GELOMBANG I
(PERIODE 1 – 30 SEPTEMBER 2021)
OLEH :
NURFADILLAH ALFIAH JS
N014202112
1
LEMBAR PENGESAHAN
DISUSUN OLEH:
NURFADILLAH ALFIAH JS
N014202112
MENYETUJUI :
A.Anggriani,S.Si,M.Clin.Pharm.,Apt Nurdaya,S.Si,M.Si.,Apt
NIP: 19930506 202005 4 001 NIP : 19840707 2009022011
MENGETAHUI,
Koordinator PKPA Farmasi Rumah Sakit Kepala Instalasi Farmasi
Program Studi Profesi Apoteker RSUD Andi Makkasau Parepare
Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin
Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt Dra. Hj. Nurdjihadi Arsyad., Apt.
NIP: 19560114 198601 2 001 NIP : 1960610 198803 2 005
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh kegiatan
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Rumah Sakit di Rumah Sakit
Andi Makkasau pada periode September 2021 dengan baik dan lancar dan telah
menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker sebagai salah satu syarat
dalam menyelesaikan Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin Makassar.
Dalam penyusunan laporan ini tidak sedikit hambatan yang telah dilalui
oleh penulis, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada semua pihak yang berperan dalam memberikan dukungan dan
bantuan sehingga laporan ini dapat terselesaikan dengan baik. Maka dari itu,
penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Prof. Subehan, S.Si., M.Pharm.Sc., Ph.D., Apt. Selaku Dekan Fakultas
Farmasi Universitas Hasanuddin; Ibu Prof. Dr.rer.nat. Marianti A. Manggau,
Apt. selaku Wakil Dekan I; Ibu Dr. Sartini, M.Si., Apt. selaku Wakil Dekan
II; dan Ibu Yulia Yusriani Djabir, S.Si., MBM Sc., M.Si., PhD., Apt. selaku
Wakil Dekan III Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
2. Bapak Usmar, S.Si., M.Si., Apt. selaku Ketua Program Studi Profesi
Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin, sekaligus selaku
Pembimbing PKPA Rumah Sakit Program Studi Profesi Apoteker Fakultas
Farmasi Universitas Hasanuddin.
3. Ibu Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt. selaku Koordinator Praktik Kerja
Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Rumah Sakit.
4. Ibu A. Anggriani, S.Si., M.Clin.Pharm., Apt selaku pembimbing Praktik
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Rumah Sakit.
5. Ibu Nurdaya, S.Si., M,Si, Apt. selaku pembimbing teknis beserta seluruh
apoteker di Instalasi Farmasi RSUD Andi Makkasau Kota Pare-pare yang
telah membimbing, memeberikan saran, petujuk serta nasehat selama penulis
3
melakukan Praktek Kerja Profesi Apoteker di RSUD Andi Makkasau Kota
Pare-pare
6. Ibu Dra. Hj. Nurdjihadi Arsyad., Apt selaku kepala Instalasi Farmasi RSUD
Andi Makkasau Kota Pare-pare dan seluruh jajarannya yang telah
membagikan banyak ilmu pengetahuan dalam pelayanan kefarmasian di
rumah sakit
7. Ibu dr.A. Rismawati.Sp.A selaku dokter yang telah membimbing, memberi
saran, petunjuk serta nasehat selama penulis melakukan Praktek Kerja Profesi
Apoteker di RSUD Andi Makkasau
7. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Andi Makkasau Kota Pare-pare dan
seluruh jajarannya yang telah membantu penulis dalam menjalankan Praktek
Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Penulis menyadari bahwa masih terdapat berbagai kekurangan pada
penyusunan laporan ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan demi penyempurnaan laporan ini kedepannya. Semoga laporan ini
dapat bermanfaat untuk kita semua.
Nurfadilllah alfiah JS
4
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR........................................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................................v
DAFTAR TABEL...............................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................vii
DAFTAR SINGKATAN..................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
I.1 Latar Belakang…………………………………………………………….1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………5
II.1. Demam....................................................................................................5
II.2. Kejang Demam.........................................................................................6
II.3. Anemia Pada Anak................................................................................14
II.4. Interaksi Obat-obat Antikonvulsan.......................................................20
II.5. Penggunaan Antibiotik Pada Anak.......................................................21
BAB III STUDI KASUS………………………………………………………..23
III.1. Profil Penderita………………………………………………………..24
III.2. Profil Penyakit…………………………………………………………24
III.3. Data Klinik…………………………………………………………….25
III.4. Data Laboratorium…………………………………………………….25
III.5. Profil Pengobatan……………………………………………………...26
III.6. Analisis SOAP Pengobatan Paien…………………………………….28
BAB IV PEMBAHASAN………………………………………………………31
IV.1. Analisis DRP.........................................................................................42
IV.2. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) Obat...................................42
IV.3. Uraian Bahan Obat................................................................................45
BAB V PENUTUP………………………………………………………………56
V.1 Kesimpulan …………………………………………………………...56
V.2 Saran…………………………………………………………………..56
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...58
5
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Pemeriksaan Tanda-tanda Vital………………………………………24
Tabel 2 : Pemeriksaan Data Klinik……………………………………………...24
Tabel 3 : Data Laboratorium Hematologi……………………………………….25
Tabel 4 : Profil Pengobatan Pasien……..……………………………………….25
