Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PEMBAHASAN ARTIKEL ILMIAH


“WARFARIN PHARMACOGENOMIC”

DISUSUN OLEH

AULINA MUTIARAWATI (5419220006)


NURUL ANNISA (5419220029)
YULIANAH (5419220047)

MAGISTER FARMASI RUMAH SAKIT


ANGKATAN 34
UNIVERSITAS PANCASILA
2019
A. JUDUL & TOPIK ARTIKEL ILMIAH
Artikel ilmiah berjudul “Warfarin Pharmacogenomics” oleh Jiayi Li,
MD; Shan Wang, PharmD, RPh; Joseph Barone, PharmD Candidate; dan
Brian Malone, MS, RPh, menganalisa terkait pengaruh gen terhadap kerja
warfarin dalam tubuh. Warfarin merupakan obat antikoagulan yang biasa
digunakan untuk mencegah serta menangani kasus thromboembolik. Pada
pemberian pengobatan dengan warfarin perlu perhatian khusus mengingat
warfarin memiliki indeks terapi sempit dan adanya tendensi kejadian
perdarahan serta aksi kerjanya yang menunjukkan respon bervariasi pada
tiap individu.
Pada artikel ilmiah ini penulis fokus membahas terkait polimorfisme
gen (single-nucleotide polymorphisms/ SNPs) yang mengkode protein yang
berpengaruh pada metabolisme serta farkakodinamik warfarin yaitu enzim
sitokrom P450 2C9 dan VKORC1 (Vitamin K Epoxide Reductase Complex).
Individu yang memiliki gen yang mengekspresikan kedua protein perlu
diberikan penurunan dosis warfarin guna menghindari kejadian perdarahan.
Dengan memahami karateristik gen yang mempengaruhi kerja warfarin
diharapkan dapat mencegah terjadinya efek yang tidak diharapkan tersebut.

