Oleh:
Nunung Purwaningsih 190070600011003
Qisty Aulia Khoiry 190070600011011
Savvy Augustin Tirta 190070600011012
Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Apoteker pada Program Studi Profesi Apoteker Jurusan Farmasi
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Disetujui oleh:
apt. Ema Pristi Yunita, S.Farm. M.Farm.Klin. apt. Nicky Pratiwi Yuliayuri S.Farm.
NIK. 2012058602282001 STRA. 19950724/STRA-UNEJ/2019/259293
Mengetahui,
Ketua Program Studi Profesi Apoteker
Jurusan Farmasi FKUB
i
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iii
DAFTAR TABEL...................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Petunjuk Umum Penetapan Beyond Use Date Obat Racikan Non
Steril......................................................................................................10
Tabel 3.2 Beyond Use Date Sediaan injeksi .........................................................12
Tabel 3.3 Beyond Use Date Sediaan Vaksin..........................................................13
Tabel 3.4 Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada Orang Dewasa...........................20
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian rumah sakit adalah suatu pelayanan langsung
apoteker kepada pasien dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan kefarmasian di rumah sakit
meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai serta kegiatan pelayanan farmasi klinik. Pelayanan
farmasi klinik merupakan pelayanan langsung diberikan apoteker kepada pasien
untuk meningkatkan outcome terapi, meminimalkan risiko terjadinya efek
samping obat, keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien
(quality of life) terjamin (Kemenkes, 2016).
Di era global seperti saat ini, seorang tenaga kesehatan dituntut untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pelayanan yang bermutu dapat
diperoleh dari kolaborasi yang baik antar profesi seperti dokter, perawat, dan
apoteker dalam kerjasama tim (Keith & Askin, 2008). Salah satu upaya dalam
mewujudkan kolaborasi yang efektif antarprofesi perlu diadakan praktik
kolaborasi sejak dini. Strategi Interprofessional Education (IPE) dipilih sebagai
langkah yang dilakukan untuk mewujudkan kolaborasi melalui proses
pembelajaran dengan melatih mahasiswa pendidikan kesehatan (WHO, 2010).
Praktik kolaborasi dalam pelayanan kesehatan terjadi ketika banyak tenaga
kesehatan dari profesi dengan latar belakang yang berbeda (apoteker, dokter,
perawat, bidan, dan ahli gizi) memberikan pelayanan yang komprehensif dengan
bekerja bersama dengan pasien dan keluarga pasien untuk memberikan perawatan
yang berkualitas (ACCP, 2009). Praktik kolaborasi dapat meningkatkan
koordinasi pelayanan kesehatan yang tepat, mengurangi komplikasi pada pasien,
meningkatkan kepuasan pasien, mengurangi durasi pengobatan, mengurangi biaya
perawatan, mengurangi insiden bunuh diri, serta mengurangi kunjungan rawat
jalan (WHO, 2010).
Interprofessional Education penting diimplementasikan untuk pencapaian
keselamatan pasien. Kolaborasi yang lemah pada tenaga kesehatan antar profesi
secara tidak langsung menyebabkan pasien berada dalam sebuah risiko kesalahan
1
perawatan yang akan memengaruhi keselamatan jiwa pasien. Interprofessional
Education (IPE) terbukti dapat meningkatkan upaya Interprofessional
Collaboration karena apabila peningkatan kinerja hanya dialami oleh satu profesi
belum tentu akan berpengaruh signifikan terhadap keselamatan pasien.
Interprofessional Education yang dilakukan sejak dini akan meningkatkan fokus
pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh antar profesi tenaga kesehatan (HPEQ,
2012).
1.2. Tujuan
1. Menjalin komunikasi antar tenaga kesehatan (apoteker, dokter, perawat,
bidan, dan ahli gizi) di RST Tk. II dr. Soepraoen Malang.
2. Pemberian informasi melalui media leaflet dan Pelayanan Informasi Obat
(PIO) terkait cara penggunaan insulin, BUD Cernevit®, Corona Virus,
rute parenteral vitamin K, serta perbedaan indikasi vitamin K dan asam
traneksamat.
2
BAB II
RESEARCH AND DEVELOPMENT
Tenaga kesehatan di rumah sakit seperti dokter, dokter gigi, maupun perawat
sering menghadapi situasi klinik yang memerlukan informasi obat untuk
mengambil langkah terhadap pengobatan pasien
3
2.2. Kerangka Operasional
4
BAB III
PEMBAHASAN
5
dari injeksi secara intramuskular yaitu pelepasannya yang perlahan sehingga dapat
bertahan di tubuh dalam waktu yang lama (terjaga hingga 36 jam) (Rathgeber et
al., 2015).
6
Faktor koagulasi bersirkulasi sebagai prekursor tidak aktif (zymogens).
Koagulasi darah memerlukan serangkaian reaksi proteolitik yang mengalir. Pada
setiap langkah, faktor pembekuan mengalami proteolisis terbatas dan menjadi
protease aktif (ditandai dengan huruf kecil "a," seperti dalam Xa). Faktor
koagulasi ini memainkan peran kunci dalam jalur koagulasi (Christos dan Naples,
2016).
Asam traneksamat dan vitamin K memiliki efek sebagai agen reversal
antikoagulan dengan mekanisme yang berbeda. Asam traneksamat memiliki
mekanisme menghambat fibrinolisis dengan cara menghambat ikatan plasma pada
fibrin (Hourlier dan Fennema, 2018). Sementara itu, vitamin K memang
merupakan kofaktor yang digunakan untuk membantu pada aktivitas pembekuan
darah (faktor II (prothrombin), VII, IX, dan X (Britt dan Brown, 2018).
FDA menyetujui indikasi penggunaan asam traneksamat sebagai
pengobatan pada pendarahan besar menstruasi dan pencegahan jangka pendek
pendarahan pada pasien hemofilia (Leminen dan Hurskainen 2012).
Indikasi vitamin K oleh FDA digunakan sebagai antikoagulan pada pasien
defisiensi hipoprotombinemia disebabkan oleh koumarin, terapi antibiotik atau
karena faktor terhambatnya absorbsi atau sintesis vitamin K, juga sebagai
profilaksis dan pengobatan pada pendarahan bayi baru lahir (Marchilli et al.,
2018).
Asam traneksamat maupun vitamin K keduanya digunakan pada manajemen
terapi pencegahan pendarahan besar pada penggunaan obat antikoagulan. Adapun
perbedaan pemilihan penggunaan asam traneksamat atau vitamin K berdasarkan
jenis antikoagulan yang digunakan sebelumnya untuk penanganan manajemen
antikoagulan reversal dan untuk penangananan pendarahan yang dilihat
berdasarkan penyebabnya. Jika penyebab masalah yang terganggu adalah faktor
koagulasi yang bergantung pada vitamin K (II, VII, IX, dan X) maka diberikan
vitamin K. Namun, apabila faktor koagulasi bermasalah pada fibrin maka
diberikan asam traneksamat. Menurut Harter et al., 2015, vitamin K diberikan jika
pasien sebelumnya menggunakan warfarin dengan monitoring parameter
laboratorium INR. Sementara itu, asam traneksamat digunakan pada pasien yang
menggunakan obat golongan fibrinolitik seperti alteplase, reteplase, tenekteplase,
7
dan urokinase dengan monitoring parameter laboratorium PT, aPTT, dan
fibrinogen.
3.3. Kelarutan dan Stabilitas Cernevit® Injeksi
Cernevit® injeksi merupakan serbuk steril yang mengandung beberapa
vitamin yaitu vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B1, vitamin B2, vitamin
B3, vitamin B5, vitamin B6, vitamin B12, dan asam folat yang dikombinasikan
dengan asam glikolat dan lesitin. Penyediaan vitamin yang sesuai dengan
kebutuhan harian orang dewasa dan anak-anak di atas 11 tahun memerlukan
suplementasi multivitamin melalui jalur parenteral ketika nutrisi oral
dikontraindikasikan serta tidak mungkin atau tidak mencukupi (misalnya karena
malnutrisi, malabsorpsi gastrointestinal dan nutrisi parenteral) (FDA, 2014).
