Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH ETIKA DAN UNDANG-UNDANG FARMASI

TUGAS 3

DOSEN PENGAMPU: HIJRAH,S.Si.,M.Kes.,Apt

NAMA : VENNESA PUTRI

NPM: 173110195

KELAS: 6G

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TULANG BAWANG LAMPUNG

2020

1
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................4

Latar belakang...............................................................................4

Tujuan ............................................................................................5

Rumusan Masalah ........................................................................5

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................6

Pengertian.......................................................................................6

BAB III PENUTUP...................................................................................13

Kesimpulan....................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
petunjuk-nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
PEKERJAAN KEFARMASIAN. Dalam penyusunan makalah ini kami
memperoleh banyak bantuan dari beberapa literatur yang kami dapat, dan kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen kami ibu,,,yang
telah memberikan kami waktu untuk menyelesaikan makalah ini. Penulis
menyadari bahwa dalam proses pembelajaran dan penulisan makalah masih sangat
banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karna itu kami
mengharapkan pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.

Pringsewu,03 Mei 2020

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang


kefarmasian serta makin tingginya kesadaran masyarakat dalam meningkatkan
kesehatan, maka dituntut juga kemampuan dan kecakapan para petugas dalam
rangka mengatasi permasalahan yang ada di masyarakat.Kesehatan adalah salah
satu unsur kesejahteraan umum yang harus diwujudkan.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009


Tentang Kesehatan menyatakan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai
investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial
dan ekonomis. Kegiatan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan dilakukan
melalui upaya kesehatan dan tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan disebut sarana kesehatan. Sarana kesehatan berfungsi untuk
melakukan upaya kesehatan dasar atau upaya kesehatan rujukan dan atau upaya
kesehatan penunjang. Selain Itu, sarana kesehatan dapat dipergunakan untuk
kepentingan pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan. Salah satu bagian dari
sarana kesehatan dimana dilakukan pekerjaan kefarmasiaan adalah apotek.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MenKes/SK/IX/2004 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasiaan di Apotek mengatakan bahwa apotek adalah
tempat tertentu, tempa dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan
farmasi,

Perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Apotek merupakan salah


satu bagian dari sarana kesehatan yang turut serta dalam mewujudkan tercapainya
pembangunan nasional di bidang kesehatan. Pekerjaan kefarmasian adalah
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

4
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pembangunan obat, bahan obat
dan obat tradisional sebagaimana telah ditegaskan dalam Peraturan pemerintahan
Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009 Tentang pekerjaan Kefarmasian.
Berdasarkan Peraturan Pemerintahan diatas, yang berhak melakukan pekerjaan
kefarmasian di Indonesia adalah Apoteker.

Tujuan

1. Memberikan wawasan, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman praktis


untuk melakukan pekerjaan kefarmasian diApotek.
2. Memberikan kesempatan kepada calon apoteker untuk melihat dan
mempelajari strategi dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam
rangka pengembangan praktik farmasi komunitas di apotek.
3. Mempersiapkan calon apoteker dalam memasuki dunia kerja sebagai
tenaga farmasi yang professional.

Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksudkan dengan dimensi baru pekerjaan Kefarmasiaan?


2. Apakah aspek pendukung profesional seorang apoteker?
3. Bagaimanakah peran apoteker sebagai tim pelayanan Kefarmasiaan?

5
BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan
telah mengucapkan sumpah apoteker (PP 51, 2009 ; Permenkes RI, 2014).
Apoteker sangat erat kaitannya dengan apotek, dimana apotek merupakan salah
satu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian, disamping penyaluran sediaan
farmasi, dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Sesuai dengan
peraturan pemerintah, apotek harus dibawah tanggung jawab seorang apoteker.
Keberadaaan apoteker di apotek tidak hanya terkait dengan permasalahan obat,
namun apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
perilaku agar dapat menjalankan profesi secara professional dan berinteraksi
langsung dengan pasien, termasuk untuk pemberian informasi obat dan konseling
kepada pasien yang membutuhkan. Apoteker harus juga memahami dan
menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error),
mengidentifikasi, mencegah, mengatasi masalah farmakoekonomi, dan farmasi
sosial (sociopharmacoeconomy). Hal ini bila dikaitkan dengan standar pelayanan
kefarmasian di apotek menjadikan peranan apoteker di apotek sangatlah penting
(Permenkes RI, 2014).

Peran apoteker dalam Pharmaceutical Care dimulai dengan menilai


Kebutuhan penderita. Selanjutnya mengidentifikasi masalah yang berkaitan
dengan penggunaan obat, mengatasi DRP (Drug Related Problem) dan mencegah
terjadinya DRP yang potensial, pemberian informasi dan edukasi kepada pasien
untuk mempercepat proses penyembuhan, mencegah bertambah parah atau
mencegah kambuhnya penyakit. Sehingga tujuan akhir dari Pharmaceutical Care
adalah meningkatkan kualitas hidup pasien melaui pencapaian hasil terapi yang
diinginkan secara optimal. Hasil terapi yang diinginkan dapat berupa : sembuh
dari penyakit, hilangnya gejala penyakit, diperlambat proses penyakit, dan

6
pencegahan suatu penyakit. Artinya dalam pelaksanaan Pharmaceutical Care
dilaksanakan dengan Good Pharmacy Practice (Surahman dan Husein, 2011).
Untuk itu semua tenaga kefarmasian dalam melaksanakan tugas profesinya harus
mengacu pada standar yang telah ditetapkan. Pelaksanaan Pharmaceutical care
dewasa ini masih berada dibawahstandar. Apoteker faktanya kurang dikenal oleh
masyarakat, penyebabnya mungkin apoteker jarang melakukan komunikasi
langsung kepada pasien. Sebagaimana dikemukakan oleh Kuncahyo (2004) bahwa
Apoteker yang seharusnya mempunyai peran sentral dan bertanggung jawab
penuh dalam m memberikan informasi obat kepada masyarakat ternyata masih
belum dilaksanakan dengan baik. Febrianti (2008) juga mengemukakan bahwa
pelayanan kefarmasian di apotek saat ini masih belum optimal dikarenakan setiap
jam buka apotek lebih sering tidak dijumpai apoteker, melainkan tenaga teknis
kefarmasian dan pemilik modal apotek. Tenaga teknis kefarmasian yang dalam
hal ini menurut PP 51 pasal 33 adalah Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi,
analisis Farmasi, dan Tenaga menengah Farmasi/ Asisten Apoteker (Depkes RI,
2009).

Dimensi baru pekerjaan kefarmasian sekarang antara lain:

1. Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)


Konsep dasar dalam pekerjaan kefarmasian yang timbul
pertengahan tahun 1970-an. Dia mengisyaratkan bahwa semua
praktisi kesehatan harus memberikan tanggung jawab atas dampak
pemberian obat pada pasien. Hal ini meliputi bermacam-macam
pelayanan dan fungsi.

2. Farmasi Berdasarkan Bukti


Pelayanan kesehatan agak sukar membandingkan keefektifan
berbagai pengobatan. Intervensi layanan kesehatan tidak bisa
didasarkan pada pendapat atau pengalaman individu sendiri. Bukti
ilmiah dibuat dari penelitian yang berkualitas, yang digunakan

7
sebagai penuntun, diadaptasikan pada negara-negara masing-
masing

3. Kebutuhan Menemui Pasien


Dalam pelayanan kesehatan yang berpusat pada pasien , tantangan
pertama adalah untuk mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan
pasien yang berubah.. Apoteker harus dapat menjamin bahwa
orang-orang bisa memperoleh obat atau nasehat kefarmasian
dengan mudah, sejauh mungkin dalam satu jalan, satu waktu dan
satu tempat dari pilihan mereka. Apoteker harus bisa
memberdayakan pasien dan melakukan dialog guna menyampaikan
pengetahuan yang mereka miliki dalam mengelola pengobatan dan
kesehatan sendiri.

4. Kepedulian Pada Pasien Kronis


Seorang farmasis harus memberikan kontribusi yang besar agar
tidak terjadi medication eror yang dapat mungkin menyebabkan
lkematian bagi pasien.

5. Pengobatan Sendiri
Sebagai seorang yang ahli dalam hal obat-obatan karena
pendidikannya , apoteker harus selalu dikenal dan dapat dihubungi
sebagai sumber nasehat yang benar tentang obat-obatan dan
masalah pengobatan. Saat ini kontribusi apoteker pada perawatan
kesehatan ( health care ) sedang berkembang dalam bentuk baru
untuk mendukung pasien dalam penggunaan obat dan sebagai
bagian dari pembuat keputusan klinis bersama spesialis yang lain.

6. Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan


Rangkaian aktifitas yang dilakukan untuk memonitor dan
meningkatkan penampilan sehingga pelayanan kesehatan se efektif
dan se efisien mungkin. Dapat juga didefinisikan QA sebagai

8
semua aktifi tas yang berkontribusi untuk menetapkan,
merencanakan, mengkaji, memonitor, dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan.Aktifitas ini dapat ditampilkan sebagai
akreditasi pelayanan farmasi (apotik), pengawasan tenaga
kefarmasian atau upaya lain untuk meningkatkan penampilan dan
kualitas pelayanan kesehatan.

7. Farmasi Klinis
Memerlukan pengetahuan terapi yang tinggi, pengertian yang baik
atas proses penyakit dan pengetahuan produk-produk farmasi.
Tambahan lagi farmasi klinis memerlukan ketrampilan
berkomunikasi yang baik dengan pengetahuan obat yang padat
ketrampilan monitoring obat, pemberian informasi obat,
ketrampilan perencanaan terapi dan kemampuan memperkirakan
dan menginterpretasikan hasil laboratorium dan fisik.

8. Kewaspadaan Farmasi
Suatu proses yang terstruktur untuk memantau dan mencari efek
samping obat (advere drug reaction) dari obat yang telah diberikan.
Data-data diperoleh dari sumber-sumber seperti Medicines
Information, Toxicology and Pharmacovigilance Centres yang
lebih relevan dan bernilai pendidikan dalam manajemen keamanan
obat. Masalah yang berhubungan dengan obat, sekali ditemukan ,
perlu ditetapkan , di analisa ,di tindak lanjuti dan dikomunikasikan
pada pejabat yang berwewenang, profesi kesehatan dan
masyarakat.

Apoteker memiliki kemampuan dalam melaksanakan kegiatan pelayanan


kefarmasian yang bermutu dan efisien yang berasaskan pharmaceutical care di
apotek. Adapun standar pelayanan kefarmasian di apotek telah diatur melalui
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/Menkes/SK/I X/2004.

9
Tujuan dari standar pelayanan ini adalah:

1. Melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional.

2. Melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar.

3. Pedoman dalam pengawasan praktek Apoteker.

4. Pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004, terutama pada BAB III, bahwa pelayanan
kefarmasian meliputi:

1. Pelayanan Resep

a. Skrining Resep
Apoteker melakukan skrining resep meliputi:
1) Persyaratan Administratif :
- Nama, SIP dan alamat dokter
- Tanggal penulisan resep
- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep
- Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien
- Nama obat, potensi, dosis, dan jumlah yang minta
- Cara pemakaian yang jelas
- Informasi lainnya
2) Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,
inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
3) Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi,
kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain lain). Jika ada
keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter
penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif
seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah
pemberitahuan.
b. Penyiapan obat

10
1) Peracikan
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur,
mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam
melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap
dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan
etiket yang benar.

2) Etiket
Etiket harus jelas dan dapat dibaca.

3) Kemasan Obat yang Diserahkan


Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok
sehingga terjaga kualitasnya.
4) Penyerahan Obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan
akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan
obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan
konseling kepada pasien.
5) Informasi Obat
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan
mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini.
Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: dosis,
efek farmakologi, cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat,
jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman
yang harus dihindari selama terapi.

6) Konseling
Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi,
pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan
terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah
sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk

11
penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC,
asma, dan penyakit kronis lainnya apoteker harus memberikan
konseling secara berkelanjutan.
7) Monitoring Penggunaan Obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, Apoteker harus
melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk
pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan
penyakit kronis lainnya.

2. Promosi dan Edukasi

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, Apoteker harus memberikan edukasi


apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk penyakit
ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan apoteker harus berpartisipasi
secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi
informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dan
lain-lain.

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan


kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lanjut
usia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini
Apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

Apoteker memliki peran utama dalam membantu pasien untuk konsisten


menggunakan obatnya tepat waktu dan dengan cara penggunaan yang benar untuk
menjamin mereka mendapatkan manfaat dari obat yang mereka konsumsi.
Kepatuhan ini sangat penting bagi pasien yang harus menggunakan obat dalam
jangka waktu yang lama karena penyakit kronis seperti pasien dengan penyakit
hipertensi, kolesterol, diabetes mellitus, TB, dll. Ketidakpatuhan penggunaan obat
bisa memicu ketidakefektifan pengobatan dan bahkan bisa memperburuk kondisi
kesehatan pasien. Akibatnya, memicu intervensi pengobatan tambahan dan
bahkan mengakibatkan kematian prematur. Menurut Journal of Managed Care
Pharmacy, setiap harinya terdapat 342 orang meninggal dunia disebabkan karena
kurangnya kepatuhan dalam menggunakan obat.

12
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan
telah mengucapkan sumpah apoteker (PP 51, 2009 ; Permenkes RI, 2014).
Apoteker sangat erat kaitannya dengan apotek, dimana apotek merupakan salah
satu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian, disamping penyaluran sediaan
farmasi, dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.

Sebagaimana dikemukakan oleh Kuncahyo (2004) bahwa Apoteker yang


seharusnya mempunyai peran sentral dan bertanggung jawab penuh dalam m
memberikan informasi obat kepada masyarakat ternyata masih belum
dilaksanakan dengan baik. Febrianti (2008) juga mengemukakan bahwa pelayanan
kefarmasian di apotek saat ini masih belum optimal dikarenakan setiap jam buka
apotek lebih sering tidak dijumpai apoteker, melainkan tenaga teknis kefarmasian
dan pemilik modal apotek. Tenaga teknis kefarmasian yang dalam hal ini menurut
PP 51 pasal 33 adalah Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, analisis Farmasi,
dan Tenaga menengah Farmasi/ Asisten Apoteker (Depkes RI, 2009).

13
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, 2009a, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51


tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Kemenkes RI, 2013a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 312/MENKES/SK/IX/2013 tentang Daftar Obat Esensial Nasional 2013,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Kemenkes RI, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit,
direktorat Bina Farmasi Komunikasi dan Klinik, Depkes RI, Jakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai