt (Chisholm-Burns, 2019) anemia
Hb : 10,3  Disarankan jumlah tetes permenit
untuk infus aseringnya yaitu 8
tetes permenit
 Disarankan dilakukan
pemeriksaan hepatologi
28

Hasil
Kondisi Klinik Masalah Terkait Obat Rekomendasi Paraf Paraf
Tanggal Rekomendasi
(Subject/Object) (Assessment) (Plan) Apoteker Dokter
Dokter
MCV: 72   
MCH: 22,7
HCT : 32,8
RDW :16,6
Terapi:
Diazepam 5 mg rektal
Sanmol® 80 mg/ 8 jam
iv
12/9/21 Subjek:  Demam pasien belum teratasi  Disarankan monitoring interaksi  Rekomendasi  
 Demam belum teratasi  Potensi interaksi diazepam dan diazepam dan metylprednisolon disetujui
 Susah tidak kejang metylprednisolon terhadap terhadap nilai elektrolit dan
 Muncul kemerahan hypokalemia dan penurunan denyut nadi pasien
pada kulit efek diazepam  Disarankan diazepam diberikan
Objek :  Potensi interaksi Vicillin dan
®
jika terjadi serangan kejang saja
RR: 32x/mnt diazepam terhadap  Disarankan pemberian vicillin®
Suhu: 39,2 neorotoksisitas dijedah atau tidak diberikan
Nadi: 118 x/mnt  Penggunaan diazepam tidak bersamaan dengan diazepam
Terapi : disarankan ketika tidak
Diazepam sup 5 mg kejang
Metylprednisolon
Vicillin® 200 mg
29

Hasil
Kondisi Klinik Masalah Terkait Obat Rekomendasi Paraf Paraf
Tanggal Rekomendasi
(Subject/Object) (Assessment) (Plan) Apoteker Dokter
Dokter

13/9/21 Subjek :  Terjadi efek samping vicillin®  Disarankan vicillin® dihentikan  Rekomendasi  
 Demam belum teratasi, yaitu kemerahan pada kulit  Disarankan monitoring interaksi disetujui
dan sudah tidak kejang  Potensi interaksi diazepam dan diazepam dan metylprednisolon
Objek : metylprednisolon terhadap terhadap nilai elektrolit dan
RR: 32x/mnt hypokalemia dan penurunan denyut nadi pasien
Suhu: 38 efek diazepam  Disarankan diazepam diberikan
Nadi: 118 x/mnt  Potensi interaksi Vicillin dan
®
jika terjadi serangan kejang saja
Terapi: diazepam terhadap
Diazepam sup 5 mg neorotoksisitas
Metylprednisolon 2 mg  Penggunaan diazepam tidak
disarankan ketika tidak
kejang
BAB IV

PEMBAHASAN

IV.1. Analisis Drug Related Problems (DRPs)

Studi kasus pasien dengan diagnosa penyakit demam kejang sederhana

diambil dari bangsal Melati perawatan anak di rumah sakit Andi Makkasau Kota

Pare-pare. Data yang diperoleh berdasarkan rekam medik pasien sejak tanggal

11-13 September 2021. Selanjutnya dilakukan analisis rasionalitas terhadap terapi

yang diberikan pada pasien dan pemberian rekomendasi atau solusi dari

permasalahan yang didapatkan.

Pasien bernama An. H umur 1 tahun, masuk RS tanggal 12/09/2021 di

rawat inap Melati RSUD Andi Makkasau Kota Pare-pare, dengan keluhan demam

naik turun disertai kejang 2 hari yang lalu, kejang yang dialami ±2 menit. Pasien

memiliki riwayat pengobatan Sanmol® (paracetamol) dan Vicillin®. Profil

pengobatan pasien An. H selama di rumah sakit di antaranya infus asering,

Vicillin®, Sanmol® (paracetamol), diazepam rektal, dan methylprednisolon.

Pada tanggal 12 September 2021 pasien diberi Infus asering diberikan

dengan dosis 12 tpm merupakan cairan yang mengandung elektrolit Na + , Cl - ,

K + , Ca + Acetate (mEq/L) yang berperan mengatasi dehidrasi dan dalam

memelihara tekanan osmosis darah dan jaringan. Pada pasien ini jumlah

tetes per menit yang diberikan yaitu 12 tetes per menit, sedangkan untuk

menghitung jumlah tetes per menit suatu cairan infus ditentukan berdasarkan

volume kebutuhan cairan pasien dan berat badan pasien. Sehingga jika dilihat dari

berat badan pasien yaitu 8 kg maka jumlah cairan total yang dibutuhkan adalah

800 ml sehingga pada kasus ini pasien direkomendasikan pemberian jumlah

cairannya yaitu 8 tpm

30
31

Perhitungan kebutuhan cairan dan elektrolit pada anak (Ismoedijanto.

2016).

Berat Badan Kebutuhan cairan per hari

Sampai 10 kg 100 ml/kgBB

11-20 kg 1000 ml+50ml/kgBB

(untuk setiap kg diatas 10 kg)

>20 kg 1500ml+20ml/kgBB

(untuk setiap kg diatas 20 kg)

Pada kasus ini pasien memiliki bobot badan 8 kg sehingga untuk

menghitung tetes per menit (tpm) pemberian infus cairan yaitu:

Kebutuhan cairan pasien : 8 kg x 100 ml = 800 ml


kebutuhan cairan X faktor tetes
Untuk TPM = waktu X 60 menit
800 ml X 15
= 24 X 60 menit

= 8 tetes/menit

Pasien juga diberikan Vicillin ® (ampicillin) 200 mg/6 jam secara intravena

pada hari pertama sebagai terapi antibakteri spektrum luas, yang termasuk

kedalam antibakteri empiris yang biasa digunakan untuk pasien yang belum

terkonfirmasi jenis bakteri terinfeksinya. Dosis ampicillin untuk anak: 25 mg/kg

setiap 6 jam (mak. Per dosis 500 mg/6 jam), ditingkatkan jika perlu hingga 50

mg/kg setiap 6 jam (mak. per dosis 1g/6 jam) (BNF, Staff. 2021). Vicillin ®

diberikan hingga pasien pulang sehingga terhitung 4 hari. Namun pada hari ke 3

yaitu pada tanggal 13 September 2021 pasien mengeluh mengalami kemerahan

pada kulitnya setelah setelah diberikan Vicillin ® iv. Ruam kulit merupakan salah

satu efek samping yang paling umum terjadi. Ruam tersebut bisa terjadi karena
32

hipersensitivitas terhadap bagian beta-laktam atau kelompok amino dalam rantai

samping, atau reaksi toksik (Sweetman, 2015).

