Anda di halaman 1dari 29

TUGAS TENAGA TEKNIS KEFARMASIAN DAN APOTEKER DALAM

MELAYANI MASYARAKAT DI BIDANG KEFARMASIAN


D

OLEH:

NAMA : ZULY IRAWATY SITUMORANG

NIM : 190205349

JURUSAN FARMASI
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
2021
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur hendak saya panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa Pencipta
Langit dan Bumi, saya bersyukur karena perkenanannya saya, mahasiswi jurusan farmasi
ekstensi PAFI bisa menyelesaikan tugas kode etik farmasi lewat penyusunan makalah ini.

Adupun tujuan saya menyusun makalah ini adalah untuk lebih mengetahui peran dan tugas
tenaga teknis kefarmasian dan apoteker di rumah sakit dan apotek dalam melayani masyarakat
pada khususnya dengan judul makalah Tugas Tenaga Teknis Kefarmasian dan Apoteker dalam
melayani masyarakat di bidang kefarmasian, dibawah asuhan dosen kode etik farmasi Dr.
Muhammad Taufik, M.si.

Selanjutnya, saya mohon maaf jika dalam penyusunan makalah ini terdapat berbagai
kesalahan baik dalam materi yang saya sajikan, ataupun dalam hal penulisan materi, nama, dan
gelar sekalipun. Kiranya makalah ini dapat digunakan sebaik-baiknya. Terimakasih.

Rantauprapat, 17 Februari 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana
diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan
kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian
pelayanan, khususnya Pelayanan Kefarmasian. Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi
Pelayanan Kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang
komprehensif dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam pengertian
yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan
obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir
serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (Medication error).
Pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical care) merupakan salah satu sub sistem
pelayanan yang berorientasi pada pasien. Pelayanan kefarmasian ini mengarahkan pasien
tentang kebiasaan/pola hidup yang mendukung tercapainya keberhasilan pengobatan,
memberi informasi tentang program pengobatan yang harus dijalani pasien, memonitor
hasil pengobatan dan bekerja sama dengan profesi lainnya untuk mencapai kualitas hidup
yang optimal bagi pasien. Dalam uraian di atas semua peranan yang telah dipaparkan
merupakan tugas Tenaga Kefarmasian dalam memberikan pelayanan kefarmasian disarana
pelayanan farmasi, salah satu contohnya Apotek dan Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Apa saja pekerjaan kefarmasian itu ?
2. Apa saja dasar hukum peran tenaga kefarmasian ?
3. Dari mana dasar perizinan apotek dan sumber daya manusia yang bekerja di apotek ?
4. Bagaimana peranan pelayanan kefarmasian di apotek ?
5. Apa yang dimaksud dengan rumah sakit ?
6. Bagaimana peranan farmasi di rumah sakit ?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui apa saja pekerjaan kefarmasian.
2. Agar kita dapat mengetahui apa saja dasar hukum peran tenaga kefarmasian.
3. Untuk mengetahui bagaimana dasar perizinan apotek dan sumber daya manusia yang
bekerja di apotek.
4. Untuk mengetahui apa saja peranan pelayanan kefarmasian di apotek.
5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan rumah sakit.
6. Untuk mengetahui bagaimana peranan farmasi di rumah sakit.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pekerjaan Kefarmasian
Sistem praktek kefarmasian dapat diartikan sebagai bagan integral dari sistem
pelayanan kesehatan yang utuh dan terpadu, terdiri dari struktur dan fungsi jaringan
pelayanan kefarmasian. Praktek kefarmasian adalah upaya penyelenggaraan pekerjaan
kefarmasian dalam rangka pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit bagi
perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Pekerjaan kefarmasian menurut UU
Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yaitu meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan
obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ruang lingkup pelayanan kefarmasian meliputi kegiatan, tanggung jawab,
kewenangan dan hak. Seluruh ruang lingkup pelayanan kefarmasian harus dilaksanakan
dalam kerangka sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pada masyarakat. Jika ditinjau
dari fungsi, maka sistem pelayanan kesehatan terdiri dari sub-sub sistem pelayanan profesi
tenaga kesehatan, Yang terdiri dari (a) tenaga medis, (b) tenaga keperawatan, (c) tenaga
kefarmasian, (d) tenaga kesehatan masyarakat, (e) tenaga gizi, (f) tenaga keterapian fisik, (g)
tenaga keteknisan medis. (PP No.32, tahun 1996, tentang Tenaga Kesehatan ).
Sesuai dengan PP RI No 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian pasal 19
tentang Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian Pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian. Fasilitas
pelayanan kefarmasian meliputi apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik,
toko obat atau apotek bersama.
Apotek sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan perlu mengutamakan
kepentingan masyarakat dan berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan
perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin. Apotek dapat diusahakan
oleh lembaga atau instansi pemerintah dengan tugas pelayanan kesehatan di pusat dan
daerah, perusahaan milik negara yang ditunjuk oleh pemerintah dan apoteker yang telah
mengucapkan sumpah serta memperoleh izin dari Kepala Dinas Kesehatan setempat.
Menurut WHO, rumah sakit adalah suatu organisasi sosial dan medis terpadu yang
berfungsi menyediakan pelayanan kesehatan baik penyembuhan maupun pencegahan kepada
masyarakat serta merupakan pusat pendidikan bagi petugas-petugas dibidang kesehatan dan
penelitian dibidang medis.
Menurut Peraturan Menkes Nomor 983 / Menkes / PER / IX / 1992, rumah sakit
adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta
dapat berfungsi sebagai tempat pendidikan dan penelitian. Rumah sakit adalah fasilitas atau
sarana kesehatan bagi salah satu sumber daya kesehatan yang mempunyai tugas untuk
memelihara dan memulihkan kesehatan. Rumah sakit dapat juga berfungsi sebagai tempat
ideal untuk mengembangkan ilmu medis dan penyakit serta mengembangkan pelayanan
obat bagi pasien.

