Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PHARMACETICAL CARE

Di Buat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pharmacetical Care

Dosen Pengampu :
Apt. Anna Fitriawati, S.Farm., M.Farm

Disusun Oleh :
Yeta Pradina Ainun Rianto
210209099

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS DUTA BANGSA SURAKARTA
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya makalah ini.
Makalah ini saya buat dalam memenuhi tugas mata kuliah Pharmacetical Care.
Makalah ini saya buat dengan judul “Pharmacetical Care”.
Dengan adanya makalah ini, para pembaca diharapkan mampu
mengembangkan dan menambah pengetahuan mereka disamping adanya buku-
buku referensi dan makalah yang lain, makalah ini bukan suatu hasil yang
sempurna, dengan adanya waktu-waktu yang akan datang diperlukan proses
perbaikan dan penyempurnaan.
Apabila makalah ini terdapat kekukarangan-kekurangan, maka saya
sebagai penyusun makalah ini mengharapkan kritikan dan saran dari para
pembaca. Harapan saya semoga makalah ini berguna bagi semua pembaca.
Kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan untuk
pembelajaran berikutnya. Terima Kasih.

Surakarta, Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................... i


Daftar Isi ................................................................................................................ ii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................ 2
BAB II Pembahasan
A. Definisi Pharmaceutical Care .................................................................... 3
B. Sejarah Pharmaceutical Care ..................................................................... 4
C. Karakteristik Pharmaceutical Care ............................................................ 8
D. Good Pharmacy Practice (GPP) ................................................................. 9
E. Drug Therapy Problems (DPT) ................................................................ 11
F. Cara pendokumentasian sistem SOAP Method ........................................ 13
BAB III Penutup
A. Kesimpulan .............................................................................................. 22
B. Saran ......................................................................................................... 22
Daftar Pustaka

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Apoteker adalah tenaga profesi yang memiliki dasar pendidikan
serta keterampilan di bidang farmasi dan diberi wewenang serta tanggung
jawab untuk melaksanakan pekerjaan farmasi. Namun seiring berjalannya
waktu peran apoteker telah berubah dari peracik dan penyedia obat
menjadi manajer terapi obat yang Mencakup tanggung jawab untuk
menjamin bahwa dimanapun obat diproduksi, disediakan/diperoleh,
digunakan, disimpan, didistribusikan, dibagikan dan diberikan sehingga
obat tersebut berkonstribusi terhadap kesehatan pasien dan mengurangi
efek samping yang mungkin muncul.
Ruang lingkup praktek kefarmasian saat ini termasuk pelayanan-
berorientasi pasien dengan segala fungsi kognitif konseling, menyediakan
informasi obat dan memantau terapi obat, sebagaimana halnya aspek
teknis pelayanan kefarmasian yang termasuk manajemen pengadaan obat.
Hal ini merupakan peranan tambahan seorang apoteker bahwa apoteker
sekarang dapat memberikan konstribusi yang vital terhadap perawatan
pasien.
Dari hal tersebut dapat kita pahami bahwa pekerjaan kefarmasian
pada zamannya akan selalu berkembang mengikuti tuntutan masyarakat.
Sehingga terbentuk lah paradigma baru yaitu paradigma Asuhan
Kefarmasian atau dikenal dengan Pharmaceutical Care yang merupakan
tanggung jawab seorang apoteker yang harus dipertimbangkan untuk
penerapannya pada Pekerjaan Kefarmasian.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dari Pharmaceutical Care
2. Bagaimana sejarah dari Pharmaceutical Care
3. Apa saja karakteristik Pharmaceutical Care

1
4. Bagaimana pelayanan dan mekanisme Pharmaceutical Care
5. Apa yang dimaksud Good Pharmacy Practice (GPP)
6. Apakah terdapat hubungan Pharmaceutical Care dengan Good
Pharmacy Practice (GPP)
7. Apa yang dimaksud Drug Therapy Problems (DPT)
8. Bagaimana tanggung jawab apoteker dalam Drug Therapy Problems
(DPT)
9. Bagaimana Cara Pendokumentasian Sistem SOAP Method
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa Pharmaceutical Care dan bagaimana
pengaplikasiannya di rumah sakit.
2. Untuk memberikan wawasan lebih terhadap mahasiswa terkait
Pharmaceutical Care

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Pharmaceutical Care


Asuhan kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah pelayanan
kefarmasian yang berorientasi kepada pasien. Meliputi semua aktifitas
apoteker yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah terapi pasien terkait
dengan obat. Praktek kefarmasian ini memerlukan interaksi langsung apoteker
dengan pasien, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
Peran apoteker dalam asuhan kefarmasian di awal proses terapi adalah menilai
kebutuhan pasien. Di tengah proses terapi, memeriksa kembali semua
informasi dan memilih solusi terbaik untuk DRP (Drug Related Problem)
pasien. Di akhir proses terapi, menilai hasil intervensi sehingga didapatkan
hasil optimal dan kualitas hidup meningkat serta hasilnya memuaskan
(keberhasilan terapi) (Kurniawan 2017).
Menurut (Ayu dan Syaripuddin 2018) Pharmaceutical care (PC) adalah
program layanan kefarmasian yang berorientasi kepada pasien dimana
apoteker bekerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya dalam
menyelenggarakan promosi kesehatan, mencegah penyakit, menilai,
memonitor, merencanakan dan memodifikasi pengobatan untuk menjamin
rejimen terapi yang aman dan efektif.
1. Pengelolaan Apotek
a. Manajemen Apotek
Apotek bukan menjadi hal yang asing di telinga masyarakat
Indonesia, karena keberadaannya sudah sedemikian dekat dan ada di
sekitar masyarakat. Jika dulu dalam suatu wilayah tertentu masyarakat
baru menjumpai satu atau dua apotek, maka saat ini masyarakat bisa
melihat banyak apotek. Hal ini dikarenakan apotek memiliki prospek yang
bagus dan fungsi apotek sebagai pusat pelayanan obat di masyarakat
semakin dibutuhkan (Kurniawan 2017).

