Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI APOTEK FIRDAUS
PERIODE 24 S/D 3 OKTOBER 2020

KELOMPOK 8
RenaldiPairi(D1A119073)
KadekSuastini(D1A119001)
Zakiah Tajuddin (D1A119013)
Nurfauziah(D1a119071)
Aldy Aryono(D1A119030)

PRODI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MEGAREZKY
MAKASSAR
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DI PBF PT. HARINDO BINTANG ABADI
PERIODE 13 S/D 30 JULI 2020

Laporaninidisusununtukmemenuhi salah satusyaratuntukmemperolehgelarApoteker pada


Program Studi Pendidikan ProfesiApotekerFakultasFarmasiUniversitasMegarezky.

Disetujui Oleh

DosenPembimbingPreseptor

apt.Suhartina Hamah, S.Si, M.Si apt. Rahmaniar. S.Si


NIDN. ApotekerPenanggung Jawab

Mengetahui,
Ketua Program Studi Pendidikan ProfesiApoteker

(Dr.Jangga, S.Si., M.Kes., Apt)


NIP. 196812312005011006

2
KATA PENGANTTAR

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Apotek Firdaus tanggal


24 Agustuss sampai 3 aktober 2020 disusun sebagai syarat guna memenuhi tugas PKPA
program studi apoteker Fakultas Farmasi Universitas Megarezky.
Penulis menyadari bahwa selama pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker di
Apotek Firdaus ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan dan doa berbagai pihak yang dengan
senang hati memberikan pengatahuan, waktu, tenaga dan pikiran untuk itu pada kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. H. Alimuddi, SH.,MH.,M.KnSelaku Pembina Yayasan Universitas Mega Rezky
2. Prof. Dr.dr. Ali Aspar Mappahya Selaku Rektor Universitas Mega Rezky
3. Dr.Jangga, S.Si., M.Kes., Apt. Selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Mega Rezky
4. Ketua Jurusan Program Studi Farmasi Universitas Mega Rezky
5. apt. Suhartina Hamah, S.Si, M.Si selaku pembimbing PKPA yang telah memberikan
bimbingan dan petunujuk
6. apt. Rahmaniar. S.Si selaku penanggung jawab Apotek Firdaus
7. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam
pelaksanaan dan penyusunan laporan PKPA ini.
Saya menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua
pihak demi kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker
(PKPA), ini dapat memberikan manfaat serta menambah pengatahuan di bidang PBF
hususnya Apotek Firdaus
Makassar, 12 september 2020

Penyusun

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................
KATA PENGANTAR ........................................................................................
DAFTAR ISI .......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................
A. LatarBelakang.........................................................................................
B. Tujuan PKPA di (APOTEK) .................................................................
C. Manfaat PKPA di APOTEK..................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................
A. Pengertian.................................................................................................
B. Tugas, Fungsi...........................................................................................
C. KetentuanUmum Dan PeraturanPerundang-Undangan.....................
D. Tugas Dan Tanggung Jawab Apoteker.................................................
BAB IIITINJAUAN UMUM TEMPAT PKPA................................................
A. Sejarah......................................................................................................
B. Visi dan Misi............................................................................................
C. Lokasi Sarana dan Prasarana................................................................
D. StukturOrganisasi...................................................................................
BAB IVKEGIATAN PKPA DAN PEMBAHASAN.........................................
A. Kegiatan yang dilakukan........................................................................
B. Tugas yang dikerjakanselama PKPA....................................................
C. Pembahasan.............................................................................................
BAB VKESIMPULAN DAN SARAN...............................................................
A. Kesimpulan..............................................................................................
B. Saran................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
LAMPIRAN

4
BAB I
PENDAHULUAN
Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung
jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Pelayanan kefarmasian menggambarkan adanya nteraksi antara apoteker
dengan pasien dan rekan sejawat lainnya seperti dokter dan perawat. Bentuk interaksi antara
apoteker dengan pasien tersebut antara lain adalah melaksanakan pemberian informasi obat,
monitoring penggunaan obat untuk memastikan tujuan akhir terapi dapat dicapai dan proses
terapi yang terdokumentasi dengan baik. Adanya interaksi yang baik ini dapat menghindari
terjadinya kesalahan dalam pengobatan (medication error). Menurut Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Indonesia nomor 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian,
medication error adalah kejadian merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam
penanganan tenaga kesehatan yang seharusnya dapat dicegah. Apoteker juga dapat
memberikan konseling bagi pasien untuk meningkatkan pemahaman pasien terhadap terapi
yang dijalaninya. Penigkatan pemahaman ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan
pasien terhadap terapi yang sedang dijalaninya.
Apoteker sebagai penanggung jawab sebuah apotek memiliki peranan yang besar dalam
menjalankan fungsi apotek berdasarkan nilai bisnis maupun fungsi sosial, terutama perannya
dalam menunjang upaya kesehatan dan sebagai penyalur perbekalan farmasi kepada
masyarakat. Apoteker dituntut untuk dapat menyelaraskan kedua fungsi tersebut. Kondisi
masyarakat yang semakin kritis terhadap kesehatan mereka dan kemudahan mengakses
informasi menjadi tantangan tersendiri bagi apoteker di masa depan. Kunjungan masyarakat ke
apotek kini tak sekedar membeli obat, namun untuk mendapatkan informasi legkap tentang
obat yang diterimanya.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Apotek
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian dalam ketentuan umum, dijelaskan bahwa apotek adalah sarana pelayanan
kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Sementara berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
922/MENKES/PER/X/1993
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah
suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi,
perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.
Pekerjaan Kefarmasian menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009
adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan, dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Sediaan farmasi yang dimaksud adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. Dalam
pengelolaannya, apotek harus dikelola oleh Apoteker, yang telah mengucapkan sumpah jabatan
dan telah memperoleh Surat Izin Apotek (SIA) dari Dinas Kesehatan setempat
2.2. Landasan Hukum Apotek
Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang diatur dalam:
a. Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
b. Undang-undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
c. Undang-undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 tahun 1980 tentang
Perubahan atas PP No. 26 tahun 1965 tentang Apotek.
e. Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
3 Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