B. Dasar Hukum Peran Tenaga Kefarmasian


1. Peraturan perundang-undangan kefarmasian yang ditetapkan pemerintah.
2. Aturan yang ditetapkan organisasi (kode etik).
3. Aturan yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Sedunia (WHO).

C. Izin Apotek
Semua penyelenggaraan sarana kesehatan, termasuk apotek harus memiliki izin. UU
No.23, tahun 1992, pasal 59, point (3) menyatakan ”Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
memperoleh izin penyelenggaraan sarana kesehatan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah”.
Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang perapotekan (PP No.25, tahun 1980 )
pada Pasal 6, menyatakan ”Pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dan hal-hal teknis lainnya
yang belum diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh Menteri
Kesehatan”.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia dalam hal ini menerbitkan Keputusan Menteri
Kesehatan RI No.1332/MENKES/SK/X/2002, tentang perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan RI No.922/MENKES/PER/X/1993, tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian
Izin Apotek. Berarti bahwa KepMenKes No. 1332, tahun 2002, merupakan amanat dan atau
merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari UU No.23 tahun 1992.

D. Sumber Daya Manusia


Sesuai dengan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang apoteker
yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, apoteker harus mampu memerankan ”Seven
Star Pharmacist”sesuai dengan peran farmasis yang digariskan oleh WHO.
KepMenKes No.1332 tahun 2002, Pasal19 :
1. Point (1) Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugas nya pada
jam buka apotek, Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk Apoteker Pendamping.
2. Point (2) Apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping karena hal-hal
tertentu berhalangan melakukan tugasnya, Apoteker Pengelola Apotek menunjuk
Apoteker Pengganti.
3. Point (5) Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih
dari 2 (dua) tahun secara terus menerus, Surat Izin Apotek atas nama Apoteker
bersangkutan dicabut.

E. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek


Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien
yang mengacu kepada pharmaceutical care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula
hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang
komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien.
Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk
meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan prilaku agar dapat melaksanakan interaksi
langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksanakan
pemberian informasi, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhirnya sesuai
harapan dan terdokumentasi dengan baik. Apoteker harus memahami dan menyadari
kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan.
Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktek harus sesuai dengan standar. Apoteker
harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi
untuk mendukung penggunaan obat yang rasional.
Tugas, peran, dan tanggung jawab Apoteker menurut PP 51 tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian adalah sebagai berikut :
1. Tugas
a. Melakukan pekerjaan kefarmasian (pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan
Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan
obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional).
b. Membuat dan memperbaharui SOP (Standard Operational Procedure) baik di industri
farmasi.
c. Harus memenuhi ketentuan cara distribusi yang baik yang ditetapkan oleh menteri
saat melakukan pekerjaan kefarmasian dalam distribusi atau penyaluran sediaan
farmasi, termasuk pencatatan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses distribusi
atau penyaluran sediaan farmasi.
d. Apoteker wajib menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada
masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

2. Peran
a. Sebagai penanggung jawab di industri farmasi pada bagan pemastian mutu (Quality
Assurance), produksi, dan pengawasan mutu (Quality Control).
b. Sebagai penanggungjawab Fasilitas Pelayanan Kefarmasian yaitu di apotek,
diInstalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS), puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek
bersama.
c. Apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama
komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau
pasien.
d. Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian,
apoteker dapat mengangkat seorang Apoteker pendamping yang memiliki SIPA.
3. Tanggung Jawab
a. Melakukan pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) di apotek untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat terhadap sediaan farmasi dalam rangka pemeliharaan dan
peningkatan derajat kesehatan masyarakat, juga untuk melindungi masyarakat dari
bahaya penyalahgunaan atau penggunaan sediaan farmasi yang tidak tepat dan tidak
memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. Pelayanan kefarmasian
juga ditujukan pada perluasan dan pemerataan pelayanan kesehatan terkait dengan
penggunaan farmasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
b. Menjaga rahasia kefarmasian di industri farmasi dan di apotek yang menyangkut
proses produksi, distribusi dan pelayanan dari sediaan farmasi termasuk rahasia
pasien.
c. Harus memenuhi ketentuan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang
ditetapkan oleh Menteri dalam melakukan pekerjaan kefarmasian dalam produksi
sediaan farmasi, termasuk di dalamnya melakukan pencatatan segala sesuatu yang
berkaitan dengan proses produksi dan pengawasan mutu sediaan farmasi pada
fasilitas produksi sediaan farmasi.
d. Tenaga kefarmasian dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas produksi
sediaan farmasi harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang produksi dan pengawasan mutu.
e. Menerapkan standar pelayanan kefarmasian dalam menjalankan praktek kefarmasian
pada fasilitas pelayanan kefarmasian.
f. Wajib menyelenggarakan program kendali mutu dan kendali biaya, yang dilakukan
melalui audit kefarmasian.
g. Menegakkan disiplin dalam menyelenggarakan pekerjaan kefarmasian yang
dilakukan sesuai dengan ketentuan aturan perundang-undangan.
Standar pelayanan kefarmasian di apotek (KepMenKes RI No. 1027/ MENKES/ SK/IX/
2004) :
1. Pelayanan resep (asuhan kefarmasian di apotek)
Memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintan dari dokter, dokter gigi, atau
dokter hewan baik verbal maupun non verbal. Kegiatan yang harus dilakukan oleh
seorang apoteker dalam melaksanakan asuhan kefarmasian :
a. Skrining resep
1) Persyaratan administratif
a) Nama, SIP, alamat dokter
b) Tanggal penulisan resep
c) Tanda tangan/paraf dokter penulis resep
d) Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien
e) Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta
f) Cara pemakaian
g) Informasi lainnya
2) Kesesuaian farmasetik
a) bentuk sediaan
b) dosis
c) potensi
d) stabilitas
e) inkompatibilitas
f) cara dan lama pemakaian
3) Pertimbangan klinik
a) adanya alergi
b) efek samping
c) interaksi
d) kesesuaian (dosis, durasi, jumlahobat, dll)
b. Penyiapan obat
1) Peracikan
2) Etiket
3) Kemasan obat yang diserahkan
4) Penyerahan obat
5) Informasi obat
6) Konseling
7) Monitoring penggunaan obat

2. Promosi dan edukasi


Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus memberikan edukasi apabila
masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk penyakit ringan dengan
memilihkan obat yang sesuai dan apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam
promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan
penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dll.
3. Pelayanan residensial ( home care )
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan
kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan
pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus
membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

F. Secara Umum Peran Apoteker di Apotek


Secara umum peran apoteker dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Profesional
Peran profesi seorang apoteker di apotek tidak lain adalah melaksanakan kegiatan
Pharmaceutical Care atau asuhan kefarmasian. Salah satu tujuan utama asuhan
kefarmasian adalah meningkatkan kualitas hidup pasien. Maksudnya pasien yang sakit
bisa menjadi sehat, dan pasien yang sehat bisa menjaga kesehatannya tersebut.
Penerapan asuhan kefarmasian yang baik atau GPP (Good Pharmaceutical Practice) di
apotek telah diatur dalam Permenkes 1027 tahun 2004.
Dalam PP no. 51 Pasal 21 ayat 2 dipaparkan, bahwa yang boleh melayani
pemberian obat berdasarkan resep adalah apoteker. Secara tidak langsung tersirat bahwa
apoteker harus selalu ada di apotek untuk melakukan asuhan kefarmasian. Bila seorang
apoteker ingin melaksanakan asuhan kefarmasian, ia harus memiliki competency,
commitment, dan care. Apoteker sejatinya harus memiliki kompetensi, maksudnya
memiliki ilmu (knowledge) dan keterampilan (skill) dalam melakukan asuhan
kefarmasian. Ilmu tersebut misalnya untuk obat-obatan diabetes, jantung, kolesterol
harus diminum secara teratur, jangan berhenti kecuali konsultasi dengan dokter. Contoh
lain untuk salep kortikosteroid penggunaannya tidak boleh ditekan di tempat yang luka
dan jangan terlalu tebal mengoleskannya. Informasi-informasi seperti itu yang harus
diberikan kepada pelanggan.
2. Manager
Apoteker harus dapat menjadi manajer yang baik, dalam hal ini apoteker harus
mampu mengatur barang, uang dan pasien. Namun secara umum seorang manager itu
harus mengelola resources yang ia miliki. Tidak hanya barang, uang dan orang, tapi
juga waktu, tempat, dan lain-lain.
Salah satu kunci sukses pengelolaan persediaan barang di sebuah apotek adalah
service level 100%, artinya apotek mampu memenuhi semua permintaan akan obat
(baik resep maupun non resep), sehingga rasio penolakannya 0%. Untuk dapat
menjamin service level tersebut diperlukan perencanaan (planning) yang sangat matang,
jangan sampai ada penumpukan barang (over stock) atau persediaan habis (out of stock).
Itulah tugas seorang apoteker sebagai manager. Tujuannya adalah supaya perputaran
persediaan atau Inventory Turn Over maksimal, risiko over stock dan out of stock
diminimalisir. Bila sudah demikian akan menambah kepuasan pelanggan karena
permintaan akan obat selalu terpenuhi. Kepuasan pelanggan akan berimbas kepada
loyalitas pelanggan dan juga menambah pelanggan-pelanggan baru. Tidak hanya
barang, uang juga harus dikelola karena uang merupakan hal yang krusial dalam bisnis.
Sebaiknya uang hasil penjualan satu hari tidak digabung dengan uang untuk keperluan
operasional apotek dan uang hasil penjualan satu hari harus sama dengan jumlah barang
yang keluar. Jadi jangan sampai ada barang yang tak menghasilkan uang. Apoteker di
sebuah apotek harus menjadi pemimpin yang baik bagi pegawai yang lain. Memelihara
rasa kekeluargaan antar pegawai, memberikan contoh yang baik dan mampu membina
pegawai-pegawainya supaya lebih baik. Apoteker juga harus bersikap profesional dalam
hal ini, lebih bagus lagi menerapkan reward and punishment sehingga apotek dapat
maju dengan pegawai-pegawainya yang berkualitas (bukan hanya kuantitas).