3
Menurut PP No. 51 tahun 2009, apotek adalah sarana pelayanan
kefarmasian atau tempat dilakukannya praktek kefarmasian oleh apoteker.
Apotek sendiri membutuhkan profesi yang mampu mengelola atau
menjalankan fungsi dan perannya secara maksimal, yaitu apoteker.
Dengan begitu apotek menjadi sangat bergantung kepada apoteker yang
bisa menjalankan fungsi dan perannya(Kurniawan 2017).
Pengelolaan apotek merupakan segala upaya dan kegiatan yang
dilakukan seorang apoteker dalam melaksakan tugas dan fungsinya
sebagai pelayan apotek. Hal-hal yang termasuk pengelolaan apotek
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.922/MenKes/Per/X/1993
pasal 10,pengelolaan apotek meliputi (Kurniawan 2017):
1) Pembuatan, pengelolaan, peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran, penyimpanan, dan penjualan obat dan bahan
obat.
2) Pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan penyerahan
perbekalan farmasi lainnya.
3) Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi.
b. Penampilan Apotek
Dalam hal pemilihan lokasi apotek hendaknya mempertimbangkan
keadaan sekitarnya, misalnya adanya sarana kesehatan baik rumah sakit,
praktek dokter, mantri (desa), bidan, klinik, dan puskesmas, selain itu
hendaknya dipilih daerah yang dekat dengan pusat keramaian seperti pasar
atau terminal dan juga pemukiman penduduk (Muslicnah, 2010).
B. Sejarah Pharmaceutical Care
Menurut Ayu dan Syaripuddin, (2018) Farmasi (bahasa Inggris:
pharmacy, bahasa Yunani: pharmacon, yang berarti: obat merupakan salah
satu bidang profesional kesehatan yang merupakan kombinasi dari ilmu
kesehatan dan ilmu kimia, yang mempunyai tanggung-jawab memastikan
efektivitas dan keamanan penggunaan obat. Ruang lingkup dari praktik
farmasi termasuk praktik farmasi tradisional seperti peracikan dan penyediaan
sediaan obat, serta pelayanan farmasi modern yang berhubungan dengan

4
layanan terhadap pasien (patient care) di antaranya layanan klinik, evaluasi
efikasi dan keamanan penggunaan obat, dan penyediaan informasi obat.
Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasian di
Inggris, khususnya dalam abad ke-20, dapat dibagi dalam periode/tahap:
1. Tahap tradisional
Dalam periode tradisional ini, fungsi farmasis yaitu menyediakan,
membuat, dan mendistribusikan produk yang berkhasiat obat. Tenaga
farmasi sangat dibutuhkan di apotek sebagai peracik obat. Periode ini mulai
mulai goyah saat terjadi revolusi industri dimana terjadi perkembangan
pesat di bidang industri tidak terkecuali industri farmasi. Ketika itu sediaan
obat jadi dibuat oleh industri farmasi dalam jumlah besar-besaran. Dengan
beralihnya sebagian besar pembuatan obat oleh industri maka fungsi dan
tugas farmasis berubah. Dalam pelayanan resep dokter, farmasis tidak lagi
banyak berperan pada peracikan obat karena obat yang tertulis di resep
sudah bentuk obat jadi yang tinggal diserahkan kepada pasien. Dengan
demikian peran profesi kefarmasian makin menyempit.
2. Tahap Transisional (1960-1970)
Perkembangan-perkembangan dan kecenderungan tahun 1960-
an/1970-an
a. Ilmu kedokteran cenderung semakin spesialistis
Kemajuan dalam ilmu kedokteran yang pesat, khusunya dalam
bidang farmakologi dan banyaknya macam obat yang mulai
membanjiri dunia menyebabkan para dokter merasa ketinggalan
dalam ilmunya. Selain ini kemajuan dalam ilmu diagnosa, aalat-
alat diagnosa baru serta penyakit-penyakit yang baru muncul
(atau yangbaru dapat didefinisikan) membingungkan para dokter.
Satu profesi tiadak dapat lagi menangani semua pengetahuan
yang berkembang dengan pesat.
b. Obat-obat baru yang efektif secara terapeutik berkembang pesat
sekali dalam dekade-dekade terumah sakitebut. Akan tetapi
keuntungan dari segi terapi ini membawa masalah-masalah

5
terumah sakitendiri dengan meningkatnya pula masalah baru
yang menyangkut obat; antara lain efek samping obat,
teratogenesis, interaksi obat-obat, interaksi obat-makanan, dan
interaksi obat-uji laboratorium.
c. Meningkatnya biaya kesehatan sektor publik amtara lain
disebabkan oleh penggunaan teknologi canggih yang mahal,
meningkatnya permintaan pelayanan kesehatan secara kualitatif
maupun kuantitatif, serta meningkatnya jumlah penduduk lansia
dalam struktur demografi di negara-negara maju, seperti Inggris.
Karena tekanan biaya kesehatan yang semakin mahal, pemerintah
melakuakn berbagai kebijakan untuk meningkatkan efektifitas
biaya (cost-effectiveness), termasuk dalam hal belanja obat
(drugs expenditure).
d. Tuntunan masyarakat untuk pelayanan medis dan farmasi yang
bermutu tinggi disertai tuntunan pertanggungjawaban peran para
dokter dan farmasis, sampai gugatan atas setiap kekurangan atau
kesalahan pengobatan.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut terjadi secara paralel
dengan perubahan peranan farmasis yang semakin sempit. Banyak orang
mempertanyakan peranan farmasis yang overtrained dan underutilised,
yaitu pendidikan yang tinggi akan tetapi tidak dimanfaatkan sesuai dengan
pendidikan mereka. Situasi ini memunculkan perkembangan farmasi
bangsal (ward pharmacy) atau farmasi klinis (clinical pharmacy).
Farmasi klinis lahir pada tahun 1960-an di Amerika Serikat dan
Inggris dalam periode transisi ini. Masa transisi ini adalah masa perubahan
yang cepat dari perkembangan fungsi dan peningkatan jenis-jenis pelayanan
profesional yang dilakukan oleh bebrapa perintis dan sifatnya masih
individual. Yang paling menonjol adalah kehadiran farmasis di ruang rawat
rumah sakit, meskipun masukan mereka masih terbatas. Banyak farmasis
mulai mengembangkan fungsi-fungsi baru dan mencoba menerapkannya.
Akan tetapi tampaknya, perkembangannya masih cukup lambat. Diantara

6
para dokter, farmasis dan perawat, ada yang mendukung, tetapi ada pula
yang menolaknya.
3. Tahap Masa Kini
Pada periode ini mulai terjadi pergeseran paradigma yang semula
pelayanan farmasi berorientasi pada produk, beralih ke pelayanan farmasi
yang berorientasi lebih pada pasien. Farmasis ditekankan pada kemampuan
memberian pelayanan pengobatan rasional. Terjadi perubahan yang
mencolok pada praktek kefarmasian khususnya di rumah sakit, yaitu dengan
ikut sertanya tenaga farmasi di bangsal dan terlibat langsung dalam
pengobatan pasien.
4. Tahap Masa Depan Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical
Care)
Gagasan ini masih dalam proses perkembangan. Diberikan disini
untuk perluasan wawasan karena kita akan sering mendengar konsep ini.
Pelayanan kefarmasiaan (Pharmaceutical Care) didefinisikan oleh Cipolle,
Strand, dan Morley (1998) sebagai: “A practice in which the practitioner
takes responsibility for a patient’s drug therapy needs, and is held
accountable for this commitment”. Dalam prakteknya, tanggung jawab
terapi obat diwujudkan pada pencapaian hasil positif bagi pasien.
Proses pelayanan kefarmasian dapat dibagi menjadi tiga komponen
yang berjalan secara kontinu dan berkesinambungan, yaitu :
a. Penilaian (Assessment)
Menjamin bahwa semua terapi obat yang diiberikan kepada
pasien terindikasikan, berkasiat, aman dan sesuai serta untuk
mengidentifikasi setiap masalah terapi obat yang muncul, atau
memerlikan pencegahan dini.
b. Pengembangan perencanaan perawatan (Development of a
Care Plan)
Secara berkolaborasi, pasien dan praktisi membuat suatu
perencanaan untuk menyelesaikan dan mencegah masalah terapi obat
dan untuk mencapai tujuan terapi. Tujuan ini (dan intervensi)

7
didesain untuk: Menyelesaikan setiap masalah terapi yang muncul;
Mencapai tujuan terapi individual; Mencegah masalah terapi obat
yang potensial terjadi kemudian
c. Evaluasi (Evaluation)
Mencatat hasil terapi, untuk mengkaji perkembangan dalam
pencapaian tujuan terapi dan menilai kembali munculnya masalah
baru.
Konsep perencanaan pelayanan kefarmasian telah dirangkai oleh
banyak praktisi farmasi klinis. Meskipun definisi pelayanan kefarmasian
telah diterapkan secara berbeda dalam negara yang berbeda, gagasan
dasar adalah farmasis bertanggungjawab terhadap hasil penggunaan obat
oleh/untuk pasien sama seperti seorang dokter atau perawat
bertanggungjawab terhadap pelayanan medis dan keperawatan yang mereka
berikan. Dengan kata lain, praktek ini berorientasi pada pelayanan yang
terpusat kepada pasien dan tanggungjawab farmasis terhadap morbiditas dan
mortalitas yang berkaitan dengan obat.
C. Karakteristik Pharmaceutical Care
Menurut (Ayu dan Syaripuddin 2018) Karakteristik pelayanan
farmasi klinik di rumah sakit adalah :
1. Berorientasi kepada pasien
2. Terlibat langsung di ruang perawatan di rumah sakit (bangsal)
3. Bersifat pasif, dengan melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai
dan memberi informasi bila diperlukan
4. Bersifat aktif, dengan memberi masukan kepada dokter sebelum
pengobatan dimulai, atau menerbitkan buletin informasi obat atau
pengobatan
5. Bertanggung jawab atas semua saran atau tindakan yang dilakukan
6. Menjadi mitra dan pendamping dokter.
Dalam sistem pelayanan kesehatan pada konteks farmasi klinik,
farmasis adalah ahli pengobatan dalam terapi. Mereka bertugas melakukan
evalusi pengobatan dan memberikan rekomendasi pengobatan, baik kepada

8
pasien maupun tenaga kesehatan lain. Farmasis merupakan sumber utama
informasi ilmiah terkait dengan penggunaan obat yang aman, tepat dan cost
effective.
D. Good Pharmacy Practice (GPP)
Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) atau Good Pharmacy
Practice adalah cara untuk melaksanakan pelayanan kefarmasian yang baik
secara komprehensif, berupa panduan yang berisi sejumlah standar bagi para
Apoteker dalam dalam menjalankan praktik profesinya di sarana pelayanan
kefarmasian (Ayu dan Syaripuddin 2018).
Adapun Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) hendaknya
memenuhi persyaratan (Ayu dan Syaripuddin 2018):
1. Apoteker mengutamakan seluruh aktifitasnya ditujukan bagi
kesejahteraan pasien.
2. Inti aktivitas apoteker adalah penyediaan obat dan produk
kesehatan lainnya untuk menjamin khasiat, kualitas dan
keamanannya, penyediaan dan pemberian informasi yang memadai
dan saran untuk pasien dan pemantauan terapi obat.
3. Seluruh aktifitas merupakan kesatuan bagian dari kontribusi
apoteker yang berupa promosi peresepan rasional dan ekonomis
serta penggunaan obat yang tepat.
4. Sasaran setiap unsur pelayanan terdefinisi dengan jelas, cocok bagi
pasien, terkomunikasi dengan efektif bagi semua pihak yang
terlibat
Untuk memenuhi persyaratan ini, diperlukan kondisi sebagai berikut:
1. Profesionalisme harus menjadi filosofi utama yang mendasari
praktek, meskipun juga disadari pentingnya faktor ekonomi.
2. Apoteker harus memiliki masukan cukup dan tepat dalam membuat
keputusan tentang penggunaan obat. Suatu sistem haruslah
memungkinkan apoteker melaporkan kejadian reaksi obat yang
tidak diinginkan, kesalahan medikasi dan cacat dalam kualitas
produk atau pendeteksian produk palsu. Laporan ini juga termasuk

9
informasi tentang obat yang digunakan dan disiapkan untuk pasien,
tenaga kesehatan profesional, baik langsung maupun melalui
apoteker.
3. Menjalin hubungan profesional terus menerus dengan tenaga
kesehatan lainnya, yang harus dapat dilihat sebagai kerjasama
terapeutik yang saling percaya dan mempercayai sebagai kolega
dalam semua hal yang berkaitan dengan terapi yang menggunakan
obat (farmakoterapeutik).
4. Hubungan profesional diantara apoteker harus berupa hubungan
kotegial untuk menyempurnakan pelayanan farmasi dan bukan
sebagai pesaing/kompetitor.
5. Organisasi praktek kelompok dan manajer apotek harus ikut
bertanggungjawab untuk pendefinisian, pengkajian, dan
penyempurnaan kualitas.
6. Apoteker harus hati-hati terhadap penyediaan dan pemberian
informasi medis esensial dan farmaseutik bagi setiap pasien.
Perolehan informasi ini akan lebih mudah jika pasien memilih
menggunakan hanya satu apotek atau jika tersedia profil
pengobatan pasien
7. Apoteker harus tidak memihak, komprehensif, obyektif dan dapat
memberikan informasi terkini tentang terapi dan penggunaan obat.
8. Apoteker dalam setiap prakteknya harus bertanggung jawab secara
pribadi untuk menjaga dan mengukur kompetensi pribadinya
melalui praktek profesionalnya.
9. Program pendidikan profesi harus membekali calon apoteker agar
dapat melaksanakan praktik maupun mengantisipasi perubahan
praktik farmasi di masa yang akan datang.
10. Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) harus
ditetapkan dan dipatuhi oleh praktisi.
Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) meriputi empat
aktivitas utama, yaitu (Ayu dan Syaripuddin 2018) :

10
1. Aktivitas yang berhubungan dengan promosi kesehatan,
pencegahan penyakit dan pencapaian tujuan kesehatan, dengan
kegiatan:
a. Penyuluhan kesehatan masyarakat
b. Berperan aktif dalam promosi kesehatan sesuai program
pemerintah.
c. Menjamin mutu alat diagnostik dan alat kesehatan lainnya serta
memberi saran penggunaannya.
2. Aktivitas yang berhubungan dengan pengelolaan dan penggunaan
sediaanfarmasi dan alat kesehatan dalam pelayanan resep, dengan
kegiatan:
a. Penerimaan dan pemeriksaan kelengkapan resep.
b. Pengkajian resep, meliputi identifikasi, mencegah dan
mengatasi masalah terkait obat/Drug Related Problem (DRP)
c. Penyiapan obat dan perbekalan farmasi lainnya, meliputi:
pemilihan; pengadaan (perencanaan, teknis pengadaan,
penerimaan, dan penyimpanan); pendistribusian, penghapusan
dan pemusnahan, pencatatan dan pelaporan, jaminan mutu,
serta monitoring dan evaluasi.
d. Layanan Informasi obat. meliputi: penyediaan area konseling
khusus,; kelengkapan literatur : penjaminan mutu SDM;
pembuatan prosedur tetap dan pendokumentasiannya.
e. Monitoring Terapi Obat meliputi: pembuatan protap
monitoring; evaluasi perkembangan terapi pasien.
f. Dokumentasi aktifitas profesional, meliputi catatan pengobatan
pasien (Patient Medication Record/PMR), protap evaluasi diri
(self assesment) untuk jaminan mutu CPFB/GPP
E. Drug Therapy Problems (DTP)
Masalah terapi obat (DTPs) (atau masalah terkait obat, DRPs)
mewakili kategorisasi dan definisi masalah klinis yang berkaitan dengan

11
penggunaan obat atau "obat" di bidang pelayanan farmasi. Dalam praktik
klinis, DTP sering kali diidentifikasi, dicegah, dan/atau diatasi oleh apoteker
selama manajemen terapi pengobatan , sebagai ahli dalam keamanan dan
kemanjuran obat, namun profesional kesehatan lainnya juga dapat menangani
DTP (Wikipedia 2023).
Masalah (terkait) terapi obat dapat didefinisikan sebagai peristiwa atau
keadaan yang melibatkan perawatan obat ( farmakoterapi ) yang mengganggu
penyediaan perawatan medis yang optimal. Pada tahun 1990, LM Strand dan
rekan-rekannya (berdasarkan karya sebelumnya dari RL Mikeal dan DC
Brodie, yang diterbitkan masing-masing pada tahun 1975 dan 1980)
mengklasifikasikan DTP ke dalam delapan kategori berbeda. Berdasarkan
kategori ini, apoteker membuat daftar DTP untuk setiap pasien. Hasilnya,
apoteker memiliki gambaran yang lebih jelas mengenai terapi obat dan kondisi
medis pasien. Publikasi kedua RJ Cipolle bersama LM Strand pada tahun
1998, mengubah delapan kategori menjadi tujuh, dikelompokkan dalam empat
kebutuhan Farmakoterapi: indikasi, efektivitas, keamanan dan kepatuhan.
Menurut halaman 73 dalam Pengantar Pelayanan Kesehatan: Pedoman
Dasar bagi Apoteker, masalah terapi obat (DTP) berawal dari Strand et al.
(1990) yang mendefinisikan delapan masalah yang dapat mengakibatkan hasil
kesehatan yang lebih buruk dalam upaya mengkategorikan DTP. Helper dan
Strand kemudian pada tahun 1990 menyatakan pernyataan misi atau raison
d'etre apoteker harus memperbaiki masalah terapi obat ini.
Delapan permasalahan yang semula kini telah diringkas menjadi tujuh
kategori permasalahan . Seperti yang diberikan oleh Shargel, mereka adalah:
1. Terapi obat yang tidak perlu. Hal ini dapat terjadi jika pasien diberikan
terlalu banyak obat untuk kondisinya dan obat tersebut tidak diperlukan.
2. Obat yang salah. Hal ini bisa terjadi jika pasien diberi obat yang tidak
mengatasi kondisi pasien. Mantan. Obat jantung untuk mengobati infeksi.
3. Dosis terlalu rendah. Hal ini dapat terjadi ketika pasien diberikan obat
yang tidak cukup kuat untuk mendapatkan efek menguntungkan atau
terapeutik.

12
4. Dosis terlalu tinggi. Hal ini dapat terjadi jika pasien diberi obat yang
terlalu kuat dan menimbulkan efek merugikan atau sebenarnya tidak
diperlukan.
5. Reaksi obat yang merugikan. Hal ini bisa terjadi ketika pasien memiliki
respons alergi terhadap suatu obat.
6. Kepatuhan yang tidak pantas. Hal ini bisa terjadi ketika pasien memilih
untuk tidak atau lupa minum obat.
7. Membutuhkan terapi obat tambahan. Hal ini dapat terjadi ketika pasien
memerlukan lebih banyak obat untuk mengatasi kondisinya.
F. Cara Pendokumentasian Sistem SOAP Method
Perbekalan farmasi adalah obat, bahan/alat kesehatan pakai habis, gas
medis dan bahan embalage penunjang pelayanan kefarmasian, dimana item
atau jenisnya tersusun dalam bentuk formulaium obat atau kompedium
bahan/alat kesehatan pakai habis yang merupakan suatu standar barang yang
digunakan oleh rumah sakit untuk pelayanan kesehatan. Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Christina.M pada tahun 2012 yang berjudul
Implementasi kendali biaya dan kendali mutu pelayanan kesehatan program
jaminan kesehatan daerah Kutai Kartanegara di RSUD Parikesit Tenggarong,
Christina menemukan bahwa komponen obat yang merupakan salah satu
bagian dari perbekalan farmasi bahkan mencapai lebih dari 40% komponen
biaya pelayanan kesehatan (Sudarsono 2024).
Besarnya komponen obat dalam biaya pelayanan kesehatan
menyebabkan pihak provider kesehatan melakukan berbagai hal untuk
mengontrol besaran komponen obat dalam biaya operasionalnya agar tetap
berada pada batas-batas keekonomian yang rasional dengan tetap menjaga
kualitas pelayanan kesehatan Menurut PEDOMAN KREDENSIAL
APOTEKER DI RUMAH SAKIT yang dikeluarkan oleh Pengurus Pusat
Himpunan Seminat Farmasi Rumah Sakit (PP HISFARSI) tanggal 30 Juni
2018, kewenangan klinis apoteker yang praktek di rumah sakit tidak hanya
asuhan kefarmasian di pelayanan farmasi klinik saja, tetapi juga mencakup
asuhan kefarmasian di pengelolaan sediaan farmasi. Paling tidak, dari 5

13
kewenangan klinis apoteker di pengelolaan sediaan farmasi,
PERENCANAAN dan PENGADAAN sediaan farmasi memiliki RESIKO
PROFESI yang paling BESAR baik pagi pribadi apoteker maupun bagi
institusi sarana kesehatan tempatnya berpraktek sehingga perlu kehati-hatian
yang lebih dari seorang apoteker dalam menjalankan kewengan klinis ini
Secara teknis, perencanaan perbekalan farmasi di rumah sakit terbagi menjadi
2 (dua) bentuk perencanaan dengan tujuan yang berbeda yaitu perencanaan
anggaran dan perencanaan pengadaan perbekalan farmasi. kedua bentuk
perencanaan perbekalan farmasi ini merupakan proses yang berkelanjutan dan
tidak terpisah dari rangkaian proses perencanaan perencanaan perbekalan
farmasi di rumah sakit (Sudarsono 2024).
Metode Analisa SOAP dalam Perencanaan Pengadaan Perbekalan
Farmasi. SOAP (Subjektif, Objektif, Assesment, Plan) merupakan salah satu
metode analisa yang umum digunakan oleh tenaga kesehatan untuk
mengambil keputusan profesional untuk suatu problem yang timbul dalam
lingkup kewenagan klinis yang dimilikinya (Sudarsono 2024).
Sebagai tenaga kesehatan, apoteker juga menggunakan metode analisa
SOAP dalam menjalankan kewenagan klinis profesionalnya, pada umumnya
dilakukan oleh apoteker yang berpraktek farmasi klinis di ruangan perawatan
rumah sakit. Nah, pertanyaan selanjutnya adalah dapatkah metode analisa
SOAP digunakan untuk memperkuat pelaksanaan kewenangan klinis seorang
apoteker yang berpraktek di Pengelolaan Perbekalan Farmasi dalam hal ini
adalah penyusunan perencanaan pengadaan perbekalan farmasi di
institusi/sarana kesehatan baik swasta maupun milik pemerintah SOAP
(Subjektif, Objektif, Assesment,Plan) adalah catatan yang bersifat sederhana,
jelas, logis dan tertulis. Metode analisa SOAP jika diterapkan dalam proses
perencanaan pengadaan perbekalan farmasi, diharapkan dapat
menggambarkan secara sederhana, jelas, logis dalam bentuk tulisan seluruh
rangkaian proses perencanaan pengadaan tersebut sampai dengan munculnya
keputusan profesional seorang apoteker untuk menentukan akan dilakukan
proses pengadaan atau tidak, sampai dengan penentuan item perbekalan

14
farmasi dan jumlah pemesanan idealnya, bahkan sampai dengan penentuan
penyedia dan metode pengadaannya jika ternyata dari analisa tersebut
diputuskan untuk melakukan pengadaan perbekalan farmasi.
Metode 4 langkah ini (Subjektif, Objektif, Assesment,Plan), jika disari
dari rangkaian proses perencanaan pengadaan perbekalan farmasi, dapat
dituliskan sebagai berikut:
1. Subjektif (S) merupakan data subjektif yang berisi laporan/informasi dari
unit pengelola perbekalan farmasi terkait dengan stok menipis atau stok
kosong dari perbekalan farmasi yang disimpan di gudang utama
penyimpanan.
2. Objektif (O) merupakan data objektif terkait dengan produk perbekalan
farmasi yang dilaporkan dengan stok menipis atau stok kosong di gudang
utama penyimpanan, diantaranya adalah:
a. Sisa dana tersedia untuk pembayaran perbekalan farmasi pada saat
jatuh tempo nantinya jika pengadaan jadi dilakukan.
b. Identitas produk yang di infokan dengan stok menipis atau stok
kosong, diantaranya adalah Nama Produk, Komposisi/kekuatan dosis,
Rerata penyaluran per-bulan, Tingkat ketersediaan produk di gudang
penyimpanan utama dalam satuan bulan saat perencanaan pengadaan
disusun
3. Assesment (A) merupakan analisis dan interpretasi data subjektif dan data
objektif yang terkumpul.Hasil dari proses Assesment ini adalah apoteker
dapat menetukan status urgensi barang untuk diadakan dengan
menggunakan metode CITO/NonCITO. Metode analisa status urgensi
barang CITO/Non CITO adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menunjukkan tingkat status urgensi barang pada tiap item perbekalan
farmasi secara subjektif -kuantitatif yang didasarkan pada perbandingan
antara tingkat ketersediaan pada suatu item perbekalan farmasi di gudang
penyimpanan utama pada saat perencanaan disusun dengan tingkat respon
time penyedia atau lead time penerimaan barang untuk item perbekalan
farmasi tersebut. Suatu item perbekalan farmasi dikatakan CITO jika

15
tingkat ketersediaan pada suatu item perbekalan farmasi di gudang
penyimpanan utama pada saat perencanaan disusun LEBIH
KECIL/LEBIH SINGKAT dari tingkat respon time penyedia atau lead
time penerimaan barang untuk item perbekalan farmasi tersebut, dan
dikatakan Non CITO jika tingkat ketersediaan pada suatu item perbekalan
farmasi di gudang penyimpanan utama pada saat perencanaan disusun
LEBIH BESAR/LEBIH LAMA dari tingkat respon time penyedia atau
lead time penerimaan barang untuk item perbekalan farmasi tersebut. Jika
dari proses assesment ini apoteker menilai bahwa status urgensi barang
untuk diadakan adalah CITO atau berstatus NonCITO namun harus segera
diadakan, maka proses assesment dilanjutkan dengan:
a. Apoteker mencari info ketersediaan barang di penyedia (PBF atau
PAK)
b. Apoteker menilai dan menghitung target tingkat ketersediaan produk
digudang penyimpanan utama setelah pengadaan dalam satuan bulan.
c. Apoteker menilai dan menghitung perkiraan kebutuhan barang yang
akan diadakan berdasarkan target tingkat ketersediaan produk
digudang penyimpanan utama setelah pengadaan serta memperkirakan
kebutuhan anggarannya.
4. Plan (P) atau Perencanaan merupakan rencana dari tindakan atau
keputusan yang akan diambil oleh seorang apoteker pada akhir proses
perencanaan pengadaan perbekalan farmasi yaitu akan melanjutkan ke
proses pengadaan atau menunda proses pengadaan.
Berikut contoh kasus dan pembahasannya:
1. Lakukan evaluasi dan penerapan Pharmaceutical Care dalam Pelayanan
Kefarmasian pada Kasus pasien dibawah ini :

16
Lisinopil
Indikasi : Hipertensi Essensiel, Hipertensi renovaskuler,
gagal jantung kongesti infark miokard
Golongan :Act Inhibitor
Dosis :Dosis : 1xSehari 1 tab, dosis penunjang lazim:
20mg, maksimal: 80mg sehari
Mekanisme Kerja :menghambat produksi angiotensin dengan cara
menghambat anzim yang dibutuhkan dalam
produksi argiotensin II

Spironolacton
Indikasi :Hiperaldoterorisme, Hipertensi, gagal jantung, siros
hepatitis, penyakit gagal ginjal kronis, dan acne
vulgaris
Golongan :Diaretik
Dosis :awal : 25mg 1xSehari tambah menjadi 50mg sekali
sehari, bila tubuh bisa menoleransi dan sesuai

17
indikasi klinis sebagai suspense, berikan sebanyak
20mg 1x sehari
Mekanisme Kerja :bekerja pada bagian distal dari tubulus ginjal
dimana akan terjadi peningkatan eksresi kalium
sehingga berefek sebagai diuretic dan antihipertensi.

Metformin
Indikasi :Sebagai terapi adjuan dari diet dan olahraga untuk
memperbaiki control gula darah pada psien dengan
diabetes mellitus tipe-2
Golongan :Biguanide
Dosis :awal : sehari 2x 500mg atau 2x850mg: dosis dapat
ditingkatkan sesuai dengan respon pasien. Dosis
maksimal: 3000mg/hari. Dalam 3 dosis terbagi.
Dosis : sehari 2x 350mg.
Mekanisme Kerja :Secara fisiologis, metformin bekerja secara
langsung atau tidak langsung pada hati untuk
menurunkan produksi glukosa, dan bekerja pada
usus untuk meningkatkan pemanfaatan glukosa,
meningkatkan GLP-1 dan mengubah mikrobioma.
Neurodex
Indikasi :untuk peengobatan kekurangan vitamin B1, B6 dan
B12, seperti pada polyneuritis.
Golongan :Obat Bebas, suplemen vitamin
Dosis : 1 tab sehari atau menurut petunjuk dokter
Mekanisme Kerja :mengurangi prostaglandin, sehingga membantu
pengenceran darah dan mencegah pembekuan.
Paracetamol
Indikasi : meredakan gejala demam dan nyeri pada berbagai
penyakit seperti demam dengue, tifoid, dan infeksi
saluran kemih.

18
Golongan :Obat Bebas, analgetik, antipiretik
Dosis : dapat digunakan sebanyak 325 – 650 mg setiap 4 –
6 jam dengan maksimal 3250 mg atau dapat
mencapai 4000 mg per 24 jam dengan pengawasan.
Untuk nyeri dengan intensitas lebih tinggi,
paracetamol dapat digunakan 1000 mg setiap 6 jam.
Untuk sediaan lepas lambat, dosis yang digunakan
adalah 1300 mg setiap 8 jam.
Mekanisme Kerja : menurunkan suhu tubuh seseorang yang
mengalami demam dengan bekerja pada pusat
pengaturan suhu yang ada pada otak. Paracetamol
juga dapat meredakan nyeri dengan cara
menghambat pembentukan prostaglandin.
.
Furosemid
Indikasi : untuk tata laksana overload cairan dan edema
yang disebabkan karena gagal jantung, sirosis hati,
dan penyakit ginjal, termasuk sindrom nefrotik.
Furosemide juga diindikasikan untuk pengobatan
hipertensi, baik digunakan sendiri maupun bersama
obat antihipertensi lainnya.
Golongan :Loop diuretik
Dosis : 200mg 1 ampul, 1-2 kali sehari
Mekanisme Kerja :meningkatkan produksi urin sehingga air dan
garam dalam tubuh.

Interaksi Obat
Pantau secara Dekal
1) Spironolacton + Furosemid

19
Spinolacton eningkatkan furosemid menurunkan kalium serum.
Efek interaksi tidak jelas, hati-hati, ubah terappi atau pantau secara
dekat.
2) Lisinopril + Spinorolacton
Berdasarkan mekanisme sinergi farmakodinamik. Gunakan
perhatian/ monitor. Resiko hioerkalemia
3) Lisinopril + Furosamid
Mekanisme sinergisme farmakodinamika gunakan
perhatian/monitor resiko hipotensi akut, insufisiensi ginjal
4) Lisinopril + Metformin
Meningkatkan laksisites metformin melalui mekanisme interaksi
yang tidak ditentukan. Gunakan perhatian monitoring
meningkatkan risiko hipoglikemia dengan asidosis laktat.

Minor:
1) Furosamid + Tiamin
Menurunkan kadar tiamin dg meningkatkan pembersihan ginjal
kecil/signifikan tidak diketahui
2) Furosamid + Metrofin
Furosamid meningkatkan kadar metrifin melalui mekanisme
interaksi yang tidak ditentukan. Minor/signifikan tidak diketahui
pasien harus di obs.secara berkala ketat untuk mengetahui
hilangnya glukosa darah; ketika obat dihentikan dari pasien yang
menerima metrofin pasien harus di obs. Secara ketat mengetahui
adanya hipoglikemie.
3) Metrofin + Sianokobotamin
Mekanisme interaksi yang tidak tentu. Minor/signifikansi tidak
diketahui. Dipelukan beberapa tahun trapi metformin untuk
mengembangkan defisiensi Vit.B12.
4) Metformin + Furosemid

20
Mekanisme interaksi yang tidsk ditentukan. Minor/ signifikansi
tidak diketahui.

Identifikasi Penyakit
1) Azotemia => suatu kondisi dimana memiliki terlalu banyak
naitrogem; kreatinin, dan produk limbah lainnya dalam darah
2) Uremia => pada urin terdapat darah
3) Anemia => kekurangan sel darah merah
4) Diabetes Melitus (DM) => kadar gula darah tinggi
5) Hipertensi => tekanan darah berlebih
6) Retinopati => komplikasi penyakit gula
Identifikasi obat
1) Lisinopril : tepat indikasi tepat dosis (HT)
2) Spinorolakton : tepat indikasi tepat dosis (HT)
3) Metformin : tepat indikasi tepat dosis (DM)
4) Neurodex : tepat indikasi (VITAMIN)
5) Paracetamol : tepat indikasi (analgetik jika nyeri)
6) Furosemid : tepat indikasi (HT)

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah konsep atau paradigma
pelayanankefarmasian didasarkan upaya farmasis membantu pasien
menyelesaikan problem obat, agarmemperoleh manfaat terapi obat yg maksimal,
untuk meningkatkan kualitas hidup. Fungsi utama dari asuhan kefarmasian
adalah:
1. Mengidentifikasi masalah yang berhubungan dengan obat
2. Memutuskan penggunaan obat yang berhubungan dengan penyakit
penderita
3. Mencegah kemungkinan terjadinya masalah yang berhubungan dengan
obat
Manfaat pelayanan kefarmasian, antara lain (Mutmainah, 2008) :
1. Mendapat pengalaman yang lebih efisien memantau terapi obat.
2. Memperbaiki komunikasi dan interaksi antara farmasis dengan profesi
kesehatanlainnya.
3. Membuat dokumentasi kaitan dengan terapi obat.
4. Identifikasi, penyelesaian dan pencegahan masalah yang berkaitan dengan
obat (DRP).
5. Justifikasi layanan farmasi dan assessment kontribusi farmasi terhadap
layanan pasiendan hasilnya bagi pasien.
6. Memperbaiki produktivitas farmasis.
7. Jaminan mutu dalam layanan farmasi secara keseluruhan.
Implementasi Asuhan Kefarmasian terdiri dari komponen
1. Penilaian (Assessment)
2. Pengembangan perencanaan perawatan (Development of a care plan)
3. Evaluasi

22
B. Saran
Makalah ini masih banyak memiliki kekurangan, dan masih jauh dari kata
sempurna semata-mata kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Maka dari itu saya
selaku penyusun makalah ini mengharapkan kritik yang sifatnya membangun
demi tercapai suatu kesempurnaan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Ayu, Galih Ajeng Kencana, dan Muhamad Syaripuddin. 2018. “Peranan Apoteker
dalam Pelayanan Kefarmasian pada Penderita Hipertensi.” Jurnal
Kedokteran dan Kesehan.
Kurniawan. 2017. “Pelayanan Kefarmasian.” : 6–22.
Sudarsono. 2024. “Penerapan Metode Analisa SOAP Pada Asuhan Kefarmasian
di Manajemen Farmasi.”
Wikipedia. 2023. “Masalah Terapi Obat.” Wikipedia.https://en.m.wikipedia.org
/wiki/Drug_therapy_problems(Maret 20, 2024).

24

Anda mungkin juga menyukai