Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

FARMASI RUMAH SAKIT

di

RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KOTA MEDAN

PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS) +


CHF (CONGESTIVE HEART FAILURE)

Disusun Oleh:

Theophani SIbarani, S. Farm.


NIM 183202188

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI


FARMASI RUMAH SAKIT

di

RS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KOTA MEDAN

Laporan ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Apoteker pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh:

Theophani Sibarani, S. Farm.


NIM 183202188

Pembimbing,

Pembimbing Fakultas, Pembimbing Rumah Sakit,

Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. Rima Elfitra Rambe, S.Farm., Apt.
NIP. 1953010111983031000 NIP 198612232014042001
Staf Pengajar Fakultas Farmasi Koordinator Instalasi Farmasi
Universitas Sumatera Utara RS Universitas Sumatera Utara
Medan Medan

Medan, November 2019


Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
Dekan

Prof. Dr. Masria, M.S., Apt.


NIP 195707231986012001
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

Praktik Kerja ProfesiApoteker (PKPA) dan laporan Praktik Kerja Profesi (PKP)

Rumah Sakit di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara Medan.Laporan ini

ditulis berdasarkan teori dan hasil pengamatan selama melakukan Praktik Kerja

Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara.

Praktik Kerja Profesi ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti

Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) di Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara untuk mencapai gelar Apoteker. Terlaksananya Praktik Kerja

Profesi Apoteker ini tidak terlepas dari bantuan berupa arahan, bimbingan dan

masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku

Dekan Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk dapat menjalani Praktik Kerja Profesi Apoteker

(PKPA), Ibu Dr. Aminah Dalimunthe, M.Si., Apt., selaku Ketua Program Studi

Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, yang

telah memberi kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk dapat menjalani

Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) dan kepada bapak Prof. Dr. Urip Harahap,

Apt., selaku pembimbing di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan,

yang membimbing penulis dengan penuh tanggung jawab selama Praktik Kerja

Profesi Apoteker hingga selesainya penulisan laporan ini dan juga selaku Kepala

Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) Universitas Sumatera Utara yang telah

iii
memberikan izin untuk melaksanakan praktik kerja profesi di Rumah Sakit

Universitas Sumatera Utara Medan sehingga dapat terlaksana dengan baik.

Kepada Ibu Rima Elfita Rambe, S.Farm., Apt., sebagai Koordinator Instalasi

Farmasi Rumah Sakit USU dan apoteker pembimbing yang telah memberikan

bimbingan dan pengarahan kepada kami selama melaksanakan Praktik Kerja

Profesi Apoteker.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih

serta penghargaan yang tulus dan tak terhingga kepada orang tua tercinta atas doa

yang tiada henti, motivasi, nasihat dan dukungan baik moril maupun materil dan

kepada semua keluarga dan teman-teman yang telah memberikan semangat dan

doanya. Tak lupa juga saya ucapkan terimakasih kepada teman-teman satu tim

dalam melaksanakan praktik kerja profesi yang telah bekerja sama dengan baik

selama masa praktik kerja profesi di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam penulis laporan ini. Untuk

itu diharapkan kritik dan saran guna mendapat perbaikan yang positif dan

membangun. Penulis berharap semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi

ilmu pengetahuan khususnya di bidang Farmasi.

Medan, November 2019


Penulis,

Theophani Sibarani, S.Farm.


NIM 183202188

iv
RINGKASAN

Telah dilakukan studi kasus pada Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Farmasi Rumah Sakit di RS Universitas Sumatera Utara, Kota Medan.
Pengamatan dilaksanakan pada tanggal 9 November sampai dengan 12
November2019.Tujuan dilaksanakannya studi kasus ini adalah untuk memantau
penggunaan obat pada pasien Bapak AA yang dirawat ruangan khusus Meranti,
kelas 2, Lantai IIdi RS Universitas Sumatera Utara, Kota Medan.
Studikasus dilakukan padapasien penyakit“Penyakit Paru Obstruksi
Kronis (PPOK) + Congestive Heart Failure (CHF)”. Kegiatan studi kasus
meliputi visite (kunjungan) langsung pada ruang perawatan pasien, memberikan
pemahaman dan dorongan kepada pasien untuk tetap mematuhi terapi yang telah
ditetapkan oleh dokter, memberikan informasi obat kepada pasien dan keluarga
pasien, melihat rasionalitas penggunaan obat pasien, dan memberikan
pertimbangan farmakoterapi kepada tenaga professional kesehatan lain untuk
meningkatkan rasionalitas penggunaan obat.
Penilaian rasionalitas penggunaan obat meliputi SOAP (Subjective,
Objenctive, Assesment dan Planning) dan 5T +1W yaitu tepat pasien, tepat
indkasi, tepat obat, tepat dosis, tepat rute dan lama pemberian dan waspada efek
samping. Penilaian dilakukan setiap harinya untuk pasien tersebut. Obat-obat
yang dipantau dalam kasus ini adalah NaCl, injeksi Levofloxacin, Furosemid
injeksi, Ventolin, Pulmicort, N-asetil sistein, KSR, Candesartan, Isosorbit
Dinitrat.
Kegiatan PKPA dalam mengelola perbekalan farmasi di rumah sakit yaitu
mempelajari pengadaan perbekalan farmasi, penyimpanan di gudang obat dan
gudang alat kesehatan, pengelolaan keuangan dan administrasi. Calon apoteker
juga melakukan pelayanan farmasi klinis seperti Pemberian Informasi Obat (PIO)
di unit rawat jalan dan rawat inap, Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)
mengenai cara penggunaan obat, serta meningkatkan kepatuhan pasien dalam
menggunakan obat. Selain itu juga melakukan pemantauan terapi obat dan
pengkajian rasionalitas penggunaan obat melalui metode pendekatan terintegrasi
yaitu metode SOAP (Subjective, Objective,Assesment, Plan), serta melakukan
peninjauan ke Instalasi Central Sterilized Supply Department (CSSD) untuk
melihat sistem sterilisasi alat dan bahan medis di rumah sakit dalam rangka
pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial.

v
DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL......................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................. iii
RINGKASAN.............................................................................................. v
DAFTAR ISI................................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang........................................................................... 1
1.2 Tujuan Kegiatan......................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 4
2.1 Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).................. 4
2.1.1 Defisini Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK).......... 4
2.1.2 Patofisiologi.................................................................... 4
2.1.3 Manifestasi Klinik........................................................... 6
2.1.4 Etiologi............................................................................ 7
2.1.5 Faktor Resiko.................................................................. 7
2.1.6 Diagnosis PPOK............................................................. 8
2.1.6.1 Anamnesis........................................................... 8
2.1.6.2 Pemeriksaan Fisik............................................... 10
2.1.6.3 Pemeriksaan Penunjang...................................... 12
2.1.6.3.1 Pemeriksaan Spirometri...................... 12
2.1.6.3.2 Pemeriksaan Penunjang Lain.............. 13
2.1.7 Kriteria Diagnosis........................................................... 14
2.1.8 Penatalaksanaan PPOK................................................... 15
2.2 Definisi Heart Failure (CHF) / Gagal Jantung....................... 20
2.2.1 Definisi Congestive Heart Failure (CHF)....................... 20
2.2.2 Patofisioligi..................................................................... 21
2.2.3 Manifestasi Klinis........................................................... 21
2.2.4 Klasifikasi....................................................................... 22
2.2.5 Penyebab Gagal Jantung................................................. 24
2.2.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang........................... 24
2.2.7 Terapi Non Farmakologi................................................. 26
2.3 Tinjauan Umum Obat............................................................... 28
2.3.1 Infus NaCI 0,9%............................................................. 28
2.3.2 Pulmicort......................................................................... 29
2.3.3 Ventolin........................................................................... 30
2.3.4 Levofloxacin................................................................... 31
2.3.5 N-asetil Sistein................................................................ 31
2.3.6 KSR................................................................................. 32
2.3.7 Candesartan..................................................................... 33
2.3.8 Isosorbit Dinitrat............................................................. 33
2.3.9 Furosemid........................................................................ 34

BAB III PENATALAKSANAAN UMUM................................................. 36


3.1 Identitas Pasien........................................................................ 36

vi
3.2 Riwayat Penyakit dan Pengobatan........................................... 36
3.2.1 Riwayat Penyakit Terdahulu........................................... 36
3.2.2 Riwayat Penyakit Keluarga............................................ 36
3.2.3 Riwayat Alergi................................................................ 36
3.2.4 Riwayat Pengobatan....................................................... 36
3.2.5 Skala dan Lokasi Nyeri................................................... 37
3.3 Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk RSUD Dr. Pirngadi
Kota Medan............................................................................ 37
3.4 Hasil Pemeriksaan.................................................................... 37
3.4.1 Pemeriksaan Fisik........................................................... 38
3.4.2 Hasil Pemeriksaan Laboratorium.................................... 38
3.4.3 Hasil Pemeriksaan Thorax.............................................. 40
3.4.4 Hasil Test Spirometri...................................................... 40
3.4.5 Hasil EKG....................................................................... 41
3.5 Riwayat Pemakaian Obat......................................................... 42
3.6 Pemantauan dan Evaluasi (SOAP).......................................... 43
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................ 47
4.1 Pembahasan............................................................................. 47
4.2 Pengkajian Tepat Pasien.......................................................... 48
4.3 Pengkajian Tepat Indikasi dan Obat........................................ 49
4.4 Pengkajian Tepat Dosis........................................................... 52
4.5 Pengkajian Waspada Efek Samping Obat dan Interaksi
Obat ....................................................................................... 52
4.6 Drug Related Problem (DPR).................................................. 54
4.7 Edukasi Pasien......................................................................... 55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN....................................................... 56
5.1 Kesimpulan.............................................................................. 56
5.2 Saran ....................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 57

vii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan

rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Menkes RI, 2016).

Pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi

kepada pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan

medis habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat

termasuk pelayanan farmasi klinik (Menkes RI, 2016).

Pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk

mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat. Tuntutan

pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian,

mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada

produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi kepada pasien

(patient oriented) dengan filosofi pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care)

(Menkes RI, 2016).

Apoteker khususnya yang bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk

merealisasikan perluasan paradigma pelayanan kefarmasian dari orientasi produk

menjadi orientasi pasien. Untuk itu kompetensi Apoteker perlu ditingkatkan

secara terus-menerus agar perubahan paradigma tersebut dapat

diimplementasikan. Apoteker harus dapat memenuhi hak pasien agar terhindar

dari hal-hal yang tidak diinginkan termasuk tuntutan hukum. Dengan demikian,

1
Apoteker di Indonesia dapat berkompetisi dan menjadi tuan rumah di negara

sendiri (Menkes RI, 2016).