Selain itu penggunaan antibiotik pada pasien dengan kondisi kejang perlu

di perhatikan karena beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat risiko

peningkatan kejang epilepsi sebagai efek samping dari antibiotik. Misalnya pada

beta-laktam dan fluorokuinolon paling sering dikaitkan dengan toksisitas sistem

saraf pusat dan efek samping neurologis. Meskipun jarang, kelas antibiotik lain

juga telah dilaporkan dapat menginduksi neurotoksisitas atau memicu serangan

epilepsi. Gamma amino butyric acid (GABA) reseptor antagonis adalah

mekanisme umum yang dimiliki oleh penisilin, sefalosporin, imipenem, dan

fluoroquinolon. Antibiotik harus diberikan dengan hati-hati pada pasien yang

sedang menjalani pengobatan dengan obat anti kejang untuk memastikan bahwa

dosis terapeutik tercapai dan untuk mencegah toksisitas (Goyal, 2020). Pada

kondisi pasien An. H tidak direkomendasikan untuk menggunakan Vicillin®

bersamaan dengan pengobatan kejang, selain itu pasien juga mengalami reaksi

alergi atau hipersensitivitas pada vicillin ®, dimana terdapat kemerahan pada kulit

pasien. Pada hari ke 3 tangga 13 september 2021 keluarga pasien mengatakan

terdapat kemerahan pada kulitnya, hal ini bisa saja terjadi karena adanya reaksi

efek samping obat atau hipersensitivitas dari obat yang diberikan. Sehingga

disarankan pemberian Vicillin® di berhentikan atau diganti dengan antibiotik yang

sesuai seperti golongan sefalosporin generasi III dan dilakukan skin test terlebih

dahulu.

Pada penanganan kejang jika terdapat tanda-tanda klinis yang menunjukan

sepsis atau meningitis, infeksi sistem saraf pusat harus ditangani dengan antibiotik

empiris yang sesuai untuk sepsis atau meningitisnya. Antibiotik spektrum luas

yang dimaksud sefalosporin generasi ke-4, atau cefotaxim dan cefadroxil,


33

karbapenem, kuinolon, dan piperasilin, dan piperasilin-tazobaktam sebagai

antibiotik spektrum sangat luas. Akan tetapi penggunaan antibiotik dan terapi

kejang seringkali menimbulkan interaksi yang harus dipantau (Goyal, 2020).

Reaksi hipersensitivitas sejauh ini merupakan efek samping yang paling umum

dicatat dengan penisilin, dan agen ini adalah salah satu penyebab paling umum

dari alergi obat. Manifestasi hipersensitivitas terhadap penisilin termasuk ruam

makulopapular, ruam urtikaria, demam, bronkospasme, vaskulitis, serum sickness,

dermatitis eksfoliatif, sindrom. Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi dengan

segala bentuk sediaan penisilin. Reaksi urtikaria khas pada hipersensitivitas

penisilin, sedangkan eritematosa makulopapular erupsi adalah karakteristik

ampisilin dan amoksisilin, gejalanya sering muncul lebih dari 7 hari setelah

memulai pengobatan. Ruam tersebut karena hipersensitivitas terhadap bagian

beta-laktam atau gugus amino dalam rantai samping, atau reaksi toksik. Kejadian

ruam makulopapular selama penggunaan ampisilin tidak selalu menghalangi

penggunaan penisilin lain selanjutnya. Namun, karena mungkin sulit dalam

membedakan antara respons hipersensitif dan toksik, tes kulit untuk

hipersensitivitas disarankan sebelum penisilin lain digunakan pada pasien yang

mengalami ruam ampisilin. Kebanyakan pasien dengan infeksi mononukleosis

dan ruam makulopapular mereka yang ketika diobati dengan ampisilin, terdapat

gangguan limfoid lain seperti leukemia limfatik memiliki resiko yang lebih tinggi.

Ampisilin harus dihentikan jika terjadi ruam kulit (Sweetman, 2015).

Reaksi hipersensitivitas dapat muncul tanpa adanya paparan obat

sebelumnya yang diketahui. Hal ini bisa terjadi disebabkan oleh paparan penisilin

sebelumnya yang tidak diketahui di lingkungan (misalnya, dalam makanan yang

berasal dari hewan atau dari penisilin yang memproduksi jamur). Meskipun

eliminasi antibiotik biasanya menghasilkan pembersihan yang cepat dari


34

manifestasi alergi, mereka dapat bertahan selama 1-2 minggu atau lebih lama

setelah terapi dihentikan. Dalam beberapa kasus, reaksinya ringan dan menghilang

bahkan ketika penisilin dilanjutkan, penghentian segera pengobatan penisilin

diperlukan. Pasien yang menunjukkan hipersensitivitas terhadap penisilin dapat

meningkatkan risiko reaksi hipersensitivitas silang saat menerima β-laktam lain

(sefalosporin, karbapenem) (Goodman & Gilman, 2012). Sebagian besar reaksi

yang dimediasi IgE adalah pada MDM (penicilloyl). Istilah reaksi determinan

mayor dan minor mengacu pada frekuensi pembentukan antibodi terhadap hapten

ini. Mereka tidak menggambarkan tingkat keparahan reaksi yang mungkin terjadi.

Faktanya, reaksi anafilaksis terhadap penisilin biasanya dimediasi oleh antibodi

IgE terhadap determinan minor. Antibodi antipenisilin dapat dideteksi pada

hampir semua pasien yang telah menerima obat dan pada banyak pasien yang

tidak pernah secara sadar terpapar obat tersebut. Reaksi alergi langsung

diperantarai oleh sensitisasi kulit atau antibodi IgE, biasanya dengan spesifisitas

minor-determinan (Goodman & Gilman, 2012). Beberapa reaksi disebabkan oleh

kompleks antigen-antibodi toksik dari antibodi IgM spesifik penentu utama.

Reaksi hipersensitivitas paling serius yang dihasilkan oleh penisilin adalah

angioedema dan anafilaksis. Anafilaksis akut atau anafilaktoid reaksi yang

disebabkan oleh berbagai persiapan penisilin merupakan bahaya langsung yang

paling penting terkait dengan penggunaannya. Reaksi anafilaktoid dapat terjadi

pada semua usia. Anafilaksis paling sering terjadi setelah injeksi penisilin,

meskipun juga diamati setelah pemberian oral atau intradermal. Dalam kasus lain,

bronkokonstriksi dengan asma berat, sakit perut, mual, dan muntah, kelemahan

ekstrem, atau diare dan erupsi kulit purpura telah menjadi ciri episode anafilaksis

(Goodman & Gilman, 2012). Resiko hipersensitivitas pada penggunaan beberapa

obat dapat menyebabkan hepatotoksik. Salah satu penyebab timbulnya penyakit


35

liver akut dan kronis adalah obat-obat penginduksi kerusakan liver/ drug induced

liver injury (DILI) atau bersifat hepatotoksik. Hepatoksisitas yang diakibatkan

oleh obat merupakan masalah klinis yang sangat berisiko. Kondisi ini dapat

mempengaruhi proses metabolisme hepar. Obat-obatan yang dapat menginduksi

kerusakan hepar antara lain ranitidine, sefriakson, spironolakton, furosemid, dan

parasetamol (Robiyanto, 2019).

Pasien masuk dengan keluhan demam sehingga diberikan antipiretik yaitu

Sanmol ® 80 mg/8 jam secara intravena. Dosis untuk anak yaitu 10

mg/kgBB, maksimum 30 mg/kg per hari (BN, 2021). Antipiretik digunakan

jika pasien mengalami hipertermia atau demam yaitu suhu di ≥ 38 0 C.

Berdasarkan British National Formulary 80 London for Children menyebutkan

untuk dosis infus intravena paracetamol tidak dilisensikan untuk anak dan

neonatus dengan berat badan di bawah 10 kg. Sehingga perlu perhatian sebelum

pemberian dan dilakukan pemeriksaan kapan dosis parasetamol yang terakhir

diberikan. Beberapa pasien memiliki peningkatan risiko mengalami toksisitas

pada dosis terapeutik, terutama yang memiliki berat badan di bawah 50 kg dan

mereka yang memiliki faktor risiko hepatotoksisitas. Sedangkan pada pasien

An.H hanya memiliki bobot badan 8 kg. Sehingga pasien masuk kedalam kategori

yang memiliki faktor resiko hepatotoksitas. Resiko hepatotoksitas terjadi akibat

terjadinya cedera hepatoseluler akut sehingga mempengaruhi metabolisme hepar

(BNF, 2021; Sweetman, 2015).