B. LATAR BELAKANG
Farmakogenomik merupakan cabang ilmu farmakologi ini berkaitan
dengan efek profil genetik individu pasien terhadap efikasi dan toksisitas
obat. Farmakogenomik merupakan salah satu bidang ilmu yang diyakini
dapat menjelaskan bahwa adanya perbedaan respon dari setiap individu
terhadap obat yang diberikan sangat erat kaitannya dengan perbedaan
genetik dari masing-masing individu tersebut. Semakin banyak informasi
yang diketahui tentang peranan genetik dalam respon obat khususnya pada
tingkat molekuler akan membantu para peneliti dalam pengembangan obat.
Salah satu obat yang sudah diketahui memiliki keterkaitan erat dengan profil
genetik individu yaitu warfarin.
Warfarin adalah campuran rasemat dari enantiomer S dan R. Aktiftas
antikoagulan S-warfarin jauh lebih besar dari pada R-warfarin. S-warfarin
dimetabolisme terutama oleh CYP2C9, yang mengubah obat menjadi
metabolit tidak aktif. Inilah sebabnya mengapa gen CYP2C9 berkontribusi
terhadap variabilitas dalam respons terapi warfarin.
CYP2C9 merupakan enzim yang berperan didalam proses
metabolisme warfarin, sedangkan VKORC1 (Vitamin K Epoxide Reductase
Complex Subunit 1) merupakan gen target tempat warfarin bekerja.
VKORC1 diprediksi memiliki efek tiga kali lebih besar dibandingkan
CYP2C9.
SNPs adalah variasi DNA di mana nukleotida tunggal dalam urutan
berbeda antara anggota genom yang sama. SNPs sering mengarah pada
pembentukan alel gen yang berbeda. Dari 30 alel CYP 2C9 yang ditemukan,
CYP 2C9 * 2 (atau 430 C> T) dan CYP 2C9 * 3 (1075A> C) adalah dua alel
yang dianggap sebagai faktor risiko yang kuat untuk antikoagulasi berlebih.
Secara genetik, pasien yang membawa alel CYP2C9 *2 dan CYP2C9
*3 cenderung memerlukan dosis pemeliharaan warfarin yang lebih rendah
karena metabolisme yang melambat dibandingkan dengan pasien yang
membawa alel "wild-type". Pasien yang membawa haplotype VKORC1 A
cenderung membutuhkan dosis perawatan wafarin yang lebih rendah sebagai
akibat dari penurunan ekspresi messenger RNA (mRNA), yang
menghasilkan protein yang diperlukan untuk pembentukan VKORC1.
Alel CYP 2C9 * 1 (wild-type) memiliki frekuensi tertinggi, dan
merupakan alel paling umum dari 30. Alel * 2 menghasilkan protein CYP
2C9 dengan aktivitas 70%, dan alel * 3 menghasilkan protein CYP2C9
dengan aktivitas 20% . Pasien yang merupakan pembawa dari dua alel ini (*
2 dan * 3) memetabolisme S-warfarin lebih lambat secara in vivo, yang
berakibat pada kebutuhan dosis warfarin pemeliharaan yang lebih rendah,
dibandingkan dengan pasien yang menggunakan alel-wild type. CYP2C9 *
5, * 6, * 8, dan * 11 juga dapat memperlambat metabolisme S-warfarin.
VKORC1 adalah enzim siklus vitamin K yang mengontrol regenerasi
vitamin K menjadi vitamin K epoxide (KH2). Ini adalah co-faktor penting
dalam pembentukan faktor pembekuan. Warfarin bekerjasecara tidak
kompetitif menghambat VKORC1, sehingga menghalangi kaskade
pembekuan. SNPs yang paling umum dipelajari dari VKORC1 termasuk
1173 C> T (CC adalah wild-type) dan alel 1639 G> A (GG adalah wild-
type), dikaitkan dengan kerja VKORC1 yang lebih rendah karena penurunan
translasi mRNA menjadi protein.
Klasifikasi Polimorfisme VKORC1 berdasarkan tipe haplo-nya :
Kombinasi alel di berbagai lokasi yang ditransmisikan pada kromosom yang
sama
1. Haplotipe AA bersifat homozigot untuk varian alel
2. Haplotipe AB heterozigot untuk varian alel, `
3. haplotipe BB homozigot untuk alel normal (wild-type)
4. haplotipe AA, AB, dan BB dihubungkan dengan dosis
perawatan warfarin yang rendah, sedang, dan tinggi.
5. Variasi dalam hal etnis dan polimorfisme VKORC1.
37% orang Eropa-Amerika memiliki alel 1173 C> T atau alel 1639 G> A.
85% hingga 90% orang Asia homozigot untuk alel VKORC1 dosis rendah.
Gambar 1. Mekanisme kerja dan metabolism warfarin

C. PEMBAHASAN
Pada artikel ilmiah tersebut penulis menampilkan beberapa penelitian
yang dilakukan oleh peneliti lain terkait efikasi maupun toksisitas pemberian
warfarin pada kelompok pasien dengan kerakter genetik tertentu yaitu
adanya polimorfisme CYP2C9 dan VKORC1.
Schwarz et al.
Schwarz dan rekannya melakukan penelitian retrospektif di tiga klinik
antikoagulasi yang berafiliasi dengan Vanderbilt University Medical Center.
Mereka menggunakan sebanyak 297 pasien untuk masing-masing kelompok
yaitu, kelompok haplotipe VKORC1 A, kelompok haplotipe VKORC1 B,
kelompok alel CYP 2C9 * 2, atau kelompok allel CYP 2C9 * 3. Diperoleh
hasil waktu dari inisiasi warfarin ke INR terapi pertama (T1), Waktu dari
inisiasi warfarin ke INR pertama yang diukur di atas 4 (T2), Pasien dengan
satu atau dua alel haplotipe VKORC1 memiliki T1 dan T2 yang lebih
pendek daripada pasien dengan dua alel haplotype . Genotip CYP 2C9 tidak
secara signifikan mempengaruhi T1,Pasien dengan CYP 2C9 * 2 dan CYP
2C9 * 3 memiliki T2 yang lebih pendek daripada daripada pembawa alel
tipe wild-CYP2C9 * 1, Pasien dengan dua alel haplotipe A VKORC1 lebih
rentan terhadap pasien INR yang supratherapeutik dengan alel wild-type.