3. Retailer
Merupakan tahapan akhir dari kanal distribusi, yaitu usaha penjualan barang atau
jasa kepada konsumen untuk keperluannya masing-masing. Kunci sukses seorang
apoteker sebagai retailer adalah identifying, stimulating, dan satisfying demands.
a. Identifiying
Identifying adalah menganalisis dan mengumpulkan informasi-informasi
mengenai konsumen. Informasi tersebut tidak lain adalah jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan berikut: Siapa yang membeli ? Apa yang mereka beli ? Mengapa mereka
membeli ? Bagaimana mereka memutuskan untuk membeli ? Kapan mereka
membeli? Dimana mereka membeli ? Seberapa sering mereka membeli ?
Seyogyanya apoteker harus mengetahui perilaku-perilaku membeli dari konsumen
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas. Misalnya saat musim haji, yang
banyak dicari adalah multivitamin dan penambah stamina. Perilaku membeli tersebut
juga dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah profil demografis. Faktor-
faktor profil demografis tersebut antara lain usia, gender, pekerjaan, pendidikan,
etnis, lokasi dan lain-lain. Bila profil demografis diketahui, maka kita akan segera
mengetahui peluang-peluang yang menjanjikan. Misalnya bila apotek terletak
didaerah lokalisasi, yang banyak dicari pasti kondom, lubrikan, obat kuat dan lain-
lain.
b. Stimulating - satisfying demands
Setelah menganalis perilaku membeli konsumen, maka selanjutnya harus
dilakukan stimulating, yaitu memberi isyarat atau dorongan sosial, komersial dan
lain-lain dengan diikuti pemberian informasi-informasi yang dibutuhkan konsumen
mengenai produk yang akan dibeli. Hal ini perlu dilakukan karena sepandai-
pandainya kita menganalisis perilaku membeli, tetap keputusan akhir terletak pada
konsumen.
c. Satisfying demands
Tugas selanjutnya setelah konsumen ingin membeli yaitu memenuhi
permintaan tersebut. Berikan pelayan yang terbaik, jujur dan penuh kesabaran. Dan
yang terpenting adalah produk yang dijual harus tepat kualitas, tepat jumlah, tepat
waktu. Inilah yang dimaksud satisfying demands.
Saat ini jumlah apoteker yang ada di Indonesia adalah tiga puluh ribu orang,
demikian yang telah disebutkan oleh ketua Ikatan Apoteker Indonesia dalam situs
resminya. Perbandingan jumlah tersebut terhadap jumlah masyarakat Indonesia
adalah 1 : 8000. Jumlah ini tentu dirasakan masih kurang, dari jumlah tersebut kira-
kira sepertiganya bekerja sebagai penanggung jawab apotek yang menurut data dari
departemen kesehatan berjumlah 10.737 apotek, sedangkan data dari situs organisasi
profesi apoteker per April 2008 sejumlah 10.365 apotek, bisa dikatakan bahwa
apotek merupakan tempat yang paling banyak menampung profesi apoteker.
Apoteker juga banyak yang bekerja di instalasi farmasi rumah sakit, pedagang besar
farmasi, puskesmas, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen kesehatan
baik pusat maupun daerah, sebagai tenaga pendidik (Dosen) di perguruan tinggi,
sebagai guru di sekolah menengah farmasi, industri obat, industri obat tradisional,
industri kosmetik,   lembaga penelitian, tenaga pemasaran dan di beberapa tempat
lainnya.

G. Rumah Sakit
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien,
penyediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bermutu
dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik.
Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi,
mencegah,dan menyelesaikan masalah terkait Obat. Tuntutan pasien dan masyarakat akan
peningkatan mutu.
Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang
berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada
pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical care).
Apoteker khususnya yang bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk merealisasikan perluasan
paradigma Pelayanan Kefarmasian dari orientasi produk menjadi orientasi pasien. Untuk itu
kompetensi Apoteker perlu ditingkatkan secara terus menerus agar perubahan paradigma
tersebut dapat diimplementasikan. Apoteker harus dapat memenuhi hak pasien agar
terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan termasuk tuntutan hukum. Dengan demikian,
para Apoteker Indonesia dapat berkompetisi dan menjadi tuan rumah di negara sendiri.
Perkembangan di atas dapat menjadi peluang sekaligus merupakan tantangan bagi
Apoteker untuk maju meningkatkan kompetensinya sehingga dapat memberikan Pelayanan
Kefarmasian secara komprehensif dan simultan baik yang bersifat manajerial maupun
farmasi klinik. Strategi optimalisasi harus ditegakkan dengan cara memanfaatkan Sistem
Informasi Rumah Sakit secara maksimal pada fungsi manajemen kefarmasian, sehingga
diharapkan dengan model ini akan terjadi efisiensi tenaga dan waktu. Efisiensi yang
diperoleh kemudian dimanfaatkan untuk melaksanakan fungsi pelayanan farmasi klinik
secara intensif.
Peraturan perundang-undangan tersebut dan perkembangan konsep Pelayanan
Kefarmasian, perlu ditetapkan suatu Standar Pelayanan Kefarmasian dengan Peraturan
Menteri Kesehatan, sekaligus meninjau kembali Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
Tujuan pelayanan farmasi :
1. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa maupun
dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun fasilitas yang
tersedia.
2. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur kefarmasian dan
etik profesi.
3. Melaksanakan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) mengenai obat.
4. Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.
5. Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi
pelayanan.
6. Mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi
pelayanan.
7. Mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metoda.

H. Ruang Lingkup Rumah Sakit


Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang
bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik.
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang menjamin seluruh
rangkaian kegiatan perbekalan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakaisesuai dengan ketentuan yang berlaku serta memastikan kualitas, manfaat, dan
keamanannya. Kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai meliputi pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan,
pendistribusian, pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi alkes dan bahan medis habis
pakai, pengendalian administrasi.