Peningkatan SGOT dan SGPT disebabkan kerusakan dinding sel hepar

sehingga digunakan sebagai penanda gangguan integritas sel hepatoseluler.

Peningkatan enzim alanine transminase (ALT)/ SGPT dan aspartate transaminase

(AST)/SGOT sampai 300 µ/L tidak spesifik untuk kelainan hepar saja. namun

peningkatan lebih dari 1000 µ/L dapat dijumpai pada penyakit hepar akibat
36

infeksi virus, iskemik hepar yang disebabkan hipotensi kronis atau gagal jantung

akut, dan kerusakan hepar akibat obat atau zat toksik. Rasio AST/ALT dapat

digunakan untuk melihat beratnya kerusakan sel hepar. Rasio AST/ALT < 0,8

menandakan kerusakan hepar berat atau kronis. Hasil rasio nilai SGOT/SGPT

pada lakilaki adalah 1,7 menunjukkan tingkat kerusakan hepar berat dan pada

perempuan adalah 1,04 menujukkan kerusakan hepar berat juga. Sehingga jika

kadarnya sudah >3 kali batas atas nilai normal maka terapi harus dihentikan

(Robiyanto, 2019). Penggunaan obat penginduksi hepar perlu diperhatikan

melihat bahaya yang ditimbulkannya. Obat-obatan tersebut tidak harus dihindari,

namun cukup dilakukan pemantauan dan penyesuaian dosis yang tepat

(Robiyanto, 2019). Pada pasien An. H tidak memiliki data klinik terkait

pemeriksaan hati atau niali SGOT SGPT. Sehingga kita tidak dapat memonitoring

obat-obat yang dapat menyebabkan hepatotoksik. Maka disarankan untuk

dilakukan pemantauan pemeriksaan hati yaitu SGOT SGPT jika

diperlukan.

Pada hari ke dua yaitu tanggal 13 september 2021 pasien diberikan

methylprednisolone 2 mg per oral setiap 12 jam. Methylprednisolone sebagai

kortikosteroid yang memiliki aktivitas glukokortikoid dan aktivitas antiinflamasi

setara dengan 5 mg prednisolone, regimen yang paling umum penggunaannya 3

hari (Sweetman, 2015). Methylprednisolone masuk kedalam kategori

glukokotikoid kerja sedang jika dibandingkan dengan deksametason dan

betametason sebagai glukokortikoid kerja lama dan efek yang tinggi.

Methylprednisolone mencegah inflamasi dengan mengontrol laju sintesis protein,

menekan migrasi leukosit polimorfonuklear (PMN), fibroblas dan menstabilkan

lisosom pada tingkat sel (Leung, 2014). Pada sebuah penelitian, menyebutkan

bahwa penggunaan Methylprednisolone 15 mg / kg / hari tiap 8 jam untuk


37

pengobatan epilepsi berulang pada anak (Castilo, 2009). Pada kasus pasien An. H

mendapatkan terapi methylprednisilon pertama kali pada tanggal 12 september

2021, sedangkan pasien tidak menunjukan tanda-tanda terjadinya inflamasi baik

dari pemeriksaan hematologi berupa nilai WBC tinggi ataupun keluhan dari

pasien dan jika merujuk pada penelitian sebelumnya, pasien tidak dikategorikan

kedalam epilepsi refrakter yaitu terjadinya serangan epilepsi tiga kali atau lebih

dalam seminggu selama tiga bulan terakhir, sehingga methylprednisolone

direkomendasikan untuk dihentikan.

Pemberian glukokortikoid dapat menekan aksis hipotalamus-hipofisis-

adrenal (HPA) yang menurunkan hormon pelepas cortikotrophin (CRH) dari

hipotalamus, hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari kelenjar hipofisis anterior,

dan kortisol endogen. Penekanan adrenal adalah penyebab paling umum dari

insufisiensi adrenal pada anak-anak dan dikaitkan dengan kematian yang lebih

tinggi pada populasi anak. Anak-anak dengan krisis adrenal sekunder akibat

supresi adrenal dapat menyebabkan hipotensi, syok, penurunan kesadaran, lesu,

hipoglikemia yang tidak dapat dijelaskan, kejang, dan bahkan kematian (BNF,

2020). Sehingga Methylprednisolone tidak direkomendasikan untuk bayi dan

anak-anak, karena penggunaan jangka panjang dapat menghambat pertumbuhan

dan perkembangan anak.

Penggunaan bersamaan secara oral Metylprednisolon berinteraksi dengan

diazepam dengan cara menurunkan kadar atau efek diazepam dengan

mempengaruhi metaboliseme CYP3A4 dihati/usus. Penggunaan bersamaan secara

oral dapat meningkatkan risiko hipokalemia. Hipokalemia dapat meningkatkan

efek obat yang memperpanjang interval QT yaitu waktu yang dibutuhkan jantung

untuk melakukan repolarisasi setelah terjadinya proses depolarisasi yang dapat

menyebabkan aritmia atau membuat denyut jantung tidak normal. Pada pasien ini
38

menunjukkan nilai denyut nadi di atas normal (>100x/menit). Pada pasien An. H

selama dirawat kurang lebih 3 hari menunjukan denyut nadi di atas 100x/menit.

Sehingga pemberian secara oral antara methylprednisolone dan diazepam tidak

direkomendasikan. Pada kasus An.H pasien diberikan diazepam rektal sehingga

dapat menghindari interaksi yang terjadi antara methylprednisolone (BNF, 2020;

Sweetman, 2015).

Pada hari pertama pasien datang dengan keadaan demam dan sebelumnya

mengalami kejang ± 2 menit, sehingga pasien diberikan diazepan 5 mg per rektal.

Berdasarkan penatalaksanaan kejang demam oleh IDAI, dosis diazepam rektal

adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan

kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg, atau diazepam

rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg

untuk anak di atas usia 3 tahun (Husna, 2012). Bila tidak berhenti dengan dua

dosis diazepam maka pasien dapat ditetapkan sebagai status epileptikus dan

diberikan phenitoin (18 mg/kgBB dosis loading dan selanjutnya dosis

maintenance 5 mg/kgBB per hari selama 48 jam). Jika tidak tersedia atau gagal

untuk mengontrol kejang, phenobarbital 15 mg/kgBB intramuskular atau dosis

loading intravena pelan, selanjutnya dosis maintenance 5 mg/kgBB per hari

selama 48 jam (Husna, 2012).

