Anda di halaman 1dari 74

1

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI


FARMASI RUMAH SAKIT DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO
MAKASSAR

ASUHAN KEFARMASIAN BAGIAN INTERNA


CHRONIC KIDNEY DISEASE















DISUSUN OLEH :

HIKMA ABU
N211 10 624







PROGRAM PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011

2



LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI
FARMASI RUMAH SAKIT
DI BLU RUMAH SAKIT DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

ASUHAN KEFARMASIAN BAGIAN GERIATRI
DIABETES MELITUS TIPE II, HIPERTENSI, KOMPLIKASI STROKE

OLEH :

HIKMA ABU
N211 10 624


Menyetujui :

Pembimbing Teknis Instalasi Farmasi
RS Dr. Wahidin Sudirohusodo





Dra. Hadijah Tahir,Apt,SpFRS
NIP. 19670201 199302 2 002
Mengetahui :



Koordinator PKPA Kepala Instalasi Farmasi
Farmasi Rumah Sakit RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo
Fakultas Farmasi UNHAS




Prof.Dr.H.M.Natsir Djide,MS,Apt. Drs. Jintan Ginting, Apt., M.Kes
NIP. 19500817 197903 1 003 NIP. 19631203 199603 1 001
3




KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
periode Januari-Februari 2011 di RS DR. Wahidin Sudirohusodo . PKPA ini
dilaksanakan oleh mahasiswa program profesi apoteker sebagai salah satu
syarat dalam memperoleh gelar apoteker. Pelaksanaan PKPA ini bertujuan
untuk memberikan bekal pengetahuan, kemampuan, serta pengalaman bagi
calon apoteker pelayanan kefarmasian di rumah sakit terutama di bidang
farmasi klinik.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setulus-tulusnya kepada:
1. Bapak Drs. Jintan Ginting, Apt., M. Kes selaku kepala Instalasi Farmasi
Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo yang telah membimbing kami
selama pelaksanaan PKPA Farmasi Rumah Sakit.
2. Ibu Dra. Hadijah Tahir, Apt., Sp.FRS selaku pembimbing dalam diskusi
Farmasi Klinik di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo.
3. Ibu Dra. Ermina Pakki, M.Si., Apt, selaku Ketua Program Studi Profesi
Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
4. Bapak Prof.Dr.H.M.Natsir Djide MS, Apt selaku Koordinator PKP Farmasi
Rumah Sakit Program Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin.
4



5. Rekan-rekan peserta Praktek Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit Fakultas
Farmasi Universitas Hasanuddin.
Atas segala bantuan, bimbingan, pengarahan dan fasilitas yang telah
diberikan kepada penulis selama melakukan Praktek Kerja Profesi hingga
selesainya laporan ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik
membangun dari berbagai pihak untuk kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
kita semua dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama
di bidang Farmasi.
Makassar, April 2011

Penyusun









5




DAFTAR ISI
Halaman Judul
Lembar Pengesahan
Kata Pengantar . ...................................................... ii
Daftar Isi . ...................................................... Iv
Daftar Tabel .. ...................................................... vi
Daftar Gambar .................................................... vii
BAB I Pendahuluan . ...................................................... 1
I.1 Latar Belakang ...................................................... 1
I.2 Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ................... 2
I.3 Manfaat Praktek Kerja Profesi Apoteker ............................. 3
BAB II Tinjauan Pustaka . ...................................................... 4
II.1 Gagal Ginjal Kronik ...................................................... 4
I. Anatomi dan Fisiologi Ginjal .......................................... 4
II. Definisi Penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK) ................... 7
III. Patosiologi dan Etiologi Gagal Ginjal Kronik ................... 14
IV.Penatalaksanaan dan Pemeriksaan
Penunjang .. ..................................................... 22
II.2 Edema Paru . ..................................................... 29
I. Patofisiologi Penyakit ...................................................... 29
II. Penatalaksanaan . .................................................. 30

6



BAB III Studi Kasus .. ...................................................... 32
III.1 Profil Penderita .................................................... 32
III.2 Profil Penyakit ...................................................... 32
III.3 Data Klinik .. ...................................................... 33
III.4 Data Laboratorium ...................................................... 34
III.5 Data Pemeriksaan Penunjang Lainnya .............................. 35
III.6 Profil Pengobatan .. ..................................................... 38
III.7 Data Rasionalitas ................................................ 39
III.8 Assesment and Plan .. .................................................... 40
III.9 Uraian Obat ...................................................... 41
BAB IV Pembahasan ..................................................... 59
BAB V Penutup . ...................................................... 63
V.1 Kesimpulan . ...................................................... 63
V.2 Saran ..................................................... 63
Daftar Pustaka .......................... 64
Lampiran
..









7



DAFTAR TABEL


Tabel.III.1 Data klinik pasien dari awal masuk rumah
sakit sampai akhir pengamatan ....................................... 33

Tabel.III.2 Data laboratorium pasien dari awal masuk
rumah sakit sampai akhir pengamatan ........................... 34

Tabel.III.3 Data pemeriksaan HbSAg pasien .................................. 35

Tabel.III.4 Data pemeriksaan sputum BTA pasien dari
awal masuk Rumah Sakit sampai akhir
pengamatan ...................... 36

Tabel.III.5 Data pemeriksaan urine rutin pasien ............................... 37

Tabel.III.6 Data profil pengobatan pasien dari awal
masuk rumah sakit sampai akhir pengamatan
.. 38

Tabel.III.7 Data analisa rasionalisasi pengobatan pasien
dari awal masuk Rumah Sakit sampai akhir
pengamatan 39

Tabel.III.8 Data assesment dan plan dari profil
pengobatan.. ..................................................... 40













8



DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1 Susunan anatomi ginjal manusia .................................... 5

Gambar II.2 Perbandingan antara ginjal normal dengan
ginjal yang tidak normal ................................................... 19













9



BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pelayanan farmasi klinik di bangsal sangat diperlukan oleh pasien
untuk memberikan jaminan pengobatan rasional (efektif, aman, tersedia,
dan biayanya terjangkau) dan penghormatan pilihan pasien. Hingga
saat ini di Indonesia memang belum banyak dilakukan meskipun
di negara-negara maju sudah dimulai kira-kira 30 tahun yang lalu.
Keadaan ini sesungguhnya menjadi tantangan yang sangat menarik yaitu
bagaimana dapat mengejar ketertinggalan ini dengan belajar dari
pengalaman negara lain untuk mewujudkannya dalam waktu yang lebih
singkat tanpa harus mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan.
Farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu yang lebih berorientasi
kepada pasien bukan pada produk. Praktek Kerja Profesi Apoteker
merupakan salah cara penerapan farmasi klinik. Kita dituntut untuk
menjalankan profesi seorang farmasis secara baik dan benar, serta
berkomunikasi dengan pasien yang berada di bangsal atau ruang
perawatan.
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) farmasi klinik dilaksanakan
di RS. DR.Wahidin Sudirohusodo Makassar. Waktu pelaksanaan Praktek
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) farmasi klinik, dimulai pada tanggal 25
Januari 15 Februari 2011.
10



Studi kasus klinik ini diambil disalah satu ruang perawatan yang
berada di RS. DR. Wahidin Sudirohusodo yaitu ruang perawatan Pavilium
Palem, lantai 1 VIB B1 kamar 7. Dalam ruang perawatan ini setiap kamar
terdiri dari 1 tempat tidur.
Pada studi kasus ini akan dipaparkan mengenai penyakit Gagal
Ginjal Kronik (GGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD). Gagal ginjal
kronik merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Gagal
ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam
hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan
cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau
produksi urine.
Diagnosa menunjukkan pasien menderita Gagal Ginjal Kronik Stage
V dan edema paru akut. Setelah 4 hari menjalani perawatan di rumah sakit
pasienpun didiagnosa Congestif Heart Failure (CHF) NYHA III. Penyakit
penyerta pasien ini yaitu hipertensi sejak 10 tahun terakhir dan hasil
laboratorium menunjukkan pasien positif (+) Hepatitis. Pasien ini belum
pernah melalukan cuci darah (Hemodialisis).
Setiap orang dapat terkena penyakit ginjal, namun mereka yang
disarankan melakukan pemeriksaan dini. Orang yang memilik faktor risiko
tinggi, yakni mereka yang memiliki riwayat darah tinggi dikeluarga,
diabetes, penyakit jantung, serta ada anggota keluarga yang dinyatakan
dokter sakit ginjal.
11



I.2 Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Klinik
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit
DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar, antara lain bertujuan untuk :
1. Membekali mahasiswa dalam menemukan, memecahkan
permasalahan yang terjadi dan mencegah terjadinya DRPs dalam
suatu kasus.
2. Memberikan pengetahuan (pengalaman praktis kepada mahasiswa
tentang pelayanan kefarmasian yang optimal melalui kerjasama tim
kesehatan dan berinteraksi dengan pasien dan keluarga pasien.
I.3 Manfaat Praktek Kerja Profesi Apoteker
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di BLU Rumah Sakit
Dr. Wahidin Sudirohusodo diharapkan akan memberikan pengetahuan
dan pengalaman, baik dalam pengelolaan, pelaksanaan pelayanan
kefarmasian di rumah sakit, serta dalam melakukan fungsi manajerial dan
fungsional dari farmasis.







12



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Gagal Ginjal Kronik
I. Anatomi dan Fisiologi Ginjal
Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh dan berfungsi untuk
membuang sampah metabolisme dan racun tubuh dalam bentuk urin atau
air seni, yang kemudian dikeluarkan dari tubuh.
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume
dan komposisi kimia darah (dan lingkungan dalam tubuh) dengan
mengekskresikan zat terlarut dan air secara selektif. Apablia kedua ginjal
ini karena sesuatu hal gagal menjalankan fungsinya, akan terjadi
kematian. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui
glomerulus diikuti dengan reabsorbsi sejumlah zat terlarut dan air dalam
jumlah yang sesuai disepanjang ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air
diekskresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpul urine.
Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang
peritorineum, di depan dua iga terakhir dan tiga otot besar-transversus
abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan
dalam posisinya oleh bantalan lemak yang tebal. Kelenjar aderenal terletak
diatas kutub masing-masing ginjal. Ginjal kiri yang berukuran normal,
biasanya tidak teraba pada waktu pemeriksaan fisik karena dua pertiga
atas permukaan anterior ginjal tertutup oleh limpa. Namun, kutub bawah
13



ginjal kanan yang ukuran normal, dapat diraba secara bimanual. Kedua
ginjal yang membesar secara mencolok atau tergeser dari tempatnya
dapat diketahui dengan palpasi, walaupun hal ini lebih mudah dilakukan
disebelah kanan.
Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13
cm (sekitar 4,7 hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci) tebalnya 2,5 cm
(1 inci) dan beratnya sekitar 150 gram. Ukurannya tidak berbeda menurut
bentuk dan ukuran tubuh. Perbedaan panjang dari kutub ke kutub kedua
ginjal (dibandingkan dengan pasangannnya) yang lebih dari 1,5 cm
(0,6 inci) atau perubahan bentuk merupakan tanda penting karena
sebagian besar manifestasi penyakit ginjal adalah perubahan struktur.