2. Pelayanan Farmasi Klinik


Farmasi Klinik Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang
diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan keselamatan
pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin.
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi :
a. Pengkaijian dan pelayanan resep
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian
Resep, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
termasuk peracikan Obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi.
Pada setiap tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya
kesalahan pemberian Obat (medication error).
b. Penelusuran riwayat penggunaan obat
Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan
informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang
digunakan. Riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam
medik/ pencatatn penggunaan obat pasien.
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO), merupakan kegiatan pemberian dan penyediaan
informasi, rekomendasi obat yang independet, akurat tidak bias, terkini dan
komprehensif yang dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat,
profesi kesehatan lainnya, serta pasien dan pihak lain di luar rumah sakit.
d. Konseling
Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasehat atau saran terkait terapi obat
dari apoteker (konselor) kepada pasien dan/ atau keluarganya. Konseling untuk
pasien rawat jalan maupun rawat inap disemua fasilitas kesehatan dapat dilakukan
atas inisiatif apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya pemberian
konseling yang efektif dan garis miring atau keluarga terhadap apoteker.
e. Pemantauan terapi obat (PTO)
Pemantauan terapi obat (PTO merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan
untuk memastikan terapi yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
f. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantaun setiap
respon terhadap obat yang tidak dikehendaki yang terjadi pada dosis lazim yang
digunkan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa, dan terapi.
Tujuan :
1) Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan pelayanan farmasi di rumah sakit.
2) Memberikan pelayanan farmasi yang dapat menjamin kemanjuran, keamanan dan
efisiensi penggunaan obat.
3) Meningkatkan kerjasama dengan dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya
yang terkait dalam pelayanan farmasi.
4) Membantu penyelenggaraan kebijaksanaan obat di rumah sakit dalam rangka
meningkatkan penggunaan obat yang rasional.

I. Peran Farmasis di Rumah Sakit


1. Panitia Farmasi dan Terapi
Adalah organisasi yang mewakli komunikasi antara para staf medis dengan staf
farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialis yang ada di
rumah sakit dan apoteker yang mewakili Instalasi Farmasi RS, serta tenaga kesehatan
lainnya.
Tujuan :
a. Menerbitkan kebijakan mengenai pemilihan obat penggunaan obat serta
evaluasinya.
b. Melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru yang
berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan

2. Panitia Pengendali Infeksi Rumah Sakit


Adalah organisasi yang terdiri dari staf medis, apoteker dan tenaga kesehatan
lainnya.
Tujuan :
a. Menunjang pembuatan pedoman pencegahan infeksi
b. Memberikan informasi untuk menetapkan disinfektan yang akan digunakan di
rumah sakit.
c. Melaksanakan pendidikan tentang pencegahan infeksi nasokomial di rumah sakit
d. Melaksanakan penelitian surveilans infeksi nasokomial di rumah sakit.

3. Panitia lain yang terkait dengan tugas Farmasi Rumah Sakit


Apoteker juga berperan dalam tim/panitia yang menyangkut dengan pengobatan
antara lain :
a. Panitia Mutu Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit
b. Tim perawatanpaliatif dan bebas nyeri
c. Tim penanggulangan HIV/AIDS
d. Tim transplantasi
e. Tim PKMRS, dll.
BAB III