Diazepam bekerja dengan menembus SSP dengan cepat karena sifatnya

yang sangat lipofilik, tetapi dengan cepat mendistribusikan kembali ke dalam

lemak tubuh dan otot. Hal ini menyebabkan penurunan cepat tingkat SSP dan

kekambuhan awal kejang (Chisholm Burns, 2019). Diazepam dan obat lain di

kelas benzodiazepin merupakan modulator alosterik positif dari Kompleks

reseptor GABAA (asam-aminobutirat tipe A), yang mengikat ke situs unik pada

antarmuka subunit alfa-gamma. Interaksi diazepam dengan situs-situs ini


39

meningkatkan neuronal masuknya ion klorida pada pengikatan GABA,

menghasilkan membran postsinaptik hiperpolarisasi, sehingga meningkatkan

respon SSP terhadap GABA endogen. Tindakan potensiasi GABA ini diamati

dalam sistem limbik, talamus, hipotalamus, dan korteks serebral dan memiliki

efek menenangkan. Efek pada proses saraf di daerah ini, menghasilkan efek

ansiolitik dan antiepilepsi (Calcatera, 2014). Penggunaan diazepam rektal adalah

direkomendasikan hanya ketika pengasuh dapat mengenali timbulnya kejang

berulang (Koda Kimbal, 2018). Dosis sekitar 0,3 mg/kg (10 mg) harus diberikan

dan diulangi, jika perlu, dalam waktu 4 sampai 12 jam dari dosis pertama. Harus

dipantau setidaknya selama 4 jam untuk memastikan bahwa tidak ada depresi

pernapasan atau efek samping merugikan lainnya yang terjadi dan untuk menilai

efek obat pada kejangnya. Efek samping yang paling umum yang terlihat dengan

diazepam rektal adalah mengantuk, kadang-kadang disertai pusing dan ataksia

(Koda Kimbal, 2018).

Diazepam yang diberikan secara intravena menurut IDAI pilihan yang

paling cepat menghentikan kejang demam. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-

0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5

menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan

fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1

mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya

adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila kejang belum

berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif (Husna, 2016). Dosis

intravena untuk anak 1 bulan–11 tahun: 300–400 mikrogram/kg (maks. per dosis

10 mg), kemudian 300–400 mikrogram/kg setelahnya 10 menit jika diperlukan,

diberikan selama 3-5 menit. Anak 12-17 tahun: 10 mg, kemudian 10 mg setelah

10 menit jika diperlukan, untuk diberikan selama 3-5 menit. Sedangkan untuk
40

penggunaan rektal dosis anak 1 bulan-1 tahun: 5 mg, kemudian 5 mg setelah 10

menit jika yg dibutuhkan. Anak 2–11 tahun: 5-10 mg, lalu 5-10 mg setelahnya 10

menit jika diperlukan. Anak 12–17 tahun: 10–20 mg, kemudian 10–20 mg

setelahnya 10 menit jika diperlukan (BNF, 2020). Pengobatan diberikan selama 1

tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan

(Husna, M & Hery 2016). Menurut American Academy of Pediatrics

merekomendasikan bahwa rawat inap tidak diperlukan untuk pasien yang stabil

secara klinis lebih dari 18 bulan, tanpa tanda atau gejala yang memerlukan studi

diagnostik. Rawat inap direkomendasikan untuk anak di bawah 18 bulan, untuk

observasi dan kemungkinan pungsi lumbal. Dalam kasus kejang demam berulang,

berikan obat terapi awal darurat jika ada kejang tonik-klonik yang berlangsung >

5 menit. Berikan midazolam oral atau nasal sebagai pengobatan lini pertama.

Pemberian diazepam rektal 0.5 mg/kg saat midazolam tidak tersedia (Aguirre,

2021). Terapi awal yang muncul untuk manajemen kejang demam akut (iktal)

pada anak-anak diberikan Midazolam oral lebih efektif daripada Diazepam rektal,

dan rute intranasal sama efektifnya dengan diazepam IV (bukti Level I) yaitu

pasien dengan kejang demam sederhana di bawah usia 18 bulan. Midazolam oral

atau nasal adalah pengobatan pilihan ketika tidak ada akses ke IV atau untuk

manajemen rumah oleh orang tua. Berdasarkan evidence based Lorazepam rektal

sama efektifnya atau lebih efektif daripada diazepam. Midazolam oral lebih

efektif daripada Diazepam rektal, dan bentuk intranasal sama efektifnya dengan

Diazepam IV (Aguirre, 2021). Sehinga Midazolam oral atau hidung adalah

pengobatan pilihan ketika tidak ada akses ke IV atau untuk pengelolaan rumah

oleh orang tua. Untuk dosis nya secara oral 0,5 mg/kg, ulangi dalam 10 menit jika

perlu, nasal yaitu 0,2-0,5 mg/kg dibagi di setiap lubang hidung, maksimum 10
41

mg, sedangkan untuk intravena yaitu 0,2 mg/kg atau 0,15mg/kg dengan infus dan

untuk intra muskular yaitu 0.2mg/kg atau 5-10 mg, dosis tunggal (Aguirre, 2021).

Pada kasus An H, disarankan untuk penggunaan terapi diazepamnya hanya

intermiten atau digunakan ketika pasien mengalami demam dan kejang. Pasien

yang masuk kedalam kategori kejam sederhana tidak memerlukan terapi

antikonvulsan rumat atau profilaksis. Terapi ini hanya diberikan ketika pasien

memiliki beberapa faktor resiko atau dalam keadaan tertentu seperti kelainan

neurologis berat, kejang terjadi 4 kali atau lebih dalam setahun, usia < 6 bulan,

kejang fokal dan durasinya > 15 menit. Maka pengobatan antikonvulsan rumat

hanya diberikan pada kasus selektif dan pengobatan rumat dapat diberikan selama

1 tahun, penghentian pengobatan untuk kejang demam tidak membutuhkan

tapering off, namun dilakukan pada saat tidak sedang demam (Pusponegoro.

2016). Penanganan untuk pasien kejang demam yang mendapat perawatan di RS

maka pertama pantau tanda-tanda vital (denyut jantung, laju pernapasan, tekanan

arteri, dan oksimetri nadi), berikan oksigen, jika perlu (SaO2 < 90%). Berikan

diazepam bolus intravena dengan dosis 0,5 mg/kg dan kecepatan infus maksimum

5 mg/menit, hentikan bila kejang berhenti. Dosis dapat diulang, jika perlu, setelah

selang waktu 10 menit (pertimbangkan bahwa: Diazepam membutuhkan waktu

sekitar 10 m untuk mencapai konsentrasi yang efektif di otak, bahkan dengan

pemberian intravena). Untuk benzodiazepin, seperti lorazepam memiliki

efektifitas yang sama. Perlu juga dilakukan pemantauan kelebihan basa dan

glukosa dalam darah. Sedangkan tindakan penurunan demam harus dimulai

setelah pemberian benzodiazepin, atau selama tidak mengganggu dan dengan

monitoring rutin (Aguirre, 2021). Sehingga pada kasus ini, pasien diberikan

Stesolid® rektal 5 mg secara indikasi obat sudah rasional akan tetapi secara

pemilihan obat lini pertama direkomendasikan seharusnya diberikan midazolam


42

untuk penanganan awal atau pemberian secara intravena menggunakan diazepam

dosis 0,5 mg/kg dan kecepatan infus maksimum 5 mg/menit, hentikan bila kejang

sudah berhenti.