Gambar II.1. Susunan Anatomi Ginjal Manusia



14



Ginjal memilki sejumlah fungsi penting, meliputi :
1. Ekskresi bahan yang tidak diperlukan
Ekskresi produk buangan meliputi produk sampingan dari metabolisme
karbohidrat (misalnya air, asam) dan metabolisme protein (urea, asam
urat dan kreatinin), bersama dengan bahan yang jumlahnya melebihi
kebutuhan tubuh (misalnya air)
2. Pengaturan homeostatis
Misalnya, keseimbangan cairan dan elektrolit, keseimbangan asam
basa. Ginjal berperan penting dan secara aktif mempertahankan
keseimbangan ionik, osmotik, pH dan keseimbangan cairan yang paling
tepat diseluruh bagian tubuh
3. Biosintesa dan metabolisme hormon
Hal ini meliputi biosintesa (misalnya, renin,aldosteron, erythropoeitin
dan 1,25 dihidroksi vitamin D) serta metabolisme hormon (misalnya,
insulin, steroid dan hormon-hormon tiroid). Oleh karena itu ginjal terlibat
dalam pengaturan tekanan darah, metabolisme kalsium dan tulang serta
eritropoiesis.
II. Definisi Penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK)
Gagal Ginjal Kronik (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah
gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel.
Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Gagal ginjal kronik
15



merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat
(biasanya berlansung beberapa tahun). Gagal ginjal kronik terjadi setelah
berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron ginjal.
Uji fungsi ginjal hanya menggambarkan penyakit ginjal secara
kasar atau garis besar saja dan lebih dari setengah bagian ginjal harus
mengalami kerusakan sebelum terlihat nyata adanya gangguan ginjal.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal dan menunjukkan apakah ada penyakit ginjal jenis apapun.
Ini meliputi :
1. Kreatinin serum
Kreatinin serum merupakan produk sampingan dari
metabolisme otot rangka normal. Laju produksinya bersifat tetap dan
sebanding dengan jumlah massa otot tubuh. Kreatinin diekskresi
terutama oleh filtrasi glomeruler dengan sejumlah kecil yang
disekresi atau direabsorbsi oleh tubulus. Bila massa otot tetap, maka
adanya perubahan pada kreatinin mencerminkan perubahan pada
klirens melalui filtrasi, sehingga dapat dijadikan indikator fungsi ginjal.
Nilai kreatinin serum yang normal berbeda menurut jenis kelamin,
usia dan ukuran.
Kreatinin serum meningkat pada gagal ginjal. Namun ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kadar kreatini serum. Diet, saat
pengukuran, usia penderita, jenis kelamin, berat badan, latihan fisik,
keadaan pasien dan obat.
16



2. Klirens Kreatinin (Kl
kr
)
Dalam keadaan normal, kreatinin tidak disekresi atau
direabsorbsi oleh tubulus ginjal dalam jumlah yang bermakna. Oleh
karena itu ekskresi terutama ditentukan oleh filtrasi glomeruler,
sehingga laju filtrasi glomeruler (LFG) dapat diperkirakan melalui
penentuan laju klirens kreatinin endogen. Bila massa otot tetap, maka
perubahan apapun pada klirens kreatinin akan mencerminkan
perubahan pada laju klirensnya melalui filtrasi. Nilai klirens kreatinin
berbeda menurut usia, jenis kelamin dan ukuran tubuh. LFG
misalnya, berkurang sesuai peningkatan usia (terutama pada pria
dibanding wanita).
Kreatinin sebenarnya disekresikan dalam jumlah yang kecil
dalam tubulus, sehingga klirensnya mencerminkan nilai LFG yang
sedikit lebih tinggi. Hal ini tidak bermakna pada penderita dengan
fungsi ginjal normal. Tetapi pada gangguan ginjal, sekresi tubuler
aktif dari kreatinin menjadi lebih bermakna. Dan sebagai akibatnya
klirens kreatinin lebih besar dari nilai LFG sesungguhnya.
Ada dua cara menghitung klirens kreatinin penderita, yaitu
melalui :
a. Pengumpulan urin selama 24 jam
Metode yang paling tepat dalam pengukuran klirens kreatinin
penderita adalah melalui pengumpulan urin selama jangka waktu
17



24 jam dan pengambilan cuplikan plasma diantara jangka waktu
tersebut. Selanjutnya dapat dihitung dengan rumus berikut :
Kl
kr

mlmenit
U = Kadar kreatinin urin (mikromol/liter)
V = Laju aliran urin (ml/menit)
S = Kadar kreatinin serum (mikromol/liter)
b. Rumus Cockroft and Gault
Metode yang lebih cepat adalah dengan mengukur kadar kreatinin
serum dan mencatat faktor yang mempenagruhi massa otot
penderita (usia, jenis kelamin dan berat badan lebih baik
menggunakan berat badan ideal karena kreatinin serum
bergantung pada massa otot dan bukan pada massa lemak)
rumus ini memungkinkan perkiraan klirens kreatinin dari data rata-
rata populasi. Persamaan Cockroft and Gault :
Pada pria
Kl
kr



x BB
Pada wanita
Kl
kr



x BB
Kreatinin serum dalam mikromol/liter
BB = berat badan dalam kg (lebih baik berat badan
ideal,BBI)

18



3. Urea
Urea disintesa dalam hati sebagai produk metabolisme
makanan dan protein endogen. Eliminasinya dalam urin
mengggambarkan ekskresi utama nitrogen. Laju produksinya lebih
beragam dibandingkan kreatinin. Urea disaring oleh glomerulus dan
sebagian direabsorbsi oleh tubulus.
Kadar diatas 10 mmol/liter mungkin mencerminkan gangguan
ginjal walaupun kecenderungan dalam individu lebih penting
dibandingkan dengan 1 hasil pengukuran semata. Urea adalah
pengukuran yang kurang tepat menggambarkan fungsi ginjal tetapi
sering digunakan sebagai perkiraan kasar, karena dapat memberikan
informasi mengenai keadaan umum penderita beserta tingkat
hidrasinya.
Prinsip penyesuaian dosis pada gangguan ginjal
Peresepan untuk penderita dengan gagal ginjal memerlukan
pengetahuan mengenai fungsi hati dan ginjal penderita, riwayat
pengobatan, metabolisme dan aktivitas obat, lama kerja obat serta cara
ekskresinya. Tingkatan fungsi ginjal yang memerlukan penurunan dosis
tergantung beberapa bagian obat yang secara normal dikeluarkan
melalui ginjal dan berapa bagian yang melalui rute metabolism lain serta
seberapa toksik obat tersebut.
1. Rute eliminasi
19



Eliminasi obat merupakan parameter yang paling penting untuk
dipertimbangkan pada saat penentuan dosis karena eliminasi obat
atau metabolitnya mungkin menurun sehingga menyebabkan
peningkatan efek farmakologis atau toksisitas
2. Indeks terapi
Indeks terapi suatu obat merupakan pengukuran secara garis besar
mengenai keamanan obat jika digunakan, dengan cara
memperlihatkan hubungan antara dosis efektif dan toksiknya. Misalnya
aminoglikosida dan vankomisin, merupakan obat dengan indeks terapi
sempit (yang juga terutama dieliminasi melalui ginjal). Untuk obat-obat
jenis ini, kadar toksik dalam plasma sanagt mendekati tentang
terapinya dan sangat mungkin terjadi kesalahan dosis. Oleh karena
sempitnya batas keamanan obat, maka pemantauan obat yang
didasarkan pada filtrasi glomeruler harus digunakan disertai
penyesuaian selanjutnya yang tergantung respon klinis dan kadar obat
dalam plasma.
3. Penyesuaian dosis
Pengobatan yang benar-benar bermanfaat diperlukan oleh pasien
dengan gangguan ginjal dan penyesuaian dosis berupa penurunan
terhadap total dosis penjagaan harian sering kali diperlukan.
Perubahan dosis obat yang hanya memilki efek samping ringan atau
tidak tergantung dosis, perubahan pemberian obat yang sangat rinci
20



tidak penting dan cukup menggunakan skema penurunan dosis secara
sederhana.
4. Obat yang bersifat nefrotoksik
Obat yang bersifat nefrotoksik sedapat mungkin harus dihindari pada
pasien penyakit ginjal karena efek yang diakibatkan oleh
nefrotoksisitasnya akan lebih berbahaya, jika cadangan ginjal telah
menurun. Idealnya obat yang digunakan untuk mengobati penderita
ginjal memiliki karakteristik berikut :
1. Tidak menghasilkan metabolit aktif
2. Disposisi obat tidak dipengaruhi oleh perubahan keseimbangan
cairan
3. Disposisi obat tidak dipengaruhi oleh perubahan ikatan protein
4. Respon obat tidak dipengaruhi oleh perubahan kepekatan jaringan
5. Mempunyai \rentang terapi yang lebar
6. Tidak bersifat nefrotoksk
5. Perhitungan dosis
Anjuran dosis didasarkan pada tingkat keparahan gangguan ginjal,
yang biasanya dinyatakan dengan istilah laju filtrasi glomeruler (LFG),
umumnya diperkirakan dengan mengukur klirens kreatinin. Jika
dianggap klirens kreatinin normal adalah 120 ml/menit, maka untuk
tujuan peresepan gangguan ginjal dapat dibagi menjadi :


21



Tingkat LFG Kreatinin serum
Ringan 20-50 ml/menit 150-300 mikromol/liter
Sedang 10-20 ml/menit 300-700 mikromol/liter
Berat < 10 ml/menit >700 mikromol/liter