PEMBASAHAN

A. Studi Kasus di Apotek


Ada beberapa studi kasus yang didipatkan dari hasil penelitian penerapan standar
pelayanan kefarmasian di apotek di kota X. Menurut Dinas Kesehatan Kota X, jumlah
apotek di kota X pada tahun 2008 adalah 487 apotek. Data tersebut berdasarkan alamat
apotek yang tersebar di dua puluh satu kecamatan. Karateristik apotek pada tabel 4.1, dapat
dilihat bahwa dalam penelitian ini presentase apotek dengan status milik PSA non apoteker
adalah presentase terbesar yaitu 67,65 % atau sebanyak 46 apotek, sedangkan presentase
kepemilikan APA sebesar 20,59 % dan 4 apotek milik kelompok (5,88%), diikuti
kepemilikan gabungan PSA-APA sekitar 4,41% dan kepemilikan lain-lain (apotek franchise)
diperoleh presentase paling rendah 1,47%.
Berdasarkan karateristik jumlah apoteker pendamping, secara umum apotek tidak
memiliki apoteker pendamping dengan presentase terbesar yaitu 92,63% dan hanya 5 apotek
yang memiliki apoteker pendamping yaitu 4 apotek memiliki 1 orang apoteker pendamping
(5,88%) dan satu apotek memiliki lebih dari dua apoteker pendamping (1,47%). Dari data
yang diperoleh, jumlah asisten apoteker (AA) di apotek sebanyak 50% adalah 2 orang
kemudian diikuti presentase sebanyak 36,77% di atas 2 orang. Apotek yang memiliki AA
dengan jumlah 1 orang sebanyak 11,76% dan presentase terkecil yaitu sebesar 1,47% apotek
yang tidak memiliki AA. Dari jumlah resep yang masuk di apotek kota X, kebanyakan resep
yang masuk per hari adalah 20 lembar dengan presentase 57,35%, diikuti sebanyak 38,24%
melayani 21-69 lembar resep, 1,47% melayani 70-99 lembar resep dan 2,94% melayani di
atas 100 lembar resep.
Penjabaran karateristik apotek di atas menunjukkan penerapan pelayanan
kefarmasian di apotek belum dilaksanakan dengan maksimal dimana kehadiran seorang
APA berada di apotek cukup rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama,secara umum apotek yang mereka kelola adalah apotek milik PSA dimana pemilik
apotek cendrung mengutamakan untung atau sisi bisnis mereka. Secara tidak langsung akan
mendorong APA mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kehidupannya. Kedua,
kebanyakan resep yang masuk setiap hari adalah kurang dari 20 lembar dan biasannya resep
yang masuk pada jam tertentu sehingga pelayanan di apotek lebih dilakukan oleh asisten
apoteker.
Salah satu penerapan standar pelayanan kefarmasian di apotek adalah mewujudkan
adanya apoteker pendamping sehingga apotek tidak akan ditinggalkan oleh APA dan
pelayanan dapat tercapai, tetapi dari data di atas menunjukkan apoteker pendamping secara
umum di apotek belum ada.
Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa kebanyakan apoteker tidak hadir di
apotek dengan presentase sebesar 52,94% sedangkan kehadiran apoteker selama jam buka
apotek hanya sebesar 20,59% dan presentase sebesar 26,47% untuk apoteker yang hadir
pada jam tertentu. Keharusan apoteker berada pada sepanjang jam buka apotek telah
diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 tentang apotek pasal 4 ayat 1 dinyatakan bahwa
pengelolaan apotek menjadi tugas dan tanggung jawab seorang apoteker (umar, 2005) tetapi
kenyataan menunjukkan banyaknya APA hanya berperan sebagai prasyarat berdirinya suatu
apotek dan bekerja di apotek hanya sebagai pekerjaan sambilan bukan sebagai pekerjaan
pokok yang dapat dilihat dari hasil penelitian pada uraian di atas dimana kehadiran mereka
tidak pada sepanjang jam buka apotek.
Menurut Menkes RI No 1027 tahun 2004 bahwa dalam mendukung operasional
pelayanan kefarmasian di apotek, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai untuk
meningkatkan kualits pelayanan terhadap pasien. Sarana dan prasarana dirancang dan diatur
untuk menjamin keselamata dan efisiensi kerja serta menghindari terjadinya kerusakan
sediaan farmasi. Sarana dan prasarana yang harus dimiliki ole h apotek untuk meningkatkan
kualitas pelayanan adalah papan nama apotek, ruang tunggu, tersediannya tempat mendisplai
obat bebas dan obat bebas terbatas, ruang untuk memberikan konseling bagi pasien sehingga
memudahkan apoteker untuk memberikan informasi dan menjaga kerahasian pasien, ada
ruang peracikan, ruang/tempat penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan,
ruang/ temapt penyerahan obat sehingga memudahkan untuk melakukan pelayanan
informasi obat, tempat pencucian alat.
Secara umum, pelayanan informasi obat yang dilakukan di apotek oleh APA mencapai
presentase sebesar 69,12%. Pelayanan informasi obat ini dibagi menjadi dua kegiatan yaitu
pelayanan informasi obat yang diberikan langsung kepada pasien dan yang kedua adalah
pelayanan secara tidak langsung melalui pemberian brosur, bulletin.
Dari data karateristik responden diperoleh gambaran bahwa sebagian besar (67,65%)
apotek milik PSA non apoteker. Sebesar 92,63% atau sebanyak 63 apotek belum
mempunyai apoteker pendamping. Dari data pelayanan diperoleh 83,82% yang melayani
langsung pasien adalah asisten apoteker. Hasil penelitian menunjukkan penerapan standar
pelayanan kefarmasian di apotek masih dalam kategori kurang dengan presentase sebesar
42,74%.