Berdasarkan data lab pasien yang dilakukan pada tanggal 12 september

2021 menunjukkan beberapa nilai yang tidak normal yang bisa saja menandakan

suatu kelainan atau penyakit lain. Salah satunya adalah dari interpretasi data lab

menunjukkan pasien mengalami anemia mikrositik yaitu dilihat dari nilai Hb :

10,3; MCV:72; MCH: 22,7; HCT : 32,8. Semua data lab ini mengalami penurunan

yang menandakan terjadinya anemia mikrositik (Chisholm, 2019). Berdasarkan

pedoman penangan anemia penentuan status anemia pasien dapat ditunjang

berdasarkan beberapa pemeriksaan laboratorium. Parameter untuk skrining dan

pemeriksaan laboratorium untuk anemia defisiensi zat besi dapat dilakukan

pemeriksaan tes hematologi (Hb, Ht, RDW, MCV). Untuk batasan nilai

hematologi pasien anemia dapat dikategorikan berdasarkan umur dan jenis

kelamin. Untuk kasus An H, pasien berumur 1 tahun sehingga batas nilai

terendah pasien yaitu untuk nilai Hb nya 11 g/dL, nlai Hct 33%, nilai MVC nya

70 µm3. Sehingga berdasarkan data hematologi yang dimiliki pasien mengalami

anemia (Katsogiannou, 2018). Berdasarkan Pharmacotherapy Principles &

Practice Fifth Edition disarankan untuk diberikan Ferrum (Fe) dengan dosis 2,68

ml yang bentuk sedianya berupa sirup.

Untuk perhitungan dosisnya berdasarkan berat badan pasien yaitu:

Dosis (ml) = 0,0442 (Hb standar – Hb pasien) × BB + (0,26 × berat badan)

Sehingga dari perhitungan tersebut pasien diberikan dosis 2,68 ml Ferrum

(Fe) (Chislohm-Burns, 2019). Pemantauan terapi anemia perlu dilakuan untuk


43

melihat perbaikan terhadap nilai hemoglobin pada pasien. Parameter yang perlu di

evaluasi yaitu nilai Hb harus ada perbaikan atau penigkatan Hb 1,0 g/dL (10 g/L

atau 0,62 mml/L) per minggu (Chislohm Burns. 2019). setelah diberikan terapi

Ferrum (Fe).

IV.2. Pemberian Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)

Pasien pulang pada tanggal 14 September 2021 dengan kondisi mulai

membaik dan tidak kejang lagi. Pasien diberikan Sanmol® drops 1 ml tiap 8 jam

dan Ampicillin 200 mg 1 puyer tiap 8 jam. Hal-hal yang perlu di edukasikan pada

orang tua atau keluarga pasien terkait obat pulang yang diberikan pasien yaitu:

1. Pasien diinformasikan terkait obat yang diberikan mulai dari ungsi

obatnya aturan pakai dan cara penyimpanan obatnya.

2. Pasien di informasikan terkait cara minum obatnya, untuk Sanmol ® drops

yang berisikan paracetamol sebagai antipiretik atau penurun demam pasien

diberikan sesuai aturan dosis dan untuk obat nya dapat diberhentikan jika

pasien sudah tidak demam lagi. Untuk masa penyimpanan nya sendri

setelah obat dibuka maka Beyond Use Date (BUD) obat yaitu 14 hari

3. Pasien di informasikan terkait obatnya, untuk Ampicillin yang merupakan

antibiotik maka penggunaannya harus teratur dan dihabiskan meskipun

keluhan pasien sudah hilang atau sembuh. Untuk Beyond Use Date (BUD)

dari puyer ini yaitu satu bulan dari waktu peracikan.

4. Pasien juga diedukasi jika terjadi efek samping obat yang dirasakan seperti

ruam, gatal atau kemerahan maka segerag periksakan ke dokter


44

IV.3. Uraian Obat

1. Vicillin-sx® 1500 (Sweetman, 2015; BNF, 2021).

a. Komposisi

Setiap vial berisi 1500 mg yang mengandung ampicillin 1000 mg dan

surbactam 500 mg

b. Farmakologi

Vicillin® mengandung ampicillin yang merupakan antibakteri β-

laktam sprektrum luas, yang berkerja dengan mengganggu sintesis dinding

sel bakteri selama replikasi aktif, menyebabkan aktivitas bakterisida

terhadap organisme yang rentan

c. Indikasi

Digunakan dalam pengobatan berbagai infeksi karena organisme yang

rentan diantaranya infeksi saluran empedu, bronkitis, endokarditis, gastro-

enteritis (termasuk enteritis salmonella dan shigellosis), gonore, listeriosis,

meningitis, infeksi streptokokus perinatal, peritonitis, pneumonia,

septikemia, demam tifoid dan paratifoid, dan infeksi saluran kemih

(Sweetman, 2015).

d. Interaksi obat

Berinteraksi dengan antibakteri bakteriostatik seperti kloramfenikol

dan tetrasiklin

e. Efek samping obat

Ruam kulit adalah salah satu efek samping yang paling umum,

anemia sering terjadi, infeksi kandida, sembelit, ketidak nyamanan

gastrointestinal, sakit kepala, insomnia, dermatitis (Sweetman. 2015).

f. Peringatan dan perhatian


45

Sesuaikan dosis pada gagal ginjal, mengevaluasi ruam dan

membedakan dari reaksi hipersensitivitas

g. Dosis dan aturan pakai

Anak: 25 mg/kg BB setiap 6 jam (maks. per dosis 500 mg setiap 6

jam), ditingkatkan jika perlu hingga 50 mg/kg BB setiap 6 jam (maks. per

dosis 1 g setiap 6 jam)

h. Farkokinetik

Ampisilin relatif tahan terhadap inaktivasi oleh asam lambung dan

cukup baik diserap dari saluran pencernaan setelah dosis oral. Makanan

bisa mengganggu dengan penyerapan ampisilin sehingga dosis sebaiknya

diambil setidaknya 30 menit sebelum makan. Puncak konsentrasi dalam

plasma dicapai dalam waktu sekitar 1 sampai 2 jam dan setelah dosis oral

500 mg dilaporkan berkisar antara 3 sampai 6 mikrogram/mL.

Ampisilin didistribusikan secara luas dan konsentrasi terapeutik dapat

dicapai pada asites, pleura, dan sendi cairan. Sekitar 20% terikat pada

protein plasma dan plasma waktu paruh adalah sekitar 1 sampai 1,5 jam,

tetapi ini dapat meningkat pada neonatus, orang tua, dan pasien dengan

penyakit ginjal penurunan nilai, pada gangguan ginjal berat waktu paruh

menjadi 7 sampai 20 jam.

Ampisilin dimetabolisme sampai batas tertentu menjadi penisilin asam

yang dikeluarkan melalui urin. Pembersihan ampisilin oleh ginjal sebagian

terjadi melalui filtrasi glomerulus dan sebagian oleh sekresi tubulus.

Sekitar 20% hingga 40% dari dosis oral dapat diekskresikan tidak berubah

dalam urin dalam 6 jam. Setelah penggunaan parenteral sekitar 60%

sampai 80% diekskresikan dalam urin dalam waktu 6 jam.


46

i. Farkodinamik

Ampisilin adalah antibiotik penisilin β-laktam yang digunakan dalam

pengobatan infeksi bakteri yang disebabkan oleh organisme yang rentan,

memiliki aktivitas bakteri aerob dan anaerob gram positif dan gram

negatif. Ampisilin stabil terhadap hidrolisis oleh berbagai β-laktamase,

termasuk penisilinase, dan sefalosporinase dan beta-laktamase spektrum

luas. Aktivitas bakterisida Ampisilin dihasilkan dari penghambatan

sintesis dinding sel dan dimediasi melalui pengikatan Ampisilin ke protein

pengikat penisilin (PBPs). Ampisilin menghambat tahap ketiga dan

terakhir dari sintesis dinding sel bakteri. Lisis sel kemudian dimediasi oleh

enzim autolitik dinding sel bakteri seperti autolisin; ada kemungkinan

bahwa Ampisilin mengganggu penghambat autolisin.

