mlmenit
U = Kadar kreatinin urin (mikromol/liter)
V = Laju aliran urin (ml/menit)
S = Kadar kreatinin serum (mikromol/liter)
b. Rumus Cockroft and Gault
Metode yang lebih cepat adalah dengan mengukur kadar kreatinin
serum dan mencatat faktor yang mempenagruhi massa otot
penderita (usia, jenis kelamin dan berat badan lebih baik
menggunakan berat badan ideal karena kreatinin serum
bergantung pada massa otot dan bukan pada massa lemak)
rumus ini memungkinkan perkiraan klirens kreatinin dari data rata-
rata populasi. Persamaan Cockroft and Gault :
Pada pria
Kl
kr
x BB
Pada wanita
Kl
kr
x BB
Kreatinin serum dalam mikromol/liter
BB = berat badan dalam kg (lebih baik berat badan
ideal,BBI)
18
3. Urea
Urea disintesa dalam hati sebagai produk metabolisme
makanan dan protein endogen. Eliminasinya dalam urin
mengggambarkan ekskresi utama nitrogen. Laju produksinya lebih
beragam dibandingkan kreatinin. Urea disaring oleh glomerulus dan
sebagian direabsorbsi oleh tubulus.
Kadar diatas 10 mmol/liter mungkin mencerminkan gangguan
ginjal walaupun kecenderungan dalam individu lebih penting
dibandingkan dengan 1 hasil pengukuran semata. Urea adalah
pengukuran yang kurang tepat menggambarkan fungsi ginjal tetapi
sering digunakan sebagai perkiraan kasar, karena dapat memberikan
informasi mengenai keadaan umum penderita beserta tingkat
hidrasinya.
Prinsip penyesuaian dosis pada gangguan ginjal
Peresepan untuk penderita dengan gagal ginjal memerlukan
pengetahuan mengenai fungsi hati dan ginjal penderita, riwayat
pengobatan, metabolisme dan aktivitas obat, lama kerja obat serta cara
ekskresinya. Tingkatan fungsi ginjal yang memerlukan penurunan dosis
tergantung beberapa bagian obat yang secara normal dikeluarkan
melalui ginjal dan berapa bagian yang melalui rute metabolism lain serta
seberapa toksik obat tersebut.
1. Rute eliminasi
19
Eliminasi obat merupakan parameter yang paling penting untuk
dipertimbangkan pada saat penentuan dosis karena eliminasi obat
atau metabolitnya mungkin menurun sehingga menyebabkan
peningkatan efek farmakologis atau toksisitas
2. Indeks terapi
Indeks terapi suatu obat merupakan pengukuran secara garis besar
mengenai keamanan obat jika digunakan, dengan cara
memperlihatkan hubungan antara dosis efektif dan toksiknya. Misalnya
aminoglikosida dan vankomisin, merupakan obat dengan indeks terapi
sempit (yang juga terutama dieliminasi melalui ginjal). Untuk obat-obat
jenis ini, kadar toksik dalam plasma sanagt mendekati tentang
terapinya dan sangat mungkin terjadi kesalahan dosis. Oleh karena
sempitnya batas keamanan obat, maka pemantauan obat yang
didasarkan pada filtrasi glomeruler harus digunakan disertai
penyesuaian selanjutnya yang tergantung respon klinis dan kadar obat
dalam plasma.
3. Penyesuaian dosis
Pengobatan yang benar-benar bermanfaat diperlukan oleh pasien
dengan gangguan ginjal dan penyesuaian dosis berupa penurunan
terhadap total dosis penjagaan harian sering kali diperlukan.
Perubahan dosis obat yang hanya memilki efek samping ringan atau
tidak tergantung dosis, perubahan pemberian obat yang sangat rinci
20
tidak penting dan cukup menggunakan skema penurunan dosis secara
sederhana.
4. Obat yang bersifat nefrotoksik
Obat yang bersifat nefrotoksik sedapat mungkin harus dihindari pada
pasien penyakit ginjal karena efek yang diakibatkan oleh
nefrotoksisitasnya akan lebih berbahaya, jika cadangan ginjal telah
menurun. Idealnya obat yang digunakan untuk mengobati penderita
ginjal memiliki karakteristik berikut :
1. Tidak menghasilkan metabolit aktif
2. Disposisi obat tidak dipengaruhi oleh perubahan keseimbangan
cairan
3. Disposisi obat tidak dipengaruhi oleh perubahan ikatan protein
4. Respon obat tidak dipengaruhi oleh perubahan kepekatan jaringan
5. Mempunyai \rentang terapi yang lebar
6. Tidak bersifat nefrotoksk
5. Perhitungan dosis
Anjuran dosis didasarkan pada tingkat keparahan gangguan ginjal,
yang biasanya dinyatakan dengan istilah laju filtrasi glomeruler (LFG),
umumnya diperkirakan dengan mengukur klirens kreatinin. Jika
dianggap klirens kreatinin normal adalah 120 ml/menit, maka untuk
tujuan peresepan gangguan ginjal dapat dibagi menjadi :
21
Tingkat LFG Kreatinin serum
Ringan 20-50 ml/menit 150-300 mikromol/liter
Sedang 10-20 ml/menit 300-700 mikromol/liter
Berat < 10 ml/menit >700 mikromol/liter
Istilah gangguan ginjal sering digunakan jika LFG turun sampai
dibawah 60 ml/menit tetapi tetap diatas 30ml/menit, pada tahap ini
penderita mungkin masih belum menunjukkan gejala apapun. Gagal
ginjal dapat dijabarkan sebagai nilai LFG dibawah 30 ml/menit, dimana
gejala muncul secara jelas. Apabila LFG turun sampai dibawah 10
ml/menit, maka keadaan ini disebut sebagai gagal ginjal terminal atau
end stage
III. Patofisiologi dan Etiologi Gagal Ginjal Kronik (GGK)
Patofisiologi pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk
akhir metabolisme protein yang normalnya diekskresikan ke dalam urin
tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem
tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan
semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang normal menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh
ginjal. Dengan menurunnya glomerulo filtrat rate (GFR) mengakibatkan
penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Hal
ini menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam usus yang
22
menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Peningkatan ureum kreatinin sampai ke otak mempengaruhi fungsi
kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori.
Selain itu Blood Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada
penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau
diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan
elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung
kongestif. Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Dengan
tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini
menimbulkan resiko kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga
perlu dimonitor balance cairannya.
Semakin menurunnya fungsi renal terjadi asidosis metabolik akibat
ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Terjadi
penurunan produksi eritropoetin yang mengakibatkan terjadinya anemia.
Sehingga pada penderita dapat timbul keluhan adanya kelemahan dan
kulit terlihat pucat menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap aktifitas.
Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan
kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Penurunan
kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar
paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal
23
kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein
dalam urin, dan adanya hipertensi.
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak
(hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan
memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif
ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai dari nefronnefron
rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada
yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan
haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak
oliguri timbul disertai retensi produk sisa.
Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih
jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi
ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian
nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak
gejala uremia membaik setelah dialisis.
Perubahan penting dalam farmakokinetika pada penyakit ginjal,
meliputi :
24
1. Absorbsi obat
Absorbsi obat pada saluran cerna bisa berkurang pada uraemia.
Sebagai contoh gangguan ginjal yang berat dapat menyebabkan
muntah, mual, diare dan uraemikgastritis sehingga absorbsi obat
menjadi terganggu, edema saluran cerna dapat mengakibatkan
berkurangnya aliran darah sehingga menurunkan absorbsi obat
(misalnya klorpropamid). Peningkatan kadar urea darah pada
penderita ginjal dapat meningkatkan kadar urea dalam ludah yang
biasanya menyebabkan peningkatan pH asam lambung. Hal ini
mengakibatkan penurunan absorbsi pada beberapa obat misalnya
(besi, digoksin).
2. Distribusi obat
Pada gagal ginjal, distribusi obat-obat berubah oleh fluktuasi dalam
tingkat hidrasi atau oleh perubahan ikatan protein.
3. Metabolisme obat
a. Hati
Metabolisme obat sebagian besar terjadi dalam hati, terutama
melalui sistem sitokrom P
450
dan tampaknya tidak terpengaruh
pada gangguan ginjal. Namun, metabolit aktifnya dapat tertimbun
akibat gangguan ginjal yang akan menimbulkan masalah klinis
b. Ginjal
Ginjal juga merupakan tempat untuk metabolisme dalam tubuh,
tetapi efek gangguan ginjal hanya bermakna secara klinis pada dua
25
kasus saja. Ginjal bertanggung jawab terhadap tahap akhir aktivasi
vitamin D melalui hidroksilasi 25- hidroksikolekalsiferol menjadi
bentuk yang lebih aktif, yaitu 1,25- hidroksikolekalsiferol. Proses ini
terganggu pada gagal ginjal dan penderita membutuhkan terapi
pengganti vitamin D. Ginjal juga merupakan tempat utama bagi
metabolisme insulin dan kebutuhan insulin pada penderita diabetes
yang mengalami gagal ginjal akut sering menjadi berkurang.
4. Ekskresi obat
Ginjal merupakan rute eliminasi utama untuk berbagai obat dan
metabolitnya (baik aktif, tidak aktif, maupun toksik). Ekskresinya dapat
melalui filtrasi glomeruler, sekresitubulus atau reabsorpsi. Ekskresi
merupakan parameter farmakokinetika yang paling terpengaruh oleh
gangguan ginjal.
Laju filtrasi glomeruler (LFG) atau klirens kreatinin dapat
digunakan sebagai perkiraan jumlah nefron yang berfungsi. Umumnya
penurunan dalam klirens obat melalui ginjal menunjukkan
berkurangnya jumlah nefron yang berfungsi. Jadi penurunan 50% LFG
mencerminkan penurunan 50% klirens ginjal. Apabila filtrasi glomeruler
terganggu oleh penyakit ginjal, maka klirens obat yang tereliminasi
terutama melalui mekanisme ini akan berkurang dan waktu paruh
obatdalam plasma menjadi lebih panjang.Gagal ginjal juga akan
mengubah reabsorpsi pasif secara tidak langsung, dengan cara
mengubah laju aliran urin dan pH.
26
Gagal ginjal memperlihatkan adanya granul-granul pada
permukaan ginjal, fungsi ginjal menurun, ukurannya mengecil, dan
protein urine sangat tinggi.
Gambar II.2. Perbandingan antara Ginjal Normal dengan Ginjal
yang tidak Normal
Obat telah diketahui dapat merusak ginjal melalui berbagai
mekanisme. Bentuk kerusakan yang paling sering dijumpai adalah
interstitial nephritis dan glomeruloneprihis. Obat dapat mengakibatkan
gangguan fungsi ginjal melalui dua cara : kerusakan atau perubahan
fungsi ginjal secara lansung atu kerusakan secara tidak lansung
melalaui efeknya pada pasokan darah. Obat yang dapat menyebabkan
kerusakan ginjal secara lansung meliputi aminoglikosida , amfoterisin
B, cisplatin, bentuk garam dari emas, logam berat, penisilamin,
metotreksat dan radiocontrast media.
27
Tanda-tanda dan gejala-gejala gagal ginjal kronik (GGK) meliputi
nokturia, edema, anemia (ironresistant, normochromic, normocytic),
gangguan elektrolit, hipertensi, penyakit tulang (renal osteodystrophy),
perubahan neurologis (misalnya lethargia, gangguan mental), gangguan
fungsi otot (misalnya, kram otot, kaki pegal) dan uraemia (kadar urea
dalam darah) (misalnya, nafsu makan berkurang, mual, muntah, pruritus).
Gagal ginjal kronik (GGK) ditandai dengan berkurangnya fungsi
ginjal secara perlahan, berkelanjutan, tersembunyi, serta bersifat
irreversibel. Baik pada gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronis,
terjadi penurunan kehilangan funsi pada seluruh nefron. Penyebab umum
gagal ginjal kronik (GGK) dapat diklasifikasikan yaitu glomerulonefritis,
diabetik nephropathy, hipertensi, penyakit renovaskuler, interstitial
nephritis kronis, penyakit ginjal keturunan dan penyempitan saluran
kemih berkepanjangan. Gangguan metabolik yang dapat mengakibatkan
gagal ginjal kronik antara lain diabetes melitus, gout, hiperrparatidoieme
primer dan amiloidosis.
Stadium Nefropati Diabetikum dibagi menjadi 5 stadium yaitu :
1. Stadium 1 (Perubahan Fungsional Dini)
Stadium ini ditandai dengan hipertrofi dan hiperfiltrasi ginjal,
peningkatan daerah permukaan kapiler glomeruler, serta peningkatan
laju filtrasi glomeruler (LFG)
28
2. Stadium 2 ( Perubahan Struktur dini)
Ditandai dengan terjadinya penebalan membran basalis kapiler
glomerulus LFG normal atau sedikit meningkat
3. Stadium 3 (Nefropati Insipien)
Tanda khas pada stadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap
(eksresi albumin urine antara 30 hingga 300 mg/24 jam),selain itu
peningkatan tekanan darah merupakan gambaran yang terjadi pada
stadium ini
4. Stadium 4 (Nefropati klinis atau menetap)
Ditandai dengan proteinuria yang positif dengan carik celup (>300 mg/
24 jam) dan dengan penurunan LFG yang progresif.
5. Stadium 5 (Fase kegagalan atau insufisiensi ginjal progresif)
Ditandai dengan peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum)
disebabkan penurunan LFG yang cepat. Selain itu ginjal juga
kehilangn fungsinya setiap bulan hingga 3 %.
IV. Penatalaksanaan dan pemeriksaan Penunjang
Penatalaksanaan Konservatif
Penatalaksaan konservatif meliputi :
1. Pengaturan diet protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN dan
mungkin juga hasil metabolisme protein toksik yang belum
diketahui, tetapi juga mengurangi asupan kalium, fosfat dan
produksi ion hidrogen yang berasal dari protein.
29
Rekomendasi klinis terbaru mengenai jumlah protein yang
diperbolehkan adalah 0,6 g/kg/hari untuk pasien gagal ginjal berat
pradialisis yang stabil (LFG <24 ml/menit). Jumlah protein dapat
dibebaskan hingga 1 g/kg/hari bila pasien menerima dialisis yang
teratur.
2. Pengaturan diet kalium
Jumlah yang diperbolehkan dalam diet adalah 40 hingga
80 mEq/hari. Tindakan yang harus dilakukan adalah tidak
memberikan makanan atau obat-obatan yang tinggi kandungan
kalium.
3. Pengaturan diet natrium dan cairan
Pengaturan Natrium dalam diet memiliki arti penting dalam gagal
ginjal. Jumlah natrium yang biasanya diperbolehkan adalah
40 hingga 90 mEq/hari (1 hingga 2 g natrium), tetapi asupan
natrium yang optimal harus ditentukan untuk mempertahankan
hidrasi yang lebih baik. Asupan yang terlalu bebas dapat
menyebabkan terjadinya retensi cairan, edema perifer, edema
paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif. Retensi natrium
merupakan masalah pada penyakit glomerulus dan pada gagal
ginjal lanjut.
4. Pencegahan dan pengobatan komplikasi
Tindakan konservatif yang digunakan pada pengobatan gagal ginjal
adalah tindakan yang ditujukan untuk mencegah dan mengatasi
30
komplikasi, misalnya : diberikan antihipertensi, suplemen besi,
agen pengikat fosfat, suplemen kalsium dan diuretik (membantu
berkemih).
a. Hipertensi
Fungsi ginjal akan lebih cepat mengalami kemunduran
jika terjadi hipertensi berat. Pada beberapa kasus dapat
diberikan obat antihipertensi agar tekanan darah dapat
terkontrol. Strategis klinis yang dilakukan hati-hati untuk
mencegah atau memperlambat perkembangan penyakit ginjal
adalah untuk memperoleh tekanan arteri rata-rata 91 mmHg
(125/75 mmHg). Obat-obatan penghambat ACE menurunkan
tekanan intraglomerulus dan memperlambat perkembangan
gagal ginjal kronis sehingga pengobatan dengan obat-obat ini
telah diberikan bahkan pada pasien diabetes mellitus 1 yang
normotensif. Penambahan obat antihipertensi lain seperti
penyekat kanal kalsium biasanya dapat mengontrol tekanan
darah.
b. Hiperkalemia
Salah satu komplikasi yang paling serius pada penderita
uremia adalah hiperkalemia. Bila K
+
serum mencapai kadar
sekitar 7 mEq/L, dapat terjadi distritmia yang serius dan juga
henti jantung. Selain hiperkalemia makin diperberat lagi oleh
hipokalsemia, hiponatremia dan asidosis. Karena alas an ini,
31
jantung penderita harus dipantau terus untuk mendeteksi efek
hiperkalemia (dan efek semua ion lain) terhadap konduksi
jantung.
Hiperkalemia akut dapat diobati dengan pemberian
glukosa dan insulin intravena yang akan memasukkan K
+
ke
dalam sel atau dengan pemberian kalsium glukonat 10 %
intravena dengan hati-hati. Bila kadar K
+
tidak dapat diturunkan
dengan dialisis, maka dapat digunakan resin penukar kation
natrium polistiren sulfonat.
c. Anemia
Anemia merupakan temuan yang hapir selalu ditemukan
pada pasien penyakit gagal ginjal lanjut dan hematokrit 18%
hingga 20% lazim terjadi. Penyebab anemia adalah
multifaktorial, termasuk defisiensi produksi eritropoietin, faktor
dalam sirkulasi yang tampaknya menghambat eritropoietin,
pemendekan waktu paruh sel darah merah, peningkatan
kehilangan darah saluran cerna akibat kelainan trombosit,
defisiensi asam folat dan besi dan kehilangan darah dari
hemodialisis atau sampel uji laboratorium. Walaupun semua
faktor yang terdaftar dapat berperan dalam anemia akibat gagal
ginjal kronik, tampaknya defisiensi eritropoietin merupakan
penyebab utama anemia, karena pasien berespons baik pada
penggantian hormon ini.
32
d. Asidosis
Asidosis metabolik kronik yang ringan pada penderita
uremia biasanya akan menjadi stabil pada kadar bikarbonat
plasma 16-20 mEq/L. Keadaan ini biasanya tidak berkembang
melewati titik tersebut karena produksi H
+
diimbangi oleh dapar
tulang. Penurunan asuapn protein dapat memperbaiki keadaan
asidosis, tetapi bila kadar bikarbonat serum kurang dari 15
mEq/L, beberapa ahli nefrologi memberikan terapi alkali, baik
natrium bikarbonat maupun sitrat pada dosis 1 mEq/kg/hari
secara oral untuk menghilangkan efek sakit pada asidosis
berlebihan.
e. Hiperurisemia
Obat pilihan untuk mengobati hiperurisemia pada
penyakit ginjal lanjut biasanya adalah alupurinol. Obat ini
mengurangi kadar asam urat dengan menghambat biosintesis
sebagian asam urat total yang dihasilkan oleh tubuh. Untuk
meredakan gejala-gejala arthritis gout dapat digunakan kolkisin
(obat anti radang pada gout).
5. Pengobatan segera pada infeksi
Penderita gagal ginjal kronik memiliki kerentanan yang lebih tinggi
terhadap serangan infeksi, terutama infeksi saluran kemih. Semua
jenis infeksi dapat memperkuat proses katabolisme dan
mengganggu nutrisi yang adekuat serta keseimbangan cairan dan
33
elekrolit sehingga infeksi harus segera diobati untuk mencegah
gangguan fungsi ginjal lainnya.
6. Pemberian obat dengan hati-hati
Ginjal mengekskresikan banyak obat sehingga obat-obatan harus
diberikan secara hati-hati pada pasien uremik. Waktu paruh obat-
obatan yang diekskresikan melalui ginjal sangat memanjang pada
uremia sehingga dapat terjadi kadar toksik dalam serum dan dosis
obat-obatan ini harus dikurangi.
Terapi Pengganti Ginjal
1. Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu mesin ginjal buatan (alat
hemolidialisis) terutama terdiri dari membran semipermeabel
dengan darah disatu sisi dan cairan dialisis di sisi lain. Dialisis
adalah suatu proses difusi zat terlarut dan air secara pasif melalui
suatu mambran berpori dari satu kompartemen cairan menuju
kompartemen cair lainnya.
2. Dialisis peritoneal
Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodoalisis pada
penanganan gagal ginjal akut dan kronik. Dialisis peritoneal sangat
mirip dengan hemodialisis, kecuali bahwa peritoneum berfungsi
sebagai membran semipermeabel.
34
3. Transpalantasi ginjal
Tranpalantasi ginjal dari donor manusia yang masih hidup
(keluarga atau orang lain) atau donor kadaver adalah metode yang
dianjurkan untuk mengobati ESRD, namun cara ini terbatas karena
kurangnya donor yang sesuai dan tersedia.
Pemeriksaan Penunjang
Untuk menentukan diagnosa pada gagal ginjal kronik dapat
dilakukan cara sebagai berikut:
1. Pemeriksaan urin. Urin merupakan hasil akhir proses filtrasi, reabsorbsi
dan ekskresi ginjal, dan merupakan jendela untuk mulai melihat apakah
ada kelainan pada saluran kemih. Karena pada malam hari penderita
istirahat dan tidak minum, pada umumnya kemih pertama paling kental
dan terbanyak dapat menunjukkan kelainan, sehingga pemeriksaan
urin hendaknya pada urin yang pertama kali keluar pagi hari.
2. Pemeriksaan laboratorium. Menentukan derajat keparahan GGK,
menentukan gangguan sistem dan membantu menetapkan etiologi.
Seperti pemeriksaan darah untuk fungsi ginjal, meliputi pemeriksaan
ureum dan kreatinin darah. Pemeriksaan kreatinin lebih konstan
daripada ureum, karena pemeriksaan ureum dipengaruhi oleh diet,
perdarahan usus, dan gangguan fungsi hati.
3. Pemeriksaan USG. Untuk mencari apakah ada batuan, atau massa
tumor, juga untuk mengetahui beberapa pembesaran ginjal.
35
4. Pemeriksaan EKG. Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel
kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit
II.2 Edema Paru
I. Patofisiologi Penyakit
Edema paru merupakan penimbunan cairan serosa atau
serosanguinosa yang berlebihan dalam ruang interstisial dan alveolus
paru. Jika edema timbul akut dan luas, sering disusul oleh kematian dalam
waktu singkat. Edema paru dapat terjadi karena peningkatan tekanan
hidrostatik dalam kapiler paru, penurunan tekanan osmotik koloid seperti
nefritis atau kerusakan dinding kapiler. Dinding kapiler yang rusak dapat
disebabkan oleh inhalasi gas-gas yang berbahaya, peradangan seperti
pada pneumonia atau karena gangguan lokal proses oksigenasasi.
Penyebab tersering edema paru adalah kegagalan ventrikel kiri
akibat penyakit jantung arteriosklerotik atau stenosis mitralis (obstruksi
katup mitral). Jika terjadi gagal jantung kiri atau jantung kanan terus
memompakan darah, maka tekanan kapiler paru akan meningkat sampai
terjadi edema paru.
Pembentukan edema paru terjadi dalam 2 stadium yaitu :
1. Edema interstisial yang ditandai pelebaran ruang perivaskular dan
ruang peribronkial, serta peningkatan aliran getah bening
2. Terjadinya edema alveolar sewaktu cairan bergerak masuk ke dalam
alveoli. Plasma darah mengalir ke dalam alveoli lebih cepat daripada
36
kemampuan pembersihan oleh batuk atau getah bening paru. Plasma
ini akan mengganggu difusi O
2
, sehingga hipoksia jaringan yang
diakibatkannya menambah kecenderungan terjadinya edema.
Pulmonari edema dapat disebabkan oleh banyak faktor yang
berbeda seperti gagal jantung disebut kardiogenik pulmonari edema
(edema paru kardiogenik) atau sebab-sebab lain sebagai nonkardiogenik
pulmonari.
Edema Paru Kardiogenik
Secara patofiologi edema paru kardiogenik ditandai dengan
transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru, akibat
terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru.
Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas
dari membrane alveoli kapiler, dan hasil akhir yang terjadi adalah
penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak nafas.
II. Penatalaksanaan
Terapi edema paru akut harus segera dimulai setelah diagnosis
ditegakkan meskipun pemeriksaan untuk melengkapi anamnesis dan
pemeriksaan fisis masih berlansung. Hal yang dilakukan yaitu :
a. Pasien diletakkan pada posisi duduk atau duduk
b. Terapi oksigen. Oksigen (40 50 %) diberikan sampai dengan
8 L/menit bila perlu dengan masker. Jika kondisi pasien makin
memburuk, muncul sianosis, makin sesak, takipneu, ronchi
bertambah, P
a
O
2
tidak bisa dipertahankan >60 mmHg dengan O
2
37
konsentrasi aliran tinggi, retensi CO
2
hipoventilasi atau tidak mampu
mengurangi cairan edema secara adekuat maka dilakukan intubasi
endotrakeal, suction dan penggunaan ventilator.
c. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin diberikan peroral
0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik cukup
baik (>95 mmHg) bisa diberikan nitrogliserin intravena mulai dosis
0,3-0,5 mg/kgBB. Jika mendapat hasil yang memuaskan maka dapat
diberikan nitropusid.
d. Morfin sulfat 3-5 mg iv, dapat diulang tiap 15 menit, sampai total
dosis 15 mg biasa cukup efektif
e. Diuretik furosemid 40 80 mg IV bolus, dapat diulangi atau dosis
ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip kontinyu sampai dicapai
produksi urine 1 ml/kgBB/jam
f. Bila perlu : Dopamin 2-5 ug/kgBB/ menit atau dobutamin
2-10 mg/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat
dinaikan sesuai respon klinis atau keduanya.
g. Obat trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miocard
h. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat,asidosis
atau tidak berhasil dengan oksigen
38
BAB III
STUDI KASUS
III.1 Profil Penderita :
Nama : Tn. HT
Jenis kelamin/Umur : Laki-laki / 52 thn
Berat Badan : 65 kg
Tinggi Badan : 164 cm
Alamat : Jeneponto
Cara bayar : Askes
Masuk RS : 24 Januari 2011
Keluar RS : 03 Februari 2011
No. Rekam Medis : 00-455092
III.2 Profil Penyakit :
Keluhan utama : Sesak nafas.
Riwayat penyakit : Penderita hipertensi sejak 10 tahun terakhir.
Anamnesi terpimpin : Sesak nafas dialami sejak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit. Sesak nafas dirasakan
terus-menerus, penderita lebih nyaman dengan
posisi duduk. Batuk yang disertai lendir. Nyeri
pada dada. BAB : biasa, BAK : lancar
Diagnosa : CKD stage V, Edema Paru Akut, CHF NYHA III
39
III.3 Data Klinik
Berdasarkan atas pemeriksaan dokter terhadap pasien, maka
diperoleh data klinik seperti pada tabel III.1
Tabel III.1 Data klinik pasien dari awal masuk rumah sakit sampai
akhir pengamatan
Keterangan : + = Positif (Keluhan pasien)
- = Negatif (Tidak mengalami keluhan)
Data Klinik Tanggal Pengamatan (Bulan Januari-Februari 2011)
24 25 26 27 28 29 30 31 1 2 3
Tekanan darah
(mm/Hg)
210/130 210/100 210/130 180/120 200/120 180/90 140/90 140/90 140/110 150/110 150/120
Suhu (rC)
36,6 36,6 36,8 36,7 36,8 36,8 - - - 36 36
Denyut nadi
(x/menit)
102 92 90 96 96 96 - - - 80 -
Pernapasan
(x/menit)
28 25 24 24 24 24 - - - - -
Demam
- - - - - - - - - - -
Nyeri kepala
- - - - + + - - - - -
Kejang
- - + + - - - + - - -
Batuk
+ + +(darah) + + + + + + + -
Sesak nafas
+ + + + + + + + - - -
Lender
+ + + + + + + + + + -
Nyeri dada
+ + + - - - - - - - -
Muntah
- - - - - - - - - - -
Lemah
+ + + + + + + + - - -
40
III.4 Data Laboratorium
Berdasarkan atas pemeriksaan sampel darah pasien, maka
diperoleh data laboratorium seperti pada tabel III.2 dan pemeriksaan
HbSAg pada tabel III.3
Tabel III.2 Data laboratorium pasien dari awal masuk rumah sakit
sampai akhir pengamatan
Pemeriksaan Nilai
Normal
Satuan Tanggal (Januari 2011)
22 25 31
WBC 4-10 [10
3
/ul] - 15,78. 6,0
RBC 4-6 [10
6
/ul] 4,49 3,92
PLT 150-400 [10
3
/ul] - 303 187
HCT 40-54 % - 33,1 30,3
HGB 13-17 mg/dL - 11,6 10,3
Serum kreatinin 0,7 1,2 mg/dL 7,92 6,9 6,0
Ureum darah 6-20 mg/dL 70 176 173
SGOT <38 IU/L - 26 -
SGPT <41 IU/L - 33 -
Albumin 3,5 -5 g/dL - 3,8 -
Globulin 1,5 5 mg/dL - 2,3
Glukosa <140 mg/dL - 122 -
CK <190 IU/L - 149 -
CK-MB <25 IU/L - 23 -
Fe (Besi) 59-148 Qg/dL - - 24
TiBC 274-385 Qg/dL - - -
Protein total 6,6 8,7 g/dL - 6,1 -
Natrium 135-145 mEq/L - 135 -
Kalium 3,5 5,0 mEq/L - 4 -
Klorida 97-105 mEq/L - 100 -
41
Tabel III.3 Data pemeriksaan HbSAg pasien
III.5 Data Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1. Hasil USG Abdomen
1. Hepar : Bentuk, ukuran dan echoparenkim dalam batas normal,
tidak tampak d latasi vaskuler dan bile duct, SOLT (-)
2. GB : dinding tidak menebal, tidak tampak mass dan echo batu
3. Lien : bentuk, ukuran dan echo dalam batas normal
4. Pankreas : bentuk, ukuran dan echo dalam batas normal, tidak
tampak dilatasi duktus pankreatikus dan massa
5. Ginjal kanan : bentuk dan ukuran dalam batas normal namun
differensiasi cortikomeduler mengabur, tidak tampak echobatu
dan dilatasi pelvocalycear system
6. Ginjal kiri : bentuk dan ukuran dalam batas normal namun
echodifferensiasi cortikomeduler mengabur. Tampak lesi
anechoic pada pole atas ginjal dengan ukuran 2,36 cm tidak
tampak echobatu dan dilatasipelvoceal system
7. Fesica urinaria : dinding tidak menebal, tidak tampak echobatu
balon kateter terpasang.
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
25 Januari 2011
HbS Ag Positif Negatif
42
Kesan pemeriksaan : tanda tanda pnc bilateral, renalsis
tsinistra
2. Hasil toraks (CKD stage V)
1. Tampak dilatasi, cephalisasi dan perkabutan pada suprahili,
parahili dan paskakardial yanmg memberi gambaran batwin
2. COR : membesar dengan CTI < 0,5 apeks tertanam, pinggang
jantung dangkal, aorta dilatasi dan elongasi
3. Kedua sinus berselubung, kedua diagrafma baik
4. Tulang tulang imtak
Kesan pemeriksaan :
a. Cardiomegali dengan dilatatio et elongatio aortae
disertai edema paru
b. Efusi pleura bilateral
3. Pemeriksaan sputum BTA
Pemeriksaan sputum BTA pasien, diperoleh hasil seperti pada
tabel III.4.
Tabel III.4 Data pemeriksaan sputum BTA pasien dari Awal
masuk rumah sakit sampai akhir pengamatan
Sputum BTA Hasil Nilai
normal
25/1/2011 31/1/2011
BTA 1x Negatif Negatif Negatif
BTA 2x Negatif Negatif Negatif
BTA 3x Negatif Negatif Negatif
Pengecetan Gram Negatif Basil gram negatif Negatif
43
4. Pemeriksaan urin rutin
Disamping pemeriksaan sampel darah, dilakukan pula
pemeriksaan sampel urine, seperti pada tabel III.5
Tabel III.5 Data Pemeriksaan Urine Rutin Pasien
Pemeriksaan Hasil Normal
Warna Kuning Kuning muda
pH 5,0 4,5 8
BJ 1,015 1,010- 1,020
Protein 500/++++ Negatif
Glukosa 50/+ Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Normal Normal
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Blood 25/++ Negatif
Lekosit Negatif Negatif
Vit.C Negatif Negatif
Sedimen Lekosit 1-3 <5
Sedimen eritrosit 10-15 <5
Torak Negatif Negatif
Sedimen kristal Negatif Negatif
Epitel sel 3-5 Negatif
1
III.6 Profil pengobatan
Berdasarkan atas data klinik maka dilakukan intervensi pengobatan dan diperoleh data profil Pengobatan seperti
pada tabel III.6
Tabel III.6 Data profil pengobatan pasien dari awal masuk rumah sakit sampai akhir pengamatan
Keterangan : = Diberikan
- = Tidak diberikan
Nama obat
Aturan
Pakai
Dosis
Tanggal pemberian obat (Bulan Januari-Februari) 2011
24 25 26 27 28 29 30 31 1 2
O
2
4-6 L/menit - - - - - -
IVFD NaCl 0,9 % 10 tpm 500 mg/ml - -
Lasix 1 ampul/12 jam 20 mg/2 ml -
Furosemida 2 x1 40 mg - - - - - - - - -
Comdipin 1 x 1 (Pagi) 10 mg - - - - -
Norfaks 1 x 1 10 mg -
Cedocard 1 ampul/12 jam 1 mg/ml - - - - - -
Farsorbid 3 x 1 10 mg - - - -
Clonidin 2 x 1 0,15 mg - - -
Mefinal Jika perlu 500 mg - - - - - - - -
Transamin 1 ampul/8 jam 250 mg/5 ml - - - - - - - - -
Aspilet 1 x 1 80 mg - - - - -
Cosmofer 1 x 1 minggu 50 mg/ml - - - - - - - - -
Laxadin syr
1 x 1 sendok
makan
Phenolphtalein 55 mg/5 ml
Paraffin liquidum 1200 mg/5 ml
Glycerin 378 mg/5 ml
- - - - - -
Laxoberon drops 1x (12 tts) (malam) 7,5 mg/ml - - - - - - - - -
2
3
III.7 Analisa Rasionalitas
Dari pengobatan pasien, maka dilakukan analisa rasionalitas
pemakaian obat seperti pada tabel III.7
Tabel III.7 Data analisa rasionalitas pasien dari awal masuk rumah
sakit sampai akhir pengamatan
Nama obat
Indikasi Obat Dosis
Aturan
Pakai
Penderita
Cara
pemberian
Lama
pemberian
R/IR R/IR R/IR R/IR R/IR R/IR R/IR
IVFD NaCl R R R R R R R
O
2
R R R R R R R
Lasix R R R R R R R
Furosemida R R R R R R R
Comdipin R IR R R R R R
Norfaks R IR R R R R R
Cedocard R R R R R R R
Farsorbid R R R R R R R
Clonidin R R R R R R R
Mefinal R R R R IR R R
Transamin IR R R R R R R
Aspilet R R R R R R R
Cosmofer
R R R R IR R R
Laxadin syr R R R R R R R
Laxoberon
drops
R R R R R R R
Keterangan : R = Rasional
IR = Irasional (Tidak rasional
4
III.8 Assesment and Plan
Dari penilaian rasionalitas pengobatan dilakukan rekomendasi pengobatan yang sesuai dan diajukan
assessment seperti pada tabel III.8
Tabel III.8 Data assesment and plan dari profil pengobatan
Problem
Medik
Terapi
DRPs
Rekomendasi
Monitoring
Hipertensi Comdipin dan
Norvaks
Duplikasi obat (memiliki
komposisi yang sama yaitu
Amlodipin
Sebaiknya digunakan salah satu saja
yaitu Norvaks
Monitoring tekanan
darah
Nyeri kepala Mefinal
(Asam mefenamat)
Mefinal berkontraindikasi
dengan pasien gagal ginjal
Sebaiknya tidak diberikan Mefinal
Monitoring respon nyeri
Anemia Cosmofer Cosmofer berkontraindikasi
pada pasien hepatitis dan
gagal ginjal
Sebaiknya diberikan eritropoetin injeksi Monitoring kadar Fe
Batuk disertai
darah
Transamin Tidak tepat
Indikasi
Pasien tidak perlu diberikan transamin.
Sebaiknya diberikan antibiotik golongan
Sefalosporin (yaitu Cefotaxim injeksi)
untuk batuk berdarah dan efusi pleura
Monitoring WBC, dan
infeksi bercak darah
Positif hepatitis
Tidk ada terapi Hasil laboratorium pasien
positif hepatitis tapi tidak
ada terapi yang diberikan
Sebaiknya diberikan terapi interferon
Alfa
Monitoring hasil HbSAg
48
III.9 Uraian Obat
1. Lasix
Injeksi
Komposisi : Tiap ml mengandung : Furosemida 10 mg
Indikasi : Tablet Edema jantung, paru, ginjal dan hati.
Edema perifer karena obstruksi mekanis atau
insufisiensi vena dan hipertensi. Ampul terapi
tambahan pada edema pulmonari akut. Digunakan
jika ingin terjadi diuresis lebih cepat tidak mungkin
diberi oral.
Mekanisme kerja : Furosemida adalah suatu derivat asam antranilat
yang efektif sebagai diureik. Mekanisme kerja
furosemida adalah menghambat penyerapan
kembali natrium oleh sel tubuli ginjal. Furosemida
meningkatkan pengeluaran air, natrium, klorida,
kalium, dan tidak mempengaruhi tekanan darah
yang normal
Dosis : Tablet edema desawa. Awal 20-80 mg dosis
tunggal. Dosis dapat dinaikkan secara perlahan
sampai dengan 600 mg/hr (kecuali pada gagal
ginjal berat). Anak 1-2 mg/KgBB dosis tunggal.
Maksimal 6 mg/KgBB. Hipertensi Awal 80 mg/hr.
Amp Edema Dewasa Awal 20-40 mg IV/IM dosis
49
tunggal. Anak 1 mg/kgBB IM/IV. Maksimal 6
mg/kgBB
Kontra indikasi : Gagal ginjal akut dengan anuria, koma hepatik,
hipokalemi, hiponatremia dan atau hipovolamia
dengan atau tanpa hipotensi. Gangguan fungsi
ginjal dan hati.
Efek samping : Gangguan pencernaan, kehilangan Ca, K, Na,
Nefrokalsinosis pada bayi prematur, metabolik
alkalosis, diabetes jarang, syok anafilaktik, depresi
sum-sum tulang, reaksi alergi, pankreatitis akut,
gangguan pendengaran
Perhatian : Hamil dan laktasi, ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, gangguan miksi, diabetes dan gout
Interaksi obat : Aminoglikosida, sisplatin: peningkatan
ototoksisitas. Aminoglikosida, sefalosporin :
peningkatan nefrotoksisitas. Penghambatan ACE :
penurunan TD secara tajam. Efek antagonisme
dengan indometason. Potensiasi efek dengan
salisilat, teofilin, litium, relaksan otot. Hipokalemia
dapat menimbulkan toksisitas digitalis.
Kemasan : Tablet 20 mg dan ampul 20 mg/2 ml
50
2. Norvaks
Tablet
Komposisi : Tiap tablet mengandung : amlodipin 10 mg
Indikasi : Hipertensi, iskemia miokard dan angina
Mekanisme kerja : Amlodipine merupakan penghambat aliran ion
kalsium (penghambat kanal yang lambat atau
antagonis ion kalsium) dan menghambat aliran ion
kalsium melalui membran ke dalam otot jantung
dan otot polos pembuluh darah. Mekanisme
antihipertensi. Amlodipin berhubungan dengan
efek relaksasi secara lansung pada otot polos
pembuluh darah.
Dosis : 5 mg/hari. Maksimal 10 mg/hari
Kontra indikasi : Hipersensitif terhadap dihidropiridin
Perhatian : Kerusakan fungsi hati dan gagal jantung kongestif.
Hamil dan laktasi.
Efek samping : Sakit kepala, edema, lelah, mual, nyeri abdomen,
wajah kemerahan, palpitasi dan pusing
Kemasan : Tablet 5 mg dan 10 mg
51
3. Comdipin
Tablet
Komposisi : Tiap tablet mengandung : amlodipin 10 mg
Indikasi : Hipertensi, angina pektoris
Mekanisme kerja : Amlodipin merupakan penghambat aliran ion
kalsium (penghambat kanal yang lambat atau
antagonis ion kalsium) dan menghambat aliran ion
kalsium melalui membran ke dalam otot jantung
dan otot polos pembuluh darah. Mekanisme
antihipertensi amlodipin berhubungan dengan efek
relaksasi secara lansung pada otot polos
pembuluh darah.
Dosis : Hipertensi dewasa awal 5 mg 1 x/hari. Maksimal
10 mg 1x/hari. Lanjut usia atau pasien dengan
gangguan fungsi hati Awal 2,5 mg 1x/hari. Anak 6-
17 tahun 2,5-5 mg 1x/hari. Terapi kombinasi
dengan obat antihipertensi lain awal2,5 mg 1x/hari.
Angina pektoris 5-10 mg 1x/hari kongestif, hamil,
laktasi. Anak <6 tahun, lanjut usia
Kontra indikasi : Hipersensitif terhadap dihidropiridin
Perhatian : Gangguan fungsi hati, gagal ginjal, gagal jantung
kongestif. Hamil, laktasi. Anak <6 tahun,lanjut usia
52
Efek samping : Sakit kepala, edema, lelah, pusing, mual, palpitasi,
rasa panas, kemerahan pada wajah.
Interaksi obat : Tiazid, penyekat F, ACE inhibitor, nitrat kerja lama,
nitrogliserin sublingual, AINS, antibiotik, obat
hipoglikemia oral
Kemasan : Tablet 5 mg dan 10 mg.
4. Cedocard
Injeksi
Komposisi : Tiap ml Cedocard
mengandung :
Isosorbid dinitrat (ISDN) 1 mg
Mekanisme kerja : Isosorbid dinitrat merupakan nitrat organik melalui
pembentukan radikal bebas nitrogen oksida (NO)
menstimulasi guanilat siklase sehingga kadar
siklik-GMP dalam sel otot polos meningkat.
Selanjutnya siklik GMP menyebabkan
defosforilasi miosin sehingga terjadi relaksasi otot
polos. Menghilangnya gejala angina pektoris pada
pemberian nitrat organik diduga karena
menurunnya kerja jantung dan perbaikan sirkulasi
koroner.
Indikasi : Cedocard 5 tablet/cedocard 10/cedocard retard 20
angina pektoris, profilaksis serangan angina pada
53
penyakit koroner kronik. Cedocard 20 pengobatan
dan pencegahan angina pektoris, untuk terapi
gagal jantung kongesif refrakter berat Cedocard
infus IV pengobatan gagal jantung tidak ada
respon, terutama setelah infark miokardium,
mengontrol angina pektoris refrakter.
Dosis : Cedocard 5 mg tablet, serangan angina akut 1
tablet. Profilaksis 1-2 tablet 3-4 x/hari. Pencegahan
serangan nokturnal 1-2 tablet sebelum tidur.
Cedocard 10 mg tablet, dewasa : 1-3 tablet
4x/hari. Cedocard retard tablet 1-2x/hari.
Cedocard 20 mg tablet mencegah serangan yang
dapat diduga atau angina nokturnal 1 tablet. Dosis
lazim 30-160mg 4 kali/hari. Gagal jantung
awal tablet. Dosis efektif 40-160 mg/hari, pada
kasus berat sampai 240 mg/hari. Infus IV 2-10
mg/hari.
Kontra indikasi : Anemia berat, hipotensi, syok kardiogenik
Perhatian : Glaukoma, dapat terjadi toleransi dan toleransi
silang dengan nitrat dan nitrat lainnya. Hamil dan
anak.
Efek samping : Sakit kepala, hipotensi postural, mual.
54
Interaksi obat : Meningkatkan efek hipotensi dengan antihipertensi
Kemasan : Tablet cedocard 5 mg, 10 mg, 20 mg. Larutan
infus cedocard IV 1 mg/mL, tablet cedocard 20
retard 20 mg.
5. Farsorbid
Tablet
Komposisi : Tiap tablet mengandung :
Isosorbid dinitrat 10 mg
Mekanisme kerja : Isosorbid dinitrat merupakan nitrat organik melalui
pembentukan radikal bebas nitrogen oksida (NO)
menstimulasi guanilat siklase sehingga kadar
siklik-GMP dalam sel otot polos meningkat.
Selanjutnya siklik GMP menyebabkan
defosforilasi miosin sehingga terjadi relaksasi otot
polos. Menghilangnya gejala angina pektoris pada
pemberian nitrat organik diduga karena
menurunnya kerja jantung dan perbaikan sirkulasi
koroner.
Indikasi : Terapi dan profilaksis angina pektoris
Dosis : Tablet dewasa 10 mg 4 kali/hari atau sebelum tidur
10 mg sebagai terapi profilaksis. Tablet sublingual
dewasa 1-2 tablet, diletakkan dibawah lidah
(sublingual) setiap 2-3 jam selam diperlukan.
55
Injeksi 2 10 mg/jam (hanya untuk pemberian
infus IV)
Kontraindikasi : Glaukoma, anemia, hipertiroid, peningkatan TIK,
infark miokardium.
Efek samping : Hipotensi ortostatik, wajah atau leher panas atau
kemerahan, sakit kepala, gangguan ginjal, denyut
nadi cepat, ruam kulit (jarang).
Perhatian : Toleransi dan toleransi silang dengn golongan nitrit
atau nitrat lain.
Interaksi obat : Alkohol meningkatkan efek hipotensi ortostatik
secara intensif. Simpatomimetik menurunkan efek
antiangina
Kemasan : Tablet 10 mg, tablet sublingual 5 mg, vial 10 mg/10
ml
6. Clonidin
tablet
Komposisi : Tiap tablet mengandung : Klonidin HCl 0,15 mg
Mekanisme kerja : Klonidin bertindak dengan merangsang reseptor
pada saraf di otak yang mengurangi transmisi
pesan dari saraf di otak untuk saraf di area lain
dari tubuh. Akibatnya, clonidin memperlambat
denyut jantung dan mengurangi tekanan darah
Indikasi : Untuk hipertensi
56
Dosis : Dosis oral dewasa 0,15 mg umum adalah dua kali
sehari.
Kontra indikasi : Sindroma Sick-sinus. Blok AV derajat 2 atau 3
Efek samping : Mulut kering, sedasi dan lelah
Perhatian : Gangguan ritme dan konduksi sist AV pada
jantung, gagal ginjal, gangguan perfusi serebral
atau perifer, depresi, polineuropati, konstipasi.
Penghentian obat secara tiba-tiba
Interaksi obat : Meningkatkan efek antihipertensi dari diuretik,
vasodilator, F bloker. Dengan F bloker dan
glikosida jantung, menyebabkan disritmia dan
penurunan frekuensi denyut jantung. Dengan
antidepresan trisiklik, menurunkan tekanan darah
Kemasan : Tablet 0,075 mg dan 0,15 mg
7. Mefinal
tablet
Komposisi : Tiap tablet mengandung :
asam mefenamat 500 mg
Indikasi : Nyeri pada reumatik akut dan kronik, luka jaringan
lunak, pegal otot dan sendi, dismenore, sakit
kepala, sakit gigi dan paska bedah.
57
Dosis : Dewasa dan anak >14 tahun. Awal 500 mg,
kemudian 250 mg/6 jam. Anak > bulan
3-6,5mg/kgBB tiap 6 jam. Maksimal 7 hari.
Kontraindikasi : Ulserasi lambung atau usus, penyakit raang usus
gangguan ginjal atau hati.
Efek samping : Gangguan gastro intestinal, dan pendarahan,
ulkus peptikum, sakit kepala, mengantuk, pusing,
cemas,gangguan visual, ruam kulit, diskrasia
darah, nefropati.
Perhatian : Hamil, dehidrasi, epilepsi dan asma.
Interaksi obat : Antikoagulan oral
Kemasan : Kaplet 250 mg, kaplet salut selaput 500 mg.
8. Transamin
Injeksi
Komposisi : Transamin
Tablet
Komposisi : Tiap tablet mengandung : asam asetilsalisilat
80 mg
Mekanisme kerja : Menghambat kerja dari siklooksigenase.
Reaksinya diperkirakan disebabkan oleh proses
59
asetilasi yang tidak dapat berubah. Dalam platelet
darah, penghambatan enzim tersebut mencegah
terbentuknya tromboksan A2, suatu senyawa yang
berfungsi sebagai vasokontriktor yang
menyebabkan penimbunan platelet dan
kemungkinan besar menyebabkan pembekuan
darah. Dalam dinding-dinding pembuluh darah
penghambatan enzim tersebut mencegah
pembentukan prostasiklin yang berfungsi sebagai
vasodilator dan mempunyai unsur-unsur anti-
agregasi yang berpotensi sebagai anti trombosis
Indikasi : Pengobatan dan pencegahan angina pektoris dan
infark miokardium
Dosis : 1 tab 1x/hari dosis 80 mg
Kontra indikasi : Gangguan perdarahan, asma, ulkus peptikum aktif
Perhatian : Dispepsia, disfungsi ginjal dan hati, porfiria, hamil,
laktasi dan anak.
Efek samping : Ulkus peptikum, gangguan gastro intestinal,
peningkatan waktu perdarahan,
hipoprotrombinemia, reaksi hipersensitif, pusing
dan tininus.
Kemasan : Tablet kunyah 80 mg
60
10. Cosmofer
Injeksi
Komposisi : Tiap ml mengandung 50 mg Besi (III)
Indikasi : Terapi anemia berat akibat defisiensi asupan Fe
atau kehilangan Fe yang berlebihan dimana
asupan oral tidak mungkin dilakukan, terutama
pada keadaan melabsorbsi pencernaan. Elaborasi
Hb dan pembentukan sel darah merah.
Dosis : Dosis bersifat individual. Dosis harian total :
dewasa dan anak dengan BB > 10 kg 2 ml, 5-10
kg 1 ml. Bayi > 4 bulan 0,5 ml. Pasien yang tidak
dapat bangun dari tempat tidur frekuensi
pemberian injeksi dikurangi 1 x atau 2x/ minggu.
Kontra indikasi : Anemia non defisiensi Fe, hemokromatosis,
hemosiderosis, riwayat asama, eksema, alergi
atropik, sirosis hati tak terkompensasi dan
hepatitis, infeksi akut dan kronik, AR, gagal ginjal
akut. Transfusi darah, anak < 4 bulan. Hamil dan
laktasi.
Perhatian : Penyakit autoimun, SLE, AR, asma, alergi,
penyakit inflamasi, dan penyakit kardiovaskular,.
Hemoglobinopati dan anemia refrakter lainnya.
Gangguan funsi hati
61
Efek samping : Nyeri sendi, reaksi lokal pada tempat injeksi, rasa
panas dan kemerahan pada kulit wajah, enyut nadi
meningkat abnormal, sinkop, nyeri dan rasa
tertekan pada dada, syok, henti jantung, hipotensi,
hipertensi, takikardia, bradikardi, aritmia, konvulsi,
sakit kepala, lemah, tidak ada respon, parestesia,
episode febril, menggigil, pusing, disorientasi,
kebas (baal), penurunan kesadaran, henti nafas,
dispnea, bronkospasme, mengi, urtikaria, pruritus,
purpura, ruam kulit,mialgia, artritis, sianosis,
vertigo, kesulitan bernafas limfadenopati.
Interaksi obat : Preparat Fe oral.
Kemasan : Ampul 50 mg/mL
11. Laxadin
Emulsi
Komposisi : Tiap 5 ml mengandung :
Phenolphtalein 55 mg
Paraffin liquidum 1200 mg
Glycerin 378 mg
Mekansime kerja : Senyawa ini bekerja dengn cara merangsang
peristaltik usus besar, menghambat reabsorbsi air
dan melicinkan jalannya faeses
62
Indikasi : Diberikan pada keadaan konstipasi yang
memerlukan : perbaikan peristaltik, pelicin
jalannya faeses dan penambahan volume faeses
secara sistematis sehingga faeses mudah
dikeluarkan. Persiapan menjelang tindakan
radiolodist dan operasi
Dosis : Dewasa : 1-2 sendok makan
Anak 6-12 tahun : dosis dewasa. Diminum
sekali sehari pada malam hari menjelang tidur (1
sendok makan : 15 ml)
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap zat aktif dan komponen lain
dalam Laxadine emulsi, ileus obstruksi dan nyeri
abdomen yang belum diketahui penyebabnya.
Perhatian : Hindari pemakaian yang terus menerus dalam
waktu lama karena kehilangan cairan dan
elektrolit. Hentikan penggunaan obat bila terjadi
gangguan usus seperti mual dan muntah. Tidak
dianjurkan untuk anak-anak dibawah 6 athun,
wanita hamil dan menyusui dan usia lanjut, kecuali
atas petunjuk dokter
63
Efek samping : Reaksi alergi kulit rash dan pruritus, perasaan
terbakar, kolik, kehilangan cairan dan elektrolit,
diare, mual dan muntah
Kemasan : Botol netto 30 ml, 60 ml dan 110 ml
12. Laxoberon
Drops
Komposisi : Tiap ml (= 15 drops) mengandung :
Na picosulfate 7,5 mg
Indikasi : Untuk kondisi yang membutuhkan defekasi
Dosis : Dewasa, anak >10 tahun 10-20 tetes pada malam
hari, anak 4-10 tahun 5-10 tetes pada malam hari
Kontraindikasi : Obstruksi ileus jalani bedah akut atau kondisi
abdomen misalnya apendistis akut, penyakit
inflamasi usus besar akut dan dehidrasi berat.
Perhatian : Penggunaan jangka lama atau dosis tinggi. Anak-
anak, hamil dan laktasi
Efek samping : Jarang, rasa tidak nyaman pada abdomen, iritasi
kolon, hipokalemia, diare
Interaksi obat : Diuretik, adrenokortikosteroid, glikosida jantung,
antibiotik berspektrum luas.
Kemasan : Drop 7,5 mg/mL
64
13. Infus NaCl 0,9 %
Komposisi : Setiap liter larutan mengandung :
Natrium klorida (NaCl) 9,0 g
Air untuk injeksi ad 1000 ml
Osmolaritas : 308 mOsm/l
Setara dengan ion-ion :
Na
+
: 154 mEq/l
Cl
-
: 154 mEq/l
Cara kerja obat : Natrium klorida merupakan garam yang berperan
penting dalam memelihara tekanan osmosis darah
dan jaringan
Indikasi : Untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit
pada dehidrasi
Dosis : Infus Intravena dengan kecepatan alir yang
dianjurkan yaitu : 2,5 ml/kg BB/jam atau
60 tetes / 70 kg BB/menit ata 180 ml/70kg BB/jam
atau disesuaikan dengan kondisi penderita.
Perhatian : Hati-hati bila diberikan kepada penderita gagal
jantung kongestif, gangguan fungsi ginjal,
hipoproteinemia, udem periferal, atau pulmonari
65
Hati-hati bila diberikan pada anak-anak dan
penderita lanjut usia, pada kasus hipertensi atau
toksemia pada kehamilan.
Untuk pemberian jangka panjang sebaiknya
dilakukan uji laboratorium secara periodik untuk
memonitor serum ionogram, keseimbangan asam
basa dan cairan.
Hindari pemberian yang berlebihan untuk
mencegah terjadinya hipokalemia. Jangan
digunakan bila botol cacat, larutan keruh atau
berisi partikel.
Efek samping : Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi karena
larutannya atau cara pemberiannya, termasuk
timbulnya panas, iritasi, atau infeksi pada tempat
penyuntikan, trombosis atau flebitis vena yang
meluas dari tempat penyuntikan dan akstravasasi.
Bila terjadi reaksi efek samping, pemakaian harus
dihentikan dan dilakukan evaluasi terhadap
penderita
Kontaindikasi : Hipernatremia, asidosis, hipokalemia
Kemasan : Botol plastik 500 ml
Botol plastik 100 ml
66
BAB IV
PEMBAHASAN
Kasus klinik yang dibahas yaitu pasien dengan diagnosa
CKD stage V dan edema paru akut. Pasien dirawat di RS.DR Wahidin
Sudirohusodo sejak tanggal 24 Januari dan keluar dari rumah sakit 3
Februari 2011. Nilai laboratorium yang memperkuat diagnosa pasien gagal
ginjal kronik diantaranya nilai serum kreatinin dan ureum darah yang
keduanya tidak normal sebagai parameter kerusakan ginjal. Pasien ini belum
pernah melakukan hemodialisis (cuci darah).
Penatalaksanaan pada penderita pasien ginjal yaitu dengan
melakukan diet protein, diet kalium dan diet natrium. Pemberian natrium
yang berlebih akan menyebabkan retensi natrium yang merupakan masalah
pada penyakit gagal ginjal. Selain diet tersebut hal yang perlu dilakukan yaitu
dengan pencegahan dan pengobatan untuk mencegah komplikasi seperti
pemberian obat antihipertensi, suplemen besi dan diuretik (5).
Riwayat penyakit penderita yaitu hipertensi yang dialami sejak 10
tahun terakhir dan pasien mengkonsumsi obat penurun tekanan darah
namun secara tidak teratur. Terkadang jika tekanan darah meningkat, pasien
cukup beristirahat. Penggunaan antihipertensi dalam jangka waktu yang
lama, merupakan salah satu penyebab kerusakan ginjal.
67
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan utama sesak nafas.
Sesak nafas dialami sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit yang dirasakan
terus-menerus, penderita lebih nyaman dengan posisi duduk, pasien batuk
yang disertai lendir. Sehingga pernafasan pasien dibantu dengan
menggunakan O
2
4-6 L/menit
.
Tindakan awal yang diberikan pada pasien ini
sudah tepat sebagai terapi bagi pasien yang terserang edema paru (6).
Pemasangan infuse NaCl 10 tetes/menit yang diberikan sebagai
penanganan kondisi pasien yang lemah, untuk tetap menjaga keseimbangan
elektrolit, namun perlu diingat pasien terdiagnosa edema paru akut sehingga
asupan natrium harus dijaga dan terkontrol dengan baik, agar tidak terjadi
retensi natrium.
Pasien juga diberikan Lasix (furosemida) sebagai diuretik kuat untuk
pengeluaan air, natrium, klorida, kalium, sehingga membantu mengurangi
penumpukan cairan (edema) pada paru pasien. Diuterik kuat tepat diberikan
pada pasien yang memiliki gangguan pada fungsi ginjal (2,8).
Tekanan darah awal pasien sangat tinggi yaitu 210/130 mmHg,
terapi yang diberikan yaitu Comdipin
Tablet (komposisi
amlodipin 10 mg). Dalam kasus ini terjadi duplikasi penggunaan obat
sehingga tidaklah rasional menggunakan dua obat secara bersamaan yang
memiliki komposisi yang sama munculnya efek samping akan lebih besar dan
melebihi dosis maksimal. Sebaiknya digunakan salah satu saja (8).
68
Antihipertensi yang diberikan selain Norvaks
(amlodipin), pasien
diberikan pula Clonidin
(Klonidin HCl), klonidin tidak menurunkan aliran
darah ginjal atau laju filtrasi glomeruler dan karenanya berguna untuk
pengobatan hipertensi yang mempunyai komplikasi penyakit ginjal. Karena
menyebabkan retensi natrium dan air, klonidin dikombinasikan dengan
diuretika (7).
Setelah menjalani perawatan selama 4 hari di rumah sakit,
pasienpun didiagnosa terserang Congestive Heart Failure (CHF) NHYA III.
Pasien mendapatkan terapi jantung sekaligus memiliki indikasi sebagai
penurun tekanan darah seperti Cedocard
injeksi pada kasus ini tidak perlu sebab darah yang berasal dari
mulut pasien pada saat batuk bukan merupakan perdarahan melainkan.
Sebaiknya diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi pada saluran
pernafasan (dalam hal ini efusi pleura) yaitu antibiotik golongan sefalosporin
seperti Cefotaxim injeksi dosis 1 gr/12 jam yang memiliki indikasi salah
satnya untuk infeksi pada saluran pernafasan bagian bawah ().
Pemberian Mefinal
(asam mefenamat) yang memiliki indikasi
sebagai analgetik (tanggal 28 Januari) tidak rasional sebab memiliki
kontraindikasi terhadap pasien gagal ginjal, dimana eliminasinya 52 %
melalui ginjal, hal tersebut justru akan memperparah kondisi ginjal. Jadi
pemberian Mefinal
(aspirin) dosis 80
mg/hari sebagai antitrombosit. Aspirin menghambat sintesis tromboksan.
Aspirin sekarang digunakan untuk pengobatan profilaksis iskemia serebral
transien, mengurangi terjadinya infark miokard berulang dan menurunkan
mortalitas pada pasien infark postmiokard (7).
Untuk mengurangi beban jantung, ketika pasien buang air besar
diberikan terapi Laxadin