Li et al
Li dan rekan kerjanya melakukan studi kohort prospektif yang
berbasis di Chapel Hill, North Carolina, untuk mengevaluasi hubungan
antara SNP di VKORC1 dan CYP 2C9 dan dosis warfarin mingguan rata-
rata yang diperlukan untuk mempertahankan target INR. Dalam studi ini, 93
pasien Eropa-Amerika dipilih dari database klinik antikoagulasi. Database
ini termasuk indikasi, durasi, dosis rata-rata, penyesuaian dosis, dan INR
untuk terapi warfarin. Data untuk rata-rata dosis warfarin mingguan
dikumpulkan selama hampir 21 bulan. INR (International Normalized Ratio)
target pada kebanyakan pasien dilaporkan 2 sampai 3.
Para penulis menemukan bahwa alel VKORC1 * 1173, * 1542, dan *
2255 (tiga dari enam alel yang diuji) secara signifikan terkait dengan dosis
pemeliharaan warfarin yang lebih rendah yang diperlukan untuk mencapai
target INR. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa polimorfisme CYP
2C9 (alel * 2 dan * 3) dikaitkan dengan dosis warfarin mingguan rata-rata.

Higashi et al.
Higashi et al. melakukan penelitian kohort retrospektif di dua klinik
antikoagulasi di Seattle untuk menentukan apakah varian CYP 2C9 * 2 dan
* 3 dikaitkan dengan antikoagulasi dan kejadian perdarahan yang berlebihan
pada pasien yang diobati dengan warfarin. Dua ratus pasien terdaftar dalam
penelitian ini dan menerima terapi warfarin jangka panjang dari 30 April
1990 hingga 31 Mei 2001.
Ukuran hasil utama adalah status anti koagulasi pasien, INR yang
diukur pada saat terapi; tingkat INR di atas kisaran; dan waktu untuk
menstabilkan dosis warfarin. Disimpulkan bahwa pasien dengan setidaknya
satu varian alel memiliki peningkatan risiko INR di atas kisaran dan
kemungkinan risiko antikoagulasi berlebih. Selain itu, pasien ini,
dibandingkan dengan pasien yang membawa alel tidak teratur,
membutuhkan lebih banyak waktu untuk mencapai dosis stabil, dengan
perbedaan rata-rata 95 hari. Akhirnya, pasien dengan alel varian CYP 2C9
mengalami perdarahan pertama lebih cepat daripada pasien dengan alel tidak
teratur. Varian genotipe meningkatkan risiko perdarahan selama fase inisiasi
dan fase perawatan terapi warfarin.

Lindh et al
Penelitian prospektif (case-control prospective) dilakukan terhadap
pasien dengan pengobatan warfarin, dimana pasien lebih muda dari 18
tahun, kontraindikasi warfarin dan pernah mendapat pengobatan warfarin
sebelumnya di eksklusikan dari penelitian. Target akhir penelitian yaitu
melihat adanya overantikoagulasi selama 3 minggu pertama setelah
pengobatan warfarin. Overantikoagulasi didefinisikan sebagai setidaknya
ada satu kejadian supratherapeutic INR kapanpun selama waktu tersebut.
Melihat kejadian overantikoagulasi dengan membandingkan grup alel *2
dan *3 dengan grup alel *1.
Hasilnya yaitu pada minggu ke -1 , grup pasien dengan alel *3,
memiliki nilai INR diatas 3 sebesar 6 kali sedangkan pasien dengan alel*2
memiliki nilai INR lebih dari 3 sebesar 3 kalinya. Pada minggu ke-3, nilai
INR diatas 3 dari grup alel*2 dan alel *3 memiliki angka kejadian yang
sama dengan grup alel dominan*1 (wild-type alel).
Kesimpulannya yaitu jadi secara keseluruhan pengobatan warfarin
selama 3 minggu menunjukkan bahwa grup alel *3 memiliki akan
kemungkinan kejadian overantikoagulation paling tinggi (2,2 kali) dibanding
grup alel *2(1,8 kali). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lindh et al
merekomendasikan monitoring farmakogenetik lebih bermanfaat tinggi jika
dilakukan sejak minggu pertama (awal ) pengobatan warfarin.

Anderson et al
Dilakukan RCT terhadap 200 pasien dengan pemberian warfarin 10
mg pada hari ke-1 dan ke-2 kemudian dilanjutkan dengan dosis awal 5 mg
dan kemudian berdasarkan pengecekan INR pada hari ke-5 dilakukan
penyesuaian dosis pada hari ke-5 sampai ke-7. Dilakukan pengecekan INR
pada hari ke-8 dan kemungkianan dilakukan penyesuaian dosis. Hari
penghitungan INR selanjutnya yaitu hari ke-21, 60, 90.
Desain penelitian yaitu membandingkan kejadian overantikoagulasi
pada grup kontrol yaitu pasien dengan 10 mg warfarin dibanding dengan
kelompok pasien farmakogenetik (hasil regresi terhadap genotip CYP 2C9,
alel VKORC1, usia, berat badan, jenis kelamin). Penelitian dilakukan selama
3 bulan dan dilakukan pengecekan INR pada hari ke 0,3,5,8,21,60,dan 90.
Tujuan akhir penelitian antara lain:1) mengurangi persentase INR
yang melebihi normal (antara 1,8-3,2); 2) kapan waktu diperlukan
pemberian vit K, persentase waktu selama terapi dalam range INR;
persentase pasien yang masih dalam range terapi INR pada hari ke-5 dan 8;
jumlah total nilai INR; jumlah adjustment yang dilakukan; persentase pasien
dengan efek samping serius tiap kelompok (cth : INR = 4 atau lenih,
penggunaan vit K, kejadian perdarahan mayor).
Hasil penelitian terhadap end-point pertama yaitu penelitan gagal
menunjukkan gambaran grup farmakogenetik memiliki dapat meningkatkan
INR (kejadian perdarahan) (p value = 0,47). Sedangkan terkait end-point
yang kedua menunjukkan bahwa pada grup farmakogenetik memerlukan
penurunan dosis (berbeda bermakna, p value =0,035). Selain itu pasien
dengan multivarian alel menunjukkan secara signifikan memiliki nilai INR
lebih dari 4 serta adanya efek samping (p value= 0,029)

D. KESIMPULAN
Terapi warfarin dipengaruhi oleh VKORC1 dan polimorfisme
CYP2C9. Dengan memahami profil genetik tiap individu yaitu genotip
CYP2C9 dan VKORC1 maka dapat meningkatkan ketepatan dosis
pemberian warfarin. Haploid VKORC1 memberikan 3 kali efek lebih besar
dibandingkan polymorfisme CYP2C9 dalam tiap pemberian dosis individual
warfarin. Salah satu yang masih menjadi pertimbangan yaitu biaya tes
genetik.

E. DAFTAR PUSTAKA
Li, Jiayi., et al, 2009, Warfarin Pharmacogenomics, P & T, vol 34(8).
Radji, Maksum, 2005, Pendekatan Farmakogenomik Dalam Pengembangan
Obat baru, Majalah Ilmu Kefarmasian Vol II (1) hal 1-11.

Anda mungkin juga menyukai