Tabel 5 : Analisis SOAP Pengobatan Pasien….………………………………...26
Tabel 6 : Hasil Pemeriksaan Data Penunjang…………………………………...25
Tabel 7 : Analisis Rasionalitas Obat……………………………………………..27
6
DAFTAR GAMBAR
7
DAFTAR SINGKATAN
WBC : White Blood Cell Count
NEU : Neutrophil
LYM : Lymphocyte
MON : Monosit
EOS : Eosinophil
BAS : Basofil
RBC : Red Blood Cell Count
HGB/ : Hemoglobin
Hb
HCT : Hematokrit
MCV : Mean Corpuscular Volume
MCH : Mean Corpuscular Hemoglobin
MCHC : Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration
RDW : Red Distribution Width
PLT : Platelet
MPV : Mean Platelet Volume
PDW : Platelet Distribution Width
PCT : Procalcitonin
P-LCR : Platelet Large Cell Ratio
AAP : Academy Of Pediatrics
ILAE : International League Against Epilepsy
ADB : Anemia Defisiensi Besi
GABA : Gamma Amino Butyric Acid
ACTH : Adrenokortikotropik
8
BAB I
PENDAHULUAN
pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Tuntutan pasien dan masyarakat akan
dari paradigma lama yang awalnya hanya berorientasi pada obat/produk menjadi
manajemen rumah sakit akan fungsi farmasi rumah sakit, kebijakan manajemen
farmasi rumah sakit. Akibat kondisi ini maka pelayanan farmasi rumah sakit
masih bersifat konvensional yang hanya berorientasi pada produk yaitu sebatas
1
2
menyebutkan bahwa salah satu standar yang harus dipenuhi adalah terlaksananya
diterima secara langsung oleh pasien oleh apoteker dalam rangka meningkatkan
outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek yang tidak di inginkan
dari pengobatan yang diberikan, dengan tujuan keselamatan pasien (patient safety)
sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin dan pasien tidak lagi
gangguan kesehatan atau kejiwaan, baik karena penyakit akut, penyakit kronis,
kecelakaan, kriminal atau hal lain. Seorang dikatakan sakit apabila memiliki
Indonesia tahun 2019, menyebutkan anak usia 0-17 tahun yang mengalami
memerlukan penanganan yang lebih dari sekedar berobat jalan. Tentunya tenaga
Pengawasan lebih intensif oleh tenaga kesehatan pada fasilitas kesehatan yang
anak yang menjalani rawat inap akan memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih
menyeluruh, termasuk observasi, diagnosis, terapi, dan tindakan yang lebih tepat.
Sebesar 49% anak mengalami keluhan kesehatan dan rawat inap dalam setahun
Salah satu penyakit yang sering dilaporkan terjadi pada anak yang di rawat
inap yaitu kejang demam. Angka kejadian kejang demam di Asia dilaporkan lebih
tinggi, sekitar 8,3-9,9%. Angka kejadian kejang demam di Indonesia pada tahun
2012-2013 berjumlah 3-4% pada anak yang berusia 6 bulan-5 tahun (Resti, 2020).
menakutkan bagi orang tua, sehingga sebagai dokter kita wajib mengatasi kejang
dengan tepat dan cepat. Penanganan kejang demam sampai saat ini masih terjadi
penanganan pertama, diikuti kondisi kegawatdaruratan lain yang terjadi pada anak
adalah sesak nafas, kenaikan suhu yang terus menerus, dan cedera fisik.
Kebanyakan ibu tidak menyadari akan bahaya yang ditimbulkan dari kejang
demam. Setiap kejang yang lama (lebih dari 5 menit) berdampak membahayakan
semakin lama dan semakin sering kejang maka sel-sel otak yang rusak akan
epilepsi sebesar 57% jika terjadi berulang dan berkepanjangan. Keterlambatan dan
gejala sisa pada anak dan bisa menyebabkan kematian (Resti, 2020). Sehingga
perlunya penanganan medis yang tepat dalam menangani kasus kejang demam
pada anak-anak termasuk dalam pemilihan terapi yang tepat pada pasien tersebut.
Pada laporan ini akan diuraikan penanganan terkait kejang demam yang di bahas
4
berdasarkan kasus yang di ambil di RSUD Andi Makkasau pada saat PKPA di
kota Pare-pare.
BABA II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.Demam
Demam adalah keadaan suhu tubuh di atas suhu normal, yaitu suhu tubuh
di atas 38º Celsius. Demam dapat terjadi akibat kenaikan set point karena infeksi
atau oleh adanya ketidak seimbangan antara produksi panas dan pengeluarannya
(Ismoedijanto, 2016).
atau PMN membentuk PE (faktor pirogen endogenik) seperti IL-1, IL-6, TNF
(tumuor necrosis factor), dan IFN (interferon). Zat ini bekerja pada hipotalamus
misalnya pada tumor, penyakit darah, penyakit metabolik, dan sumber pelepasan
PE bukan dari PMN tapi dari tempat lain. Kemampuan anak untuk bereaksi
pada umur. Semakin muda usia bayi, semakin kecil kemampuan untuk merubah
set point dan memproduksi panas. Bayi kecil sering terkena infeksi berat tanpa
1. Demam kurang 7 hari (demam pendek) dengan tanda lokal yang jelas,
5
6
2. Demam lebih dari 7 hari, tanpa tanda lokal, diagnosis etiologik tidak dapat
dengan demam lebih dari 380C (100,40F) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium, tanpa infeksi sistem saraf pusat (SSP) (Natsume, 2017; Leung,
2018).
of Health (NIH), International League against Epilepsy (ILAE), dan the American
keadaan abnormal, dan terjadi pelepasan listrik yang berlebihan dari neuron yang
menyebar ke bawah proses saraf untuk mempengaruhi organ akhir yang dapat
diukur secara klinis, terjadi pada masa bayi atau masa kanak-kanak, biasanya
antara usia 3 bulan dan 5 tahun. Kondisi ini berhubungan dengan demam, tetapi
tanpa bukti infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Baru-baru ini, AAP (2008)
mendefinisikan kejang demam sebagai kejang yang terjadi pada demam anak-
anak antara usia 6 dan 60 bulan yang tidak memiliki infeksi intrakranial,
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam
pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila
7
anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi
II.2.2. Epidemiologi
Kejang demam adalah kejadian yang paling sering terjadi pada anak-anak.