2. Diazepam rektal (Sweetman, 2015; BNF, 2021).

a. Komposisi

Setiap suppo mengandung 5 mg diazepam/ 2.5 ml

b. Farmakologi

Memodulasi efek postsynaptic dari transmisi GABA

c. Indikasi

Digunakan pemakaian jangka pendek pada ansietas atau insomnia,

tambahan pada putus alkohol akut, status epileptikus, kejang demam,

spasme otot.

d. Kontraindikasi

Depresi pernapasan, gangguan hati berat, miastenia gravis, insufisiensi

pulmoner akut, kondisi fobia dan obsesi, psikosis kronik, glaukoma sudut

sempit akut, serangan asma akut, trimester pertama kehamilan, bayi


47

prematur, tidak boleh digunakan sendirian pada depresi atau ansietas

dengan depresi.

e. Interaksi obat

Metylprednisolon berinteraksi dengan diazepam dengan cara

menurunkan kadar atau efek diazepam dengan mempengaruhi

metaboliseme CYP3A4 dihati/usus

f. Efek samping obat

Mengantuk, sedasi, kelemahan otot, dan ataksia adalah efek samping

yang paling sering dari penggunaan diazepam. Efek yang lebih jarang

terjadi termasuk vertigo, sakit kepala, kebingungan, depresi (tetapi lihat

efek pada fungsi mental, di bawah), bicara cadel atau disartria, perubahan

libido, tremor, gangguan penglihatan, retensi urin atau inkontinensia,

gangguan gastrointestinal, perubahan salivasi, dan amnesia.

g. Peringatan dan perhatian

Penggunaan berhati-hati saat mengemudi atau mengoperasikan mesin,

hamil, menyusui, bayi, lansia, penyakit hati dan ginjal, penyakit

pernapasan, kelemahan otot, riwayat penyalahgunaan obat atau alkohol,

kelainan kepribadian yang nyata, kurangi dosis pada lansia dan debil,

hindari pemakaian jangka panjang, peringatan khusus untuk injeksi

intravena, porfiria.

h. Dosis dan aturan pakai

Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5

mg untuk anak dengan BB < dari 10 kg dan 10 mg untuk BB > dari 10 kg.

Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun

atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun.


48

i. Farmakokinetika

Diazepam mudah dan sepenuhnya diserap dari saluran pencernaan,

konsentrasi plasma puncak terjadi dalam waktu sekitar 30 sampai 90 menit

dari dosis oral. Diazepam cepat diserap ketika diberikan secara rektal dan

larutan, konsentrasi plasma puncak dicapai setelah sekitar 10 sampai 30

menit. Diazepam memiliki waktu paruh dengan kecepatan awal fase

distribusi dan fase eliminasi terminal yang berkepanjangan selama 1 atau 2

hari, dan aksinya semakin diperpanjang dengan waktu paruh yang lebih

lama yaitu 2 sampai 5 hari.

Diazepam dimetabolisme secara ekstensif di hati, terutama melalui

isoenzim sitokrom P450 CYP2C19, diekskresikan dalam urin, terutama

dalam bentuk metabolit bebas atau terkonjugasi. Diazepam 98 hingga 99%

terikat pada protein plasma. Waktu paruh eliminasi plasma diazepam atau

metabolit memanjang pada neonatus, pada orang tua, dan pada pasien

dengan penyakit hati. Selain melintasi sawar darah-otak, diazepam dan

metabolitnya juga melintasi penghalang plasenta dan didistribusikan ke

ASI.

j. Farmakodinamika

Memodulasi efek postsynaptic dari transmisi GABA-A, sehingga

mengakibatkan peningkatan hambatan presynaptic. Reseptor

benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat dengan kerapatan

yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, di

hipotalamus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini, benzodiazepin akan

bekerja sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas

farmakologi berbagai benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptornya

akan meningkat. Dengan sifat reseptor GABA, saluran ion akan terbuka
49

sehingga ion klorida akan menyebabkan hiperpolarisasi sel bersangkutan

sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang berkurang. Bekerja

pada sistem limbik, talamus, dan hipotalamus untuk menimbulkan efek

menenangkan.

3. Methylprednisolone (Sweetman, 2015; BNF, 2021).

a. Komposisi

Tiap tablet mengandung 4 mg methylprednisolon

b. Farmakologi

Metilprednisolon merupakan glukokortikoid turunan prednisolon

dengan potensi yang lebih tinggi daripada prednisone. Glukokortikoid

menghambat apoptosis dan demarginasi neutrophil, mereka menghambat

fosfolipase, yang mengurangi pembentukan turunan asam arakidonat,

mereka menghambat NF-Kappa B dan faktor transkripsi inflamasi lainnya,

mereka mempromosikan gen anti-inflamasi seperti interleukin.

Kortikosteroid dosis rendah memberikan efek antiinflamasi, sedangkan

dosis yang lebih tinggi bersifat imunosupresif. Glukokortikoid dosis tinggi

untuk waktu yang lama mengikat reseptor mineralokortikoid,

meningkatkan kadar natrium dan menurunkan kadar kalium

c. Indikasi

Inflamasi dan gangguan alergi, udema serebral dihubungkan dengan

keganasan, penyakit rematik

d. Kontrantraindikasi

Tidak digunakan untuk orang yang mengonsumsi susu sapi reaksi

alergi yang serius, termasuk bronkospasme dan anafilaksis, telah

dilaporkan pada pasien yang alergi terhadap protein susu sapi, dan

pemberian vaksinasi dan laktasi


50

e. Interaksi

Quinidin akan meningkatkan kadar methylprednisiolon oleh

transporter P-glikoprotein, hindarai atau cari alternatif. Rimfapisin akan

menurunkan kadara obat ini dengan mempengaruhi metabolisme enzim

CYP3A4. Methylprednisolon akan menurunkan kadar atau efek diazepam

dengan metabolisme enzim CYP3A4 di hati atau usus. Perlu diakukan

monitoring. Antikoagulan, fenobarbotal, fenitoin

f. Efek samping obat

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, kelemahan otot,

osteonekrotis aseptik, tukak, peningkatan intraocular (TIO), hambatan

pertumbuhan, gangguan siklus menstruasi.

g. Peringatan dan perhatian

Herpes simpleks pada mata, cenderung terjadi psikosis, colitis

ulseratif, tukak peptik akut atau laten, TB, wanita hamil dan ginjal.

h. Dosis dan aturan pakai

Anak: 0,5–1,7 mg/kg setiap hari dalam 2–4 dosis terbagi

i. Farmakokinetika

Kortikosteroid, secara umum, mudah diserap dari saluran pencernaan

ketika diberikan secara lokal. Setelah penggunaan topikal, terutama di

kulit rusak, atau digunakan rektal sebagai enema, kortikosteroid cukup

untuk diserap untuk memberikan efek sistemik. Bentuk kortikosteroid

yang larut dalam air dapat diberikan melalui injeksi intravena yang dapat

menghasilkan respon yang cepat, efek yang lebih lama dicapai dengan

menggunakan bentuk kortikosteroid yang larut dalam lemak dengan

injeksi intramuskular.
51

Kortikosteroid didistribusikan dengan cepat ke seluruh jaringan tubuh.

Mereka melintasi plasenta ke berbagai tingkat dan dapat didistribusikan

dalam jumlah kecil ke dalam ASI. Kebanyakan kortikosteroid dalam

sirkulasi secara ekstensif terikat pada protein plasma, terutama pada

globulin dan sedikit jadi albumin. Globulin pengikat kortikosteroid

(transcortin) memiliki afinitas tinggi tetapi kapasitas pengikatan rendah,

sedangkan albumin memiliki afinitas rendah tetapi kapasitas pengikatan

besar. Kortikosteroid sintetis kurang ekstensif terikat protein daripada

hidrokortison (kortisol). Mereka juga cenderung memiliki waktu paruh

yang lebih lama. Kortikosteroid dimetabolisme terutama di hati tetapi juga

di jaringan lain, dan diekskresikan dalam urin.

j. Farmakodinamika

Kortikosteroid mempengaruhi banyak jalur inflamasi. Untuk

memberikan efek, molekul steroid berdifusi melintasi membran sel dan

berikatan dengan reseptor glukokortikoid, yang menyebabkan perubahan

konformasi pada reseptor. Kompleks reseptor-glukokortikoid mampu

bergerak ke dalam inti sel, di mana ia mengalami dimerisasi dan berikatan

dengan respons glukokortikoid elemen. Elemen respons glukokortikoid

dikaitkan dengan gen yang menekan atau merangsang transkripsi, yang

menghasilkan asam ribonukleat dan sintesis protein, efek ini disebut

transrepresi atau transaktivasi, masing-masing. Pada akhirnya, agen ini

menghambat faktor transkripsi yang mengontrol sintesis mediator pro-

inflamasi, termasuk makrofag, eosinofil, limfosit, sel mast, dan sel

dendritik. Efek penting lainnya adalah penghambatan fosfolipase A2, yang

bertanggung jawab untuk produksi banyak mediator inflamasi


52

4. Sanmol® (paracetamol)

a. Komposisi

Setiap 100 ml mengandung 1000 mg paracetamol

b. Farmakologi

Bekerja pada hipotalamus untuk menghasilkan antipiresis, dapat

bekerja secara perifer untuk memblokir generasi implus nyeri, juga dapat

menghambat sintesis prostaglandin di SSP

c. Indikasi

Sebagai antipiretik dan analgesik

d. Kontraindikasi

Gangguan hati, tidak direkomendasikan digunakan pada anak usia <2

bulan secara oral dan <3 bulan secara rektum

e. Interaksi

Risiko toksisitas parasetamol dapat meningkat pada pasien yang

menerima obat lain yang berpotensi hepatotoksik atau obat yang

menginduksi enzim mikrosomal hati. Penyerapan parasetamol dapat

dipercepat oleh obat-obatan seperti metoklopramid. Ekskresi mungkin

terpengaruh dan konsentrasi plasma berubah ketika diberikan dengan

probenesid. Colestyramine mengurangi penyerapan parasetamol jika

diberikan dalam waktu 1 jam setelah parasetamol.

f. Efek samping obat

Pusing, mual munta, konstipasi, ruam kulit sederhana, syok anafilaksis

g. Peringatan dan perhatian

Hipersensitivitas dan reaksi anafilaksis hentikan jika terjadi, gunakan

hati-hati pada pasien dengan gangguan hati dan ginjal, dehidrasi kronis

dan kekurangan gizi


53

h. Dosis dan aturan pakai

Anak (berat badan hingga 10 kg): 10 mg/kg setiap 4-6 jam, dosis

diberikan selama 15 menit, maksimum 30 mg/kg per hari. Anak (berat

badan 10–50 kg): 15 mg/kg setiap 4–6 jam, dosis yang akan diberikan

selama 15 menit, maksimum 60 mg/kg per hari. Anak (berat badan 50 kg

ke atas): 1 g setiap 4–6 jam, dosis yang akan diberikan selama 15 menit,

maksimum 4 gr/hari.

i. Farmakokinetika

Parasetamol mudah diserap dari saluran pencernaan dengan

konsentrasi plasma puncak terjadi sekitar 10 sampai 60 menit setelah dosis

oral. Parasetamol adalah didistribusikan ke sebagian besar jaringan tubuh.

Waktu paruh eliminasi parasetamol bervariasi dari sekitar 1 sampai 3 jam.

Parasetamol dimetabolisme terutama di hati dan diekskresikan dalam urin

terutama sebagai konjugat glukuronida dan sulfat. Kurang dari 5%

diekskresikan sebagai tidak berubah parasetamol..

j. Farmakodinamika

Paracetamol meningkatkan ambang nyeri dengan menghambat dua

isoform siklooksigenase, COX-1 dan COX-2, yang terlibat dalam sintesis

prostaglandin (PG). Prostaglandin bertanggung jawab untuk menimbulkan

sensasi nyeri. Paracetamol tidak menghambat siklooksigenase di jaringan

perifer dan, oleh karena itu, tidak memiliki efek antiinflamasi perifer

5. Asering infus

a. Komposisi

Dalam 500 ml kemasan plabottole mengandung elektrolit 130 Na +,

108,7 Cl- , 4 K+, 27 Ca++, 28 acetat

b. Farmakologi
54

Asering mengandung berbagai elektrolit. Asering masuk ke dalam

golongan larutan yang digunakan untuk mempengaruhi keseimbangan

elektrolit dan tersedia dalam bentuk larutan injeksi intravena (disuntikkan

melalui pembuluh darah).

c. Indikasi

Untuk mengganti kehilangan akut cairan ekstra seluler dan

meningkatkan perfusi jaringan

d. Kontraindikasi

Kontraindikasi pada pasien gagal jantung, kerusakan ginjal, edema

pulonari yang disebabkan oleh retensi Na dan hiperproteinaemia,

hiperhidrasi, hiperkalemia, hiperkloremia, hypernatremia.

e. Interaksi

Aspirin, cyclosporine, doxycycline, manitol, terbutaline, indometacin

f. Efek samping obat

Tromboflebitis, Hiperglikemia (kadar gula darah lebih tinggi dari nilai

normal) Iritasi lokal. Anuria (tubuh tidak mampu memproduksi urin).

g. Dosis dan aturan pakai

Dosis disesuaikan setiap individu berdasarkan kebutuhan cair dan

berat badan
BAB V
PENUTUP
V.I Kesimpulan

Berdasarkan pengamatan klinik yang dilakukan pada pasien An.H yang

mendapat diagnosa kejang demam sederhana yang dirawat di ruang melati, secara

umum terapi yang diberikan sudah rasional, tetapi ada Drug Related Problems

(DRPs) yang ditemukan, diantaranya:

1. Terdapat interaksi obat antara diazepam dan methtylprednisolon yang

mempengaruhi metabolismenya sehingga kadar atau efek diazepam

menurun.

2. Menurut American Academy of Pediatrics merekomendasikan penangan

kejang demam pada anak dengan durasi kejang < 5 menit yaitu midazolam

nasal atau diazepam iv 0,2-0,5 mg/kgBB

3. Pada kasus pasien ini diberikan diazepam rektal 5 mg. berdasarkan

American Academy of Pediatrics diazepam rektal digunakan apabila

terapi intravena tidak tersedia atau diazepam rektal ini diperuntukkan

untuk penanganan di rumah.