Pemantauan terapi obat merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan

untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan

pemantauan terapi obat adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan

risiko reaksi obat yang tidak dikehendaki. Kegiatan dalam pemantauan terapi obat

meliputi pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi,

reaksi obat yang tidak dikehendaki, pemberian rekomendasi penyelesaian masalah

terkait obat, dan pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat (Menkes RI,

2016).

Visite pasien merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap baik

yang dilakukan secara mandiri maupun bersama tim dokter dan tenaga kesehatan

lainnya. Tujuannya adalah menilai rasionalitas penggunaan obat dengan evaluasi

penggunaan obat untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai indikasi,

efektif, aman dan terjangkau oleh pasien (Menkes RI, 2016).

Dalam rangka menerapkan praktik farmasi klinis di Rumah Sakit, maka

mahasiswa calon Apoteker perlu diberi pembekalan dalam bentuk praktik kerja

profesi di Rumah Sakit. Praktik kerja profesi di Rumah Sakit menerapkan salah

satu praktik pelayanan kefarmasian yang bertujuan untuk mengidentifikasi,

mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat dan masalah yang

berhubungan dengan kesehatan pasien. Studi pengkajian penggunaan obat secara

rasional dilaksanakan di ruangan Rawat Inap Kelas II Meranti RS Universitas

Sumatera Utara Kota Medan. Studi kasus yang diambil adalah PPOK (Penyakit

2
Paru Obstruksi Kronik) + CHF (Congestive Heart Failure) di Rawat Inap Kelas II

Meranti RS Universitas Sumatera Utara Kota Medan.

1.2 Tujuan Kegiatan

Adapun tujuan dilakukan studi kasus ini adalah:

a. Untuk memantau rasionalitas penggunaan obat pada pasien dengan diagnosa

Penyakit PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) + CHF (Congestive Heart

Failure).

b. Untuk mengetahui cara mengkaji ketepatan penggunaan obat pada pasien

dengan diagnosa Penyakit PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) + CHF

(Congestive Heart Failure).

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

2.1.1 Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit paru kronik yang ditandai

oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif non reversibel

atau reversibel parsial. Dua kondisi umum mencakup:

1. Bronkitis kronis

Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan

dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, tidaki disebabkan

penyakit lainnya.

2. Emfisema

Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal

bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli (Wells, dkk., 2015).

Penyakit Paru Obstruksi Kronis eksaserbasi akut adalah kondisi PPOK

yang mengalami perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Pasien

PPOK yang mengalami perburukan ditandai dengan gejala:

1. Sesak napas bertambah

2. Produksi sputum meingkat dan atau

3. Perubahan warna sputum menjadi purulen (Amiruddin, dkk., 2018).

2.1.2 Patofisiologi

Perubahan inflamasi kronis menyebabkan perubahan destruktif dan

keterbatasan aliran udara kronis. Penyebab yang paling umum adalah

keterpaparan terhadap asap rokok (Wells, dkk., 2015).

4
Inhalasi partikel berbahaya dan gas mengaktivasi neutrofil, makrofag, dan

CD8+ limfosit, yang mana melepaskan mediator kimia, termasuk tumor necrosis

factor-α, interleukin- 8, dan leukotriene B4. Sel-sel inflamatory dan mediator-

mediator menyebabkan perubahan destruktif yang luas di saluran pernafasan,

pembuluh darah paru-paru, dan parenkima paru (Wells, dkk., 2015).

Stress oksidatif dan ketidakseimbangan antara sistem agresif dan sistem

defensif di paru-paru (protease dan antiprotease) juga dapat terjadi. Oksidan yang

dihasilkan dari asap rokok bereaksi dengan dan merusak protein dan lipid, yang

berkontribusi dalam menyebabkan kerusakan jaringan. Oksidan juga

menyebabkan inflamasi dan eksaserbasi ketidakseimbangan protease –

antiprotease dengan menghambat aktivitas antiprotase (Wells, dkk., 2015).

Antiprotease α1 antitrypsin protektif (AAT) menghambat enzim protease,

termasuk neutrofil elastase. Dengan adanya aktivitas AAT yang tidak terlawan,

elastase menyerang elastin, suatu komponen besar dari dinding alveolus.

Defisiensi AAT herediter meningkatkan resiko emfisema prematur. Pada

emfisema akibat asap rokok, ketidakseimbangan berhubungan dengan

peningkatan aktivitas protease atau berkurangnya aktivitas antiprotease (Wells,

dkk., 2015).

Eksudat inflamasi pada saluran napas menyebabkan peningkatan jumlah

dan ukuran sel goblet dan kelenjar mukus. Sekresi mukus meningkat dan motilitas

siliari rusak. Terdapat penebalan otot polos dan jaringan ikat di saluran napas.

Inflamasi kronis menyebabkan jaringan parut dan fibrosis. Penyempitan jaringan

napas terjadi dan lebih menonjol terjadi pada saluran napas yang kecil (Wells,

dkk., 2015).

5
PPOK yang berhubungan dengan merokok biasanya menghasilkan

emfisema pada centrilobular yang dasarnya dapat mempengaruhi bronkus.

Emfisema panlobular dapat dilihat pada defisiensi AAT dan meluas ke saluran

dan kantung alveolar (Wells, dkk., 2015).

Perubahan vaskular meliputi penebalan pembuluh paru yang dapat

menyebabkan disfungsi endotelium dari arteri pulmonal. Kemudian, perubahan

struktur meningkatkan tekanan pulmonal, terutama ketika olahraga. Pada PPOK

yang parah, hipertensi paru sekunder menyebabkan gagal jantung sebelah kanan

(cor pulmonale) (Wells, dkk., 2015)

2.1.3 Manifestasi Klinik

Gejala awal PPOK termasuk batuk kronik dan produksi sputum; pasien

dapat mengalami gejala ini selama beberapa tahun sebelum berkembangnya

dispnea (Sukandar, E.Y., dkk., 2008).

Pemeriksaan fisik menunjukkan hasil normal pada pasien yang berada

pada tahap PPOK yang lebih ringan. Bila keterbatasan aliran udara menjadi parah,

pasien dapat mengalami sianosis membran mukosa, “barrel chest” karena

pengembangan paru-paru berlebihan, peningkatan laju respirasi istirahat, napas

dangkal, bibir monyong selama ekspirasi dan penggunaan otot respirasi pelengkap

(Sukandar, E.Y., dkk., 2008).

Pasien dengan PPOK yang memburuk dapat mengalami dispnea yang

lebih parah, peningkatan volume sputum, atau peningkatan kandungan nanah pada

sputum. Tanda umum lain dari PPOK yang memburuk termasuk dada sempit,

peningkatan kebutuhan bronkodilator, tidak enak badan, lelah dan penurunan

toleransi latihan fisik (Sukandar, E.Y., dkk., 2008).

6
2.1.4 Etiologi

PPOK disebabkan oleh adanya inflamasi dari saluran pernapasan.

Kelanjutan dari peradangan menimbulkan penyempitan dari saluran udara dan

timbulnya fibrosis dan destruksi dari parenkim paru-paru (emfisema). Akibatnya

adalah sesak napas pada waktu menjalani kegiatan fisik dan sewaktu berolahraga,

yang merupakan gejala khas dari PPOK (Tan, H.T., 2015).

Pengobatan utama dari PPOK adalah bronkodilator yang berfungsi

melegakan saluran pernapasan. Berbeda dengan asma, penyumbatan saluran udara

pada PPOK adalah progresif dan peradangannya pada umumnya resisten terhadap

obta-obat kortikosteroid. Disamping gangguan alat-alat pernapasan, kebanyakan

penderita PPOK juga menderita gangguan jantung, hipertensi dan diabetes

(Barnes dan Celli, 2009), menurunnya berat badan, depresi, osteoporosis dan

anemia (Tan, H.T., 2015).

Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi

Kronik (PPOK) adalah:

1. Kebiasaan merokok

2. Polusi udara

3. Paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja

4. Riwayat infeksi saluran napas

5. Bersifat genetik yaitu defisiensi α-1 antitripsin merupakan predisposisi untuk

berkembangnya Penyakit Paru Obstruksi Kronik dini (Mansjoer, A., 2001).

2.1.5 Faktor Resiko

Adapun yang menjadi faktor resiko Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah

7
1. Kebiasaan merokok merupakan satu – satunya penyebab kausal yang

terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan

riwayat merokok perlu diperhatikan:

a. Riwayat merokok

- Perokok aktif

- Perokok pasif

- Bekas perokok

b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah

rata – rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun:

- Ringan: 0-200

- Sedang: 200-600

- Berat: >600

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja

3. Hiperaktivit bronkus

4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang

5. Defisiensi antitripsin α- 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia (Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia, 2011)

2.1.6 Diagnosis PPOK

2.1.6.1 Anamnesis

PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan tanda

dan gejala. Diagnosis lain seperti asma, TB paru, bronkiektasis, keganasan dan

penyakit paru kronik lainnya dapat dipisahkan. Anamnesis lebih lanjut dapat

menegakkan diagnosis (Jindal, dkk., 2004).

8
Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai

berikut (Jindal, dkk., 2004):

a. Batuk kronik

Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun

terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi

sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.

b. Berdahak kronik

Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang

pasien menyatakan hanya berdahak terus menerustanpa disertai batuk.

Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun

tidur.

c. Sesak napas

Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah

mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga

sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan

ukuran sesak napas sesuai skala sesak.

Tabel 1. Skala Sesak British Medical Research Council (MRC)

Skala Keluhan Sesak Berkaitan Aktivitas

Sesak
0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasakan sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit
4 Sesak bila mandi atau berpakaian
d. Eksaserbasi akut

9
Ada episode bronkitis kronik berulang yang menyebabkan perburukan

gejala. Kebanyak pasien akan mencari pengobatan hanya jika episode ini

memburuk.

Selain gejala klinis, dalam anamnesis pasien juga perlu ditanyakan riwayat

pasien dan keluarga untuk mengetahui apakah ada faktor resiko yang terlibat.

Merokok merupakan faktor resiko utama untuk PPOK. Lebih dari 80% kematian

pada penyakit ini berkaitan dnegan merokok dan orang yang merokok memiliki

resiko yang lebih tinggi (12-13 kali) dari yang tidak merokok. Resiko untuk

perokok aktif sekitar 25% (Jindal, dkk., 2004; Stephens dan Yew, 2008).

Akan tetapi, faktor resiko lain juga berperan dalam peningkatan kasus

PPOK. Faktor resiko lain dapat antara lain paparan asap rokok pada perokok

pasif, paparan kronis polutan lingkungan atau pekerjaan, penyakit pernapasan

ketika masa kanak-kanak, riwayat PPOK pada keluarga dan defisiensi α1-

antitripsin (Stephens dan Yew, 2008).

Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada

anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik

dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada

seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua (Sciurba, F.C., 2004).

2.1.6.2 Pemeriksaan Fisik

Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi

paru yang signifikan (Badget, R.G., dkk., 2003). Pada pemeriksaan fisik

seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK

ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK

derajat sedang dan PPOK derajad berat seringkali terlihat perubahan cara

10
bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks.Secara umum pada pemeriksaan

fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2011; Stephens dan Yew, 2008; Amiruddin, dkk., 2018):

 Inspeksi

-Bentuk dada: barrel chest (diameter antero – posterior dan transversal sebanding)

-Terdapat purse lips breathing (seperti orang meniup)

- Penggunaan otot bantu napas

- Pelebaran sela iga

- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis/ leher dan

edema tungkai

- Penampilan pink puffer atau blue bloater

 Palpasi

-Sela iga melebar

- Pada emfisema frernitus melemah

 Perkusi

- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,

hepar terdorong ke bawah

 Auskultasi

-Fremitus melemah

-Suara nafas vesikuler melemah atau normal

-Ekspirasi memanjang

-Bunyi jantung terdengar menjauh

-Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi

paksa

11
2.1.6.3 Pemeriksaan Penunjang

2.1.6.3.1 Pemeriksaan Spirometri

Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya menggunakan

spirometri (GOLD, 2018). The National Heart, Lung, dan Darah Institute

merekomendasikan spirometri untuk semua perokok 45 tahun atau lebih tua,

terutama mereka yang dengan sesak napas, batuk, mengi, atau dahak persisten

(Ferguson, dkk., 2000). Meskipun spirometri merupakan gold standard dengan

prosedur sederhana yang dapat dilakukan di tempat, tetapi itu kurang

dimanfaatkan oleh praktisi kesehatan (Kaminsky, dkk., 2005).

Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV1 (Forced Expiratory

Volume in 1 s) dan FVC (Forced Vital Capacity). FEV1 adalah volume udara

yang pasien dapat keluarkan secara pak dalam satu detik pertama setelah inspirasi

penuh. FEV1 pada pasien dapat diprediksi dari usia, jenis kelamin dan tinggi

badan. FVC adalah volume maksimum total udara yang pasien dapat hembuskan

secara paksa setelah inspirasi penuh (Guyton, 2006; Petty, 2002).

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD) 2018, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut:

1. Derajat 0 (berisiko)

Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan

dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko.

Spirometri: Normal

2. Derajat I (PPOK ringan)

Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi

sputum.Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1

12
Spirometri: FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%

3. Derajat II (PPOK sedang)

Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum.

Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).

Spirometri:FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%

4. Derajat III (PPOK berat)

Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 dan 4.Eksaserbasi lebih sering terjadi

Spirometri:FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%

5. Derajat IV (PPOK sangat berat)

Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai komplikasi

kor pulmonale atau gagal jantung kanan.

Spirometri:FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%

2.1.6.3.2 Pemeriksaan Penunjang Lain

Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis PPOK, namun beberapa

tes tambahan berguna untuk menyingkirkan penyakit bersamaan. Radiografi dada

harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis.

Radiografi berulang atau tahunan dan computed tomography untuk memonitor

kanker paru-paru. Hitung darah lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan

anemia atau polisitemia.Hal ini wajar untuk melakukan elektrokardiografi dan

ekokardiografi pada pasien dengan tanda-tanda corpulmonale untuk mengevaluasi

tekanan sirkulasi paru. Pulse oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga,

dan selama tidur harus dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan

oksigen tambahan(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011; Stephens dan Yew,

2008; Sciurba, F.C., 2004). Selain itu, pemeriksaan khusus lain (tidak rutin) yang

13
dapat dilakukan meliputi uji coba kortikosteroid, analisis gas darah dan kultur

sputum/ sensitiviti test (Amiruddin, dkk., 2018).

2.1.7 Kriteria Diagnosis

Kriteria diagnosis PPOK dibagi atas PPOK stabil dan PPOK eksaserbasi

(dalam serangan). Adapun kriteria PPOK stabil adalah (Amiruddin, dkk., 2018):

- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik

- Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisis gas darah

menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg

- Dahak jernih tidak berwarna

- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil

spirometri)

- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan

- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

Kriteria PPOK eksaserbasi adalah (Amiruddin, dkk., 2018):

- Sesak napas bertambah

- Produksi sputum meningkat

- Perubahan warna sputum

Kriteria eksaserbasi menurut Anthonisen (Amiruddin, dkk., 2018):

- Tipe I: Eksaserbasi berat, memiliki 3 gejala diatas.

- Tipe II: Eksaserbasi sedang, memiliki 2 gejala

- Tipe III: Eksaserbasi ringan, memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran

napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,

peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% nilai dasar, atau

frekuensi nadi > 20% nilai dasar.

14
2.1.8 Penatalaksanaan PPOK

A. Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi bisa dilakukan dengan menghentikan kebiasaan

merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan

secara teratur serta memperbaiki asupan nutrisi. Edukasi mengenai PPOK kepada

pasien merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK

stabil. Pada umumnya, edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma

karena PPOK adalah penyakit kronik yang bersifat irreversible dan progresif, inti

dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan

perburukan penyakit (Budweiser et al., 2008).

B. Terapi Farmakologi

Berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011), terapi obat untuk

PPOK yaitu :

1) Bronkodilator

Bronkodilator diberikan kepada pasien PPOK berdasarkan derajat penyakit dan

dapat diberikan secara tunggal maupun kombinasi. Bentuk obat yang utama yaitu

inhalasi, sedangkan nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.

Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat atau obat berefek

panjang.

Macam - macam bronkodilator :

a) Golongan antikolinergik : Digunakan pada derajat ringan sampai berat, dapat

mengurangi sekresi lendir. Obat yang digunakan untuk jangka pendek (derajat

ringan) yaitu ipratropium bromide dan oxitropium bromide. Sedangkan obat yang

digunakan untuk jangka panjang (derajat berat) yaitu aclidinium bromide,

15
glycopirronium bromide, tiotropium, dan umeclidinium (Global Intiative for

Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), 2018).

b) Golongan agonis β– 2 : Digunakan untuk mengatasi sesak dan mengatasi

eksaserbasi akut serta eksaserbasi berat. Obat yang digunakan untuk jangka

pendek (eksaserbasi akut) yaitu fenoterol, levalbuterol, salbutamol (albuterol), dan

terbutalin. Sedangkan obat yang digunakan untuk jangka panjang (eksaserbasi

berat) yaitu formoterol, arformoterol, indacaterol, olodaterol, salmeterol, dan

tulobuterol (Global Intiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD),

2018).

c) Kombinasi agonis β–2 antikolinergik : meningkatkan efek bronkodilatasi.

Kombinasi obat untuk jangka pendek yaitu fenoterol/ipratropium dan

salbutamol/ipratropium. Sedangkan untuk jangka panjang yaitu

formoterol/aclidinium, indacaterol/glycopyrronium, olodaterol/tiotropium, dan

vilanterol/umeclidinium (Global Intiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD), 2018).

d) Golongan xantin : Digunakan untuk mengatasi sesak dan eksaserbasi akut.

Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah. Obat

yang digunakan yaitu aminofilin dan teofilin (Global Intiative for Chronic

Obstructive Lung Disease (GOLD), 2018).

2) Kortikosteroid (Antiinflamasi)

Penggunannya pada eksaserbasi akut dan berfungsi untuk menghilangkan

peradangan yang terjadi. Obat yang digunakan sebagai inhalasi kortikosteroid

yaitu beclomethasone, budesonide, dan fluticasone (Global Intiative for Chronic

Obstructive Lung Disease (GOLD), 2018).

16
3) Antibiotika

Antibiotik diberikan bila ada infeksi. Antibiotik yang digunakan sebagai lini

pertama yaitu amoksisilin dan makrolid sedangkan sebagai lini kedua yaitu

amoksisilin-asam klavulanat, sefalosporin, kuinolondan makrolida baru

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

4) Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N

-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak

dianjurkan sebagai pemberian yang rutin (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,

2011).

5) Mukolitik

Mengatasi eksaserbasi akut karena dapat segera memperbaiki eksaserbasi yang

terjadi terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi

eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai

pemberian rutin. Obat yang bisa digunakan adalah bromheksin, ambroxol, dan

erdostein (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

6) Antitusif

Penggunaan antitusif secara rutin tidak dianjurkan pada PPOK stabil

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

C. Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang

menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan

hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah

17
kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya (Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia, 2011).

Manfaat oksigen:

- Mengurangi sesak

- Memperbaiki aktiviti

- Mengurangi hipertensi pulmonal

- Mengurangi vasokonstriksi

- Mengurangi hematokrit

- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri

- Meningkatkan kualitas hidup(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

Indikasi:

- PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%

- PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,

perubahan Ppulmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep

apnea, penyakit parulain(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

Macam terapi oksigen :

- Pemberian oksigen jangka panjang

- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas(Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia, 2011).

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit.

Terapi oksigen di rumahdiberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat

dengan gagal napas kronik. Sedangkandi rumah sakit oksigen diberikan pada

18
PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di

rumahdibedakan :

- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )

- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak(Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia, 2011).

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan

stabil terutama bila tidur atau sedang aktivitas, lama pemberian 15 jam setiap hari,

pemberian oksigen dengan nasalkanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu

tidur bertujuan mencegah hipoksemia yangsering terjadi bila penderita tidur

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

Terapi oksigen pada waktu aktivitas bertujuan menghilangkan sesak napas

dan meningkatkan kemampuan aktivitas. Sebagai parameter digunakan analisis

gas darah atau pulse oksimetri.Pemberian oksigen harus mencapai saturasi

oksigen di atas 90% (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

Alat bantu pemberian oksigen:

- Nasal kanul

- Sungkup venturi

- Sungkup rebreathing

- Sungkup nonrebreathing

19
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi

analisis gas darah pada waktu tersebut (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,

2011).

2.2 Congestive Heart Failure (CHF) / Gagal Jantung Kongestif

2.2.1 Definisi Congestive Heart Failure (CHF)

Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung adalah sebuah

sindrom klinis progresif yang dapat dihasilkan dari berbagai kelainan yang

merusak kemampuan dari ventrikel untuk mengisi atau mengeluarkan darah,

sehingga membuat jantung tidak mampu untuk memompa darah dalam jumlah

yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (Dipiro, dkk, 2008).

Gambar 1. Jantung Normal dan Gagal Jantung Kongestif

Gagal jantung adalah sindroma klinis yang disebabkan oleh

ketidakmampuan jantung dalam memompa darah pada jumlah yang cukup bagi

kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung dapat disebabkan oleh gangguan

yang mengakibatkan terjadinya pengurangan pengisian ventrikel (disfungsi

diastolik) dan.atau kontraktilitas miokardial (disfungsi sistolik) (ISFI, 2008).

20
2.2.2 Patofisiologi

Gagal jantung terjadi jika curah jantung tidak cukup untuk memenuhi

kebutuhan akan O2. Gagal jantung adalah suatu gejala klinik kompleks akibat

kelainan struktur dan fungsi jantung yang mengganggu kemampuan ventrikel

untuk diisi oleh darah atau untuk mengeluarkan darah. Pada kebanyakan pasien

gagal jantung, disfungsi sistolik dan diastolik ditemukan bersamaan. Pada

disfungsi sistolik, kekuatan kontraksi ventrikel kiri terganggu sehingga darah yang

dipompa berkurang, menyebabkan curah jantung berkurang. Pada disfungsi

diastolik, relaksasi dinding ventrikel terganggu sehingga pengisian darah ke

ventrikel berkurang, menyebabkan curah jantung berkurang. Berkurangnya curah

jantung inilah yang menimbulkan gejala-gejala gagal jantung. Disfungsi sistolik

biasanya terjadi akibat infark miokard yang menyebabkan kemarian sebagian sel

otot jantung, sedangkan disfungsi diastolik biasanya terjadi akibat hipertensi yang

menyebabkan kompensasi miokard berupa hipertropi dan kekauan dinding

ventrikel. Sel miokard yang mati pada infark miokard diganti dengan jaringan

ikat, dan pada sel miokard yang tinggal (jumlahnya telah berkurang) terjadi

hipertrofi (Arini dan Nafrialdi, 2007).

2.2.3 Manifestasi Klinis

Gejala yang dirasakan pasien bervariasi dari asimptomatis (tak bergejala)

hingga syok kardiogenik. Gejala utama yang timbul adalah sesak nafas (terutama

ketika bekerja) dan kelelahan yang dapat menyebabkan intoleransi terhadap

aktivitas fisik. Gejala pulmonari lain termasuk diantaranya orthopnea, paroxysmal

nocturnal dyspnea, tachypnea dan batuk. Tingginya produksi cairan menyebabkan

kongesti pulmonary dan udem perifer. Gejala nonspesifik yang dapat timbul

21
diantaranya termasuk nokturia, hemotypsis, sakit pada bagian abdominal,

anoreksia, mual, kembung, ascites dan perubahan status mental (ISFI, 2008).

Gambar 2. Bagan Patofisiologi Congestive Heart Failure

2.2.4 Klasifikasi

Ada berbagai macam klasifikasi untuk gagal jantung, diantaranya

berdasarkan abnormalitas struktur jantung yang disusun oleh American Heart

Association/ American College of Cardiology (AHA/ACC) atau berdasarkan

gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional yang diterbitkan oleh New York

Heart Association (NYHA).

22
Tabel 1. Klasifikasi Gagal Jantung

KLASIFIKASI MENURUT KLASIFIKASI MENURUT NYHA

ACC/AHA
STADIUM A KELAS I

Memiliki risiko tinggi untuk Pasien dengan penyakit jantung tetapi

berkembang menjadi gagal jantung. tidak ada pembatasan aktivitas fisik.

Tidak terdapat gangguan struktural Aktivitas fisik biasa tidak

atau fungsional jantung menyebabkan kelelahan berlebihan,

palpitasi, dispnea atau nyeri angina


STADIUM B KELAS II

Telah terbentuk penyakit struktur Pasien dengan penyakit jantung

jantung yang telah berhubungan dengan sedikit pembatasan aktivitas

dengan perkembangan gagal fisik. Merasa nyaman saat istirahat.

jantung, tidak terdapat tanda dan Hasil aktivitas normal fisik kelelahan,

gejala palpitasi, dispnea atau nyeri angina


STADIUM C KELAS III

Gagal jantung yang simptomatik Pasien dengan penyakit jantung yang

berhubungan dengan penyakit terdapat pembatasan aktivitas fisik.

struktural jantung yang mendasari Merasa nyaman saat istirahat.

Aktivitas fisik ringan menyebabkan

kelelahan, palpitasi, dispnea atau nyeri

angina
STADIUM D KELAS IV

Penyakit struktural jantung yang Pasien dengan penyakit jantung yang

lanjut serta gejala gagal jantung mengakibatkan ketidakmampuan

yang sangat bermakna saat istirahat untuk melakukan aktivitas fisik

23
walaupun telah mendapatkan terapi apapun tanpa ketidaknyamanan.

Gejala gagal jantung dapat muncul

bahkan pada saat istirahat. Keluhan

meningkat saat melakukan istirahat


(St. Luke’s Health Partner, 2016)

2.2.5 Penyebab Gagal Jantung (Etiologi)

Penyebab gagal jantung antara lain infark miokard, miopati jantung,

kelainan katup jantung, dan malformasi kongentinal. Jika kebutuhan oksigen

ventrikel yang meningkat tidak dapat dipenuhi dengan peningkatan aliran darah

(biasanya karena arterosklerosis koroner), kontraksi ventrikel akan berkurang.

Pada kasus ini, disfungsi diastolik dan sistolik, keduanya terjadi. Penyebab lain

gagal jantung yaitu hipertensi sistemik atau penyakit paru kronis, gagal ginjal atau

intoksikasi air (jarang terjadi), akan meningkatkan volume plasma sampai dengan

derajat tertentu sehingga volume diastolik akhir meregangkan serabut ventrikel

melebihi panjang optimalnya (Corwin, 2009).

Gejala gagal jantung dapat ditimbulkan oleh beberapa penyakit. Di negara-

negara berkembang, penyebab tersering adalah penyakit arteri koroner yang

menimbulkan infark miokard dan tidak berfungsinya miokardium (kardiomiopati

sistemik) (Tierney, dkk, 2002).

2.2.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis gagal jantung ditentukan berdasarkan gekala klinik,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang.

Kriteria diagnosis utama :

a. Sesak nafas beberapa saat setelah berbaring (Orthopnea)

b. Sesak nafas pada malam hari (Paroxymal Nocturnal Dyspnoe).

24
c. Peningkatan vena jugularis.

d. Pembesaran jantung.

e. Gallop S3

f. Edema paru

g. Rales

h. Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari dalam pengobatan

i. Refluks hepatojugular (pelebaran vena jugularis ketika dilakukan

penekanan pada hati).

Kriteria diagnosis tambahan :

a. Edema tungkai bawah (biasanya dekat mata kaki)

b. Batuk-batuk mala hari

c. Sesak nafas saat aktivitas lebih dari sehari-hari

d. Pembesaran hati

e. Efusi pleura, penumpukan cairan dimana dua lapisan pleura yaitu

membran yang memisahkan paru-paru dengan dinding dada bagian dalam

f. Takikardia (>100 kali/menit)

Bila terdapat 1 gejala utama dan 2-3 gejala tambahan maka sudah memenuhi

kriteria diagnostik gagal jantung (PERKI, 2016)

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis adanya

gagal jantung antara lain foto thorax untuk melihat adanya kongesti pada paru,

pembesaran hati dan pembesaran jantung. Ekokardiogram untuk melihat ada

tidaknya infark miokard, ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien

dengan dugaan klinis gagal jantung, tes darah untuk mengetahui ada tidaknya

pasien mengalami anemia dan menilai fungsi ginjal, pemeriksaan radionuklide

25
angiografi dan melakukan tes tambahan seperti tes fungsi hati, serum elektrolit,

mengukur kreatinin, lipid, urin, tes fungsi paru dan hormon stimulasi tiroid (Dosh,

2004).

2.2.7 Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi menurut Dipiro, dkk (2008) terdiri atas :

a. Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipdemia, atau obesitas harus diet

sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah atau berat badan.

b. Merokok harus dihentikan

c. Mengurangi aktivitas fisik dengan melakukan olahraga yang teratur seperti

bersepeda atau berjalan dianjurkan untuk pasien gagal jantung yang stabil (NYHA

kelas II-III).

d. Istirahat, dianjurkan untuk gagal jantung akut dan tidak stabil

e. Hindari berpergian ke tempat-tempat tinggi, panas, dan lembab.

2.2.8 Terapi Farmakologi

Tujuan pengobatan pada pasien gagal jantung adalah meningkatkan

kualitas hidup, meredakan atau mengurangi gejala, mencegah atau meminimalkan

rawat inap, memperlambat perkembangan penyakit, dan memperpanjang

kelangsungan hidup (Dipiro, dkk, 2008).

Berikut ini adalah beberapa terapi yang dapat diterapkan pada pasien gagal

jantung menurut Arini dan Nafrialdi (2007) antara lain :

a. ACE Inhibitor

26
Mengurangi mortalitas dan morbiditas pada semua pasien gagal jantung

sistolik. Mekanisme kerja ACEIs mengurangi pembentukan angiotensin II di

reseptor AT1 maupun AT2.

b. Antagonis Angiotensin II (ARB)

Menghambat aktivitas angiotensin II hanya di reseptor AT1 dan tidak di

reseptor AT2. Tidak adanya hambatan kininase II menyebabkan bradikinin

dipecah menjadi kinin aktif, sehingga vasodilator Nitric Oxide (NO) dan PGI2

tidak terbentuk. Karena itu, obat golongan ini tidak menimbulkan efek samping

batuk kering.

c. Diuretik

Merupakan obat utama yang mengatasi gagal jantung akut yang selalu

disertai dengan kelebihan (overload) cairan yang menyebabkan kongesti paru dan

edema perifer. Penggunaan diuretik dapat menghilangkan sesak nafas dan

meningkatkan kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik. Diuretik mengurangi

retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan ekstrasel, alir balik

vena, dan tekanan pengisian ventrikel (preload)

d. Antagonis Aldosteron

Aldosteron menyebabkan retensi Na dan air serta mengekskresi K dan Mg.

Retensi Na dan air menyebabkan edema dan meningkatkan preload jantung.

Aldosteron memacu remodeling dan disfungsi ventrikel melalui peningkatan

preload dan efek langsung yang menyebabkan fibrosis miokard dan proliferasi

fibroblast.

e. β – Blocker

27
Menghambat efek merugikan dari aktivitas simpatis pada pasien gagal

jantung. Stimulasi adregenik pada jantung memang pada awalnya meningkatkan

kerja jantung, akan tetapi aktivitas simpatsi berkepanjangan pada jantung yang

telah mengalami disfungsi akan merusak jantung, dan hal ini akan dicegah oleh

obat golongan ini.

f. Vasodilator

Selain ACEIs dan ARB, vasodilator lain yang digunakan untuk

pengobatan gagal jantung adalah Hidralazin-ISDN, Na Nitropusid IV,

Nitrogliserin IV. Kombinasi Hidralazin-ISDN dapat mengurangi mortalitas pada

pasien gagal jantung akibat disfungsi sistolik. Na Nitropusid merupakan prodrug

dari NO, suatu vasodilator kuat, kerjanya di arteri maupun vena, sehingga

menurunkan afterload dan preload jantung. Nitrogliserin juga merupakan

prodrug dari NO, pada kecepatan infus yang rendah obat ini mendilatasi vena

dengan demikian hanya menurunkan preload jantung.

g. Digoksin

Efek digoksin pada pengobatan gagal jantung yaitu inotropik positif, konotropik

negatif (mengurangi frekuensi denyut ventrikel pada takikardia atau fibrilasi

atrium) dan mengurangi aktivitas saraf simpatis.

2.3 Tinjauan Umum Obat

2.3.1 Infus NaCl 0,9%

- Indikasi: untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit.

- Kontraindikasi : Pasien dengan kondisi hipernatremia, asidosis, hipokalemia.

28
- Efek samping: Reaksi yang mungkin terjadi karena larutannya atau cara

pemberiannya, termasuk timbulnya panas, iritasi atau infeksi pada tempat

penyuntikan, thrombosis vena atau flebitis yang meluas dari tempat

penyuntikan dan ekstravasasi.

- Kemasan: Infus natrium klorida kekuatan biasa 0,9% (9 g, 150 mmol tiap

Na+ dan Cl-/liter) kemasan 500 dan 1000 mL.

- Penyimpanan: Sebaiknya disimpan pada suhu kamar ruangan antara 25-30oC

(PIONAS, 2019).

2.3.2 Pulmicort

- Indikasi: untuk meredakan dan mencegah gejala serangan asma, seperti sesak

napas dan mengi. Obat ini bekerja langsung pada saluran pernapasan dengan

mengurangi peradangan dan pembengkakan saluran napas, saat serangan asma

terjadi

- Kontraindikasi: Hipersensitivitas.

- Perhatian: Harus dengan resep dokter. Hipersensitif Kategori Kehamilan : B

- Efek samping: iritasi ringan pada tenggorokan dan suara serak. Iritasi lidah dan

mulut, kandidiasis oral. Batuk dan mulut kering.

- Dosis: > 12 th : 2 x sehari 1-2 mg. Pemeliharaan : 2 x sehari 0,5-1 mg. Anak 3

bln- 12 th: 2 x sehari 0,5-1 mg. Pemeliharaan : 2 x sehari 0,25-0,5mg

- Penyimpanan: simpan di tempat sejuk dan kering, terhindar dari paparan sinar

matahari langsung

29
2.3.3 Ventolin

- Indikasi: umumnya digunakan untuk mengobati bronkospasme (misalnya

penyakit asma karena alergi tertentu, asma bronkial, bronkitis asmatis,

emfisema pulmonum), dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

- Kontraindikasi: Pasien dengan risiko penyakit jantung iskemik, kehamilan

kurang dari 22 minggu, kehamilan dengan risiko seperti infeksi , perdarahan,

plasenta previa, preeklamsia berat, eklamsia berat dan ibu dengan abortus

iminens (keguguran dipertahankan).

- Perhatian: Hentikan pemakaian dengan segera jika anda mengalami

reaksi alergi, seperti ruam, gatal, sakit tenggorokan, demam, arthralgia, pucat,

atau tanda-tanda lainnya, karena bisa berakibat yang lebih fatal.

- Efek samping: nadi meningkat, nyeri dada, denyut jantung cepat, tremor

terutama pada tangan, kram otot, sakit kepala dan gugup, bronkospasme

paradoksikal, urtikaria (biduran) , angioedema (pembengkakan pembuluh

darah akibat reaksi berat) , dan hipotensi (tekanan darah menurun).

- Interaksi obat: Pemberian bersamaan dengan bronkodilator simpatomimetik

kerja pendek lain tidak boleh dilakukan karena bisa memberikan efek yang

sangat buruk pada sistem kardiovaskular.

- Dosis: Dewasa dan anak > 18 bulan 2.5 mg, diberikan sampai 4 x sehari, atau 5

x bila perlu, tetapi perlu segera dipantau hasilnya, karena mungkin diperlukan

alternatif terapi lain. Efektivitas untuk anak < 18 bulan masih diragukan.

- Penyimpanan: simpan di tempat sejuk dan kering, terhindar dari paparan sinar

matahari langsung

2.3.4 Levofloxacin

30
- Indikasi: untuk mengobati infeksi bakteri seperti

infeksi saluran kemih, pneumonia, bronchitis, sinusitis, infeksi kulit, jaringan

lunak, dan infeksi prostat

- Perhatian: Jangan menggunakan obat ini jika Anda memiliki alergi terhdapap

obat Levofloxacin atau golongan fluoroquinolon lainnya. Hati-hati pemberian

Levofolxacin pada pasien dengan penyakit hati atau gangguan pada fungsi hati

- Efek samping: sakit kepala, vertigo dan insomnia. Reaksi psikotik, halusinasi,

depresi dan kejang (jarang terjadi).

- Interaksi obat: Menurunkan penyerapan obat dalam tubuh jika digunakan

dengan obat antasida yang mengandung magnesium (Mg) atau aluminium (Al),

atau suplemen dengan kandungan seng (Zn), kalsium (Ca), magnesium (Mg),

serta besi (Fe). Meningkatkan risiko kelainan tendon apabila digunakan

dengan kortikosteroid. Meningkatkan risiko penggumpalan darah apabila

digunakan dengan obat golongan warfarin.

- Dosis: 500 mg sekali sehari selama >7 hari (peroral atau intravena)

- Penyimpanan: simpan dibawah suhu 30°C, terlindung dari cahaya.

2.3.5 N-asetil sistein

- Indikasi: untuk terapi muks kental dan tebal pada saluran pernafasan.

- Perhatian: Pasien yang sulit mengeluarkan sekret, penderita asma bronkial,

berbahaya untuk pasien asma bronkial akut.

- Efek samping: pada penggunaan sistemik : menimbulkan reaksi hipersensitif

seperti urtikaria dan bronkopasme (jarang terjadi). Pada penggunaan aerosol,

iritasi nasofaringeal dan saluran cerna seperti pilek (rinore), stomatitis, mual,

dan muntah.

31
- Interaksi obat: Jangan digunakan bersamaan dengan antibiotik tetrasiklin.

Pastikan ada jarak setidaknya dua jam sebelum dan sesudah mengonsumsi N-

asetil sistein. Penggunaan antitusif atau pereda batuk seperti kodein sebaiknya

dihindari selama menggunakan N-setil sistein karena berpotensi memicu

penumpukan dahak. Hindari pula penggunaan obat nitrogliserin karena

berpoteni meningkatkan efek melebarkan pembuluh darah nitrogliserin.

- Dosis: Dewasa dan anak usia > 7 tahun : 600 mg per hari sebagai dosis tunggal,

atau dibagi menjadi tiga dosis. Anak usia 1-24 tahun: 100 mg, 2 kali sehari.

Anak usia 2-7 tahun: 200 mg, 2 kali sehari.

- Penyimpanan: simpan dibawah suhu 30°C, terlindung dari cahaya.

2.3.6 KSR

- Indikasi: Untuk pasien yang mengalami kehilangan kalium

- Peringatan: penderita lanjut usia, kerusakan ginjal ringan sampai sedang

(diperlukan pengawasan ketat) striktur usus, riwayat ulkus peptikum, hiatus

hernia (untuk sediaan lepas lambat); penting: bahaya khusus bila diberikan

dengan obat yang bisa menaikkan kadar plasma kalium seperti diuretik hemat

kalium, ACE inhibitor, atau siklosporin.

- Efek samping: mual dan muntah (bila berat dapat merupakan tanda obstruksi)

ulserasi esofagus atau usus kecil.

- Interaksi obat : KSR tablet dapat berinteraksi degan obat dan produk

cyclosporine A, mannitol dan vecuronium

- Dosis: 600 mg, 2-3 kali sehari 1- 2 tablet

- Penyimpanan: simpan dibawah suhu 30°C, terlindung dari cahaya.

2.3.7 Candesartan

32
- Indikasi: untuk terapi tekanan darah tinggi dan mengobati gagal jantung.

- Perhatian: Pasien yang mengalami penyakit pada hati, tingginya kadar kalium

dalam darah, kehilangan terlalu banyak air/dehidrasi. Jangan mengonsumsi

obat ini jika mempunyai riwayat angioedema, kerusakan hati, kehamilan.

- Efek samping: pada penggunaan sistemik : pusing, mual, diare, nyeri sendi,

dan nyeri punggung. Reaksi alergi yang bisa terjadi ruam, gatal atau bengkak

pada wajah maupun lidah, pusing berat, kesulitan bernafas.

- Interaksi obat: Obat ini dapat mengurangi efek antihipertensi dan

meningkatkan risiko gangguan fungsi ginjal, jika dikonsumsi bersama dengan

obat antiinflamasi nonsteroid. Berpotensi meningkatkan kadar obat lithium

dalam darah, konsumsi candesartan bagi penderita diabetes yang juga

mengonsumsi obat aliskiren, berpotensi meningkatkan terjadinya gagal ginjal,

hipotensi dan hiperkalemia.

- Dosis: Dewasa dan anak usia > 7 tahun : Untuk pengobatan awal gagal jantung

4 mg satu kali sehari, dapat digandakan dengan jarak tidak kurang dari 2

minggu. Maksimal 32 mg satu kali sehari.

- Penyimpanan: simpan dibawah suhu 30°C, terlindung dari cahaya.

2.3.8 Isosorbit dinitrat

- Indikasi: profilaksis dan pengobatan angina; gagal jantung kiri.

- Perhatian: gangguan hepar atau ginjal berat; hipotiroidisme, malnutrisi, atau

hipotermia; infrak miokard yang masih baru; sistem transdermal yang

mengandung logam harus diambil sebelum kardioversi atau diatermi.

- Efek samping: sakit kepala berdenyut, muka merah, pusing, hipotensi postural,

takikardi (dapat terjadi bradikardi paradoksikal).

33
- Interaksi obat: Berpotensi memicu efek fatal, seperti hipotensi berat, pingsan,

atau serangan jantung, jika digunakan bersama dengan PDE5 inhibitors

(misalnya sildenafil) atau riociguat. Meningkatkan efek hipotensi jika

digunakan bersama dengan obat antihipertensi atau antipsikotik. Menurunkan

efek obat isosorbit dinitrat jika digunakan bersama dengan dispyramide jenis

sublingual.

- Dosis: Sublingual: 5-10 mg; Oral: sehari dalam dosis terbagi, angina 30-120

mg, gagal jantung kiri 40-160 mg sampai 240 mg bila diperlukan.

- Penyimpanan: simpan dibawah suhu 30°C, terlindung dari cahaya.

2.3.9 Furosemid

- Indikasi: untuk udem karena penyakit jantung, hati dan ginjal. Terapi tambahan

pada udem pulmonari akut dan udem otak yang diharapkan mendapat onset

diuresis yang kuat dan cepat.

- Perhatian: hipotensi, pasien dengan risiko penurunan tekanan darah, diabetes

melitus, gout, sindrom hepatorenal, hipoproteinemia, bayi prematur.

- Efek samping: gangguan pada saluran pencernaan seperti mual, diare,

pankreatitis, jaundice, anorexia, iritasi oral dan gaster, muntah, kejang dan

kostipasi. Reaksi hipersensitifitas seperti interstitial nephritis alergi, sistemik

vaskulitis, necrotizing angiitis, diazziness dan sakit kepala. Reaksi dermatologi

seperti rash, pruritus, urticaria, exfoliative dermatitis, purpura, erythema

multiforma. Efek samping lain seperti hiperglikemia, glikosuria, hiperuricemia.

- Interaksi obat: Furosemid meningkatkan ototoksik antibiotika aminoglikosida

terutama pada keadaan gangguan ginjal. Dengan probenesid akan menghambat

sekresi tubuli furosemid. Meningkatkan risiko toksisitas salisilat dan lithium.

34
- Dosis: Untuk udema: Dewasa : Dosis awal 20-40 mg sebagai dosis tunggal,

disuntikkan intravena atau intramuskular. Pemberian secara intravena harus

diberikan secara perlahan-lahan (1 -2 menit). Dosis dapat ditingkatkan 20 mg,

paling cepat setelah kira-kira 2 jam setelah dosis awal sampai tercapai diuresis

yang diharapkan. Pada udema paru (pulmonary edema) 40 mg dapat diberikan

intravena (1-2 menit), bila perlu dapat diulang kira-kira 10 menit dengan dosis

sampai 80 mg. Anak-anak: 1mg/kg BB intramuskular atau intravena dibawah

pengawasan dokter. Dosis dapat ditingkatkan maksimum 6mg/kg BB setelah

kira-kira 2 jam.

- Penyimpanan: simpan dibawah suhu 25°C, terlindung dari cahaya.

35
BAB III

PENATALAKSANAAN UMUM

3.1 Identitas Pasien

Nama : AA

JenisKelamin : Laki-laki

RM : 106396

Tanggal Lahir / Umur : 20 Mei 1952 / 67 tahun

Berat Badan / Tinggi Badan : 57 kg / 160 cm

Masuk RS : 09 November 2019

Keluar RS : 12 November 2019

Ruangan / Kelas : Meranti/ Kelas 2

Diagnosa : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) +

Congestive Heart Failure (CHF)

3.2 Riwayat Penyakit dan Pengobatan

3.2.1 Riwayat Penyakit Terdahulu

Penyakit jantung 2 bulan yang lalu

3.2.2 Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak Ada

3.2.3 Riwayat Alergi

Tidak Ada

3.2.4 Riwayat Pengobatan

- Furosemid 40 mg 3 x 1 tablet

- Candesartan 4 mg 1 x 1 tablet

- Seretide 2 x 1 inhalasi

36
3.2.5 Skala dan Lokasi Nyeri

Skala 0

3.3 Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk RS Universitas Sumatera Utara

Pasien masuk RS Universitas Sumatera Utara pada tanggal 09 November

2019 pukul 17.20 WIB melalui Instalasi Gawat Darurat (IGD). Pasien datang

dengan keluhan sesak nafas dalam 1 minggu ini. Batuk sudah dialami selama 1

bulan dengan dahak berwarna putih dan susah dikeluarkan, nafas berbunyi

dijumpai. Jantung berdebar dialami 1 minggu.

Pasien menerima penanganan awal dari tenaga medis dan mendapatkan

obat saat di IGD yaitu :

- IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i

- O2 3-5 L

- Nebule ventolin 2,5 mg/ 8jam

- Nebule pulmicort 1 mg/12jam

- N-Asetil sistein 200 mg (3 x 1)

- KSR tablet 3 x 1

3.4 Hasil Pemeriksaan

Selama dirawat di RS Universitas Sumatera Utara, Kota Medan, pasien

telah menjalani beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan fisik dan beberapa

pemeriksaan laboratorium patologi klinik yang meliputi pemeriksaan fisik,

pemeriksaan darah lengkap (hematologi) dan pemeriksaan patologi klinik.

37
3.4. 1 Pemeriksaan Fisik

Selama di RS Universitas Sumatera Utara, Kota Medan, pasien telah

menjalani pemeriksaan fisik. Hasil pemeriksaan fisik ditunjukkan pada Tabel 1.

Tanggal Waktu Sensorium BP HR RR T(℃)


Pemeriksaan Pemeriksaan (mmHg) (x/menit) (x/menit) (Normal:
(Normal: (Normal: (Normal: 36.5-
<120/80) 80-100) 12-20) 37.5)
09/11/2019 18.00 CM 130/60 80 22 36.2
21.15 CM 130/86 98 17 36
10/11/2019 05.00 CM 130/80 80 20 36.5
07.00 CM 128/80 80 20 36
10.30 CM 100/80 89 26 36.5
18.00 CM 100/60 78 20 37
11/11/2019 06.00 CM 90/70 96 22 36
09.00 CM 100/70 86 24 36.7
10.00 CM 100/70 80 20 36.8
18.00 CM 120/80 92 24 36.5
12/11/2019 05.00 CM 100/80 98 22 36.5
06.30 CM 100/80 98 24 36.5
07.30 CM 100/80 92 26 36
11.00 CM 100/70 90 22 36.2
Keterangan: CM = compos mentis (sadarpenuh), BP = blood preasure, HR =
heartrate, RR = respiratory rate, T = temperature.

3.4.2 Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik


Jenis Nilai Hasil/ Tanggal
Satuan
Pemeriksaan Rujukan 9/11 11/11
HEMATOLOGI
Darah Lengkap (CBC) :
14.0- g/dL 12.2
Hemoglobin
17.0
Hematokrit 43-49 % 37.40
Leukosit 3.8-10.6 103/µL 10.93
Eritrosit 4.4-5.9 106/µL 4.24
Trombosit 150-440 103/µL 212
MCV 82.0-92.0 fL 88.20
MCH 27.0-31.0 Pg 28.80
MCHC 32.0-36.0 g% 32.60
RDW-SD 39-46 fL 54.30
RDW-CV 11.0-15.5 % 16.7
PDW 9.6-15.2 fL 9.9
MPV 9.2-12.0 fL 9.2

38
HitungJenis:
Neutrofilsegmen 50-70 % 75.8
Limfosit 20-40 % 15.4
Monosit 2-8 % 6.6
Eosinofil 1-6 % 2.20
Asofil 0-1 % 0.0
IG (Diff) % 1.1
Neutrofil 2.7-6.5 103/µL 8.29
absolute
Limfosit absolut 1.5-3.7 103/µL 1.68
Monosit absolut 0.2-0.4 103/µL 0.72
Eosinofil 0-0.10 103/µL 0.24
absolute
IG absolut 103/µL 0.12
(Diff)
Basofil Absolut 0-0,1 103/µL 0.00
KIMIA DARAH:
pH 7.37- 7.51
7.45
PaCO2 33-44 mmHg 35.6
PaO2 71-104 mmHg 132.00
HCO3 22-29 mmol/L 28.6
T CO2 23-27 mmol/L 30.0
BE (-2)-3 mmol/L 6
O2 salurasi 94-98 % 99
Jenis Nilai Hasil/ Tanggal
Satuan
Pemeriksaan Rujukan 9/11 11/11
DIABETES
GulaDarahSewaktu
< 100 mg/dL : Bukan DM
129
100-199 mg/dL : Belumpasti DM
>200 mg/dL : Mungkin DM
GINJAL:
Ureum <50 mg/dL 31.80
Kreatinin 0.6-1.3 mg/dL 0.73
ELEKTROLIT:
Natrium (Na) 135-155 mmol/L 140 139
Kalium (K) 3.5-5.0 mmol/L 2.80 3.10
Klorida (Cl) 96-106 mmol/L 98 101
HATI:
Bilirubin total ≤1.4 mg/dL 1.13
Bilirubin direk ≤0.40 mg/dL 0.35
SGOT 5-35 U/L 16
SGPT 5-35 U/L 23
GINJAL
Asam Urat <8.4 mg/dL 7.6
IMUNOSEROLOGI (SEROLOGI)

39
Anti HIV Tidak reaktif Tidak reaktif
3.4.3 Hasil Pemeriksaan Thorax

Hasil :

- Sinus costophernicus kanan/kiri lancip

- Diaphragma kana/kiri licin

- CIR sulit dinilai

- Jantung bentuknya dan ukuran membesar

- Aorta dilatasi

- Tampak batwing infiltrat dikedua paru

- Corakan bronkovaskular paru tampak kasar.

- Tampak kalsifikasi paru kiri atas .

Kesan :

Cardiomegali disertai congestive pulmonal suggest CHF

3.4.4 Hasil Tes Spirometri

40
Hasil: - FEV/FVC : 98,41%

- FEV : 22%

- FVC : 18%

Kesan : restruksi berat + obstruksi berat

3.4.5 Hasil EKG

41
3.5 Riwayat Pemakaian Obat

Tanggal pemberian
Bentuk Kekuatan
Nama obat Regimen 9/ 10/ 11/ 12/
Sediaan Sediaan
11 11 11 11
Furosemid Injeksi 10 mg Per 12 jam - √ √ √
Levofloxacin Injeksi 750 mg Per 24 jam √ √ √ √
IVFD NaCl 0.9% Infus 0.9% 20g tt/i √ √ √ √
Ventolin Nebule 2,5 mg Per 8 jam √ √ √ √
Pulmicort Nebule 0,5 mg/ml Per 12 jam √ √ √ √
N- asetil sistein Tablet 200 mg 3x1 tab √ √ √ √
KSR Tablet 600 mg 3x1 tab √ √ √ √
Candesartan Tablet 4 mg 1x1 tab - √ √ √
Isosorbit Dinitrat Tablet 5 mg 3x1 tab - √ √ √

Obat Pulang yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 3.4.


Tabel 3.4 Obat pulang
No. Nama Obat Bentuk Sediaan Kekuatan Sediaan Regimen Dosis
1 KSR Tablet 600 mg Diminum 3x1 tablet
2 N- asetil sistein Tablet 200 mg Diminum 3 x1 tablet
3 Candesartan Tablet 4 mg Diminum 1x1 tablet
4 Isosorbit Dinitrat Tablet 5 mg Diminum 3x1 tablet
5 Furosemid Tablet 40 mg Diminum 1x1 tablet

42
3.6 Pemantauan dan Evaluasi (SOAP)

Pemantauan dan evaluasi (SOAP) dapat dilihat pada Tabel 3.5


Tanggal Subjek (S) Objek (O) Assesment (A) Plan (P)
Sesak Pemeriksaan Fisik  Pemantauan Monitoring
tekanan darah efek samping
nafas,
TD HR RR obat yang telah
Jam Kesadaran T (˚C)  Pemantauan
09 batuk dan (mmHg) (x/min) (x/min) diberikan.
18.00 Compos mentis 130/60 80 22 36.2 kadar kalium
Novembe berdahak  Penggunaan
21.15 Compos mentis 130/86 98 17 36
r 2019 warna terapi obat yang
putih, tidak sesuai.

terasa nyeri
Terapi:
- IVFD NaCl 0.9% 20gtt/i
- N-Asetil sistein 200 mg 3 x 1 tablet
- Injeksi Levofloxacin 500 mg per 24 jam
- KSR 600 mg 3x 1tablet
- Ventolin nebule 2.5 mg per 8 jam
- Pulmicort nebule 0.5 mg per 12 jam

43
Tanggal Subjek (S) Objek (O) Assesment (A) Plan (P)
Sesak nafas Pemeriksaan Fisik  Penggunaan Monitoring efek
terapi obat samping obat
berkurang,
TD HR RR T yang sesuai. yang telah
Jam10 Kesadaran
pola nafas (mmHg) (x/min) (x/min) (˚C)  Pantu kadar diberikan.
November
05.00 Compos mentis 130/80 80 20 36.5 kalium
kurang
07.00
2019 Compos mentis 128/80 80 20 36  Pantau tanda-
10.30 efektif,
Compos mentis 100/80 98 26 36.5 tanda vital
18.00 Compos
batukmentis 100/60 78 20 37  Pantau tekanan
Terapi: darah

- IVFD NaCl 0.9% 20gtt/i - N-Asetil sistein 200 mg 3 x 1 tablet


- Injeksi Levofloxacin 500 mg per 24 jam - KSR 600 mg 3 x 1tablet
- Ventolin nebule 2.5 mg per 8 jam - Candesartan 4 mg 1 x 1 tablet
- Pulmicort nebule 0.5 mg per 12 jam - Isosorbit Dinitrat 5 mg 3 x 1 tablet
- Injeksi Furosemid 1gr/ml per 12 jam

44
Tanggal Subjek (S) Objek (O) Assesment (A) Plan (P)
Sesak nafas Pemeriksaan Fisik Penggunaan terapi Monitoring efek
obat yang sesuai. samping obat
berkurang,
TD HR RR T yang telah
Jam11 Kesadaran
batuk, pola (mmHg) (x/min) (x/min) (˚C) diberikan.
November
06.00 Compos mentis 90/70 96 22 36
nafas masih
09.00
2019 Compos mentis 100/70 86 24 36.7
10.00 kurang
Compos mentis 100/70 80 20 36.8
18.00 Compos mentis
efektif 120/80 92 24 36.5
Terapi:
- IVFD NaCl 0.9% 20gtt/i - N-Asetil sistein 200 mg 3 x 1 tablet
- Injeksi Levofloxacin 500 mg per 12 jam - KSR 600 mg 3 x 1tablet
- Ventolin nebule 2.5 mg per 8 jam - Candesartan 4 mg 1 x 1 tablet
- Pulmicort nebule 0.5 mg per 12 jam - Isosorbit Dinitrat 5 mg 3 x 1 tablet
- Injeksi Furosemid 1gr/ml per 12 jam

45
Tanggal Subjek (S) Objek (O) Assesment (A) Plan (P)
Sesak nafas Pemeriksaan Fisik  Penggunaan Monitoring efek
terapi obat samping obat
berkurang,
TD HR RR T yang sesuai. yang telah
Jam Kesadaran
batuk, pola (mmHg) (x/min) (x/min) (˚C)  Pantu kadar diberikan.
05.00 Compos mentis 100/80 98 22 36.2 kalium
12 nafas masih
06.30 Compos mentis 100/80 98 24 36  Pantau tanda-
November
07.30 kurang
Compos mentis 100/80 92 26 36 tanda vital
11.00
2019 Compos mentis
efektif tapi 100/70 90 22 36.2

keadaan
sudah lebih
membaik
Terapi:
- IVFD NaCl 0.9% 20gtt/i - N-Asetil sistein 200 mg 3 x 1 tablet
- Injeksi Levofloxacin 500 mg per 24 jam - KSR 600 mg 3 x 1tablet
- Ventolin nebule 2.5 mg per 8 jam - Candesartan 4 mg 1 x 1 tablet
- Pulmicort nebule 0.5 mg per 12 jam - Isosorbit Dinitrat 5 mg 3 x 1 tablet
- Injeksi Furosemid 20mg per 12 jam

46
BAB IV

4.1 Pembahasan

Pasien masuk RS Universitas Sumatera Utara pada tanggal 09 November

2019 pukul 17.20 WIB melalui Instalasi Gawat Darurat (IGD). Pasien datang

dengan keluhan sesak dalam 1 minggu ini. Batuk sudah dialami selama 1 bulan

dengan dahak berwarna putih dan susah dikeluarkan, nafas berbunyi dijumpai.

Jantung berdebar dialami 1 minggu. Riwayat OAT tidak dijumpai.

Pasien masuk dengan keadaan :

Kesadaran : Compos Mentis (CM)

Tekanan Darah (TD) : 130/60 mmHg

Heart Rate (HR) : 80 x/menit

Pernafasan (RR) : 28 x/menit

Suhu (T) : 37.2 ℃

Skala nyeri :0

Selama dirawat di RS Universitas Sumatera Utara, pasien telah menjalani

beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan Laboratorium

Patologi Klinik. Dokter mendiagnosa : PPOK + Congestive Heart Failure (CHF)

Pasien juga menjalani pemeriksaan laboratorium di RS Universitas

Sumatera Utara pada 09 November 2019 menunjukkan hasil yang abnormal pada

Hb, neutrofil, analisis gas darah.

Pasien melakukan pemeriksaan foto thorax (AP/PA) yang menunjukkan

hasil kardiomegali disertai congestive pulmonal suggest CHF. Dari hasil

pemeriksaan dapat ditegakkan diagnosis Congestive Heart Failure.

47
Pada tanggal 9 November 2019, pasien di diagnosis PPOK dengan gejala

klinis dan pemeriksaan fisik yaitu : sesak nafas (+), batuk berdahak (+),

secondhand smooker (+), ekspirasi memanjang, wheezing, dan ronkhi.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan yaitu: analisis gas darah dengan hasil

alkalosis respiratori dan nilai neutrofil diatas normal. Diagnosis PPOK stabil

ditegakkan dengan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,

dan test spirometri. Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya

menggunakan spirometri (GOLD, 2018). Pasien melakukan tes spirometri dan

hasil dinyatakan pasien mengalami PPOK dengan adanya kesan restruksi berat

dan obstruksi berat.

Penulis melakukan pemantauan terapi obat dan konseling dengan pasien

untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap penggunaan obat mulai dari

tanggal 09 November 2019 sampai 12 November 2019. Pemantauan terapi obat

dilakukan untuk melihat apakah penggunaan obat untuk terapi pasien diberikan

secara rasional.

Rasionalitas penggunaan obat meliputi tepat pasien, tepat indikasi, tepat

obat, tepat dosis, waspada efek samping obat dan Drug Related Problems (DRPs).

Pemantauan terapi obat dilakukan setiap hari sesuai dengan obat yang diberikan.

Penyampaian informasi obat disampaikan secara langsung kepada pasien atau

keluarganya untuk meningkatkan pemahaman pasien mengenai obat.

4.2 Pengkajian Tepat Pasien

Pasien masuk ke RS Universitas Sumatera Utara dengan rencana

perbaikan kondisi pasien. Berdasarkan pengamatan, gelang yang dipakai pasien

telah sesuai dengan nama, tanggal lahir, serta nomor Rekam Medis (RM) pasien.

48
Obat yang diberikan kepada pasien juga sesuai dengan nama dan nomor Rekam

Medis yang tertera pada etiket, serta pasien telah diidentifikasi dengan cara

meminta menyebutkan nama dan tanggal lahirnya.

4.3 Pengkajian Tepat Indikasi dan Obat

Pasien Anamnesa/ Obat yang Pengkajian Anjuran/ Pengkajian Anjuran/


Diagnosis Diberikan Tepat Intervensi Tepat Obat Intervensi
Indikasi
Lemas dan IVFD NaCl Tepat - Tepat -
cairan tubuh
Infeksi Levofloxacin Tepat - Tepat -
Mukolitik N-asetil sistein Tepat - Tepat -
AA PPOK + Pulmicort Tepat - Tepat -
(Laki-laki) Ventolin Tepat - Tepat -
Sesak nafas
106396 Terapi Furosemide Tepat - Tepat -
20-Mei- Candesartan Tepat - Tepat -
1952 jantung
(CHF) dan
Isosorbit Tepat - Tepat -
udem
Dinitrat
(edema)

Suplemen KSR Tepat - Tepat -

Pemberian Infus Nacl ditujukan untuk memperbaiki keseimbangan cairan

dan elektrolit serta terapi pemulihan untuk mengganti jumlah cairan yang hilang.

Pemberian Infus Nacl sudah tepat indikasi.

Pemberian Levofloxacin digunakan untuk terapi PPOK. Menurut GOLD

(2018) bahwa salah satu golongan antibiotik yang dianjurkan untuk PPOK adalah

golongan quinolonee seperti Levofloxacin. Mekanisme kerja Levofloxacin adalah

menghambat topoisomerase II (DNA gyrase) dan topoisomerase IV yang

diperlukan oleh bakteri untuk replikasi DNA. Obat ini membentuk ikatan

kompleks dengan masing-masing enzim ini dan DNA bakteri. Hambatan ini

49
menghasilkan efek sitotoksik dalam sel target. Golongan ini aktif melawan

dormant dan bakteri bereplikasi. Pemberian Levofloxacin sudah tepat indikasi.