kejang kurang dari 15 menit dan kejang demam kompleks terjadi kejang lebih dari
24 jam. Insiden puncak terjadi pada usia sekitar 18 bulan dan sebelum 6 bulan
atau setelah 3 tahun. Umumnya, insiden kejang demam menurun tajam setelah
usia 4 tahun atau kondisi ini jarang terjadi pada anak-anak yang berusia lebih dari
7 tahun. Kejang demam lebih sering terjadi pada populasi Asia, mempengaruhi
3,4%–9,3% anak-anak Jepang dan 5%–10% anak-anak India, tetapi hanya 2%–
sekresi setokin di tepi dan di otak dikenal sebagai bagian dari mekanisme kejang
yang berlangsung kurang dari 15 menit dan tidak berulang dalam 24 jam. Kejang
demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan
berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan
fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana
Kejang demam kompleks berlangsung > 15 menit atau kejang fokal atau
parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Biasanya
berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam atau kejang berulang lebih dari 2 kali
dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang kompleks terjadi pada 8%
Penyakit virus, vaksinasi tertentu, dan predisposisi genetik adalah faktor risiko
umum yang dapat memengaruhi saraf yang rentan dan demam. Faktor risiko lain
termasuk paparan dalam rahim, seperti ibu, merokok dan stres ibu, berada di unit
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
pertama.
dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam (Pusponegoro,
2016).
elektrolit dan gula darah (Natsume, 2017). Pemeriksaan darah tidak diperlukan
(Pusponegoro, 2016).
Tes darah biasanya tidak diperlukan jika anamnesis dan pemeriksaan fisik
pemeriksaan yang khas dari kejang demam. Hitung sel darah lengkap dan tes
darah untuk glukosa, elektrolit, urea nitrogen, kreatinin, kalsium, fosfor, dan
10
lebih tinggi. Penentuan glukosa serum, elektrolit, kreatinin, dan nitrogen urea
harus dipertimbangkan jika ada riwayat kekurangan cairan asupan, muntah, atau
diare atau jika ada tanda-tanda fisik dehidrasi atau edema (Leung, 2018).
anak dengan kejang demam pertama kali melakukan tes pungsi lumbal, kriteria
1. Pada bayi di bawah 12 bulan, sangat disarankan pungsi lumbal, karena tanda
dan gejala klinis terkait dengan meningitis mungkin minimal atau tidak
3. Pada anak yang lebih tua dari 18 bulan, meskipun pungsi lumbal tidak secara
4. Pada bayi dan anak-anak yang memiliki kejng demam dan telah menerima
pengobatan mungkin menutupi tanda dan gejala meningitis. Oleh karena itu,
Sebagian besar kasus kejang deman jinak dan sembuh sendiri, dan secara
demam harus mencakup pengobatan yang segera dapat mengatasi ketika kejang
demam berlangsung lebih dari 5 menit dan ketika pemberian intravena tidak
memungkinkan. Obat-obatan akut seperti diazepam rektal (0,5 mg / kg) atau bukal
11
(0,4-0,5 mg/kg) atau pemberian midazolam intranasal (0,2 mg/kg) efektif dalam
apabila saat itu tidak tersedianya terapi melalui intravena, dan juga dapat
lebih baik daripada diazepam. Dalam penanganan akut, diazepam intravena dan
kejang demam atau tidak demam terus menerus. Diazepam adalah benzodiazepin
yang bekerja paling cepat dan dengan cepat melintasi biologis membran, termasuk
mukosa rektum dan sawar darah otak. Kelemahan penting dari diazepam adalah
durasinya yang singkat sehingga obat menghilang dengan cepat dari otak.
banyak digunakan di banyak negara karena durasi aksi yang lebih lama dan efek
samping yang lebih sedikit, tetapi tindakan antikonvulsan akut kurang cepat
2016:
menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua
Anemia didefinisikan sebagai nilai Hb yang rendah atau massa sel darah
milimol/liter (mmol/L) dan massa sel darah merah sebagai hematokrit (HCT).
Meskipun kisaran normal Hb bervariasi dengan usia, jenis kelamin, dan ras,
g/dL sebagai anemia berat, sedangkan pada anak-anak di bawah usia 5 tahun dan
wanita hamil, jika kadar Hb di bawah 7 g/dL dianggap sebagai anemia berat
(Goyal, 2020).
berdasarkan volume sel darah rata-rata. Anemia mikrositik ringan dapat diobati
dengan terapi zat besi oral pada anak usia enam sampai 36 bulan yang memiliki
2018).