B. Studi Kasus di Instalasi Farmasi Rumah Sakit


Penelitian ini memperlihatkan bahwa sebagian besar responden yang seluruhnya
berjumlah 100 orang sebanyak 76 responden (76%) menyatakan puas dan sebanyak
24 responden (24%) menyatakan kurang puas dengan pelayanan IFRS. Sedangkan
terhadap keputusan beli ulang obat memperlihatkan bahwa hampir seluruh responden yaitu
sebanyak 95 responden (95,0%) memutuskan akan melakukan pembelian ulang,
sedangkan hanya 5 responden (5,0%) memutuskan tidak akan melakukan pembelian ulang.
Alur dalam penelitian ini adalah pengukuran hubungan kualitas pelayanan
terhadap kepuasan, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran hubungan kepuasan terhadap
keputusan beli ulang. Pentingnya dilakukan pengukuran kepuasan terlebih dahulu
karena pengukuran kepuasan konsumen merupakan indikator subjektif untuk menilai
kinerja unit bisnis. Selain itu penggabungan kepuasan konsumen dengan pengetahuan
terhadap sikap konsumen dalam memutuskan pembelian ulang akan mempermudah kita
menganalisis tentang konsumen, apakah termasuk yang puas tapi akan membeli lagi, puas
tapi tidak akan membeli lagi, tidak puas tapi lakan membeli lagi, dan tidak puas dan
tidak tidak akan membeli lagi.
Kualitas pelayanan meliputi kenyamanan, ketersediaan obat, harga obat,
kecepatan pelayanan, informasi pemberian obat dan kemudahan pelayanan. Pada hubungan
kenyamanan dengan kepuasan pasien hasil uji statistik dengan korelasi spearman diperoleh
nilai p 0,000 (p<0,05) yang berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan ada hubungan antara
kenyamanan dengan kepuasan pasien. Kekuatan hubungan dinyatakan dengan nilai r =
0,367 yang berarti kuat hubungan antara kenyamanan dengan kepuasan pasien adalah
lemah.
Kenyamanan dalam menunggu merupakan salah satu faktor yang dapat
memberikan kepuasan sehingga mempengaruhi minat pasien dalam membeli obat di rumah
sakit, dan hal yang memberi kenyamanan pada pelanggan adalah lingkungan fisik yang
baik dan tersedianya sarana penunjang. (Engel, 1994). Lingkungan fisik adalah semua
keadaan yang terdapat disekitar, seperti suhu udara, kelembaban udara, sirkulasi udara,
pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau-bauan, warna akan berpengaruh secara
signifikan tehadap hasil kerja manusia tersebut (Wingjosoebroto, 2000).
Pada hubungan ketersediaan obat dengan kepuasan pasien hasil uji statistik
dengan Korelasi Spearman diperoleh nilai p 0,021 (p<0,05) yang berarti Ho ditolak.
Hal ini menunjukkan ada hubungan antara ketersediaan obat dengan kepuasan pasien.
Kekuatan hubungan dinyatakan dengan nilai r = 0,231 yang berarti kuat hubungan antara
ketersediaan obat dengan kepuasan pasien adalah lemah.
Seperti yang dikatakan Pudjaningsih (2007) bahwa dalam menjalankan
aktivitasnya, rumah sakit memerlukan bermacam-macam sumber daya. Salah satu
sumber daya yang penting adalah persediaan obat-obatan. Persediaan obat-obatan harus
disesuaikan dengan besarnya kebutuhan pengobatan. Karena persediaan obat-obatan
yang tidak lancar akan menghambat pelayanan kesehatan, hal ini disebabkan karena
obat tidak tersedia pada saat dibutuhkan.
Pada hubungan harga obat dengan kepuasan pasien hasil uji statistik dengan Korelasi
Spearman diperoleh nilai p 0,000 (p>0,05) yang berarti Ho diterima. Hal ini
menunjukkan ada hubungan antara harga obat dengan kepuasan pasien. Kekuatan
hubungan dinyatakan dengan nilai r = 0,362 yang berarti kuat hubungan antara harga obat
dengan kepuasan pasienadalah lemah.
Berhubungan dengan faktor yang mempengaruhi harga obat menurut Putra
(2008) terdapat banyak faktor yang mempengaruhinya sehingga sering kali pasien
kesulitan untuk melakukan efisiensi dalam investasi kesehatannya. Pasien sulit
memprediksi biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan pengobatan yang pada
akhirnya dapat membuat pasien enggan untuk mengakses layanan kesehatan karena
kekhawatiran harus menanggung biaya yang besar.
Pada hubungan kecepatan pelayanan dengan kepuasan pasien hasil uji statistik dengan
korelasi Spearman diperoleh nilai p 0,000 (p<0,05) yang berarti Ho ditolak. Hal ini
menunjukkan ada hubungan antara kecepatan pelayanan dengan kepuasan pasien.
Kekuatan hubungan dinyatakan dengan nilai r = 0,572 yang berarti kuat hubungan
antara kecepatan pelayanan dengan kepuasan pasien adalah sedang.
Kecepatan pelayanan sangat penting karena pada masyarakat modern, waktu
adalah komoditi yang tidak bisa diulang kembali. Seperti yang dikatakan Kashmir
(2005) bahwa proses yang terlalu lama dan berbelit-belit akan membuat konsumen menjadi
tidak betah dan tidak puas.
Pada hubungan informasi pemberian obat dengan kepuasan pasien hasil uji
statistik dengan korelasi Spearman diperoleh nilai p 0,000 (p<0,05) yang berarti Ho
ditolak. Hal inimenunjukkan ada hubungan antara informasi pemberian obat dengan
kepuasan pasien. Kekuatan hubungan dinyatakan dengan nilai r = 0,367 yang berarti
kuat hubungan antara informasi pemberian obat dengan kepuasan pasien adalah sedang.
Dalam hubungannya dengan kepuasan seperti yang dikatakan Supranto (1997), pasien
akan merasa puas apabila ada persamaan antara harapan dan kenyataan pelayanan kesehatan
yang diperoleh. Hal ini yang juga dikatakan Quick M. (1997) bahwa pemberian
informasi yang jelas akan menambah upaya kesembuhan pasien, dan pada akhirnya
meningkatkan kepercayaaan dan kepuasan.
Berdasarkan hasil uji regresi logistik berganda maka variabel yang paling
berpengaruh pada kepuasan pasien adalah informasi pemberian obat. Tingginya tingkat
pendidikan merupakan karakteristik responden yang dapat menjelaskan mengapa responden
menganggap pemberian informasi obat merupakan hal yang penting, tingkat pendidikan
yang tinggi membuat mereka lebih tahu akan haknya dalam memperoleh informasi
mengenai obat yang dibutuhkan, dan semakin kritis pula mereka dalam memberikan
pertanyaan.
Pada hubungan kemudahan pelayanan dengan kepuasan pasien hasil uji statistik
dengan korelasi Spearman diperoleh nilai p 0,015 (p<0,05) yang berarti Ho ditolak. Hal
ini menunjukkan ada hubungan antara kemudahan pelayanan dengan kepuasan pasien.
Kekuatan hubungan dinyatakan dengan nilai r = 0,242 yang berarti kuat hubungan
antarakemudahan pelayanan dengan kepuasan pasien adalah lemah.
Menurut pendapat Muninjaya (2004) yang mengatakan bahwa prosedur
pelayanan yang tidak berbelit-belit merupakan kontribusi yang cukup besar terhadap
variasi tingkat kepuasan pasien. Di samping itu instalasi melayani sepanjang 24 jam,
sehingga kapan saja responden membutuhkan obat akan dapat terlayani. Hal ini sesuai
yang dikatakan Hizrani M (2003), proses pelayanan yang baik akan mempengaruhi
kualitas pelayanan yang akan memberikan kepuasan kepada konsumen.
Pada hubungan kepuasan pasien dengan keputusan membeli ulang hasil uji
statistik dengan korelasi Spearman diperoleh nilai p 0,000 (p<0,05) yang berarti Ho
ditolak. Hal ini menunjukkan ada hubungan kepuasan pasien dengan keputusan
membeli obat ulang. Kekuatan hubungan dinyatakan dengan nilai r = 0,625 yang
berarti kuat hubungan antara kepuasan pasien dengan keputusan membeli obat ulang
adalah kuat. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Pratiwi (2007) yang
menemukan bahwa kepuasan pasien bayar pelayanan kesehatan puskesmas Wisma Jaya
dengan minat kunjungan ulang.
Secara keseluruhan persepsi responden terhadap pelayanan IFRS cukup baik,
hal ini dapat dilihat dari sebagian besar responden merasa puas dan hampir seluruh
menyatakan akan membeli ulang obat di IFRS. Hal tersebut sesuai dengan yang
dikatakan Fornell (1992) bahwa konsumen atau pelanggan yang puas akan melakukan
kunjungan ulang pada waktu yang akan datang dan memberitahukan kepada orang lain atas
jasa yang dirasakannya. Begitu juga dengan pendapat Hellier (2002) bahwa kepuasan
pelanggan penting bagi para pemasar karena merupakan determinan dari pembelian
ulang. Dengan adanya kepuasan dari pelanggan, maka pelanggan akan memiliki minat
untuk menggunakan kembali jasa dari provider
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Menurut UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 pekerjaan kefarmasian yaitu meliputi
pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan
dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Ketenaga farmasian juga bekerja berdasarkan peraturan perundangan RI No 51
Tahun 2009 pasal 19 tentang Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian Pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian. Fasilitas pelayanan kefarmasian meliputi apotek, instalasi farmasi rumah sakit,
puskesmas, klinik, toko obat atau apotek bersama.
Berdasarkan menteri kesehatan Republik Indonesia dalam perizinan apotek
menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/SK/X/2002, tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Berarti bahwa KepMenKes No. 1332,
tahun 2002, merupakan amanat dan atau merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari
UU No.23 tahun 1992.
KepMenKes No.1332 tahun 2002, Pasal19 :
1. Point (1) Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugas nya pada
jam buka apotek, Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk Apoteker Pendamping.
2. Point (2) Apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping karena hal-hal
tertentu berhalangan melakukan tugasnya, Apoteker Pengelola Apotek menunjuk
Apoteker Pengganti.
3. Point (5) Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari
2 (dua) tahun secara terus menerus, Surat Izin Apotek atas nama Apoteker bersangkutan
dicabut.
Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan prilaku agar
dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain
adalah melaksanakan pemberian informasi, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui
tujuan akhirnya sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik.
Menurut WHO, Pelayanan farmasi rumah sakit yang dilakukan meliputi:
1. Pengkaijian dan pelayanan resep
2. Penelusuran riwayat penggunaan obat
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
4. Konseling
5. Pemantauan terapi obat (PTO)
6. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