6
4
f. Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
g. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktek, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.
h. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
i. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
2. 3. Tugas dan Fungsi Apotek
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan dan
Tambahan Atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek, tugas dan
fungsi apotek adalah:
a. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan.
b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan
penyerahan obat atau bahan obat.
c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus mendistribusikan obat yang diperlukan
masyarakat secara meluas dan merata.
d. Sebagai sarana informasi obat kepada masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.
2.4. Persyaratan Pendirian Apotek
Suatu apotek baru dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apoteker (SIA). Surat Izin
Apoteker (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia kepada
Apoteker atau Apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana apotek untuk
menyelenggarakan pelayanan apotek disuatu tempat tertentu (Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 2002).
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

7
5
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002
tentang Tata Cara Pemberian Izin Apotek, pada BAB IV Pasal 6 menyebutkan persyaratan-
persyaratan apotek adalah sebagai berikut :
a. Untuk mendapatkan izin apotek, Apoteker yang telah memenuhi persyaratan baik yang
bekerjasama dengan pemilik sarana atau tidak, harus siap dengan tempat (lokasi dan bangunan),
perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan farmasi yang lain, merupakan milik
sendiri atau milik pihak lain.
b. Sarana apotik dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lain
di luar sediaan farmasi.
c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi.
Persyaratan lain yang harus diperhatikan untuk mendirikan suatu apotek antara lain:
a. Lokasi dan Tempat
Jarak minimum antara apotek tidak lagi dipersyaratkan, tetapi tetap mempertimbangkan segi
penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, jumlah dokter, sarana
pelayanan kesehatan dan hygiene
lingkungan. Selain itu apotek dapat didirikan di lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan
komoditi lainnya diluar sediaan farmasi (Firmansyah, M., 2009). Apotek harus dapat dengan
mudah di akses oleh masyarakat. Pada
halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata „Apotek‟.
b. Bangunan dan Kelengkapannya
Bangunan apotek harus mempunyai luas yang memadai sehingga dapat menjamin kelancaran
pelaksanaan tugas dan fungsi apotek (Firmansyah, M., 2009). Persyaratan teknis bangunan
apotek setidaknya terdiri dari (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2002) :
1) Ruang tunggu pasien.
2) Ruang peracikan dan penyerahan obat.
3) Ruang administrasi.
4) Ruang penyimpanan obat.
5) Ruang tempat pencucian alat.
6) Kamar kecil (WC).
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

8
6
Selain itu bangunan apotek harus dilengkapi dengan (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2002):
1) Sumber air yang memenuhi persyaratan kesehatan.
2) Penerangan yang cukup sehingga dapat menjamin pelaksanaan tugas dan fungsi apotek.
3) Alat pemadam kebakaran minimal dua buah yang masih berfungsi dengan baik.
4) Ventilasi dan sistem sanitasi yang memenuhi persyaratan hygiene lainnya.
5) Papan nama apotek, yang memuat nama apotek, nama APA, nomor Surat Izin Apotek (SIA),
alamat apotek dan nomor telpon apotek (bila ada).
c. Perlengkapan Apotek (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2002) Perlengkapan yang harus
tersedia di apotek adalah:
1) Alat pembuatan, pengolahan, dan peracikan, seperti timbangan, mortar, dan gelas ukur.
2) Perlengkapan dan alat penyimpanan perbekalan farmasi seperti lemari obat dan lemari
pendingin.
3) Wadah pengemas dan pembungkus seperti plastik pengemas dan kertas perkamen.
4) Tempat penyimpanan khusus narkotika, psikotropik, dan bahan beracun.
5) Alat administrasi seperti blanko pesanan obat, faktur, kuitansi, kartu stok, dan salinan resep.
6) Buku standar yang diwajibkan antara lain Farmakope Indonesia.
d. Tenaga Kerja atau Personalia Apotek
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
889/MENKES/PER/V/2011, tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan
kefarmasian yang terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Apoteker adalah sarjana
farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalankan pekerjaan
kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga
menengah Farmasi atau Asisten Apoteker.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

9
7
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/2002,
personil apotek terdiri dari:
1) Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah apoteker yang telah memiliki Surat Izin Apotek.
2) Apoteker Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek di samping APA dan atau
menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek.
3) Apoteker Pengganti adalah Apoteker yang menggantikan APA selama APA tersebut tidak
berada ditempat lebih dari 3 bulan secara terus- menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK)
dan tidak bertindak
sebagai APA di apotek lain.
4) Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang- undangan berhak
melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai asisten apoteker yang berada di bawah pengawasan
apoteker.
Selain itu, terdapat tenaga lainnya yang dapat mendukung kegiatan di apotek yaitu (Umar, M.,
2011):
1) Juru resep adalah petugas yang membantu pekerjaan asisten apoteker.
2) Kasir adalah orang yang bertugas menerima uang, mencatat penerimaan, dan pengeluaran
uang.
3) Pegawai tata usaha adalah petugas yang melaksanakan administrasi apotek dan membuat
laporan pembelian, penjualan, penyimpanan, dan keuangan apotek.
e. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA)
Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat
izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja. Surat izin tersebut berupa:
1) SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian;
2) SIPA bagi Apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian;
3) SIK bagi Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas produksi atau fasilitas
distribusi/penyaluran
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