Pemberian N-asetil sistein ditujukan untuk batuk dan membantu

pengeluaran dahak. N-asetil sistein merupakan golongan mukolitika yang

digunakan dengan efektif mengencerkan dahak yang dapat menghalangi

pernafasan. Obat ini bekerja dengan cara mengencerkan dahak dengan jalan

memanfaatkan gugus sulfidril bebasnya yang dapat mengurangi ikatan disulfida

pada lendir pernafasan sehingga menurunkan kekentalan dahak. Pemberian N-

asetil sistein sudah sesuai dengan indikasi untuk penyakit yang dialami pasien.

Furosemide dikenal sebagai salah satu diuretik kuat yang membantu

mengurangi cairan berlebih dalam tubuh (edema) karena kondisi tertentu, seperti

gagal jantung, penyakit hati dan penyakit ginjal. Pemberian Injeksi Furosemide

sudah tepat bagi pasien yang didiagnosis menderita edema karena kondisi

Congestive Heart Failure atau gagal jantung

Pemberian Ventolin yang berisi zat aktif salbutamol ditujukan untuk

mengatasi sesak akibat bronkopasme pada pasien PPOK. Obat ini bekerja dengan

cara merangsang secara selektif reseptor beta-2 adrenergik terutama pada otot

bronkus sehingga menyebabkan terjadinya bronkodilatasi karena otot bronkus

mengalami relaksasi. Pemberian ventolin nebules sudah tepat dengan indikasi

untuk penyakit PPOK pada pasien.

Pulmicort merupakan cairan nebulizer yang mengandung Budesonide

yaitu obat golongan kortikosteroid yang efektif untuk sesak nafas karena dapat

mengurangi inflamasi pada saluran nafas yaitu menyebabkan sekresi mukus dan

udem berkurang. Pulmicort digunakan untuk mengontrol gejala dan eksaserbasi

50
asma pada pasien yang diberi terapi bronkodilator. Pulmicort dalam pemberiannya

kepada pasien telah sesuai dengan indikasi.

KSR yang mengandung Kalium Klorida merupakan suplemen mineral

yang berfungsi untuk mengobati atau mencegah hipokalemia. Pasien mengalami

hipokalemia ditandai dengan hasil pemeriksaan nilai kalium yang berada di bawah

batas normal. Penggunaan furosemid untuk mengatasi edema pada pasien

menyebabkan kalium pada tubuh pasien banyak berkurang dan terjadi kondisi

hipokalemia pada pasien, sehingga pasien diberikan KSR sebagai suplemen untuk

mengatasi kekurangan kalium. Dalam hal ini penggunaan KSR sudah sesuai

dengan indikasi.

Candesartan yang merupakan salah satu obat golongan angiotensin II

receptor blocker digunakan sebagai pilihan untuk mengatasi hipertensi dan

kondisi gagal jantung (CHF) pada pasien. Penggunaan Candesartan telah tepat

dengan indikasi.

Isosorbit dinitrat (ISDN) digunakan untuk mengobati serta mencegah nyeri

dada pada penderita gagal jantung (CHF) akibat tidak cukupnya aliran darah ke

jantung. Obat ini bekerja dengan cara merelaksasikan pembuluh darah pada tubuh

sehingga mengurangi kerja pada jantung untuk memompa darah. Dengan

berkurangnya kerja jantung maka kebutuhan oksigen jantung juga akan berkurang

dan nyeri pada dada juga berkurang. Pemberian obat ini sesuai dengan indikasi

bagi pasien yang mengalami Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung.

51
4.4 Pengkajian Tepat Dosis

Nama Obat Bentuk Signa Dosis Dosis Keterangan Intervensi


Sediaan Lazim Pasien
Setiap 12 20-40 mg / 20 mg/ Dosis sesuai Terapi
Furosemid Injeksi
jam hari 12 jam dilanjutkan
500 mg / 500 Dosis sesuai Terapi
Setiap 24
Levofloxacin Injeksi hari mg / dilanjutkan
jam
hari
1 unit vial 2,5 mg / Dosis sesuai Terapi
Setiap 8 8 jam dilanjutkan
Ventolin Nebule 3-4 kali
jam
sehari
0,25- 0,5 0,5 mg / Dosis sesuai Terapi
Setiap 12
Pulmicort Nebule mg 2 kali 12 jam dilanjutkan
jam
sehari
3 x 1 kapsul 3 x 1 Dosis sesuai Terapi
N- asetil sistein Tablet 3x1 tab sehari kapsul dilanjutkan
sehari
2-3 x sehari 3 x 1 Dosis sesuai Terapi
KSR Tablet 3x1 tab tablet dilanjutkan
sehari
4-32 mg, 1 x 1 Dosis sesuai Terapi
satu kali tablet dilanjutkan
Candesartan Tablet 1x1 tab
sehari sehari
(4mg)
15-80 mg / 3 x 1 Dosis sesuai Terapi
Isosorbit
Tablet 3x1 tab hari hari / dilanjutkan
Dinitrat

4.5 Pengkajian Waspada Efek Samping dan Interaksi Obat

No Nama Obat Interaksi Manifestasi Efek Samping Efek Anjuran


. Obat Klinik Umum Samping
pada Pasien
1. - Candesartan Edema Demam, Hipokalemia Memberika
+ pandangan kabur, n tambahan
Furosemid : konstipasi, suplemen
Furosemid Candesartan ketulian, kalium dan
meningkatka hipokalemia, memonitor
n kadar hipotensi kadar
kalium, kalium
2. Levofloxacin Furosmid Antibiotik Nausea,sakit Tidak -
menurunkan kepala diare, Terjadi
kadar kalium insomnia,
konstipasi,
- Candesartan kelelahan

52
3. + KSR : Sesak nafas Iritasi Tidak -
meningkatka kerongkongan, Terjadi
Ventolin
n kadar mulut kering,
kalium mual, muntah
4. (hiperkalemi Sesak nafas, iritasi ringan pada Tidak -
a) inflamasi tenggorokan dan Terjadi
pada PPOK suara serak. Iritasi
Pulmicort lidah dan mulut,
- Furosmid + kandidiasis oral.
KSR : Batuk dan mulut
Furosmid kering.
5. menurunkan iritasi Tidak -
kadar nasofaringeal dan Terjadi
kalium, KSR saluran cerna
meningkatka seperti pilek
n kadar (rinore),
N- asetil kalium Mukolitik stomatitis, mual,
sistein muntah, dan
menimbulkan
- N-asetil reaksi
sistein + hipersensitif
Isosorbit seperti urtikaria
dinitrat : N- dan bronkopasme
6. asetil sistein Suplemen mual dan muntah Tidak terjadi -
mningkatkan (bila berat dapat
efek samping merupakan tanda
KSR Isosorbit obstruksi) ulserasi
dinitrat esofagus atau
usus kecil
7. pusing, mual, Tidak terjadi Memonitor
diare, nyeri sendi, kadar
dan nyeri kalium
punggung. Reaksi
alergi yang bisa
Candesartan CHF terjadi ruam, gatal
atau bengkak
pada wajah
maupun lidah,
pusing berat,
kesulitan bernafas
8. CHF dan Pusing, muka Tidak Memonitor
Isosorbit
nyeri dada merah, hipotensi Terjadi tekanan
Dinitrat
postural darah
9. NaCl Lemas dan Reaksi yang Tidak -
cairan mungkin terjadi Terjadi
elektrolit karena larutannya
tubuh atau cara
pemberiannya,

53
termasuk
timbulnya panas,
iritasi atau infeksi
pada tempat
penyuntikan,
thrombosis vena
atau flebitis yang
meluas dari
tempat
penyuntikan dan
ekstravasasi

4.6 Drug Related Problem ( DRP)

Masalah terapi obat yang ditemukan adalah interaksi obat. Interaksi

Furosemid dengan Candesartan memberikan efek yang berlawanan, dimana

Candesartan dapat meningkatkan kadar kalium, sedangkan Furosemid dapat

menurunkan kadar kalium ( Medscape, 2016). Pada kasus ini pemberian

Furosemid dan Candesartan tidak diberikan bersamaan tapi tetap perlu dilakukan

monitor kadar kalium agar kadar kalium pada pasien tidak semakin menurun.

Interaksi Furosemid dengan KSR juga memberikan efek yang berlawanan

seperti Furosemid dengan Candesartan. KSR dapat meningkatkan kadar kalium,

sedangkan Furosemid menurunkan kadar kalium ( Medscape, 2016). Pada kasus

ini pemberian Furosemid dan Candesartan juga tidak diberikan secara bersamaan

tapi tetap perlu dilakukan monitor kadar kalium agar kadar kalium pada pasien

tidak semakin menurun.

Interaksi Candesartan dengan KSR dapat meningkatkan kadar kalium

(Medscape, 2016). Pada kasus ini interaksi dari pemberian Candesartan dan KSR

sangat diperlukan mengingat kondisi pasien mengalami hipokalemia dan perlu

dilakukan monitor kadar kalium karena kadar kalium pada pasien.

54
Interaksi N-asetil sistein dan Isosorbit dinitrat yaitu N-asetil sistein

meningkatkan efek samping Isosorbit dinitrat (Medscape, 2016). Pada kasus ini

interaksi dari pemberian N-asetil sistein dan Isosorbit dinitrat tidak terjadi pada

pasien.

4.7 Edukasi Pasien

Edukasi kepada pasien oleh apoteker dimaksudkan agar pasien menggunakan

obat dengan tepat baik jenis obat maupun waktu pemberiannya dan menjaga gaya

hidup untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

Adapun edukasi yang dilakukan meliputi:

- Menanyakan riwayat penyakit pasien sebelumnya

- Menanyakan apakah pasien menerima terapi obat atau tidak

- Memeriksa ketepatan penggunaan obat pada pasien

- Memantau kepatuhan pasien dalam menggunakan obat

- Menjelaskan indikasi dari pengobatan yang diterima pasien

- Memantau apakah ada reaksi efek samping yang timbul dari obat yang

digunakan pasien.

55
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari studi kasus ini adalah:

1. Dari hasil pemantauan dapat disimpulkan bahwa penggunaan obat pada pasien

sudah rasional.

2. Dari hasil kegiatan studi kasus ini, penulis sudah melakukan pengkajian

ketepatan penggunaan obat pada pasien.

5.2 Saran

1. Diharapkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di

bidang kefarmasian, khususnya profesi Apoteker di Rumah Sakit Universitas

Sumatera Utara Kota Medan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas

pelayanan kesehatan di bidang farmasi klinis.

2. Disarankan untuk tetap memantau ketepatan waktu pemberian obat oleh

perawat di ruangan.

56

Anda mungkin juga menyukai