Istilah gangguan ginjal sering digunakan jika LFG turun sampai
dibawah 60 ml/menit tetapi tetap diatas 30ml/menit, pada tahap ini
penderita mungkin masih belum menunjukkan gejala apapun. Gagal
ginjal dapat dijabarkan sebagai nilai LFG dibawah 30 ml/menit, dimana
gejala muncul secara jelas. Apabila LFG turun sampai dibawah 10
ml/menit, maka keadaan ini disebut sebagai gagal ginjal terminal atau
end stage
III. Patofisiologi dan Etiologi Gagal Ginjal Kronik (GGK)
Patofisiologi pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk
akhir metabolisme protein yang normalnya diekskresikan ke dalam urin
tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem
tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan
semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang normal menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh
ginjal. Dengan menurunnya glomerulo filtrat rate (GFR) mengakibatkan
penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Hal
ini menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam usus yang
22



menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Peningkatan ureum kreatinin sampai ke otak mempengaruhi fungsi
kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori.
Selain itu Blood Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada
penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau
diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan
elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung
kongestif. Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Dengan
tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini
menimbulkan resiko kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga
perlu dimonitor balance cairannya.
Semakin menurunnya fungsi renal terjadi asidosis metabolik akibat
ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Terjadi
penurunan produksi eritropoetin yang mengakibatkan terjadinya anemia.
Sehingga pada penderita dapat timbul keluhan adanya kelemahan dan
kulit terlihat pucat menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap aktifitas.
Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan
kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Penurunan
kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar
paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal
23



kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein
dalam urin, dan adanya hipertensi.
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak
(hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan
memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif
ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai dari nefronnefron
rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada
yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan
haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak
oliguri timbul disertai retensi produk sisa.
Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih
jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi
ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian
nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak
gejala uremia membaik setelah dialisis.
Perubahan penting dalam farmakokinetika pada penyakit ginjal,
meliputi :
24



1. Absorbsi obat
Absorbsi obat pada saluran cerna bisa berkurang pada uraemia.
Sebagai contoh gangguan ginjal yang berat dapat menyebabkan
muntah, mual, diare dan uraemikgastritis sehingga absorbsi obat
menjadi terganggu, edema saluran cerna dapat mengakibatkan
berkurangnya aliran darah sehingga menurunkan absorbsi obat
(misalnya klorpropamid). Peningkatan kadar urea darah pada
penderita ginjal dapat meningkatkan kadar urea dalam ludah yang
biasanya menyebabkan peningkatan pH asam lambung. Hal ini
mengakibatkan penurunan absorbsi pada beberapa obat misalnya
(besi, digoksin).
2. Distribusi obat
Pada gagal ginjal, distribusi obat-obat berubah oleh fluktuasi dalam
tingkat hidrasi atau oleh perubahan ikatan protein.
3. Metabolisme obat
a. Hati
Metabolisme obat sebagian besar terjadi dalam hati, terutama
melalui sistem sitokrom P
450
dan tampaknya tidak terpengaruh
pada gangguan ginjal. Namun, metabolit aktifnya dapat tertimbun
akibat gangguan ginjal yang akan menimbulkan masalah klinis
b. Ginjal
Ginjal juga merupakan tempat untuk metabolisme dalam tubuh,
tetapi efek gangguan ginjal hanya bermakna secara klinis pada dua
25



kasus saja. Ginjal bertanggung jawab terhadap tahap akhir aktivasi
vitamin D melalui hidroksilasi 25- hidroksikolekalsiferol menjadi
bentuk yang lebih aktif, yaitu 1,25- hidroksikolekalsiferol. Proses ini
terganggu pada gagal ginjal dan penderita membutuhkan terapi
pengganti vitamin D. Ginjal juga merupakan tempat utama bagi
metabolisme insulin dan kebutuhan insulin pada penderita diabetes
yang mengalami gagal ginjal akut sering menjadi berkurang.
4. Ekskresi obat
Ginjal merupakan rute eliminasi utama untuk berbagai obat dan
metabolitnya (baik aktif, tidak aktif, maupun toksik). Ekskresinya dapat
melalui filtrasi glomeruler, sekresitubulus atau reabsorpsi. Ekskresi
merupakan parameter farmakokinetika yang paling terpengaruh oleh
gangguan ginjal.
Laju filtrasi glomeruler (LFG) atau klirens kreatinin dapat
digunakan sebagai perkiraan jumlah nefron yang berfungsi. Umumnya
penurunan dalam klirens obat melalui ginjal menunjukkan
berkurangnya jumlah nefron yang berfungsi. Jadi penurunan 50% LFG
mencerminkan penurunan 50% klirens ginjal. Apabila filtrasi glomeruler
terganggu oleh penyakit ginjal, maka klirens obat yang tereliminasi
terutama melalui mekanisme ini akan berkurang dan waktu paruh
obatdalam plasma menjadi lebih panjang.Gagal ginjal juga akan
mengubah reabsorpsi pasif secara tidak langsung, dengan cara
mengubah laju aliran urin dan pH.
26




Gagal ginjal memperlihatkan adanya granul-granul pada
permukaan ginjal, fungsi ginjal menurun, ukurannya mengecil, dan
protein urine sangat tinggi.







Gambar II.2. Perbandingan antara Ginjal Normal dengan Ginjal
yang tidak Normal
Obat telah diketahui dapat merusak ginjal melalui berbagai
mekanisme. Bentuk kerusakan yang paling sering dijumpai adalah
interstitial nephritis dan glomeruloneprihis. Obat dapat mengakibatkan
gangguan fungsi ginjal melalui dua cara : kerusakan atau perubahan
fungsi ginjal secara lansung atu kerusakan secara tidak lansung
melalaui efeknya pada pasokan darah. Obat yang dapat menyebabkan
kerusakan ginjal secara lansung meliputi aminoglikosida , amfoterisin
B, cisplatin, bentuk garam dari emas, logam berat, penisilamin,
metotreksat dan radiocontrast media.
27



Tanda-tanda dan gejala-gejala gagal ginjal kronik (GGK) meliputi
nokturia, edema, anemia (ironresistant, normochromic, normocytic),
gangguan elektrolit, hipertensi, penyakit tulang (renal osteodystrophy),
perubahan neurologis (misalnya lethargia, gangguan mental), gangguan
fungsi otot (misalnya, kram otot, kaki pegal) dan uraemia (kadar urea
dalam darah) (misalnya, nafsu makan berkurang, mual, muntah, pruritus).
Gagal ginjal kronik (GGK) ditandai dengan berkurangnya fungsi
ginjal secara perlahan, berkelanjutan, tersembunyi, serta bersifat
irreversibel. Baik pada gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronis,
terjadi penurunan kehilangan funsi pada seluruh nefron. Penyebab umum
gagal ginjal kronik (GGK) dapat diklasifikasikan yaitu glomerulonefritis,
diabetik nephropathy, hipertensi, penyakit renovaskuler, interstitial
nephritis kronis, penyakit ginjal keturunan dan penyempitan saluran
kemih berkepanjangan. Gangguan metabolik yang dapat mengakibatkan
gagal ginjal kronik antara lain diabetes melitus, gout, hiperrparatidoieme
primer dan amiloidosis.
Stadium Nefropati Diabetikum dibagi menjadi 5 stadium yaitu :
1. Stadium 1 (Perubahan Fungsional Dini)
Stadium ini ditandai dengan hipertrofi dan hiperfiltrasi ginjal,
peningkatan daerah permukaan kapiler glomeruler, serta peningkatan
laju filtrasi glomeruler (LFG)


28



2. Stadium 2 ( Perubahan Struktur dini)
Ditandai dengan terjadinya penebalan membran basalis kapiler
glomerulus LFG normal atau sedikit meningkat
3. Stadium 3 (Nefropati Insipien)
Tanda khas pada stadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap
(eksresi albumin urine antara 30 hingga 300 mg/24 jam),selain itu
peningkatan tekanan darah merupakan gambaran yang terjadi pada
stadium ini
4. Stadium 4 (Nefropati klinis atau menetap)
Ditandai dengan proteinuria yang positif dengan carik celup (>300 mg/
24 jam) dan dengan penurunan LFG yang progresif.
5. Stadium 5 (Fase kegagalan atau insufisiensi ginjal progresif)
Ditandai dengan peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum)
disebabkan penurunan LFG yang cepat. Selain itu ginjal juga
kehilangn fungsinya setiap bulan hingga 3 %.
IV. Penatalaksanaan dan pemeriksaan Penunjang
Penatalaksanaan Konservatif
Penatalaksaan konservatif meliputi :
1. Pengaturan diet protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN dan
mungkin juga hasil metabolisme protein toksik yang belum
diketahui, tetapi juga mengurangi asupan kalium, fosfat dan
produksi ion hidrogen yang berasal dari protein.
29



Rekomendasi klinis terbaru mengenai jumlah protein yang
diperbolehkan adalah 0,6 g/kg/hari untuk pasien gagal ginjal berat
pradialisis yang stabil (LFG <24 ml/menit). Jumlah protein dapat
dibebaskan hingga 1 g/kg/hari bila pasien menerima dialisis yang
teratur.
2. Pengaturan diet kalium
Jumlah yang diperbolehkan dalam diet adalah 40 hingga
80 mEq/hari. Tindakan yang harus dilakukan adalah tidak
memberikan makanan atau obat-obatan yang tinggi kandungan
kalium.
3. Pengaturan diet natrium dan cairan
Pengaturan Natrium dalam diet memiliki arti penting dalam gagal
ginjal. Jumlah natrium yang biasanya diperbolehkan adalah
40 hingga 90 mEq/hari (1 hingga 2 g natrium), tetapi asupan
natrium yang optimal harus ditentukan untuk mempertahankan
hidrasi yang lebih baik. Asupan yang terlalu bebas dapat
menyebabkan terjadinya retensi cairan, edema perifer, edema
paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif. Retensi natrium
merupakan masalah pada penyakit glomerulus dan pada gagal
ginjal lanjut.
4. Pencegahan dan pengobatan komplikasi
Tindakan konservatif yang digunakan pada pengobatan gagal ginjal
adalah tindakan yang ditujukan untuk mencegah dan mengatasi
30



komplikasi, misalnya : diberikan antihipertensi, suplemen besi,
agen pengikat fosfat, suplemen kalsium dan diuretik (membantu
berkemih).
a. Hipertensi
Fungsi ginjal akan lebih cepat mengalami kemunduran
jika terjadi hipertensi berat. Pada beberapa kasus dapat
diberikan obat antihipertensi agar tekanan darah dapat
terkontrol. Strategis klinis yang dilakukan hati-hati untuk
mencegah atau memperlambat perkembangan penyakit ginjal
adalah untuk memperoleh tekanan arteri rata-rata 91 mmHg
(125/75 mmHg). Obat-obatan penghambat ACE menurunkan
tekanan intraglomerulus dan memperlambat perkembangan
gagal ginjal kronis sehingga pengobatan dengan obat-obat ini
telah diberikan bahkan pada pasien diabetes mellitus 1 yang
normotensif. Penambahan obat antihipertensi lain seperti
penyekat kanal kalsium biasanya dapat mengontrol tekanan
darah.
b. Hiperkalemia
Salah satu komplikasi yang paling serius pada penderita
uremia adalah hiperkalemia. Bila K
+
serum mencapai kadar
sekitar 7 mEq/L, dapat terjadi distritmia yang serius dan juga
henti jantung. Selain hiperkalemia makin diperberat lagi oleh
hipokalsemia, hiponatremia dan asidosis. Karena alas an ini,
31



