yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Penyebab utama pada gangguan ginjal kronik adalah akibat
kerusakan jaringan pada glomerulus (nefron-loss). Kerusakan jaringan ini bertambah
secara progresif menyebabkan kerusakan yang semakin parah. Kerusakan jaringan pada
ginjal ini paling umum dan juga kasusnya paling banyak terjadi akibat DM dan Hipertensi.
Selain itu CKD juga bisa disebabkan dislipidemia, infeksi pada ginjal, glomerulonephritis,
polycystic kidney disease, penyumbatan pada saluran kandung kemih (misal : adanya batu
ginjal), penggunaan jangka panjang dari obat-obatan tertentu (contoh : lithium dan
NSAIDs)
Hipertensi
Pada kondisi tekanan darah tinggi, terjadi respon hipertropi yaitu penebalan pada
pembuluh darah (Renal artery) sehingga lumen menyempit mengakibatkan aliran darah
menuju nefron berkurang. Afferent erteriole merupakan pembuluh darah yang membawa
darah menuju bagian kepala dari nefron, akan tetapi dengan berkurangnya jumlah aliran
darah yang masuk akibat tekanan darah tinggi maka akan terjadi penurunan filtrasi
sehingga GFR juga turun. Ketika aliran darah menuju nefron berkurang, ada sel-sel yang
mendeteksi dan kemudian mulai memproduksi renin yang kemudian berlanjut ke aktivasi
dari RASS (Renin-Angiotensin-Aldosterone System). RASS ini adalah suatu sistem yang
dapat mennyebabkan peningkatan laju jantung dan lebih lanjut dapat menyebabkan
hipertensi. Siklus ini awalnya bertindak sebagai kompensatori namun pada akhirnya akan
mengakibatkan kerusakan pada glomerulus yang disebut Glomerulus sclerosis
Glomerulus sclerosis menyebabkan ischemic injury sehingga terjadi nefron loss.
Glumerulonefritis
Pada tipe penyakit glomerulonefritis yang sering terjadi adalah glomerulonefritis
dengan inflamasi, dikenal dengan nama Acute Poststreptococcal Glomerulonephrits atau
Glomerulonefritis pasca Infeksi Streptococcus. Glomerulonefritis yang terjadi disebabkan
karena adanya infeksi oleh bakteri streptococcus beta hemolitikus grup A. Antibodi akan
terbentuk satu sampai empat minggu setelah terpapar dan komplek imun akan terdeposit
dalam glomeruli. Dalam hal ini, antigen yang terbentuk adalah streptolysin O dan antibodi
yang terbentuk adalah antistreptolysin O (ASO). Jumlah antibodi yang ditemukan dalam
darah disebut dengan titer ASO dan menjadi indicator penting dalam diagnosis
glomerulonefritis paska infeksi streptococcus.
Kerusakan pada glumerulus juga dapat memicu munculnya sindrom renal yang lain
seperti, sindrom nefritik dan sindrom nefrotik. Sindrom nefritik menunjukkan terjadinya
inflamasi pada glomerulus dan ditandai dengan kondisi hematuria. Pasien dengan kondisi
kerusakan nefritik glomerular yang parah, akan menurunkan fungsi renal untuk menyaring
karena akan mengurangi luas permukaan glomerulus yang berfungsi sebagai penyaring.
Namun berbeda dengan nefrotik sindrom, nefrotik sindrom menunjukkan terjadinya
kerusakan pada struktur glomerulus tanpa inflamasi, sehingga sedikit sekali sel-sel atau zat
penginduksi inflamasi yang ditemukan dalam urin. Karakteristik dari nefrotik sindrom
adalah ditemukan protein dalam jumlah yang banyak di urin atau kondisi proteinurea.
Sindrom nefrotik merupakan penyakit primer dari glomerulus, atau juga dapat
berhubungan dengan penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, lupus, amyloidosis.
Nefrotik sindrom merupakan akibat dari komplek antigen-antibodi yang terbentuk dan
terjebak di glomerulus. Antibodi yang terlibat dalam nefrotik sindrom ini adalah
immunoglobulin G (Ig G).
: 10 - 20 mg/dL (dewasa)
kualitas pembacaan GFR menjadi bermakna klinis. Kreatinin memiliki sifat yang
polar serta bebas difiltrasi di glomerulus. Jika kadar kreatinin meningkat di dalam
darah menunjukkan bahwa glomerulus terjadi kerusakan.
Dengan dirilisnya kreatinin dari otot, maka dirilis juga fosfat ke dalam darah,
akibatnya kadar fosfat di dalam darah akan meningkat juga. Meskipun fosfat
dipakai lagi untuk reaksi siklus kreb (pembentukan ATP), Namun tetap
membutuhkan waktu untuk bisa berikatan dengan ADP, oleh karena itu kadarnya
dapat meningkat di dalam darah.
3. Cystatin C
Cystatin C adalah protein berat molekul rendah yang diproduksi oleh sel-sel
berinti. Cystatin C terdiri dari 120 asam amino merupakan cystein proteinase
inhibitor. Cystatin C difiltrasi oleh glomerulus, direabsorpsi, dan dikatabolisme di
tubulus proksimal. Cystatin C diproduksi dalam laju yang konstan, kadarnya stabil
pada ginjal normal. Kadar cystatin C tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras,
usia, dan massaotot. Pengukuran cystatin C mempunyai kegunaan yang sama
dengan kreatinin serum dan klirens kreatinin untuk memeriksa fungsi ginjal.
Peningkatan cystatin C dapat memberikan informasi yang lebih awalpada
penurunan GFR <60 mL/min/1,73m2. Cystatin C difiltrasi oleh glomerulus,
direabsorpsi, dan dikatabolisme oleh sel tubulus ginjal. Keadaan laju fi ltrasi
cairanyang menurun menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal. Kadar cystatin
C dalam darah yang meningkat akan menggambarkan fungsi ginjal. Kadar cystatin
C tidak dipengaruhi oleh massa otot, jenis kelamin, usia, ras, obat-obatan,
infeksi,diet, ataupun infl amasi. Cystatin C dapat digunakan sebagai pengganti
kreatinin dan klirens kreatinin dalam menilai dan memantau fungsi ginjal. Cystatin
C menjadi pilihan parameter yang dapat menilai fungsi ginjal pada kondisi bila
pengukuran kreatinin tidak akurat karena adanya gangguan pada metabolisme
protein seperti pada sirosis hati, obesitas, dan malnutrisi. Pada suatu meta-analisis
yang dilakukanoleh Dharnidharka, et al, ditemukanbahwa cystatin C lebih baik
daripadakreatinin sebagai penanda untuk glomerulus filtration rate. Cystatin C juga
dapat digunakan sebagai penanda yang efektif untuk memeriksa glomerulus
filtration rate pada pasien sirosis hati yang melakukan transplantasi hati. Cystatin
C kadar kreatinin serum (86,8%) dalammenentukan laju filtrasi glomerulus pada
fungsi ginjal normal. Cystatin C telah menunjukkan peningkatan pada laju fi ltrasi
Urynalisis
1) Klirens kreatinin
Klirens suatu zat adalah volume plasma yang dibersihkan dari zat tersebut
dalam waktu tertentu. Klirens kreatinin dilaporkan dalam mL/menit dan dapat
dikoreksi dengan luas permukaan tubuh. Klirens kreatinin merupakan pengukuran
GFR yang tidak absolut karena sebagian kecil kreatinin direabsorpsi oleh tubulus
ginjal dan sekitar 10% kreatinin urin disekresikan oleh tubulus. Namun,
pengukuran klirens kreatinin memberikan informasi mengenai perkiraan nilai GFR.
Nilai rujukan:
Laki-laki : 97 mL/menit 137 mL/menit per 1,73 m2
Perempuan : 88 mL/menit 128 mL/menit per 1,73 m2
2) Protein
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit (Sukandar dalam Rindiastuti, 2003).
a. Efek Metabolik Terhadap Asupan Diet Protein
Hampir sama dengan pasien dengan penyakit hati atau penyakit herediter
metabolisme nitrogen, pada pasien PGK akan terjadi intoleransi protein ketika
mereka makan protein yang terlalu banyak. Protein yang masuk ke dalam tubuh
akan mengalami metabolisme yaitu pertama, breakdown protein menghasilkan
asam amino yang diperlukan untuk cadangan sintesis protein tubuh yang baru.
Kedua, protein menghasilkan nitrogen yang merupakan sisa metabolime
protein dan harus
diekskresikan
melalui
ginjal
,
bila
terakumulasi akan menyebabkan gejala-gejala uremia. Sisa metabolisme protein
lainnya seperti guanidine, aromatic/aliphatic amines akan memberikan efek toksik
bila
kadarnya
tinggi
dalam
darah.
Urea merupakan
metabolit
nitrogen yang merupakan petanda adanya akumulasi dari toksin-toksin yang
lainnya. Jika seorang penderita PGK makan makanan yang banyak mengandung
protein, maka akan terakumulasi juga beberapa bahan yang lain seperti phenol,
asam urat, asid dan fosfat. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Hakim
dkk tahun 1988 terhadap 911 penderita PGK dengan serum kreatinin > 5 mg/dl
yang mendapat perhatian nutrisi minimal memperlihatkan berbagai kelainan
metabolisme antara lain > 30% penderita dengan asidosis berat (bicarbonate serum
< 15 mmol/l), hiperfosfatemia berat ( fosfat serum > 7mg/dl) dan azotemia berat
( BUN > 120 mg/dl). Asupan tinggi protein juga dapat menyebabkan
hiperurisemia, tidak hanya meningkatkan risiko penyakit gout tetapi juga dapat
menyebabkan sindroma metabolik, hipertensi dan disfungsi endotel dengan
penyakit vaskuler.10,11,12,13
20
mEq/L.
b. Anemia
1).
2).
Anemia hemolisis
c).
dan high
ginjal..
c. Hiperlipidemia
Meskipun beberapa obat yang tersedia untuk menurunkan lipid, -hidroksi-metilglutaril koenzim A (HMG-CoA) reduktase inhibitor dan gemfibrozil telah
paling sering digunakan dalam dislipidemik pasien dengan CKD dengan dan tanpa
proteinuria. Tujuan utama pengobatan adalah untuk mengobati hiperlipidemia
sehingga untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular aterosklerotik progresif.
Namun, meta-analisis dari 13 studi agen penurun lipid menunjukkan pengurangan
dalam tingkat perkembangan CKD oleh hanya 0,156 mL / menit perbulan.
Mekanisme untuk efek ini tidak diketahui, tetapi HMGCoA dapat mengurangi
monosit infiltrasi, mesangial proliferasi sel, ekspansi matriks mesangial, dan
peradangan tubulointerstitial dan fibrosis. Akibatnya, tujuan sekunder pengobatan
penurun lipid adalah untuk mengurangi proteinuria dan penurunan fungsi ginjal.
Tambahan terapi yang menunjukkan manfaat yang menguntungkan pada lipid yang
karnitin, minyak ikan, molekul rendah berat badan heparins, dan exercise.
d. Hipertensi
Terdapat banyak kelas atau golongan obat antihipertensi yang dapat digunakan,
tetapi beberapa obat yang sering digunakan dan direkomendasikan sebagai firstline therapy, yaitu ACE-inhibitor, -blocker, CCB dan diuretik. Penggunaan obatobat ini harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Pemilihan obat awal pada pasien
harus mempertimbangkan banyak faktor antara lain: umur, riwayat perjalanan
penyakit, faktor risiko, kerusakan
target
dan
merupakan
obat
yang
paling
sering
digunakan.
Secara
sebesar 80% dalam waktu 24 jam. Insufisiensi ginjal tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap farmakokinetik nifedipin (Ashley dan Currie, 2009). Setelah
pemberian dosis terapeutik secara oral, amlodipin diabsorbsi dengan baik dan kadar
puncak dalam plasma tercapai setelah 6 12 jam. Volume distribusi amlodipin
kira-kira 20 L/kg. Waktu paruh eliminasi plasma terminal adalah 35 50 jam dan
konsisten pada pemberian dosis sekali sehari. Sebanyak 97,5% amlodipin dalam
sirkulasi terikat dengan protein plasma. Amlodipin sebagian besar dimetabolisme
dihati menjadi metabolit inaktif, diekskresikan melalui urin sebesar 10% dalam
bentuk tidak berubah dan 60% sebagai metabolit (Ashley dan Currie, 2009).
e. Golongan Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Golongan obat antihipertensi Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
dianjurkan untuk pasien dialisis, karena tidak diperlukan penyesuaian dosis, semua
ARB termasuk non dialyzable drugs. Misalnya: Candesartan, Losartan dan
Valsartan (Sukandar, 2006). Secara farmakokinetik valsartan mempunyai distribusi
sekitar 94-97% terikat oleh protein dan mempunyai volume distribusi sebesar 17
L/kg serta sebesar 13% dieksresikan dalam bentuk tidak berubah (Ashley dan
Currie, 2009). Saat terapi obat antihipertensi telah diberikan pada pasien maka
harus dilakukan pemantauan dan di follow up serta dilakukan penyesuaian dosis
sesuai kondisi pasien secara terus menerus sampai tercapai tekanan darah yang
diinginkan. Kunjungan lebih diperlukan pada pasien dengan hipertensi derajat 2
atau dengan penyakit penyerta. Kadar kalium dan kreatinin plasma harus dimonitor
paling tidak 1-2 kali dalam 1 tahun. Setelah tekanan darah dicapai dan stabil maka
follow up biasanya dapat dilakukan dengan interval 3 6 bulan sekali, tetapi
adanya penyakit penyerta seperti gagal jantung, diabetes akan mempengaruhi
frekuensi kunjungan berkaitan dengan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
untuk memonitor perkembangan penyakit (Yogiantoro, 2006).
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra dalam Rindiastuti, 2003).
a. Dialisis yang terdiri dari hemodialisis, dialis peritoneal
Cuci darah apabila fungsi ginjal untuk membuang zat-zat metabolik yang
beracun dan kelebihan cairan dari tubuh sudah sangat menurun (lebih dari 90%)
sehingga tidak mampu lagi menjaga kelangsungan hidup penderita gagal ginjal,
maka harus dilakukan dialisis (cuci darah) sebagai terapi pengganti fungsi ginjal.
Ada dua jenis dialisis yaitu:
1) Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser)
Cara yang umum dilakukan di Indonesia adalah dengan menggunakan mesin
cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Darah dipompa keluar
dari tubuh, masuk ke dalam mesin dialiser untuk dibersihkan melalui proses difusi
dan ultrafiltrasi dengan dialisat (cairan khusus untuk dialisis), kemudian dialirkan
kembali ke dalam tubuh. Agar prosedur hemodialisis dapat berlangsung, perlu
dibuatkan akses untuk keluar masuknya darah dari tubuh. Akses tersebut dapat
bersifat sementara (temporer) Akses temporer berupa kateter yang dipasang pada
pembuluh darah balik (vena) di daerah leher. Sedangkan akses permanen biasanya
dibuat dengan akses fistula, yaitu menghubungkan salah satu pembuluh darah balik
dengan pembuluh darah nadi (arteri) pada lengan bawah, yang dikenal dengan
nama cimino. Untuk memastikan aliran darah pada cimino tetap lancar, secara
berkala perlu adanya getaran yang ditimbulkan oleh aliran darah pada cimino
tersebut.
Hemodialisa merupakan proses difusi melintas membrana semipermeable
untuk menyingkirkan substansi yang tidak diinginkan dari darah sementara
menambahkan komponen yang diinginkan, aliran konstan darah dari satu sisi
membrana dan larutan dialisat pembersih di sisi lain menyebabkan penyingkiran
produk buangan serupa dengan filtrasi glomerulus (Harrison, 2000). Hemodialisa
perlu dilakukan untuk menggantikan fungsi ekresi ginjal sehingga tidak terjadi
gejala uremia yang lebih berat. Pada pasien dengan fungsi ginjal yang minimal,
hemodialisa dilakukan untuk mencegah komplikasi membahayakan yang dapat
menyebabkan kematian (Pernefri, 2003).
Indikasi hemodialisis yaitu BUN (> 100 mg/dl), kreatinin (> 10 mg/dl),
hiperkalemia, acidosis metabolik. Secara klinis meliputi (1) Anoreksi, nausea,
muntah; (2) Ensepalopati ureikum; (3) Odema paru; (4) Pericarditis uremikum; (5)
Pendarahan uremik (Nuryandari, 1999).
2) Dialisis peritonial (cuci darah melalui perut).
Adalah metode cuci darah dengan bantuan membran selaput rongga perut
(peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan dari tubuh untuk
dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialisis. Dapat dilakukan pada di rumah
pada malam hari sewaktu tidur dengan bantuan mesin khusus yang sudah
deprogram terlebih dahulu. Sedangkan continuous ambulatory peritoneal dialysis
(CAPD) tidak membutuhkan mesin khusus tersebut, sehingga dapat dikatakan
sebagai cara dialisis mandiri yang dapat dilakukan sendiri di rumah atau di kantor
(Pernefri, 2003).
Menurut Nuryandari (1999) menyatakan bahwa dialisis adekuat disertai dengan
tanda-tanda sebagai berikut :
a. Tercapai berat badan kering
b. Pasien tampak baik
c. Bebas symtom uremia
d. Nafsu makan baik
e. Aktif
f. Tensi terkendali baik dengan atau tanpa obat
g. Hb > 10 gr%
b. Transplantasi ginjal
Dapat berasal dari donor hidup atau donor jenazah (cadaver). Cangkok atau
transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal terminal.
Ginjal yang dicangkokkan berasal dari dua sumber, yaitu donor hidup atau donor
yang baru saja meninggal (donor kadaver). Akan lebih baik bila donor tersebut dari
anggota keluarga yang hubungannya dekat, karena lebih besar kemungkinan cocok,
sehingga diterima oleh tubuh pasien. Selain kemungkinan penolakan, pasien
penerima donor ginjal harus minum obat seumur hidup. Juga pasien operasi ginjal
lebih rentan terhadap penyakit dan infeksi, kemungkinan mengalami efek samping
obat dan resiko lain yang berhubungan dengan operasi (Alam & Hadibroto, 2008).
PENOLAKAN ATAU REJEKSI
Sistem imun berperan pada proses penolakan. Reaksi penolakan ditimbulkan oleh
sel Th (T helper) resipien yang mengenal antigen MHC allogenic dan imunitas
humoral (antibodi). Sel tersebut akan merangsang sel Tc (T citotoxic) yang juga
mengenal antigen MHC allogenic dan membunuh sel sasaran. Kemungkinan lain
transplantasi yang bermakna merupakan predictor terjadinya rejeksi akut. Chen dan
kawan-kawan membuktikan bahwa ekspresi reseptor interleukin-2 pada jaringan
ginjal dapat digunakan sebagai petanda rejeksi akut. Penolakan akut dapat
dihambat dengan steroid, antilimfosit globulin poliklonal, dan antibody monoklonal
OKT3.
3. Rejeksi kronik
Rejeksi kronik adalah hilangnya fungsi organ yang dicangkokkan yang terjadi
secara perlahan beberapa bulan-tahun sesudah organ berfungsi normal dan
disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap antigen transplan atau oleh
karena timbulnya intoleransi terhadap sel T. Dalam hubungan ini, yang berperan
adalah beberapa faktor seperti kerusakan iskemik pada saat transplantasi,
histokompatibilitas, umur donor, keseringan dan derajat episode rejeksi akut,
hipertensi, hiperlipidemia dan penyakit ginjal rekuren. Pemeriksaan histopatologik
menunjukkan proliferasi sejumlah besar sel mononuclear, terutama sel T. Terjadi
nefroskelrosis, dengan proliferasi dan fibrosis intima pembuluh darah ginjal
sehingga terjadi penyempitan lumen pembuluh darah. Hasilnya adalah iskemia
renal, hipertensi, atrofi tubuler, fibrosis interstisial dan atrofi glomeruler. Namun
belum ada bukti apakah penurunan fungsi graft dalam beberapa tahun berdasarkan
mekanisme yang sama pada semua kasus. Penolakan kronik terjadi perlahan setelah
periode waktu yang lama dan mungkin tidak ada simtom yang tampak. Gejala
gagal ginjal terjadi perlahan-lahan dan progresif. Hal ini kadang-kadang timbul
sesudah
pemberian
imunosupresan
dihentikan.
Infeksi
yang
ada
akan
perjalanan CKD dan menjadi semakin parah sebagai penyakit berkembang. Anemia tetap
umum di antara pasien yang untuk transplantasi ginjal dan berlanjut pada periode posttransplant. Anemia, dengan kelelahan yang terkait, gangguan kognitif, dan kualitas
berkurang hidup, masalah lain yang signifikan untuk pasien dialysis-dependent. Menurut
Amerika Serikat Renal Data System, 67,4 persen pasien memulai dialisis memiliki (Hb)
nilai-nilai hemoglobin di bawah 11,0 g / dL. Meskipun prevalensinya seperti itu, anemia
umumnya dapat diobati, dan terapi antianemic dikaitkan dengan penurunan mortalitas,
morbiditas, rumah sakit, dan biaya medis pada pasien dialisis. Penyebab paling umum dari
anemia pada pasien dialysis-dependent adalah produksi erythropoietin memadai karena
kerusakan ginjal, yang umumnya diobati dengan merangsang agen eritropoiesis (ESA).
Anemia defisiensi besi adalah penyebab paling umum kedua anemia pada pasien dialisis
tergantung ginjal dan berasal dari diet yang tidak memadai dan penyerapan, prosedur
terkait kerugian besi dari pengujian laboratorium berulang, dan retensi darah di dialyzer
dan tabung selama dialisis.
Pengelolaan anemia pada pasien dengan CKD melibatkan merangsang generasi
erythroblasts (eritropoiesis) dan mempertahankan kadar zat besi yang cukup untuk
produksi Hb optimal. Konsentrasi Hb pada pasien CKD nondialysis tergantung yang
memiliki anemia dapat ditingkatkan dengan suplementasi lisan besi (garam besi, misalnya,
besi sulfat). Di antara pasien CKD tergantung dialisis (yang mungkin atau mungkin tidak
menerima pengobatan ESA), terapi besi intravena lebih disukai daripada terapi oral karena
mengurangi dosis ESA dan secara signifikan meningkatkan konsentrasi Hb. ESA
umumnya sangat efektif dalam mengobati anemia ginjal pada pasien yang menerima
hemodialisis dan berkesinambungan ambulatory peritoneal dialysis tetapi tidak bekerja
dengan baik pada pasien dengan pabrik besi yang tidak memadai. Oleh karena itu,
kekurangan zat besi dapat mencegah pengobatan yang efektif anemia dan mungkin
memerlukan peningkatan dosis ESA dalam upaya untuk mendapatkan respon yang
memadai. Penggunaan dosis tinggi adalah perhatian bukan hanya karena ESA sangat
mahal, tetapi juga karena rejimen dosis yang lebih tinggi dari ESA berhubungan dengan
efek samping, seperti peningkatan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Untuk alasan
ini, penilaian yang akurat dari status zat besi sangat penting untuk perawatan hemodialisis
efektif.
Pedoman mengenai pemantauan kekurangan zat besi dan suplemen zat besi pada
pasien perawatan hemodialisis pertama kali diterbitkan oleh National Kidney Foundation
sebagai bagian dari ginjal mereka Penyakit Hasil Kualitas Initiative pada tahun 1997 dan
diperbaharui pada tahun 2000 dan 2006. Pedoman ini menunjukkan bahwa tes Hb harus
dilakukan setiap tahun pada semua pasien dengan CKD dan bahwa pasien tersebut harus
ditangani dengan ESA ketika anemia terdeteksi. Selain itu, pedoman menetapkan bahwa
pasien hemodialisis menerima erythropoietin harus dipantau untuk defisiensi zat besi
bulanan dengan mengukur besi, total kapasitas pengikat besi, dan saturasi persen
transferrin (besi / total kapasitas pengikat besi * 100) dan menyarankan bahwa pengukuran
konsentrasi feritin diambil setiap 3 bulan. Ketika pengobatan diperlukan, pedoman
merekomendasikan pemberian zat besi yang cukup untuk mempertahankan saturasi persen
transferrin 20 persen dan serum ferritin tingkat 100 ng / mL. Pedoman National Kidney
Foundation telah diadopsi secara luas di pusat-pusat dialisis di seluruh Amerika Serikat.
pedoman praktek terbaik serupa telah diterbitkan untuk pengelolaan anemia pada pasien
dengan CKD di Eropa. Sayangnya, biomarker laboratorium tradisional status zat besi pada
pasien dengan CKD memiliki beberapa kelemahan: tulang biopsi sumsum melibatkan
risiko infeksi atau perdarahan di lokasi biopsi; serum ferritin dan saturasi transferin hanya
berguna ketika ditafsirkan dalam konteks mendasari erythropoietin respon pasien;
variabilitas biologis besi serum, kejenuhan transferrin, dan feritin dikenal menjadi besar;
dan perbedaan successivemeasurements dari 50 persen atau lebih tidak biasa bagi setiap
tanda tersebut. Selain itu, ada tidak adanya suatu metode referensi didirikan untuk
melayani sebagai standar emas untuk tes ini, dan variabilitas yang cukup telah diamati
dalam perbandingan tes yang berbeda, terutama tes besi. Faktor lain mengacaukan adalah
efek peradangan yang terkait dengan CKD pada transferrin dan ferritin. Transferin dan
feritin keduanya reaktan fase akut, dan di hadapan kondisi peradangan, menurun
konsentrasi transferin dan konsentrasi meningkat feritin. Ketika feritin serum digunakan
sebagai biomarker yang sesuai dengan ambang batas yang ditetapkan oleh pedoman
National Kidney Foundation (<100 ng / mL untuk diagnosis defisiensi besi), sensitivitas
(kurang-lebih) hanya 50 persen.
Untuk menemukan tes yang lebih akurat dan dapat diandalkan, biomarker baru dari
status zat besi telah diusulkan. Ini termasuk penanda kekurangan zat besi, seperti eritrosit
seng protoporfirin; persentase eritrosit hipokromik; retikulosit konten Hb; dan transferin
reseptor larut. Studi terbaru membandingkan nilai diagnostik penanda ini menunjukkan
bahwa retikulosit konten Hb dan persentase eritrosit hipokromik bisa penanda berharga.
Secara khusus, retikulosit konten Hb memiliki variabilitas yang lebih rendah biologis (~
3%) dibandingkan penanda tradisional, seperti kejenuhan transferrin dan feritin (44% dan
40%, masing-masing).
PATOFISIOLOGI ANEMIA
Skema representasi dari mekanisme yang mendasari anemia CKD. Besi dan EPO sangat
penting untuk produksi sel darah merah di sumsum tulang. ketersediaan besi dikendalikan
oleh hepcidin hormon hati, yang mengatur penyerapan zat besi dan makrofag daur ulang
besi dari sel-sel darah merah yang sudah uzur. Ada beberapa putaran umpan balik yang
mengontrol kadar hepcidin, termasuk besi dan EPO. Pada pasien CKD (terutama pada
pasien penyakit ginjal stadium akhir hemodialisis), kadar hepcidin telah ditemukan sangat
tinggi, mungkin karena klirens ginjal berkurang dan induksi oleh peradangan, yang
menyebabkan eritropoiesis besi-terbatas. CKD juga menghambat produksi EPO oleh
ginjal, dan juga dapat menyebabkan sirkulasi inhibitor uremik-diinduksi eritropoiesis,
disingkat sel umur darah merah, dan meningkatkan kehilangan darah. panah hitam dan
abu-abu mewakili fisiologi normal (hitam untuk besi dan hormonal fluks, abu-abu untuk
proses regulasi). Berwarna panah mewakili efek tambahan CKD (biru untuk aktivasi,
merah untuk penghambatan). RBC, sel darah merah.
MONITORING ANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIS
Pada pasien dengan CKD dan anemia (tanpa memandang usia dan tahap CKD), termasuk
tes berikut dalam evaluasi awal dari anemia (Tidak Dinilai):
Complete Blood Count (CBC), yang harus mencakup konsentrasi Hb, indeks sel
darah merah, jumlah sel darah putih dan diferensial, dan jumlah trombosit
Parameter
sel darah putih
Laki-laki
7000-9000/mm3
Perempuan
7000-9000/mm3
4,2-5,5 /mm3
14-18
42%-54%
80,0-96,0
27-31 pg
32-37%
11,5-14,5
30-300 ng/ml
150.000-400.000 / mm3
0,2 2 % atau 2 20 sel
3,2-5,2/mm3
12-16
38%-48%
80,0-96,0
27-31 pg
32-37%
11,5-14,5
15-200 ng/ml
150.000-400.000 / mm3
0,2 2 % atau 2 20 sel darah
TERAPI
Baru-baru ini, sebuah protein novel eritropoiesis- stimulating telah diperkenalkan untuk
pengobatan anemia pada pasien PGK. Protein ini,
hyperglycosylated rekombinan EPO manusia yang memiliki aktivitas biologis yang lebih
besar dan perpanjangan waktu paruh. Dengan demikian, interval dosis dapat diperpanjang
dan masih efektif memperbaiki anemia ginjal pada pasien predialysis dan dialisis.
Status zat besi pasien dengan PGK harus dinilai, dan kadar zat besi harus memadai
sebelum pengobatan dengan EPO dimulai. Tablet zat besi biasanya penting untuk
memastikan respon yang memadai untuk EPO pada pasien dengan PGK, karena kebutuhan
besi oleh sumsum erythroid sering melebihi jumlah besi yang segera tersedia untuk
eritropoiesis (diukur dengan kejenuhan persen transferrin) serta kadar besi (yang diukur
dengan feritin serum). Dalam kebanyakan kasus, besi intravena diperlukan untuk mencapai
dan/atau mempertahankan zat besi yang memadai. Namun, terapi besi yang berlebihan
mungkin terkait dengan sejumlah komplikasi, termasuk hemosiderosis, aterosklerosis
Gambar 2.1 CKD-MBD merupakan sinopsis dari tiga kondisi penyakit yang berkaitan.3
A Patofisiologi CKD-MBD
Abnormalitas dari metabolisme mineral mengarah pada hipertiroid sekunder yang
merupakan komplikasi dari penyakit ginjal dan patogenesisnya multifaktorial. Fungsi
ginjal menurun pada tiga perubahan pada CKD yang terjadi
Kehilangan fungsi ginjal yang mengarah pada kurangnya 25(OH) vitamin D yang
dikonversi oleh 1-hydroxylase menyebabkan penurunan nilai 1,25(OH)2 vitamin D.
Vitamin D aktif ini telah menunjukkan penurunan linear pada awal CKD; 13%
pasien telah memiliki nilai vitamin D yang rendah dengan perkiraan GFR
>80ml/min. Penurunan ini berlanjut dan terjadi sebelum peningkatan PTH terjadi.
Peningkatan beban fosfat berkembang sesuai dengan penurunan perkiraan GFR dan
mengurangi ekskresi fosfat melalui urin.
Akhirnya terjadi penurunan pada nilai kalsium. Hal ini terjadi karena rendahnya diet
kalsium, rendahnya nilai 1,25(OH)2 vitamin D yang mengarah pada kurangnya absorpsi
kalsium dan clearance ginjal yang berkurang. Hal ini menyebabkan stimulasi kelenjar
paratiroid melepas PTH lebih banyak untuk mengatur konsentrasi kalsium. Kelenjar
paratiroid efeknya beraksi melalui ginjal sehingga efeknya terganggu pada CKD. Hal ini
terjadi karena down regulation dari reseptor PTH pada CKD mengarahkan pada resistensi
skeletal terhadap PTH.
Terapi
1
Analog vitamin D
Vitamin D alami
Cinacalce
kardiovaskular dari batas signifikansi pada pasien dengan moderat untuk gangguan ginjal
berat. Kehadiran LVH, komplikasi yang meningkatkan dalam kaitannya dengan tingkat
semakin rendah dari eGFR, juga merupakan penentu risiko kardiovaskular pada pasien CKD.
Anemia
dan
hipertensi
adalah
dua
komplikasi CKD terkait diduga berperan dalam pengembangan LVH. Dalam kohort
prospektif dari 2.423 pasien dengan stadium 3 sampai 4 CKD, peneliti mencatat risiko
independen LVH untuk titik akhir komposit infark miokard dan penyakit jantung koroner
yang fatal (PJK). Pasien diikuti selama 102 bulan. Dalam analisis yang disesuaikan, LVH
dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk rasio hazard hasil komposit dan jantung (HR 1,67;
95% CI 1,34 ke 2. 07). Penggunaan tembakau juga dikaitkan dengan peningkatan mortalitas
dan kejadian gagal jantung di antara pasien dengan stadium 5 CKD. Beberapa faktor risiko
kardiovaskular yang terkait dengan CKD unik untuk pasien dengan penyakit ini (faktor risiko
non-tradisional). Anemia, yang dibahas sebelumnya, merupakan faktor risiko untuk hasil
kardiovaskular yang merugikan pada pasien CKD. tingkat normal serum fosfat, produk ion
kalsium fosfat, dan tingkat hormon paratiroid merupakan faktor risiko kardiovaskular
independen dalam pengaturan panggung 5 CKD. produk kalsium fosfat yang lebih tinggi dan
dosis kumulatif pengikat fosfat berbasis kalsium lisan berkorelasi dengan tingkat dan
perkembangan kalsifikasi arteri di dialisis dan tahap 3 atau 4 pasien CKD. Menariknya, kadar
fosfat serum dikaitkan dengan peningkatan tingkat kematian dan infark miokard pada pasien
dengan stadium 3 atau 4 CKD. Hal ini menunjukkan bahwa hasil kalsifikasi arteri morbiditas
klinis dan mortalitas pada populasi pasien ini. Kurang terkontrol penyakit tulang metabolik
kontribusi untuk kalsifikasi vaskular, yang mempromosikan arteriolosclerosis dan
meningkatkan
dinding
pembuluh
darah
kekakuan.
kekakuan aorta adalah prediktor independen dari total dan kardiovaskular kematian, penyakit
arteri koroner (CAD), dan stroke fatal pada pasien dengan hipertensi. Satu studi dari 96
pasien, berusia 18 hingga 70 dengan jarak kreatinin mulai dari 15 sampai 90 mL / menit per
1,73 m2, ditemukan kalsifikasi koroner pada 64%, dan kalsifikasi yang parah hadir di 23%
dari pasien.
Peradangan merupakan faktor risiko non-tradisional diyakini berperan dalam mediasi risiko
kardiovaskular pada CKD. Tanda peradangan sering meningkat pada pasien CKD dan
prediksi risiko kardiovaskular pada populasi ini. Beberapa, tetapi tidak semua studi, telah
menemukan bahwa (CRP) tingkat serum C-reactive protein memprediksi hasil kardiovaskular
pada pasien CKD. Menon dan Sarnak menganalisa sampel diperoleh dari Modifikasi Diet
pada pasien studi Penyakit Ginjal (semua memiliki stadium 3, 4, atau 5 CKD pada saat
pendaftaran), mengukur konsentrasi CRP dan menganalisis hubungannya dengan hasil jangka
panjang. Dengan 10 tahun median masa tindak lanjut, semua penyebab kematian adalah 20%
dan mortalitas kardiovaskular adalah 10%. CRP yang tinggi adalah prediktor independen dari
semua penyebab dan mortalitas kardiovaskular setelah peneliti menyesuaikan untuk variabel
pengganggu. Para penulis menyimpulkan bahwa CRP berguna untuk memprediksi hasil pada
pasien CKD.
Proteinuria, ciri dari gangguan ginjal, dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular dan awal mortalitas kardiovaskular pada pasien dengan dan tanpa diabetes dan
hipertensi. Asosiasi ini pertama kali ditunjukkan oleh para peneliti Framingham Heart Study.
Baru-baru ini, Gerstein dan rekan [40], dalam kelompok lebih dari 9000 orang yang
mendaftar di jantung Outcomes Prevention Evaluation (HARAPAN) trial, mencatat
peningkatan risiko relatif dalam hasil agregat utama infark miokard, stroke, dan kematian
kardiovaskular pada microalbuminuric (urine albumin ekskresi 30 mg / 24 jam) subyek
dengan dan tanpa diabetes (1,97 dan 1.61, masing-masing). Risiko yang terkait dengan
kehadiran mikroalbuminuria meningkat secara progresif dengan meningkatnya tingkat mutlak
mikroalbuminuria.
Memperlakukan kedua faktor risiko kardiovaskular tradisional dan nontradisional pada
individu dengan CKD melibatkan pendekatan multidisiplin untuk peduli. Keterlibatan
perawat, ahli diet, pendidik, dan ahli bedah meningkatkan optimalisasi perawatan.
Mengontrol tekanan darah dengan menggunakan pedoman K / DOQI (BP tujuan 130/85,
125/75 dengan proteinuria 130/85 dalam pengaturan diabetes), penggunaan ACE inhibitor dan
/ atau angiotensin receptor blocker untuk mengurangi proteinuria, titrasi insulin, dan terapi
statin untuk mencapai glycated tingkat hemoglobin dan serum kolesterol yang sesuai (! 100
mg / dL), masing-masing, akan mengurangi risiko kardiovaskular dan mencegah atau
memperlambat perkembangan gagal ginjal. percobaan acak tambahan diperlukan untuk
menetapkan tujuan pengobatan untuk terapi kardioprotektif pada populasi pasien ini.
Terapi
a
b
c
-
Aldosteron antagonis
Direct renin inhibitor
Diuretic
1 Thiazides
2 Beta blockers
3 Calcium channel blockers
4 Centrally acting alpha adrenergic agonists
5 Alpha blockers
Asidosis metabolik
Gangguan asam-basa disebabkan oleh gangguan pada ion hidrogen (H+) homeostasis,
yang biasanya dikelola oleh penyangga ekstraseluler, regulasi ginjal dari ion hidrogen dan
bikarbonat, dan regulasi ventilasi karbon dioksida (CO2) eliminasi.
Prinsip-prinsip umum yang umum untuk semua jenis gangguan asam-basa dibahas
pertama, diikuti oleh diskusi yang terpisah dari setiap jenis gangguan asam-basa.
Buffering mengacu pada kemampuan untuk menolak perubahan pH setelah penambahan asam
kuat atau basa. Sistem penyangga utama tubuh adalah sistem karbonat asam karbonat/asam
DIAGNOSIS
Gas darah, elektrolit serum, riwayat kesehatan, dan kondisi klinis adalah alat utama untuk
pernafasan primer, sedangkan konsentrasi HCO3- membantu untuk menentukan apakah ada
kelainan metabolik primer. Langkah-langkah dalam interpretasi asam-basa dijelaskan pada
HASIL YANG DIINGINKAN
pengobatan awal ditujukan untuk menstabilkan kondisi akut, diikuti dengan mengidentifikasi dan
mengoreksi penyebab yang mendasari (s) dari gangguan asam-basa. pengobatan tambahan
mungkin diperlukan tergantung pada tingkat keparahan gejala dan kemungkinan kekambuhan,
terutama pada pasien dengan kejadian awal sedang berlangsung.
PATOFISIOLOGI
Asidosis metabolik ditandai dengan penurunan pH dan serum HCO3- konsentrasi, yang dapat
hasil dari penambahan asam organik ke cairan ekstraseluler (misalnya, asam laktat, ketoacids),
kehilangan pabrik HCO3- (misalnya, diare), atau akumulasi asam endogen karena gangguan
fungsi ginjal (misalnya, fosfat, sulfat).
gap Anion dapat dihitung untuk menjelaskan penyebab asidosis metabolik. Anion gap dihitung
sebagai berikut:
gap anion = [Na +] - [Cl-] - [HCO3-]
Anion gap yang normal adalah sekitar 9 mEq / L, dengan kisaran 3 sampai 11 mEq / L. ).
Mekanisme kompensasi utama adalah untuk menurunkan PaCO2 dengan meningkatkan laju
pernapasan.
PRESENTASI KLINIS
Manifestasi utama dari asidosis metabolik kronis adalah demineralisasi tulang dengan
perkembangan rakhitis pada anak-anak dan osteomalacia dan osteopenia pada orang dewasa.
Manifestasi dari asidemia akut parah metabolik (pH kurang dari 7,15-7,20) melibatkan
kardiovaskular, pernapasan, dan sistem saraf pusat. Hiperventilasi sering tanda pertama dari
asidosis metabolik. kompensasi pernapasan dapat terjadi sebagai Kussmaul pernapasan
(misalnya, dalam, respirasi cepat karakteristik ketoasidosis diabetikum).
PENGOBATAN
Perlakuan utama dari asidosis metabolik adalah untuk memperbaiki gangguan yang
mendasarinya. pengobatan tambahan tergantung pada tingkat keparahan dan timbulnya asidosis.
pasien tanpa gejala ringan sampai asidemia sedang (HCO3-, 12 untuk 20mEq / L; pH, 7,2-7,4)
biasanya dapat dikelola dengan koreksi bertahap asidemia selama hari minggu menggunakan
natrium bikarbonat lisan atau persiapan alkali lainnya (Tabel 74-4 ). Dosis bikarbonat dapat
dihitung sebagai berikut:
Dosis (mEq) = (Vd HCO3- berat badan) (Diinginkan [HCO3-] - saat ini [HCO3-])
di mana Vd HCO3- adalah volume distribusi HCO3- (0,5 L / kg).
Terapi Alkali dapat digunakan untuk mengobati pasien dengan asidosis metabolik akut berat
akibat asidosis hiperkloremik, namun perannya kontroversial pada pasien dengan asidosis laktat.
Pilihan terapi meliputi natrium bikarbonat dan trometamin.
Natrium bikarbonat telah direkomendasikan untuk meningkatkan pH arteri ke 7,15-7,20.
Namun, tidak ada studi klinis terkontrol telah menunjukkan penurunan angka kesakitan dan
kematian dibandingkan dengan perawatan suportif umum. Jika IV natrium bikarbonat diberikan,
tujuannya adalah untuk meningkatkan, tidak menormalkan, pH untuk 7.20 dan HCO3- untuk 8
sampai 10 mEq / L.
trometamin, solusi yang sangat alkali, adalah amina organik bebas sodium yang bertindak
sebagai akseptor proton untuk mencegah atau asidosis yang benar. Namun, tidak ada bukti
bahwa trometamin menguntungkan atau lebih mujarab ketimbang natrium bikarbonat. Biasa
dosis empirik untuk trometamin adalah 1 sampai 5 mmol / kg diberikan IV selama 1 jam dan
dosis individual dapat dihitung sebagai berikut:
5
Dislipidemia
Dislipidemia merupakan faktor risiko utama untuk morbiditas dan mortalitas kardiovaskular
dan umum di antara pasien dengan CKD. profil lipid bervariasi pada pasien ini, yang
mencerminkan tingkat fungsi ginjal dan tingkat proteinuria. Secara umum, prevalensi meningkat
hiperlipidemia karena penurunan fungsi ginjal, dengan tingkat hipertrigliseridemia dan elevasi
kolesterol LDL yang sebanding dengan tingkat keparahan gangguan ginjal. Beberapa faktor
berkontribusi terhadap dislipidemia pembangunan yang terkait dengan gangguan ginjal kronis.
Pasien dengan CKD memiliki penurunan aktivitas lipoprotein lipase dan hati trigliserida lipase.
Ini Uji klinis pada populasi umum telah menunjukkan bahwa kematian PJK menurun sebanding
dengan penurunan tingkat LDL-kolesterol. Bukti untuk manfaat statin dalam mengurangi risiko
kardiovaskular (yaitu, hasil komposit) pada pasien CKD kurang definitif. Baru-baru ini, uji klinis
terbesar statin pada pasien dengan stadium 5 CKD (4D trial) dilakukan di Jerman. Dalam
penelitian ini, atorvastatin tidak mengurangi kematian akibat stroke fatal, infark miokard
nonfatal, atau stroke nonfatal di 200 pasien dengan diabetes dan tahap 5 CKD. Hasil Studi
Jantung dan Ginjal Perlindungan (SHARP) akan tersedia pada tahun 2008 dan harus memberikan
wawasan lebih lanjut ke peran terapi penurun kolesterol dalam mengurangi kejadian
kardiovaskular pada pasien penyakit ginjal. SHARP adalah prospektif, uji coba secara acak di
mana 9000 pasien dengan CKD dan 3000 pasien dialisis tanpa penyakit arteri koroner telah
terdaftar untuk menilai efek menurunkan LDL-kolesterol dengan kombinasi simvastatin dan
ezetimibe, dengan ukuran hasil utama menjadi waktu untuk pertama '' event vaskular utama ''
didefinisikan sebagai infark nonfatal miokard atau kematian jantung, stroke nonfatal atau fatal,
atau prosedur revaskularisasi arteri. Hubungan antara kadar kolesterol total dan PJK kematian
sebagai hasil utama juga belum jelas. Bahkan, beberapa studi observasional pasien stadium 5
penyakit ginjal menunjukkan bahwa kadar kolesterol total yang lebih rendah berhubungan
dengan angka kematian yang lebih tinggi. Sebagai contoh, di sebuah studi prospektif 10 tahun
terakhir, pentingnya kadar kolesterol total pada kematian dievaluasi pada 1167 pasien stadium 5
penyakit
ginjal.
Hiperkolesterolemia
(kadar
kolesterol
total
O200)
dikaitkan
dengan
peningkatan angka kematian semua penyebab. penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
mengevaluasi apakah rendah kolesterol mengidentifikasi subkelompok pasien lebih sakit berat
atau
apakah
peradangan
dan
atau
kekurangan
gizi.
Sebuah profil lipid puasa lengkap dengan penilaian total, LDL dan kolesterol HDL, dan
trigliserida harus dimasukkan dalam evaluasi pasien dengan CKD dan hiperlipidemia. Individu
dengan kolesterol tinggi atau bentuk lain dari hiperlipidemia harus menjalani evaluasi untuk
dislipidemia sekunder sebelum memulai penurun lipid terapi [48]. pedoman K / DOQI
merekomendasikan bahwa semua tahapan CKD dianggap sebagai setara PJK berisiko. Dengan
demikian, pasien dengan CKD dipandang sebagai dalam kelompok risiko tertinggi untuk tingkat
PJK dan LDL-kolesterol harus diturunkan di bawah 100 mg / dL (2,6 mmol / L). pasien CKD
mungkin mencapai tujuan LDL melalui pelaksanaan modifikasi gaya hidup (modifikasi diet
dengan konsultasi ahli gizi, meningkatkan aktivitas fisik, konsumsi alkohol, dan berhenti
merokok). Semua orang dewasa dengan CKD harus dievaluasi untuk kelainan lipid. Pada pasien
CKD dengan sindrom nefrotik, tujuan utama adalah untuk menginduksi remisi penyakit. Bila hal
ini tidak mungkin, setiap penurunan ekskresi protein urin akan bermanfaat. Selain itu, pasien
nefrotik dengan tingkat lipid yang tinggi harus diobati dengan diet penurun lipid, yang dapat
membantu dalam mengurangi kadar kolesterol total dan kolesterol LDL. pedoman K / DOQI
tertentu pada pengelolaan hiperlipidemia adalah sebagai berikut:
Untuk pasien dengan kadar kolesterol LDL antara 100 dan 129 mg / dL (2,57-3,34
mmol
L),
perubahan
gaya
hidup
mungkin
terapi
awal.
Jika
tingkat target LDL tidak tercapai (LDL 100 mg / dL [2.57 mmol / L]), terapi statin
mencapai
target
LDL
100
mg
dL
(2,57
mmol
L).
3.
Untuk pasien dengan trigliserida (TG) R 200 mg / dL (3,36 mmol / L), tujuannya
adalah untuk mencapai non-HDL kolesterol% 130 mg / dL. pengobatan awal terdiri
perubahan gaya hidup plus statin dosis rendah, yang meningkat yang diperlukan
untuk
mencapai
tingkat
target.
Singkatnya, pasien dengan CKD memiliki beban yang lebih tinggi dari dislipidemia
dibandingkan dengan populasi umum dan berada pada peningkatan risiko morbiditas
dan mortalitas kardiovaskular. kardiovaskular beban penyakit yang tidak
proporsional ini menempatkan pasien CKD dalam kategori risiko tinggi, seperti yang
didefinisikan oleh pedoman pengobatan Pengobatan Adult Panel III (ATPIII).
Identifikasi pasien dan intervensi melalui gaya hidup dan / atau terapi farmakologis
adalah suara, pendekatan klinis awal. percobaan acak yang sedang berlangsung akan
memberikan data yang lebih pasti tentang risiko dan manfaat dari terapi penurun
lipid pada populasi pasien ini
Hiperkalemia
Ekskresi ginjal yang tidak adekuat merupakan penyebab yang sering. Jika oligouria atau anuriaa
ada dengan semakin progresifnya gagal ginjal akut, hiperkalemia pasti terjadi. Kalium plasma
meningkat 0,05mmol/l per hari jika tidak ada beban abnormal. Gagal ginjal kronik tidak
menyebabkan hiperkalemia berat atau progresif, kecuali jika oligouria jug ada. Perubahan adaptif
meningkatkan ekskresi kalium per nefron residual bila gagal ginjal kronik semakin berlanjut.
Penurunan dalam volume sirkulasi yang efektif cenderung mengganggu ekskresi kalium. Dalam
keadaan seperti deplesi garam dan air atau gagal jantung kongestif, laju filtrasi gloerulus
berkurag dan reabsorbsi cairan meningkat. Penurunan penghantaran cairan ke tubulus distal ini,
membatasi sekresi kalium ke dalam air kemih. Hiperkalemia dapat terjadi dalam beberapa
pasien; biasanya sedang dan tidak progresif, tetapi dapat menjadi berat jika beban kalium tinggi.
Sebab-Sebab Hiperkalemi
I Ekskresi tidak adekuat
a Gangguan ginjal
- Gangguan ginjal akut
- Gagal ginjal kronik berat
- Gangguan tubulus
b Volume sirkulasi efektif menurun
c Hipoaldosteronisme
- Penyakit adrenal
- Hiporeninemia
Menyertai penyakit tubulointerstinal ginjal
Akibat obat-obatan (anti inflamasi non steroid,penghambat enzim
d
amilorid)
II Perpindahan kalium dari jaringan
a Kerusakan jaringan (gencetan pada otot, hemolisis, perdarah internal)
b Obat-obatan (suksinilkolin, arganin, digitalis, keracunan, antagois
adrenergic beta).
c Asidosis
d Hiperosmolalitas
e Defisiensi insulin
f Paralisis periodic hiperkalemik
IIIAsupan berlebihan
IVPseudohiperkalemia
(trombositosis, leukositosis, teknik punksi vena yang buruk, hemolisis in
vitro).
Gambaran Klinis
Efek toksik terpenting dari hiperkalemia adalah aritmia jantung. Manifestasi paling dini adalah
munculnya gelombang T puncak tinggi, terutama menonjol pada hantaran prekordial.
Namuntidak seperti gangguan lain yang menyebabkan gelombang T puncak tinggi. Hiperkalemia
tidak memperpanjang interval QT. Perubahan lebih lanjut antara lain peanjangan interval PR,
blok jantung komplit dan asistole atrium. Bila kalium plasma makin meninggi, komplekskompleks ventrikule dapat memburuk. Kompleks QRS memanjang progresif, dan akhirnya
menyatu dengan gelombang T membentuk konfigurasi gelombang sinus. Akirnya dapat terjadi
fibrilasi dan henti ventrikel.
Terkadang, hiperkalemia sedang atau berat menimbulkan dampak yang nyata pada otot-otot
perifer. Kelemahan otot asenden dapat terjadi dan berkembang menjadi kuadriplegia flaksid dan
paralysis pernapasan. Fungsi syaraf-syaraf cranial dan serebral adalah normal demikian juga
esensial.
2
Diagnosis
Hiperkalemia yang berat atau progresif jarang terjadi tanpa adanya insufisiensi ginjal. Karenanya
kadar kreatinin plasma dan curahnya dalam air kemih perlu segera ditentukan pada pasien
hiperkalemia. Gagal ginjal akut, terutama dengan oligouria akan menyebabkan hiperkalemia ,
penghambat adrenergic rogresif.
Pada semua pasien dengan hiperkalemia anamnesis perlu dipusatkan pada obat-obat yang dapat
meningkatkan kadar kaium misalnya penghambat kenversi, antiinflmasi non steroid (AINS),
penghambat adrenergic beta, dan diuretic hemat kalium. Sumber-sumber asupan kalium diet
perlu ditinjau, misalnya suplemen kalium atau garam pengganti. Tanda-tanda kehilangan volume
ekstraseluler, penyakit Addison, atau keadaan-keadaan edema dengan penurna volume
ekstraseluler efektif perlu dicari pada pemeriksaan fisik.
Sebagai tambahan terhadap kreatinin plasma kadar gula darah dan bikarbonat plasma harus
ditentukan untuk mengevaluasi kemungkinan kontribusi diabetes atau asidosis terhadap
hiperkalemia. Pengukuran kalium air kemih hanya sedikit nilainya dalam diagnosis banding.
Rekaman elektrokardiagram penting dalam mengevaluasi efek hiperkalemia. Pada pasien tanpa
Terapi
mempertimbangkan terapi, sangat bermanfaat untuk mengelompokkan hipekalemia
Hiperuresemia
Karena sekitar 70% dari asam urat diekskresikan dari ginjal, hiperurisemia terjadi ketika
fungsi ginjal memburuk. Sampai saat ini, belum jelas apakah hyperuricemia terlihat pada
penyakit ginjal seperti memainkan peran dalam perkembangan penyakit ginjal. Namun,
penelitian klinis terbaru menunjukkan bahwa nilai serum asam urat sangat erat kaitannya dengan
hipertensi pada pasien hiperurisemia (studi cross-sectional), dan juga dengan timbulnya
hipertensi (studi longitudinal). Selanjutnya, satu laporan yang menarik menunjukkan bahwa
pengobatan hiperurisemia dengan allopurinol menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi
esensial remaja dengan hyperuricemia. Selain itu, diketahui bahwa hyperuricemia berhubungan
erat dengan penyakit ginjal kronis (CKD), merupakan faktor risiko untuk insufisiensi ginjal pada
populasi umum, dan merupakan faktor prognostik yang buruk fungsi ginjal pada pasien yang
juga memiliki IgA nefropati. Di sisi lain, dalam studi intervensi pada hyperuricemia, pengobatan
hiperurisemia dengan allopurinol di CKD telah mengakibatkan penurunan tekanan darah dan
penghambatan perkembangan kerusakan ginjal. Sebaliknya, penghentian pengobatan allopurinol
di CKD diikuti oleh peningkatan tekanan darah dan perkembangan kerusakan ginjal. Selain itu,
kenaikan tekanan darah dan pengembangan kerusakan ginjal setelah penghentian pengobatan
allopurinol hanya terlihat pada pasien yang tidak menerima angiotensin converting enzyme
inhibitor (ACEI) atau angiotensin receptor blocker (ARB). Hal ini menunjukkan bahwa renin
angiotensin (RA) sistem memainkan peran penting dalam pengembangan hipertensi dan
kerusakan ginjal dari hyperuricemia.
Penatalaksanaan pada CKD bersifat konservatif. Penatalaksanaan ini lebih
bermanfaat b i l a
penurunan
fungsi
ginjal
masih
ringan.
Pengobatan
k o n s e r v a t i f i n i t e r d i r i d a r i 3 strategi, yaitu :
1.Memperlambat laju penurunan fungsi ginjal
a.Pengobatan hipertensi. Target penurunan tekanan darah yang dianjurkan < 140/90
mmHg.
b.Pembatasan asupan protein, bertujuan untuk mengurangi hiperfiltrasiglomerulus
dengan demikian diharapkan progresifitas akan diperlambat.
c.Retriksi fosfor, untuk mencegah hiperparatirodisme sekunder
d.Mengurangi proteinuria. Terdapat korelasi antara proteinuria dan penurunan
fungsi ginjal terutama pada glomerulonefritis kronik dandiabetes. Dalam hal ini
ACE inhibitor biasanya digunakan.
e.Mengendalikan hiperlipidemia. Telah terbukti bahwa hiperlipidemia yang tidak
terkendali dapat memepercepat progresifitas gagal ginjal. Pengobatan meliputi diet
dan olahraga. Pada peningkatan yang berlebihandiberikan obat-obat penurun lemak
darah.
2.Mencegah kerusakan ginjal lebih lanjuta.
vasodilator,
calsium
bermanfaat.
antagonis
Spironolakton
dan
alfa
tidak
blocker.
Golongan
dapat
digunakan
karenameningkatkan kalium.
d.Obat-obat nefrotoksik Obat-obat aminoglikosida, OAINS, kontras radiologi, dan
obat-obat yang dapat menyebabkan nefritis interstitialis harus dihindari
e.Kehamilan.
Kehamilan
meningkatkanterjadinya
dapat
eklamsia
memperburuk
dan
fungsi
menyebabkan
ginjal,
retardasi
hipertensim
pertumbuhan
intrauterine.
3.Pengelolaan uremia dan komplikasinya
a.Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pasien dengan CKD sering
mengalami peningkatan jumlah cairan ekstrasel karenan retensi cairan dan
natrium. Peningkatan cairanintravaskular menyebabkan hipertensi, sementara
ekspansi cairan keinterstitial menyebabkan edema. Hiponatremia sering juga
dijumpai.Penatalaksanaan
yang
tepat
meliputi
retriksi
asupan
cairan
dan
terbukti
bahwa
timbulnyaglomerulosklerosis
glomerulusdan
fibrosis
diet
tinggi
sebagai
protein
akibat
interstitial.kebutuhan
akan
mempercepat
meningkatnya
kalori
harus
beban
dipenuhi
kerja
supaya
Penyebab
utama
anemia
pada
defisiensieritropoeitin.
Penyebab
lainya
adalah
umur eritrosit
pendek,
yang
serta
adanya
CKD
adalah
perdarahan
fakotr
terjadinya
gastrointestinal,
yang
menghambat
Menanyakan tentang pusing postural dan memeriksa hipotensi postural secara teratur
akut pada fungsi ginjal, hipotensi ortostatik dan efek samping obat.
Sebaiknya pada orang dewasa diabetes dan non-diabetes dengan CKD dan dengan
ekskresi albumin di urin <30 mg/24 jam (atau setara*) yang secara konsisten tekanan
darah >140 mmHg sistolik atau >90 mmHg diastolik dapat dilakukan dengan
penurunan dosis obat tekanan darah untuk mempertahankan tekanan darah konsisten
Kami menyarankan bahwa ARB atau ACE-I digunakan pada orang dewasa diabetes
dengan CKD dan ekskresi albumin di urin 30-300 mg/24 jam (atau setara *).
Sebaiknya ARB atau ACE-I digunakan pada orang dewasa diabetes dan non-diabetes
dengan CKD dan ekskresi albumin di urin >300 mg/24 jam (atau setara *).
Ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan kombinasi ACE-I dengan ARB
11 Kami menyarankan bahwa ARB atau ACE-I digunakan pada anak-anak dengan CKD
di antaranya pengobatan dengan obat penurun tekanan darah adalah ditunjukkan
dengan terlepasnya dari proteinuria.
CKD dan Risiko AKI
12 Sebaiknya semua orang dengan CKD dapat mempertimbangkan risiko peningkatan
menjadi AKI.
3.1.12.1 Pada orang dengan CKD, rekomendasi rinci dalam Pedoman AKI KDIGO
harus diikuti untuk pengelolaan mereka yang berisiko AKI selama penyakit penyerta,
atau ketika menjalani investigasi dan prosedur yang mungkin meningkatkan risiko
AKI.
ASUPAN PROTEIN
13 Kami sarankan menurunkan asupan protein menjadi 0,8 g/kg/hari pada orang
dewasa dengan diabetes atau tanpa diabetes dan GFR <30 ml/min/1,73 m 2
(Kategori GFR G4-G5), dengan menyediakan penyuluhan.
14 Kami sarankan menghindari asupan protein yang tinggi (>1,3 g/kg/hari) pada
orang dewasa dengan risiko pengembangan CKD.
KONTROL GLIKEMIK
15 Kami merekomendasikan sasaran hemoglobin A1c (HbA1c) ~7.0% (53
mmol/mol) untuk mencegah atau menunda perkembangan komplikasi diabetes
mikrovaskuler, termasuk penyakit ginjal diabetes.
16 Sebaiknya tidak mengobati target HbA1c kurang dari 7.0% (<53 mmol/mol) pada
pasien akan berisiko hipoglikemia.
17 Kami sarankan target HbA1c diperpanjang di atas 7,0% (53 mmol/mol) pada
individu dengan komorbiditas atau harapan hidup terbatas dan berisiko
hipoglikemia.
18 Pada orang dengan CKD dan diabetes, kontrol glikemik harus menjadi bagian dari
strategi intervensi multifaktorial menangani kontrol tekanan darah dan risiko
kardiovaskular,
mempromosikan
penggunaan
angiotensin-converting
HYPERURICEMIA
20
Ada bukti yang cukup untuk mendukung atau menolak penggunaan agen untuk
menurunkan konsentrasi serum asam urat pada orang dengan CKD dan
hyperuricemia baik simtomatik atau asimtomatik untuk menunda perkembangan
CKD.
21
GAYA HIDUP
Kami merekomendasikan bahwa orang dengan CKD didorong untuk melakukan
aktivitas fisik yang kompatibel dengan kesehatan jantung dan toleransi (bertujuan
untuk setidaknya 30 menit 5 kali per minggu), mencapai berat badan yang sehat
(BMI 20 sampai 25, sesuai dengan negara demografi tertentu), dan berhenti
merokok.
SARAN DIET TAMBAHAN
22
Sebaiknya individu dengan CKD menerima saran diet ahli dan informasi dalam
konteks program pendidikan, disesuaikan dengan tingkat keparahan CKD dan
kebutuhan untuk intervensi pada garam, fosfat, kalium, dan asupan protein di
tempat yang ditentukan.
KOMPLIKASI
YANG
BERHUBUNGAN
DENGAN
HILANGNYA FUNGSI
GINJAL
DEFINISI & IDENTIFIKASI ANEMIA PADA CKD
1 Diagnosa anemia pada orang dewasa dan anak >15 tahun dengan CKD ketika
konsentrasi Hb <13,0 g/dL (<130 g/L) pada laki-laki dan <12,0 g/dL (<120 g/L)
pada wanita.
2
Diagnosa anemia pada anak-anak dengan CKD jika konsentrasi Hb <11.0 g/dL
(<110 g/L) pada anak-anak 0,5-5 tahun, <11,5 g/dL (115 g/L) pada anak-anak 512 tahun, dan <12,0 g/dl (120 g/L) pada anak 12-15 tahun. (Tidak Dinilai)
CKD
METABOLIC
BONE
TERMASUK
PENYAKIT
KELAINAN
LABORATORIUM
3.3.1 Sebaiknya mengukur kadar serum kalsium, fosfat, PTH, dan aktivitas fosfatase alkali
setidaknya sekali pada orang dewasa dengan GFR <45 ml/min/1.73 m 2(Kategori GFR
G3B-G5) untuk menentukan nilai-nilai dasar dan menginformasikan persamaan prediksi
jika digunakan.
Kami sarankan untuk tidak melakukan tes kepadatan mineral tulang secara rutin
pada mereka dengan eGFR <45 ml/min/ 1.73 m 2(GFR kategori G3B-G5), informasi
dapat menyesatkan atau tidak membantu.
Pada orang dengan GFR <45 ml/min/1.73 m 2 (Kategori GFR G3B-G5), sebaiknya
menjaga serum fosfat konsentrasi dalam batas normal sesuai dengan nilai-nilai
referensi laboratorium lokal.
Pada orang dengan GFR <45 ml/min /1.73 m2 (Kategori GFR G3B-G5) tingkat
PTH optimal tidak diketahui. Kami menyarankan bahwa orang dengan kadar PTH
utuh di atas batas normal atas uji tersebut pertama dievaluasi untuk
hyperphosphatemia, hipokalsemia, dan kekurangan vitamin D.
VITAMIN D SUPLEMEN DAN BIFOSFONAT PADA ORANG DENGAN
CKD
5
Kami menyarankan untuk tidak rutin meresepkan suplemen vitamin D atau vitamin
D analog, didokumentasikan kekurangan, untuk menekan konsentrasi PTH tinggi
pada orang dengan CKD tidak dialisis.
Kami menyarankan untuk tidak meresepkan pengobatan bifosfonat pada orang
dengan GFR <30 ml / min / 1.73 m2(Kategori GFR G4-G5) tanpa alasan klinis yang
kuat.
ASIDOSIS
1
Kami menyarankan bahwa pada orang dengan CKD dan serum bikarbonat
konsentrasi 22 mmol/L pengobatan dengan lisan suplementasi bikarbonat diberikan
untuk mempertahankan bikarbonat serum dalam kisaran normal, kecuali
kontraindikasi.
PUSTAKA :
KDIGO Clinical Practice Guideline for the Diagnosis, Evaluation, Prevention, and
Treatment of Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone Disorder (CKD-MBD). 2009.
Vol 76
International Society of Nephrology. 2011. Cardiovascular disease in chronic kidney
disease. A clinical update from Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO)
KDIGO Clinical Practice Guideline for the Management of Blood Pressure in Chronic