(tahun) (g/dL)
0,5-1,9 12,5 11 37 33 77 70
2-4 12,5 11 38 34 79 73
5-7 13 11,5 39 35 81 75
8-11 13,5 12 40 36 83 76
12-14
Wanita 13,5 12 41 36 85 78
Pria 14 12,5 43 37 84 77
15-17
Wanita 14 12 41 36 87 79
Pria 15 13 46 38 86 78
18-49
Wanita 14 12 42 37 90 80
Pria 16 14 47 40 90 80
15
Jika anemia berat atau tidak responsif terhadap terapi zat besi, pasien harus
Tes lain yang digunakan dalam evaluasi anemia mikrositik termasuk studi besi
ditentukan oleh jumlah retikulosit. Jika jumlah retikulosit meningkat, pasien harus
dievaluasi untuk kehilangan darah atau hemolisis. Jumlah retikulosit yang rendah
menunjukkan aplasia atau gangguan sumsum tulang. Tes umum yang digunakan
dalam evaluasi anemia makrositik termasuk kadar vitamin B12 dan folat, dan tes
(anemia defisiensi besi) dapat dilakukan pemeriksaan tes hematologi (Hb, Ht,
besi:
Menurut WHO definisi anemia adalah Hb kurang dari 13 g/dL untuk laki-
laki usia > 15 tahun, kurang dari 12 g/dL untuk perempuan usia > 15 tahun dan
kurang dari 11 g/dL untuk perempuan hamil. Nilai hematokrit dalam persen lebih
kurang 3 kali kadar Hb bila ukuran eritrosit dalam batas normal. Bila nilai Hct
menurun merupakan indikasi anemia. Pada tahap ini kandungan hemoglobin (Hb)
pada retikulosit mulai menurun, hal ini merefleksikan omset dari eritropoiesis
yang kekurangan besi. Tetapi karena sebagian besar eritrosit yang bersirkulasi
merupakan eritrosit yang diproduksi saat ketersediaan besi masih adekuat, maka
total pengukuran Hb masih dalam batas normal, sehingga anemia masih belum
tampak. Akan tetapi Hb akan terus mengalami penurunan, Red Blood Cell
16
distribution Widths (RDW) akan meningkat karena mulai ada eritrosit yang
b. Indeks Eritrosit
karakter dari eritrosit. Mean corpuscular volume merupakan rasio dari hematokrit
dibagi eritrosit, MCH merupakan rasio dari Hb dengan eritrosit dan MCHC
merupakan rasio dari Hb dengan Ht. Parameter ini digunakan untuk menilai
mendiagnosis anemia defisiensi besi (ADB). Penelitian lain pada bayi berusia 12
tunggal untuk skrining anemia defisiensi besi (ADB) akan tetapi harus
2020).
Besi memiliki peran penting dalam fungsi neurologi. Zat besi dibutuhkan
(ADB) dengan kejang demam. Pada demam tinggi (>380C) yang diikuti kondisi
dalam proses transport aktif ion Na, K yang berguna untuk menstabilkan
membran sel saraf. Kestabilan membran sel saraf yang terganggu dapat
Madscape, 2021)
Dampak buruk juga dapat terjadi jika interaksi yang ditimbulkan dengan
metabolisme karbamazepin.
memperpanjang interval QT
2020).
irasional juga terjadi pada anak. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dalam hal
efek samping. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah dosis obat yang tepat bagi
anak-anak, cara pemberian, indikasi, kepatuhan, jangka waktu yang tepat dan
STUDI KASUS
Nama : Anak H
Masuk RS : 11/09/2021
Anamnesa terpimpin : Pasien MRS dengan keluhan demam naik turun sejak
22
23
Hasil Pengamatan
5 Sesak nafas - - - -
6 Mual - - - -
7 Muntah - - - -
8 Batuk - - - -
`
24
Pulang
sewaktu
pada tabel
Nama
1 Infus 12 tpm IV
asering
3. Sanmol® 80 mg /8 jam iv
4 Diazepam 5 mg Suppo/rectal
prednisolon
e
26
Adapun data analisis rasionalitas pengobatan dapat dilihat pada tabel 7 dibawah
ini:
2. Vicillin® 200 mg R R R R R R R
3. Sanmol® 80 mg R R R R R R R
4. Diazepam rektal 5 mg R IR R R R R R
5. Methylprednisolone 2 mg R R R R R R R
Hail
Kondisi Klinik Masalah Terkait Obat Rekomendasi Paraf Paraf
Tanggal Rekomendasi
(Subject/Object) (Assessment) (Plan) Apoteker Dokter
Dokter
11/9/21 Subjektif: Diazepam iv lebih efektiv Disarankan memantau efektivitas Terapi
Demam terhadap kejang demam diazepam rektal tehadap kejang dilanjutkan
Riwayat kejang 1 kali sederhana dibanding demam pasien Rekomendasi
durasi 2 menit pemberian secara rektal (Koda, Disarankan pemberian diazepam disetujui
Riwayat pengobatan kimbel, 2018). iv 0,2-0,5 mg/kgBB Data lab
sanmol & amoxicillin Masalah anemia pasien belum Disarankan Diazepam digunakan
®
belum cukup
Objektif : teratasi ketika datang kejang untuk
BB : 8 kg Dosis tpm infus asering tidak Disarankan untuk pemberian mengindikasi
Suhu: 37,5 C
o
sesuai dengan kebutuhan total Ferrum (Fe) 2,68 ml bentuk kan pasien
Nadi : 150x/mnt cairan pasien sedian sirup 1 kali sehari mengalami
RR : 30 x/mnt (Chisholm-Burns, 2019) anemia
Hb : 10,3 Disarankan jumlah tetes permenit
untuk infus aseringnya yaitu 8
tetes permenit
Disarankan dilakukan
pemeriksaan hepatologi
28
Hasil
Kondisi Klinik Masalah Terkait Obat Rekomendasi Paraf Paraf
Tanggal Rekomendasi
(Subject/Object) (Assessment) (Plan) Apoteker Dokter
Dokter
MCV: 72
MCH: 22,7
HCT : 32,8
RDW :16,6
Terapi:
Diazepam 5 mg rektal
Sanmol® 80 mg/ 8 jam
iv
12/9/21 Subjek: Demam pasien belum teratasi Disarankan monitoring interaksi Rekomendasi
Demam belum teratasi Potensi interaksi diazepam dan diazepam dan metylprednisolon disetujui
Susah tidak kejang metylprednisolon terhadap terhadap nilai elektrolit dan
Muncul kemerahan hypokalemia dan penurunan denyut nadi pasien
pada kulit efek diazepam Disarankan diazepam diberikan
Objek : Potensi interaksi Vicillin dan
®
jika terjadi serangan kejang saja
RR: 32x/mnt diazepam terhadap Disarankan pemberian vicillin®
Suhu: 39,2 neorotoksisitas dijedah atau tidak diberikan
Nadi: 118 x/mnt Penggunaan diazepam tidak bersamaan dengan diazepam
Terapi : disarankan ketika tidak
Diazepam sup 5 mg kejang
Metylprednisolon
Vicillin® 200 mg
29
Hasil
Kondisi Klinik Masalah Terkait Obat Rekomendasi Paraf Paraf
Tanggal Rekomendasi
(Subject/Object) (Assessment) (Plan) Apoteker Dokter
Dokter
13/9/21 Subjek : Terjadi efek samping vicillin® Disarankan vicillin® dihentikan Rekomendasi
Demam belum teratasi, yaitu kemerahan pada kulit Disarankan monitoring interaksi disetujui
dan sudah tidak kejang Potensi interaksi diazepam dan diazepam dan metylprednisolon
Objek : metylprednisolon terhadap terhadap nilai elektrolit dan
RR: 32x/mnt hypokalemia dan penurunan denyut nadi pasien
Suhu: 38 efek diazepam Disarankan diazepam diberikan
Nadi: 118 x/mnt Potensi interaksi Vicillin dan
®
jika terjadi serangan kejang saja
Terapi: diazepam terhadap
Diazepam sup 5 mg neorotoksisitas
Metylprednisolon 2 mg Penggunaan diazepam tidak
disarankan ketika tidak
kejang
BAB IV
PEMBAHASAN
diambil dari bangsal Melati perawatan anak di rumah sakit Andi Makkasau Kota
Pare-pare. Data yang diperoleh berdasarkan rekam medik pasien sejak tanggal
yang diberikan pada pasien dan pemberian rekomendasi atau solusi dari
rawat inap Melati RSUD Andi Makkasau Kota Pare-pare, dengan keluhan demam
naik turun disertai kejang 2 hari yang lalu, kejang yang dialami ±2 menit. Pasien
memelihara tekanan osmosis darah dan jaringan. Pada pasien ini jumlah
tetes per menit yang diberikan yaitu 12 tetes per menit, sedangkan untuk
menghitung jumlah tetes per menit suatu cairan infus ditentukan berdasarkan
volume kebutuhan cairan pasien dan berat badan pasien. Sehingga jika dilihat dari
berat badan pasien yaitu 8 kg maka jumlah cairan total yang dibutuhkan adalah
30
31
2016).
>20 kg 1500ml+20ml/kgBB
= 8 tetes/menit
Pasien juga diberikan Vicillin ® (ampicillin) 200 mg/6 jam secara intravena
pada hari pertama sebagai terapi antibakteri spektrum luas, yang termasuk
kedalam antibakteri empiris yang biasa digunakan untuk pasien yang belum
setiap 6 jam (mak. Per dosis 500 mg/6 jam), ditingkatkan jika perlu hingga 50
mg/kg setiap 6 jam (mak. per dosis 1g/6 jam) (BNF, Staff. 2021). Vicillin ®
diberikan hingga pasien pulang sehingga terhitung 4 hari. Namun pada hari ke 3
pada kulitnya setelah setelah diberikan Vicillin ® iv. Ruam kulit merupakan salah
satu efek samping yang paling umum terjadi. Ruam tersebut bisa terjadi karena
32
Selain itu penggunaan antibiotik pada pasien dengan kondisi kejang perlu
peningkatan kejang epilepsi sebagai efek samping dari antibiotik. Misalnya pada
saraf pusat dan efek samping neurologis. Meskipun jarang, kelas antibiotik lain
sedang menjalani pengobatan dengan obat anti kejang untuk memastikan bahwa
dosis terapeutik tercapai dan untuk mencegah toksisitas (Goyal, 2020). Pada
bersamaan dengan pengobatan kejang, selain itu pasien juga mengalami reaksi
alergi atau hipersensitivitas pada vicillin ®, dimana terdapat kemerahan pada kulit
terdapat kemerahan pada kulitnya, hal ini bisa saja terjadi karena adanya reaksi
efek samping obat atau hipersensitivitas dari obat yang diberikan. Sehingga
sesuai seperti golongan sefalosporin generasi III dan dilakukan skin test terlebih
dahulu.
sepsis atau meningitis, infeksi sistem saraf pusat harus ditangani dengan antibiotik
empiris yang sesuai untuk sepsis atau meningitisnya. Antibiotik spektrum luas
antibiotik spektrum sangat luas. Akan tetapi penggunaan antibiotik dan terapi
Reaksi hipersensitivitas sejauh ini merupakan efek samping yang paling umum
dicatat dengan penisilin, dan agen ini adalah salah satu penyebab paling umum
ampisilin dan amoksisilin, gejalanya sering muncul lebih dari 7 hari setelah
beta-laktam atau gugus amino dalam rantai samping, atau reaksi toksik. Kejadian
dan ruam makulopapular mereka yang ketika diobati dengan ampisilin, terdapat
gangguan limfoid lain seperti leukemia limfatik memiliki resiko yang lebih tinggi.
sebelumnya yang diketahui. Hal ini bisa terjadi disebabkan oleh paparan penisilin
berasal dari hewan atau dari penisilin yang memproduksi jamur). Meskipun
manifestasi alergi, mereka dapat bertahan selama 1-2 minggu atau lebih lama
setelah terapi dihentikan. Dalam beberapa kasus, reaksinya ringan dan menghilang
yang dimediasi IgE adalah pada MDM (penicilloyl). Istilah reaksi determinan
mayor dan minor mengacu pada frekuensi pembentukan antibodi terhadap hapten
ini. Mereka tidak menggambarkan tingkat keparahan reaksi yang mungkin terjadi.