jantung penderita harus dipantau terus untuk mendeteksi efek
hiperkalemia (dan efek semua ion lain) terhadap konduksi
jantung.
Hiperkalemia akut dapat diobati dengan pemberian
glukosa dan insulin intravena yang akan memasukkan K
+
ke
dalam sel atau dengan pemberian kalsium glukonat 10 %
intravena dengan hati-hati. Bila kadar K
+
tidak dapat diturunkan
dengan dialisis, maka dapat digunakan resin penukar kation
natrium polistiren sulfonat.
c. Anemia
Anemia merupakan temuan yang hapir selalu ditemukan
pada pasien penyakit gagal ginjal lanjut dan hematokrit 18%
hingga 20% lazim terjadi. Penyebab anemia adalah
multifaktorial, termasuk defisiensi produksi eritropoietin, faktor
dalam sirkulasi yang tampaknya menghambat eritropoietin,
pemendekan waktu paruh sel darah merah, peningkatan
kehilangan darah saluran cerna akibat kelainan trombosit,
defisiensi asam folat dan besi dan kehilangan darah dari
hemodialisis atau sampel uji laboratorium. Walaupun semua
faktor yang terdaftar dapat berperan dalam anemia akibat gagal
ginjal kronik, tampaknya defisiensi eritropoietin merupakan
penyebab utama anemia, karena pasien berespons baik pada
penggantian hormon ini.
32



d. Asidosis
Asidosis metabolik kronik yang ringan pada penderita
uremia biasanya akan menjadi stabil pada kadar bikarbonat
plasma 16-20 mEq/L. Keadaan ini biasanya tidak berkembang
melewati titik tersebut karena produksi H
+
diimbangi oleh dapar
tulang. Penurunan asuapn protein dapat memperbaiki keadaan
asidosis, tetapi bila kadar bikarbonat serum kurang dari 15
mEq/L, beberapa ahli nefrologi memberikan terapi alkali, baik
natrium bikarbonat maupun sitrat pada dosis 1 mEq/kg/hari
secara oral untuk menghilangkan efek sakit pada asidosis
berlebihan.
e. Hiperurisemia
Obat pilihan untuk mengobati hiperurisemia pada
penyakit ginjal lanjut biasanya adalah alupurinol. Obat ini
mengurangi kadar asam urat dengan menghambat biosintesis
sebagian asam urat total yang dihasilkan oleh tubuh. Untuk
meredakan gejala-gejala arthritis gout dapat digunakan kolkisin
(obat anti radang pada gout).
5. Pengobatan segera pada infeksi
Penderita gagal ginjal kronik memiliki kerentanan yang lebih tinggi
terhadap serangan infeksi, terutama infeksi saluran kemih. Semua
jenis infeksi dapat memperkuat proses katabolisme dan
mengganggu nutrisi yang adekuat serta keseimbangan cairan dan
33



elekrolit sehingga infeksi harus segera diobati untuk mencegah
gangguan fungsi ginjal lainnya.
6. Pemberian obat dengan hati-hati
Ginjal mengekskresikan banyak obat sehingga obat-obatan harus
diberikan secara hati-hati pada pasien uremik. Waktu paruh obat-
obatan yang diekskresikan melalui ginjal sangat memanjang pada
uremia sehingga dapat terjadi kadar toksik dalam serum dan dosis
obat-obatan ini harus dikurangi.
Terapi Pengganti Ginjal
1. Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu mesin ginjal buatan (alat
hemolidialisis) terutama terdiri dari membran semipermeabel
dengan darah disatu sisi dan cairan dialisis di sisi lain. Dialisis
adalah suatu proses difusi zat terlarut dan air secara pasif melalui
suatu mambran berpori dari satu kompartemen cairan menuju
kompartemen cair lainnya.
2. Dialisis peritoneal
Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodoalisis pada
penanganan gagal ginjal akut dan kronik. Dialisis peritoneal sangat
mirip dengan hemodialisis, kecuali bahwa peritoneum berfungsi
sebagai membran semipermeabel.


34



3. Transpalantasi ginjal
Tranpalantasi ginjal dari donor manusia yang masih hidup
(keluarga atau orang lain) atau donor kadaver adalah metode yang
dianjurkan untuk mengobati ESRD, namun cara ini terbatas karena
kurangnya donor yang sesuai dan tersedia.
Pemeriksaan Penunjang
Untuk menentukan diagnosa pada gagal ginjal kronik dapat
dilakukan cara sebagai berikut:
1. Pemeriksaan urin. Urin merupakan hasil akhir proses filtrasi, reabsorbsi
dan ekskresi ginjal, dan merupakan jendela untuk mulai melihat apakah
ada kelainan pada saluran kemih. Karena pada malam hari penderita
istirahat dan tidak minum, pada umumnya kemih pertama paling kental
dan terbanyak dapat menunjukkan kelainan, sehingga pemeriksaan
urin hendaknya pada urin yang pertama kali keluar pagi hari.
2. Pemeriksaan laboratorium. Menentukan derajat keparahan GGK,
menentukan gangguan sistem dan membantu menetapkan etiologi.
Seperti pemeriksaan darah untuk fungsi ginjal, meliputi pemeriksaan
ureum dan kreatinin darah. Pemeriksaan kreatinin lebih konstan
daripada ureum, karena pemeriksaan ureum dipengaruhi oleh diet,
perdarahan usus, dan gangguan fungsi hati.
3. Pemeriksaan USG. Untuk mencari apakah ada batuan, atau massa
tumor, juga untuk mengetahui beberapa pembesaran ginjal.
35



4. Pemeriksaan EKG. Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel
kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit

II.2 Edema Paru

I. Patofisiologi Penyakit
Edema paru merupakan penimbunan cairan serosa atau
serosanguinosa yang berlebihan dalam ruang interstisial dan alveolus
paru. Jika edema timbul akut dan luas, sering disusul oleh kematian dalam
waktu singkat. Edema paru dapat terjadi karena peningkatan tekanan
hidrostatik dalam kapiler paru, penurunan tekanan osmotik koloid seperti
nefritis atau kerusakan dinding kapiler. Dinding kapiler yang rusak dapat
disebabkan oleh inhalasi gas-gas yang berbahaya, peradangan seperti
pada pneumonia atau karena gangguan lokal proses oksigenasasi.
Penyebab tersering edema paru adalah kegagalan ventrikel kiri
akibat penyakit jantung arteriosklerotik atau stenosis mitralis (obstruksi
katup mitral). Jika terjadi gagal jantung kiri atau jantung kanan terus
memompakan darah, maka tekanan kapiler paru akan meningkat sampai
terjadi edema paru.
Pembentukan edema paru terjadi dalam 2 stadium yaitu :
1. Edema interstisial yang ditandai pelebaran ruang perivaskular dan
ruang peribronkial, serta peningkatan aliran getah bening
2. Terjadinya edema alveolar sewaktu cairan bergerak masuk ke dalam
alveoli. Plasma darah mengalir ke dalam alveoli lebih cepat daripada
36



kemampuan pembersihan oleh batuk atau getah bening paru. Plasma
ini akan mengganggu difusi O
2
, sehingga hipoksia jaringan yang
diakibatkannya menambah kecenderungan terjadinya edema.
Pulmonari edema dapat disebabkan oleh banyak faktor yang
berbeda seperti gagal jantung disebut kardiogenik pulmonari edema
(edema paru kardiogenik) atau sebab-sebab lain sebagai nonkardiogenik
pulmonari.
Edema Paru Kardiogenik
Secara patofiologi edema paru kardiogenik ditandai dengan
transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru, akibat
terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru.
Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas
dari membrane alveoli kapiler, dan hasil akhir yang terjadi adalah
penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak nafas.
II. Penatalaksanaan
Terapi edema paru akut harus segera dimulai setelah diagnosis
ditegakkan meskipun pemeriksaan untuk melengkapi anamnesis dan
pemeriksaan fisis masih berlansung. Hal yang dilakukan yaitu :
a. Pasien diletakkan pada posisi duduk atau duduk
b. Terapi oksigen. Oksigen (40 50 %) diberikan sampai dengan
8 L/menit bila perlu dengan masker. Jika kondisi pasien makin
memburuk, muncul sianosis, makin sesak, takipneu, ronchi
bertambah, P
a
O
2
tidak bisa dipertahankan >60 mmHg dengan O
2

37



konsentrasi aliran tinggi, retensi CO
2
hipoventilasi atau tidak mampu
mengurangi cairan edema secara adekuat maka dilakukan intubasi
endotrakeal, suction dan penggunaan ventilator.
c. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin diberikan peroral
0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik cukup
baik (>95 mmHg) bisa diberikan nitrogliserin intravena mulai dosis
0,3-0,5 mg/kgBB. Jika mendapat hasil yang memuaskan maka dapat
diberikan nitropusid.
d. Morfin sulfat 3-5 mg iv, dapat diulang tiap 15 menit, sampai total
dosis 15 mg biasa cukup efektif
e. Diuretik furosemid 40 80 mg IV bolus, dapat diulangi atau dosis
ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip kontinyu sampai dicapai
produksi urine 1 ml/kgBB/jam
f. Bila perlu : Dopamin 2-5 ug/kgBB/ menit atau dobutamin
2-10 mg/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat
dinaikan sesuai respon klinis atau keduanya.
g. Obat trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miocard
h. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat,asidosis
atau tidak berhasil dengan oksigen



38



BAB III
STUDI KASUS
III.1 Profil Penderita :
Nama : Tn. HT
Jenis kelamin/Umur : Laki-laki / 52 thn
Berat Badan : 65 kg
Tinggi Badan : 164 cm
Alamat : Jeneponto
Cara bayar : Askes
Masuk RS : 24 Januari 2011
Keluar RS : 03 Februari 2011
No. Rekam Medis : 00-455092
III.2 Profil Penyakit :
Keluhan utama : Sesak nafas.
Riwayat penyakit : Penderita hipertensi sejak 10 tahun terakhir.
Anamnesi terpimpin : Sesak nafas dialami sejak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit. Sesak nafas dirasakan
terus-menerus, penderita lebih nyaman dengan
posisi duduk. Batuk yang disertai lendir. Nyeri
pada dada. BAB : biasa, BAK : lancar
Diagnosa : CKD stage V, Edema Paru Akut, CHF NYHA III


39



III.3 Data Klinik
Berdasarkan atas pemeriksaan dokter terhadap pasien, maka
diperoleh data klinik seperti pada tabel III.1
Tabel III.1 Data klinik pasien dari awal masuk rumah sakit sampai
akhir pengamatan

Keterangan : + = Positif (Keluhan pasien)
- = Negatif (Tidak mengalami keluhan)

Data Klinik Tanggal Pengamatan (Bulan Januari-Februari 2011)
24 25 26 27 28 29 30 31 1 2 3
Tekanan darah
(mm/Hg)
210/130 210/100 210/130 180/120 200/120 180/90 140/90 140/90 140/110 150/110 150/120
Suhu (rC)
36,6 36,6 36,8 36,7 36,8 36,8 - - - 36 36
Denyut nadi
(x/menit)
102 92 90 96 96 96 - - - 80 -
Pernapasan
(x/menit)
28 25 24 24 24 24 - - - - -
Demam
- - - - - - - - - - -
Nyeri kepala
- - - - + + - - - - -
Kejang
- - + + - - - + - - -
Batuk
+ + +(darah) + + + + + + + -
Sesak nafas
+ + + + + + + + - - -
Lender
+ + + + + + + + + + -
Nyeri dada
+ + + - - - - - - - -
Muntah
- - - - - - - - - - -
Lemah
+ + + + + + + + - - -
40



III.4 Data Laboratorium
Berdasarkan atas pemeriksaan sampel darah pasien, maka
diperoleh data laboratorium seperti pada tabel III.2 dan pemeriksaan
HbSAg pada tabel III.3
Tabel III.2 Data laboratorium pasien dari awal masuk rumah sakit
sampai akhir pengamatan

Pemeriksaan Nilai
Normal
Satuan Tanggal (Januari 2011)
22 25 31
WBC 4-10 [10
3
/ul] - 15,78. 6,0
RBC 4-6 [10
6
/ul] 4,49 3,92
PLT 150-400 [10
3
/ul] - 303 187
HCT 40-54 % - 33,1 30,3
HGB 13-17 mg/dL - 11,6 10,3
Serum kreatinin 0,7 1,2 mg/dL 7,92 6,9 6,0
Ureum darah 6-20 mg/dL 70 176 173
SGOT <38 IU/L - 26 -
SGPT <41 IU/L - 33 -
Albumin 3,5 -5 g/dL - 3,8 -
Globulin 1,5 5 mg/dL - 2,3
Glukosa <140 mg/dL - 122 -
CK <190 IU/L - 149 -
CK-MB <25 IU/L - 23 -
Fe (Besi) 59-148 Qg/dL - - 24
TiBC 274-385 Qg/dL - - -
Protein total 6,6 8,7 g/dL - 6,1 -
Natrium 135-145 mEq/L - 135 -
Kalium 3,5 5,0 mEq/L - 4 -
Klorida 97-105 mEq/L - 100 -


41



Tabel III.3 Data pemeriksaan HbSAg pasien



III.5 Data Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1. Hasil USG Abdomen
1. Hepar : Bentuk, ukuran dan echoparenkim dalam batas normal,
tidak tampak d latasi vaskuler dan bile duct, SOLT (-)
2. GB : dinding tidak menebal, tidak tampak mass dan echo batu
3. Lien : bentuk, ukuran dan echo dalam batas normal
4. Pankreas : bentuk, ukuran dan echo dalam batas normal, tidak
tampak dilatasi duktus pankreatikus dan massa
5. Ginjal kanan : bentuk dan ukuran dalam batas normal namun
differensiasi cortikomeduler mengabur, tidak tampak echobatu
dan dilatasi pelvocalycear system
6. Ginjal kiri : bentuk dan ukuran dalam batas normal namun
echodifferensiasi cortikomeduler mengabur. Tampak lesi
anechoic pada pole atas ginjal dengan ukuran 2,36 cm tidak
tampak echobatu dan dilatasipelvoceal system
7. Fesica urinaria : dinding tidak menebal, tidak tampak echobatu
balon kateter terpasang.

Pemeriksaan Hasil Nilai normal
25 Januari 2011
HbS Ag Positif Negatif
42



Kesan pemeriksaan : tanda tanda pnc bilateral, renalsis
tsinistra
2. Hasil toraks (CKD stage V)
1. Tampak dilatasi, cephalisasi dan perkabutan pada suprahili,
parahili dan paskakardial yanmg memberi gambaran batwin
2. COR : membesar dengan CTI < 0,5 apeks tertanam, pinggang
jantung dangkal, aorta dilatasi dan elongasi
3. Kedua sinus berselubung, kedua diagrafma baik
4. Tulang tulang imtak
Kesan pemeriksaan :
a. Cardiomegali dengan dilatatio et elongatio aortae
disertai edema paru
b. Efusi pleura bilateral
3. Pemeriksaan sputum BTA
Pemeriksaan sputum BTA pasien, diperoleh hasil seperti pada
tabel III.4.
Tabel III.4 Data pemeriksaan sputum BTA pasien dari Awal
masuk rumah sakit sampai akhir pengamatan





Sputum BTA Hasil Nilai
normal
25/1/2011 31/1/2011
BTA 1x Negatif Negatif Negatif
BTA 2x Negatif Negatif Negatif
BTA 3x Negatif Negatif Negatif
Pengecetan Gram Negatif Basil gram negatif Negatif
43




4. Pemeriksaan urin rutin
Disamping pemeriksaan sampel darah, dilakukan pula
pemeriksaan sampel urine, seperti pada tabel III.5
Tabel III.5 Data Pemeriksaan Urine Rutin Pasien

Pemeriksaan Hasil Normal
Warna Kuning Kuning muda
pH 5,0 4,5 8
BJ 1,015 1,010- 1,020
Protein 500/++++ Negatif
Glukosa 50/+ Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Normal Normal
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Blood 25/++ Negatif
Lekosit Negatif Negatif
Vit.C Negatif Negatif
Sedimen Lekosit 1-3 <5
Sedimen eritrosit 10-15 <5
Torak Negatif Negatif
Sedimen kristal Negatif Negatif
Epitel sel 3-5 Negatif
1



III.6 Profil pengobatan
Berdasarkan atas data klinik maka dilakukan intervensi pengobatan dan diperoleh data profil Pengobatan seperti
pada tabel III.6
Tabel III.6 Data profil pengobatan pasien dari awal masuk rumah sakit sampai akhir pengamatan
Keterangan : = Diberikan
- = Tidak diberikan
Nama obat
Aturan
Pakai
Dosis
Tanggal pemberian obat (Bulan Januari-Februari) 2011
24 25 26 27 28 29 30 31 1 2
O
2

4-6 L/menit - - - - - -
IVFD NaCl 0,9 % 10 tpm 500 mg/ml - -
Lasix 1 ampul/12 jam 20 mg/2 ml -
Furosemida 2 x1 40 mg - - - - - - - - -
Comdipin 1 x 1 (Pagi) 10 mg - - - - -
Norfaks 1 x 1 10 mg -
Cedocard 1 ampul/12 jam 1 mg/ml - - - - - -
Farsorbid 3 x 1 10 mg - - - -
Clonidin 2 x 1 0,15 mg - - -
Mefinal Jika perlu 500 mg - - - - - - - -
Transamin 1 ampul/8 jam 250 mg/5 ml - - - - - - - - -
Aspilet 1 x 1 80 mg - - - - -
Cosmofer 1 x 1 minggu 50 mg/ml - - - - - - - - -
Laxadin syr
1 x 1 sendok
makan
Phenolphtalein 55 mg/5 ml
Paraffin liquidum 1200 mg/5 ml
Glycerin 378 mg/5 ml
- - - - - -
Laxoberon drops 1x (12 tts) (malam) 7,5 mg/ml - - - - - - - - -
2




3



III.7 Analisa Rasionalitas
Dari pengobatan pasien, maka dilakukan analisa rasionalitas
pemakaian obat seperti pada tabel III.7
Tabel III.7 Data analisa rasionalitas pasien dari awal masuk rumah
sakit sampai akhir pengamatan

Nama obat
Indikasi Obat Dosis
Aturan
Pakai
Penderita
Cara
pemberian
Lama
pemberian
R/IR R/IR R/IR R/IR R/IR R/IR R/IR
IVFD NaCl R R R R R R R
O
2

R R R R R R R
Lasix R R R R R R R
Furosemida R R R R R R R
Comdipin R IR R R R R R
Norfaks R IR R R R R R
Cedocard R R R R R R R
Farsorbid R R R R R R R
Clonidin R R R R R R R
Mefinal R R R R IR R R
Transamin IR R R R R R R
Aspilet R R R R R R R
Cosmofer
R R R R IR R R
Laxadin syr R R R R R R R
Laxoberon
drops
R R R R R R R

Keterangan : R = Rasional
IR = Irasional (Tidak rasional
4




III.8 Assesment and Plan
Dari penilaian rasionalitas pengobatan dilakukan rekomendasi pengobatan yang sesuai dan diajukan
assessment seperti pada tabel III.8
Tabel III.8 Data assesment and plan dari profil pengobatan


Problem
Medik

Terapi

DRPs

Rekomendasi

Monitoring
Hipertensi Comdipin dan
Norvaks
Duplikasi obat (memiliki
komposisi yang sama yaitu
Amlodipin
Sebaiknya digunakan salah satu saja
yaitu Norvaks
Monitoring tekanan
darah

Nyeri kepala Mefinal
(Asam mefenamat)
Mefinal berkontraindikasi
dengan pasien gagal ginjal
Sebaiknya tidak diberikan Mefinal

Monitoring respon nyeri

Anemia Cosmofer Cosmofer berkontraindikasi
pada pasien hepatitis dan
gagal ginjal
Sebaiknya diberikan eritropoetin injeksi Monitoring kadar Fe

Batuk disertai
darah

Transamin Tidak tepat
Indikasi
Pasien tidak perlu diberikan transamin.
Sebaiknya diberikan antibiotik golongan
Sefalosporin (yaitu Cefotaxim injeksi)
untuk batuk berdarah dan efusi pleura
Monitoring WBC, dan
infeksi bercak darah


Positif hepatitis

Tidk ada terapi Hasil laboratorium pasien
positif hepatitis tapi tidak
ada terapi yang diberikan
Sebaiknya diberikan terapi interferon
Alfa
Monitoring hasil HbSAg
48