10
8
Untuk memperoleh SIPA sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51
tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, seorang apoteker harus memiliki Surat Tanda
Registrasi Apoteker (STRA). STRA ini dapat diperoleh jika seorang apoteker memenuhi
persyaran sebagai berikut:
1) Memiliki ijazah apoteker.
2) Memiliki sertifikat kompetensi apoteker.
3) Surat pernyataan telah mengucapkan sumpah atau janji apoteker.
4) Surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang mempunyai surat izin praktek.
5) Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 889/MENKES/PER/V/2011
tentang Registrasi, Izin Praktek, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian STRA dikeluarkan oleh
Menteri, dimana Menteri akan mendelegasikan pemberian STRA kepada Komite Farmasi
Nasional (KFN). STRA berlaku selama lima tahun dan dapat diregistrasi ulang selama memenuhi
persyaratan. Setelah mendapatkan STRA apoteker wajib mengurus SIPA dan SIKA di Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan. Permohonan SIPA atau
SIKA harus melampirkan:
1) Fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN;
2) Surat pernyataan mempunyai tempat praktek profesi atau surat keterangan dari pimpinan
fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran;
3) Surat rekomendasi dari organisasi profesi;
4) Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak dua lembar dan 3 x 4 cm sebanyak dua lembar.
2.5. Tata Cara Perizinan Apotek
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek adalah sebagai
berikut:
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

11
9
a. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan
menggunakan contoh formulir APT-1.
b. Dengan menggunakan formulir APT-2 Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-
lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis
kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan apoteker melakukan
kegiatan.
c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-
lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat
dengan menggunakan formulir APT-3.
d. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud di dalam butir (b) dan (c),
jika tidak dilaksanakan maka apoteker pemohon dapat membuat surat
pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat
dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi dengan menggunakan formulir APT-4.
e. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud butir (c) atau pernyataan butir (d) Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan Surat Izin Apotek dengan menggunakan formulir APT-
5.
f. Dalam hal hasil pemeriksaan tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM
sebagaimana dimaksud pada butir (c) jika masih belum memenuhi syarat, maka Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja mengeluarkan surat penundaan
dengan menggunakan formulir APT-6.
g. Terhadap surat penundaan sebagaimana dimaksud dalam butir (f), apoteker
diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal surat penundaan.
h. Apabila apoteker menggunakan sarana pihak lain, maka penggunaan sarana dimaksud wajib
didasarkan atas perjanjian kerjasama antara apoteker dan pemilik sarana.
i. Pemilik sarana yang dimaksud tersebut harus memenuhi persyaratan tidak
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

12
10
pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang obat sebagaimana
dinyatakan dalam surat pernyataan yang bersangkutan.
j. Terhadap permohonan izin apotek dan APA atau lokasi tidak sesuai dengan pemohon, maka
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 hari kerja
wajib mengeluarkan surat penolakan disertai dengan alasannya dengan menggunakan formulir
APT-7.
2.6. Pencabutan Surat Izin Apotek (Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
2002)
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/2002,
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dapat mencabut Surat Izin Apotek, apabila:
a. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai APA.
b. Apoteker tidak lagi memenuhi kewajibannya untuk menyediakan, menyimpan dan
menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin.
c. APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun secara terus
menerus.
d. Terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Psikotropika,
Undang-Undang Kesehatan dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
e. Surat Izin Kerja (SIK) APA tersebut dicabut.
f. Pemilik sarana apotek tersebut terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-
undangan di bidang obat.
g. Apotek tidak dapat lagi memenuhi persyaratan mengenai kesiapan tempat pendirian apotek
serta kelengkapan sediaan farmasi dan perbekalan lainnya baik merupakan milik sendiri atau
pihak lain.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebelum melakukan pencabutan surat izin apotek
berkoordinasi dengan Kepala Balai POM setempat. Pelaksanaan pencabutan surat izin apotek
dilaksanakan setelah dikeluarkan:
a. Peringatan secara tertulis kepada APA sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang
waktu masing-masing 2 (dua) bulan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

13
11
b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam) bulan sejak
dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan apotek.
Pembekuani izin apotek sebagaimana dimaksud dalam huruf (b) di atas, dapat dicairkan kembali
apabila apotek telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan dalam
peraturan ini. Pencairan izin apotek dilakukan setelah menerima laporan pemeriksaan dari Tim
Pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Apabila SIA dicabut, APA atau
Apoteker Pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasi sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pengamanan tersebut wajib mengikuti tata cara sebagai berikut:
a. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, obat keras tertentu dan obat lain
serta seluruh resep yang tersedia di apotek.
b. Narkotika, psikotropika, dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang tertutup dan terkunci.
Apoteker Pengelola Apotek wajib melaporkan secara tertulis kepada Kepala Wilayah Kantor
Kementerian Kesehatan atau petugas yang diberi wewenang olehnya, tentang penghentian
kegiatan disertai laporan inventarisasi yang dimaksud dalam huruf (a).
2.7. Pengelolaan Apotek
Seluruh kegiatan apoteker untuk melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan apotek disebut
pengelolaan apotek. Pengelolaan apotek sepenuhnya berada ditangan apoteker, oleh karena itu
apoteker harus mengelola secara efektif sehingga obat yang disalurkan kepada masyarakat akan
lebih dapat dipertanggungjawabkan, karena kualitas dan keamanannya selalu terjaga. Pengelolaan
apotek dibedakan atas:
2.7.1. Kegiatan Teknis Kefarmasian
2.7.1.1.Pengelolaan perbekalan farmasi dan alat kesehatan (Mashuda, A., 2011) Pengelolaan
sediaan farmasi dan alat kesehatan adalah suatu proses yang berkesinambungan yang dimulai dari
pemilihan, perencanaan. Penganggaran, pengadaan, penerimaan, produksi, penyimpanan,
distribusi, peracikan, pengendalian, pengembalian, pemusnahan, pencatatan dan pelaporan,
jaminan
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