hampir semua pasien yang telah menerima obat dan pada banyak pasien yang
tidak pernah secara sadar terpapar obat tersebut. Reaksi alergi langsung
diperantarai oleh sensitisasi kulit atau antibodi IgE, biasanya dengan spesifisitas
pada semua usia. Anafilaksis paling sering terjadi setelah injeksi penisilin,
meskipun juga diamati setelah pemberian oral atau intradermal. Dalam kasus lain,
bronkokonstriksi dengan asma berat, sakit perut, mual, dan muntah, kelemahan
ekstrem, atau diare dan erupsi kulit purpura telah menjadi ciri episode anafilaksis
liver akut dan kronis adalah obat-obat penginduksi kerusakan liver/ drug induced
oleh obat merupakan masalah klinis yang sangat berisiko. Kondisi ini dapat
untuk dosis infus intravena paracetamol tidak dilisensikan untuk anak dan
neonatus dengan berat badan di bawah 10 kg. Sehingga perlu perhatian sebelum
pada dosis terapeutik, terutama yang memiliki berat badan di bawah 50 kg dan
An.H hanya memiliki bobot badan 8 kg. Sehingga pasien masuk kedalam kategori
(AST)/SGOT sampai 300 µ/L tidak spesifik untuk kelainan hepar saja. namun
peningkatan lebih dari 1000 µ/L dapat dijumpai pada penyakit hepar akibat
36
infeksi virus, iskemik hepar yang disebabkan hipotensi kronis atau gagal jantung
akut, dan kerusakan hepar akibat obat atau zat toksik. Rasio AST/ALT dapat
digunakan untuk melihat beratnya kerusakan sel hepar. Rasio AST/ALT < 0,8
menandakan kerusakan hepar berat atau kronis. Hasil rasio nilai SGOT/SGPT
pada lakilaki adalah 1,7 menunjukkan tingkat kerusakan hepar berat dan pada
perempuan adalah 1,04 menujukkan kerusakan hepar berat juga. Sehingga jika
kadarnya sudah >3 kali batas atas nilai normal maka terapi harus dihentikan
(Robiyanto, 2019). Pada pasien An. H tidak memiliki data klinik terkait
pemeriksaan hati atau niali SGOT SGPT. Sehingga kita tidak dapat memonitoring
diperlukan.
lisosom pada tingkat sel (Leung, 2014). Pada sebuah penelitian, menyebutkan
pengobatan epilepsi berulang pada anak (Castilo, 2009). Pada kasus pasien An. H
dari pemeriksaan hematologi berupa nilai WBC tinggi ataupun keluhan dari
pasien dan jika merujuk pada penelitian sebelumnya, pasien tidak dikategorikan
kedalam epilepsi refrakter yaitu terjadinya serangan epilepsi tiga kali atau lebih
dan kortisol endogen. Penekanan adrenal adalah penyebab paling umum dari
insufisiensi adrenal pada anak-anak dan dikaitkan dengan kematian yang lebih
tinggi pada populasi anak. Anak-anak dengan krisis adrenal sekunder akibat
hipoglikemia yang tidak dapat dijelaskan, kejang, dan bahkan kematian (BNF,
efek obat yang memperpanjang interval QT yaitu waktu yang dibutuhkan jantung
menyebabkan aritmia atau membuat denyut jantung tidak normal. Pada pasien ini
38
menunjukkan nilai denyut nadi di atas normal (>100x/menit). Pada pasien An. H
selama dirawat kurang lebih 3 hari menunjukan denyut nadi di atas 100x/menit.
Sweetman, 2015).
Pada hari pertama pasien datang dengan keadaan demam dan sebelumnya
adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan
kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg, atau diazepam
rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg
untuk anak di atas usia 3 tahun (Husna, 2012). Bila tidak berhenti dengan dua
dosis diazepam maka pasien dapat ditetapkan sebagai status epileptikus dan
maintenance 5 mg/kgBB per hari selama 48 jam). Jika tidak tersedia atau gagal
lemak tubuh dan otot. Hal ini menyebabkan penurunan cepat tingkat SSP dan
kekambuhan awal kejang (Chisholm Burns, 2019). Diazepam dan obat lain di
reseptor GABAA (asam-aminobutirat tipe A), yang mengikat ke situs unik pada
respon SSP terhadap GABA endogen. Tindakan potensiasi GABA ini diamati
dalam sistem limbik, talamus, hipotalamus, dan korteks serebral dan memiliki
efek menenangkan. Efek pada proses saraf di daerah ini, menghasilkan efek
berulang (Koda Kimbal, 2018). Dosis sekitar 0,3 mg/kg (10 mg) harus diberikan
dan diulangi, jika perlu, dalam waktu 4 sampai 12 jam dari dosis pertama. Harus
dipantau setidaknya selama 4 jam untuk memastikan bahwa tidak ada depresi
pernapasan atau efek samping merugikan lainnya yang terjadi dan untuk menilai
efek obat pada kejangnya. Efek samping yang paling umum yang terlihat dengan
paling cepat menghentikan kejang demam. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-
0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5
menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan
fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1
mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya
adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila kejang belum
berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif (Husna, 2016). Dosis
intravena untuk anak 1 bulan–11 tahun: 300–400 mikrogram/kg (maks. per dosis
diberikan selama 3-5 menit. Anak 12-17 tahun: 10 mg, kemudian 10 mg setelah
10 menit jika diperlukan, untuk diberikan selama 3-5 menit. Sedangkan untuk
40
menit jika yg dibutuhkan. Anak 2–11 tahun: 5-10 mg, lalu 5-10 mg setelahnya 10
menit jika diperlukan. Anak 12–17 tahun: 10–20 mg, kemudian 10–20 mg
tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan
merekomendasikan bahwa rawat inap tidak diperlukan untuk pasien yang stabil
secara klinis lebih dari 18 bulan, tanpa tanda atau gejala yang memerlukan studi
observasi dan kemungkinan pungsi lumbal. Dalam kasus kejang demam berulang,
berikan obat terapi awal darurat jika ada kejang tonik-klonik yang berlangsung >
5 menit. Berikan midazolam oral atau nasal sebagai pengobatan lini pertama.
Pemberian diazepam rektal 0.5 mg/kg saat midazolam tidak tersedia (Aguirre,
2021). Terapi awal yang muncul untuk manajemen kejang demam akut (iktal)
pada anak-anak diberikan Midazolam oral lebih efektif daripada Diazepam rektal,
dan rute intranasal sama efektifnya dengan diazepam IV (bukti Level I) yaitu
pasien dengan kejang demam sederhana di bawah usia 18 bulan. Midazolam oral
atau nasal adalah pengobatan pilihan ketika tidak ada akses ke IV atau untuk
manajemen rumah oleh orang tua. Berdasarkan evidence based Lorazepam rektal
sama efektifnya atau lebih efektif daripada diazepam. Midazolam oral lebih
efektif daripada Diazepam rektal, dan bentuk intranasal sama efektifnya dengan
pengobatan pilihan ketika tidak ada akses ke IV atau untuk pengelolaan rumah
oleh orang tua. Untuk dosis nya secara oral 0,5 mg/kg, ulangi dalam 10 menit jika
perlu, nasal yaitu 0,2-0,5 mg/kg dibagi di setiap lubang hidung, maksimum 10
41
mg, sedangkan untuk intravena yaitu 0,2 mg/kg atau 0,15mg/kg dengan infus dan
untuk intra muskular yaitu 0.2mg/kg atau 5-10 mg, dosis tunggal (Aguirre, 2021).
intermiten atau digunakan ketika pasien mengalami demam dan kejang. Pasien
antikonvulsan rumat atau profilaksis. Terapi ini hanya diberikan ketika pasien
memiliki beberapa faktor resiko atau dalam keadaan tertentu seperti kelainan
neurologis berat, kejang terjadi 4 kali atau lebih dalam setahun, usia < 6 bulan,
kejang fokal dan durasinya > 15 menit. Maka pengobatan antikonvulsan rumat
hanya diberikan pada kasus selektif dan pengobatan rumat dapat diberikan selama
tapering off, namun dilakukan pada saat tidak sedang demam (Pusponegoro.
maka pertama pantau tanda-tanda vital (denyut jantung, laju pernapasan, tekanan
arteri, dan oksimetri nadi), berikan oksigen, jika perlu (SaO2 < 90%). Berikan
diazepam bolus intravena dengan dosis 0,5 mg/kg dan kecepatan infus maksimum
5 mg/menit, hentikan bila kejang berhenti. Dosis dapat diulang, jika perlu, setelah
efektifitas yang sama. Perlu juga dilakukan pemantauan kelebihan basa dan
monitoring rutin (Aguirre, 2021). Sehingga pada kasus ini, pasien diberikan
Stesolid® rektal 5 mg secara indikasi obat sudah rasional akan tetapi secara
dosis 0,5 mg/kg dan kecepatan infus maksimum 5 mg/menit, hentikan bila kejang
sudah berhenti.
2021 menunjukkan beberapa nilai yang tidak normal yang bisa saja menandakan
suatu kelainan atau penyakit lain. Salah satunya adalah dari interpretasi data lab
10,3; MCV:72; MCH: 22,7; HCT : 32,8. Semua data lab ini mengalami penurunan
pemeriksaan tes hematologi (Hb, Ht, RDW, MCV). Untuk batasan nilai
terendah pasien yaitu untuk nilai Hb nya 11 g/dL, nlai Hct 33%, nilai MVC nya
Practice Fifth Edition disarankan untuk diberikan Ferrum (Fe) dengan dosis 2,68
melihat perbaikan terhadap nilai hemoglobin pada pasien. Parameter yang perlu di
evaluasi yaitu nilai Hb harus ada perbaikan atau penigkatan Hb 1,0 g/dL (10 g/L
atau 0,62 mml/L) per minggu (Chislohm Burns. 2019). setelah diberikan terapi
Ferrum (Fe).
membaik dan tidak kejang lagi. Pasien diberikan Sanmol® drops 1 ml tiap 8 jam
dan Ampicillin 200 mg 1 puyer tiap 8 jam. Hal-hal yang perlu di edukasikan pada
orang tua atau keluarga pasien terkait obat pulang yang diberikan pasien yaitu:
diberikan sesuai aturan dosis dan untuk obat nya dapat diberhentikan jika
pasien sudah tidak demam lagi. Untuk masa penyimpanan nya sendri
setelah obat dibuka maka Beyond Use Date (BUD) obat yaitu 14 hari
keluhan pasien sudah hilang atau sembuh. Untuk Beyond Use Date (BUD)
4. Pasien juga diedukasi jika terjadi efek samping obat yang dirasakan seperti
a. Komposisi
surbactam 500 mg
b. Farmakologi
c. Indikasi
(Sweetman, 2015).
d. Interaksi obat
dan tetrasiklin
Ruam kulit adalah salah satu efek samping yang paling umum,
jam), ditingkatkan jika perlu hingga 50 mg/kg BB setiap 6 jam (maks. per
h. Farkokinetik
cukup baik diserap dari saluran pencernaan setelah dosis oral. Makanan
plasma dicapai dalam waktu sekitar 1 sampai 2 jam dan setelah dosis oral
dicapai pada asites, pleura, dan sendi cairan. Sekitar 20% terikat pada
protein plasma dan plasma waktu paruh adalah sekitar 1 sampai 1,5 jam,
tetapi ini dapat meningkat pada neonatus, orang tua, dan pasien dengan
penyakit ginjal penurunan nilai, pada gangguan ginjal berat waktu paruh
Sekitar 20% hingga 40% dari dosis oral dapat diekskresikan tidak berubah
i. Farkodinamik
memiliki aktivitas bakteri aerob dan anaerob gram positif dan gram
terakhir dari sintesis dinding sel bakteri. Lisis sel kemudian dimediasi oleh
a. Komposisi
b. Farmakologi
c. Indikasi
spasme otot.
d. Kontraindikasi
pulmoner akut, kondisi fobia dan obsesi, psikosis kronik, glaukoma sudut
dengan depresi.
e. Interaksi obat
yang paling sering dari penggunaan diazepam. Efek yang lebih jarang
efek pada fungsi mental, di bawah), bicara cadel atau disartria, perubahan
kelainan kepribadian yang nyata, kurangi dosis pada lansia dan debil,
intravena, porfiria.
mg untuk anak dengan BB < dari 10 kg dan 10 mg untuk BB > dari 10 kg.
Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun
i. Farmakokinetika
dari dosis oral. Diazepam cepat diserap ketika diberikan secara rektal dan
hari, dan aksinya semakin diperpanjang dengan waktu paruh yang lebih
terikat pada protein plasma. Waktu paruh eliminasi plasma diazepam atau
metabolit memanjang pada neonatus, pada orang tua, dan pada pasien
ASI.
j. Farmakodinamika
hipotalamus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini, benzodiazepin akan
akan meningkat. Dengan sifat reseptor GABA, saluran ion akan terbuka
49
menenangkan.
a. Komposisi
b. Farmakologi
c. Indikasi
d. Kontrantraindikasi
dilaporkan pada pasien yang alergi terhadap protein susu sapi, dan
e. Interaksi
ulseratif, tukak peptik akut atau laten, TB, wanita hamil dan ginjal.
i. Farmakokinetika
yang larut dalam air dapat diberikan melalui injeksi intravena yang dapat
menghasilkan respon yang cepat, efek yang lebih lama dicapai dengan
injeksi intramuskular.
51
j. Farmakodinamika
4. Sanmol® (paracetamol)
a. Komposisi
b. Farmakologi
bekerja secara perifer untuk memblokir generasi implus nyeri, juga dapat
c. Indikasi
d. Kontraindikasi
e. Interaksi
hati-hati pada pasien dengan gangguan hati dan ginjal, dehidrasi kronis
Anak (berat badan hingga 10 kg): 10 mg/kg setiap 4-6 jam, dosis
badan 10–50 kg): 15 mg/kg setiap 4–6 jam, dosis yang akan diberikan
ke atas): 1 g setiap 4–6 jam, dosis yang akan diberikan selama 15 menit,
maksimum 4 gr/hari.
i. Farmakokinetika
j. Farmakodinamika
perifer dan, oleh karena itu, tidak memiliki efek antiinflamasi perifer
5. Asering infus
a. Komposisi
b. Farmakologi
54
c. Indikasi
d. Kontraindikasi
e. Interaksi
berat badan
BAB V
PENUTUP
V.I Kesimpulan
mendapat diagnosa kejang demam sederhana yang dirawat di ruang melati, secara
umum terapi yang diberikan sudah rasional, tetapi ada Drug Related Problems
menurun.
kejang demam pada anak dengan durasi kejang < 5 menit yaitu midazolam
terapi pasien
55
56
Setelah pasien An.H keluar dari rumah sakit dan melakukan rawat jalan,
memberikan edukasi kepada keluarga pasien dalam menyikapi jika kejang pasien
berulang.
DAFTAR PUSTAKA
Drug Bank. Open Data Drug & Drug Target Database, tersedia di
www.drugbank.ca diakses tanggal 19 september 2021
Dipiro, Joseph T. Yee, Gery C. Posey,L. Haines, Stuart T. Nolin, Thomas D. and
Ellingrond. 2020. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Ed11.
New York: Mc Graw Hill.
Goyal, A., Zheng, Y., Albenberg, L. G., Stoner, N. L., Hart, L., Alkhouri, R., …
57
Grossman, A. (2020). Anemia in Children With Inflammatory Bowel Disease:
A Position Paper by the IBD Committee of the North American Society of
Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. Journal of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition, 71(4), 563–582.
https://doi.org/10.1097/MPG.0000000000002885
Goodman & Gilman, 2012, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, Editor Joel. G.
Hardman & Lee E. Limbird, Konsultan Editor Alfred Goodman Gilman,
Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
Husna, M., & Hery Prasetyo, B. (2016). Biomolecular Aspects and Update on
Treatment of Cerebral Malaria. MNJ (Malang Neurology Journal), 2(2), 02–
03. https://doi.org/10.21776/ub.mnj.2016.002.02.6
Koda-Kimble MA, Young LY, Alldredge B, Corelli RL, Guglielmo BJ, Kradjan
WA, Williams BR. 2018. Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs
(11th Edition). Lippincott Williams & Wilkins, USA;
58
Natsume, J., Hamano, S. ichiro, Iyoda, K., Kanemura, H., Kubota, M., Mimaki,
M., … Sugie, H. (2017). New guidelines for management of febrile seizures
in Japan. Brain and Development, 39(1), 2–9.
https://doi.org/10.1016/j.braindev.2016.06.003
59