III.9 Uraian Obat
1. Lasix

Injeksi
Komposisi : Tiap ml mengandung : Furosemida 10 mg
Indikasi : Tablet Edema jantung, paru, ginjal dan hati.
Edema perifer karena obstruksi mekanis atau
insufisiensi vena dan hipertensi. Ampul terapi
tambahan pada edema pulmonari akut. Digunakan
jika ingin terjadi diuresis lebih cepat tidak mungkin
diberi oral.
Mekanisme kerja : Furosemida adalah suatu derivat asam antranilat
yang efektif sebagai diureik. Mekanisme kerja
furosemida adalah menghambat penyerapan
kembali natrium oleh sel tubuli ginjal. Furosemida
meningkatkan pengeluaran air, natrium, klorida,
kalium, dan tidak mempengaruhi tekanan darah
yang normal
Dosis : Tablet edema desawa. Awal 20-80 mg dosis
tunggal. Dosis dapat dinaikkan secara perlahan
sampai dengan 600 mg/hr (kecuali pada gagal
ginjal berat). Anak 1-2 mg/KgBB dosis tunggal.
Maksimal 6 mg/KgBB. Hipertensi Awal 80 mg/hr.
Amp Edema Dewasa Awal 20-40 mg IV/IM dosis
49



tunggal. Anak 1 mg/kgBB IM/IV. Maksimal 6
mg/kgBB
Kontra indikasi : Gagal ginjal akut dengan anuria, koma hepatik,
hipokalemi, hiponatremia dan atau hipovolamia
dengan atau tanpa hipotensi. Gangguan fungsi
ginjal dan hati.
Efek samping : Gangguan pencernaan, kehilangan Ca, K, Na,
Nefrokalsinosis pada bayi prematur, metabolik
alkalosis, diabetes jarang, syok anafilaktik, depresi
sum-sum tulang, reaksi alergi, pankreatitis akut,
gangguan pendengaran
Perhatian : Hamil dan laktasi, ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, gangguan miksi, diabetes dan gout
Interaksi obat : Aminoglikosida, sisplatin: peningkatan
ototoksisitas. Aminoglikosida, sefalosporin :
peningkatan nefrotoksisitas. Penghambatan ACE :
penurunan TD secara tajam. Efek antagonisme
dengan indometason. Potensiasi efek dengan
salisilat, teofilin, litium, relaksan otot. Hipokalemia
dapat menimbulkan toksisitas digitalis.
Kemasan : Tablet 20 mg dan ampul 20 mg/2 ml

50



2. Norvaks

Tablet
Komposisi : Tiap tablet mengandung : amlodipin 10 mg
Indikasi : Hipertensi, iskemia miokard dan angina
Mekanisme kerja : Amlodipine merupakan penghambat aliran ion
kalsium (penghambat kanal yang lambat atau
antagonis ion kalsium) dan menghambat aliran ion
kalsium melalui membran ke dalam otot jantung
dan otot polos pembuluh darah. Mekanisme
antihipertensi. Amlodipin berhubungan dengan
efek relaksasi secara lansung pada otot polos
pembuluh darah.
Dosis : 5 mg/hari. Maksimal 10 mg/hari
Kontra indikasi : Hipersensitif terhadap dihidropiridin
Perhatian : Kerusakan fungsi hati dan gagal jantung kongestif.
Hamil dan laktasi.
Efek samping : Sakit kepala, edema, lelah, mual, nyeri abdomen,
wajah kemerahan, palpitasi dan pusing
Kemasan : Tablet 5 mg dan 10 mg




51



3. Comdipin

Tablet
Komposisi : Tiap tablet mengandung : amlodipin 10 mg
Indikasi : Hipertensi, angina pektoris
Mekanisme kerja : Amlodipin merupakan penghambat aliran ion
kalsium (penghambat kanal yang lambat atau
antagonis ion kalsium) dan menghambat aliran ion
kalsium melalui membran ke dalam otot jantung
dan otot polos pembuluh darah. Mekanisme
antihipertensi amlodipin berhubungan dengan efek
relaksasi secara lansung pada otot polos
pembuluh darah.
Dosis : Hipertensi dewasa awal 5 mg 1 x/hari. Maksimal
10 mg 1x/hari. Lanjut usia atau pasien dengan
gangguan fungsi hati Awal 2,5 mg 1x/hari. Anak 6-
17 tahun 2,5-5 mg 1x/hari. Terapi kombinasi
dengan obat antihipertensi lain awal2,5 mg 1x/hari.
Angina pektoris 5-10 mg 1x/hari kongestif, hamil,
laktasi. Anak <6 tahun, lanjut usia
Kontra indikasi : Hipersensitif terhadap dihidropiridin
Perhatian : Gangguan fungsi hati, gagal ginjal, gagal jantung
kongestif. Hamil, laktasi. Anak <6 tahun,lanjut usia
52



Efek samping : Sakit kepala, edema, lelah, pusing, mual, palpitasi,
rasa panas, kemerahan pada wajah.
Interaksi obat : Tiazid, penyekat F, ACE inhibitor, nitrat kerja lama,
nitrogliserin sublingual, AINS, antibiotik, obat
hipoglikemia oral
Kemasan : Tablet 5 mg dan 10 mg.
4. Cedocard

Injeksi
Komposisi : Tiap ml Cedocard

mengandung :


Isosorbid dinitrat (ISDN) 1 mg
Mekanisme kerja : Isosorbid dinitrat merupakan nitrat organik melalui
pembentukan radikal bebas nitrogen oksida (NO)
menstimulasi guanilat siklase sehingga kadar
siklik-GMP dalam sel otot polos meningkat.
Selanjutnya siklik GMP menyebabkan
defosforilasi miosin sehingga terjadi relaksasi otot
polos. Menghilangnya gejala angina pektoris pada
pemberian nitrat organik diduga karena
menurunnya kerja jantung dan perbaikan sirkulasi
koroner.
Indikasi : Cedocard 5 tablet/cedocard 10/cedocard retard 20
angina pektoris, profilaksis serangan angina pada
53



penyakit koroner kronik. Cedocard 20 pengobatan
dan pencegahan angina pektoris, untuk terapi
gagal jantung kongesif refrakter berat Cedocard
infus IV pengobatan gagal jantung tidak ada
respon, terutama setelah infark miokardium,
mengontrol angina pektoris refrakter.
Dosis : Cedocard 5 mg tablet, serangan angina akut 1
tablet. Profilaksis 1-2 tablet 3-4 x/hari. Pencegahan
serangan nokturnal 1-2 tablet sebelum tidur.
Cedocard 10 mg tablet, dewasa : 1-3 tablet
4x/hari. Cedocard retard tablet 1-2x/hari.
Cedocard 20 mg tablet mencegah serangan yang
dapat diduga atau angina nokturnal 1 tablet. Dosis
lazim 30-160mg 4 kali/hari. Gagal jantung
awal tablet. Dosis efektif 40-160 mg/hari, pada
kasus berat sampai 240 mg/hari. Infus IV 2-10
mg/hari.
Kontra indikasi : Anemia berat, hipotensi, syok kardiogenik
Perhatian : Glaukoma, dapat terjadi toleransi dan toleransi
silang dengan nitrat dan nitrat lainnya. Hamil dan
anak.
Efek samping : Sakit kepala, hipotensi postural, mual.
54



Interaksi obat : Meningkatkan efek hipotensi dengan antihipertensi
Kemasan : Tablet cedocard 5 mg, 10 mg, 20 mg. Larutan
infus cedocard IV 1 mg/mL, tablet cedocard 20
retard 20 mg.
5. Farsorbid

Tablet
Komposisi : Tiap tablet mengandung :
Isosorbid dinitrat 10 mg
Mekanisme kerja : Isosorbid dinitrat merupakan nitrat organik melalui
pembentukan radikal bebas nitrogen oksida (NO)
menstimulasi guanilat siklase sehingga kadar
siklik-GMP dalam sel otot polos meningkat.
Selanjutnya siklik GMP menyebabkan
defosforilasi miosin sehingga terjadi relaksasi otot
polos. Menghilangnya gejala angina pektoris pada
pemberian nitrat organik diduga karena
menurunnya kerja jantung dan perbaikan sirkulasi
koroner.
Indikasi : Terapi dan profilaksis angina pektoris
Dosis : Tablet dewasa 10 mg 4 kali/hari atau sebelum tidur
10 mg sebagai terapi profilaksis. Tablet sublingual
dewasa 1-2 tablet, diletakkan dibawah lidah
(sublingual) setiap 2-3 jam selam diperlukan.
55



Injeksi 2 10 mg/jam (hanya untuk pemberian
infus IV)
Kontraindikasi : Glaukoma, anemia, hipertiroid, peningkatan TIK,
infark miokardium.
Efek samping : Hipotensi ortostatik, wajah atau leher panas atau
kemerahan, sakit kepala, gangguan ginjal, denyut
nadi cepat, ruam kulit (jarang).
Perhatian : Toleransi dan toleransi silang dengn golongan nitrit
atau nitrat lain.
Interaksi obat : Alkohol meningkatkan efek hipotensi ortostatik
secara intensif. Simpatomimetik menurunkan efek
antiangina
Kemasan : Tablet 10 mg, tablet sublingual 5 mg, vial 10 mg/10
ml
6. Clonidin

tablet
Komposisi : Tiap tablet mengandung : Klonidin HCl 0,15 mg
Mekanisme kerja : Klonidin bertindak dengan merangsang reseptor
pada saraf di otak yang mengurangi transmisi
pesan dari saraf di otak untuk saraf di area lain
dari tubuh. Akibatnya, clonidin memperlambat
denyut jantung dan mengurangi tekanan darah
Indikasi : Untuk hipertensi
56



Dosis : Dosis oral dewasa 0,15 mg umum adalah dua kali
sehari.
Kontra indikasi : Sindroma Sick-sinus. Blok AV derajat 2 atau 3
Efek samping : Mulut kering, sedasi dan lelah
Perhatian : Gangguan ritme dan konduksi sist AV pada
jantung, gagal ginjal, gangguan perfusi serebral
atau perifer, depresi, polineuropati, konstipasi.
Penghentian obat secara tiba-tiba
Interaksi obat : Meningkatkan efek antihipertensi dari diuretik,
vasodilator, F bloker. Dengan F bloker dan
glikosida jantung, menyebabkan disritmia dan
penurunan frekuensi denyut jantung. Dengan
antidepresan trisiklik, menurunkan tekanan darah
Kemasan : Tablet 0,075 mg dan 0,15 mg
7. Mefinal

tablet
Komposisi : Tiap tablet mengandung :
asam mefenamat 500 mg
Indikasi : Nyeri pada reumatik akut dan kronik, luka jaringan
lunak, pegal otot dan sendi, dismenore, sakit
kepala, sakit gigi dan paska bedah.
57



Dosis : Dewasa dan anak >14 tahun. Awal 500 mg,
kemudian 250 mg/6 jam. Anak > bulan
3-6,5mg/kgBB tiap 6 jam. Maksimal 7 hari.
Kontraindikasi : Ulserasi lambung atau usus, penyakit raang usus
gangguan ginjal atau hati.
Efek samping : Gangguan gastro intestinal, dan pendarahan,
ulkus peptikum, sakit kepala, mengantuk, pusing,
cemas,gangguan visual, ruam kulit, diskrasia
darah, nefropati.
Perhatian : Hamil, dehidrasi, epilepsi dan asma.
Interaksi obat : Antikoagulan oral
Kemasan : Kaplet 250 mg, kaplet salut selaput 500 mg.
8. Transamin

Injeksi
Komposisi : Transamin

250 Injeksi, tiap ml injeksi


mengandung : asam traneksamat 50 mg
Indikasi : Pendarahan abnormal beserta gejalanya pada
penyakit hemoragik, TB paru dengan hemoptisis
dan darh pada sputum, pendarahan ginjal,
pendarahan organ genital, pendarahan pada
prostatomegali, pendarahan abnormal selama
operasi, eritema. Pembengkakan dan gatal pada
eksim dan gejala yang menyerupainya. Urtikaria,
58



toksikoderma dan erupsi. Faringodinia, pana,
kemerahan dan bengkak pada tonsilitis. Faringitis
dan laringitis, stomatodinia, sariawan pada
mukosa pipi pada stomatitis.
Dosis : Kapsul 1-2 kapsul 3-4 kali/hari. Tablet - 1 tab 3-
4 kali/hari. Ampul 250-500 mg/hari dalam dosis
terbagi secara IM/IV. Selama atau sesudah
operasi 500-1000 mg IV atau 500-2500 mg secara
drip inj.IV
Kontraindikasi : Riwayat tromboembolik
Perhatian : Gangguan fungsi ginjal, pasien hematuria, terapi
jangka lama pada pasien edema angiooneurotik
herediter. Hamil dan laktasi.
Efek samping : Gangguan gastrointestinal, eksantema, sakit
kepala
Kemasan : Kapsul 250 mg, ampul 250 mg/5 mL, tablet salut
selaput 500 500 mg, ampul 500 500 mg/5mL
9. Aspilet

Tablet
Komposisi : Tiap tablet mengandung : asam asetilsalisilat
80 mg
Mekanisme kerja : Menghambat kerja dari siklooksigenase.
Reaksinya diperkirakan disebabkan oleh proses
59



asetilasi yang tidak dapat berubah. Dalam platelet
darah, penghambatan enzim tersebut mencegah
terbentuknya tromboksan A2, suatu senyawa yang
berfungsi sebagai vasokontriktor yang
menyebabkan penimbunan platelet dan
kemungkinan besar menyebabkan pembekuan
darah. Dalam dinding-dinding pembuluh darah
penghambatan enzim tersebut mencegah
pembentukan prostasiklin yang berfungsi sebagai
vasodilator dan mempunyai unsur-unsur anti-
agregasi yang berpotensi sebagai anti trombosis
Indikasi : Pengobatan dan pencegahan angina pektoris dan
infark miokardium
Dosis : 1 tab 1x/hari dosis 80 mg
Kontra indikasi : Gangguan perdarahan, asma, ulkus peptikum aktif
Perhatian : Dispepsia, disfungsi ginjal dan hati, porfiria, hamil,
laktasi dan anak.
Efek samping : Ulkus peptikum, gangguan gastro intestinal,
peningkatan waktu perdarahan,
hipoprotrombinemia, reaksi hipersensitif, pusing
dan tininus.
Kemasan : Tablet kunyah 80 mg
60



10. Cosmofer

Injeksi
Komposisi : Tiap ml mengandung 50 mg Besi (III)
Indikasi : Terapi anemia berat akibat defisiensi asupan Fe
atau kehilangan Fe yang berlebihan dimana
asupan oral tidak mungkin dilakukan, terutama
pada keadaan melabsorbsi pencernaan. Elaborasi
Hb dan pembentukan sel darah merah.
Dosis : Dosis bersifat individual. Dosis harian total :
dewasa dan anak dengan BB > 10 kg 2 ml, 5-10
kg 1 ml. Bayi > 4 bulan 0,5 ml. Pasien yang tidak
dapat bangun dari tempat tidur frekuensi
pemberian injeksi dikurangi 1 x atau 2x/ minggu.
Kontra indikasi : Anemia non defisiensi Fe, hemokromatosis,
hemosiderosis, riwayat asama, eksema, alergi
atropik, sirosis hati tak terkompensasi dan
hepatitis, infeksi akut dan kronik, AR, gagal ginjal
akut. Transfusi darah, anak < 4 bulan. Hamil dan
laktasi.
Perhatian : Penyakit autoimun, SLE, AR, asma, alergi,
penyakit inflamasi, dan penyakit kardiovaskular,.
Hemoglobinopati dan anemia refrakter lainnya.
Gangguan funsi hati
61



Efek samping : Nyeri sendi, reaksi lokal pada tempat injeksi, rasa
panas dan kemerahan pada kulit wajah, enyut nadi
meningkat abnormal, sinkop, nyeri dan rasa
tertekan pada dada, syok, henti jantung, hipotensi,
hipertensi, takikardia, bradikardi, aritmia, konvulsi,
sakit kepala, lemah, tidak ada respon, parestesia,
episode febril, menggigil, pusing, disorientasi,
kebas (baal), penurunan kesadaran, henti nafas,
dispnea, bronkospasme, mengi, urtikaria, pruritus,
purpura, ruam kulit,mialgia, artritis, sianosis,
vertigo, kesulitan bernafas limfadenopati.
Interaksi obat : Preparat Fe oral.
Kemasan : Ampul 50 mg/mL
11. Laxadin

Emulsi
Komposisi : Tiap 5 ml mengandung :
Phenolphtalein 55 mg
Paraffin liquidum 1200 mg
Glycerin 378 mg
Mekansime kerja : Senyawa ini bekerja dengn cara merangsang
peristaltik usus besar, menghambat reabsorbsi air
dan melicinkan jalannya faeses
62



Indikasi : Diberikan pada keadaan konstipasi yang
memerlukan : perbaikan peristaltik, pelicin
jalannya faeses dan penambahan volume faeses
secara sistematis sehingga faeses mudah
dikeluarkan. Persiapan menjelang tindakan
radiolodist dan operasi
Dosis : Dewasa : 1-2 sendok makan
Anak 6-12 tahun : dosis dewasa. Diminum
sekali sehari pada malam hari menjelang tidur (1
sendok makan : 15 ml)
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap zat aktif dan komponen lain
dalam Laxadine emulsi, ileus obstruksi dan nyeri
abdomen yang belum diketahui penyebabnya.
Perhatian : Hindari pemakaian yang terus menerus dalam
waktu lama karena kehilangan cairan dan
elektrolit. Hentikan penggunaan obat bila terjadi
gangguan usus seperti mual dan muntah. Tidak
dianjurkan untuk anak-anak dibawah 6 athun,
wanita hamil dan menyusui dan usia lanjut, kecuali
atas petunjuk dokter
63



Efek samping : Reaksi alergi kulit rash dan pruritus, perasaan
terbakar, kolik, kehilangan cairan dan elektrolit,
diare, mual dan muntah
Kemasan : Botol netto 30 ml, 60 ml dan 110 ml
12. Laxoberon

Drops
Komposisi : Tiap ml (= 15 drops) mengandung :
Na picosulfate 7,5 mg
Indikasi : Untuk kondisi yang membutuhkan defekasi
Dosis : Dewasa, anak >10 tahun 10-20 tetes pada malam
hari, anak 4-10 tahun 5-10 tetes pada malam hari
Kontraindikasi : Obstruksi ileus jalani bedah akut atau kondisi
abdomen misalnya apendistis akut, penyakit
inflamasi usus besar akut dan dehidrasi berat.
Perhatian : Penggunaan jangka lama atau dosis tinggi. Anak-
anak, hamil dan laktasi
Efek samping : Jarang, rasa tidak nyaman pada abdomen, iritasi
kolon, hipokalemia, diare
Interaksi obat : Diuretik, adrenokortikosteroid, glikosida jantung,
antibiotik berspektrum luas.
Kemasan : Drop 7,5 mg/mL


64



13. Infus NaCl 0,9 %
Komposisi : Setiap liter larutan mengandung :
Natrium klorida (NaCl) 9,0 g
Air untuk injeksi ad 1000 ml
Osmolaritas : 308 mOsm/l
Setara dengan ion-ion :
Na
+
: 154 mEq/l
Cl
-
: 154 mEq/l
Cara kerja obat : Natrium klorida merupakan garam yang berperan
penting dalam memelihara tekanan osmosis darah
dan jaringan
Indikasi : Untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit
pada dehidrasi
Dosis : Infus Intravena dengan kecepatan alir yang
dianjurkan yaitu : 2,5 ml/kg BB/jam atau
60 tetes / 70 kg BB/menit ata 180 ml/70kg BB/jam
atau disesuaikan dengan kondisi penderita.
Perhatian : Hati-hati bila diberikan kepada penderita gagal
jantung kongestif, gangguan fungsi ginjal,
hipoproteinemia, udem periferal, atau pulmonari
65



Hati-hati bila diberikan pada anak-anak dan
penderita lanjut usia, pada kasus hipertensi atau
toksemia pada kehamilan.
Untuk pemberian jangka panjang sebaiknya
dilakukan uji laboratorium secara periodik untuk
memonitor serum ionogram, keseimbangan asam
basa dan cairan.
Hindari pemberian yang berlebihan untuk
mencegah terjadinya hipokalemia. Jangan
digunakan bila botol cacat, larutan keruh atau
berisi partikel.
Efek samping : Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi karena
larutannya atau cara pemberiannya, termasuk
timbulnya panas, iritasi, atau infeksi pada tempat
penyuntikan, trombosis atau flebitis vena yang
meluas dari tempat penyuntikan dan akstravasasi.
Bila terjadi reaksi efek samping, pemakaian harus
dihentikan dan dilakukan evaluasi terhadap
penderita
Kontaindikasi : Hipernatremia, asidosis, hipokalemia
Kemasan : Botol plastik 500 ml
Botol plastik 100 ml
66



BAB IV
PEMBAHASAN
Kasus klinik yang dibahas yaitu pasien dengan diagnosa
CKD stage V dan edema paru akut. Pasien dirawat di RS.DR Wahidin
Sudirohusodo sejak tanggal 24 Januari dan keluar dari rumah sakit 3
Februari 2011. Nilai laboratorium yang memperkuat diagnosa pasien gagal
ginjal kronik diantaranya nilai serum kreatinin dan ureum darah yang
keduanya tidak normal sebagai parameter kerusakan ginjal. Pasien ini belum
pernah melakukan hemodialisis (cuci darah).
Penatalaksanaan pada penderita pasien ginjal yaitu dengan
melakukan diet protein, diet kalium dan diet natrium. Pemberian natrium
yang berlebih akan menyebabkan retensi natrium yang merupakan masalah
pada penyakit gagal ginjal. Selain diet tersebut hal yang perlu dilakukan yaitu
dengan pencegahan dan pengobatan untuk mencegah komplikasi seperti
pemberian obat antihipertensi, suplemen besi dan diuretik (5).
Riwayat penyakit penderita yaitu hipertensi yang dialami sejak 10
tahun terakhir dan pasien mengkonsumsi obat penurun tekanan darah
namun secara tidak teratur. Terkadang jika tekanan darah meningkat, pasien
cukup beristirahat. Penggunaan antihipertensi dalam jangka waktu yang
lama, merupakan salah satu penyebab kerusakan ginjal.
67



Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan utama sesak nafas.
Sesak nafas dialami sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit yang dirasakan
terus-menerus, penderita lebih nyaman dengan posisi duduk, pasien batuk
yang disertai lendir. Sehingga pernafasan pasien dibantu dengan
menggunakan O
2
4-6 L/menit
.
Tindakan awal yang diberikan pada pasien ini
sudah tepat sebagai terapi bagi pasien yang terserang edema paru (6).
Pemasangan infuse NaCl 10 tetes/menit yang diberikan sebagai
penanganan kondisi pasien yang lemah, untuk tetap menjaga keseimbangan
elektrolit, namun perlu diingat pasien terdiagnosa edema paru akut sehingga
asupan natrium harus dijaga dan terkontrol dengan baik, agar tidak terjadi
retensi natrium.
Pasien juga diberikan Lasix (furosemida) sebagai diuretik kuat untuk
pengeluaan air, natrium, klorida, kalium, sehingga membantu mengurangi
penumpukan cairan (edema) pada paru pasien. Diuterik kuat tepat diberikan
pada pasien yang memiliki gangguan pada fungsi ginjal (2,8).
Tekanan darah awal pasien sangat tinggi yaitu 210/130 mmHg,
terapi yang diberikan yaitu Comdipin

tablet dan Norvaks

Tablet (komposisi
amlodipin 10 mg). Dalam kasus ini terjadi duplikasi penggunaan obat
sehingga tidaklah rasional menggunakan dua obat secara bersamaan yang
memiliki komposisi yang sama munculnya efek samping akan lebih besar dan
melebihi dosis maksimal. Sebaiknya digunakan salah satu saja (8).
68



Antihipertensi yang diberikan selain Norvaks

(amlodipin), pasien
diberikan pula Clonidin

(Klonidin HCl), klonidin tidak menurunkan aliran
darah ginjal atau laju filtrasi glomeruler dan karenanya berguna untuk
pengobatan hipertensi yang mempunyai komplikasi penyakit ginjal. Karena
menyebabkan retensi natrium dan air, klonidin dikombinasikan dengan
diuretika (7).
Setelah menjalani perawatan selama 4 hari di rumah sakit,
pasienpun didiagnosa terserang Congestive Heart Failure (CHF) NHYA III.
Pasien mendapatkan terapi jantung sekaligus memiliki indikasi sebagai
penurun tekanan darah seperti Cedocard

injeksi (sosorbid nitrat), setelah


kondisi pasien membaik, akhirnya terapi secara intravena digantikan dengan
terapi pemberian secara oral yaitu Farsorbid

, tekanan darah pasienpun


mulai menurun

(8).
Pasien mengalami batuk sejak masuk rumah sakit, namun tidak ada
terapi yang diberikan. Batuk dahak berdarah, suara nafas mendesis (mengi).
karena tumpukan darah di paru-paru, pembuluh-pembuluh darah kecil di
sekitar alveoli mendapatkan tekanan berat. Serum darah dapat merembes
dari kapiler halus ke dalam alveoli. Hal ini dapat mengembangkan edema
paru (akumulasi cairan di paru-paru). Fungsi paru-paru akan terganggu dan
membuat pasien kesulitan bernapas (4) .
Batuk darah pasien yang tidak diberikan terapi akan menambah
beban jantung pasien, sehingga semakin sulit untuk bernafas. Pemberian
69



Transamin

injeksi pada kasus ini tidak perlu sebab darah yang berasal dari
mulut pasien pada saat batuk bukan merupakan perdarahan melainkan.
Sebaiknya diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi pada saluran
pernafasan (dalam hal ini efusi pleura) yaitu antibiotik golongan sefalosporin
seperti Cefotaxim injeksi dosis 1 gr/12 jam yang memiliki indikasi salah
satnya untuk infeksi pada saluran pernafasan bagian bawah ().
Pemberian Mefinal

(asam mefenamat) yang memiliki indikasi
sebagai analgetik (tanggal 28 Januari) tidak rasional sebab memiliki
kontraindikasi terhadap pasien gagal ginjal, dimana eliminasinya 52 %
melalui ginjal, hal tersebut justru akan memperparah kondisi ginjal. Jadi
pemberian Mefinal

tidak perlu, selain itu nyeri kepala (pusing) yang dialami


oleh pasien dapat disebabkan oleh 2 hal yaitu tekanan darah yang tinggi dan
juga anemia (kekurangan zat besi) (8).
Hasil laboratorium menunjukkan bahwa pasien positif (+) hepatitis
namun tidak diberikan terapi. Pasien dapat diberikan terapi interferon alfa
(E), untuk mencegah komplikasi yang lebih berat lagi (8).
Penderita gagal ginjal kronik umumnya akan mengalami anemia
(kekurangan zat besi), kadar Fe pasien hanya 24 g/dL.Terapi yang diberikan
(Cosmofer

) justru berkontraindikasi dengan penderita ginjal dan penderita


yang positif hepatitis. Pada penderita gagal ginjal kronik, anemia dapat
70



diatasi dengan memberikan erythropoietin, yang aman untuk pasien dengan
diagnosa gagal ginjal kronik (5,8)
Terapi yang lain yaitu pasien diberikan Aspilet

(aspirin) dosis 80
mg/hari sebagai antitrombosit. Aspirin menghambat sintesis tromboksan.
Aspirin sekarang digunakan untuk pengobatan profilaksis iskemia serebral
transien, mengurangi terjadinya infark miokard berulang dan menurunkan
mortalitas pada pasien infark postmiokard (7).
Untuk mengurangi beban jantung, ketika pasien buang air besar
diberikan terapi Laxadin

emulsi sebagai pencahar untuk mengeluarkan feses


dengan mudah, begitupula dengan Laxoberon

diberikan untuk kondisi yang


membutuhkan defekasi ().
Tanggal 22 Januari klirens kreatinin yang diperoleh 9,16 ml/menit,
tingkat keparahan ginjal pasien berat, dengan laju filtrasi glomeruler (LFG)
<10 ml/menit. Tanggal 25 dan 31 januari klirens kreatinin diperoleh
10,51 ml/menit dan 12,09 ml/menit menunjukan tingkat keparahan ginjal
pasien sedang, dengan laju filtrasi glomeruler (LFG) 10-20 ml/menit.
Meningkatnya nilai klirens kreatinin menunjukkan laju filtrasi semakin
membaik. Namun pemilihan dan pemberian obat memang harus sangat
diperhatikan pada pasien gagal ginjal kronik, sedapat mungkin menghindari
obat-obat yang memiliki efek menambah kerja beban ginjal, harus
71



memperhatikan interval pemberian obat dan dosis pemberian obat,untuk
menghindari komplikasi penyakit lainnya (1).
















72



BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari hasil pengamatan yang dilakukan diperoleh kesimpulan :
1. Pengobatan yang telah diberikan masih terdapat pilihan terapi yang
irasional, seperti beberapa obat yang diberikan pada pasien justru
memiliki kontraindikasi dengan pasien gagal ginjal kronik, sehingga
dapat memperburuk kondisi ginjal.
2. Dari perhitungan Klirens kreatinin yang diperoleh menunjukkan laju
filtrasi glomeruler yang semakin meningkat, meskipun demikian
pemberian obat harus sangat hati-hati.
V.2 Saran
Sebaiknya pemberian obat harus sangat diperhatikan, seperti
menghindari pemberian obat-obat yang memiliki kontra indikasi terhadap
ginjal, interval pemberian obat serta dosis obat harus sangat diperhatikan
untuk mengurangi beban kerja ginjal dan hindari pemberian obat yang
bersifat nefrotoksik.




73



DAFTAR PUSTAKA
1. Aslam., Mohammed.,dkk 2003., Farmasi Klinik., PT. Elex Media
Komputindo., Jakarta

2. Ganiswarna, G. Sulistia, dkk. (edt.), 2007, Farmakologi dan Terapi,
Edisi 4, Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta.

3. Guyton, Arthur., 1997., Fisiologi Kedokteran., Buku Kedokteran EGC.,
Jakarta

4. http://www.empiema doctor library.or.id. Diakses 19 Maret 2011

5. http://www.gagal ginjal.co.cc//. Diakses 19 Maret 2011

6. Lefever, Joyce., 1997., Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan
Diasnogtik., Buku Kedokteran EGC., Jakarta

7. Mycek, dkk., 2001., Farmakologi Ulasan Bergambar.,Widya Medika.,
Jakarta

8. Price., Sylvia A., 2002., Patofisiologi 2 Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit., Buku Kedokteran EGC., Jakarta

9. Sudoyo, Aru.W., 2006., Ilmu Penyakit Dalam., Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI., Jakarta

10. Tim Penyusun., 2009., ISO Farmakoterapi., PT ISFI Penerbitan.,
Jakarta

11. Tim Penyusun., 2010., MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi.,
PT Medidata Indonesia., Jakarta








74



LAMPIRAN
Perhitungan nilai klirens kreatinin pasien :
Berat Badan Ideal : Jika T> 152,5 cm, BBI = 50 + [(T 152,4) x 0,89]
Dik : TB : 164 cm, BB : 69 kg, Usia =52 tahun
a. Serum kreatinin = 7,92 mg/dL x 90 = 712,8 QmolL
b. Serum kreatinin = 6,9 mg/dL x 90 = 621 QmolL
c. Serum kreatinin = 5,0 mg/dL x 90 = 540 QmolL
Peny : BBI = 50 + [(T - 152,4) x 0,89]
= 50 + [(164 cm - 152,4) x 0,89] = 60,324 kg
Kl
kr =




1. Nilai Klirens Kreatinin pada tanggal 22 Januari
Kl
kr =

Q
= 9,16 ml/menit
Pada tanggal ini tingkat keparahan ginjal pasien berat dengan laju
filtrasi glomeruler (LFG) <10 ml/menit
2. Nilai Klirens Kreatinin pada tanggal 25 Januari
Kl
kr =

Q
= 10,51 ml/menit
Pada tanggal ini tingkat keparahan ginjal pasien sedang dengan
laju filtrasi glomeruler (LFG) sekitar 10-20 ml/menit
3. Nilai Klirens Kreatinin pada tanggal 31 Januari
Kl
kr =

Q
= 12,09 ml/menit
Pada tanggal ini tingkat keparahan ginjal pasien sedang, dengan
laju filtrasi glomeruler (LFG)10-20 ml/menit

Anda mungkin juga menyukai