B. Saran
Seharusnya untuk apoteker yang mengabdikan dirinya di apotek dan rumah sakit,
harus lebih menjiwai pekerjaannya dengan cara hadir di apotek dan rumah sakit selama
kegiatan kefarmasian sedang berjalan. Sesuai dengan Dalam PP no. 51 Pasal 21 ayat 2
dipaparkan, bahwa yang boleh melayani pemberian obat berdasarkan resep adalah apoteker.
Jelas terlihat bahwa disini peran apoteker sangatlah penting.
Sebaiknya tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kepada pasien haruslah
ramah, agar pada saat memberikan obat dan memberikan informasi tentang obat yang
diterima oleh pasien dapat dimengerti secara jelas untuk mencegah terjadinya kesalahan
pemberian obat. Dan saran kami, perlu diadakannya pelatihan dan pendidikan tentang
managemen kefarmasian dan etika profesi bagi tenaga teknis kefarmasian yang bekerja di
sarana farmasi, agar kelak masyarakat dapat mempercayai kita selaku tenaga farmasi yang
handal.
DAFTAR PUSTAKA

Adelina Br Ginting (2009). Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kota Medan.
Hirzani, dkk. (2003). Analisis Kepuasan Pasien Rawat Inap terhadap Mutu Pelayanan
dan Hubungannya dengan Minat Beli Ulang di RS X di Jakarta tahun 2002. Jurnal
Manajemen dan Administrasi RS Indonesia. No.1. Vol IV.
Kashmir. (2005). Etika Customer service. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
KepMenKes No.1332 tahun 2002, Pasal19 tentang Peran Apoteker.
Muninjaya. (2004). Peluang RS dalam Meraih Keunggulan Bersaing Melalui Strategi
pemasaran. Jurnal Manajemen dan Administrasi RS. Program Pasca Sarjana. UI.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesai No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
Pudjaningsih. (2007). Pengembangan Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat di Farmasi Rumah
Sakit. UGM Press.
Pratiwi, E.N. (2007). Hubungan Kepuasan Pasien Bayar dengan Minat Kunjungan Ulang di
Puskesmas Wisma Jaya Kota Bekasi Tahun 2007. Makara Kesehatan. Vol.12.
Putera, F.R. (2008). Pengendalian Biaya Kesehata dengan Farmakoekonomi. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Purwastuti, R. (2005). Analisis Faktor-Faktor Pelayanan Farmasi Yang Memprediksi
Keputusan Beli Obat Ulang dengan Pendekatan Persepsi Pasien Klinik Umum di
Unit Rawat JalanRS Tegolrejo Semarang.
Quick, J.D., Rankin, J.R., Laing, R.O., et al. (1997). Managing Drug Supply : The Selection,
Procurement, Distribution and Use of Pharmaceuticals. 2nd Ed. Revised and
Expand. Kumarian Press.
Supranto, J. (1997). Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa
Pasar. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Tjiptono, Fandy. (2004). Manajemen Jasa. Andi Offset. Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Wingjosoebroto. (2000). Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. Jakarta. Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai