Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN INTER PROFESSIONAL EDUCATION (IPE)

PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER


RUMAH SAKIT TENTARA Tk. II dr. SOEPRAOEN MALANG
Periode 13 Juli – 8 Agustus 2020

Oleh:
Nunung Purwaningsih 190070600011003
Qisty Aulia Khoiry 190070600011011
Savvy Augustin Tirta 190070600011012

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2020
HALAMAN PENGESAHAN
PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
INTER PROFESSIONAL EDUCATION
RUMAH SAKIT TENTARA Tk. II dr. SOEPRAOEN MALANG
Periode 13 Juli – 8 Agustus 2020

Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Apoteker pada Program Studi Profesi Apoteker Jurusan Farmasi
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Disetujui oleh:

Pembimbing Profesi Apoteker Apoteker Preseptor


PSPA Jurusan Farmasi FKUB RST Tk. II dr. Soepraoen

apt. Ema Pristi Yunita, S.Farm. M.Farm.Klin. apt. Nicky Pratiwi Yuliayuri S.Farm.
NIK. 2012058602282001 STRA. 19950724/STRA-UNEJ/2019/259293

Mengetahui,
Ketua Program Studi Profesi Apoteker
Jurusan Farmasi FKUB

apt. Ayuk Lawuningstyas, M.Farm.


NIK. 2012058806102001

i
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iii

DAFTAR TABEL...................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1. Latar Belakang..........................................................................................1


1.2. Tujuan........................................................................................................2
BAB II RESEARCH AND METHOD......................................................................3
2. 1. Kerangka Konseptual................................................................................3
2. 2. Kerangka Operasional...............................................................................4
BAB III PEMBAHASAN........................................................................................5
3.1. Rute Injeksi Vitamin K..............................................................................5
3.2. Perbedaan Indikasi Penggunaan Vitamin K dan Asam Traneksamat.......6
3.3. Kelarutan dan Stabilitas Cernevit® Injeksi..............................................8
3.4. Beyond Use Date (BUD)...........................................................................9
3.5. Coronavirus.............................................................................................14
3.6. Penggunaan Insulin.................................................................................15
BAB IV PENUTUP...............................................................................................25
4.1. Kesimpulan..............................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................26

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual...........................................................................3


Gambar 2.2 Kerangka Operasional..........................................................................4
Gambar 3.1 Proses Pembekuan Darah.....................................................................6

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Petunjuk Umum Penetapan Beyond Use Date Obat Racikan Non
Steril......................................................................................................10
Tabel 3.2 Beyond Use Date Sediaan injeksi .........................................................12
Tabel 3.3 Beyond Use Date Sediaan Vaksin..........................................................13
Tabel 3.4 Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada Orang Dewasa...........................20

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian rumah sakit adalah suatu pelayanan langsung
apoteker kepada pasien dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan kefarmasian di rumah sakit
meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai serta kegiatan pelayanan farmasi klinik. Pelayanan
farmasi klinik merupakan pelayanan langsung diberikan apoteker kepada pasien
untuk meningkatkan outcome terapi, meminimalkan risiko terjadinya efek
samping obat, keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien
(quality of life) terjamin (Kemenkes, 2016).
Di era global seperti saat ini, seorang tenaga kesehatan dituntut untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pelayanan yang bermutu dapat
diperoleh dari kolaborasi yang baik antar profesi seperti dokter, perawat, dan
apoteker dalam kerjasama tim (Keith & Askin, 2008). Salah satu upaya dalam
mewujudkan kolaborasi yang efektif antarprofesi perlu diadakan praktik
kolaborasi sejak dini. Strategi Interprofessional Education (IPE) dipilih sebagai
langkah yang dilakukan untuk mewujudkan kolaborasi melalui proses
pembelajaran dengan melatih mahasiswa pendidikan kesehatan (WHO, 2010).
Praktik kolaborasi dalam pelayanan kesehatan terjadi ketika banyak tenaga
kesehatan dari profesi dengan latar belakang yang berbeda (apoteker, dokter,
perawat, bidan, dan ahli gizi) memberikan pelayanan yang komprehensif dengan
bekerja bersama dengan pasien dan keluarga pasien untuk memberikan perawatan
yang berkualitas (ACCP, 2009). Praktik kolaborasi dapat meningkatkan
koordinasi pelayanan kesehatan yang tepat, mengurangi komplikasi pada pasien,
meningkatkan kepuasan pasien, mengurangi durasi pengobatan, mengurangi biaya
perawatan, mengurangi insiden bunuh diri, serta mengurangi kunjungan rawat
jalan (WHO, 2010).
Interprofessional Education penting diimplementasikan untuk pencapaian
keselamatan pasien. Kolaborasi yang lemah pada tenaga kesehatan antar profesi
secara tidak langsung menyebabkan pasien berada dalam sebuah risiko kesalahan

1
perawatan yang akan memengaruhi keselamatan jiwa pasien. Interprofessional
Education (IPE) terbukti dapat meningkatkan upaya Interprofessional
Collaboration karena apabila peningkatan kinerja hanya dialami oleh satu profesi
belum tentu akan berpengaruh signifikan terhadap keselamatan pasien.
Interprofessional Education yang dilakukan sejak dini akan meningkatkan fokus
pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh antar profesi tenaga kesehatan (HPEQ,
2012).

1.2. Tujuan
1. Menjalin komunikasi antar tenaga kesehatan (apoteker, dokter, perawat,
bidan, dan ahli gizi) di RST Tk. II dr. Soepraoen Malang.
2. Pemberian informasi melalui media leaflet dan Pelayanan Informasi Obat
(PIO) terkait cara penggunaan insulin, BUD Cernevit®, Corona Virus,
rute parenteral vitamin K, serta perbedaan indikasi vitamin K dan asam
traneksamat.