14
12
mutu serta monitoring dan evaluasi, yang didukung oleh kebijakan, SDM, pembiayaan dan sistem
informasi manajemen yang efisien dan efektif.
a. Pemilihan
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai jumlah,
jenis dan waktu yang tepat sesuai dengan kebutuhan agar tercapai penggunaan obat yang rasional.
Pemilihan sediaan farmasi dan alat kesehatan harus berdasarkan:
1) Pola penyakit
2) Kebutuhan dan kemampuan daya beli masyarakat
3) Pengobatan berbasis bukti
4) Bermutu dan ekonomis
5) Budaya masyarakat (kebiasaan masyarakat setempat)
6) Pola penggunaan obat sebelumnya
b. Pengadaan
Suatu proses kegiatan yang bertujuan agar tersedia sediaan farmasi dengan jumlah dan jenis yang
cukup sesuai dengan kebutuhan pelayanan. Pengadaan yang efektif merupakan suatu proses yang
mengatur berbagai cara, teknik dan kebijakan yang ada untuk membuat suatu keputusan tentang
obat-obatan yang akan diadakan, baik jumlah maupun sumbernya. Kriteria yang harus dipenuhi
dalam pengadaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan adalah:
1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diadakan memiliki izin edar atau nomor registrasi.
2) Mutu, keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan dapat dipertanggung
jawabkan.
3) Pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan berasal dari jalur resmi.
4) Dilengkapi dengan persyaratan administrasi.
Aktifitas pengadaan meliputi aspek-aspek:
1) Perencanaan
Perencanaan adalah kegiatan untuk menentukan jumlah dan waktu pengadaan sediaan farmasi
dan alat kesehatan sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan, agar terjamin terpenuhinya kriteria
tepat jenis, tepat
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

15
13
jumlah, tepat waktu serta efisien. Ada 3 (tiga) metode perencanaan
sediaan farmasi dan alat kesehatan:
a) Pola penyakit
b) Pola konsumsi
c) Kombinasi antara pola konsumsi dan pola penyakit
2) Teknis Pengadaan
Teknis Pengadaan adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan hasil perencanaan.
Teknik pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan dalam jenis dan jumlah yang tepat
dengan harga yang ekonomis dan memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan.
Teknis pengadaan dapat melalui pembelian, pembuatan dan sumbangan. Teknis pengadaaan
merupakan kegiatan yang
berkesinambungan yang dimulai dari pengkajian seleksi obat, penentuan jumlah yang
dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode teknis pengadaan,
pemilihan waktu pengadaan, pemilihan pemasok yang baik, penentuan spesifikasi kontrak,
pemantauan proses pengadaan dan pembayaran. Teknis pengadaaan merupakan penentu utama
dari ketersediaan obat dan total biaya kesehatan.
3) Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan sesuai dengan
aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender, konsinyasi atau sumbangan. Penerimaan
adalah kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan
dan harga yang tertera dalam kontrak/pesanan. Penerimaan merupakan kegiatan verifikasi
penerimaan/penolakan, dokumentasi dan penyerahan yang dilakukan dengan menggunakan
"chrecklist" yang sudah disiapkan untuk masing-masing jenis produk yang berisi antara lain :
a) kebenaran jumlah kemasan
b) kebenaran kondisi kemasan seperti yang disyaratkan
c) kebenaran jumlah satuan dalam tiap kemasan;
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

16
14
d) kebenaran jenis produk yang diterima;
e) tidak terlihat tanda-tanda kerusakan;
f) kebenaran identitas produk;
g) penerapan penandaan yang jelas pada label, bungkus dan brosur;
h) tidak terlihat kelainan warna, bentuk, kerusakan pada isi produk,
i) jangka waktu daluarsa yang memadai
4) Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menata dan memelihara dengan cara menempatkan sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian dan
gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Penyimpanan harus menjamin stabilitas dan
keamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan
kelas terapi, bentuk sediaan dan alfabetis dengan menerapkan prinsip Firsf ln First Out (FIFO)
dan First Expired First Out (FEFO) disertai sistem informasi manajemen. Untuk meminimalisir
kesalahan penyerahan obat direkomendasikan penyimpanan berdasarkan kelas terapi yang
dikombinasi dengan bentuk sediaan dan alfabetis. Apoteker harus rnemperhatikan obat-obat yang
harus disimpan secara khusus seperti narkotika, psikotropika, obat yang memerlukan suhu
tertentu, obat yang mudah terbakar, sitostatik dan reagensia. Selain itu apoteker juga perlu
melakukan pengawasan mutu terhadap sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diterima dan
disimpan sehingga terjamin mutu, keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan
c. Pendistribusian
Pendistribusian adalah kegiatan menyalurkan atau menyerahkan sediaan farmasi dan alat
kesehatan dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan pasien. Sistem distribusi yang
baik harus:
1) Menjamin kesinambungan penyaluran atau penyerahan.
2) Mempertahankan mutu.
3) Meminimalkan kehilangan, kerusakan dan kadaluarsa.
4) Menjaga ketelitian pencatatan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