V.2. Saran

1. Untuk Sistem Pelayanan Kefarmasian di RS Andi Makkasau.

Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian, seorang apoteker diharapkan

mampu berkontribusi secara aktif di dalam memberikan pelayanan kesehatan, dan

meningkatkan kolaborasi dengan tenaga medis lainnya untuk menunjang outcome

terapi pasien

55
56

2. Untuk Terapi Pasien

Setelah pasien An.H keluar dari rumah sakit dan melakukan rawat jalan,

maka sebaiknya pengobatan pasien tetap dipantau terutama karena pasien

merupakan anak-anak yang memiliki riwayat kejang sebelumnya dan

memberikan edukasi kepada keluarga pasien dalam menyikapi jika kejang pasien

berulang.
DAFTAR PUSTAKA

Aguirre-Velázquez, C. G., Huerta Hurtado, A. M., Ceja-Moreno, H., Salgado-


Hernández, K., San Román-Tovar, R., Ortiz-Villalpando, M. A., … Huerta-
Albarrán, R. (2021). Clinical guideline: febrile seizures, diagnosis, and
treatment. Revista Mexicana de Neurociencia, 20(2), 97–103.
https://doi.org/10.24875/rmn.m19000029
BNF Staff. British National Formulary 80. London: Royal Pharmaceutical
Society. 2021
Borowicz-Reutt, K. K., Czuczwar, S. J., & Rusek, M. (2020). Interactions of
antiepileptic drugs with drugs approved for the treatment of indications other
than epilepsy. Expert Review of Clinical Pharmacology, 13(12), 1329–1345.
https://doi.org/10.1080/17512433.2020.1850258
Calcaterra, N. E., & Barrow, J. C. (2014). Classics in chemical neuroscience:
Diazepam (valium). ACS Chemical Neuroscience, 5(4), 253–260.
https://doi.org/10.1021/cn5000056
Chung, S. (2014). Febrile seizures. Korean Journal of Pediatrics, 57(9), 384–395.
https://doi.org/10.3345/kjp.2014.57.9.384
Chisholm-Burns. Schinghammer. Malone. Kolesar. Bookstaver. and Lee,Kelly.
2019 Pharmacotherapy: Principles & Practice. New York: McGraw Hill.
Dustin., Smith, Kerry.P., Sadler, Molly., Benedum (2019). Febrile Seizures:
Risks, Evaluation, and Prognosis. American Family Physician, 99(7), 445–
450. Retrieved from http://www.embase.com/search/results?
subaction=viewrecord&from=export&id=L627113500
Duffner, P. K., Berman, P. H., Baumann, R. J., Fisher, P. G., Green, J. L.,
Schneider, S., &Davidson, C. (2011). Clinical practice guideline -
Neurodiagnostic evaluation of the child with a simple febrile seizure.
Pediatrics, 127(2), 389–394. https://doi.org/10.1542/peds.2010-3318

Drug Bank. Open Data Drug & Drug Target Database, tersedia di
www.drugbank.ca diakses tanggal 19 september 2021

Dipiro, Joseph T. Yee, Gery C. Posey,L. Haines, Stuart T. Nolin, Thomas D. and
Ellingrond. 2020. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Ed11.
New York: Mc Graw Hill.

Febiana, T. (2012). Di Bangsal Anak Rsup Dr . Kariadi Semarang Laporan Hasil


Di Bangsal Anak Rsup Dr . Kariadi Semarang Periode Agustus-Desember
2011. Kti. Universitas Diponegoro, 1–70.

Goyal, A., Zheng, Y., Albenberg, L. G., Stoner, N. L., Hart, L., Alkhouri, R., …

57
Grossman, A. (2020). Anemia in Children With Inflammatory Bowel Disease:
A Position Paper by the IBD Committee of the North American Society of
Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. Journal of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition, 71(4), 563–582.
https://doi.org/10.1097/MPG.0000000000002885

Goodman & Gilman, 2012, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, Editor Joel. G.
Hardman & Lee E. Limbird, Konsultan Editor Alfred Goodman Gilman,
Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta

Husna, M., & Hery Prasetyo, B. (2016). Biomolecular Aspects and Update on
Treatment of Cerebral Malaria. MNJ (Malang Neurology Journal), 2(2), 02–
03. https://doi.org/10.21776/ub.mnj.2016.002.02.6

Ismoedijanto, I. (2016). Demam pada Anak. Sari Pediatri, 2(2), 103.


https://doi.org/10.14238/sp2.2.2000.103-8

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Badan Pusat


Statistik. (2019). Profil Anak Indonesia Tahun 2019. Kementerian
Pemerdayaan Perempuan Dan Perlindngan Anak (KPPPA), 378. Retrieved
from https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/15242-profil-anak-
indonesia_-2019.pdf

Koda-Kimble MA, Young LY, Alldredge B, Corelli RL, Guglielmo BJ, Kradjan
WA, Williams BR. 2018. Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs
(11th Edition). Lippincott Williams & Wilkins, USA;

Katsogiannou, E. G., Athanasiou, L. V., Christodoulopoulos, G., & Polizopoulou,


Z. S. (2018). Diagnostic approach of anemia in ruminants. Journal of the
Hellenic Veterinary Medical Society, 69(3), 1033–1046.
https://doi.org/10.12681/jhvms.18866

Kurniati, I. (2020). Anemia Defisiensi Zat Besi ( Fe ) Iron Deficiency ( Fe )


Anemia. Jurnal Kedokteran Universitas Lampung, 4(1), 18–33.

Leung, A. K. C., Hon, K. L., & Leung, T. N. H. (2018). Febrile seizures: An


overview. Drugs in Context, 7, 1–12. https://doi.org/10.7573/dic.212536

Madscape. Drug Information. 2021 tersedia di


(http://www.referensce.medscape.com/), diakses tanggal 9 September 2021
Mims Indonesia. Drug Search. 2019. Tersedia di www.mims.com diakses tanggal
18 September 2021

58
Natsume, J., Hamano, S. ichiro, Iyoda, K., Kanemura, H., Kubota, M., Mimaki,
M., … Sugie, H. (2017). New guidelines for management of febrile seizures
in Japan. Brain and Development, 39(1), 2–9.
https://doi.org/10.1016/j.braindev.2016.06.003

Pusponegoro, H., Widodo, D. P., & Ismael, S. (Ikatan D. A. I. (2016). Konsensus


Penatalaksanaan Kejang Demam. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 1–23.
Retrieved from
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/Konsensus-
Penatalaksanaan-Kejang-Demam.pdf

Putri, L. M., Hutabarat, S., & Shafira, N. N. A. (2017). Hubungan anemia


defisiensi besi dengan kejang demam pada anak balita. Jambi Medical
Journal, 5(1), 68–77. Retrieved from
https://online-journal.unja.ac.id/kedokteran/article/view/3703

Resti, H. E., Indriati, G., & Arneliwati, A. (2020). Gambaran Penanganan


Pertama Kejang Demam Yang Dilakukan Ibu Pada Balita. Jurnal Ners
Indonesia, 10(2), 238. https://doi.org/10.31258/jni.10.2.238-248

Robiyanto, R., Liana, J., & Purwanti, N. U. (2019). Kejadian Obat-Obatan


Penginduksi Kerusakan Liver pada Pasien Sirosis Rawat Inap di RSUD
Dokter Soedarso Kalimantan Barat. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 6(3),
274. https://doi.org/10.25077/jsfk.6.3.274-285.2019

Sweetman. (2015). Martindale The Complete Drug Reference Thirty-sixth edition


Edited.

59

Anda mungkin juga menyukai