2
BAB II
RESEARCH AND DEVELOPMENT

2.1. Kerangka Konseptual

Tenaga kesehatan di rumah sakit seperti dokter, dokter gigi, maupun perawat
sering menghadapi situasi klinik yang memerlukan informasi obat untuk
mengambil langkah terhadap pengobatan pasien

Tenaga kesehatan membutuhkan informasi terkait perngobatan dan bertanya


kepada apoteker di Pusat Pelayanan Informasi Obat

Apoteker melakukan Pelayanan Informasi Obat kepada sesama tenaga


kesehatan yang bertanya kepada apoteker sebagai kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat,
komprehensif, dan terkini

Apoteker menjadi seorang konsultan obat yang profesional dan telah


melakukan kegiatan pelayanan kefarmasian yang berbasis interprofessional
collaboration

Tenaga kesehatan mendapatkan informasi yang berguna dalam pelayanan


kepada pasien dan penggunaan obat menjadi rasional yang berorientasi pada
pasien

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

3
2.2. Kerangka Operasional

Mahasiswa PKPA mencatat pertanyaan dan menggali latar belakang pertanyaan


terkait identifikasi penanya, identifikasi masalah, dan tingkat urgensi
pertanyaan

Mahasiswa PKPA memeriksa sumber informasi yang tersedia dengan


menggunakan strategi penelusuran dan mengevaluasi informasi yang didapat

Mahasiswa PKPA memberikan informasi dari sumber yang terseleksi dan


komprehensif bagi para tenaga kesehatan di rumah sakit seperti dokter, dokter
gigi, maupun perawat yang bertanya

Mendokumentasikan jawaban dalam lembar Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Gambar 2.2 Kerangka Operasional


2.3. Daftar Pertanyaan PIO
Terdapat enam pertanyaan yang ditanyakan oleh beberapa tenaga kesehatan
yang ada di RST Tk. II dr. Sopraeon, yaitu:
1. Apa saja rute injeksi untuk vitamin K?
2. Apa perbedaan indikasi penggunaan asam traneksamat dan vitamin K?
3. Bagaimana stabilitas dan kelarutan Cernevit® injeksi?
4. Berapa lama BUD sediaan farmasi?
5. Bagaimana cara pencegahan coronavirus?
6. Bagaimana cara penggunaan insulin pen?

4
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Rute Injeksi Vitamin K


Vitamin K parenteral yang telah disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) dapat diinjeksikan secara intravena, intramuskular, atau
subkutan dengan bentuk emulsi karena kelarutannya yang jelek dalam air. Agen
pengemulsi seperti polioksietil turunan asam lemak atau polisorbat 80 terkadang
dengan tambahan benzil alkohol sebagai agen pengawet ditambahkan pada injeksi
vitamin K dalam bentuk subkutan (Brayfield, 2013). Dalam pemberian injeksi
vitamin K perlu dilihat seberapa besar manfaat dibanding risiko. Risiko terjadinya
anafilaksis pada pemberian vitamin K secara intravena lebih kecil (3 angka
kejadian per 10.000 dosis) dibanding pemberian secara intramuskular ataupun
subkutan (Britt & Brown, 2018). Kejadian anafilaktoid terjadi pada 69%
pemberian vitamin K secara intravena jika dibandingkan pada pemberian selain
intravena (intramuskular dan subkutan) yang hanya terjadi sebesar 18% (Fiore, et
al., 2001).
American College of Clinical Pharmacy (ACCP) memberikan arahan agar
mengurangi reaksi anafilaktoid yaitu dengan menggunakan dosis efektif terendah
(5-10 mg), larutan dalam setidaknya 50 mL cairan (yang direkomendasikan yaitu
0,9% natrium klorida, 5% dektrose, atau 5% dektrose dan natrium klorida), jika
digunakan infus kecepatan maksimum hanya 1 mg/menit dengan batas maksimal
selama 20 menit (Holbrook et al., 2012).
Pemberian secara intramusukular efikasinya kurang jika dibanding
pemberian secara intravena. Pemberian secara subkutan tidak begitu disarankan
karena absorbsinya yang tidak bisa diprediksi. Oleh karena itu dalam keadaan
darurat lebih disarankan untuk pemberian secara intravena karena lebih cepat
efikasinya (Makris et al., 2010).
Injeksi vitamin K secara intravena dapat memberikan efek penurunan nilai
International Normalized Ratio (INR) dalam dua jam dan mencapai fase terminal
linear setelah 3–12 jam. Pada pemberian injeksi secara subkutan, kurang dari 50%
pasien menunjukkan penurunan nilai INR dalam waktu 24 jam. Bioavailabilitas
vitamin K secara intramuskular dalam sistemik di bawah 65%. Namun, kelebihan

5
dari injeksi secara intramuskular yaitu pelepasannya yang perlahan sehingga dapat
bertahan di tubuh dalam waktu yang lama (terjaga hingga 36 jam) (Rathgeber et
al., 2015).

3.2. Perbedaan Indikasi Penggunaan Vitamin K dan Asam Traneksamat


Gangguan koagulasi disebabkan oleh penurunan jumlah trombosit,
penurunan fungsi trombosit, defisiensi faktor koagulasi, atau meningkatnya
aktivitas fibrinolitik. Serangkaian aksi dan reaksi kompleks dari kejadian
prokoagulan dan antikoagulan mengatur aliran darah. Koagulasi dapat terjadi
melalui jalur intrinsik atau ekstrinsik. Jalur ekstrinsik terjadi karena adanya luka
atau trauma. Jalur intrinsik dimulai saat faktor XII bersirkulasi dan bersentuhan
dengan membran subendotel. Dua jalur ini kemudian berkumpul pada aktivasi
faktor X untuk membentuk jalur umum. Terdapat 12 protein plasma yang
dianggap sebagai faktor koagulasi. Faktor koagulasi dapat dibagi menjadi tiga
kelompok dasar dari sifat biokimia. Kelompok ini termasuk faktor yang
bergantung pada vitamin K (II, VII, IX, dan X), faktor aktivasi kontak (XI dan
XII, prekalkrein, kininogen dengan berat molekul tinggi), dan faktor sensitif
trombin (V, VIII, XIII, dan I [fibrinogen]) seperti pada gambar 3.1.

Gambar 3.1 Proses Pembekuan Darah

6
Faktor koagulasi bersirkulasi sebagai prekursor tidak aktif (zymogens).
Koagulasi darah memerlukan serangkaian reaksi proteolitik yang mengalir. Pada
setiap langkah, faktor pembekuan mengalami proteolisis terbatas dan menjadi
protease aktif (ditandai dengan huruf kecil "a," seperti dalam Xa). Faktor
koagulasi ini memainkan peran kunci dalam jalur koagulasi (Christos dan Naples,
2016).
Asam traneksamat dan vitamin K memiliki efek sebagai agen reversal
antikoagulan dengan mekanisme yang berbeda. Asam traneksamat memiliki
mekanisme menghambat fibrinolisis dengan cara menghambat ikatan plasma pada
fibrin (Hourlier dan Fennema, 2018). Sementara itu, vitamin K memang
merupakan kofaktor yang digunakan untuk membantu pada aktivitas pembekuan
darah (faktor II (prothrombin), VII, IX, dan X (Britt dan Brown, 2018).
FDA menyetujui indikasi penggunaan asam traneksamat sebagai
pengobatan pada pendarahan besar menstruasi dan pencegahan jangka pendek
pendarahan pada pasien hemofilia (Leminen dan Hurskainen 2012).
Indikasi vitamin K oleh FDA digunakan sebagai antikoagulan pada pasien
defisiensi hipoprotombinemia disebabkan oleh koumarin, terapi antibiotik atau
karena faktor terhambatnya absorbsi atau sintesis vitamin K, juga sebagai
profilaksis dan pengobatan pada pendarahan bayi baru lahir (Marchilli et al.,
2018).
Asam traneksamat maupun vitamin K keduanya digunakan pada manajemen
terapi pencegahan pendarahan besar pada penggunaan obat antikoagulan. Adapun
perbedaan pemilihan penggunaan asam traneksamat atau vitamin K berdasarkan
jenis antikoagulan yang digunakan sebelumnya untuk penanganan manajemen
antikoagulan reversal dan untuk penangananan pendarahan yang dilihat
berdasarkan penyebabnya. Jika penyebab masalah yang terganggu adalah faktor
koagulasi yang bergantung pada vitamin K (II, VII, IX, dan X) maka diberikan
vitamin K. Namun, apabila faktor koagulasi bermasalah pada fibrin maka
diberikan asam traneksamat. Menurut Harter et al., 2015, vitamin K diberikan jika
pasien sebelumnya menggunakan warfarin dengan monitoring parameter
laboratorium INR. Sementara itu, asam traneksamat digunakan pada pasien yang
menggunakan obat golongan fibrinolitik seperti alteplase, reteplase, tenekteplase,

7
dan urokinase dengan monitoring parameter laboratorium PT, aPTT, dan
fibrinogen.
3.3. Kelarutan dan Stabilitas Cernevit® Injeksi
Cernevit® injeksi merupakan serbuk steril yang mengandung beberapa
vitamin yaitu vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B1, vitamin B2, vitamin
B3, vitamin B5, vitamin B6, vitamin B12, dan asam folat yang dikombinasikan
dengan asam glikolat dan lesitin. Penyediaan vitamin yang sesuai dengan
kebutuhan harian orang dewasa dan anak-anak di atas 11 tahun memerlukan
suplementasi multivitamin melalui jalur parenteral ketika nutrisi oral
dikontraindikasikan serta tidak mungkin atau tidak mencukupi (misalnya karena
malnutrisi, malabsorpsi gastrointestinal dan nutrisi parenteral) (FDA, 2014).

3.4. Kandungan Cernevit® Injeksi

Tabel 3.1 Kandungan Cernevit® Injeksi (FDA, 2014)

Kandungan Dosis
Retinol palmitat sesuai dengan Retinol (vitamin A) 3500 IU
Cholecalciferol (vitamin D3) 200 IU
DL α-tocoferol 10,2 mg
Sesuai dengan α- tokoferol (Vitamin E) 11,2 IU
Asam askorbat (Vitamin C) 125 mg
Nicotinamide (Vitamin B3) 46 mg
Dexpanthenol 16,15 mg
Sesuai dengan asam pantotenat (Vitamin B5) 17,25 mg
Piridoksin hidroklorida 5,5 mg
sesuai dengan piridoksin (Vitamin B6) 4,53 mg
Riboflavin natrium fosfat 5,67 mg
Sesuai dengan riboflavin (Vitamin B2) 4,14 mg
Cocarboxylase tetrahydrate 5,8 mg
Sesuai dengan tiamin (Vitamin B1) 3,51 mg
Asam folat 414 mcg

8
D-Biotin 60 mcg
Cyanocobalamin (Vitamin B12) 5,5 mcg
Bahan - bahan lainnya
Glisin 250 mg
Asam glikolat 140 mg
Lesitin kedelai 112,5 mg
Natrium hidroksida dan/atau asam klorida ditambahkan untuk mengatur
pH menjadi 5,9

Peracikan sediaan steril perlu memperhatikan beberapa aspek kritis yang


dapat memengaruhi kualitas sediaan steril yang dihasilkan. Aspek kritis yang
perlu diperhatikan yaitu personil yang melakukan peracikan, sarana dan prasarana
yang menunjang, serta prosedur peracikan. Di samping itu, kondisi pengelolan
hasil sediaan steril racikan perlu diperhatikan untuk menjamin stabilitas obat tetap
terjaga sehingga dapat menjamin kualitas obat yang dihasilkan (Pedersen, et al.,
2015). Penggunaan pelarut dapat memengaruhi kelarutan dan stabilitas obat
(Lukas, 2011).
Stabilitas sediaan farmasi merupakan salah satu kriteria yang penting.
Ketidakstabilan obat dapat mengakibatkan terjadinya penurunan sampai hilangnya
khasiat obat, obat dapat berubah menjadi toksik, atau terjadi perubahan
penampilan obat seperti warna, bau, rasa, dan konsistensi obat (Ansel, 1989).
Cernevit® injeksi larut dalam air dan larut dalam lemak. Cernevit® dapat
direkonstitusi dengan 5 ml water for injection, dekstrosa 5% atau NaCl 0,9 %.
Cernevit® injeksi tidak boleh dicampur dengan produk obat lainnya. Vitamin A
dan tiamin dalam Cernevit® dapat bereaksi dengan bisulfit dalam larutan nutrisi
parenteral (sebagai hasil dari pencampuran) yang mengarah pada degradasi
vitamin A dan tiamin (Ansel, 1989).
Stabilitas Cernevit® injeksi dapat terganggu dengan adanya perubahan pH
larutan. Peningkatan pH larutan dapat meningkatkan degradasi beberapa vitamin.
Ini harus dipertimbangkan ketika menambahkan larutan alkali ke campuran yang
mengandung Cernevit® injeksi. Kandungan asam folat pada Cernevit® injeksi
dapat terganggu dengan adanya peningkatan konsentrasi kalsium dalam campuran
(FDA, 2014).

9
3.5. Beyond Use Date (BUD)
BUD merupakan batas waktu penggunaan produk obat setelah
diracik/disiapkan atau setelah kemasan primernya dibuka/dirusak (USP, 2012).
Kemasan primer disini berarti kemasan yang langsung bersentuhan dengan bahan
obat seperti: botol, ampul, vial, atau blister. Pengertian BUD berbeda dari
expiration date (ED) atau tanggal kedaluwarsa karena ED menggambarkan batas
waktu penggunaan produk obat setelah diproduksi oleh pabrik farmasi sebelum
kemasannya dibuka. BUD bisa sama dengan atau lebih pendek daripada ED. ED
dicantumkan oleh pabrik farmasi pada kemasan produk obat, sementara BUD
tidak selalu tercantum. Idealnya, BUD dan ED ditetapkan berdasarkan hasil uji
stabilitas produk obat dan dicantumkan pada kemasannya (University of North
Carolina, 2012).

BUD dan ED menentukan batasan waktu dimana suatu produk obat masih
berada dalam keadaan stabil. Suatu produk obat yang stabil berarti memiliki
karakteristik kimia, fisika, mikrobiologi, terapetik, dan toksikologi yang tidak
berubah dari spesifikasi yang sudah ditetapkan oleh pabrik obat, baik selama
penyimpanan maupun penggunaan. Menggunakan obat yang sudah melewati
BUD atau ED-nya berarti menggunakan obat yang stabilitasnya tidak lagi
terjamin. Mengingat BUD tidak selalu tercantum pada kemasan produk obat maka
penting bagi tenaga kesehatan, khususnya apoteker untuk mengetahui tentang
ketentuan-ketentuan umum terkait BUD serta bagaimana cara menetapkan BUD
berbagai produk obat, baik produk nonsteril maupun steril kemudian
mencantumkannya (University of North Carolina, 2012).

a. BUD berdasarkan tipe formula.

Tabel 3.2 Petunjuk Umum Penetapan Beyond Use Date Obat Racikan Non Steril
(USP, 2012)

Jenis Formulasi Informasi Beyound Use Date


Formulasi oral yang mengandung BUD tidak lebih dari 14 hari
air pada suhu dingin yang

10
terkontrol.
Formulasi cair dan atau semi padat BUD tidak lebih dari 30 hari.
topikal/dermal/mukosal yang
mengandung air
Formulasi yang tidak mengandung BUD tidak lebih dari 25%
air waktu yang tersisa dari masing-
masing obat hingga
kedaluwarsa atau 6 bulan.
Dipilih yang lebih singkat.

1. Formula yang tidak mengandung air dan formulasi padat

Jika formulasi terbuat dari sediaan jadi, BUD tidak lebih dari 25%
dari waktu kedaluwarsa masing-masing bahan atau 6 bulan dari waktu
peracikan, manapun yang lebih dahulu tercapai. Jika lebih dari waktu
kadaluwarsa masing-masing bahan atau 6 bulan dari waktu peracikan,
manapun yang lebih dahulu tercapai.

2. Formulasi oral yang mengandung air

BUD tidak lebih dari 14 hari saat disimpan dalam suhu dingin 2-
8oC.

11
3. Sedian semipadat, topikal/dermal yang mengandung air dan sediaan
untuk cairan mukosa maka BUD sediaan tidak lebih dari 30 hari.

b. BUD berdasarkan sediaan farmasi

1. Serbuk dan granul

Serbuk dibuat dari produk yang diproduksi memiliki BUD 25%


dari waktu yang tersisa pada tanggal kadaluwarsa produk atau 6 bulan.

2. Larutan

BUD untuk formulasi sediaan oral mengandung air yang disimpan


pada suhu dingin tidak lebih dari 14 hari dan 30 hari untuk persiapan
sediaan topikal.

3. Suspensi

12
BUD selambat-lambatnya 30 hari setelah persiapan. BUD 7-
17 hari yang bisa diberikan pada sediaan:

● Sediaan suspensi yang tidak mengandung pengawet


● Sediaan suspensi yang tidak stabil
● Sediaan suspensi baru atau sediaan hoc

4. Emulsi

BUD untuk formulasi yang mengandung air dan minyak selambat-


lambatnya 14 hari untuk sediaan oral.

5. Salep, Krim, dan Pasta

BUD formulasi topikal tidak lebih dari 30


hari untuk produk yang dibuat dari bahan-bahan dalam bentuk padat.
Jika produk yang diproduksi digunakan untuk mempersiapkan sediaan
mengandung air atau persiapan anhidrat (tidak mengandung air) BUD

13
adalah 25% dari waktu yang tersisa pada tanggal kedaluwarsa produk
atau 6 bulan.

6. Gel

BUD pada sediaan gel yang mengandung air paling lambat 14 hari
sedangkan untuk gel topikal yang mengandung air tidak lebih dari 30
hari pada suhu kamar.

7. Opthalmic (sediaan untuk mata)

BUD digunakan untuk sediaan opthalmic adalah 30 hari dan BUD untuk


sediaan minidose yaitu 3 hari.

8. Otic (sediaan untuk telinga)

BUD disimpan pada suhu dingin selambat-lambatnya 30 hari.

14
9. Sediaan Inhaler

BUD selambat-lambatnya 14 hari.

10. Sediaan Suppositoria (melalui rektal)

BUD selambat-lambatnya 14 hari jika disimpan pada suhu dingin


(2-8oC).

c. BUD sediaan steril

BUD sediaan steril adalah tanggal yang ditetapkan pada produk


steril yang telah dibuka dimana kondisi produk tersebut masih dalam
rentang stabil dan dapat diberikan kepada pasien. Pada saat produk steril
dibuka dapat terjadi paparan dengan lingkungan di sekitarnya. Udara, uap
air, dan mikroorganisme dapat masuk dan menyebabkan perubahan fisika
dan kimia serta kontaminasi mikroorganisme. Perubahan fisika dan kimia
dipercepat oleh meningkatnya suhu sedangkan kontaminasi
mikroorganisme dapat menyebabkan penularan penyakit infeksi.

15
Tabel 3.3 Beyond Use Date Sediaan Injeksi (USP, 2008)

Waktu BUD
Suhu Risiko Risiko Risiko
Penyimpanan kontaminasi kontaminasi kontaminasi
rendah sedang tinggi
Suhu kamar 48 jam 30 jam 24 jam
(<25 oC)
Kulkas 14 hari 9 hari 3 hari
(2-8 oC)
Suhu beku 45 hari
(≤-10 oC)

Menurut kategori risiko kontaminasi pengelompokkan tingkat risiko


kontaminasi produk steril ada 5, yaitu (USP, 2012):

1. Segera digunakan

Pemberian injeksi dilakukan dalam waktu 1 jam sesudah


penyiapan/pencampuran sediaan injeksi.

2. Rendah

16
Penyiapan sediaan injeksi dilakukan di Laminar Air Flow Workbench
(LAFW) atau Biological Safety Cabinet (BSC) yang memenuhi
persyaratan partikel dan mikroba ISO Class 5 dan tahapan
pencampurannya sedikit, misalnya: rekonstitusi sediaan injeksi
antibiotik vial satu dosis. Ruang ISO Class 5 adalah salah satu
klasifikasi ruang bersih yang digunakan untuk melakukan
pencampuran sediaan injeksi secara aseptik. Persyaratan ruang ISO
Class 5 adalah jumlah partikel yang berukuran 0,5 mikrometer tidak
lebih dari 3.520 partikel/m3 dan jumlah mikroba kurang dari1 cfu/m3.

3. Sedang

Penyiapan sediaan injeksi dilakukan di ruang ISO Class 5 dan tahapan


pencampurannya banyak; produk steril digunakan untuk lebih dari satu
pasien; atau produk steril digunakan untuk satu pasien namun beberapa
kali penggunaan.

4. Tinggi

Penyiapan sediaan injeksi dengan bahan obat yang tidak steril; atau
penyiapan sediaan steril dengan bahan obat steril namun tidak

17
dilakukan di ruang ISO Class 5; atau waktu/saat sterilisasi sediaan
injeksi dilakukan > 6 jam waktu penyiapan/pencampuran.

d. BUD sediaan vaksin

Tabel 3.4 Beyond Use Date Sediaan Vaksin (USP, 2008)

Nama Vaksin BUD yang diizinkan Persyaratan kondisi


Penyimpanan hasil
Penyiapan produk vaksin
Haemopillus 24 jam Kulkas atau suhu kamar
influenzae tipe-b
Polio Secepatnya Kulkas
Campak, gondok, 8 jam Kulkas atau suhu kamar
dan campak Jerman
Meningoccocal 8 jam Kulkas
Rotavirus 24 jam Suhu kamar

e. BUD Cernevit® injeksi

Stabilitas kimia dan fisika Cernevit® injeksi selama 24 jam setelah


rekonsitusi disimpan pada suhu dingin. Dari sudut pandang mikrobiologis,
produk harus digunakan segera. Jika tidak segera digunakan, waktu dan
kondisi penyimpanan sebelum digunakan tidak lebih dari 24 jam pada

18
suhu 2-8°C, kecuali jika pengenceran telah terjadi dalam kondisi aseptik
yang terkontrol dan divalidasi (FDA, 2014).

3.6. Coronavirus
Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit
mulai dari gejala ringan sampai berat. Terdapat setidaknya dua jenis coronavirus
yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat
seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS). Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis
baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab
COVID-19 ini dinamakan Sars-CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan
antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan
dari kucing luwak ke manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun hewan
yang menjadi sumber penularan COVID-19 ini masih belum diketahui (WHO,
2020).
Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan
pernapasan akut seperti demam, batuk, dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata
5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang
berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan
bahkan kematian. Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan pada sebagian
besar kasus adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas,
dan hasil rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru (Kemenkes
RI, 2020).
Berdasarkan bukti ilmiah, COVID-19 dapat menular dari manusia ke
manusia melalui percikan batuk/bersin (droplet) dan tidak melalui udara. Orang
yang paling berisiko tertular penyakit ini adalah orang yang kontak erat dengan
pasien COVID-19 termasuk yang merawat pasien COVID-19. Rekomendasi
standar untuk mencegah penyebaran infeksi adalah melalui cuci tangan secara
teratur menggunakan sabun dan air bersih, menerapkan etika batuk dan bersin,
menghindari kontak secara langsung dengan ternak dan hewan liar, serta

19
menghindari kontak dekat dengan siapapun yang menunjukkan gejala penyakit
pernapasan seperti batuk dan bersin. Selain itu, menerapkan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI) pada saat berada di fasilitas kesehatan terutama unit
gawat darurat (Kemenkes RI, 2020).

Jaga diri dan keluarga dari virus corona dengan GERMAS (gerakan
masyarakat hidup sehat) diantaranya yaitu (Kemenkes RI, 2020):
 Makan dengan gizi seimbang
 Rajin olahraga dan istirahat yang cukup
 Minum air minimal 8 gelas/hari
 Makan makanan yang dimasak sempurna
 Jaga kebersihan lingkungan
 Konsumsi vitamin C dan vitamin D

3.7. Penggunaan Insulin


Diabetes adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan terjadinya
resistensi insulin, sekresi insulin yang tidak memadai, atau gabungan keduanya.
Manifestasi klinis gangguan tersebut adalah hiperglikemia. Pasien diabetes
diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok, yaitu diabetes tipe 1 yang disebabkan oleh
defisiensi absolut insulin dan diabetes tipe 2 didefinisikan adanya resistensi
insulin dengan meningkatnya kompensasi sekresi insulin yang tidak memadai.
Wanita yang mengalami diabetes selama masa kehamilan dikelompokkan sebagai
diabetes gestasional. Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang
ditandai dengan hiperglikemia yang dikaitkan dengan masalah metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang dapat menimbulkan komplikasi kronik
seperti gangguan mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati (Dipiro, 2008).
DM tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1. Pasien DM tipe 2 mencapai 90-
95% dari keseluruhan populasi penderita DM. Umumnya berusia di atas 45 tahun.
Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan DM
tipe 2 antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak
badan (Smeltzer dan Bare, 2002).

20
Berbeda dengan DM tipe 1, pada pasien DM tipe 2, terutama yang berada
pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam
darahnya. DM tipe 2 dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kurangnya sekresi
insulin ataupun sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespons insulin
secara normal sehingga menyebabkan kadar glukosa tinggi (Smeltzer dan Bare,
2002).
Perawatan yang tepat membutuhkan penetapan target kadar glukosa,
tekanan darah, kadar lipid, monitoring rutin untuk komplikasi, diet, modifikasi
olahraga, obat-obatan, dan self-monitored blood glucose (SMBG) yang sesuai.
Monitoring glukosa saja tidak cukup mengurangi risiko komplikasi
makrovaskular dan mikrovaskular pada orang dengan DM (Dipiro, 2008).
Jika target glukosa tidak tercapai (HbA1C<6,5%, gula darah puasa (GDP)
< 6 mmol/L atau 80-100 mg/dL) dengan modifikasi gaya hidup dalam waktu 3
bulan, oral anti-diabetes (OAD) harus dimulai (PERKENI, 2015). Pengobatan
farmakologi hiperglikemia didasarkan pada dua kunci kelainan metabolik pada
DM tipe 2 yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Dengan demikian,
agen hipoglikemik menargetkan salah satu dari ini kelainan dan terapi kombinasi
seringkali diperlukan untuk mengatasi kedua komponen tersebut. Sulfonilurea dan
glinid langsung merangsang sekresi insulin, sementara thiazolidindion dan
metformin meningkatkan sensitivitas insulin. Penghambat α-glukosidase
memperlambat penyerapan karbohidrat sehingga mengurangi kebutuhan untuk
sekresi insulin post-prandial (ADA, 2007).
Inisiasi awal terapi farmakologi dikaitkan dengan peningkatan kontrol
glukosa darah dan mengurangi komplikasi jangka panjang pada DM tipe 2. Kelas
obat yang digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 adalah sebagai berikut
(Khadori, 2015):
0 Biguanid
1 Sulfonilurea
2 Turunan meglinitid
3 Penghambat α-glukosidase
4 Thiazolidindion
5 Agonis Glucagon Like Peptide–1 (GLP-1)

21
6 Penghambat Dipeptidyl Peptidase IV (DPP-4)
7 Penghambat Selective Sodium-Glucose Transporter-2 (SGLT-2)
8 Insulin

Obat antihiperglikemia suntik yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi


insulin, serta agonis GLP-1. Insulin dapat digunakan pada keadaan antara lain
(PERKENI, 2019):
 HbA1C saat diperiksa ≥ 7,5% dan sudah menggunakan satu atau dua obat
antidiabetes
 HbA1C saat diperiksa > 9%
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OAD dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OAD
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 7 jenis yaitu (PERKENI, 2019):
1. Insulin kerja cepat
2. Insulin kerja pendek
3. Insulin kerja menengah
4. Insulin kerja panjang
5. Insulin kerja ultra panjang
6. Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah, dan kerja cepat
dengan menengah (Premixed insulin)
7. Insulin campuran tetap, kerja ultra panjang dengan kerja cepat

Cara penyuntikan insulin (PERKENI, 2019):

22
1. Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan),
dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
2. Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau drip.
3. Insulin campuran merupakan kombinasi antara insulin kerja pendek dan
insulin kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Namun,
bila tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan
perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara
kedua jenis insulin tersebut.
4. Lokasi penyuntikan (perut, paha, lengan, atau pantat) dan rotasi tempat
penyuntikan harus dilakukan dengan benar.
5. Penyuntikan insulin dengan menggunakan pen insulin dan jarumnya
sebaiknya hanya dipergunakan sekali, meskipun dapat dipakai 2-3 kali
oleh pasien diabetes yang sama, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin.
6. Kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan
pen insulin yang dipakai (jumlah unit/mL dari pen insulin) harus
diperhatikan dan dianjurkan memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang
tersedia hanya U 100 (artinya 100 unit/mL).
7. Penyuntikan dilakukan pada daerah perut sekitar pusat sampai ke samping,
kedua lengan atas bagian luar (bukan daerah deltoid), dan kedua paha
bagian luar.

Cara Penyimpanan Insulin:


1. Insulin yang belum dipakai harus disimpan dalam suhu 2-80C, pada insulin
yang belum pernah digunakan atau ditusuk masih bisa digunakan sampai
batas masa kedaluwarsa.
2. Insulin yang sudah dipakai dapat disimpan disuhu 15-25 0C tidak perlu
didalam kulkas.
3. Pada suhu di atas 300C atau suhu ekstrim, insulin akan mudah kehilangan
kekuatanya.
4. Insulin yang pernah beku tidak boleh digunakan lagi.

Efek samping terapi insulin yaitu (PERKENI, 2019):

23
1. Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
2. Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin.

Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dL.


Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa
adanya gejala-gejala sistem autonom seperti adanya whipple’ striad yaitu
(PERKENI, 2019):
1. Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
2. Kadar glukosa darah yang rendah
3. Gejala berkurang dengan pengobatan

Sebagian pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala glukosa darah


rendah tetapi menunjukkan kadar glukosa darah normal. Di lain pihak, tidak
semua pasien diabetes mengalami gejala hipoglikemia meskipun pada
pemeriksaan kadar glukosa darahnya rendah. Penurunan kesadaran yang terjadi
pada pasien diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh
hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan
sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama
sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah
habis. Pengawasan glukosa darah pasien harus dilakukan selama 24-72 jam,
terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi
dengan OAD kerja panjang. Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal
yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya
kemunduran mental yang bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada pasien
DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.
Pasien dengan risiko hipoglikemia harus diperiksa mengenai kemungkinan
hipoglikemia simtomatik ataupun asimtomatik pada setiap kesempatan
(PERKENI, 2019).

Tabel 3.5 Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada Orang Dewasa (PERKENI, 2019)

Tanda Gejala
Autonomik Rasa lapar, berkeringat, gelisah, Pucat, takikardia,
paresthesia, palpitasi, widened pulse pressure
tremulousness

24
Neuroglikopenik Lemah, lesu, dizziness, confusion, Cortical-blindness,
pusing, perubahan sikap, hipotermia, kejang, koma
gangguan kognitif, pandangan
kabur, dilplopia

Hipoglikemia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian terkait


dengan derajat keparahannya, yaitu (PERKENI, 2019):

1. Hipoglikemia ringan: pasien tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk


pemberian glukosa per oral.
2. Hipoglikemia berat: pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk
pemberian glukosa intravena, glukagon, atau resusitasi lainnya.

Hipoglikemia berat dapat ditemui pada berbagai keadaan, antara lain


(PERKENI, 2019):
1. Kendali glikemik terlalu ketat
2. Hipoglikemia berulang
3. Hilangnya respons glukagon terhadap hipoglikemia setelah 5 tahun
terdiagnosis DM tipe 1
4. Atenuasi epinefrin, norepinefrin, pertumbuhan hormon, respons
kortisol
5. Neuropati autonom
6. Tidak menyadari hipoglikemia
7. End Stage Renal Disease (ESRD)
8. Penyakit/gangguan fungsi hati
9. Malnutrisi
10. Konsumsi alkohol tanpa makanan yang tepat

Rekomendasi pengobatan hipoglikemia (PERKENI, 2019):


Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana).
1. Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain
yang berisi glukosa juga efektif untuk meningkatkan glukosa darah.
2. Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respons
peningkatan glukosa darah.

25
3. Glukosa 15–20 g (2–3 sendok makan gula pasir) yang dilarutkan dalam air
adalah terapi pilihan pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar.
4. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah 15
menit pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15
menit setelah pengobatan hipoglikemia masih tetap ada, pengobatan dapat
diulang kembali.
5. Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal,
pasien diminta untuk makan atau mengonsumsi snack untuk mencegah
berulangnya hipoglikemia.

Pengobatan pada hipoglikemia berat:


1. Hentikan obat–obat antidiabetes. Jika pasien menggunakan insulin, maka
perlu dilakukan penyesuaian dosis.
2. Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa
pemberian dekstrosa 10% sebanyak 150 mL dalam 15 menit atau
dekstrosa 40% sebanyak 25 mL (hati-hati risiko terjadinya ekstravasasi).
3. Periksa glukosa darah tiap 15-30 menit setelah pemberian i.v tersebut
dengan target 70 mg/dL. Bila target belum tercapai maka prosedur dapat
diulang.
4. Jika glukosa darah sudah mencapai target, maka pemeliharaannya
diberikan dekstrosa 10% dengan kecepatan 100 mL/jam (hati-hati pada
pasien dengan gangguan ginjal dan jantung) hingga pasien mampu untuk
makan.
5. Pemberian glukagon 1 mg intramuskular dapat diberikan sebagai alternatif
lain terapi hipoglikemia (hati-hati pada pasien malnutrisi kronik,
penyalahgunaan alkohol, dan penyakit hati berat).
6. Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia.

Pencegahan hipoglikemia (PERKENI, 2019):


1. Lakukan edukasi tentang tanda dan gejala hipoglikemia, penanganan
sementara, dan hal lain harus dilakukan.
2. Anjurkan melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri, khususnya bagi
pengguna insulin atau obat oral golongan insulin sekretagog.

26
3. Lakukan edukasi tentang obat-obatan atau insulin yang dikonsumsi, dosis,
waktu mengonsumsi, dan efek samping.
4. Bagi dokter yang menghadapi pasien DM dengan kejadian hipoglikemia
perlu melalukan:
 Evaluasi secara menyeluruh tentang status kesehatan pasien.
 Evaluasi program pengobatan yang diberikan dan bila diperlukan
melakukan program ulang dengan memperhatikan berbagai aspek
seperti jadwal makan, kegiatan olahraga, atau adanya penyakit
penyerta yang memerlukan obat lain yang mungkin berpengaruh
terhadap glukosa darah.
 Bila diperlukan maka dapat dilakukan penggantian obat-obatan lain
yang lebih kecil kemungkinan menimbulkan hipoglikemia.

Beberapa terapi non farmakologi yang dapat dilakukan oleh pasien DM tipe 2
yaitu (Dexit et al., 2014):
1. Olahraga aerobik
Beberapa pedoman menyarankan olahraga aerobik untuk pasien DM tipe 2
sangat penting untuk tercapainya kontrol kadar glukosa dan mengurangi
risiko terjadinya komplikasi. American College of Sports Medicine
(ACSM) merekomendasikan olahraga ini harus dilakukan 5 hari tiap
minggu untuk pasien dewasa DM tipe 2.
2. Kontrol berat badan
Pasien dengan DM tipe 2 seringkali membutuhkan pembatasan kalori
untuk menurunkan berat badan. Rencana makan atau diet harus mencakup
pilihan makanan yang tepat dengan ukuran porsi yang mencerminkan
kebutuhan energi untuk memastikan keseimbangan energi yang tepat.
Tipe diet yang direkomendasikan yaitu:
a. Diet karbohidrat untuk mencegah komplikasi neuropati
Sarapan terdiri dari 1/3 makanan yang mengandung zat tepung, 1/3
buah, 1/3 protein. Makan siang dan makan malam terdiri dari 1/2
sayuran, 1/4 protein, 1/4 makanan yang mengandung zat tepung.
Pasien disarankan untuk memilih makanan ringan yang
mengandung karbohidrat sekitar 20 gram. Umumnya porsi dewasa

27
terdiri dari 45-60 gram karbohidrat. Makanan yang mengandung
sekitar 15 gram karbohidrat diantaranya yaitu 1 lembar roti, 1/2
cangkir sereal, buah (sebesar bola tenis), dan 1 cangkir susu rendah
lemak.
b. Diet serat
Diet serat pada pasien DM tipe 2 memegang peranan penting
dalam mengontrol hiperglikemia. Beberapa studi menunjukkan
kombinasi efek dari adanya serat terhadap kontrol diabetes dan
lemak. Asupan serat dalam jumlah yang banyak merupakan dasar
manajemen terapi hiperglikemia, hiperinsulinemia, dan
meningkatkan lemak darah. Pasien direkomendasikan untuk
mengonsumsi serat sebanyak 30 g per hari.
c. Alkohol
Membatasi penggunaan alkohol kurang dari 2 kali per hari.
Alkohol tidak direkomendasikan untuk pasien dengan kadar
trigliserida tinggi, memiliki gangguan liver, wanita
hamil/menyusui. Jika pasien DM ingin meminum alkohol,
disarankan untuk meminumnya bersama makan dan tidak dalam
keadaan perut kosong.
3. Yoga untuk mencegah komplikasi neuropati
Program yoga akan melatih kekuatan otot dan meningkatkan
oksigen, penurunan denyut jantung yang terlalu cepat, dan penurunan
risiko strok. Yoga juga dapat memengaruhi sistem metabolik seperti
penurunan lipid dari darah dan laktat selama sedang melakukan
aktivitas maksimal. Efek-efek relaksasi seperti inilah yang dapat
membantu menurunkan risiko terjadinya komplikasi neuropati

28
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Cernevit® dapat direkonstitusi dengan 5 ml water for injections atau
dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
2. Cernevit® injeksi stabil selama 24 jam setelah rekonsitusi dan disimpan
pada suhu dingin 2-8oC.
3. Perbedaan pemilihan penggunaan asam traneksamat atau vitamin K, jika
penyebab masalah yang terganggu adalah faktor koagulasi yang
bergantung pada vitamin K (II, VII, IX, dan X), maka diberikan vitamin
K. Namun, apabila faktor koagulasi bermasalah pada fibrin maka
diberikan asam traneksamat.
4. Vitamin K dapat diinjeksikan pada sc, iv atau im.
5. Injeksi insulin dapat disuntikan secara subkutan pada bagian perut, paha,
pantat, dan lengan.
6. COVID-19 dapat dicegah penyebarannya melalui cuci tangan secara
teratur menggunakan sabun dan air bersih serta menerapkan etika batuk
dan bersin.

29
DAFTAR PUSTAKA

ADA. 2007. Clinical Practise Recommendation : Report of the Expert Committee


on the Diagnosis and Classifications of Diabetes Mellitus Diabetes Care.
USA: ADA, 2-24.
Brayfield, A. 2013. Vitamin K substances. In: Martindale: The Complete Drug
Reference. London: Royal Pharmaceutical Society Pharmaceutical Press.
Britt, R. B., dan Brown, J.N. 2018. Characterizing the Severe Reactions of
Parenteral Vitamin K1. Clinical and Applied Thrombosis/Haemostasis,
24(1): 5-12.
Christos, S., dan Naples, R. 2016. Anticoagulantion Reversal and Treatment
Strategies in Major Bleeding: Update 2016. West Journal Emergency
Medicine, 17(3): 264-270.
Dexit, S., Alahmari, Faisal Asiri. 2014. Pharmacological and Nonpharmacological
therapies in the Management of Diabetic Peripheral Neuropathy in Type 2
Diabetes :A Comprehensive Review. Journal of Cardiovascular Disease
Research, Vol. 5 (4): 37-48.
Dipiro JT, Talbert RL, Yee, GC, Matzke GR, Wells BG & Posey LM. 2008.
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. 7th Ed. The McGraw-
Hill Companies, Inc. New York.
Fiore, L.D., Scola, M.A., Cantillon, C.E., Brophy, M.T. 2001. Anaphylactoid
reactions to vitamin K. J Thromb Thrombolysis, 11(2):175-183.
Harter, K., Levine, M., dan Henderson, S.O. 2015. Anticoagulation Drug
Therapy: A Review. Western Journal of Emergency Medicine, 16(1): 11–
17.
Holbrook, A., Schulman, S., Witt D.M., et al. 2012. American College of Chest
Physicians. Evidence-based management of anticoagulant therapy:
antithrombotic therapy and prevention of thrombosis, 9th ed: American
College of Chest Physicians Evidence-Based Clinical Practice Guidelines.
Chest, 141(2): e152S-e184S.
Hourlier, H., dan Fennema, P. 2018. Tranexamic Acid Use And Risk Of
Thrombosis In Regular Users Of Antithrombotics Undergoing Primary
Total Knee Arthroplasty: A Prospectivecohort Study. Blood Transfusion,
16(1): 44-52.
KEMENKES RI. 2020. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus
Disease (COVID-19). Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

30
Khadori, R. 2015. Type 2 Diabetes Mellitus, (online),
(http://emedicine.medscape.com/article/117853-treatment#d9, diakses
Agustus 2020).
Leminen, H., dan Hurskainen, R. 2012. Tranexamic Acid for the Treatment of
Heavy Menstrual Bleeding: Efficacy and Safety. International Journal
Womens Health, 2012(4):413-421.
Makris, M., Veen, J.J., Maclean, R. 2010. Warfarin Anticoagulation Reversal:
Management Of The Asymptomatic And Bleeding Patient. J Thromb
Thrombolysis, 29(2):171-181.
Marchili, M.R., Santoro, E., Marchesi, A., Bianchi, S., Aufiero, L.R., dan Villani,
A. 2018. Vitamin K Deficiency: A Case Report and Review of Current
Guidelines. Italian Journal of Pediatrics. 2018(1): 44: 36.
PERKENI, 2019. Pedoman Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
Dewasa Di Indonensia. PB PERKENI.
Rathgeber, E. Sepulveda, S., Vadder, L. 2015. Vitamin K Route of Administration
for Warfarin Reversal. Spring, 6: 1-4.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh
Agung Waluyo…(dkk), EGC, Jakarta.
World Health Organization (WHO).2020. Questions and answer on coronavirus
(covid-19)- Update https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-
coronavirus-2019/question-and-answers-hub/q-a-detail/q-a-coronaviruses.
Diakses 4 Agustus 2020.

31

Anda mungkin juga menyukai