Kandungan Dosis
Retinol palmitat sesuai dengan Retinol (vitamin A) 3500 IU
Cholecalciferol (vitamin D3) 200 IU
DL α-tocoferol 10,2 mg
Sesuai dengan α- tokoferol (Vitamin E) 11,2 IU
Asam askorbat (Vitamin C) 125 mg
Nicotinamide (Vitamin B3) 46 mg
Dexpanthenol 16,15 mg
Sesuai dengan asam pantotenat (Vitamin B5) 17,25 mg
Piridoksin hidroklorida 5,5 mg
sesuai dengan piridoksin (Vitamin B6) 4,53 mg
Riboflavin natrium fosfat 5,67 mg
Sesuai dengan riboflavin (Vitamin B2) 4,14 mg
Cocarboxylase tetrahydrate 5,8 mg
Sesuai dengan tiamin (Vitamin B1) 3,51 mg
Asam folat 414 mcg
8
D-Biotin 60 mcg
Cyanocobalamin (Vitamin B12) 5,5 mcg
Bahan - bahan lainnya
Glisin 250 mg
Asam glikolat 140 mg
Lesitin kedelai 112,5 mg
Natrium hidroksida dan/atau asam klorida ditambahkan untuk mengatur
pH menjadi 5,9
9
3.5. Beyond Use Date (BUD)
BUD merupakan batas waktu penggunaan produk obat setelah
diracik/disiapkan atau setelah kemasan primernya dibuka/dirusak (USP, 2012).
Kemasan primer disini berarti kemasan yang langsung bersentuhan dengan bahan
obat seperti: botol, ampul, vial, atau blister. Pengertian BUD berbeda dari
expiration date (ED) atau tanggal kedaluwarsa karena ED menggambarkan batas
waktu penggunaan produk obat setelah diproduksi oleh pabrik farmasi sebelum
kemasannya dibuka. BUD bisa sama dengan atau lebih pendek daripada ED. ED
dicantumkan oleh pabrik farmasi pada kemasan produk obat, sementara BUD
tidak selalu tercantum. Idealnya, BUD dan ED ditetapkan berdasarkan hasil uji
stabilitas produk obat dan dicantumkan pada kemasannya (University of North
Carolina, 2012).
BUD dan ED menentukan batasan waktu dimana suatu produk obat masih
berada dalam keadaan stabil. Suatu produk obat yang stabil berarti memiliki
karakteristik kimia, fisika, mikrobiologi, terapetik, dan toksikologi yang tidak
berubah dari spesifikasi yang sudah ditetapkan oleh pabrik obat, baik selama
penyimpanan maupun penggunaan. Menggunakan obat yang sudah melewati
BUD atau ED-nya berarti menggunakan obat yang stabilitasnya tidak lagi
terjamin. Mengingat BUD tidak selalu tercantum pada kemasan produk obat maka
penting bagi tenaga kesehatan, khususnya apoteker untuk mengetahui tentang
ketentuan-ketentuan umum terkait BUD serta bagaimana cara menetapkan BUD
berbagai produk obat, baik produk nonsteril maupun steril kemudian
mencantumkannya (University of North Carolina, 2012).
Tabel 3.2 Petunjuk Umum Penetapan Beyond Use Date Obat Racikan Non Steril
(USP, 2012)
10
terkontrol.
Formulasi cair dan atau semi padat BUD tidak lebih dari 30 hari.
topikal/dermal/mukosal yang
mengandung air
Formulasi yang tidak mengandung BUD tidak lebih dari 25%
air waktu yang tersisa dari masing-
masing obat hingga
kedaluwarsa atau 6 bulan.
Dipilih yang lebih singkat.
Jika formulasi terbuat dari sediaan jadi, BUD tidak lebih dari 25%
dari waktu kedaluwarsa masing-masing bahan atau 6 bulan dari waktu
peracikan, manapun yang lebih dahulu tercapai. Jika lebih dari waktu
kadaluwarsa masing-masing bahan atau 6 bulan dari waktu peracikan,
manapun yang lebih dahulu tercapai.
BUD tidak lebih dari 14 hari saat disimpan dalam suhu dingin 2-
8oC.
11
3. Sedian semipadat, topikal/dermal yang mengandung air dan sediaan
untuk cairan mukosa maka BUD sediaan tidak lebih dari 30 hari.
1. Serbuk dan granul
2. Larutan
3. Suspensi
12
BUD selambat-lambatnya 30 hari setelah persiapan. BUD 7-
17 hari yang bisa diberikan pada sediaan:
4. Emulsi
13
adalah 25% dari waktu yang tersisa pada tanggal kedaluwarsa produk
atau 6 bulan.
6. Gel
BUD pada sediaan gel yang mengandung air paling lambat 14 hari
sedangkan untuk gel topikal yang mengandung air tidak lebih dari 30
hari pada suhu kamar.
14
9. Sediaan Inhaler
15
Tabel 3.3 Beyond Use Date Sediaan Injeksi (USP, 2008)
Waktu BUD
Suhu Risiko Risiko Risiko
Penyimpanan kontaminasi kontaminasi kontaminasi
rendah sedang tinggi
Suhu kamar 48 jam 30 jam 24 jam
(<25 oC)
Kulkas 14 hari 9 hari 3 hari
(2-8 oC)
Suhu beku 45 hari
(≤-10 oC)
1. Segera digunakan
2. Rendah
16
Penyiapan sediaan injeksi dilakukan di Laminar Air Flow Workbench
(LAFW) atau Biological Safety Cabinet (BSC) yang memenuhi
persyaratan partikel dan mikroba ISO Class 5 dan tahapan
pencampurannya sedikit, misalnya: rekonstitusi sediaan injeksi
antibiotik vial satu dosis. Ruang ISO Class 5 adalah salah satu
klasifikasi ruang bersih yang digunakan untuk melakukan
pencampuran sediaan injeksi secara aseptik. Persyaratan ruang ISO
Class 5 adalah jumlah partikel yang berukuran 0,5 mikrometer tidak
lebih dari 3.520 partikel/m3 dan jumlah mikroba kurang dari1 cfu/m3.
3. Sedang
4. Tinggi
Penyiapan sediaan injeksi dengan bahan obat yang tidak steril; atau
penyiapan sediaan steril dengan bahan obat steril namun tidak
17
dilakukan di ruang ISO Class 5; atau waktu/saat sterilisasi sediaan
injeksi dilakukan > 6 jam waktu penyiapan/pencampuran.
18
suhu 2-8°C, kecuali jika pengenceran telah terjadi dalam kondisi aseptik
yang terkontrol dan divalidasi (FDA, 2014).
3.6. Coronavirus
Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit
mulai dari gejala ringan sampai berat. Terdapat setidaknya dua jenis coronavirus
yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat
seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS). Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis
baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab
COVID-19 ini dinamakan Sars-CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan
antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan
dari kucing luwak ke manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun hewan
yang menjadi sumber penularan COVID-19 ini masih belum diketahui (WHO,
2020).
Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan
pernapasan akut seperti demam, batuk, dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata
5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang
berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan
bahkan kematian. Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan pada sebagian
besar kasus adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas,
dan hasil rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru (Kemenkes
RI, 2020).
Berdasarkan bukti ilmiah, COVID-19 dapat menular dari manusia ke
manusia melalui percikan batuk/bersin (droplet) dan tidak melalui udara. Orang
yang paling berisiko tertular penyakit ini adalah orang yang kontak erat dengan
pasien COVID-19 termasuk yang merawat pasien COVID-19. Rekomendasi
standar untuk mencegah penyebaran infeksi adalah melalui cuci tangan secara
teratur menggunakan sabun dan air bersih, menerapkan etika batuk dan bersin,
menghindari kontak secara langsung dengan ternak dan hewan liar, serta
19
menghindari kontak dekat dengan siapapun yang menunjukkan gejala penyakit
pernapasan seperti batuk dan bersin. Selain itu, menerapkan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI) pada saat berada di fasilitas kesehatan terutama unit
gawat darurat (Kemenkes RI, 2020).
Jaga diri dan keluarga dari virus corona dengan GERMAS (gerakan
masyarakat hidup sehat) diantaranya yaitu (Kemenkes RI, 2020):
Makan dengan gizi seimbang
Rajin olahraga dan istirahat yang cukup
Minum air minimal 8 gelas/hari
Makan makanan yang dimasak sempurna
Jaga kebersihan lingkungan
Konsumsi vitamin C dan vitamin D
20
Berbeda dengan DM tipe 1, pada pasien DM tipe 2, terutama yang berada
pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam
darahnya. DM tipe 2 dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kurangnya sekresi
insulin ataupun sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespons insulin
secara normal sehingga menyebabkan kadar glukosa tinggi (Smeltzer dan Bare,
2002).
Perawatan yang tepat membutuhkan penetapan target kadar glukosa,
tekanan darah, kadar lipid, monitoring rutin untuk komplikasi, diet, modifikasi
olahraga, obat-obatan, dan self-monitored blood glucose (SMBG) yang sesuai.
Monitoring glukosa saja tidak cukup mengurangi risiko komplikasi
makrovaskular dan mikrovaskular pada orang dengan DM (Dipiro, 2008).
Jika target glukosa tidak tercapai (HbA1C<6,5%, gula darah puasa (GDP)
< 6 mmol/L atau 80-100 mg/dL) dengan modifikasi gaya hidup dalam waktu 3
bulan, oral anti-diabetes (OAD) harus dimulai (PERKENI, 2015). Pengobatan
farmakologi hiperglikemia didasarkan pada dua kunci kelainan metabolik pada
DM tipe 2 yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Dengan demikian,
agen hipoglikemik menargetkan salah satu dari ini kelainan dan terapi kombinasi
seringkali diperlukan untuk mengatasi kedua komponen tersebut. Sulfonilurea dan
glinid langsung merangsang sekresi insulin, sementara thiazolidindion dan
metformin meningkatkan sensitivitas insulin. Penghambat α-glukosidase
memperlambat penyerapan karbohidrat sehingga mengurangi kebutuhan untuk
sekresi insulin post-prandial (ADA, 2007).
Inisiasi awal terapi farmakologi dikaitkan dengan peningkatan kontrol
glukosa darah dan mengurangi komplikasi jangka panjang pada DM tipe 2. Kelas
obat yang digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 adalah sebagai berikut
(Khadori, 2015):
0 Biguanid
1 Sulfonilurea
2 Turunan meglinitid
3 Penghambat α-glukosidase
4 Thiazolidindion
5 Agonis Glucagon Like Peptide–1 (GLP-1)
21
6 Penghambat Dipeptidyl Peptidase IV (DPP-4)
7 Penghambat Selective Sodium-Glucose Transporter-2 (SGLT-2)
8 Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 7 jenis yaitu (PERKENI, 2019):
1. Insulin kerja cepat
2. Insulin kerja pendek
3. Insulin kerja menengah
4. Insulin kerja panjang
5. Insulin kerja ultra panjang
6. Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah, dan kerja cepat
dengan menengah (Premixed insulin)
7. Insulin campuran tetap, kerja ultra panjang dengan kerja cepat
22
1. Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan),
dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
2. Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau drip.
3. Insulin campuran merupakan kombinasi antara insulin kerja pendek dan
insulin kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Namun,
bila tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan
perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara
kedua jenis insulin tersebut.
4. Lokasi penyuntikan (perut, paha, lengan, atau pantat) dan rotasi tempat
penyuntikan harus dilakukan dengan benar.
5. Penyuntikan insulin dengan menggunakan pen insulin dan jarumnya
sebaiknya hanya dipergunakan sekali, meskipun dapat dipakai 2-3 kali
oleh pasien diabetes yang sama, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin.
6. Kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan
pen insulin yang dipakai (jumlah unit/mL dari pen insulin) harus
diperhatikan dan dianjurkan memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang
tersedia hanya U 100 (artinya 100 unit/mL).
7. Penyuntikan dilakukan pada daerah perut sekitar pusat sampai ke samping,
kedua lengan atas bagian luar (bukan daerah deltoid), dan kedua paha
bagian luar.
23
1. Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
2. Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin.
Tabel 3.5 Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada Orang Dewasa (PERKENI, 2019)
Tanda Gejala
Autonomik Rasa lapar, berkeringat, gelisah, Pucat, takikardia,
paresthesia, palpitasi, widened pulse pressure
tremulousness
24
Neuroglikopenik Lemah, lesu, dizziness, confusion, Cortical-blindness,
pusing, perubahan sikap, hipotermia, kejang, koma
gangguan kognitif, pandangan
kabur, dilplopia
25
3. Glukosa 15–20 g (2–3 sendok makan gula pasir) yang dilarutkan dalam air
adalah terapi pilihan pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar.
4. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah 15
menit pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15
menit setelah pengobatan hipoglikemia masih tetap ada, pengobatan dapat
diulang kembali.
5. Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal,
pasien diminta untuk makan atau mengonsumsi snack untuk mencegah
berulangnya hipoglikemia.
26
3. Lakukan edukasi tentang obat-obatan atau insulin yang dikonsumsi, dosis,
waktu mengonsumsi, dan efek samping.
4. Bagi dokter yang menghadapi pasien DM dengan kejadian hipoglikemia
perlu melalukan:
Evaluasi secara menyeluruh tentang status kesehatan pasien.
Evaluasi program pengobatan yang diberikan dan bila diperlukan
melakukan program ulang dengan memperhatikan berbagai aspek
seperti jadwal makan, kegiatan olahraga, atau adanya penyakit
penyerta yang memerlukan obat lain yang mungkin berpengaruh
terhadap glukosa darah.
Bila diperlukan maka dapat dilakukan penggantian obat-obatan lain
yang lebih kecil kemungkinan menimbulkan hipoglikemia.
Beberapa terapi non farmakologi yang dapat dilakukan oleh pasien DM tipe 2
yaitu (Dexit et al., 2014):
1. Olahraga aerobik
Beberapa pedoman menyarankan olahraga aerobik untuk pasien DM tipe 2
sangat penting untuk tercapainya kontrol kadar glukosa dan mengurangi
risiko terjadinya komplikasi. American College of Sports Medicine
(ACSM) merekomendasikan olahraga ini harus dilakukan 5 hari tiap
minggu untuk pasien dewasa DM tipe 2.
2. Kontrol berat badan
Pasien dengan DM tipe 2 seringkali membutuhkan pembatasan kalori
untuk menurunkan berat badan. Rencana makan atau diet harus mencakup
pilihan makanan yang tepat dengan ukuran porsi yang mencerminkan
kebutuhan energi untuk memastikan keseimbangan energi yang tepat.
Tipe diet yang direkomendasikan yaitu:
a. Diet karbohidrat untuk mencegah komplikasi neuropati
Sarapan terdiri dari 1/3 makanan yang mengandung zat tepung, 1/3
buah, 1/3 protein. Makan siang dan makan malam terdiri dari 1/2
sayuran, 1/4 protein, 1/4 makanan yang mengandung zat tepung.
Pasien disarankan untuk memilih makanan ringan yang
mengandung karbohidrat sekitar 20 gram. Umumnya porsi dewasa
27
terdiri dari 45-60 gram karbohidrat. Makanan yang mengandung
sekitar 15 gram karbohidrat diantaranya yaitu 1 lembar roti, 1/2
cangkir sereal, buah (sebesar bola tenis), dan 1 cangkir susu rendah
lemak.
b. Diet serat
Diet serat pada pasien DM tipe 2 memegang peranan penting
dalam mengontrol hiperglikemia. Beberapa studi menunjukkan
kombinasi efek dari adanya serat terhadap kontrol diabetes dan
lemak. Asupan serat dalam jumlah yang banyak merupakan dasar
manajemen terapi hiperglikemia, hiperinsulinemia, dan
meningkatkan lemak darah. Pasien direkomendasikan untuk
mengonsumsi serat sebanyak 30 g per hari.
c. Alkohol
Membatasi penggunaan alkohol kurang dari 2 kali per hari.
Alkohol tidak direkomendasikan untuk pasien dengan kadar
trigliserida tinggi, memiliki gangguan liver, wanita
hamil/menyusui. Jika pasien DM ingin meminum alkohol,
disarankan untuk meminumnya bersama makan dan tidak dalam
keadaan perut kosong.
3. Yoga untuk mencegah komplikasi neuropati
Program yoga akan melatih kekuatan otot dan meningkatkan
oksigen, penurunan denyut jantung yang terlalu cepat, dan penurunan
risiko strok. Yoga juga dapat memengaruhi sistem metabolik seperti
penurunan lipid dari darah dan laktat selama sedang melakukan
aktivitas maksimal. Efek-efek relaksasi seperti inilah yang dapat
membantu menurunkan risiko terjadinya komplikasi neuropati
28
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Cernevit® dapat direkonstitusi dengan 5 ml water for injections atau
dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
2. Cernevit® injeksi stabil selama 24 jam setelah rekonsitusi dan disimpan
pada suhu dingin 2-8oC.
3. Perbedaan pemilihan penggunaan asam traneksamat atau vitamin K, jika
penyebab masalah yang terganggu adalah faktor koagulasi yang
bergantung pada vitamin K (II, VII, IX, dan X), maka diberikan vitamin
K. Namun, apabila faktor koagulasi bermasalah pada fibrin maka
diberikan asam traneksamat.
4. Vitamin K dapat diinjeksikan pada sc, iv atau im.
5. Injeksi insulin dapat disuntikan secara subkutan pada bagian perut, paha,
pantat, dan lengan.
6. COVID-19 dapat dicegah penyebarannya melalui cuci tangan secara
teratur menggunakan sabun dan air bersih serta menerapkan etika batuk
dan bersin.
29
DAFTAR PUSTAKA
30
Khadori, R. 2015. Type 2 Diabetes Mellitus, (online),
(http://emedicine.medscape.com/article/117853-treatment#d9, diakses
Agustus 2020).
Leminen, H., dan Hurskainen, R. 2012. Tranexamic Acid for the Treatment of
Heavy Menstrual Bleeding: Efficacy and Safety. International Journal
Womens Health, 2012(4):413-421.
Makris, M., Veen, J.J., Maclean, R. 2010. Warfarin Anticoagulation Reversal:
Management Of The Asymptomatic And Bleeding Patient. J Thromb
Thrombolysis, 29(2):171-181.
Marchili, M.R., Santoro, E., Marchesi, A., Bianchi, S., Aufiero, L.R., dan Villani,
A. 2018. Vitamin K Deficiency: A Case Report and Review of Current
Guidelines. Italian Journal of Pediatrics. 2018(1): 44: 36.
PERKENI, 2019. Pedoman Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
Dewasa Di Indonensia. PB PERKENI.
Rathgeber, E. Sepulveda, S., Vadder, L. 2015. Vitamin K Route of Administration
for Warfarin Reversal. Spring, 6: 1-4.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh
Agung Waluyo…(dkk), EGC, Jakarta.
World Health Organization (WHO).2020. Questions and answer on coronavirus
(covid-19)- Update https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-
coronavirus-2019/question-and-answers-hub/q-a-detail/q-a-coronaviruses.
Diakses 4 Agustus 2020.
31