17
15
5) Menggunakan metode distribusi yang efisien, dengan memperhatikan peraturan peundang-
undangan dan ketentuan lain yang berlaku.
6) Menggunakan sistem informasi manajemen.
d. Penghapusan dan pemusnahan
Sediaan farmasi yang sudah tidak memenuhi syarat sesuai standar yang ditetapkan harus
dimusnahkan. Penghapusan dan Pemusnahan sediaan farmasi harus dilaksanakan dengan cara
yang baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Prosedur
pemusnahan obat hendaklah dibuat yanng mencakup pencegahan pencemaran di lingkungan dan
mencegah jatuhnya obat tersebut di kalangan orang yang tidak berwenang. Sediaan farmasi yang
akan dimusnahkan supaya disimpan terpisah dan dibuat daftar yanng mencakup jumlah dan
identitas produk. Penghapusan dan pemusnahan obat baik yang dilakukan sendiri maupun oleh
pihak lain harus didokumentasikan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
e. Pengendalian
Pengendalian persediaan dimaksudkan untuk membantu pengelolaan perbekalan (supply) sediaan
farmasi dan alat kesehatan agar mempunyai persediaan dalam jenis dan jumlah yang cukup
sekaligus menghindari
kekosongan dan menumpuknya persediaan. Pengendalian persediaan yaitu upaya
mempertahankan tingkat persediaan pada suatu tingkat tertentu dengan mengendalikan arus
barang yang masuk melalui pengaturan sistem
pesanan atau pengadaan (scheduled inventory dan perpetual inventory), penyimpanan dan
pengeluaran untuk memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan
kekurang, kerusakan, kadaluarsa,
dan kehilangan serta pengembalian pesanan sediaan farmasi.
f. Penarikan kembali sediaan farmasi
Penarikan kembali (recall) dapat dilakukan atas permintaan produsen atau instruksi instansi
pemerintah yang berwenang. Tindakan penarikan kembali hendaklah dilakukan segera setelah
diterima permintaan instruksi untuk penarikan kembali. Untuk penarikan kembali sediaan farmasi
yang mengandung risiko besar terhadap kesehatan, hendaklah dilakukan
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

18
16
penarikan sampai tingkat konsumen. Apabila ditemukan sediaan farmasi tidak memenuhi
persyaratan, hendaklah disimpan terpisah dari sediaan farmasi lain dan diberi penandaan tidak
untuk dijual untuk menghindari kekeliruan. Pelaksanaan penarikan kembali agar didukung oleh
sistem dokumentasi yang memadai.
g. Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan kegiatan perencanaan kebutuhan, pengadaan, pengendalian persediaan,
pengembalian, penghapusan dan pemusnahan sediaan farmasi harus dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
h. Monitoring dan evaluasi
Monitoring dan evaluasi merupakan tahapan untuk mengamati dan menilai keberhasilan atau
kesesuaian pelaksanaan Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik disuatu pelayanan kefarmasian.
Untuk evaluasi mutu proses pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, dapat diukur dengan
indikator kepuasan dan keselamatan pasien/pelanggan/pemangku
kepentingan (stakeholders), dimensi waktu (time delivery), Standar
Prosedur Operasional serta keberhasilan pengendalian perbekalan kesehatan dan sediaan farmasi.
2.7.1.2.Pengelolaan resep (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1981)
Resep yang telah dilayani harus disimpan selama tiga tahun. Resep yang disimpan diberi
penandaan mengenai tanggal, bulan dan tahun pelayanan. Kemudian resep disusun rapih agar
mampu ditelusuri bila sewaktu-waktu diperlukan. Tanggal terdekat dengan bulan layanan
ditempatkan yang lebih mudah dijangkau agar mampu ditelusuri dengan cepat. Untuk
pengelolaan resep narkotik dan psikotropika. Pada saat pelayanan resep narkotika diberi tanda
garis warna merah. Resep narkotika dan psikotropika harus terarsip dengan baik dan dicatat
dalam buku penggunaan obat narkotika dan psikotropika. Resep narkotika diarsipkan dan
disimpan selama tiga tahun berdasarkan tanggal dan nomor urut resep.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

19
17
2.7.1.3.Pengelolaan narkotika
a. Pemesanan narkotika
Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 menyatakan bahwa Menteri Kesehatan memberikan izin
kepada apotek untuk membeli, meracik, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk
persediaan, menguasai, menjual, menyalurkan, menyerahkan, mengirimkan, membawa atau
mengangkut narkotika untuk kepentingan pengobatan (Presiden Republik Indonesia,
1976). Pengadaan narkotika di apotek dilakukan dengan pesanan tertulis melalui Surat Pesanan
Narkotika kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF) PT. Kimia Farma. Surat Pesanan Narkotika
harus ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nama jelas, nomor SIK, SIA dan stempel
apotek. Satu surat pesanan terdiri dari rangkap empat dan hanya dapat untuk memesan satu jenis
obat narkotika (Umar M., 2011).
b. Penyimpanan narkotika (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1978)
Apotek harus mempunyai tempat khusus untuk menyimpan narkotika dan harus dikunci dengan
baik. Tempat penyimpanan narkotika di apotek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat.
2) Harus mempunyai kunci ganda yang kuat.
3) Dibagi menjadi dua bagian masing-masing bagian dengan kunci yang berlainan. Bagian
pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidin dan garam-garamnya serta persediaan
narkotika sedangkan bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika yang dipakai
sehari-hari.
4) Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40×80×100 cm, maka
lemari tersebut harus dibuat melekat pada tembok atau lantai.
5) Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang lain selain narkotika, kecuali
ditentukan oleh Menteri Kesehatan.
6) Anak kunci lemari khusus harus dipegang oleh pegawai yang dikuasakan.
7) Lemari khusus harus ditempatkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

20
18
c. Pelayanan resep yang mengandung narkotika
Apotek hanya melayani pembelian narkotika berdasarkan resep dokter sesuai dengan ketentuan
Surat Edaran Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan No. 336/E/SE/77 antara lain
dinyatakan :
1) Sesuai dengan bunyi pasal 7 ayat (2) UU No. 9 tahun 1976 tentang Narkotika, apotek dilarang
melayani salinan resep yang mengandung narkotika, walaupun resep tersebut baru dilayani
sebagian atau belum dilayani sama sekali.
2) Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali, apotek
boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani oleh apotek yang
menyimpan resep aslinya.
3) Salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani sama sekali. Oleh
karena itu dokter tidak boleh menambah tulisan iter pada resep-resep yang mengandung
narkotika.
d. Pelaporan narkotika
Berdasarkan UU No. 35 tahun 2009 pasal 14 ayat (2) dinyatakan bahwa industri farmasi,
pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit,
pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib
membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau
pengeluaran narkotika yang berada dibawah penguasaannya. Laporan tersebut meliputi laporan
pemakaian narkotika dan laporan pemakaian morfin dan petidin. Laporan harus di tandatangani
oleh apoteker pengelola apotek dengan mencantumkan SIK, SIA, nama jelas dan stempel apotek,
kemudian dikirimkan kepada Kepala Suku Dinas Kesehatan dengan tembusan kepada :
1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.
2) Kepala Balai POM setempat.
3) Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. (khusus Apotek Kimia Farma).
4) Arsip.
Laporan penggunaan narkotika tersebut terdiri dari:
1) Laporan penggunaan sediaan jadi narkotika
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

21
19
2) Laporan penggunaan bahan baku narkotika
3) Laporan khusus penggunaan morfin dan petidin
Laporan narkotika tersebut dibuat setiap bulannya dan harus dikirim selambat-lambatnya tanggal
10 bulan berikutnya
e. Pemusnahan narkotika
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28/MENKES/PER/I/1978
pasal 9, pemegang izin khusus, apoteker
pimpinan apotek, atau dokter yang memusnahkan narkotika harus membuat berita acara
pemusnahan paling sedikit rangkap tiga. Berita acara pemusnahan memuat :
1) Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan.
2) Nama pemegang izin khusus, apoteker pimpinan apotek, atau dokter pemilik narkotika.
3) Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari perusahaan atau badan
tersebut.
4) Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan.
5) Cara pemusnahan.
6) Tanda tangan penanggung jawab apotek/pemegang izin khusus, dokter pemilik narkotika, dan
saksi-saksi.
Kemudia berita acara tersebut dikirimkan kepada Suku Dinas Pelayanan Kesehatan dengan
tembusan:
1) Balai POM setempat
2) Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma (Persero) Tbk.
3) Arsip
2.7.1.4.Pengelolaan psikotropika
Ruang lingkup pengaturan psikotropika adalah segala hal yang berhubungan dengan psikotropika
yang dapat mengakibatkan ketergantungan. Tujuan pengaturan psikotropika yaitu (Presiden
Republik Indonesia, 1997):
a. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu
pengetahuan.
b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

22
20
c. Memberantas peredaran gelap psikotropika.
Secara garis besar pengelolaan psikotropika meliputi (Presiden Republik Indonesia, 1997):
a. Pemesanan Psikotropika
Obat golongan psikotropika dipesan dengan menggunakan Surat Pesanan Psikotropika yang
ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nomor SIK. Surat pesanan tersebut dibuat
rangkap dua dan setiap surat dapat digunakan untuk memesan beberapa jenis psikotropika.
b. Penyimpanan Psikotropika
Kegiatan ini belum diatur oleh perundang-undangan. Namun karena kecenderungan
penyalahgunaan psikotropika, maka disarankan untuk obat golongan psikotropika diletakkan
tersendiri dalam suatu rak atau lemari khusus dan membuat kartu stok psikotropika.
c. Penyerahan Psikotropika
Obat golongan psikotropika diserahkan oleh apotek, hanya dapat dilakukan kepada apotek
lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan dan dokter kepada pengguna/pasien
berdasarkan resep dokter
d. Pelaporan Psikotropika
Apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan
psikotropika dan melaporkan pemakaiannya setiap bulan kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada
Kepala Balai Besar POM setempat dan 1 salinan untuk arsip apotek.
e. Pemusnahan Psikotropika
Pemusnahan psikotropika dilakukan bila berhubungan dengan tindak pidana, diproduksi tanpa
memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan atau tidak dapat digunakan dalam proses
produksi, kadaluarsa atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan
untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Pemusnahan psikotropika dilakukan dengan pembuatan
berita acara yang sekurang-kurangnya memuat tempat dan waktu pemusnahan; nama pemegang
izin khusus; nama, jenis, dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan; cara pemusnahan; tanda
tangan dan identitas lengkap penanggung jawab apotek dan saksi-saksi pemusnahan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

23
21
2.7.2. Kegiatan Non Teknis Kefarmasian
a. Pengelolaan Sumber Daya Manusia
Sesuai ketentuan peundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang
profesional. Dalam pengelolaan apotek, apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan
menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu
berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner,
kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karir dan membantu
memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Menteri Kesehatan
Republik
Indonesia, 2004).
b. Pengelolaan Keuangan
Laporan keuangan yang biasa dibuat di apotek adalah (Umar, M., 2011) :
1) Laporan Laba-Rugi yaitu laporan yang menggambarkan tentang aliran pendapatan dan biaya
operasional yang dikeluarkan selama periode waktu tertentu.
2) Laporan Neraca yaitu laporan yang menggambarkan tentang potret kondisi kekayaan apotek
pada tanggal tertentu.
3) Laporan Aliran Kas yaitu laporan yang menggambarkan tentang aliran kas yang masuk dan
keluar pada periode tertentu.
c. Administrasi
Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi
yang meliputi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004):
1) Administrasi umum
Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
2) Administrasi pelayanan
Pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring
penggunaan obat.
Hal lain yang harus diperhatikan dalam pengelolaan apotek adalah (Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 1993a) :
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

24
22
1) Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang
bermutu baik dan keabsahannya terjamin.
2) Obat dan perbekalan farmasi lainnya yang karena suatu hal tidak dapat digunakan atau
dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain
yang ditetapkan.
2.8. Penggolongan Obat Menurut Undang-Undang
Untuk menjaga keamanan penggunaan obat oleh masyarakat, maka pemerintah menggolongkan
obat menjadi beberapa bagian, yaitu:
2.8.1. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda
khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna
hitam. Contoh : Parasetamol (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Gambar 2.1 Penandaan Obat Bebas
2.8.2. Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual
atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada
kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh : CTM (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Gambar 2.2 Penandaan Obat Bebas Terbatas
Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa empat persegi
panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima)
centimeter, lebar 2 (dua) centimeter dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). :
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

25
23
Gambar 2.3 Tanda Peringatan pada Obat Bebas Terbatas
2.8.3. Obat Keras dan Obat Psikotropika
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus
pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna
hitam. Contoh : Asam Mefenamat. Obat
psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktivitas mental dan perilaku. Contoh :
Diazepam, Phenobarbital (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Gambar 2.4 Penandaan Obat Keras
Menurut UU No.5 Tahun 1997 psikotopika digolongkan menjadi
(Presiden Republik Indonesia, 1997):
a. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: etisiklidina, tenosiklidina, dan metilendioksi
metilamfetamin (MDMA).
b. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan
dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh:
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

26
24
amfetamin, deksamfetamin, metamfetamin, dan fensiklidin.
c. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amobarbital, pentabarbital, dan siklobarbital.
d. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: diazepam, estazolam, etilamfetamin,
alprazolam.
2.8.4. Obat Narkotika
Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun
semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan. Contoh :
Morfin, Petidin (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Obat narkotika ditandai
dengan simbol palang medali atau palang swastika.
Gambar 2.5 Penandaan Obat Narkotika
Narkotika dibagi menjadi 3 golongan, yaitu (Presiden Republik
Indonesia, 2009):
a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi
sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kokain, opium, heroin, dan ganja.
b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai
pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: fentanil,
metadon, morfin, dan petidin
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

27
25
c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan
dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan. Contoh: etilmorfina kodein, dan norkodeina.
2.8.5. Obat Wajib Apotek
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 347/MENKES/SK/VII/1990
tentang Obat Wajib Apotek, menerangkan bahwa obat wajib apotek (OWA) adalah obat keras
yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh apoteker kepada pasien di apotek. Peraturan
mengenai obat wajib apotek dibuat untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan dan peningkatan pengobatan sendiri
secara tepat, aman dan rasional (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1990).
Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter harus memenuhi kriteria (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 1993b):
a. Tidak dikontraindikasikan pada wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun, dan orang tua diatas
65 tahun.
b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko akan kelanjutan penyakit.
c. Penggunaan tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan.
d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk
pengobatan sendiri
Dalam melayani pasien yang memerlukan OWA, Apoteker di apotek diwajibkan untuk (Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 1993b) :
a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam OWA yang
bersangkutan.
b. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

28
26
c. Memberikan informasi, meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping dan
lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.
2.8.6. Obat Generik
Obat generik adalah obat dengan nama resmi Internasional Non Proprietary Name (INN) yang
ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang
dikandungnya (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2010).
Gambar 2.6 Penandaan Obat Generik
2.9. Pelayanan Apotek
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/MENKES/PER/X/1993,
pelayanan apotek meliputi :
a. Apoteker wajib melayani resep dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter hewan.
Pelayanan resep ini sepenuhnya atas dasar tanggung jawab APA, sesuai dengan keahlian
profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
b. Apotek tidak diizinkan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep
dengan obat bermerek dagang.
c. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang diresepkan, apoteker wajib berkonsultasi
dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.
d. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat secara tepat,
aman, dan rasional atas permintaan masyarakat.
e. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep
yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. Apabila atas
pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib melaksanakan
secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep.
f. Salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker.
g. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

29
27
waktu 3 tahun.
h. Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang
merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan, atau petugas lain yang
berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.
i. Apoteker diizinkan menjual obat keras tanpa resep yang dinyatakan sebagai Daftar Obat Wajib
Apotek (DOWA) tanpa resep.
2.9.1. Pelayanan Resep (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004)
a. Skrining Resep
Apoteker melakukan kegiatan skrining resep yang meliputi:
1) Persyaratan administrasi: nama dokter, nomor SIP, alamat dokter, tanggal penulisan resep,
tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, nama pasien, alamat pasien, umur pasien, jenis
kelamin pasien, berat badan pasien, nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta, cara
pemakaian yang jelas dan informasi lainnya.
2) Kesesuaian farmasetik seperti bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara
dan lama pemberian.
3) Pertimbangan klinis seperti adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi,
jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada
dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu
menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.
b. Penyiapan Obat
1) Peracikan
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas, dan memberikan etiket
pada wadah. Suatu prosedur tetap harus dibuat untuk melaksanakan peracikan obat, dengan
memperhatikan dosis, jenis, dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar. Etiket harus jelas
dan dapat dibaca. Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga
terjaga kualitasnya.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

30
28
2) Penyerahan obat
Pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep harus dilakukan sebelum obat
diserahkan kepada pasien. Penyerahan obat dilakukan oleh asisten apoteker atau apoteker disertai
pemberian informasi obat atau konseling kepada pasien.
3) Informasi Obat
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak
bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara
pemakaian obat, jangka waktu pengobatan, cara penyimpanan obat, aktivitas serta makanan dan
minuman yang harus dihindari selama terapi.
4) Konseling
Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan
kesehatan lainnya sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan
terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk penderita
penyakit seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker
harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
5) Monitoring Penggunaan Obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker melaksanakan pemantauan penggunaan obat
terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis
lainnya.
2.9.2. Promosi dan Edukasi
Apoteker harus memberikan edukasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apabila
masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk penyakit ringan, dengan
memilihkan obat yang sesuai. Apoteker juga harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan
edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi antara lain dengan penyebaran leaflet
atau brosur, poster, penyuluhan dan lain-lain (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004).
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

31
29
2.9.3. Pelayanan Residensial (Home Care)
Apoteker sebagai pemberi pelayanan (care giver) diharapkan juga dapat melakukan pelayanan
kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lanjut usia (lansia) dan
pasien dengan pengobatan penyakit
kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan
(medication record) (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004).
2.9.4. Pelayanan Swamedikasi
Menurut World Health Organization (WHO) swamedikasi adalah
pemilihan dan penggunaan baik obat modern maupun obat tradisional oleh seseorang untuk
melindungi diri dari penyakit dan gejalanya . Selain pengobatan sendiri atau swamedikasi, saat ini
juga berkembang perawatan sendiri (self care). Perawatan sendiri ini lebih bersifat pencegahan
terjadinya penyakit atau menjaga supaya penyakitnya tidak bertambah parah dengan perubahan
pola hidup, menjaga pola makan, menjaga kebersihan dan lain-lain (World Health
Organization, 1998).
Peningkatan kesadaran untuk perawatan sendiri ataupun pengobatan sendiri (swamedikasi)
diakibatkan oleh beberapa faktor berikut ini (World Health Organization, 1998):
a. Faktor sosial ekonomi
Dengan meningkatnya pemberdayaan masyarakat, berakibat pada semakin tinggi tingkat
pendidikan dan semakin mudah akses untuk mendapatkan informasi. Dikombinasikan dengan
tingkat ketertarikan individu terhadap
masalah kesehatan, sehingga terjadi peningkatan untuk dapat berpartisipasi langsung terhadap
pengambilan keputusan dalam masalah kesehatan.
b. Gaya hidup
Dengan meningkatnya pemberdayaan masyarakat, berakibat pada semakin tinggi tingkat
pendidikan dan semakin mudah akses untuk mendapatkan informasi. Dikombinasikan dengan
tingkat ketertarikan individu terhadap masalah kesehatan, sehingga terjadi peningkatan untuk
dapat berpartisipasi langsung terhadap pengambilan keputusan dalam masalah kesehatan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

32
30
c. Kemudahan memperoleh produk obat
Saat ini pasien dan konsumen lebih memilih kenyamanan membeli obat yang bisa diperoleh
dimana saja, dibandingkan harus menunggu lama di rumah sakit atau klinik.
d. Faktor kesehatan lingkungan
Dengan adanya praktek sanitasi yang baik, pemilihan nutrisi yang tepat serta lingkungan
perumahan yang sehat, meningkatkan kemampuan masyarakat untuk dapat menjaga dan
mempertahankan kesehatan serta mencegah terkena penyakit.
e. Ketersediaan produk baru
Saat ini, semakin banyak tersedia produk obat baru yang lebih sesuai untuk pengobatan sendiri.
Selain itu, ada juga beberapa produk obat yang telah dikenal sejak lama serta mempunyai indeks
keamanan yang baik, juga telah dimasukkan ke dalam kategori obat bebas, membuat pilihan
produk obat untuk pengobatan sendiri semakin banyak tersedia.
Pelayanan swamedikasi merupakan pemilihan dan penggunaan obat oleh individu untuk
mengatasi masalah kesehatan tanpa menggunakan resep darii dokter. Ada beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam penggunaan obat untuk swamedikasi, yaitu (World Health
Organization, 1998):
a. Pengobatan yang digunakan harus terjamin keamanan, kualitas dan
keefektifannya.
b. Pengobatan yang digunakan diindikasikan untuk kondisi yang dapat dikenali sendiri dan untuk
beberapa macam kondisi kronis dan tahap penyembuhan (setelah diagnosis medis awal). Pada
seluruh kasus, obat harus didesain spesifik untuk tujuan pengobatan tertentu dan memerlukan
bentuk sediaan dan dosis yang benar.
Untuk mewujudkan asuhan kefarmasian (Pharmaceutical Care) dalam pelayanan swamedikasi
digunakan metode WWHAM. Hal ini dilakukan untuk memberikan pemilihan obat yang tepat
dalam rangka penyembuhan, pencegahan penyakit, pemulihan, maupun untuk peningkatan
kesehatan pasien. Metode WWHAM terdiri dari (Mashuda, A., 2011):
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

33
31
a. Who is it for? (Siapa yang sakit)
b. What are the symptoms? (Apa gejalanya)
c. How long have the symptoms ? (Sudah berapa lama gejala diderita)
d. Action taken so far? (Tindakan yang sudah dilakukan)
e. Medication being taken? (Obat yang sudah digunakan)
Universitas Indonesia
Laporan praktek…., Fienda Triani, FF, 2013

34
BAB 3
TINJAUAN UMUM
PT. KIMIA FA

35

Anda mungkin juga menyukai